AGRANULOSIT
Nama : Farhana
NIM : Z1A021474
Rombongan : 2
Asisten : Sesti Wan Tiyah
A. Latar Belakang
Sistem imun spesifik disebut juga sistem imun didapat yang timbul
terhadap antigen tertentu pada tubuh yang pernah terpapar sebelumnya
(Kresno, 2001). Benda asing atau antigen yang pertama kali muncul segera
dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitisasi sel-sel sistem
imun tersebut, bila sel sistem imun tersebut bertemu kembali dengan benda
asing yang sama maka benda asing yang terakhir ini akan dikenal lebih
cepat, kemudian dihancurkan olehnya. Oleh karena sistem tersebut hanya
dapat menghancurkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka
sistem itu disebut spesifik (Baratawidjaja, 1996). Dalam tubuh terdapat dua
tipe sistem imun spesifik, yaitu sistem imun spesifik humoral dan sistem
imun spesifik seluler, sistem imun humoral diperantarai oleh limfosit B dan
sistem imun seluler diperantarai oleh limfosit T.
Salah satu upaya tubuh untuk mempertahankan diri terhadap masuknya
antigen adalah dengan cara meniadakan antigen tersebut, secara non
spesifik yaitu dengan cara fagositosis. Dalam hal ini tubuh memiliki sel-sel
fagosit, yang termasuk dalam 2 kelompok sel, yaitu kelompok sel
agranulosit dan granulosit. Kelompok sel agranulosit adalah monosit dan
makrofag, sedangkan yang termasuk kelompok sel granulosit adalah
neutrofil, basofil, eosinofil, yang tergolong ke dalam sel PMN
(Polymorphonuclear) (Bevelander, 1988).
Sediaan apus darah tepi dapat diwarnai dengan berbagai macam metode
termasuk larutan-larutan yang sederhana antara lain: pewarnaan Giemsa,
pewarnaan acid fast, pewarnaan garam, pewarnaan wright, dan lainlain.
Pewarnaan Giemsa disebut juga pewarnaan Romanowski. Metode
pewarnaan ini banyak digunakan untuk mempelajari morfologi sel-sel
darah, sel-sel lien, sel-sel sumsum dan juga untuk mengidentifikasi parasit-
parasit darah misal Tripanosoma, Plasmodia dan lain-lain dari golongan
protozoa. (Maskoeri, 2008)
Zat warna yang digunakan dalam metode Romanovsky adalah Giemsa yang
sebelumnya telah diencerkan dengan aquades. Semakin lama pewarnaan
yang dilakukan maka intensitasnya menjadi semakin tua. Preparat apus yang
yang telah selesai dibuat kemudian diamati dibawah mikroskop dengan 8
perbesaran 100x. Gambar yang didapat dalam hasil menunjukan sel-sel butir
darah baik eritrosit, leukosit, trombosit, atau jenis parasit yang lain
(Maskoeri, 2008).
B. Tujuan
A. Materi
B. Cara Kerja
1. Pada ujung gelas obyek yang bersih dan bebas lemak, diteteskan satu
(1) tetes darah manusia.
2. Diapuskan ke arah depan sekaligus dengan gelas obyek yang lain
(dipilih yang tepinya rata) dengan membentuk sudut 45 ̊.
3. Preparat difiksasi dengan metanol ± 5 menit.
4. Dibuang sisa metanol dan preparat diwarnai dengan larutan Giemsa
yang telah diencerkan. Catatan: pembuatan larutan Giemsa adalah 1
mL giemsa, ditetesi dengan 20 tetes akuades.
5. Dicuci dengan air mengalir, dikeringkan.
6. Diamati dengan lensa obyektif perbesaran 100 kali menggunakan
minyak emersi.
7. Diperiksa jenis-jenis leukosit pada daerah yang eritrositnya terpisah
(gambar 1 dan gambar 2).
8. Dihitung dalam 100 sel leukosit dan hasil dinyatakan dalam persen
(%).
1. Basofil : 0–1%
2. Eosinofil : 1–3%
3. Neutrofil
a. Batang : 2–6%
b. Segmen : 50–70%
4. Limfosit : 20–40%
5. Monosit : 2–8%
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
B. Pembahasan
Jumlah eritrosit dan jumlah leukosit yang ada mencit, ikan dan
manusia menunjukan jumlah yang berbeda. Menurut Bevelander dan
Ramaley (1988), besarnya jumlah leukosit mencit selalu dipengaruhi
oleh jumlah eritrosit, jumlah leukosit selalu lebih rendah daripada
jumlah eritosit. Jumlah leukosit pada mencit yaitu berkisar antara
20.000-150.000 sel/mm3 (Lagler et al., 1977). Jumlah leukosit ikan
umumnya 650 – 750.000 sel/ml3. Darah manusia normalnya
mengandung leukosit rata-rata 5000-9000 sel/mm3, bila jumlahnya
lebih dari 12.000, keadaan ini disebut leukositosis, bila kurang dari
5000 disebut leucopenia (Mansjoer et al., 2010).
Ciri-ciri dari beberapa sel leukosit menurut Daniel (1999) adalah sebagai
berikut:
bahwa: