Anda di halaman 1dari 3

Mukhtamar XIII Pemuda Persis

Antara Titik Balik dan Zona Nyaman


“Muslim yang bergaul dengan masyarakat dan bersabar atas
kelakuan masyarakatnya lebih baik daripada muslim yang
tidak bergaul karena tidak sabar dengan kelakuan
masyarakatnya” (HR. Tirmidzi)

Aristoteles (384-322 SM) seorang ahli filsafat Yunani kuno menyatakan


bahwa manusia adalah zoon politicon / mahluk sosial yaitu manusia itu sebagai makhluk pada
dasarnya selalu ingin bergaul satu sama lain dan tergabung dalam masyarakat. Karena sifatnya
ingin bergaul satu sama lain ini lah maka manusia disebut sebagai makhluk sosial. Kebutuhan
untuk selalu ingin bergaul satu sama lain menyiratkan ada kepentingan yang diharapkan untuk
dicapai dengan adanya interaksi tersebut. Maka dari sini berkembanglah teori kepentingan yang
justru sedikit banyak mereduksi makna zoon politicon, bahwa kecenderungan manusia untuk
berinteraksi bukanlah karena butuh atas interaksi tersebut namun merupakan cara untuk
mencapai kepentingan. Teori ini menyatakan bahwa sejatinya manusia justru adalah mahluk
yang sangat individual dan hanya menjalin interaksi sepanjang menguntungkan secara pribadi.
Abad-abad selanjutnya setelah kedatangan Islam dunia diisi dengan limpahan ilmu
pengetahuan buah dari turunnya al-Qur’an ke tengah-tengah manusia. Suatu kondisi yang agak
sulit dibayangkan berkaca pada zaman ini namun benar-benar pernah terjadi (dan akan kembali
terjadi) yaitu al-Qur’an menjadi bacaan paling hits di dunia dan menjadi sumber pengkajian atas
pertanyaan-pertanyaan sains bahkan filsafat. Pertanyaan mengenai hakikat manusia dan
kehidupan sudah tidak lagi berkiblat pada ajaran filusuf Yunani kuno akantetapi berkiblat pada
ayat-ayat Allah SWT. Maka demikian juga mengenai pertanyaan apakah manusia merupakan
zoon politicon dijawab tegas dalam alqur’an diantaranya Q.S. at-Taubah ayat 71:
َ‫صالَةَ َوي ُْؤتُونَ ال َّز َكاةَ َوي ُِطيعُون‬ ِ ‫ْض يَأْ ُمرُونَ بِ ْال َم ْعر‬
َّ ‫ُوف َويَ ْنهَوْ نَ َع ِن ْال ُمن َك ِر َويُقِي ُمونَ ال‬ ٍ ‫ضهُ ْم أَوْ لِيَاء بَع‬ ُ ‫َو ْال ُم ْؤ ِمنُونَ َو ْال ُم ْؤ ِمن‬
ُ ‫َات بَ ْع‬
ٌ ‫هّللا‬ ‫هّللا‬
ِ ‫ك َسيَرْ َح ُمهُ ُم ُ إِ َّن َ ع‬
‫َزيز َح ِكي ٌم‬ َ ِ‫هّللا َ َو َرسُولَهُ أُوْ لَـئ‬

Artinya:
Dan orang-orang mukmin laki-laki dan orang-orang mukmin perempuan, sebagian mereka
menjadi para penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh yang ma'ruf, mencegah yang
munkar, dan melaksanakan shalat secara berkesinambungan, menunaikan zakat, dan mereka taat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan dirahmati Allah. Sesungguhnya, Allah Maha
Perkasa, lagi Maha Bijaksana.

Ayat ini menegaskan bahwa interaksi sosial layaknya zoon politicon sebagaimana pendapat
Aristoteles adalah benar namun interaksi demikian bukanlah tujuan, atau manusia berinteraksi
sosial bukan hanya untuk mengejar kepuasan karena melakukan interaksi akan tetapi interaksi
sosial yang dilakukan manusia paling tidak memiliki dua tujuan, pertama tujuan eksternal, yaitu
manusia berfungsi sebagai alat control bagi manusia lainnya. Hal ini terbukti dengan kalimat
“sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian lain, mereka menyuruh ma’ruf dan
mencegah yang munkar”. Kedua, adalah fungsi internal adalah sebagai bukti keta’atan kepada
Allah SWT. Agar kemudian dengan keta’atan tersebut menjadi pintu untuk membukakan
rahmat-Nya.

Islam memperkenalkan konsep “peran manusia” dalam kehidupan sosial sehingga manusia
menyadari bahwa dirinya adalah bagian dari sesuatu yang besar. Ide ini memberikan daya hidup
yang luar biasa besar karena jika sebelumnya manusia beranggapann bahwa bersosial hanyalah
sifat alami semata, layaknya semut yang secara alami berkerumun membangun sarang, atau
lebah yang secara alami menghasilkan madu, betapapun menakjubkan namun hal demikian
hanyalah ciri khas dari satu spesies dan bukan sesuatu ciri keunggulan. Islam datang dengan
informasi bahwa manusia secara individu saja adalah mahluk/spesies yang diciptakan untuk
unggul dan dirancang dengan “Fii ahsani taqwim”. Kemudian spesies unggul ini diberikan peran
untuk menjadi khalifah dimuka bumi yang dalam menjalankan tugas kekhalifahannya manusia
harus menjadi agent social of control bagi sesamanya. Manusia khususnya muslim menjadi
paham bahwa kecenderungannya untuk bersosial adalah amanah dari sang Khaliq.

Namun interaksi sosial faktanya banyak menimbulkan masalah tersendiri dikarenakan terjadinya
perbedaan pandangan dan cara menyikapinya yang sangat beragam. Bagi muslim hal ini
berkenaan dengan cara hidup dan tanggungjawab untuk berdakwah. Setiap muslim pasti
mengetahui bahwa pada hakikatnya setiap manusia berada dalam kerugian dan cara untuk
terlepas dari kerugian hanyalah dengan cara dakwah, yang diilustrasikan alquran dengan:
pembuktian iman dengan amal shaleh yang mencakup kegiatan mengajak pada al-Haq dan
mengajak pada kesabaran (Q.S. Al-Ashr). maka siapapun kita, apapun profesi dan jabatan kita,
berapapun usia kita, jika kita merasa sebagai manusia dan tidak ingin ditimpa kerugian, maka
dakwah lah jalannya. Adapun dakwah tentunya melibatkan kegiatan bergaul dengan masyarakat.
Disinilah salahsatu hikmah mengapa Allah SWT dalam surat Al-Ashr menutup ayat dengan
kalimat “wa tawasau bi shobr” / dan mengajak pada kesabaran. Karena dalam menjalankan
interaksi sosial terlebih untuk menjalankan dakwah, setiap orang dituntut untuk bersabar.
Berkaitan dengan ini Rasulullah saw. Pernah berpesan dalam satu hadits:

‫ قَــا َل « إِ َّن‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ ع َِن النَّبِ ِّى‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ب النَّبِ ِّى‬ ِ ‫ْخ ِم ْن أَصْ َحا‬ٍ ‫ب ع َْن َشي‬ ٍ ‫ع َْن يَحْ يَى ب ِْن َوثَّا‬
.» ‫اس َوالَ يَصْ بِ ُر َعلَى أَ َذاهُ ْم‬
َ َّ‫اس َويَصْ بِ ُر َعلَى أَ َذاهُ ْم خَ ْي ٌر ِمنَ ْال ُم ْسلِ ِم الَّ ِذى الَ يُخَالِطُ الن‬
َ َّ‫ْال ُم ْسلِ َم إِ َذا َكانَ ُمخَالِطًا الن‬
Yahya bin Watsab meriwayatkan dari seorang alim dari shahabat Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam, bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya
seorang muslim, jika ia bergaul dengan manusia dan bersabar atas gangguan mereka lebih baik
daripada seorang muslim yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak sabat atas gangguan
mereka.” HR. Tirmidzi dan dishahihkan oleh Al Albani di dalam kitab Silsilat Al Ahadits Ash
Shahihah, no. 939.

Anda mungkin juga menyukai