Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia menganut sistem otonomi daerah dalam pelaksanaan pemerintahannya.


Sistem otonomi daerah memungkinkan daerah mempunyai hak dan kewajiban untuk
mengatur daerahnya sendiri. Tetapi, dalam melaksanakan otonomi, daerah masih tetap
dikontrol oleh pemerintah pusat serta sesuai dengan undang-undang.

Dalam Dasar-dasar Ilmu Politik (2003), Miriam Budiardjo menjelaskan


pemerintah pusat mempunyai wewenang menyerahkan sebagian kekuasaannya ke daerah
berdasarkan hak otonomi. Penyerahan sebagian kekuasaan itu karena Indonesia adalah
negara kesatuan dengan sistem desentralisasi. Namun, pada tahap terakhir kekuasaan
tertinggi tetap di tangan pemerintah pusat.

Otonomi daerah dilaksankan sebagai bentuk dari upaya dalam mewujudkan


kesejahteraan rakyat di daerah, dimana pemerintah daerah dapat menyesuaikan
pengembangan daerah dengan potensi serta kekhasan daerahnya sendiri-sendiri. Dengan
kata lain, pemerintah daerah dapat berkreasi maupun berekspresi dengan bebas dalam
upaya mewujudkan pembangunan di daerahnya, dengan catatan tidak melanggar
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dengan demikian, pemerintah daerah berkesempatan untuk membuktikan


kemampuannya dalam melaksanakan wewenang yang pada dasarnya sudah menjadi hak
bagi daerah, karena maju atau tidaknya suatu daerah bergantung pada kemampuan serta
kemauan dalam melaksanakan pemerintah daerah.

Seperti yang telah kita tahu, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di
dunia. Indonesia memiliki lebih dari 17.000 pulau yang tersebar serta dibagi menjadi 33
provinsi yang ada. Akan sangat tidak efektif apabila negara kepulauan seperti Indonesia
memiliki pemerintahan yang hanya terpusat pada pemerintah pusat saja. Maka dibuatlah
sistem otonomi daerah supaya jalannya pemerintaha di Indonesia dapat berjalan lebih
efektif lagi.

Dengan adanya otonomi daerah, maka setiap daerah yang ada di Indonesia dapat
membuat kebijakan masing-masing daerah mereka sendiri, tetapi tidak bertentangan
dengan UUD 1945 serta tetap berdasar pada Pancasila. Walaupun diadakan sistem
otonomi, tetapi pemerintahan Indonesia tetaplah terpusat pada pemerintah pusat yang
berkedudukan di ibukota.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa yang dimaksud dengan Otonomi Daerah?

2. Apa yang melatarbelakangi Otonomi Daerah?

3. Apa tujuan dan prinsip Otonomi Daerah?

4. Bagaimana perkembangan UU tentang Otonomi Daerah?

5. Apa yang dimaksud Model Desentralisasi?

6. Bagaimana pembagian urusan pemerintahan?

7. Apa hubungannya Otonomi Daerah dan Demokratisasi?

8. Bagaimana pengimplementasian Otonomi Daerah?

9. Bagaimana pengajian terhadap kasus Otonomi Daerah?

1.3 Manfaat Penulisan

1. Mengetahui pengertian Otonomi Daerah.


2. Mengetahui latar belakang Otonomi Daerah.
3. Mengetahui tujuan dan prinsip Otonomi Daerah.
4. Mengetahui perkembangan UU Otonomi Daerah.
5. Mengetahui Model Desentralisasi.
6. Mengetahui pembagian urusan pemerintahan.
7. Mengetahui hubungan Otonomi Daerah dan Demokratisasi.
8. Mengetahui pengimplementasian Otonomi Daerah.
9. Mengetahui kasus kasus Otonomi Daerah.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Otonomi Daerah

Istilah otonomi secara etimologi berasal dari bahasa Latin yaitu “autos” yang
berarti “sendiri”, dan “nomos” yang berarti “aturan”. Sehingga otonomi diartikan
pengaturan sendiri, mengatur atau memerintah sendiri. Dalam Undang-Undang No32
Tahun 2004 Pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Menurut
Suparmoko mengartikan otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat.

Otonomi Daerah sering disamakan dengan kata desentralisasi, karena biarpun


secara teori terpisah namun dalam praktiknya keduanya sukar dipisahkan. Desentralisasi
pada dasarnya mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ
penyelenggara negara, sedang otonomi daerah menyangkut hak yang mengikuti.
Perserikatan Bangsa-Bangsa mendefinisikan desentralisasi adalahwewenang dari
pemerintah pusat yang berada di ibu kota, melalui cara dekonsentrasi antara lain
pendelegasian kepada pejabat di bawahnya maupun pendelegasian kepada pemerintah
atau perwakilan daerah, sedang otonomi daerah yang merupan salah satu wujud
desentralisasi, adapun dalam arti luas, otonomi daerah adalah kemandirian suatu daerah
dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya
sendiri.

Pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai mandiri,


sedangkan dalam makna yang lebih luas diartikan sebagai berdaya. Otonomi daerah
dengan demikian berarti kemandrian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan keputusan
mengenai kepentingan daerahnya sendri. Menurut pendapat lain, bahwa otonomi daerah
adalah kewenangan otonomi daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat setempat menurut pelaksanaannya sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat,
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sedangkan yang dimaksud dengan daerah otonomi sendri adalah kesatuan


masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Salah satu aspek
penting otonomi daerah adalah pemberdayaan masyarakat, sehingga mereka dapat
berpatisipasi dalam proses perencanaan, pelaksanaan, penggerakan, dan pengawasan
dalam pengelolaan pemerintah daerah dalam penggunaan sumber daya pengelola dan
memberikan pelayanan prima kepada publik.

Pengertian otonomi daerah sendiri adalah kewenangan daerah otonom untuk


mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendri
berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang undangan Pasal 1
ayat 5 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, daerah otonom
selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batasan
daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan aspirasi masyarakat
dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia pasal 1 ayat 5 UU Nomor 32 tahun
2004 tentang Pemerintahan Daerah.

2.2 Latar Belakang Otonomi Daerah

Pengertian otonomi daerah mulai pada masa orde baru, otonomi daerah sendri
pada asas orde baru lahir tengah gejolak tuntutan daerah terhadap berbagai kewenangan
yang selama 20 tahun pemerintahan orde baru menjalankan mesin sentralistiknya.

Dalam UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian


disusul dengan UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa menjadi tiang utama
tegaknya sentralisasi kekuasaan orde baru Semua mesin partisipasi dan prakarsa yang
sebelumnya tumbuh sebelum orde baru, berkuasa secara perlahan dilumpuhkan di bawah
kontrol keluasaan. Stabilitas politik demi kelangsungan pertumbuhan ekonomi menjadi
alasan pertama bagi masa orde baru untuk mematahkan setiap gerak prakarsa yang
tumbuh dari rakyat sendri. Otonomi daerah muncul sebagai bentuk sentralisasi yang
sangat kuat di masa orde baru, berpuluh tahun sentralisasi pada era orde baru tidak
membawa perubahan dalam pengembangan kreativitas daerah, baik pemerintah maupun
masyarakat daerah, ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintahan pusat sangat
tinggi sehingga sama sekali tidak ada kemandirian perencanaan pemerintah daerah pada
saat itu.

Otonomi sendri mempunyai makna kebebasan dan kemandirian tetapi bukan


kemerdekaan, kebebasan terbatas atau kemandirian itu adalah wujud pemberian
kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan secara implisit definisi otonomi tersebut
mengandung dua unsur, yaitu adanya pemberian tugas dalam arti sejumlah pekerjaan yang
harus diselesaikan serta kewenangan untuk melaksanakannya, dan adanya pemberian
kepercayaan berupa kewenangan untuk memikirkan dan menetapkan sendiri berbagai
penyelesaian tugas itu.

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan


Daerah menyatakan bahwa otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonomi untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan
masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah otonom,
selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-
batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kebijakan otonomi daerah yang demikian itu merupakan kebijakan Negara yang
mendasari penyelenggaraan organisasi dan manajemen pemerintahan daerah. Artinya,
seluruh kebijakan dan kegiatan pemerintahan serta kebijakan dan kegiatan pembangunan
di daerah dilaksanakan menurut arah kebijakan yang ditetapkan dalam kebijakan Negara
tersebut. Pelaksanaan otonomi daerah itu tentu saja bukan sekedar membincangkan
mekanisme bagaimana menterjemahkan tujuan-tujuan policy, policy menurut Oxford
Dictionaries, policy adalah “a course or principle of action adopted or proposed by an
organization or individual” yang maksudnya haluan atau prinsip tindakan yang ditetapkan
atau diusulkan oleh organisasi atau individu. Policy atau kebijakan adalah suatu keputusan
yang ditetapkan mengenai sebuah kesepakatan diantara individu atau organisasi.

Pada masa pemerintahan Presiden Habibie melalui kesepakatan para anggota


Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilu Tahun 1999, ditetpkan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999
tentang Perimbangan Keuangan Pusat Daerah untuk mengkoreksi UU No.5 Tahun 1974
yang diangap sudah tidak sesuai dengan prinsip penyelengaraan pemerintah dan
perkembangan keadaan.

Kedua undang-undang tersebut merupakan skema otonomi daerah yang diterapkan


mulai Tahun 2001. Undang-undang ini diciptakan untuk menciptakan pola hubungan
yang demokratis antara pusat dan daerah. UndangUndang Pemerintahan Daerah bertujuan
untuk memberdayakan daerah dan masyarakatnya serta mendorong daerah
merealisasikan aspirasinya dengan memberikan kewenangan yang luas yang sebelumnya
tidak diberikan ketika masa orde baru. Paling tidak ada dua faktor yang berperan kuat
dalam mendorong lahirnya kebijakan otonomi daerah berupa UU No.22 Tahun 1999.

1. Faktor internal yang didorong oleh berbagai protes atas kebijakan poitik
sentralisme di masa lampau.
2. Faktor eksternal yang di pengaruhi oleh dorongan internasional terhadap
kepentingan investasi terutama untuk efisiensi dari biaya investasi yang tinggi
sebagai akibat korupsi dan rantai birokrasi yang panjang.

Secara khusus, pemerintahan daerah diatur dalam Undang-Undang Nomor 22


Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, karena dianggap tidak sesuai
lagidengan perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan penyelenggaraan
otonomidaerah, maka aturan baru pun dibentuk untuk menggantikannya selama lima
tahun pelaksanaan UU No.2 Tahun 1999, otnomi daerah telah menjadi kebutuhan politik
yang penting untuk memajukan kehidupan demokrasi.

Namun demikian, otonomi daerah juga tidak sepi dari kritik beberapa di antaranya
adalah, masalah yang berkaitan dengan penyalahgunaan kekuasaan yang di tandai dengan
korupsi “berjamaah” di berbagai kabupaten dan propinsi atas alasan apapun. Bukan hanya
modus operandinya yang berkembang, tetapi juga pelaku, jenis, dan nilai yang dikorupsi
juga menunjukkan tingkatan yang lebih variatif dan intensif dari masa sebelum otonomi
diberlakukan.

Persoalan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam untuk


kepentingan pendapatan di asli daerah. Eksploitasi sumber daya alam untuk memperbesar
PAD berlangsung secara masif ketika otonomi daerah di berlakukan. Bukan hanya itu,
alokasi kebijakan anggaran yang dipandang tidak produktif dan berkaitan langsung
dengan kepentingan rakyat juga marak diberbagai daerah. Persoalan yang berkaitan
dengan hubungan antara pemerintah provinsi dan kabupaten, otonomi daerah yang berada
di kabupaten menyebabkan koordinasi dan hirarki kabupaten berada dalam stagnasi.

Akibatnya posisi dan peran pemerintah menjadi sekunder dan kurang diberi tempat
dari kabupaten menjalankan kebijakan-kebijakannya tidak hanya menyangkut hubungan
antara provinsi dan kabupaten tetapi juga antara kabupaten dengan kabupaten,
keterpaduan pembangunan untuk kepentingan satu kawasan seringkali macet akibat dari
egoisme lokal terhadap kepentingan pembangunan wilayah lain. Konflik lingkungan atau
sumberdaya alam yang kerap terjadi antar kabupaten adalah gambaran bagaimana
otonomi hanya dipahami oleh kabupaten secara sempit dan primordial.

Persoalan yang berhubungan dengan hubungan antara legislative dan eksekutif


terutama berkaitan dengan wewenang legislatif, ketegangan yang sering kali terjadi antara
legislatif dalam pengambian kebijakan menyebabkan berbagai ketergantungan
berkembang selama pelaksanaan otonomi Legislatif sering dituding sebagai penyebab
berkambangnya stagnasi politik di tingkat lokal pada saat rakyat Indoneisa disibukan
dengan palaksanaan pemilu 2004. Departemen Dalam Negeri dan Dewan Perwakilan
Rakyat melakukan revisi terhadap UU No.2 Tahun 1999.

Dilihat dari proses penyusunan revisi, paling tidak ada dua catatan yang dibawa
oleh UU yang baru UU No 32 Tahun 2004 yakni, proses penyusunan yang tergesa-gesa
dan tertutup di tengah-tengah rakyat sedang melakikan hajatan besar pemilu. Padahal UU
otonomi daerah adalah kebijakan yang sangat penting dan menyangkut tentang kualitas
pelaksanaan partisipaso rakyat dan pelembagaan demokrasi. UU tersebut disusun oleh
DPR hasil pemilu 2004 dimana pada waktu penyusunan revisi tersebut anggota DPR
sudah mau demisioner tanggal 29 September 2004 bersamaan dengan berakhirnya masa
jabatan angota DPR periode 1999-2004.

Sidang paripuna DPR menyetujui rancangan perubahan revisi terhadap UU No.22


Tahun 1999 menjadi UU NO. 32 Tahun 2004, secara defacto DPR pemilu 1999 sudah
kehilangan relevansinya untuk menyusun dan mengagendakan pembahasan kebijakan
yang sangat krusial dan pada 15 Oktober 2004, Presiden Megawati Soekarnoputi
mengesahkan Unadng-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Diharapkan dengan adanya kewenangan di pemerintah daerah, maka akan membuat
proses pembangunan, pemberdayaan, dan pelayanan yang signifikan.

Prakarsa dan kreativitasnya terpacu karena telah diberikan kewenangan untuk


mengurusi daerahnya. Sementara di sisi lain, pemerintah pusat tidak lagi terlalu sibuk
dengan urusan-urusan domestik. Ini agar pusat bisa lebih berkonsentrasi pada perumusan
kebijakan makro strategis, serta lebih punya waktu untuk mempelajari, memahami,
merespons, berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat darinya. Peraturan
pertama kali yang mengurusi tentang pemerintahan daerah pasca proklamasi kemerdekaan
adalah UU Nomor 1 Tahun 1945.

Di tetapkannya undang-undang ini merupakan hasil dari pertimbangan sejarah


pemerintahan di masa-masa kerajaan serta pada masa pemerintahan kolonialisme. Dalam
undang-undang ini di tetapkan 3 jenis daerah otonomi yaitu Karisidenan, Kabupaten,
Kota, kurang lebih 3 Tahun UU No.1 Tahun 1945 ini di ganti dengan Undang-Undang
No.22 Tahun 1948. Undang Undang Nomer 22 Tahun 1948 yang berfokus pada susunan
pemerintahan daerah yang demokratis, yakni berupa ditetapkanya 2 (dua) jenis daerah
otonom yaitu; Otonomi biasa dan Otonomi Istimewa, serta 3 tingkatan daerah otonomi
yakni Propinsi, kabupaten/kota besar dan desa/kota kecil. Masa berlaku Undang -Undang
Nomer 22 Tahun 1948 ini berakhir dengan disahkannya Undang-Undang Nomer 1 tahun
1957. Undang-Undang Nomer 1 Tahun 1957 adalah pengaturan tunggal yang berlaku
secara seragam di seluruh Indonesia. Perjalanan sejarah otonomi daerah di Indonesia
selalu ditandai dengan lahirnya suatu perundang-undangan yang menggantikan produk
sebelumnya.

Pergantian UU No.5 Tahun 1974 menjadi UU No.22 Tahun 1999 adalah adanya
perubahan mendasar pada format otonomi daerah dan substansi desentralisasi. Prinsip
yang dipakai dalam pemberian otonomi kepada daerah bukan lagi otonomi yang riil dan
seluas-luasnya tetapi otonomi yang nyata dan bertanggung jawab.Perkembangan otonomi
tentang otonomi daerah di Indoneisa selalu mengalami perubahan dalam rangka
menerapkan otonomi daerah yang secara formal sudah berlangsung sejak tanggal 18
agustus 1945.

Ketika diundangkannya UUD 1945 pada masa awal kemerdekaan Negara


Republik Indonesia. Namun demikian, perlu juga dicermati pengaturan masa sebelum
kemerdekaan Republik Indonesia, yaitu pada Penjajahan Belanda dan Jepang yang juga
berpengaruh pada pengaturan dan penyelenggaraan pemerintahan Republik Indonesia.
Oleh karenanya perlu ada tinjauan sejarah otonomi daerah baik sebelum kemerdekaan
maupun sesudah merdeka pada masa kemerdekaan Republik Indonesia, senelum
proklamasi dikumandangkan telah berdiri sebuah lembaga di Indonesia setingkat lembaga
kenegaraan berupa Panitia Persiapan Kemerdekaan Indoneisa (PPKI).

Telah terbentuk sebagai Lembaga Kebangsaan Indionesia pada Tanggal 9 Agustus


1945 oleh tokoh-tokoh Bangsa Indoneisa. Sejak Tanggal 15 Agustus 1945 lembaga ini di
pimpin oleh Soekarno Hatta. Secara normatif Negara Indonesia terbentuk setelah ikrar
Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia oleh Soekarno Hatta pada Tanggal 17
Agustus 1945 dan UUD Negara Republik Indoneisa Tahun 1945 pada Tanggal 18
Agustus 1945 sebagai konsitusi tertinggi di Negara Republik Indonesia.

Mengenai asas-asas yang ada di dalam otonomi daerah antara lain sentralisasi,
dekonsentrasi, desentralisasi, dan tugas pembantuan atau medebewind. Sentralisasi sendri
berasal dari bahasa Inggris yang berakar dari kata Centre yang artinya adalah pusat atau
tengah. Sentralisasi adalah memusatkan seluruh wewenang kepada sejumlah kecil
manajer atau yang berada di posisi puncak pada suatu struktur organisasi. Sentralisasi
banyak digunakan pada pemerintahan lama di Indonesia sebelum adanya otonomi daerah.
Sentralisasi adalah seluruh wewenang terpusat pada pemerintah pusat.

Interpretasinya bahwa sistem sentralisasi itu adalah bahwa seluruh decition


keputusan atau kebijakan dikeluarkan oleh pusat, daerah tinggal menunggu instruksi dari
pusat untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan yang telah digariskan menurut UU.
Sentralisasi adalah memusatkan semua wewenang kepada sejumlah kecil manager atau
yang berada di suatu puncak pada sebuah struktur organisasi. sentralisasi banyak
digunakan pemerintah sebelum otonomi daerah. kelemahan sistem sentralisasi adalah
dimana sebuah kebijakan dan keputusan pemerintah daerah dihasilkan oleh orang-orang
yang berada di pemerintah pusat sehingga waktu untuk memutuskan suatu hal menjadi
lebih lama.

2.3 Tujuan dan Prinsip Otonomi Daerah


Dibawah ini merupakan tujauan dari dilakukannya Otonomi Daerah diantaranya
sebagai berikut :

1. Keadilan Nasional
2. Mendorong pemberdayaan masyarakat.
3. Menjaga hubungan baik diantara pusat dengan daerah, antar pusat, dan juga antar
daerah dalam rangka keutuhan NKRI.
4. Pemerataan wilayah daerah.
5. Guna mengembangkan kehidupan yang demokrasi.
6. Guna mengembangkan peran serta juga fungsi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
(DPRD).
7. Guna meningkatkan pelayanan masyarakat yang semakin baik.
8. Guna meningkatkan peran masyarakat didalam menumbuhkan prakarsa serta juga
kreativitas.

Sedangkan Apabila ditinjau dengan secara konsteptual, tujuan dari Otonomi


Daerah ini diantaranya untuk :

1. Tujuan politik dalam pelaksanaan otonomi daerah ialah upaya untuk dalam
mewujudkan demokratisasi politik dengan melalui partai politik dan juga DPRD.
2. Tujuan administratif dalam pelaksanaan otonomi daerah ini ialah adanya pembagian
urusan pemerintahan antara pusat dengan daerah, termasuk pembaharuan manajemen
birokrasi pemerintahan di daerah, dan juga sumber keuangan.
3. Tujuan ekonomi dalam pelaksanaan otonomi daerah ialah terwujudnya peningkatan
indeks pembangunan manusia ialah sebagai sarana peningkatan kesejahteraan
masyarakat Indonesia.

Prinsip-prinsip Otonomi Daerah ini diantaranya ialah sebagai berikut :

1. Prinsip Otonomi Seluas-luasnya


Dalam Otonomi daerah, daerah diberikan kebebasan didalam mengurus dan
juga dalam mengatur berbagai urusan pemerintahan yang melingkup kewenangan
pada seluruh bidang pemerintahan, kecuali pada kebebasan terhadap bidang politik
luar negeri, keamanan, moneter, peradilan, agama, keamanan, dan juga fiskal
nasional.
2. Prinsip Otonomi Nyata
Prinsip Otonomi Nyata ini maksudnya ialah daerah diberikan kebebasan
didalam menangani berbagai urusan pemerintahan itu dengan berdasarkan tugas,
wewenang, dan juga kewajiban yang senyatanya telah ada serta berpotensi dapat
tumbuh, hidup, berkembang serta sesuai dengan potensi yang ada dan juga ciri khas
daerah.
3. Prinsip Otonomi yang Bertanggung Jawab
Prinsip otonomi yang dalam sistem penyelenggaraannya itu harus sejalan
dengan tujuan yang ada serta maksud dari pemberian otonomi, yang pada dasarnya ini
guna untuk memberdayakan daerahnya masing-masing termasuk dalam meningkatkan
kesejahteraan rakyat.
2.4 Perkembangan UU Otonomi Daerah di Indonesia

Beberapa aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan pelaksanaan


Otonomi Daerah:

1. Undang-undang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan Di Daerah.


2. Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
3. Undang-undang No. 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Antara
Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Derah.
4. Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
5. Undang-undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbanagan Keuangan Antara
Pemerintahan Pusat dan Pemerintahan Derah.
6. Perpu N. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 2 Tahun 2004
tentng Pemerintahan Daerah.
7. Undang-undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
8. Undang-undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
9. Undang-undang No. 9 Tahun 2015 tentang PerubahanKedua atas Undang-Undang No.
23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
2.5 Model Desentralisasi
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintahan pusat kepada
pemerintah daerah. Jadi desentralisasi adalah penyerahan wewenang di bidang tertentu
secara vertikal dari institusi/lembaga/pejabat yang lebih tinggi kepada
institusi/lembaga/pejabat bawahannya sehingga yang diserahi atau dilimpahi wewenang
tertentu itu berhak bertindak atas nama sendiri dalam urusan tersebut. Ada dua jenis
desentralisasi, yaitu desentralisasi teritorial dan desentralisasi fungsional. Desentralisasi
teritorial adalah penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya
sendiri (otonom) dan batas pengaturan termaksud adalah daerah; sedangkan desentralisasi
fungsional adalah penyerahan kekuasaan untuk mengatur dan mengurus fungsi tertentu
dan batas pengaturan termaksud adalah jenis fungsi itu sendiri, misalnya soal Pendidikan
dan kebudayaan, pertanahan, kesehatan, dan lain-lain.

Intinya, desentralisasi adalah transfer tanggung jawab dalam hal perencanaan,


manajemen, dan pemunculan sumber daya dan alokasinya dari pemerintah pusat kepada:

1. Unit-unit lapangan dari kementrian pemerintah pusat

2. Unit-unit atau tingkat pemerintahan yang berada di bawahnya

3. Otoritas atau korporasi publik semi-otonom

4. Otoritas regional atau fungsional yang berarea luas, atau

5. Organisasi sektor privat dan sukarela (Rondinelli, 1981)

Berkaitan dengan pemerintahan publik, ada lima tingkatan berbeda yang


normalnya dikenal, yaitu:

1. Tingkatan internasional, yang tersusun dari organisasi organisasi internasional


yang dibentuk dengan persetujuan di antara negara-negara.
2. Tingkatan nasional, yaitu pemerintah pusat dari sebuah negara utuh atau
pemerintahan federal dalam sistem federal.
3. Tingkatan regional, yaitu negara-negara dalam sistem federal atau provinsi dari
sebuah negara yang utuh, yang tergantung pada tingkatan devolusi yang mengatur
hubungan mereka dengan tingkatan nasional dengan berpatokan pada konstitusi
atau undang-undang.
4. Tingkatan provinsi/gubernur, dan
5. Tingkatan kabupaten/kota.

Rondinelli membedakan empat model desentralisasi, yaitu (1) deconcentration, (2)


delegation to semi autonomous and parastatal agencies, (3) devolution to local
governments, dan (4) nongovernment institutions (Teguh Yuwono, ed., 2001, h. 29–34).

1. Dekonsentrasi
Desentralisasi dalam bentuk dekonsentrasi, pada hakikatnya hanya merupakan
pembagian kewenangan dan tanggungjawab administratif antara departemen pusat
dengan pejabat pusat dilapangan. Jadi dekonsentrasi itu hanya berupa pergeseran
volume pekerjaan dari departemen pusat kepada perwakilannya yang ada di
daerah, tanpa adanya penyerahan kewenangan untuk mengambil keputusan atau
keleluasaan untuk membuat keputusan.
2. Delegasi
Delegation to semi autonomous sebagai bentuk kedua yang disebut oleh
Rondinellil adalah pelimpahan pengambilan keputusan dan kewenangan
manajerial untuk melakukan tugas-tugas khusus kepada suatu organisasi yang
tidak secara langsung berada dibawah pengawasan pemerintah pusat. Terhadap
organisasi semacam ini pada dasarnya diberikan kewenangan semi independen
untuk melaksanakan fungsi dan tanggung jawabnya. Bahkan kadang-kadang
berada diluar ketentuan yang diatur oleh pemerintah pusat, karena bersifat lebih
komersial dan mengutamakan efisiensi dari pada prosedur birokratis dan politis.
Hal ini biasanya dilakukan terhadap suatu badan usaha publik yang aditugaskan
melaksanakan proyek tertentu, seperti telekomunikasi, listrik, bendungan, dan
jalan raya.
3. Devolusi
Devolusi merupakan bentuk desentralisasi yang lebih ekstensif, yang merujuk
pada situasi dimana pemerintah pusat mentransfer kewenangan untuk
pengambilan keputusan, keuangan dan manajemen kepada unit otonomi
pemerintah daerah.
4. Privatisasi
Bentuk terakhir dari desentralisasi menurut Rondinelli adalah privatisasi
(transfer of function from government to non government instutions). Privatisasi
adalah suatu tindakan pemberian kewenangan dari pemerintah kepada badan-
badan sukarela, swasta, dan swadaya masyarakat, tetapi dapat pula merupakan
peleburan badan pemerintah menjadi badan usaha swasta. Misalnya, BUMN dan
BUMD dilebur menjadi PT.
2.6 Pembagian Urusan Pemerintahan

Kewenangan pemerintah merupakan dasar utama baik setiap tindakan dan


perbuatan hukum dari setiap level pemerintahan, dengan adanya dasar kewenangan yang
sah maka setiap tindakan dan perbuatan hukum yang dilakukan oleh setiap level
pemerintahan dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang sah dan
apabila tanpa ada dasar kewenangan, maka setiap tindakan dan perbuatan hukum yang
dilakukan oleh setiap level pemerintah dapat dikategorikan sebagai tindakan dan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum dan dapat juga dikatakansebagai pelanggaran
terhadap asas-asas umum pemerintahan yang baik. Secara umum, kewenangan
pemerintahan dapat diperoleh melalui atribusi, delegasi, dan mandat serta tugas
pembantuan (medebewind).

Cara memperoleh kewenangan tersebut juga menggambarkan adanya perbedaan


yang hakiki antara berbagai level pemerintahan yang ada di suatu negara. Sebagai contoh,
pelaksanaan atribusi kewenangan memerlukan adanya pembagian level pemerintahan
yang bersifat nasional, regional, dan lokal atau level pemerintahan atasan dan
pemerintahan bawahan. Selain itu pelaksanaan delegasi membuktikan adanya level
pemerintahan yang lebih tinggi (delegator) dan level pemerintahan yang lebih rendah
(delegans). Secara khusus, kewenangan pemerintahan juga berkaitan dengan hak,
kewajiban, dan tanggung jawab di antara berbagai level pemerintahan yang ada. Dengan
adanya pembagian atribusi, distribusi, delegasi, dan mandat dapat digambarkan
bagaimana berbagai level pemerintahan tersebut mempunyai hak, kewajiban, dan
tanggung jawab yang berbeda antara satu level pemerintahan dengan level pemerintahan
lainnya. Dengan demikian, terjadi perbedaan tugas dan wewenang di antara berbagai level
pemerintahan tersebut, dan pada akhirnya dapat menciptakan perbedaan ruang lingkup
kekuasaan dan tanggung jawab di antara mereka.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang


Pemerintahan Daerah, pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangannya, kecuali urusanvpemerintahan yang menjadi urusan Pemerintah.
Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan daerah
tersebut, pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
Penyelenggaraan desentralisasi mensyaratkan pembagian urusan pemerintahan antara
Pemerintah dengan Pemerintahan Daerah. Urusan pemerintahan terdiri dari urusan
pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah dan urusan
pemerintahan yang dikelola secara bersama antar tingkatan dan susunan pemerintahan
atau konkuren.

Urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah adalah


urusan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, keamanan, moneter dan fiskal
nasional, yustisi, dan agama. Urusan pemerintahan yang dapat dikelola secara bersama
antar tingkatan dan susunan pemerintahan atau konkuren adalah urusan-urusan
pemerintahan selain urusan pemerintahan yang sepenuhnya menjadi urusan Pemerintah.
Dengan demikian dalam setiap bidang urusan pemerintahan yang bersifat konkuren
senantiasa terdapat bagian urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota. Untuk mewujudkan
pembagian urusan pemerintahan yang bersifat konkurenvtersebut secara proporsional
antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota maka ditetapkan kriteria pembagian urusan pemerintahan yang meliputi
eksternalitas, akuntabilitas, dan efisiensi. Penggunaan ketiga kriteria tersebut diterapkan
secara kumulatif sebagai satu kesatuan dengan mempertimbangkan keserasian dan
keadilan hubungan antar tingkatan dan susunan pemerintahan.
Urusan antara pemerintah, pemerintah provinsi danpemerintah kabupaten/kota
sebagai upaya untuk memperjelas kewenangan masing-masing pemerintah dalam
menjalankan kewenangannya dan mengurus rumah tangganya sendiri. Secara umum,
berdasarkan pasal 6 Ayat (1 dan 2) Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota, pemerintah yang menjadi kewenangan pemerintah daerah teridiri dari
urusan wajib dan urusan pilihan. Urusan wajib terdiri dari :

 Pendidikan;
 Kesehatan;
 Lingkungan hidup;
 Pekerjaan umum;
 Penataan ruang;
 Perencanaan pembangunan;
 Perumahan;
 Kepemudaan dan olahraga;
 Penanaman modal;
 Koperasi dan usaha kecil dan menengah;
 Kependudukan dan catatan sipil;
 Ketenagakerjaan;
 Ketahanan pangan;
 Pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak;
 Keluarga berencana dan keluarga sejahtera;
 Perhubungan;
 Komunikasi dan informatika;
 Pertanahan;
 Kesatuan bangsa dan politik dalam negeri;
 Otonomi daerah, pemerintahan umum, administrasi keuangan daerah,perangkat
daerah, kepegawaian, dan persandian;
 Pemberdayaan masyarakat dan desa;
 Sosial;
 Kebudayaan;
 Statistik;
 Kearsipan; dan
 Perpustakaan.

Sedangkan urusan pilihan adalah urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan
berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi,
kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.11 Pembagian urusan dalam
kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah pada tingkat Provinsi, Kabupaten,
dan Kota merupakan batasan dalam pelaksanaan otonomi daerah yang riil dan nyata,
sehingga tidak adanya pengambilan urusan yang bukan dari kewenangannya dan tidak
mengakibatkan konflik vertikal antara lembaga-lembaga yang ada, karena ada batasan-
batasan urusan yang menjadi kewenangan.

2.7 Otonomi Daerah dan Demokratisasi

Demokratisasi di Indonesia telah bergulir semenjak tahun 1998. Salah satu poin
penting dalam proses ini adalah adanya desentralisasi kewenangan. Dengan tajuk otonomi
daerah, beberapa kewenangan yang semula dipegang pemerintah pusat pun diberikan
kepada pemerintah kabupaten/kota. Salah satu kewenangan yang terdesentralisasi dalam
kerangka otonomi daerah adalah peluang untuk melakukan kerja sama internasional.
Undang-undang Nomor 32tahun 2004 pasal 42 menyebutkan tentang tugas dan wewenang
DPRD untuk mengawasi,memberikan pendapat dan pertimbangan serta menyetujui
rencana kerjasama internasional yang diajukan oleh pemerintah.

Penelitian ini akan memberikan penjelasan tentang mekanisme Hubungan dan


Kerjasama Luar Negeri yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah sebagai imbas dari
demokratisasi dan otonomi daerah yang dilaksanakan di Indonesia. Penelitian ini
jugaakan menyajikan contoh-contoh kegiatan kerja sama luar negeri, terutama dalam
lingkupKota Surakarta, Kabupaten Sragen dan Kabupaten Boyolali. Kemudian, penelitian
iniakan memberikan evaluasi terbatas mengenai aktivitas tersebut Tidak ada satu
kelompok pun, termasuk kelompok mayoritas, yang boleh mengesampingkan hak-hak
dasar dan kebebasan kelompok minoritas.

Dahl memberikan beberapa karakteristik sehingga sebuah sistem dapat disebut


demokratis. Pertama, adanya partisipasi yang efektif dari masyarakat. Kedua, adanya
kesetaraan suara. Suara satu orang adalah sama dengan suara orang lain, terlepas darilatar
belakang apapun. Ketiga, adanya pemahaman akan alternatif-alternatif pilihan dalam
mengelola negara dan konsekuensi dari setiap alternatif tersebut. Keempat, adanya
kemampuan untuk menentukan agenda yang akan dibahas. Kelima adanya pelibatan bagi
setiap orang dewasa.

Proses menuju demokrasi, atau demokratisasi, di Indonesia secara formal dimulai


dengan adanya revisi terhadap Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu.Adanya revisi
ini membuka kran kebebasan dalam partisipasi pemilu. Sebagai akibat darirevisi Undang-
undang ini, pada tahun 1999 Pemilu di Indonesia kembali tidak lagi diikuti oleh tiga
peserta saja. Pemilu 1999 memberikan kesempatan kepada empat puluh delapan partai
politik untuk mengikuti kontestasi tersebut. Aktivitas demokratisasi lain juga terwujud
dalam bentuk amandemen UUD1945 pada masa pemerintahan B.J Habibie. Amandemen
konstitusi kemudian dilakukan sebanyak empat kali, berturut-turut pada tahun 1999, 2000,
2001 dan 2002. Perubahan-perubahan yang dilakukan dalam empat kali amandemen UUD
1945 tersebut membawa dampak besar pada perubahan sistem politik di Indonesia.

Perubahan utama adalah pembatasan kekuasaan presiden menjadi dua kali lima
tahun masa jabatan. Ini mencegah terpilihnya seseorang menjadi presiden seumur hidup,
seperti yang terjadi pada masaOrde Lama atau seseorang berulang kali diangkat menjadi
presiden, seperti yang terjadi pada masa Orde Baru. Amandemen konstitusi memberikan
kesempatan lebih luas pada rakyat untuk memilih presiden dan wakil presidennya secara
langsung. MPR pun kinimenjadi lembaga bichamberal dengan adanya institusi Dewan
Perwakilan Daerah (DPD). Selain itu, juga dibentuk lembaga baru seperti Mahkamah
Konstitusi yang bertugas sebagai lembaga pemberi tafsir pertama dan terakhir tentang
konstitusi Indonesia.Demikianlah proses demokratisasi yang terus bergulir di Indonesia.

Reformasi sistem politik Indonesia juga telah berhasil menggulirkan kebijakan


desentralisasi dan otonomi daerah. Otonomi daerah dianggap dapat memperkenalkan
praktek-praktek demokrasi di aras lokal dan meningkatkan partisipasi politik masyarakat
melalui pilkada lokal. Otonomi Daerah di Indonesia diawali dengan adanya amandemen
kedua Undang-undang Dasar 1945 pada tahun 2000. Amandemen ini mengubah sifat
pemerintahan dari sentralistik menjadi desentralisasi. Salah satu bentuk desentralisasi
adalah adanya mekanisme pemilihan kepada daerah yang berbeda antara Orde
Barudengan masa Reformasi.

Pada masa pemerintahan Soeharto, pilkada lebih banyak ditentukan oleh penguasa
di Jakarta. Proses pemilihan kepala daerah dalam UU No. 5/1974 menyatakan bahwa
DPRD berperan untuk memilih dari tiga sampai lima orang kandidat. DPRD kemudian
menyampaikan hasil pilihan itu kepada Mendagri, dengan syarat harus ada minimal dua
orang calon yang disampaikan DPRD ke Mendagri. Mendagri yang kemudian akan
memilih siapa yang menjadi kepala daerah. Kasus-kasus yang terjadi dilapangan
menunjukkan bahwa proses ini membuka peluang intervensi oleh pemerintah pusat. Pada
tahun 1985, kandidat nomor satu Gubernur Riau, Ismail Suko, dikalahkan oleh Imam
Munandar yang merupakan nomor dua. Begitu juga dalam pemilihan Bupati Sukabumi,
kandidat nomor dua-lah yang terpilih sebagai bupati. Ini menunjukkan besarnya tingkat
intervensi pusat ke daerah.

Tidak hanya mencerminkan intervensi pusat, pilkada di masa Orde Baru jugasarat
dengan intervensi TNI. Pada tahun 1973, TNI menempatkan anggotanya sebagai 22orang
gubernur dari 26 provinsi di Indonesia. Sampai tahun 1998/1999, TNI masihmenguasai
posisi kepala daerah. Dari 329 orang bupati/walikota, 122 orang di antaranya memiliki
labar belakang TNI. Dari 27 orang gubernur di Indonesia, 15 orang di antaranya berlatar
belakang TNI.
UU No. 22/1999 kemudian mengubah sistem pemilihan kepala daerah, Undang-
undang ini menyatakan bahwa kewenangan untuk memilih kepala daerah dan wakilkepala
daerah ada pada DPRD. Siapapun pasangan calon yang memenangkan pemilihan di
tingkat DPRD secara otomatis menjadi kepala daerah dan wakil kepala daerah.Pemerintah
pusat hanya berwenang untuk mengesahkan hasil yang telah disepakati didaerah.
Terbitnya UU No. 32/2004 semakin mengubah mekanisme pemilihan kepaladaerah. Kini,
kuasa untuk memilih kepala daerah berada di tangan masyarakat secaralangsung. Pada
bulan Juni 2005, menyusul disahkannya undang-undang ini, dilaksanakan pilkada di 170
kabupaten/kota dan enam provinsi.

Dengan adanya pilkada langsung ini, terjadi demokratisasi di level lokal.Manfaat


demokratisasi di tingkat lokal ini ada beberapa. Pertama, esensi demokrasi adalah
partisipasi politik. Adanya proses pemilihan kepala daerah secara langsung akan
memberikan ruang kepada masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam menentukan
kepala daerahnya. Kedua, pilkada langsung membuat rakyat di daerah bisa menentukan
siapa calon yang dianggap mampu menyelesaikan persoalan daerahnya.
Ketiga,keterlibatan rakyat secara langsung ini menutup peluang distorsi dalam
pelaksanaan kedaulatan rakyat. Otonomi daerah pun mendapatkan banyak pujian dari
pengamat internasional sebagai langkah maju Indonesia dalam bernegara.

2.8 Implementasi Penerapan Otonomi Daerah di Indonesia

Pada hakekatnya otonomi daerah adalah upaya untuk mensejahterakan


masayarakat  melalui pemberdayaan potensi daerah secara optimal. Otonomi yang luas
sebenarnya merupakan penjabaran dari desentralisasi secara utuh. Idealnya pelaksanaan
otonomi yang luas harus disertai pula dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan,
pemerataan, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, penggalian potensi dan
keanekaragaman  daerah yang difokuskan pada peningkatan ekonomi di tingkat kabupaten
dan kotamadia.
Implementasi penerapan otonomi daerah dapat dilihat dari berbagai segi yaitu
pertama, dilihat dari segi wilayah(teritorial) harus berorientasi pada pemberdayaan dan
penggalian potensi daerah. Kedua, dari segi struktur tata pemerintahan berorientasi pada
pemberdayaan pemerintah daerah dalam mengelola sumber-sumber daya yang
dimilikinya secara bertanggung jawab dan memegang prinsip-prinsip kesatuan negara dan
bangsa. Ketiga, dari segi kemasyarakatan berorientasi pada pemberdayaan dan pelibatan 
masyarakat dalam pembangunan di berbagai daerah sesuai dengan kemampuan masing-
masing.
Undang-undang dan peraturan tentang otonomi daerah sudah disusun sejak
Indonesia merdeka .Hal ini menunjukkan bahwa para pemimpin negara dari jaman Orde
Lama, Orde Baru sampai pemimpin negara  saat ini sudah memikirkan betapa penting
otonomi daerah mengingat wilayah Indonesia yang demikian luas yang menjadi tanggung
jawab pemerintah. Pemberian otonomi kepada daerah pada dasarnya merupakan upaya
pemberdayaan dalam rangka mengelola pembangunan di daerahnya. Daerah diharapkan
sedikit demi sedikit mampu melepaskan ketergantungannya terhadap bantuan pemerintah
pusat dengan cara  meningkatkan kreativitas,  meningkatkan inovasi dan meningkatkan
kemandiriannya. Bila  pelaksaan otonomi daerah sesuai dengan peraturan dan perundang-
undangan yang telah disusun, maka harapan indah untuk mewujudkan “daerah
membangun“ (bukan membangun daerah), dapat segera tercapai. Otonomi daerah
memberikan harapan cerah kepada daerah  untuk lebih meningkatkan dayaguna dan
hasilguna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka memberikan efektifitas pelayanan
kepada masyarakat .Hal  lain yang tidak kalah penting adalah daerah dapat melaksnakan
fungsi-fungsi pembangunan serta mengembangkan prakarsa masyarakat secara
demokratis, sehingga sasaran pembangunan diarahkan dan disesuaikan dengan kondisi
dan permasalahan yang ada di daerah.
Penerapan otonomi daerah melalui Undang-undang  Nomor 22 Tahun 1999 saat
ini masih mencari bentuk, karena sikap pemerintah yang masih “ mendua “.  Selama
kurang lebih empat tahun sejak dicanangkannya otonomi daerah di Indonesia,
pemberdayaan daerah yang gencar diperjuangkan pada kenyataannya belum dilaksanakan
secara optimal. Pembangunan di daerah kurang memperhatikan kebutuhan dan
kepentingan masyarakat. Keputusan-keputusan pemerintah serta program-program
pembangunan tidak menyertakan masyarakat, sehingga program-program pembangunan
di daerah cenderung masih bersifat top  down  daripada bottom up planning . 
Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar otonomi daerah dapat terwujud.
Pertama, harus disadari bahwa otonomi daerah harus selalu diletakkan dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi daerah merupakan suatu subsistem dalam
satu  sistem pemerintahan yang utuh. Kedua, perlu kemauan politik (political will)  dari
semua pihak seperti  pemerintah pusat, pemerintah daerah dan  masyarakat. Kemauan
politik dari semua pihak dapat memperkuat tujuan untuk membangun masyarakat
Indonesia secara keseluruhan melalui pembangunan-pembangunan daerah. Kemauan
politik ini diharapkan dapat membendung  pemikiran  primordial, parsial, etnosentris dan
sebagainya. Ketiga, komitmen yang tinggi dari berbagai pihak yang berkepentingan
sangat dibutuhkan agar pelaksanaan otonomi daerah dapat tercapai tujuannya .

2.9 Kajian Kasus Untuk Otonomi Daerah

Berbagai penyelewengan dalam pelaksanan otonomi daerah:

1. Adanya kecenderungan pemerintah daerah untuk mengeksploitasi rakyat melalui


pengumpulan pendapatan daerah.
Keterbatasan sumberdaya dihadapkan dengan tuntutan kebutuhan dana
(pembangunan dan rutin operasional pemerintahan) yang besar. Hal tersebut
memaksa Pemerintah Daerah menempuh pilihan yang membebani rakyat, misalnya
memperluas dan atau meningkatkan objek pajak dan retribusi. Padahal banyaknya
pungutan hanya akan menambah biaya ekonomi yang akan merugikan perkembangan
ekonomi daerah. Pemerintah daerah yang terlalu intensif memungut pajak dan
retribusi dari rakyatnya hanya akam menambah beratnya beban yang harus
ditanggung warga masyarakat.
2. Penggunaan dana anggaran yang tidak terkontrol
Hal ini dapat dilihat dari pemberian fasilitas yang berlebihan kepada pejabat
daerah. Pemberian fasilitas yang berlebihan ini merupakan bukti ketidakarifan
pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah.
3. Rusaknya Sumber Daya Alam
Rusaknya sumber daya alam ini disebabkan karena adanya keinginan dari
Pemerintah Daerah untuk menghimpun pendapatan asli daerah (PAD), di mana
Pemerintah Daerah menguras sumber daya alam potensial yang ada, tanpa
mempertimbangkan dampak negatif/kerusakan lingkungan dan prinsip pembangunan
berkelanjutan (sustainable development). Selain itu, adanya kegiatan dari beberapa
orang Bupati yang menetapkan peningkatan ekstraksi besar-besaran sumber daya
alam di daerah mereka, di mana ekstraksi ini merupakan suatu proses yang semakin
mempercepat perusakan dan punahnya hutan serta sengketa terhadap tanah.
Akibatnya terjadi percepatan kerusakan hutan dan lingkungan yang berdampak
pada percepatan sumber daya air hampir di seluruh wilayah tanah air. Eksploitasi
hutan dan lahan yang tak terkendali juga telah menyebabkan hancurnya habitat dan
ekosistem satwa liar yang berdampak terhadap punahnya sebagian varietas vegetasi
dan satwa langka serta mikro organisme yang sangat bermanfaat untuk menjaga
kelestarian alam.

4. Bergesernya praktik korupsi dari pusat ke daerah


Praktik korupsi di daerah tersebut terjadi pada proses pengadaan barang-barang
dan jasa daerah (procurement). Seringkali terjadi harga sebuah barang dianggarkan
jauh lebih besar dari harga barang tersebut sebenarnya di pasar.
5. Pemerintahan kabupaten juga tergoda untuk menjadikan sumbangan yang diperoleh
dari hutan milik negara dan perusahaan perkebunaan bagi budget mereka.
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Istilah otonomi secara etimologi berasal dari bahasa Latin yaitu “autos” yang
berarti “sendiri”, dan “nomos” yang berarti “aturan”. Sehingga otonomi diartikan
pengaturan sendiri, mengatur atau memerintah sendiri. Dalam Undang-Undang No32
Tahun 2004 Pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan
kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Otonomi
Daerah berlaku karena dilatarbelakangi oleh hal-hal yang menyebabkan harus
diberlakukannya Otonomi Daerah. Otonomi Daerah mempunyai prinsip dan tujuan dalam
pelaksanaannya.
DAFTAR PUSTAKA
https://id.m.wikipedia.org/wiki/Otonomi_daerah_di_Indonesia

Azra, Azyumardi.2003.Pendidikan Kewarganegaraan Demokrasi, Hak Asasi Manusia &


Masyarakat Madani.Bogor:Prenada Media.

Noor, Muhammad.2012.Memahami Desentralisasi Indonesia.Yogyakarta:INTERPENA


Yogyakarta.

https://www.academia.edu/9760903/Analisa_Kasus_Permasalahan_Otonomi_Daerah_di_Indo
nesia?auto=download

http://pastime-net.blogspot.com/2018/02/makalah-implementasi-penerapanotonomi.html

https://www.academia.edu/733658/Pengaruh_Demokratisasi_dan_Otonomi_Daerah

https://pemerintah.net/pembagian-urusan-pemerintahan-daerah-uu-no-232014/

Priyanto, Sugeng. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Semarang : Aneka Ilmu.

Srijanti, dkk. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan untuk Mahasiswa. Jakarta : Graha Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai