Anda di halaman 1dari 10

Nama : Fikar Arianda H Respon paper

Nim : 1110103010036
Jurusan : Ilmu Politik
Mata Kuliah : Politik Lokal dan Otonomi Daerah
Tema : Politik Lokal dan Otonomi Daerah di Aceh
Judul : “ Efeksifitas Dana Otonomi Khusus Terhadap Pembangunan dan
Kesejahteraan di Aceh “

Pendahuluan

Perundingan RI-GAM di Helsinki merupakan peristiwa penting baik bagi

Aceh, Indonesia maupun dunia, baik jika dilihat dari rangkaian sejarah dan

kemanusiaan maupun jika di pertimbangkan dari aspek budaya dan tindakan para

actor dari pihak-pihak yang terlibat di dalam upaya pencapaian kesepakatan politik

damai RI-GAM. Dalam persepektif sosiologi, perundingan itu bukan hanya saja

sebagai sebuah upaya transformasi perang bersenjata ke perang politik, tetapi

merupakan sebuah arena kompetisi untuk menciptakan sebuah tatanan baru yang

sesuai dengan kehendak masing-masing pihak ( RI-GAM ), dengan

mempertimbangkan segala sesuatu yang pernah di cita-citakan dan kepahitan yang

telah dialami sepanjang masa perang. Berikut kronik perundingan hingga tercapainya

kesepakatan yang termaktub dalam MoU:

1. 27-29 Januari 2005 Crisis Management Initiative memfasilitsi pembicaraan

informal pertama antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka

setelah terjadinya bencana tsunami tanggal 26 Desember 2006.


2. 21-23 Februari 2005 Crisis Management Initiative memfasilitasi putaran

pembicaraan kedua di luar Helsinki.

3. 12-16 April 2005 Crisis Management Initiative memfasilitasi putaran

pembicaraan ketiga.

4. 26-31 Mei 2005 Crisis Management Initiative memfasilitasi putaran

pembicaraan keempat.

5. 12-17 Juli 2005 Crisis Management Initiative memfasilitasi putaran

pembicaraan kelima, dan kedua belah pihak sepakat akan Nota Kesepahaman

yang akan ditandatangani secara resmi pada tanggal 15 Agustus 2005.

6. 15 Agustus 2005 Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka

menandatangani kesepakatan damai di Helsinki.

Dengan penandatangan kesepakatan damai MoU Helsinki antara RI dan

GAM ini dan legalnya UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, seluruh

komponen negara berbondong-bondong memusatkan perhatian dan potensi bangsa

untuk meningkatkan percepatan pembangunan di Aceh seperti sedia kala, dan bahkan

jauh lebih baik. Salah satu upaya kongkret dari pemerintah pusat untuk mempercepat

pembangunan di Aceh adalah mengalokasikan dana otonomi khusus. Otonomi

Khusus dianggap sebagai salah satu bagian dari resolusi konflik yang

berkepanjangan serta upaya perdamaian yang dibarengi dengan semangat

rehabilitasi, rekonstruksi dan rekonsiliasi Aceh pasca perang dan bencana tsunami

tahun 2004 silam.

Secara logis, dana otonomi khusus yang diberikan sebesar 2 % dari DAU

Nasional selama 15 tahun dan 1 % DAU Nasional untuk 5 tahun berikutnya dalam
jangka waktu 20 tahun sebagaimana tersebut dalam Pasal 183 UU No. 11 Tahun

2006 telah memberikan kesempatan bagi Aceh untuk merealisasikan percepatan

pembangunan tersebut melalui program prioritas yang telah diamanatkan oleh

undang-undang. Program prioritas tersebut adalah pembangunan. Terutama

pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat,

pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan.

Namun, kenyataan yang hadir di Aceh saat ini menunjukkan tanda-tanda

bahwa pembangunan yang diprioritaskan dalam pesan undang-undang justru kurang

berhasil menyerap dana otonomi khusus secara maksimal. Padahal, sumber

pembiayaan terbesar di Aceh dalam struktur anggaran pendapatan dan belanja daerah

menempatkan sumbangan dana otsus pada peringkat pertama yang cenderung

meningkat tiap tahunnya semenjak tahun 2008. Bahkan, realisasi dana otsus pada

setiap kegiatan prioritas pembangunan justru menuai beragam masalah mulai tahap

perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan, sehingga mengancam kesejahteraan.

Berdasarkan fenomena tersebut, saya menganalisa permasalahan terkait dengan

keberhasilan otonomi daerah di Aceh melihat dari kaca mata model pembangunan

melalui dana otonomi khusus untuk mengejar ketertinggalan, meningkatkan

kesejahteraan dan melahirkan kemandirian.

Pembangunan, Dana Otonomi Khusus dan Tingkat Kesejahteraan Aceh

Asumsi awal peningkatan kesejahteraan masyarakat Aceh merupakan wujud

dari keberhasilan pembangunan prioritas dengan dana otonomi khusus yang

mencakup pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi


rakyat, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial dan kesehatan.

Apabila modernisasi pembangunan baru dalam wujud ketergantungan Aceh terhadap

dana otonomi khusus tidak dimanfaatkan secara maksimal serta diperparah oleh

rendahnya akumulasi produktifitas dari pemerintah kabupaten/kota di Aceh, maka

keberhasilan pembangunan dalam rangka mengejar ketertinggalan untuk mencapai

kesejahteraan masyarakat tersebut tidak akan tercapai.

Asumsi Modernisasi Baru merupakan konsep dasar pembangunan bagi daerah-

daerah tertinggal, sehingga untuk mengejar ketertinggalan akibat konflik politik dan

bencana tersebut diperlukan daya dorong dalam bentuk modal dan infrastruktur.

Beberapa kajian telah menghasilkan beberapa paradigma yang dirumuskan dalam

teori Modernisasi Baru tersebut.

Pertama,  dua perangkat sistem nilai pembangunan yaitu nilai-nilai tradisional

dan nilai modern dipandang sebagai perangkat yang dapat berdampingan dan saling

mempengaruhi satu sama lain. 

Kedua,  hasil karya modernisasi baru lebih cenderung memberikan perhatian

yang seksama pada kasus-kasus nyata sehingga menghindari pandangan yang abstrak

dan tipologif. 

Ketiga, memberikan landasan berfikir bahwa negara di dunia ketiga memiliki

kesempatan ntuk menempuh dan menentukan model pembangunannya sendiri. 

Keempat, perhatian antara faktor eksternal dan internal dapat terintergrasikan

dengan baik, seperti faktor-faktor konflik, dominasi ideologi dan peranan agama.
Melalui empat paradigma tersebut, maka setidaknya dapat disimpulkan bahwa

konsep nasionalisme menjadi bagian dari nilai-nilai pembangunan dan

ketergantungan negara dunia ketiga tidak dipandang sebagai sesuatu yang negatif .

Pada tataran lokal, saya berpendapat bahwa teori Modernisasi Baru telah

mengilhami—dalam hal ini Pemerintah Indonesia—dalam menentukan model

percepatan pembangunan di Aceh melalui dana otonomi khusus. Analisa berdasarkan

melalui beberapa teori-teori tersebut, bahwa percepatan pembangunan di Aceh

merupakan suatu bentuk ketergantungan Aceh terhadap alokasi dana otonomi khusus

dari pemerintah pusat selama 20 tahun, yang bertujuan untuk mengejar

ketertinggalan pembangunan akibat dampak buruk orde baru, konflik politik

disintegrasi bangsa dan bencana tsunami. Hal tersebut dapat dilihat melalui beberapa

contoh analogis sebagai berikut.

Pertama, nilai-nilai tradisional dan nilai modern di Aceh terbukti dapat

berdampingan satu sama lain. Walaupun Aceh merupakan daerah yang identik

dengan tradisionalisme yang menguat dari budaya berdasarkan syariat Islam, namun

keterbukaan terhadap pengaruh modern negara-negara maju semenjak bencana

tsunami mulai meningkat. 

Kedua, bencana tsunami memiliki hikmah khusus bagi pemerintah dalam

menyelesaikan konflik dan mewujudkan perdamaian di Aceh. Ini merupakan nilai

khusus dan unik yang menginspiransi negara serta Aceh untuk merancang

pembangunan yang sinergis antara mantan kombatan GAM, korban konflik, korban

bencana tsunami, pemerintah, swasta, masyarakat, dan bantuan lembaga asing. 


Ketiga, ketergantungan Aceh dengan dana otonomi khusus memberikan

kebebasan bagi Aceh untuk menentukan arah pembangunannya sesuai dengan

kehendak masyarakat. Walaupun ini bukan suatu hal yang baru, namun arah

pembangunan dengan dana otsus harus betul-betul ditentukan dengan oleh

pemerintah bersama rakyatnya secara terencana, efektif dan efisien. 

Keempat, perhatian model pembangunan dengan dana otsus di Aceh mampu

mensinergikan faktor ekspansi ekonomi baik dari pemerintah pusat maupun negara-

negara luar terhadap sumberdaya alam dan kualitas manusia Aceh dari berbagai

komponen.

Adapun satu hal penting yang diperhitungkan oleh teori Modernisasi Baru

adalah perubahan ekonomi dan teknologi harus berjalan bersamaan dengan

perubahan sosial serta politik, sehingga keberhasilan pembangunan di Aceh yang

bergantung pada dana otonomi khusus mensyaratkan sistem adminitrasi

pemerintahan yang baik dan benar-benar menunjukkan birokrasi. Oleh karena itu,

baik tidaknya ketergatungan daerah melalui model Modernisasi Baru harus

diimbangi dengan produktifitas komponen pembangunan daerah itu sendiri.

Kembali kepada beberapa permasalahan hari ini, APBA dan APBK termasuk

dana otonomi khusus harus dialokasikan untuk pendidikan. Namun, Angka

Partisipasi Kasar (APK) siswa SMP/Mts/Paket-B Aceh pada tahun 2010

menunjukkan penurunan bila dibandingkan  dengan tahun 2010. Rasio jumlah

siswa pada tahun 2008 mencapai 92,16 %, sedangkan pada tahun 2010 menurun

menjadi 87,99 %. Di beberapa kabupaten/kota di Aceh, terdapat pula catatan miring

pada akses sekolah, infrastruktur, pengembangan kompetensi dan kualitas guru,


bahkan pendidikan belum mengacu pada kepentingan dan kebutuhan pembangunan

daerah.

Walaupun program Jaminan Kesehatan Aceh (JKA) dari dana otsus yang

memberikan pelayanan kesehatan secara gratis bagi seluruh warga Aceh terus

berlanjut hingga sekarang, namun muncul kabar buruk bagi perkembangan dunia

kesehatan Aceh. Sesuai data BPS 2010, angka kematian bayi di Aceh mencapai

21,94 bayi dalam seribu kelahiran dan lebih tinggi dari angka kematian bayi di

Indonesia sebesar 26,89 bayi dalam seribu kelahiran. Pada tahun 2011, kondisi

kesehatan masyarakat Aceh berada di urutan 31 dari 33 provinsi di

IndonesiaKemudian, berdasarkan Data dari Kementerian Kesehatan pada tahun 2011

terjadi peningkatan kasus kumulatif HIV/AIDS sebesar 112 kasus, lebih tinggi

dibandingkan tahun 2010 yang mencapai 71 kasus dan tahun 2009 yang mencapai 46

kasus.

Catatan kemiskinan di Aceh lebih memilukan. Sesuai data BPS, tingkat

kemiskinan Aceh pada Maret 2012 adalah 19,46% di atas rata-rata kemiskinan

nasional sebesar 12,36 %. Jumlah penduduk miskin cenderung meningkat dari

861.000 jiwa pada tahun 2010 menjadi 900.000 jiwa pada tahun 2011. BPS juga

mengungkapkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Aceh pada tahun 2010 yang

mencapai angka 8,60 %, lebih tinggi dari angka pengangguran Indonesia sebesar

7,41 % dan bahkan Papua (4,08 %) dan Papua Barat (7,77 %). Alhasil, pertumbuhan

ekonomi Aceh pada tahun 2012 pun mengalami penurunan. Berdasarkan data BPS

Aceh, pertumbuhan ekonomi Aceh pada triwulan III tanpa migas turun menjadi 1,53

% dari triwulan II yang mencapai 2,05 %.


Melalui deskripsi hasil pembangunan yang dicapai Aceh dengan dana otsus

sejak tahun 2008 hingga saat ini dapat disimpulkan bahwa model pembangunan yang

diterapkan oleh Pemerintah Aceh menunjukkan peningkatan yang sangat kecil dan

cenderung lambat, sehingga masih tertinggal apabila dibandingkan dengan provinsi

lainnya maupun skala nasional.

Dengan demikian, sesuai fakta saya berpendapat bahwa model pembanguan

Modernisasi Baru yang mengedepankan perpaduan nilai tradisional dan modern

melalui kebutuhan nyata masyarakat di seluruh wilayah Aceh, serta kinerja birokrasi

pemerintah sebagai komponen pembangunan yang dituntut produktif dalam

memanfaatkan dana otsus di berbagai jenis pembangunan prioritas belum mampu

diterapkan dengan baik.

Secara umum, penyebab rendah dan lambatnya pembangunan prioritas otonomi

khusus tersebut disebabkan karena pemetaan objek ketertinggalan pembangunan

yang kurang tepat oleh pemerintah, sehingga percepatan pembangunan tidak berjalan

dengan baik bahkan cenderung tidak tepat sasaran; dan sebagian besar birokrasi

belum mampu mensinergikan konsep modern pembangunan, ke dalam konteks lokal,

sehingga tidak efektif dan efisien.

Harapan Terhadap Kemandirian dan Efektifitas dari Dana Otonomi Khusus

Ketika alokasi dana otsus selama 20 tahun tersebut berakhir, baik berhasil atau

tidak Aceh sudah menjadi sebuah wilayah dengan pola pembangunan yang di

hasilkan dari ketergantungan terhadap dana otonomi khusus. Ketergantungan Aceh

terhadap dana otonomi khusus ini seharusnya di harapkan mampu memberikan nilai
lainnya, yaitu kesiapan Aceh menyongsong kemandirian apabila dana otsus tersebut

berakhir. Hal penting yang diperlukan adalah menggeser paradigma pembangunan

Modernisasi Baru, dari ketergantungan terhadap trnasfer pusat menjadi paradigma

ketergantungan terhadap sumber pendapatan daerah. Namun, perkembangan sumber

pendapatan daerah sebelum dan saat menerima dana otsus cenderung fluktuatif.

Dengan mendominasinya dana otsus dalam struktur APBA dan APBK di Aceh,

seharusnya arah pembangunan prioritas otonomi khusus juga diarahkan pada wilayah

pembangunan ekonomi. Namun, faktanya realisasi dana otsus lebih ditujukan untuk

pembangunan dan pemeliharaan infrastruktur daerah, walaupun realisasi tersebut pun

menuai masalah inefisiensi.

Oleh karena itu, menurut saya ketergantungan terhadap dana otsus saat ini

sebaiknya juga dimanfaatkan untuk pembangunan yang lebih luas kedepan, yaitu

memaksimalkan sektor-sektor lapangan usaha yang menyumbang Pendapatan

Domestik, menguatkan ekonomi rakyat melalui pembinaan dan penguatan Usaha

Mikro Kecil Menengah, mendukung upaya peningkatan kinerja sektor pajak,

retribusi daerah dan zakat; dan membuka kesempatan bagi swasta untuk terlibat

dalam bisnis dan investasi yang sesuai dengan nilai-nilai syariat Islam di Aceh

tentunya.
Daftar Pustaka

Syamsudin Ishak, Otto. 2008. Perdamaian Yang Berikhtiar, Yang

Menentang: Kronik Perundingan GAM – RI Di Helsinki 2005. ACSTF : Jakarta.

________________. 2012. Perencanaan Daerah: Bagaimana membangun

Ekonomi Lokal, Kota dan Kawasan? Salemba Empat: Jakarta.

Kuncoro, Mudrajad. 2003. Ekonomi Pembangunan: Teori, Masalah dan

Kebijakan. UPP AMP YPKN: Yogyakarta.

http://kabisat1988.blogspot.com/2012/12/modernisasi-baru-pembangunan-
otonomi.html

Anda mungkin juga menyukai