Anda di halaman 1dari 4

Fatwa Zakat Hasil Profesi

Bismillahirrahmanirrahim

Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi DKI Jakarta, dalam rapatnya pada
tanggal 18 Dzulqa’dah 1421 H, bertepatan dengan tanggal 12 Pebruari 2001 M, yang membahas
tentang Zakat Hasil Profesi, setelah :

Menimbang:

1. Bahwa zakat adalah rukun Islam yang ketiga yang berbentuk ibadah amaliyah
ijtima’iyyah (berdimensi ekonomi dan sosial) yang memiliki fungsi dan peranan sangat
strategis dalam syari’at Islam.

2. Bahwa zakat tidak hanya berfungsi untuk medekatkan diri (taqarrub) kepada Allah SWT,
tetapi juga menjadi sarana untuk membersihkan jiwa manusia dari sifat-sifat yang tercela
seperti kikir, rakus dan egois. Di samping itu, zakat juga dapat memberikan solusi
terhadap problema kemiskinan yang menimpa umat manusia, memeratakan pendapatan
dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, bangsa dan negara.

3. Bahwadi dalam al-Qur’an, perintah untuk membayar zakat disebutkan sebanyak 32 kali
dan sebagian besar disebutkan beriringan dengan perintah untuk mendirikan shalat.
Bahkan, jika digabung dengan perintah untuk memberikan shodaqoh, infaq untuk
kebaikan dan anjuran memberi makan kepada fakir miskin, mencapai 115 kali.
Sementara itu kata-kata shalat (dalam segala bentuknya baik dalam bentuk kata benda
maupun kata kerja), hanya disebut sebanyak 67 kali, puasa (shiyam/shaum) 13 kali
dan haji 10 kali. Hal ini menunjukkan, bahwa kesalehan sosial seseorang yang
dimanifestasikan dalam bentuk pemenuhan membayar zakat, infaq dan sedekah tidak
kalah pentingnya dibanding dengan kesalehan individual yang dimanifestasikan dalam
bentuk pelaksanaan ibadah shalat, puasa dan haji.

4. Bahwa pada zaman modern sekarang ini, telah muncul berbagai jenis profesi baru yang
sangat potensial dalam menghasilkan kekayaan dalam jumlah besar yang belum
dijelaskan ketentuan zakatnya secara sharih (jelas) dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan
kitab-kitab fiqih klasik sehingga memerlukan fatwa para ulama.

5. Bahwa untuk memberikan pemahaman kepada umat Islam tentang Zakat Hasil Profesi,
MUI Provinsi DKI Jakarta memandang perlu untuk segera mengeluarkan Fatwa Zakat
Hasil Profesi.

Mengingat:

1. Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga Majelis Ulama Indonesia (PD/PRT MUI)

2. Pokok-Pokok Program Kerja MUI Provinsi DKI Jakarta Tahun 2000 – 2005

3. Pedoman Penetapan Fatwa MUI

Memperhatikan:

Saran dan pendapat para ulama peserta rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Provinsi DKI Jakarta pada tanggal 18 Dzulqa’dah 1421 H, bertepatan dengan tanggal 12
Pebruari 2001 M, yang membahas tentang Zakat Hasil Profesi.

Memutuskan:

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT dan memohon ridha-Nya memfatwakan sebagai berikut:
1. Uang (harta benda) yang diperoleh orang Islam dari profesi yang halal seperti profesi
sebagai dokter, advokat, notaris, akuntan, konsultan, dosen dan mubaligh (penceramah)
baik berasal dari gaji, honorarium, upah, komisi, uang jasa, hadiah maupun yang lain
(kasb al-‘amalwa al-minhah al-hurrah) jika telah mencapai nishab wajib dibayarkan Hal
ini didasarkan pada dalil-dalil yang bersumber dari nash-nash al-Qur’an dan al-Hadits
sebagai berikut :

2. Firman Allah SWT dalamsurat an-Nurayat 56 :

َّ ‫َوَأ ِقميُوا‬
َ ُ ‫الصال َة َوآتُوا َّالزاَك َة َوَأ ِطي ُعوا َّالر ُسو َل لَ َعلَّمُك ْ تُ ْرمَح‬
)٥٦( ‫ون‬
“Dan dirikanlahsembahyang, tunaikanlah zakat, dantaatlahkepadarasul,
supayakamudiberirahmat”.  [QS.  An-Nur (24):  56]

1. Firman Allah SWT dalam surat at-Taubat ayat 103 :

‫ِل عَلَهْي ِ ْم َّن َصالت ََك َس َك ٌن لَه ُْم َواهَّلل ُ مَس ِ ي ٌع عَ ِل ٌمي‬34ِّ ‫ ِهي ْم هِب َا َو َص‬4‫ِك‬3ِّ ‫ ُِّرمُه ْ َوتُ َز‬34‫ِم َصدَ قَ ًة ت َُطِه‬3ْ ‫خ ُْذ ِم ْن َأ ْم َوا ِله‬
‫ِإ‬
)١٠٣(
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat
itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya do
a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah
Maha  Mendengar lagi Maha  Mengetahui”. [QS. At-Taubat (9): 103]

1. Firman Allah SWT dalam adz-Dzariyat, ayat 19 :

)١٩( ‫ِم َح ٌّق ِل َّلسائِ ِل َوالْ َم ْح ُرو ِم‬3ْ ‫َويِف َأ ْم َوا ِله‬
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin
yang tidak mendapat bagian”. [QS. Adz-Dzariyat (51):  19]

  Para ulama berbeda pendapat dalam menentukan nishab, haul, dan kadar zakat (prosentase)
zakat profesi dalam 3 pendapat sebagai berikut :

2. Pendapat para ulama yang menganalogikan zakat hasil profesi dengan zakat hasil
perdagangan, karena sama-sama merupakan hasil Oleh karena itu, nisab zakat profesi
adalah senilai 94 gram emas, sedang kadar zakat yang harus dibayarkan sebanyak 2,5%.
Jika harga emas satu gram Rp. 100.000,-maka seseorang yang memiliki penghasilan
sejumlah Rp. 100.000 x 94 = Rp. 9.400.000,- wajib membayar zakat sebesar 2,5% yang
nilainya Rp. 235.000,-. Pendapat ini didukung oleh Dr. Yusuf al-Qardlawi dalam
kitabnya, Fiqh az-Zakat. Menurut pendapat sahabat Ibn Abbas, Ibn Mas’ud, Atha’ Baqir
dan Thariq, jika penghasilan (gaji, honor, bonus dan sebagainya) seseorang dari profesi
sekali menerima telah mencapai nisab, maka seketika itu wajib dibayarkan zakatnya
tanpa menunggu satu tahun (haul). Tetapi, jika sekali diterima tidak mencapai nisab,
maka zakatnya baru dibayarkan sesudah lewat satu tahun. Sementara itu, menurut
pendapat sahabat Ali bin AbiThalib, Aisyah dan Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar,
bahwa hasil profesi, meskipun sekali diterima telah mencapai nisab, belum wajib
dibayarkan zakatnya sebelum melewati waktu satu tahun (haul). Adapun faktor yang
menyebabkan perbedaan pendapat dalam masalah haul ini adalah mereka terhadap status
hadits yang menjelaskan masalah haul. Seperti hadits yang diriwayatkan sahabat
Abdullah bin Umar[1] : “Dari Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar berkata: ‘Tidak wajib
mengeluarkan zakat dari harta yang belum sampai setahun’” Bagi ulama yang
memandang status hadits ini shahih, maka mereka mensyaratkan haul  dalam kewajiban
membayar zakat. Sebaliknya bagi ulama yang memandang status hadits
tersebut dla’if (lemah), maka mereka tidak mensyaratkan haul dalam kewajiban zakat.

2. Pendapat para ulama yang menganalogikan zakat hasil profesi dengan zakat hasil
Menurut mereka, zakat hasil profesi kurang tepat kalau di-qiyas-kan dengan hasil
perdagangan. Sebab dalam zakat perdagangan, semua kekayaan baik modal maupun
keuntungan diperhitungkan zakatnya. Sedangkan dalam zakat profesi yang
diperhitungkan hanya hasilnya saja. Oleh karena itu, mereka lebih cenderung untuk
meng-qiyas-kan zakat hasil profesi dengan zakat hasil pertanian karena keduanya
mempunyai kesamaan bahwa yang diperhitungkan zakatnya hanya hasilnya saja, sedang
modalnya tidak. Dengan demikian, nisab hasil profesi adalah senilai 759 kg beras yang
wajib dibayarkan zakatnya 5% – 10%. Jika harga beras 1 kg Rp. 2.500,- maka seseorang
yang berpenghasilan Rp. 2.500,- x 759 = Rp. 1.897.500,- wajib membayar zakat 5% s.d
10% yakni Rp. 94.875,- s.d.Rp. 189.750,- yang dibayar ketika menerima uang tersebut,
sesuai dengan firman Allah SWT dalam surat al-An’am, ayat 141 :

َ 3‫ ُه َو َّالزيْ ُت‬3ُ ‫ا ُألُك‬33‫ز ْر َع ُم ْخ َت ِل ًف‬3َّ 3‫ َل َوال‬3‫ات َوالنَّ ْخ‬


‫ون َو ُّالر َّم َان‬3 ٍ ‫وش‬
َ ‫ات َوغَرْي َ َم ْع ُر‬ ٍ ‫وش‬َ ‫ات َم ْع ُر‬ ٍ َّ ‫َوه َُو اذَّل ِ ي َأنْشَ َأ َجن‬
‫ َوال تُرْس ِ فُوا ن َّ ُه ال حُي ِ ُّب‬ ‫ا ِد ِه‬33‫ َح َص‬ ‫و َم‬3ْ 3 َ ‫ي‬ ‫ َحقَّ ُه‬ ‫وا‬33 ُ‫ َوآت‬ ‫ر‬3َ 3‫ ِر ِه َذا َأثْ َم‬33‫وا ِم ْن ثَ َم‬33 ُ ‫ا ِب ٍه لُك‬33‫اهِب ًا َوغَرْي َ ُمت َ َش‬33‫ُمت َ َش‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
)١٤١( ‫الْ ُمرْس ِ ِف َني‬
“Dan Dialah yang menjadikan kebun-kebun yang berjunjung dan yang tidak berjunjung, pohon
kuma, tanam-tanaman yang bermacam-macam buahnya, zaitun dan delima yang serupa
(bentuk dan warnanya) dan tidak sama (rasanya). Makanlah dari buahnya (yang bermacam-
macamitu) bila  dia berbuah,  dan tunaikanlah haknya di
hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin);
dan janganlah kamu berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang yang
berlebih-lebihan.  [Al-An’am (96):141]

Jika penghasilan dari gaji, honor, komisi, uang jasa dan sebagainya yang diterima kurang
dari nisab, maka jumlah penghasilan tersebut supaya dihitung dan dikumpulkan dengan
penghasilan pada waktu-waktu berikutnya sampai satu tahun. Sesudah satu tahun, jika
penghasilan tersebut mencapai nisab wajib dibayarkan zakatnya.

1. Pendapat para ulama yang menganalogikan zakat hasil profesi dengan zakat harta karun
(rikaz) dan harta rampasan perang (ghanimah). Oleh karena itu, seseorang yang
memperoleh penghasilan dari kerja (profesi) harus mengeluarkan zakat sebanyak 20%.
Pendapat ini dipelopori oleh para ulama Syi’ah. Pertimbangan mereka dalam
menganalogikan zakat profesi dengan hasil ghanimah, karena keduanya sama-sama
mudah mendapatkan penghasilan yang banyak dan tidak ada resiko kerugian seperti yang
terjadi pada perdagangan dan Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat al-
Anfal, ayat 41 :

ِ‫ا ِكني‬3‫ا َمى َوالْ َم َس‬33‫رىَب َوالْ َي َت‬3ْ 3‫ول َوذِل ِ ي الْ ُق‬
ِ 3‫َوا ْعلَ ُموا َأن َّ َما غَ ِن ْممُت ْ ِم ْن يَش ْ ٍء فََأ َّن هَّلِل ِ مُخ ُ َس ُه َو ِل َّلر ُس‬
..…‫ِيل‬ ِ ‫السب‬ َّ ‫َوا ْب ِن‬
“Ketahuilah,  sesungguhnya apa saja yang
dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang[613], maka sesungguhnya seperlima untuk
Allah,  Rasul,  kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnussabil…….”
[QS. Al-Anfal (8): 41]
 

Jakarta, 18Dzulqa’dah 1421 H.

12Pebruari 2001M.

KOMISI FATWA

MAJELIS ULAMA INDONESIA DKI JAKARTA

Ketua, Sekretaris,
 
ttd ttd
 
Prof. KH. Irfan Zidny, MA KH. Drs. M. Hamdan Rasyid, MA

Mengetahui,

Ketua Umum, Sekretaris Umum,


   
ttd ttd
   
KH. Achmad Mursyidi Drs. H. Moh. Zainuddin

Anda mungkin juga menyukai