Anda di halaman 1dari 4

Menakar Sikap Atas Gagasan

Untuk Tidak Berketurunan


(Child Free)
Oleh:
M. Adli Hakim H., SH. MH. CPCLE.
Ketua Bidang Hukum HAM dan Analisa Kebijakan Publik
Pimpinan Pusat Pemuda Persatuan Islam

Pendahuluan
Naluri atau insting dalam kamus besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai dorongan hati
atau nafsu yang dibawa sejak lahir dan menjadi pembawaan alami yang tidak disadari sehingga
mendorong suatu organisme mahluk hidup/spesies untuk berbuat sesuatu. Allah SWT. Memberikan
naluri kepada setiap mahluk hidup tidak terkecuali manusia. Naluri aktif di alam bawah sadar
sehingga suatu reaksi tertentu yang berdasar pada naluri dapat ditunjukan oleh spesies tanpa perlu
adanya pengetahuan. Reaksi tersebut dapat berupa tingkah laku, perbuatan, kebiasaan, atau pada
manusia dapat berbentuk sikap bahkan kebudayaan.
Manusia pada dasarnya dikendalikan oleh 2 (dua) naluri yaitu:
pertama, naluri untuk mepertahankan diri yaitu dorongan untuk melakukan rangkaian
perilaku yang menjamin keberlangsungan hidup individu. Naluri mempertahankan diri
diejawantahkan salahsatunya dengan fitur mahluk hidup paling primitif yaitu kemampuan untuk
merasakan takut, dan indra yang dapat merasakan sakit. Kemampuan merasakan takut dan sakit
memaksa otak manusia untuk sebisa mungkin menghindari hal-hal yang diduga akan menyebabkan
perasaan demikian yang disimpulkan kemudian sebagai bahaya yang dapat mengancam
keselamatan diri.
Kedua, naluri untuk mempertahankan keberlangsungan spesies yaitu dorongan bawah sadar
untuk menjaga agar spesies tersebut tetap ada sepanjang eksistensi ekosistem. Naluri
mempertahankan spesies khususnya pada manusia dapat diamati dari: adanya rasa ketertarikan
dengan lawan jenis antara laki-laki dan perempuan, rasa cemburu, rasa ketertarikan untuk
melakukan reproduksi dan termasuk adanya rasa sayang terhadap bayi/anak kecil dan kerelaan
untuk memeliharanya.
Bagi beberapa spesies selain manusia, naluri untuk mempertahankan spesies jauh lebih kuat
dari naluri mempertahankan diri. Itulah mengapa belalang sembah jantan tetap melakukan kawin
dan membuahi betinanya meskipun dengan cara memenggal kepala si jantan. Atau beberapa spesies
laba-laba yang mengharuskan si betina memakan jantannya ketika kawin sebagai bahan nutrisi
untuk telur-telur yang dihasilkan. Adapun pada spesies manusia terdapat hal yang unik dimana
naluri mempertahankan diri lebih dominan pada laki-laki dan naluri mempertahankan
keberlangsungan spesies lebih dominan pada perempuan. Maka struktur tubuh dan otak laki-laki
yang memiliki hormon tostesteron dominan seolah dirancang khsusus untuk perilaku
mempertahankan diri. Disisi lain struktur tubuh perempuan yang memiliki organ reproduksi dan
hormon di otaknya seolah disesuaikan untuk memelihara keberlangsungan spesies.
Naluri mempertahankan diri dan naluri mempertahankan keberlangsungan spesies tidak
hanya diejawantahkan dalam tataran individu tetapi juga dalam tataran kelompok sehingga
betapapun banyaknya golongan suku budaya dan peradaban namun kita dapat menemukan adanya

1
budaya universal, imbas dari dua naluri dasar manusia. Contohnya adalah budaya pernikahan yang
mempertemukan laki-laki dan perempuan untuk hidup bersama dan bereproduksi.
August Weisman, seorang pakar biologi mengemukakan bahwa kawin adalah kesempatan
bagi dua organisme dalam satu spesies yang sama untuk mengumpulkan sumberdaya mereka.
Dalam hal ini laki-laki yang lebih kapabel untuk mempertahankan diri namun tidak bisa
mempertahankan keberlangsungan spesies, berkolaborasi dengan perempuan yang mampu
mempertahankan keberlangsungan spesies namun kurang kapabel dalam mempertahankan diri.
Maka dua kepentingan dari dorongan naluri tersebut dilembagakan oleh budaya masyarakat dalam
lembaga perkawinan sehingga menghasilkan manfaat yang produktif.
Perempuan memenuhi naluri bertahan hidup dengan meminta perlindungan seorang laki-laki
yang menjadi pasangannya, dan laki-laki memenuhi naluri mempertahankan spesies dengan
melindungi perempuan yang menjadi istrinya. Singkatnya, bagi manusia lembaga pernikahan inilah
yang menjadikan naluri mempertahankan diri dan naluri mempertahankan keberlangsungan spesies
menjadi satu kesatuan dan akan lebih terasa sempurna saat perkawinan tersebut menghasilkan
seorang anak.
Dalam perkembangannya rasa sayang terhadap Anak selain untuk keberlangsungan spesies
juga dibumbui dengan manfaat lain, contoh yang dapat diamati hingga saat ini adalah anak sebagai
pewaris cita-cita. Contoh lain misalnya pada zaman dahulu dalam konteks masyarakat agraris, anak
dapat difungsikan sebagai tambahan tenaga kerja untuk menggarap lahan pertanian yang luas agar
hasil panen dapat memenuhi pasokan makanan keluarga. Pada saat itu, secara umum bahan pangan
terbatas pada hasil bumi, tanah yang luas masih bebas untuk digarap bahkan dengan tradisi trukah
(babat hutan), namun disisi lain manusia masih relatif sedikit. Anak yang disayangi serta berbakti
membantu keluarga menjadi perpaduan sempurna pemenuhan naluri mempertahankan diri dan
mempertrahankan keberlangsungan spesies. Patut diduga dari sinilah asal muasal adagium “banyak
anak, banyak rezeki”.

Imbas Perubahan Tantangan Alam dan Tantangan Sosial


Seiring kemajuan zaman, dorongan naluri mempertahankan diri dan mempertahankan
keberlangsungan spesies mengalami pergeseran. Pergeseran ini terjadi karena berbagai faktor
diantaranya adalah faktor alam dan faktor sosial. Sebagaimana penulis ulas di awal bahwa naluri
adalah dorongan alam bawah sadar yang memunculkan sikap dan tentunya mempengaruhi pilihan.
Kaitannya dengan faktor alam adalah, ketika tantangan alam zaman dahulu telah berubah maka cara
manusia menyikapinya juga berubah. Sesederhana rasa takut terhadap gelap yang dahulu menjadi
masalah, kini telah diatasi oleh lampu penerangan yang tersebar luas dimana mana.
Demikian juga tantangan sosial zaman dahulu telah berubah, hukum telah berubah dan
perspektif masyarakat telah berubah. Ketika angka harapan hidup manusia meningkat pesat, naluri
mempertahankan diri akan mengalami reorientasi. Ketika pranata sosial memungkinkan seorang
wanita untuk menjadi sangat sukses dan menonjol di bidangnya sehingga bergelimang harta karena
karyanya sendiri, naluri mempertahankan keberlangsungan spesies akan mengalami reorientasi
karena ia merasa telah meraih keamanan dan puas akan hidup serta pencapaiannya. Ia akan fokus
pada prestasi demi prestasi yang dapat dicapai dibanding berfikir untuk bereproduksi. Hal ini
selaras dengan penelitian University of Toronto yang menyimpulkan bahwa tingkat pendidikan
seorang wanita adalah faktor penting dalam menentukan apakah dia memutuskan ingin mempunyai
anak atau tidak. Semakin tinggi jenjang pendidikan, makin sedikit keinginan untuk memiliki anak.
Paling tidak disepanjang usia keemasannya. Riset ini memang belum tentu akurat namun
pergeseran preanata sosial adalah fakta dan perubahan cara manusia menyikapi hidup akibat
perubahan tantangan adalah nyata.
Satu hal unik kekinian adalah sudut pandang sebagian kaum perempuan yang melihat bahwa
ternyata dibanding apa yang bisa diraih dalam hidupnya, proses hamil, melahirkan sangat menyita
waktu menguras tenaga dan persalinan mengancam hidup. Jika ia adalah pekerja, bisa jadi hal itu
penghambat karir terbesar dalam hidupnya sehingga nalurinya memperingatkan tanda bahaya.
2
Selaras dengan itu kaum laki-laki melihat potensi resiko yang lebih besar sebagai konsekuensi dari
membesarkan anak dan nalurinya pun merasakan tanda bahaya. Sekali lagi dua kepentingan
bertemu, maka tidak mengherankan jika sebagian pasangan memilih untuk tidak mempunyai anak
/tidak berketurunan (child free) dan bahkan sebagian orang memilih untuk tidak memiliki pasangan
samasekali.

Environment Ethic Sebagai Justifikasi


Belakangan pergeseran orientasi naluri dasar manusia yang menyebabkan sebagian orang
memilih untuk tidak memiliki anak juga menemukan justifikasi dengan isu over popolasi penduduk
bumi. Dinyatakan bahwa idealnya bumi dihuni hanya oleh 2 milyar manusia namun saat ini
populasi telah mendekati 8 milyar manusia dan terus bertambah ratusan juta tiap tahunnya. Para
ilmuwan dan aktifis lingkungan mengultimatum kelebihan populasi ini berbahaya karena
menggerus Sumber daya alam dengan cepat dan bumi akan semakin sakit. Hamparan tanah di bumi
yang hanya sekitar 2,9 milyar hektar, jika ditanami diperhitungkan hanya dapat mencukupi
kebutuhan pangan maksimal 10 milyar manusia. Stephen Hawking salahsatu yang berpandangan
bahwa jikapun bumi bertahan sampai 100 tahun kedepan, saat itu semuanya telah hancur.
Isu kerusakan bumi karena over populasi telah banyak dsuarakan baik secara formal ataupun
non formal. Propaganda terus dilakukan melalui media dan pop culture. Jika kita sadari, itulah tema
yang diangkat oleh Dan Brown, Marvel Cinematik Universe (MCU), Masashi Kishimoto, dan
seniman lain. Dari sana dunia mengenal Thanos yang memiliki visi menghapus setengah populasi
mahluk hidup demi memberikan pangan yang cukup dan alam yang sehat bagi setengah yang
tersisa. Dunia menegnal Betrand Zobrist yang berupaya memandulkan setengah populasi menusia
agar tak berketurunan dan perlahan menghambat laju pertumbuhan penduduk. Demikian juga
Uchiha Madara yang berkonspirasi untuk memenjarakan manusia di alam fikirnya agar berhenti
membuat kerusakan di alam fisik. Juga masih banyak tokoh lain yang dipertunjukkan sebagai
bagian dari propaganda.
Dengan isu overpopulasi, motif pribadi yang yang telah mengalami pergeseran nilai dan
memilih untuk tidak memiliki anak bertemu dengan motif lingkungan untuk tidak menambah
jumlah populasi bumi.
Masalah Pada Gagasan Child Free
Atas justifikasi yang telah diuraikan, kita sebagai spesies berfikir wajar untuk
mempertanyakan, apakah isu lingkungan ini benar-benar menjadi pertimbangan dari para
pengusung gagasan chiild free atau hanya sebatas justifikasi tambahan untuk memperkuat
argumentasinya? Tentu hanya Allah SWT. dan mereka sendiri yang mengetahui. Namun jika
digolongkan pada pilihan sikap, maka gagasan lingkungan hingga seseorang memilih untuk child
free dapat dikatakan cukup ekstrem karena masalah lingkungan adalah hal yang berjenjang dan
berlapis selaras dengan solusi yang juga berjenjang dan berlapis.
Masalah over populasi tidak melulu karena jumlah manusianya tetapi karena jumlah
konsumsi, pola konsumsi, jumlah eksploitasi, dan jumlah sampah yang dihasilkan. Maksudnya
populasi itu mengonsumsi Sumber daya yang terlalu banyak. Dengan demikian upaya untuk
melestarikan lingkungan dimulai dari cara konsumsi, cara kita mengelola sampah dan ketegasan
kita akan ekploitasi sumber daya alam khususnya yang tidak dapat diperbarui.
Tidak berketurunan tidaklah serta merta mengentaskan masalah yang dihasilkan dari
kelebihan populasi bumi jika populasi yang tersisa tetap melakukan eksploitasi tanpa
memperhatikan sustainabilitas lingkungan hidup. Alam akan tetap rusak jika populasi yang semakin
sedikit karena tidak berketurunan (katakanlah) tetap menggunakan kendaraan dengan bahan bakar
fosil, pembangkit-pembangkit listrik masih dihidupkan dari batubara, dan bangunan-bangunan tetap
didirikan tanpa memperhatikan struktur tanah. Patut diduga bahwa gagasan etika lingkungan yang
dijadikan justifikasi untuk memilih tidak berketurunan adalah gagasan yang tidak ekuivalen dengan
tujuannya.

3
Namun terlepas dari hal itu tentu manusia memiliki kebebasan berfikir, dan pikiran tidak
tersentuh oleh hukum dan karenanya tidak dapat dihukumi. Jika pikiran itu kemudian menentukan
pilihan maka pilihan-pilihan itu dihadapkan pada konsekuensi. Allah berfirman dalam surat Al-
Kahfi ayat 29: “Dan katakanlah: Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; maka barangsiapa yang
ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) biarlah ia kafir….”. Maka
manusia bebas untuk menentukan pilihan, bahkan pilihan fundamental apakah hendak beriman atau
kafir. Adapun Islam bukan berperan sebagai unsur pemaksa melainkan berperan untuk memberikan
informasi atas konsekuensi dari pilihan-pilihan tersebut. Islam memberikan inspirasi bahwa setiap
pilihan mendatangkan konsekuensi bukan Hanya di dunia tapi juga di akhirat. Hal ini
mengindikasikan bahwa Islam sangat menghormati kebebasan berfikir.
Gagasan dan Fikiran untuk tidak berketurunan yang telah kita ulas bisa bersumber dari
perubahan paradigma naluri dasar manusia. Hal ini tidaklah serta merta berlaku kolektif karena
pergeseran naluri dilatarbelakangi pengalaman individu yang sangat personal dan berbeda satu
sama lain. Maka pilihan individu cukup dijalankan secara individu berdasarkan apa yang ia yakini
karena ketika pikiran yang membuahkan pilihan individu kemudian dibawa ke ruang publik, maka
disanalah berlaku hukum Ruang publik. Yaitu satu hal yang dengan sengaja disimpan di ruang
publik memberikan hak bagi publik untuk bereaksi yang olehkarenanya hal tersebut bisa
digolongkan menginspirasi atau bahkan mengganggu dan/atau meresahkan publik.
Baru-baru ini gagasan child free gaungnya terasa lebih keras karena pihak-pihak yang
memilih demikian tidak hanya menyimpan secara pribadi namun juga mewartakannya ke Ruang
publik dengan justifikasi yang mungkin tidak terlalu bisa disaring oleh kalangan awam. Sayangnya
beberapa dari mereka adalah tokoh masyarakat yang memiliki pengaruh besar dan memiliki banyak
pengikut.
Propaganda child free berpotensi kuat menyalahi cita pembangunan bangsa untuk
menyongsong generasi emas yang diperkirakan puncaknya pada tahun 2045. Banyak yang telah
disiapkan oleh pemerintah untuk menyambut bonus demografi kaum muda Indonesia dari mulai
regulasi sederhana sampai dengan regulasi paling kontroversial yaitu UU Cipta Kerja. Bonus
demografi tersebut dikarenakan kaum muda usia produktif jauh melebihi yang dibutuhkan suatu
negara untuk menjadi negara maju. Hal ini merupakan kesempatan bagi bangsa Indonesia, negara
dengan muslim terbesar di dunia untuk bisa bersaing dan berkontribusi terbaik bagi dunia. Bonus
demografi ini menjadi kunci karena negara-negara maju saat ini justru memiliki populasi yang
terlalu tua (aging population), antara lain karena pilihan untuk tidak berketurunan.
Apakah propaganda atas gagasan tidak berketurunan justru kontraproduktif dengan program
dan cita pembangunan pemerintah? Karena hal ini telah disuarakan di ruang publik maka instrumen
negara termasuk penegak hukum memiliki kewenangan untuk memeriksa dan bahkan melakukan
proses atas hal ini guna menghindari dampak negatif dari propaganda untuk tidak berketurunan.
Tidak terlepas dari hal itu kita sebagai umat Islam patut menyikapi segala isu yang
berkembang dengan bijak. Penulis yakin bahwa perbedaan pendapat akan senantiasa terjadi namun
dalam tatanan masyarakat, bagaimana seorang muslim harus bisa menjadi pelopor perdamaian dan
persatuan. Terlebih ada “resep anti rugi dijamin selamat” yang telah dipercayakan pada kita sebagai
manusia dalam QS. al-‘Ashr, yaitu iman, dibuktikan dengan amal shaleh yang mencakup perilaku
saling mengajak pada kebaikan dan kesabaran. Cukuplah resep tersebut menjadi filter bagi kita atas
segala isu dan gagasan yang berkembang ditengah lalulintas kecepatan informasi dunia dewasa kini.

Anda mungkin juga menyukai