Anda di halaman 1dari 23

TUGAS HOSPITALITY

MANAJEMEN RESIKO NON KLINIS

RENOVASI GEDUNG RS

DISUSUN OLEH KELOMPOK IV:

dr. Hindun Rika Candraningrum ( 206080045)

dr. Aditya Wicaksono (206080061)

dr. Aditya Pratama Saanin (206080025)

dr. Dyah Arum Maharani (206080022)

PEMBIMBING:

DR. dr. Grace Sabrina Rumengan, MARS

PROGRAM PASCA SARJANA

ADMINISTRASI RUMAH SAKIT

UNIVERSITAS RESPATI INDONESIA

2021

1
BAB I
PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG
Pelaksanaan pekerjaan pembangunan dan renovasi adalah pekerjaan yang melibatkan berbagai unsur
keilmuan diantaranya, sumber daya manusia (tenaga kerja), teknologi yang mencakup peralatan dengan
metode kerja dan disiplin ilmu sosial serta sistem pengelolaan yang mendukung terlaksananya
pekerjaan pembangunan dan renovasi. Upaya pengendalian kecelakaan pembangunan dan renovasi harus
memperhatikan semua unsur tersebut diatas.

Dasar pelaksanaan keselamatan dan kesehatan kerja di jasa pembangunan dan renovasi adalah: Undang-
Undang No. 18 Tahun 1999 tentang Jasa Kontruksi, Undang-Undang No.1 Tahun 1970 tentang keselamatan
kerja, Peraturan Menteri Kesehatan No 66 Tahun 2016 tentang K3 rumah sakit, peraturan Pemerintah
No. 29/2000 Pasal 30 ayat (1), Demikian juga dengan Pedoman Teknis K3 Kontruksi Bangunan
dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Menteri Pekerjaan Umum No. 174/MEN/1986 dan
104/KPTS/1986. Walaupun keselamatan dan kesehatan kerja ditempat kegiatan pembangunan dan
renovasi telah didukung, oleh peraturan dan perundang-undangan, standar nasional maupun internasional
lainnya, namun kecelakaan di bidang kontruksi tetap tinggi. Kedua proses tersebut menimbulkan resiko
terkait dengan keselamatan di Rumah Sakit. Untuk itu, diperlukan panduan keselamatan dalam pembangunan
(PCRA) agar pengerjaan pembangunan dan renovasi dapat berlangsung tanpa menimbulkan bahaya
terhadap pasien, staf maupun pengunjung Rumah Sakit.

B. Tujuan

1. Sebagai acuan dalam pelaksanaan pembangunan maupun renovasi di lingkungan Rumah


Sakit.
2. Mencegah dan pengendalian bahaya selama berlangsungnya pengerjaan proyek
3. Sebagai acuan untuk mengevaluasi pelaksanaan program keselamatan dan kesehatan kerja.
4. Meningkatkan mutu pelayanan Rumah Sakit meliputi, kualitas pelayanan, manajemen risk
clinical govermance

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFINISI
PCRA merupakan bagian yang penting pada perencanaan renovasi, kontruksi dan pemeliharaan
bangunan di rumah sakit. Assessment PCRA mulai dilakukan sebelum pekerjaan proyek dimulai dan
assesment meliputi seluruh aktivitas pekerjaan dari peletakan batu pertama hingga serah terima
gedung. Pengurus Komite Pembina Kesehatan dan Keselamatan Kerja (PK3) akan melakukan
assessment PCRA secara proaktif sejak fase awal desain perencanaan sampai fase akhir proyek
untuk semua renovasi, kontruksi dan proyek-proyek pemeliharaan banguan. Dalam pelaksanaannya
Komite K3 dibantu oleh bagian umum, PSRS, penaggung jawab proyek dan pengawas proyek yang akan
bersama-sama mengawasi jalannya kontruksi berlangsung serta memantau berjalannya sistem
pencegahan dan pengendalian infeksi. Assessment PCRA difokuskan terutama pada pencegahan,
selain itu pemantauan, pengujian, dan intervensi ketika ter identifikasi terjadinya suatu masalah.

Proses pembangunan dan renovasi merupakan hal yang tidak terhindarkan dari operasional rumah
sakit. Adapun proses yang ada pada PCRA renovasi bangunan adalah:
a. Pembangunan
Proses membuat struktur bangunan maupun prasarana yang sebelumnya tidak ada dalam pembangunan
Rumah Sakit menjadi ada.
b. Renovasi
Proses perbaikan suatu struktur bangunan maupun prasarana yang sebelumnya sudah ada dalam
bangunan Rumah Sakit.
c. Sistem HVAC (Heating Ventilation, Air Conditioning)/ Sistem Tata Udara
Sistem yang mengondisikan lingkungan melalui pengendalian suhu, kelembaban, arah pergerakan
udara dan mutu udara.
d. Kelembaban nisbi
Parameter untuk menyatakan banyaknya uap di dalam udara berupa nisbah antara tekanan uap yang ada
saat itu dan tekanan uap maksimum yang mungkin dicapai dalam suhu dan tekanan udara saat itu.

e. Kelembaban Udara

Banyaknya kandungan uap di atmosfer.

3
f. ICRA (Infection Control Risk Assesment)
Proses untuk menentukan potensial terjadinya penularan infeksi yang dapat terjadi dari udara dan air
melalui kontaminasi geologis di fasilitas selama adanya kegiatan pemeliharaan, pembongkaran,
perbaikan.

Pembangunan dan renovasi bangunan dapat mempertimbangkan :


a. Identifikasi hazard
b. Analisa Resiko terkait hazard tersebut
c. Menentukan/ memutuskan cara untuk mengeliminasi dan mengendalikan hazard Suatu kegiatan
membangun sarana atau prasarana dalam sebuah bidang arsitektur atau tekhnik sipil.

B. IDENTIFIKASI PERENCANAAN PEMBANGUAN ATAU RENOVASI


1. Fasilitas yang akan dibangun
Pembanguan/renovasi diluar gedung atau didalam gedung dengan menyebutkan unit atau area.
2. Luas area yang akan dibangun
Disebutkan dengan besaran ukuran misalkan m2.
3. Material apa yang digunakan, contoh : semen, kayu, batu bata dll.
4. Lama perkerjaan : hari, minggu, bulan, atau tahunan.
5. Unit terkait dalam pembuatan pembangunan atau renovasi.
6. Ijin-ijin yang terkait dengan pembanguan atau renovasi contohnya: IMB, Ijin penggunaan air
tanah dll
7. Hasil koordinasi atau notulen rapat dengan komite PK3RS dan KPPI
8. Potensi kecelakaan kerja yang kemungkinan terjadi seperti : terjatuh, tertimpa, terpotong, terlindas, dll

C. PENILAIAN RESIKO PEMBANGUNAN ATAU RENOVASI TERHADAP PELAYANAN


Penilaian dampak :
a. Penilaian dampak dilakukan seobjektif mungkin dengan mengumpulkan informasi sebelum
menilai resiko dari suatu aktifitas.
b. Informasi tentang suatu aktifitas (durasi, frekuensi, lokasi dan siapa yang melakukan).
c. Tindakan pengendalian resiko yang telah ada peralatan atau mesin yang digunakan untuk melakukan
aktifitas.

4
D. LANGKAH-LANGKAH PCRA RENOVASI/PEMBANGUNAN
Langkah 1. Meeting Kordinasi Proyek
Adalah melakukan pertemuan dengan seluruh pihak terkait proyek renovasi/pembangunan. Saat
pertemuan ini dibahas mengenai proyek yang akan dilaksanakan, mulai dari denah proyek, jadwal proyek,
pekerja proyek dan jenis proyek.

Langkah 2. Identifikasi Bahaya dan Penilaian Resiko


Selanjutnya adalah tahap identifikasi bahaya di setiap kegiatan proyek, dari peletakan batu pertama
hingga serah terima hasil pekerjaan. Pada tahap ini diharapakkan kontraktor menyerahkan atau
menjelaskan seluruh tahapan proses pembangunan/renovasi. Kemudian Tim K3 akan melakukan identifikasi
bahayanya dan penilaian resikonya. Risiko yang sudah teridentifikasi harus ditentukan peringkatnya
(grading) dengan memperhatikan :
a. Tingkat peluang / frekuensi kejadian (likelihood)

TINGKAT DESKRIPSI PELUANG / FREKUENSI


RISIKO
1 Sangat jarang/ rare (> 5 tahun/kali)

2 Jarang/unlikely (> 2 – 5 tahun/kali)

3 Sedang (1 -2 tahun/kali)

4 Sering/Likely (beberapa kali/tahun)

5 Sangat sering/ almost certain (tiap minggu/ bulan)

5
b. Tingkat dampak yang dapat / sudah ditimbulkan (consequence)

Rating Tingkat Efek


Konsekuensi Konsekuen Terhadap Efek Terhadap Efek Pada Lingkungan
si Manusia Perusahaan
5 Fatality Cacat tetap Perusahaan Menimbulkan kerusakan
atau dapat berhenti/tutu p lingkungan yang sangat
mengakibatkan atau rugi mulai besar dan luas, bersifat
kematian dari Rp 1 milyar permanen (berdampak
keatas jangka panjang dan tidak
bisa direhabilitasi) serta
memberikan dampak
langsung terhadap
masyarakat luas
4 Berat Epidemic, Menghentikan Menimbulkan kerusakan
Cidera yang proses di beberapa lingkungan yang besar dan
berakibat hari departemen atau luas, terus menerus dalam
hilang dan rugi kurang dari Rp jangka waktu yang panjang
berakibat 1 milyar dan mulai dapat direhabilitasi tetapi
cacat sebagian dari Rp. mkemerlukan biaya yang
100.000.000 mahal
3 Sedang Cidera yang Menghentikan Menimbulkan kerusakan
berakibat hari proses di suatu lingkungan yang besar
hilang (lost bagian/departemen (melebihi nilai baku mutu
time) tanpa atau rugi kurang lingkungan/ketentuan
berakibat dari Rp 100.000.000 lainnya) dan luas
cacat dan mulai dari Rp. (menyebar sampai keluar
1.000.000 lokasi/tempat kejadian)
namun tidak bersifat
permanen.

6
2 Ringan Cidera ringan Menghentikan Menimbulkan kerusakan
mendapat P3K proses sebagian kecil lingkungan di wilayah
atau perawata atau rugi kurang setempat yang dapat
n medis dan dari Rp1.000.000 segera ditangani dan tidak
dapat bekerja dan mulai dari Rp 1 bersifat permanen
kembali di
waktu
shiftnya

1 Nearmiss Hanya Tidak ada pengaruh Tidak ada polusi yang


memerlukan signifikan dan dapat
penanganan diabaikan
P3K
.
Langkah 3. Analisa Resiko
Analisa dilakukan dengan menentukan score risiko tersebut untuk menentukan prioritas penanganan
dan level manajemen yang harus bertanggung jawab untuk mengelola/mengendalikan risiko/
tersebut termasuk dalam kategori biru/hijau/kuning/merah.
1. Risiko atau insiden yang sudah dianalisis akan dievaluasi lebih lanjut sesuai skor dan grading
yang didapat dalam analisis.
2. Pemeringkatan memerlukan keterampilan dan pengetahuan yang sesuai, dan meliputi proses
berikut :
a. Menilai secara obyektif beratnya/dampak/akibat dan menentukan suatu skor.
b. Menilai secara obyektif kemungkinan/peluang/frekuensi suatu peristiwa terjadi dan menentukan
suatu skor.
c. Mengalikan dua parameter untuk memberi skor risiko.

3. Penilaian risiko akan dilaksanakan sebagai berikut.


a. Resiko dinilai oleh Tim K3, yang akan mengidentifikasi bahaya, efek yang mungkin terjadi dan
pemeringkatan risiko.
b. Resiko dinilai oleh unit/bagian/instalasi/bagian/komite terkait.

Setelah resiko ditetapkan, maka kemudian resiko akan dilakukan grading/pemeringkatan untuk

7
mendapatkan nilai tingkat peluang terjadi dan tingkat dampak nya. Setelah didapat, maka akan
dikalikan dengan rumus berikut

SKOR RISIKO = DAMPAK X PELUANG

4. Analisa Resiko
a. Resiko dinilai oleh Tim K3
b. Resiko dinilai oleh unit/bagian/instalasi/bagian/komite terkait.

Setelah mendapatkan skor resiko, maka Tim K3 akan menganalisa resiko tersebut dengan
menggunakan Risk Grading Matriks.

8
Potencial Concequences
Nearmiss 1Ringan 2 Sedang 3 Berat 4 Fatal 5
Frekuensi/Likelyhood
Sangat Sering Terjadi Moderate Moderate High Ekstrem Ekstrem
(Tiap Minggu/Bulan)
5
Sering Terjadi Moderat e Moderat e High Ekstrem Ekstrem
(Beberapa
kali/tahun)
4
Sedang (Sekali Low Moderat e High Ekstrem Ekstrem
dalam 1-2
tahun)
3
Jarang Terjadi Low Low Moderat e High Ekstrem
(Terjadi dalam 2-5
tahunsekali)
2
Sangat Jarang Terjadi Low Low Moderat e High Ekstrem
(Terjadi >5 tahun
sekali)
1

Keterangan :
Ekstrem: Harus selalu monitor (Setiap akan ada pekerjaan terkait/setiap hari) Tinggi: Harus selalu
dimonitor (seminggu sekali).
Moderate: Secara periodik dimonitor (Sebulan sekali) Low: Sesekali dimonitor (setiap enam bulan
sekali).

Langkah 4. Menentukan Jenis Pengendalian Resiko


Setelah resiko sudah ter analisa, maka tahap selanjutnya adalah menentukan jenis pengendalian resiko.

9
Menurut Hierarki Pengendalian Bahaya, ada lima jenis cara pengendalian bahayayaitu
1. Eliminasi
2. Subtitusi
3. Rekayasa
4. Administrasi
5. Alat Pelindung Diri (APD)

Langkah 5. Menentukan penanggung jawab dan tanggal penyelesaian pengendalian resiko


Penanggung jawab merupakan orang yang ditunjuk untuk melaksanakan langkah pengendalian resiko
danuntuk tanggal penyelesaian adalah waktu yang ditentukan untuk batas akhir pengerjaan langkah
perbaikan sebelum pekerjaan proyek dilaksanakan.

Langkah 6. Pengesahan PCRA


Pengesahan PCRA dilakukan setelah dokumen PCRA lengkap. Dokumen PCRA sendiri terdiri dari:
1. Form PCRA
2. Dokumen ICRA
3. Form Inpeksi Proyek
Setelah dokumen tersebut lengkap, kemudian di tanda tangani oleh Pimpinan Proyek, Ketua
Komite K3 dan Direktur RS

BAB III

10
PCRA DAN ICRA

Kontruksi/pembangunan baru di sebuah rumah sakit dapat berdampak pada setiap orang di
rumah sakit dan pasien dengan kerentanan tubuhnya dapat menderita dampak terbesar.
Kebisingan dan getaran yang terkait dengan kontruksi dapat mempengaruhi tingkat kenyamanan
pasien dan istirahat/tidur pasien dapat pula terganggu. Debu konstruksi dan bau dapat mengubah
kualitas udara yang dapat menimbulkan ancaman khususnya bagi pasien dengan ganggungan
pernapasan. Karena itu, rumah sakit perlu melakukan asemen risiko setiap ada kegiatan
kontruksi, renovasi maupun demolisi/pembongkaran bangunan. Asesmen risiko harus sudah
dilakukan pada waktu perencanan atau sebelum pekerjaan kontruksi, renovasi, demolisi
dilakukan, sehingga pada waktu pelaksanaan, sudah ada upaya pengurangan risiko terhadap
dampak dari kontruksi, renovasi, demolis tersebut.

Dalam rangka melakukan asesmen risiko yang terkait dengan proyek konstruksi baru, rumah
sakit perlu melibatkan semua departemen/unit/instalasi pelayanan klinis yang terkena dampak
dari kontruksi baru tersebut, konsultan perencana atau manajer desain proyek, Komite Kesehatan
dan Keselamatan Kerja Rumah Sakit (K-3 RS), Komite Pencegahan dan Pengendalian Infeksi
(PPI), Bagian Rumah Tangga/Bagian Umum, Bagian Teknologi Informasi, Bagian Sarana
Prasarana/IPSRS dan unit atau bagian lainnya yang diperlukan. Risiko terhadap pasien, keluarga,
staf, pengunjung, vendor, pekerja kontrak, dan entitas diluar pelayanan dapat bervariasi
tergantung pada sejauh mana kegiatan konstruksi dan dampaknya terhadap infrastruktur dan
utilitas. Sebagai tambahan, kedekatan pembangunan ke area pelayanan pasien dapat berdampak
pada meningkatnya tingkat risiko. Misalnya, jika konstruksi melibatkan gedung baru yang
terletak terpisah dari bangunan yang menyediakan pelayanan saat ini, maka risiko untuk pasien
dan pengunjung cenderung menjadi minimal. Risiko dievaluasi dengan melakukan asesmen
risiko pra-konstruksi, juga dikenal sebagai PCRA (Pra-Contruction Risk Assessment). Asesmen
risiko pra konstruksi secara komprehensif dan proaktif digunakan untuk mengevaluasi risiko dan
kemudian mengembangkan rencana agar dapat meminimalkan dampak kontruksi, renovasi atau
penghancuran (demolish) sehingga pelayanan pasien tetap terjaga kualitas dan keamanannya.
Asesmen Risiko Pra Kontruksi (PCRA) meliputi area – area sebagai berikut:

a) Kualitas udara;

11
b) Pengendalian infeksi; --> ICRA

c) Utilitas;

d) Kebisingan;

e) Getaran;

f) Bahan berbahaya;

g) Layanan darurat, seperti respon terhadap kode; dan

h) Bahaya lain yang mempengaruhi perawatan, pengobatan, dan layanan.

Selain itu, rumah sakit memastikan bahwa kepatuhan kontraktor dipantau, ditegakkan, dan
didokumentasikan. Sebagai bagian dari penilaian risiko, risiko pasien infeksi dari konstruksi
dievaluasi melalui asesmen risiko pengendalian infeksi yang juga dikenal sebagai ICRA
(infection control risk assessment). PCRA = ICRA plus. Pelaksanaan tidak lengkap atau tidak
efektif dari PCRA dapat meningkatkan biaya konstruksi untuk rumah sakit dan menempatkan
pasien, anggota staf dan pengunjung beresiko. Maka lebih baik untuk merencanakan
kemungkinan apapun dan mengelola proses dari awal sampai akhir. Telah diketahui bahwa
renovasi, konstruksi, dan beberapa kegiatan pemeliharaan & perbaikan memiliki potensi untuk
mempengaruhi proses perawatan pasien dalam lingkungan pelayanan . Tujuan dari proses
penilaian risiko Pra-Konstruksi ini adalah untuk mengidentifikasi potensi risiko yang bisa timbul
dari kegiatan ini dan untuk mengembangkan strategi mitigasi risiko untuk meminimalkan risiko
ini.. Pada akhir proses penilaian risiko seperangkat rekomendasi mitigasi risiko (RMR) akan
dihasilkan. RMR ini akan ditinjau oleh individu atau pihak yang menyelesaikan pekerjaan dan
akan menjadi bagian dari dokumentasi proyek.

Infection Control Risk Assessment: Matrix of Precautions for Construction & Renovation

12
LANGKAH PERTAMA : Menggunakan tabel berikut untuk melakukan identifikasi type/jenis
kontruksi kegiatan proyek (type a-d).

LANGKAH KEDUA : Identify the Patient Risk Groups:

13
LANGKAH KETIGA : IC Matrix - Class of Precautions: Construction Project by Patient Risk.

Catatan : Persetujuan IC diperlukan bila kegiatan kontruksi dan tingkat risiko menunjukkan kelas
III atau IV, maka prosedur pengendalian diperlukan.

LANGKAH KEEMPAT : Diperlukan deskripsi tindakan pengendalian infeksi berdasarkan


kelas.

14
15
LANGKAH KE 4 : Identifikasi daerah sekitar area proyek, menilai dampak potensial

16
LANGKAH KE 5 : Identifikasi kegiatan di tempat khusus misalnya ruang perawatan, ruang
farmasi/obat dst.

LANGKAH KE 6 : Identifikasi masalah yg berkaitan dengan : ventilasi, pipa ledeng, listrik


dalam hal terjadinya kemungkinan pemadaman.

LANGKAH KE 7: IdentifIkasi langkah-2 pencegahan , menggunakan penilaian sebelumnya,


apa jenis bariernya (misalnya bariernya dinding yang tertutup rapat).
Apakah HEPA filter diperlukan?

(Catatan : Selama dilakukan kontruksi maka Area yang di renovasi/kontruksi seharusnya


diisolasi dari area yang dipergunakan dan merupakan area negatif terhadap daerah sekitarnya).

LANGKAH KE 8 : Pertimbangkan potensial risiko dari kerusakan air. Apakah ada risiko
akibat merusak kesatuan struktur (misal : dinding, atap, plafon).

LANGKAH KE 9 : Jam Kerja : dapat atau pekerjaan akan dilakukan selama bukan jam
pelayanan pasien.

LANGKAH KE 10 : Buat rencana yang memungkinkan untuk jumlah ruang isolasi/ruang


aliran udara negatif yang memadai.

LANGKAH KE 11 : Buat rencana yang memungkinkan untuk jumlah dan tipe tempat/bak cuci
tangan.

LANGKAH KE 12 : Apakah PPIRS/IPCN setuju dengan jumlah minimum bak/tempat cuci


tangan tersebut.

LANGKAH KE 13 : Apakah PPIRS/IPCN setuju dengan rencana relatif terhadap utilitas


ruangan bersih dan kotor .

LANGKAH KE 14 : Rencanakan untuk membahas masalah pencegahan tersebut dengan tim


proyek (misalnya arus lalu lintas, rumah tangga, pembersihan puing
(bagaimana dan kapan).

17
BAB IV

Contoh Manajemen Risiko Non Klinis Renovasi Gedung RS

Pra Constraction Risk Assesment ( PCRA)

18
I. IDENTITAS PEKERJAAN
Nama Pekerjaan : Perbaikan Pipa hydrant
Waktu Pelaksanaan : ± 4 minggu
Jumlah Tenaga Kerja : 7 orang
Pengawas Pelaksana : Bp XX
Kontraktor Pelaksana : XX

II. HAZARD IDENTIFICATION AND RISK ASSESMENT


Tipe Konstruksi : Renovasi/ Pembongkaran
Tingkat Risiko : Sedang
Kelas Pengendalian : III
Persyaratan K3 pada saat proses pembongkaran, renovasi dan konstruksi/embangunan
gedung :
1. Terdapat pagar pembatas proyek dengan area perawatan RS. Pagar dipasang
setinggi minimal 2 meter dengan bahan tahan lama.
2. Terdapat rambu-rambu dan signase berupa :
a. Papan nama proyek
b. Symbol dan lambang K3
c. Tanda larangan merokok
d. Tanda area/ daerah dengan akses terbatas
3. Lokasi proyek minimal mempunyai 2 kases utama keluar yang mudah
teridentifikasi sebagai jalur evakuasi dan pintu keluar masuk area proyek
4. Terdapat akses pasien sementara yang memadai selama proses konstruksi
berlangsung
5. Area proyek harus menerapkan 5 R ( Ringkas, Rapi, Resik, Rawat dan Rajin)
6. Terdapat kamar mandi sementara untuk pekerja proyek
7. Pekerja konstruksi dapat teridentifikasi ( ID Card/ seragam) dan menggunakan
alat pelindung diri (APD) yang sesuai dan disediakan oleh kontraktor pelaksana
8. APD yang digunakan di lokasi proyek minimal helm proyek, ear plug, sepatu
safety dan sarung tangan

19
9. Kontraktor menyediakan alat pemadam api ringan (APAR)yang siap digunakan
dilokasi proyek
10. Kontraktor menyediakan kotak P3K yang memadai dan siap digunakan (minimal
tersedia perban steril, antiseptic, plester, gunting dll)
11. Proyek diharapkan memiliki kegiatan rapat rutin dan safety briefing untuk pekerja
12. Kontraktor memastikan keamanan sumber listrik yang digunakandalam proses
konstruksi
13. Area RS bebas dari asap rokok dan api
14. Pengukuran fisik pada area proyek dan lingkungan sekitar proyek sesuai dengan
persyaratan :
a. Kebisingan melebihi nilai ambang batas (NAB : 85 dB)
b. Getaran alat kerja yang kontak langsung maupun yang tidak langsung pada
lengan dan tangan pekerja tidak melebihi 4m/det2
c. Getaran alat kerja yang kontak langsung maupun yang tidak langsung pada
seluruh tubuh tidak melebihi 0,5m/det2
d. Kandungan debu didalam maksimal udara area lokasi proyek dan lingkungan
sekitarnya tidak melebihi 0,5 mg/m2
15. Pada proyek yang menggunakan B3 (bahan berbahaya dan beracun) harus
melakukan pengelolaan B3 sesuai dengan standar prosedur operasional sebagai
berikut :
a. Tempat penyimpanan B3 harus terpisah dari bahan lain dan dirancang sesuai
karakteristik B3
b. Tempat penyimpanan B3 wajib dilengkapi dengan system tanggap darurat
c. B3 yang disimpan harus memiliki MSDS (material safety data sheet)
d. B3 yang disimpan dapat diidentifikasi jenis dan karakteristiknya
e. Apabila kegiatan proyek memiliki limbah B3, maka tempat pembuangannya
harus terpisah dari limbah laindan berkoordinasi dengan bagian sanitasi
f. Apabila proyek menggunakan B3 atau menghasilkan limbah B3 wajib
melaporkan ke Tim K3 da Kesling
16. Kontraktor pelaksana melakukan sosialisasi pada seluruh pekerja proyek
mengenai :

20
a. Peosedur evakuasi pada saat terjadi bencana
b. Lokasi APAR
c. Lokasi titik kumpul aman
d. Prosedur penanggulangan kebakaran
e. Kode kode emergency yang ditetapkan Rumah Sakit :
Kode Merah/ Red Code : Kebakaran
Kode Biru/ Blue Code : Kegawatdaruratan medis/ Henti Jantung
Kode Ungu/ Purple Code : Evakuasi
Kode Hitam/ Black Code : Ancaman Bom
Kode Pink/ Pink Code : Penculikan Bayi
Kode Hijau/ Green Code : Gempa Bumi
17. Bangunan yang direnovasi sesuai standar K3 antara lain :
a. Setiap bangunan mempunyai minimal 2 akses keluar sebagai jalur evakuasi
b. Setiap pintu harus mengarah/mengayun keluar
c. Kamar mandi sesuai dengan ketentuan, pintu harus mengarah/ mengayun
keluar, menggunakan kunci K3 yang terdapat handrail dan dilengkapi dengan
nures call
d. Setiap stop kontak dilengkapi dengan proteksi (chaild protection)
e. Bangunan dilengkapi dengan system proteksi kebakaran seperti instalasi fire
alarm, smoke detector, hydran, springkler
18. Kontraktor wajib melaporkan kejadian kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja
ke Tim K3 RS.

Pihak Kontraktor Pihak PPIRS Pihak IPSRS Pihak K3RS

(………………………) (…………………) (…………………)


(………………….)

21
BAB V
KESIMPULAN

 Sesuai dengan PERMENKES, Rumah Sakit wajib untuk melakukan pengendalian


terhadap bahaya dan risiko pada saat kontruksi atau renovasi yang pada umumnya dilakukan
oleh kontraktor di rumah sakit.

22
 PCRA adalah sebuah tiket untuk para kontraktor dalam memulai proyeknya, agar segala
bahaya dan resiko bisa terdokumentasi dengan baik sehingga mencegah terjadinya kecelakaan
kerja dan penyakit akibat kerja.
 Petugas K3RS juga wajib kordinasi dengan PPI (Pencegahan dan Pengendalian Infeksi)
untuk pembuatan ICRA dan kordinasi dengan bagian kontraktor/umum dalam monitoring
keberjalanan proyek.
 Harus ada kebijakan renovasi dan kontruksi di RS.
 Setiap RS yang melakukan renovasi maka harus membuat PCRA (ICRA plus).
 Proyek ini sudah selesai dan berjalan sesuai dengan permenkes yang di tetapkan.

23

Anda mungkin juga menyukai