Anda di halaman 1dari 23

Kelompok 7

Cabang – Cabang Ilmu Hadis Yang Lain

Disusun Untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Ulumul Hadits
Dosen : Saiful Lutfi, M. Pd. I.

Disusun oleh :

1. Nissa Arum Noviana 1901110039


2. Alvia Soraya 1901110047
3. Al Mujahidah 1901110067
4. Siti Maysaroh 1901110133
5. Vivi Adelia Mulyani 1901111126

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PALANGKA RAYA


FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
1441 H / 2020 M
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT karena telah memberikan
rahmat dan hidayat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah
yang berjudul untuk menyelesaikan tugas kelompok mata kuliah Ulumul Hadits
dengan tepat waktu.
Penulisan makalah ini dapat terselenggara berkat sumber-sumber referensi
yang sangat membantu mengenai “Contoh-Contoh Ilmu Hadits Yang Lain ”
dan untuk itu kami mengucapkan terimakasih atas bantuan materi-materinya yang
sangat bermanfaat. Kami menyadari, bahwa penyusunan makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan, baik dari penulisan, ejaan dan sebagainya. Oleh karenanya,
kami sangat mengharapkan dengan lapang dada, kritik dan saran yang bersifat
membangun.
Dan kami juga mengucapkan terima kasih kepada selaku dosen mata
kuliah yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan
dan wawasan sesuai bidang yang kami tekuni.kami menyadari dalam penyusunan
dan pengetikan makalah ini jauh dari kata sempurna dan kesalahan.Oleh karena
itu kami mengharapkan kritik dan saran demi perbaikan makalah ini. Dengan
demikian semoga makalah ini dapat bermanfaat.
Terimakasih.
Wassalamu’alaikum Wr.Wb
Palangka Raya, 13 Juni 2020

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I ...................................................................................................................... 1
A. Latar belakang .............................................................................................. 1
B. Rumusan masalah......................................................................................... 2
C. Tujuan Masalah ............................................................................................ 2
BAB II ..................................................................................................................... 3
A. Pengertian Ilmu Rijal Al-Hadist................................................................... 3
B. Pengertian Asbab Al wurud ......................................................................... 5
C. Pengertian Ilmu Mukhtalif alhadist .............................................................. 9
D. Ilmu Ma’ani al-Hadits ................................................................................ 13
BAB III ................................................................................................................. 17
A. Kesimpulan ................................................................................................ 17
B. Saran ........................................................................................................... 18
Daftar Pustaka ......................................................................................................... 1

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam kehidupan sehari-hari,umat muslim sering mendengar
istilah ilmu hadis. Apalagi dikalangan para ulama dan umat muslim
pastinya sudah tidak asing lagi dengan istilah ini,tapi yang
dipertanyakan sekarang ini apakah ulama dan umat muslim yang
sering mendengar bahkan menjadikannya landasan dalam berargumen
itu paham akan kandungan dan pengertian dari ilmu hadis serta
cabang-cabangnya? Jika diteliti, pastinya seorang ulama sudah tau
tentang ilmu hadis itu sendiri,tapi apakah ulama itu tau akan cabang-
cabangnya dan pengertian dari cabang-cabang ilmu hadis sendiri.
Banyak sekali jumlah cabang ilmu hadis, para ulama menghitungnya
beragam. Ibnu al-Shalah menghitungnya 65 cabang, bahkan ada yang
menghitungnya 10 hingga 6 cabang. Muhammad Ajjaj al-Khatib
sendiri membaginya kedalam 52 cabang akan tetapi yang dibahas
hanyalah 6 didalam kitabnya. Pada makalah ini akan dibahas apa saja
cabang ilmu hadis itu menurut Muhammad Ajjaj al-Khatib itu sendiri.
Adanya yang membagi 65,10,dan 6 adalah perbedaan pendapat ulam
yang mana membaginya menurut kepentingan masing-masing dan ada
yang menghitungya secara terperinci dan juga secara global.
Hadits adalah sesuatu yang dijadikan sumber hukum islam
yang kedua. Hadith merupakan tata perilaku, perbuatan dan juga
perkataan nabi yang dijadikan contoh untuk seluruh umat manusia.
Pembahasan mengenai hadith sangatlah luas. Agar dapat memahami
hadith lebih jelasnya, maka perlu dilakukan spesifikasi dalam
pembahasan ruang lingkup tertentu dalam hadith. Ada beberapa ilmu
yang terbagi untuk mendalami hadith menjadi lebih detail. Ilmu-ilmu
tersebut antara lain: ilmu Rijal al Hadits, ilmu jahr wa ta’dil, ilmu
Gharib al Hadits, asbaab wurud, nasikh mansukh, mukhtalaf hadits,
dan ilmu ilal al hadist.

1
B. Rumusan masalah
1. Apa pengertian Ilmu Rijal al-Hadits?
2. Apa pengertian Ilmu Asbab al-Wurud?
3. Apa Pengertian Ilmu Mukhtalif al-Hadits?
4. Apa pengertian Ilmu Ma’ani al-Hadits?

C. Tujuan Masalah
1. Mengetahui pengertian Ilmu Rijal al-Hadits.
2. Mengetahui pengertian Ilmu Asbab al-Wurud.
3. Mengetahui pengertian Ilmu Mukhtalif al-Hadits.
4. Mengetahui pengertian Ilmu Ma’ani al-Hadits.

2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Rijal Al-Hadist
Menurut Al Zarqoni, Ilmu Rijal al-Hadits adalah: "Ilmu untuk
mengetahui para periwayat hadits dari segi pribadi mereka sebagai perawi
hadits" (Shubhi al Shalih, 1988: 110). Hasbi ash Shiddiqi mendefinisikan
Ilmu Rijal al-Hadits sebagai:Ilmu yang membahas para perawi hadits, baik
dari sahabat, dari tabi'in maupun dari perangkatan-perangkatan
sesudahnya" (Hashbi ash Shiddiqi, 1991: 153). Dari kedua- pengertian di
atas, dapat dipahami bahwa Ilmu Rijal al-Hadits adalah ilmu yang
mempelajari hal-ihwal para perawi hadits. Ilmu ini merupakan bagian dari
'ulmulhadits yang sangat penting. Ilmu hadits mempelajari sanad dan
matan hadits, sanad hallits adalah para perawi hadits yang merupakan
pembahasan Ilmu Rijal al-Hadits. Dengan demikian jelaslah bagi kita akan
pentingnya ilmu ini. Ilmu Rijal al-Hadits terbagi menjadi dua bagian
disiplin keilmuan yang penting yaitu: Ilmu Sejarah para Perawi hadits dan
Ilmu Al Jarh wa al-Ta 'dil (M. 'Ujaj al Khothib, 1989: 253).
Ilmu sejarah Para Rawi Hadist.
Pengertian, menurut Muhammad "Ujaj al Khothib, Ilmu Tarih al-
Ruwat adalah: "Ilmu Tarikh al Ruwat adalah ilmu yang membahas
tentang para rawi hadits dari segi yang berhubungan dengan periwayatan
mereka terhadap hadits. Menerangkan semua hal ihwal para rawi dengan
menyebut tahun kelahiran dan wafatnya serta menyebutkan guru-guru
mereka, tahun kapan ia mendengar hadits dari guru-gurunya, siapa saja
yang mertwayatkan hadits dartnya. Menyebutkan asal negara dan tempat
tinggalnya, juga menerangkan perjalanan rawi dan kedatangannya ke
berbagai daerah yang berbeda-beda. Menyebutkan cara mendengar rawi
dari sebagian guru-gurunya baik sebelum guru-gurunya itu Jemah atau
sesudah mereka Jemah dan segala hal yang berhubungan dengan urusan
hadits" (M. Ujaj al Khotib, 1989: 253).

3
Para ulama salaf menamakan ilmu dengan nama yang berbeda-
beda, setengah ulama menyebutnya dengan “Tarikh Ruwat” "Ilmu
Tarikh"atau Tarikh Al Ruwat IImu Tarikh al Ruwat tumbuh dan
berkembang sejalan dengan perkembangan para perawi hadits. Perhatian
ulama terhadap ilmu ini sangat besar, mereka berusaha keras mengetahui
keadaan perawi yang ada dalam sanad hadits. Mereka menerangkan:
umur, tempat tinggal dan tahun pertemuan rawi dengan guru-gurunya
untuk mendengarkan had.its. Hal ini penting diketahui oleh para ulama
agar dapat diketahui mana sanad yang berhubungan dan yang terputus dan
mana had.its yang mursal dan marfu'.
Macam-macam Kitab Tarilh Al Ruwat. Kitab-kitab yang disusun
oleh sejarawan-sejarawan tarikh al ruwat beraneka ragam bentuk dan
coraknya, sesuai dengan metode yang mereka gunakan. Ada yang
menyusun berdasarkan thabaqat-thabaqat ruwat yang hidup dalam suatu
masa tertentu. Seperti kitab al Thabaqat alKubra karya Muhamad ibn
Sa'd (168 -230 H.) dan kitab Thabaqat al-Ruwat karya Khulaifah ibn
Hiyath al-'Ashfari (240 H.), kedua kitab ini merupakan kitab yang
pertama kali dikarang.
Sebagian yang lain menyusun berdasarkan tahun wafatny.perawi
dengan menyebutkan biografi perawi, seperti kitab Tarikh al-Islam
karangan al Dzahabi. Juga mereka menyusun kitab-kitab sejarah rawi
berdasarkan huruf bijaiyah, seperti kitab al-Tarikh al-Kubra yang disusun
oleh Imam Muhammad ibn Isma'il al Bukhari (194 - 256). Dan kitab
terlengkap tentang sejarah para rawi adalah kitab Tahdzib alTahdzib
karya Ibnu Hajar al' Asqalany (773 - 852 H.), kitab ini berjumlah sepuluh
jilid.
Para ulama tidak merasa puas dengan hanya menyusun beberapa
kitab sejarah tentang perawi, mereka juga menyusun kitab-kitab yang
menerangkan laqab-laqab, kuniyah, nasab dan nama-nama yang sama
dari para rawi. Seperti kitab al-Asami wa al-Kuna karya Ali ibn Abdillah
alMadini (161-234H.), al-Kuna waal-Asma karangan Abi Basyar

4
Muhammad ibn Ahmad alDaulabi, dan kitab-kitab lain yang
menerangkan laqab dan kuniyah perawi hadits.

B. Pengertian Asbab Al wurud


Asbab wurud al-hadits merupakan susunan idafah, yang terdiri dari
tiga unsur kata, yaitu asbab, wurud dan al-hadis. Asbab adalah bentuk
jam‘(fulral) dari sabab, yang berarti dengan al-habl (tali), saluran yang
artinya dijelaskan sebagai segala yang menghubungakan satu benda
dengan benda lainnya sedangakan menurut istilah adalah: “Segala sesuatu
yang mengantarkan pada tujuan”. Ada juga yang mendifinisikan dengan:
suatu jalan menuju terbentuknya suatu hukum tanpa ada pengaruh apapun
dalam hukum itu. Sedangkan kata wurud bisa berarti sampai, muncul dan
mengalir seperti: “Air yang memancar atau air yang mengalir”1 Abdul
Mustaqim merumuskan sebuah definisi tentang Asbab Al-wurud definisi
yang disampaikannya adalah: “Ilmu Asbab al-Wurud adalah ilmu yang
menerangkan sebab-sebab dan masa Nabi Saw menuturkan sabdanya,
atau ilmu yang mengkaji tentang hal-hal yang terjadi di saat hadis
disampaikan, berupa peristiwa atau pertanyaan, yang hal itu dapat
membantu untuk menentukan maksud suatu hadis yang bersifat umum
atau khusus, mutlak atau muqayyad, atau untuk menentukan ada tidaknya
naskh (penghapusan) dalam suatu hadis, atau yang semisal dengan itu.
Pengetahuan tentang asbab al-wurud sendiri bukanlah merupakan tujuan
(ghayah), melainkan hanya sebagai sarana (wasilah) untuk memahami
pesan atau maksud suatu hadis”2
Pendapat Hasbi Ash-Shiddiqy yang mendefinisikannya sebagai
berikut: Ilmu yang menerangkan sebab-sebab nabi saw. Menuturkan
sabdanya dan masa-masa nabi saw. Menuturkannya”.3 Sementara itu,

1 Munzier Suparta, 2008. Ilmu Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. hlm. 38-39.
2 Abdul Mustaqim, 2008. Ilmu Ma’anil Hadits: Paradigma Interkoneksi. Yogyakarta: Idea Press. hlm. 30.
3 Teungku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, 2001. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2001.hlm. 50.

5
Yahya Ismail Ahmad memberikan definisi asbab wurud al-hadits yang
agak mirip dengan pengertian asbab al-nuzul, yaitu: Sesuatu (baik berupa
peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan) yang terjadi pada waktu
hadis itu disampaikan oleh nabi saw.
Nur al-Din ‘Itr mendefinisikan asbab wurud al-hadis dengan
mengatakan: Hadis yang muncul karena membicarakan sesuatu yang
terjadi pada saat kemunculannya. Lain halnya dengan, dia mendefinisikan
asbab wurud al-hadis dengan ungkapan yang berbeda redaksi, namun
subtansinya sama, yaitu: Mengetahui apa yang terjadi pada hadis pada saat
penyusunan penjelasan hukum saat terjadinya. Dari beberapa definisi
tersebut, dapat disimpulkan bahwa asbab wurud al-hadits adalah konteks
historisitas, baik berupa peristiwa-peristiwa atau pertanyaan-pertanyaan
yang lainnya yang terjadi pada saat hadis tersebut disabdakan oleh Nabi
saw. Dapat berfungsi sebagai pisau analisis untuk menentukan apakah
hadis tersebut bersifat khusus, umum, mutlak atau muqayyad, naskh atau
mansukh dan lain sebagainya. Dengan demikian, dalam perspektif ini,
mengetahui asbab wurud al-hadits bukanlah gayah/tujuan, melainkan
hanya sebagai sarana untuk memperoleh ketepatan makna dalam
memahami pesan moral suatu hadis.
Macam-macam Asbab Al-wurud, menurut Al-Suyuti, asbab al-
wurud dapat dikatagorikan menjadi tiga macam, yaitu:
1. Sebab yang berupa ayat Al-quran. Maksudnya, ayat Alquran itu
menjadi penyebab Nabi saw. Mengeluarkan sabdanya. Contohnya antara
lain firman Allah swt yang berbunyi. ”Orang-orang yang beriman, dan
mereka tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kedzaliman,
mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu
orang-orang yang mendapatkan petunjuk” (Q.S. al-An‘am: 82)
Ketika itu sebagian sahabat memahami kata “ٍ‫ظ ْلم‬
ُ ” dengan
pengertian al-jaur yang berarti berbuat aniaya atau melanggar
aturan. Nabi saw. Kemudian memberikan penjelasan bahwa yang
dimaksud “ٍ‫ظ ْلم‬
ُ ” dalam firman tersebut adalah al-syirk yakni

6
perbuatan syirik dengan mengutip salah satu ayat dalam QS.
Luqman: 13.
2. Sebab yang berupa hadis. Maksudnya, pada waktu itu terdapat
suatu hadis namun sebagian sahabat merasa kesulitan
memahaminya, maka kemudian muncul hadis lain yang
memberikan penjelasan terhadap hadis tersebut. Contoh hadits
yang berbunyi. “Sesungguhnya Allah SWT memiliki para malaikat
di bumi, yang dapat berbicara melalui mulut manusia mengenai
kebaikan dan keburukan seseorang”. (HR. al-Hakim)4
Dalam memahami hadis tersebut, ternyata para sahabat merasa
kesulitan, maka mereka bertanya: Ya rasul, bagaimana hal itu dapat
terjadi? Maka Nabi saw. Menjelaskan lewat sabdanya yang lain
sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh Anas ibn Malik. Suatu
ketika Nabi saw. Bertemu dengan rombongan yang membawa
jenazah. Para sahabat kemudian memberikan pujian terhadap
jenazah tersebut seraya berkata: “Jenazah itu baik”. Mendengar
pujian tersebut, maka Nabi saw. Berkata: “wajabat” (pasti masuk
surga) dengan mengucapkannya sebanyak tiga kali. Kemudian
Nabi saw. Bertemu lagi dengan rombongan yang membawa
jenazah lain. Ternyata para sahabat mencelanya, seraya berkata:
“Dia itu orang jahat”. Mendengar pernyataan itu, maka Nabi
berkata: “wajabat”. Ketika mendengar komentar Nabi saw. yang
demikian, maka para sahabat bertanya: “Ya rasul!, mengapa
terhadap jenazah pertama engkau ikut memuji, sedangkan terhadap
jenazah kedua tuan ikut mencelanya. Engkau katakan kepada
kedua jenazah tersebut: “wajabat” sampai tiga kali. Nabi
menjawab: Ia benar. Lalu Nabi berkata kepada Abu Bakar, wahai
Abu Bakar sesungguhnya Allah swt. Memiliki para malaikat di
bumi. Melalui mulut merekalah malaikat akan menyatakan tentang

4 Abu ‘Abdillah Muhammad ibn ‘Abdillah al-Hakim al-Naisaburi, al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain, Juz. I (Cet.
I; Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1411 H./1990 M.), hlm. 533.

7
kebaikan dan keburukan seseorang.5 Dengan demikian, yang
dimaksud dengan para malaikat Allah di bumi yang menceritakan
tentang kebaikan atau keburukan seseorang adalah para sahabat
atau orang-orang yang mengatakan bahwa jenazah ini baik dan
jenazah itu jahat.
3. Sebab yang berupa keterkaitan. Yang berkaitan dengan para
pendengar di kalangan sahabat. Sebagai contoh adalah persoalan
yang berkaitan dengan sahabat Syuraid ibn Suwaid al-Saqafi. Pada
waktu Fath Makkah (pembukaan kota makkah) beliau pernah
datang kepada Nabi saw. seraya berkata: “Saya bernazar akan
shalat di Bait al-Maqdis”. Mendengar pernyataan sahabat tersebut,
lalu Nabi berssabda: “Shalat di sini, yakni Masjid al-Haram itu
lebih utama”. Nabi saw. lalu bersabda: “Demi zat yang jiwaku
berada dalam kekuasaan-Nya, seandainya kamu shalat di sini
(Masjid al-Haram) maka sudah mencukupi bagimu untuk
memenuhi nazarmu”. Kemudian Nabi saw., bersabda lagi: “Shalat
di Mesjid ini, yaitu Masjid al-Haram itu lebih utama daripada
seratus ribu kali shalat di selain al-Masjid al-Haram.6
Asbab wurud al-hadits memiliki urgensi, antara lain adalah untuk:
a. Mempermudah memahami Hadits-hadits.
b. Membatasi pengertian hadits yang masih mutlak. Mentafsil (merinci)
hadis yang masih bersifat global.
c. Menentukan ada atau tidak adanya nash-mansukh dalam suatu hadis.
d. Menjelaskan ‘illat (sebab-sebab) ditetapkannya suatu hukum.
e. Menjelaskan maksud suatu hadis yang masih musykil (sulit
dapahami).
f. Menentukan adanya takhsis hadis yang bersifat umum.
g. Mengetahui hikmah disyariatkan suatu hukum.

5 Abu‘Abdillah Muhammad ibn ‘Abdillah al-Hakim al-Naisaburi, al-Mustadrak ‘ala al-Sahihain, Juz. I, hlm.
533.
6 Abu ‘Abdillah Muhammad ibn Yazid al-Qazwini Ibn Majah, Sunan Ibn Majah, Juz. I (Beirut: Dar al-Fikr,
t.th.), hlm. 451.

8
C. Pengertian Ilmu Mukhtalif alhadist
Dalam kajian hadits mukhtalif, para ulama telah merumuskan teori
atau ilmu yang berkaitan dengannya, yaitu ilmu Mukhtalif Hadits. Dengan
memahami ilmu ini sesorang akan terhindar dari kekeliruan dan kesalahan
dalam memahami Hadits-hadits mukhtalif. Dipandang dari segi bahasa,
kata “Mukhtalif” adalah bentuk isimfa’il dari kata ikhtilaf, yang bentuk
masdarnya dari kata ikhtalafa (fi’il madhi). Dipandang dari bahasa, kata
ikhtilaf bermakna “ berselisih atau tidak sepaham”7
Definisi ini menunjukkan bahwa ilmu Mukhtalif Hadits juga dapat
digunakan untuk memahami hadits-hadits Mukhtalif dan juga untuk
menjelaskan kandungan yang termuat dalam hadits tersebut. Secara tidak
langsung ‘Ajjaj al-Kahtib menyatakan bahwa pada hakikatnya tidak ada
hadits yang bertentangan apabila dipahami pertentangannya dengan baik.
Cabang ilmu Mukhtalif Hadits terlahir karena adanya
permasalahan yang menyangkut dalam kajian hadits-hadits mukhtalif, al-
Nawawiy sebagai dikutip oleh al-Suyuthiy,menyebutkan bahwa hadits-
hadits mukhtalif sebagai beriku yang artinya: (Hadis Muktalif) adalah dua
hadis yang saling bertentangan pada makna lahiriahnya(sehingga perlu
dilakukan) upaya pengkompromian antara keduanya atau di-
tarjih(menguatkan salah satu di antara kedua hadis-hadis tersebut)”8. Edi
Safri mengkoreksi definisi ini dengan menyebutkan bahwa definisi ini
sebenarnya mengandung kelemahan yakni kekurangtegasan di dalam
rumusannya. Dikatakan demikian karena rumusan definisi tersebut
mencakup semua hadits yang secara lahiriah tampak saling bertentangan

7 Ahmad Warson Munawwir,Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap,pustaka


progressif, Surabaya, cet 14, 1997, hlm 362.
8 Jalal al-Din al-Rahman ibn Abiy Bakr al-Suyuthi, Tadrib al-Rawiy fiy Syarh Taqrib al-
Nawawiy, Daru al-Fikr, Beirut, t.th, Hlm 196. Lihat oleh Daniel Juned, Ilmu Hadits (Paradigma Baru
dan Rekontruksi Ilmu Hadits), Penerbit Erlangga, t.t, 2010, hlm 111.

9
antara satu dengan lainnya, baik hadits-hadits tersebut sama-sama dalam
kategori Maqbul atau Mardud, tanpa ada batasan.9
Al- Tahanuwiy menambahkan batasan “ dalam katagori Maqbul
dalam rumusan definisinya, di antaranya sebagaimana dikemukakan oleh
Al- Tahanuwiy sebagai berikut:
Artinya: “(Mukhtalif hadits) adalahdua hadis maqbul yang maknanya
secara lahir bertentangan dan untuk itu dilakukan upaya kompromi (untuk
mendamaikan pertentangan)di antara kedua hadis tersebut dengan cara
yang wajar”.10
Al- Tahanuwiy adalah seorang ulama hadits, salah satu bukunya
Qawa’id fiy ‘ulum al-Hadits, memberikan penyelesaian hadits-hadits
mukhtalif dengan cara kompromi saja. Walupun demikian. Berbeda
dengan al-Nawawi, dalam definisi di atas Al- Tahanuwiy mengisyaratkan
hadits-hadits mukhtalif hendaknya diterima sebagai Hujjah atau Maqbul.
Menurut Edi Safri hadits mukhtalif adalah hadits Sahih atau Hasan
yang secara lahiriyahnya tampak saling bertentangan dengan lainnya.
Namun, makna yang sebenarnya atau maksud yang dituju oleh hadits-
hadits tersebut tidaklah bertentangan karena satu dengan yang lainnya
dapat dikompromikan atau dicari jalan penyelesainnya dalam bentuk
Naskh atau Tarjih.11
Di dalam defenisi di atas Edi Safri menawarkan tiga cara, seperti
yang diugkapkan oleh al-Nawawiy, yakni kompromi, Naskh, dan Tarjih.
Tiga definisi di atas mempunyai persamaan dan perbedaan yang mendasar.
Dari segi hadits-hadits mukhtalif ,Tahanuwiy dan Edi Safri mensyaratkan
hadits-hadits yang bertentangan itu harus hadits Maqbul. Sementara al-
Nawawiy tidak mensyaratkan. Dalam aspek metode penyelesainnya,

9 Edi Safri, Al-Imam Al-Syafi’I(metode penyelesain hadits-hadits mukhtalif), hlm 81-82.


10 Syraf al-Din ‘Aliy al-Rajihi, Musthalah al-Hadits wa Asaruh ‘Ala al-Dars al-Lughawiy
‘Inda al-‘Arabiy, Dar al-Nahdhat al-‘arabiyyah, Beirut,tt.h. hlm 217. Sebagaimana dikutip oleh Edi
Safri, Al-Imam Al-Syafi’i(metode penyelesain hadits-hadits mukhtalif),...hlm 82.
11 Edi Safri, Al-Imam Al-Syafi’i(metode penyelesain hadits-hadits mukhtalif), hlm 83.

10
Tahunuwiy hanya menempuh cara kompromi. Sementara al-Nawawiy dan
Edi Safri menawarkan kompromi, Nasakh dan Tarjih.
Dari al-Syafi’i sendiri tidak ditemukan rumusan definisi tentang
hadits-hadits mukhtalif ini. Namun, dengan memperhatikan
pembahasannya menyangkut hadits-hadits mukhtalif ini, tampak bahwa ia
memberikan pengertian yang lebih luas dibandingkan dengan pengertian
yang diberikan di atas. Hal ini dapat dilihat dari tulisan-tulisannya yang
secara khusus membahas hadits-hadits mukhtalif. Selain hadits mukhtalif
dikemukakan di atas, ia juga memasukkan hadits-hadits menyangkut
masalah Tanawwu’al-Ibadah12 ke dalam katagori hadits-hadits mukhtalif
dalam pembahasan tersebut.13
Sejarah Pertumbuhan Ilmu Mukhtalif Hadits, dalam sejarah
perkembangannya dapat dikatakan bahwa praktisnya ilmu ini sebenarnya
sudah ada sejak priode sahabat yang kemudian berkembang dari generasi
ke generasi berikutnya. Dikatakan demikian karena mereka (para ulama)
baik dari kalangan sahabat maupun dari kalangan generasi sesudahnya
dalam berijtihad untuk menemukan jawabnya terhadap berbagai masalah
yang muncul pada zamannya, senantiasa berhadapan dengan hadits-hadits
Nabi Saw, diantaranya terhadap hadits-hadits mukhtalif yang perlu
mendapat perhatian tersendiri yakni untuk menyelesaikan pertentangan
yang kelihatan agar maksud yang dituju dapat dipahami dan hukum-
hukum yang dikandungnya dapat diistinbath-kan dengan baik.14
Perkisaran abad ke-2 dengan abad ke-3 H. ilmu mukhtalif hadits
ini masih saja hanya ada dalam bentuk praktisnya, dengan arti belum
12 6Tanawwu’ al ibadah ialah hadits-hadits yang menerangkan praktek ibadah tertentu yang
dilakukan atau diajarkan Nabi SAW, akan tetapi antara satu dengan yang lainnya tedapat perbedaan
sehingga mengambarkan adanya keberagaman ajaran dalam pelaksanan ibadah tersebut. Lihat : Ibnu
Taymiyah, Majmu al- Fatawa, dar al-Arabiyyah, Beirut, 1398 H, jilid XXII, hlm 335. Sebagaimana
dikutip oleh Edi Safri, Al-Imam Al-Syafi’i, hlm 84.
13 Edi Safri, Al-Imam Al-Syafi’I(metode penyelesain hadits-hadits mukhtalif),… hlm 84.
14 Muhammad ‘Ajjaj al-Khathib, Ushul al-Hadits ‘Ulumuh Wa Mushthalahuh,hlm 284,
Sebagaimana dikutip oleh Edi Safri, Al-Imam Al-Syafi’i(metode penyelesain hadits-hadits
mukhtalif),…hlm 93.

11
merupakan suatu teori yang dapat diwarisi dalam bentuk warisan tulisan.
Pada masa awal sistematis, perumusan dan penulisannya, ilmu yang
berhubungan dengan hadits-hadits yang mukhtalif ini merupakan bagian
dari pembahasan ilmu usul fikih. Ini jelas terlihat dalam rumusan yang
dilakukan oleh Imam Syafi’i membuka lembaran baru sejarah
perkembangan dari yang secara khusus membahas hadits-hadits mukhtalif
dan dalam teori penyelesaian hadits-hadits mukhtalif-nya dalam karyanya”
kitab Ikhtilafal-hadits”, kitabnya yang secara khusus membahas hadits-
hadits mukhtalif dan juga di dalam kitabnya “al-Risalat”.15
Upaya imam al-Syafi’i ini kemudian diikuti oleh Ibn
Qutaybah,16yang juga menulis kitab khusus tentang hadits-hadits
mukhtalif dan penyelesainnya, dengan judul “Ta’wil Mukhtalif al-
Hadits”. Setelah Ibn Qutaybah, kemudian tampil pula al-Thahawiy17
dengan kitabnya “Musykil al-Asar” dan Ibn Furak18 dengan kitabnya
“Musykil al-Hadits Wa Bayanuh” dan sejumlah tokoh lainnya.19

15 Muhammad Idris As-Syafi’i, al-Risalat, Daru al-Fikr, t.t, t.th, hlm 210-342.
16 Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad ‘Abdullah ibn Muslim ibn Qutaibah al-Dainuriy
(213-276 H) Kitabnya “Ta’wil Mukhtalif al-Hadits”, sengaja di tulisnya untuk membantah tuduhan
bahwapara ulama hadits banyak meriwayatkan hadits-hadits yang saling bertentangan atau tidak
sejalan (al-tanaqudh wa al-ikhtilaf), dengan tidak menunjukkan ketidakbenaran tuduhan tersebut.
Nskah asli kitab ini diteliti ulang dan diberi notasi oleh Muhammad Zuhriy al-Najjar dan diterbitkan
oleh Maktabah al-Kuliyyah al-Azharriyyah, Kairo, 1386 H/1966 M. Sebagaimana dikutip oleh Edi
Safri, Al-Imam Al-Syafi’I(metode penyelesain hadits-hadits mukhtalif),…hlm 94
17 11Nama lengkapnya adalah Abu Ja’far Ahmad ibn Muhammad al-Thahawiy (w. 321 H).
Sebagaimana halnya Ibn Qutaibah, al-Tahahawiy menulis kitabnya ‘Muskyl al-Asar” juga
dimaksudkannya sebagai bantahan terhadap tuduhan bahwa hadits-hadits Rasulullah banyak yang
saling bertentangan satu sama lainnya. Kitab ini dicetak di India pada tahun 1333 H. Lihat Muhammad
‘Ajjaj al-Khathib Ushul al-Hadits ‘Ulumuh Wa Mushthalahuh,hlm 286. Sebagaimana dikutip oleh Edi
Safri, Al-Imam Al-Syafi’I(metode penyelesain hadits-hadits mukhtalif),…hlm 94
18 12Nama lengkapnya dalah Abu Bakar ibn al-Hasan ibn Furak al-Anshariy al-Asbahaniy (w.
406 H.), Kitabnya ”Muskil al-Hadits wa Bayanuh” juga dicetak di India. Sebagaimana dikutip oleh
Edi Safri, Al-Imam Al-Syafi’I(metode penyelesain hadits-hadits mukhtalif),…hlm 94
19 Daniel Juned, Ilmu Hadits paradigma baru dan Rekonduksi Ilmu Hadits, Erlangga,2010,
Jakarta, hlm 110. Lihat juga : M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar dan
Pemalsunya, Jakarta: Bulan Bintang, 1995.hlm112

12
Edi Safri menyatakan, kontribusi atau arti penting imam al-Syafi’i
dalam rentangan sejarah perkembangan Ilmu mukhtalif al-Hadits ini tidak
hanya terletak pada kepeloporannya sebagai tokoh pertama yang
mewariskan ilmu ini dalam bentuk warisan tertulis sebagaimana dijelaskan
dalam uraian di atas, melainkan karena sekaligus ia juga telah berhasil
meletakkan kerangka teoritis yang cukup representatif untuk menampung
dan menyelesaikan segala bentuk hadits-hadits muktalif. Dengan
perkataan lain, dengan merujuk dan mempedomani cara-cara penyelesaian
hadits-hadits mukhtalif yang diperkenalkan Imam al-Syafi’i sebagai
terdapat di dalam kitab-kitabnya yang disebut di atas, niscaya setiap
hadits-hadits yang termasuk kategori hadits-hadits mukhtalif dapat
ditemukan jalan keluar penyelesaiannya.20 Oleh karena itu, bila
diperhatikan cara-cara penyelesaian hadits-hadits mukhtalif yang ditempuh
oleh Ibnu Qutaybah, al-Thahawiy dan Ibnu Furaq, di dalam kitab mereka
dapat dikatakan bahwa mereka pada dasarnya hanyalah mengikuti cara-
cara penyelesaian yang sebelumnya telah dicontohkan oleh imam al-
Syafi’i, atau mengembangkan kerangka teoritis yang digariskannya. Jadi
metode atau cara-cara penyelesaian hadits-hadits mukhtalif yang
diperkenalkan dan diwariskan imam al-Syafi’i sebenarnya telah menjadi
rujukan utama di kalangan para muhaddits yang datang kemudian. Oleh
karena itu, barang siapa yang ingin mengetahui dan mendalami Ilmu
Mukhtalif al-Hadits dengan baik, maka ia harus mempelajari metode atau
cara-cara penyelesaian hadits-hadits muktalif yang diwariskan imam al-
Syafi’i.

D. Ilmu Ma’ani al-Hadits


Kata ma‟ani adalah bentuk jamak dari kata ma‟na. Secara bahasa
kata ma‟ani berarti maksud atau arti. Para ahli ilmu
ma‟ani mendefinisikannya sebagai pengungkapan melalui ucapan tentang
sesuatu yang ada dalam pikiran atau disebut juga sebagai gambaran dari
20 Edi Safri, Al-Imam Al-Syafi’I (metode penyelesain hadits-hadits mukhtalif),hlm 95

13
pikiran. Adapun menurut istilah, ilmu ma‟anil hadits berarti ilmu yang
mempelajari hal ihwallafazh atau kata bahasa arab yang sesuai dengan
tuntutan situasi dan kondisi.21
Kata Ma’ani (‫ )معانى‬adalah bentuk jamak dari kata Ma’na (‫)معنى‬.
secara leksikal kata ma’ani berarti maksud atau arti. Ahli ilmu bayan
mendefinisikannya sebagai pengungkapan melalui ucapan tentang sesuatu
yang ada dalam pikiran atau disebut juga sebagai gambaran dari pikiran.
Sedangkan menurut istilah, Ilmu Ma’ani adalah ushul-ushul dan kaidah-
kaidah yang dengannya dapat diketahui hal ikhwal ungkapan Arab sesuai
dengan konteks, situasi dan keadaan yang sesuai dengan tujuan dari
konteks tersebut. Objek kajian ilmu ma’ani adalah kalimat-kalimat yang
berbahasa arab. Tentu ditemukannya ilmu ini bertujuan untuk
mengungkap kemukjizatan al-Qur’an, al-Hadits dan rahasia-rahasia
kefasihan kalimat-kalimat bahasa Arab, baik puisi maupun prosa.
Disamping itu, objek kajian ilmu ma’ani hampir sama dengan ilmu nahwu.
Kaidah-kaidah yang berlaku dan digunakan dalam ilmu nahwu berlaku
dan digunakan pula dalam ilmu ma’ani. Perbedaan antara keduanya
terletak pada wilayahnya. Ilmu nahwu lebih bersifat mufrad (berdiri
sendiri) sedangkan ilmu ma’ani lebih bersifat tarkibi (dipengaruhi faktor
lain).22
Ma’ani al-hadis merupakan proses lanjutan setelah langkah
penelitian otentisitas hadis. Ke sahih-an hadis baik dari segi sanad dan
matan, belum berarti hadis tersebut dapat langsung diaplikasikan sebagai
‘doktrin’ beramal. Perlu penelitian lanjut tentang bagaimana mengungkap
maksud sebenarnya dari yang diinginkan oleh Nabi sebagai pemilik
kalam.23Di dalam literatur istilah yang dipakai untuk merujuk kepada
ma’ani al-had adalah fiqh al-hadis. Kata fiqh berarti al-ilm bil-syar’i wal-
21 Disadur dari http://riungsastra.wordpress.com/2010/10/16/pengertian-ilmu-ma%E2%80%99ani/
22 Ibrahim Muhlis S.Th.I. Ilmu Ma’ani al-Hadis, Jum’at, 24 Juni 2011. http://ibrahim-
muhlis.blogspot.com/2011/06/ilmu-maani-al-hadis.html
23 Ahmad Muttaqin, Konstruksi Ilmu Ma’ani al-Hadis Kaum Kontekstualis, Jurnal Farabi IAIN Gorontalo,
Vol. 13, No. 1, hlm. 171.

14
fahmu lahu (mengetahui dan memahami sesuatu).24 Adapun kata al-
ma’ani sebagai bentuk plural dari al-ma’ana, menurut Ibn Manzur, sama
artinya dengan kata al-tafsir dan al-ta’wil.25 Artinya fiqh (al-fuqaha’u.
Sebab, sebagaimana ungkapan Muhammad Khalfa Salamah, seorang
fuqaha hanya akan menjadi ahli fiqih jika dia juga seorang ahli hadis
(muhaddis).26
Pemahaman hadis secara tekstual dilakukan bila hadis yang
bersangkutan, setelah dihubungkan segi-segi yang berkaitan dengannya,
misal latar belakang kejadiannya, tetap menuntut pemahaman sesuai
dengan apa yang tertulis dalam teks hadis yang bersangkutan. Sedangkan,
pemahaman dan penerapan hadis yang kontekstual dilakukan bila dari
suatu hadis tersebut, ada petunjuk yang kuat yang mengharuskan hadis
tersebut dipahami dan diterapkan tidak sebagaimana maknanya yang
tersurat, melainkan dengan makna tersirat atau kontekstual (bukan makna
sebenarnya).27
Ilmu ma’anil hadits sangat penting dalam konteks pengembangan
studi hadis, antara lain:
1. Untuk memberikan prinsip-prinsip metodologi dalam memahami
hadis.
2. Untuk mengembangkan pemahaman hadis secara kontekstual
dan progresif.
3. Untuk melengkapi kajian ilmu hadits riwayah, sebab kajian hadits
riwayah saja tidak cukup.
4. Sebagai kritik terhadap model pemahaman hadis yang terasa rigid
dan kaku.28

24 Ibn al-Manzur, Lisan al-‘Arabi, hlm. 3450.


25 Ibid. Hlm. 3147
26 Muhammad Khalfa Salam, Lisan al-Muhaddisin dalam DVD ROM al-Maktabah al-Syamilah, juz 4, hlm.
125.
27 M. Syuhudi Ismail, Hadits Nabi yang Tekstual dan Kontekstual:Telaah Ma‟ani al -Haditstentang Ajaran
Islam yang Universal, Temporal dan Lokal, (Jakarta: Bulan Bintang, 1994), hlm.6.
28 Disadur dari http://komex.walsite.me/Ilmu%20Maanil%20Hadits

15
Contoh Penerapan Ilmu Ma’anil Hadits salah satunya yaitu yang artinya: “Abu
Hurairah radhiyallahuanhu menceritakan, bahwa RasulullahShallallaahu
„alayhi wa Sallam bersabda, “Pandanglah orang yang ada di bawahmu,
jangan kamu pandang orang yang ada di atasmu, karena hal ini akan lebih
menyadarkanmu untuk tidak meremehkan nikmat Allah yang ada pada
dirimu.” (Muttafaq „alayh).29
Hadis ini menjelaskan perintah untuk melihat orang-orang yang
nasibnya kurang baik (miskin) dari pada kita, dan larangan untuk
memandang atau melihat orang-orang yang lebih kaya raya dari kita,
karena hal seperti itu dapat memunculkan rasa iri dan menjadi kufur
nikmat dengan apa yang Allah berikan pada kita. Hadis ini secara tersirat
menuntun kita untuk selalu bersyukur dan tidak meremehkan nikmat-Nya
serta membantu orang-orang yang membutuhkan.

29 Hamim Thohari, Terjemah Bulughul Maram, (Yogyakarta: Al Birr Press, 2009), hlm. 519.

16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut Al Zarqoni, Ilmu Rijal al-Hadits adalah: "Ilmu untuk
mengetahui para periwayat hadits dari segi pribadi mereka sebagai perawi
hadits" (Shubhi al Shalih, 1988: 110). Hasbi ash Shiddiqi mendefinisikan
Ilmu Rijal al-Hadits sebagai:Ilmu yang membahas para perawi hadits, baik
dari sahabat, dari tabi'in maupun dari perangkatan-perangkatan
sesudahnya" (Hashbi ash Shiddiqi, 1991: 153). Dari kedua- pengertian di
atas, dapat dipahami bahwa Ilmu Rijal al-Hadits adalah ilmu yang
mempelajari hal-ihwal para perawi hadits.
Asbab wurud al-hadits merupakan susunan idafah, yang terdiri dari
tiga unsur kata, yaitu asbab, wurud dan al-hadis. Asbab adalah bentuk
jam‘(fulral) dari sabab, yang berarti dengan al-habl (tali), saluran yang
artinya dijelaskan sebagai segala yang menghubungakan satu benda
dengan benda lainnya sedangakan menurut istilah adalah: “Segala sesuatu
yang mengantarkan pada tujuan”.
Dipandang dari segi bahasa, kata “Mukhtalif” adalah bentuk
isimfa’il dari kata ikhtilaf, yang bentuk masdarnya dari kata ikhtalafa (fi’il
madhi). Dipandang dari bahasa, kata ikhtilaf bermakna “ berselisih atau
tidak sepaham”. Menurut Edi Safri hadits mukhtalif adalah hadits Sahih
atau Hasan yang secara lahiriyahnya tampak saling bertentangan dengan
lainnya. Namun, makna yang sebenarnya atau maksud yang dituju oleh
hadits-hadits tersebut tidaklah bertentangan karena satu dengan yang
lainnya dapat dikompromikan atau dicari jalan penyelesainnya dalam
bentuk Naskh atau Tarjih.
Kata Ma’ani (‫ )معانى‬adalah bentuk jamak dari kata Ma’na (‫)معنى‬.
secara leksikal kata ma’ani berarti maksud atau arti. Sedangkan menurut
istilah, Ilmu Ma’ani adalah ushul-ushul dan kaidah-kaidah yang
dengannya dapat diketahui hal ikhwal ungkapan Arab sesuai dengan

17
konteks, situasi dan keadaan yang sesuai dengan tujuan dari konteks
tersebut.

B. Saran
Mungkin didalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan
yang disebabkan oleh keterbatasan pengetahuan kami. Oleh karena itu,
kami mohon kritik dan saran yang bersifat membangun dari setiap pihak
yang terkait. Sehingga, kami dapat menjadikannya sebagai motivasi guna
perbaikan dalam proses belajar kami selanjutnya. Kami juga berharap agar
setiap isi makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

18
Daftar Pustaka
‘Abdillah Muhammad ibn ‘Abdillah al-Hakim al-Naisaburi, Abu. 1990. al-
Mustadrak ‘ala al-Sahihain, Juz. I (Cet. I; Beirut: Dar al-Kutub al-
‘Ilmiyah, 1411 H./1990 M.)

Al-Manzur, Ibn. Lisan al-‘Arabi. Kairo: Dar al-Ma’arif. t.t.

Gusti, Kusmaningsih Abdining. Ulumul Hadits-Ilmu Ma’anil Hadits. Islamic


Education, Al-Hadits, Ilmu Hadits.
https://www.academia.edu/4822306/_MAKALAH_PAPER_Ulumul_Ha
dits_-_Ilmu_Maanil_Hadits.

Idris As-Syafi’i, Muhammad. Al-Risalat, Daru al-Fikr, t.t, t.th

Ismail, Syuhudi. 1994. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah
Ma’ani al - Hadits tentang Ajaran yangUniversal, Temporal dan Lokal,
Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
Muhlis Ibrahim. Ilmu Ma’ani al-Hadis. http://ibrahim-
muhlis.blogspot.com/2011/06/ilmu-maani-al-hadis.html. Jum’at, 24 Juni
2011.

Juned Daniel. 2010. Ilmu Hadits paradigma baru dan Rekonduksi Ilmu Hadits.
Jakarta: Erlangga.

Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, Teungku. 2001. Sejarah dan Pengantar Ilmu


Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2001.

Mustaqim Abdul. 2008. Ilmu Ma’anil Hadits: Paradigma Interkoneksi.


Yogyakarta: Idea Press.

1
Muttaqin Ahmad. 2016. Konstruksi Ilmu Ma’ani al-Hadis Kaum Kontekstualis.
Jurnal Farabi IAIN Gorontalo, Vol. 13. No. 1.

Safri Edi. Al-Imam Al-Syafi’I (metode penyelesain hadits-hadits mukhtalif)

Salam, Muhammad Khalfa. Lisan al-Muhaddisin dalam DVD ROM al-Maktabah


al-Syamilah, juz. 4.

Suparta Munzier. 2008. Ilmu Hadits. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Syuhudi Ismail, Muhammad. 1995. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar


dan Pemalsunya. Jakarta: Bulan Bintang

Thohari, Hamim. Terjemah Bulughul Maram (Abu Hajar Al


„Asqalani), Yogyakarta: Al Birr Press, 2009.

Warson Munawwir, Ahmad. 1997. Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia


Terlengkap. Surabaya: Pustaka
Progressif.

Anda mungkin juga menyukai