Anda di halaman 1dari 35

MAKALAH TEKNOLOGI KINERJA

ANALISIS KINERJA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teknologi Kinerja


Dosen Pengampu: Dr. Sri Haryati, M. Pd.

Disusun Oleh:
Muhammad Agil Masruri (S812102007)
Dini Wahyu Mulyasari (S81210200 )

PROGRAM STUDI S2 TEKNOLOGI PENDIDIKAN


FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2021
Daftar Isi
BAB I ...................................................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN ................................................................................................................................. 3
A. Latar Belakang .......................................................................................................................... 3
B. Rumusan Masalah .................................................................................................................... 3
C. Tujuan ........................................................................................................................................ 3
BAB II .................................................................................................................................................... 4
PEMBAHASAN .................................................................................................................................... 4
A. Analisis Kinerja ......................................................................................................................... 4
B. Kajian Kinerja, Pengetahuan, Dan Pekerjaan ....................................................................... 4
C. Kemampuan, kemauan, dan analisis pekerjaan .................................................................... 5
D. Ikhtisar Analisis Kebutuhan .................................................................................................... 7
E. Tindak Lanjut Analisis Kinerja............................................................................................. 22
F. Metode dan Teknik Pengumpulan Informasi/Data untuk Analisis Kerja......................... 24
BAB III................................................................................................................................................. 33
KESIMPULAN ................................................................................................................................... 33
A. Kesimpulan .............................................................................................................................. 33
Daftar Pustaka .................................................................................................................................... 35
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Makalah ini memfokus pada analisis kinerja. Unit analisis kinerja ini berfungsi sebagai
pencegahan dini untuk menghindari kesalahan memilih intervensi demi meningkatkan
mutu kinerja karyawan. Memilih intervensi adalah proses yang panjang, mengingat upaya
ini adalah bagian dari upaya meningkatkan modal dasar suatu organisasi, yakni SDM.
Organisasi sering kali memutuskan pelatihan adalah upaya terbaik untuk meningkatkan
mutu kinerja kar yawan. Padahal penyebab penurunan kinerja karyawan bukan hanya
karena ketidaktahuan atau kurangnya pengetahuan karyawan. Untuk itulah, unit analisis
kinerja dapat membantu organisasi bagaimana me nemukan “masalah kinerja” yang
sebenarnya sebelum menentukan so lusi atau intervensi.

Kemudian, dengan menerapkan analisis kinerja ini berarti terjadi efisiensi anggaran
untuk pelatihan itu sendiri. Jika intervensi lain, sela in pelatihan, yang lebih sesuai maka
anggaran intervensi tersebut be lum tentu semahal atau sebanyak jumlah anggaran yang
diserap untuk pelatihan. Hal-hal sederhana seperti coaching, panduan kerja bisa saja
menjadi intervensi peningkatan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan pelatihan jika
keduanya merupakan hasil akhir analisis kinerja.

B. Rumusan Masalah
Melihat latar belakang masalah yang sudah dikemukakan, maka beberapa masalah yang
dapat penulis rumuskan dan akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Apa pengertian Analisis Kinerja ?
2. Bagaimana cara menerapkan Analisis Kinerja?

C. Tujuan
Secara terperinci tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian Analisis Kinerja
2. Untuk mengetahui cara menerapkan Analisis Kinerja
BAB II
PEMBAHASAN
A. Analisis Kinerja
Bagi ahli TP atau TK, intervensi tidak begitu saja dipilih, melainkan memilih
melakukan asesmen kebutuhan, analisis kebutuhan, analisis pekerjaan, atau analisis
kinerja. Pendekatan ini harus dilakukan demi ketepatan solusi atau intervensi, efisiensi
anggaran organisasi, serta demi peningkatan kinerja organisasi untuk layanan publik.

B. Kajian Kinerja, Pengetahuan, Dan Pekerjaan


TP yang memiliki sifat seperti sistem terbuka adalah disiplin ilmu yang dinamis. Sifat
dinamis ini terdampak oleh proses adopsi inovasi terutama teknologi digital. Dengan
demikian, siapa pun yang berkecimpung dalam TP mau tidak mau dituntut pula untuk
berpikir dinamis dan terbuka. Prinsip pendekatan sistem dan berorientasi sistem mencapai
keemasan di masa 1970-an hingga pertengahan 1980-an. Kemudian, rumusan ADDIE
dikenal dan diterapkan mulai tahun 1990-an, disertai kemunculan teknologi digital
genggam (hand-held technology). Pergeseran terjadi dalam kerangka desain pembelajaran
seperti mendesain pembelajaran atau proses belajar melalui jaringan dan akses telepon
genggam, desain e-book yang memungkinkan peserta didik belajar dimana saja, tidak
terbatas di sekolah atau di ruang kelas. Semua ini bukti keilmuan TP yang terus
berkembang.

Desain pembelajaran dan penyelenggaraan pelatihan menjadi bukti perkembangan


tersebut. Asesmen kebutuhan berperan sebagai pemasok data yang dapat dipertimbangkan
untuk mendesain suatu pembelajaran atau proses belajar. Analisis kebutuhan diterapkan
untuk desain pembelajaran yang bersifat makro, atau mengembangkan kurikulum (program
pembelajaran). Tidak hanya itu, asesmen kebutuhan dapat pula digunakan untuk
mendukung prinsip efisiensi; yakni ketika pertanyaan pembelajaran atau proses belajar
menjadi pilihan atau intervensi terbaik yang harus dilaksanakan. Untuk itu, asesmen
kebutuhan disesuaikan pula dengan cakupan masalah seperti luas atau sempit, masalah
teknis atau kebijakan, masalah lingkungan atau kinerja, dan sebagainya. Untuk itu, selain
istilah asesmen kebutuhan atau needs assessment, maka dikenal pula analisis kebutuhan
(needs analysis) serta kini dikenal pula analisis kinerja (performance analysis). Jadi, huruf
A pertama dalam ADDIE yaitu analysis merujuk kepada ketiga istilah tersebut tadi.
Di samping itu, pemahaman analysis ini dapat pula dimaknai sebagai analisis
pekerjaan, analisis latar dan analisis peserta didik. Analisis pekerjaan adalah tugas ahli TP
untuk menelusuri kinerja buruk atau tidak memuaskan melalui telusuran jabaran pekerjaan
seseorang. Salah penempatan atau misplacement, yang tidak sesuai dengan latar belakang
keilmuan atau keahlian seeorang mungkin saja menjadi penyebab kinerja buruk. Sebagai
pendukung, analisis lingkungan kerja seseorang diyakini dapat saja menjadi pemicu kinerja
buruk seseorang. Untuk itu, mungkin perbaikan lingkungan kerja menjadi solusi. Adapun
inti tugas dalam huruf A dari ADDIE adalah menelusuri penyebab serta merumus kan
solusi atau alternatif pemecahan masalah kinerja. Dengan demikian, penyebab dan solusi
tidak ditentukan begitu saja.

C. Kemampuan, kemauan, dan analisis pekerjaan


Analisis kinerja menjadi “pintu” masuk dari TP ke TK. Fenomena ini menyeruak
dalam konsep awal teknologi kinerja seperti dalam buku An Introduction to Performance
Technology. Sebagian besar pembahasan merujuk peranan analisis kinerja dalam
menentukan solusi kinerja buruk seseorang dalam organisasi. Romiszowski bahkan
menelaah analisis kinerja berdasarkan pendekatan keahlian dan pengetahuan yang dimiliki
oleh seseorang; terutama bagaimana pelatihan dipilih sebagai solusi atau intervensi bagi
upaya peningkatan mutu kinerja. Baginya, seseorang memulai bekerja bermodalkan
pengetahuan, yang harus ia terapkan dalam pekerjaannya. Lalu, ia memperoleh jabaran
pekerjaan dari organisasi tempat ia bekerja. Tantangan yang muncul adalah kemampuan
dan kemauan dia untuk menerapkan pengetahuan yang ia miliki. Dua kata inti yakni
kemampuan dan kemauan ini perlu dimaknai dengan saksama. Apakah perbedaannya
menurut Anda? Bagi Romiszowski, kemampuan adalah pengetahuan dan kompetensi yang
menjadi modal bekerja. Jika seorang karyawan menerapkan kemampuannya, maka
kecenderungan ia berprestasi sangat besar. Gambar berikut (Romiszowski, 1981:82)
menunjukkan penyelenggaraan pelatihan dilakukan ketika hasil kajian menunjukkan dua
alasan, karyawan tidak memiliki pengetahuan dan tidak tahu bagaimana menyelesaikan
suatu tugas atau pekerjaan. Ia menyinkronisasikan dua pendekatan, berbasis pengetahuan
dan berbasis pekerjaan.

Lalu, mengapa jika ada seorang karyawan yang dianggap mampu tetap saja
menghasilkan kinerja buruk? Apakah ia mampu dan mau bekerja bersungguh-sungguh?
Mengapa ia tidak mau? Mengapa ia tidak dapat menunjukkan kinerja terbaiknya? Tentu
saja dua pertanyaan ini menjadi awal dari penelusuran penyebab kinerja buruk. Tidak mau
adalah gejala yang menunjukkan seorang karyawan tidak memiliki motivasi bekerja yang
baik. Tentu saja kita dapat mengupayakan terapi terkait motivasi bekerja. Lalu, bagaimana
dengan tidak dapat menunjukkan kinerja terbaik? Gejala ini menunjukkan ada kekeliruan.
Misalnya, jawaban untuk pertanyaan ini adalah karena tidak tahu, maka solusi menjadi
lebih mudah. Bekal karyawan tersebut dengan pengetahuan yang sesuai tuntutan pekerjaan
atau profesi. Solusinya mungkin saja pelatihan, pengelolaan pengetahuan atau proses
belajar lainnya. Menduga-duga bukanlah jalan keluar terbaik. Upaya melakukan analisis
kinerja dilaksanakan demi memperoleh jawaban dan solusi yang tepat untuk meningkatkan
kinerja. Ini adalah langkah awal dari seorang ahli TP yang menerapkan keilmuan TK untuk
hal lain.
Dalam konteks TP, upaya untuk menentukan apa masalah yang sebenarnya telah
dikenal sejak lama, yakni ketika ahli TP diminta untuk mendesain pembelajaran makro
yang berorientasi suprasistem sewaktu ia mengembangkan suatu kurikulum bagi suatu
program pembelajaran. Dalam hal ini, ia harus mengantisipasi potensi keberhasilan,
hambatan atau masalah yang mungkin saja timbul sewaktu proses mendesain dilaksanakan.
Proses peninjauan masalah kinerja buruk dari berbagai sudut pandang biasa disebut para
desainer pembelajaran sebagai analisis kebutuhan.

D. Ikhtisar Analisis Kebutuhan


Sejak awal, dalam bukunya yang berjudul Designing Instructional Systems,
Romiszowski mengupas bagaimana mendesain pembelajaran dan pelatihan dalam skala
makro. Ia mengungkapkan perlunya melakukan hal ini dalam kerangka pendekatan sistem.
Hingga kini pendekatan ini masih menjadi pijakan bagi para ahli TP lain. Pola berpikir
pendekatan sistem diterapkan sewaktu seorang ahli TP membaca fenomena defisiensi
kinerja bekerja. Ia dapat menelaah dari dua sudut pandang yang berbeda, menganalisis
pelaku (karyawan, performer). Kedua, ia perlu menelisik lingkungan di mana karyawan
tersebut bekerja. Analisis mengenai kemampuan prasyarat karyawan diperlukan demi
memperoleh jawaban apakah pelatihan atau pembelajaran adalah solusi tepat. Jika ia sudah
mempunyai kemampuan prasyarat, maka belum tentukar yawan tersebut harus mengikuti
pelatihan. Mungkin saja ia memerlukan model proses belajar lain.

Selanjutnya, menurut Romiszowski, lingkungan bekerja atau organisasi dapat


mendorong sekaligus menghambat seseorang untuk berprestasi. Menurut Anda,
bagaimanakah pengaruh lingkungan kerja terhadap prestasi seseorang? Simaklah uraian
berikut dengan saksama. Adakalanya, seseorang memerlukan perlengkapan khusus bekerja
seperti rompi dan topi pelindung jika ia seorang pekerja konstruksi berat. Atau, jas lab jika
ia harus bekerja di laboratorium. Selain itu, perlengkapan bekerja seperti berbagai peralatan
yang diperlukan, fasilitas laboratorium, bahkan meja komputer atau keperluan dan
perangkat kerja lain sebaiknya pula disediakan oleh organisasi. Jika lingkungan bekerja
tidak memadai, hal ini berdampak terhadap prestasi kerja. Adapun keterbatasan lingkungan
kerja ini sebenarnya tidak terkait langsung dengan proses belajar walau kenyataannya
mengganggu ritme bekerja. Artinya, seorang karyawan secara fisik tidak merasa nyaman
bekerja sehingga sulit bagi dia untuk berprestasi.

Lingkaran di atas terbagi atas empat belahan (quadrant) sesuai fungsinya. Belahan 1
dan 2, yang telah dibubuhi tanda panah adalah belahan yang membekali karyawan dengan
pengetahuan. Adapun belahan 3 dan 4 berkenaan dengan analisis lingkungan bekerja.
Belahan pertama. Belahan ini ditujukan untuk karyawan yang belum pernah menunjukkan
kinerja yang memuaskan. Belahan ini terbagi atas karyawan dengan kemampuan prasyarat
dapat dibina melalui pemberitahuan, diperlihatkan. Kini teknik ini sering disebut coaching.
Teknik lain adalah pelatihan seperti on the job training atau karyawan tersebut disekolah
kan. Adapun karyawan tanpa kemampuan prasyarat dapat dikondisikan melalui beberapa
metode seperti memberikan kemampuan prasyarat, jika diperlukan karyawan dapat
dialihtugaskan, atau menyusun ulang pekerjaan atau tugas yang diberikan. Belahan kedua.
Belahan ini berkaitan dengan alasan karyawan yang pernah berkinerja baik, namun
sekarang tidak lagi. Karyawan tersebut dapat saja diikutsertakan lagi untuk suatu pelatihan,
panduan kerja, atau manual. Selain itu, mungkin saja ia memerlukan penugasan yang
memiliki porsi berikut masukan yang bermanfaat baginya.

Belahan 3 dan 4 menjelaskan rekayasa lingkungan bekerja sebagai solusi untuk


kinerja buruk seperti perbaikan metode dan fasilitas serta sistem supervisi. Belahan ketiga,
belahan ini berkenaan dengan penye bab kinerja buruk dan pilihan solusi yang dapat
diberikan, termasuk di dalamnya adalah masukan yang bermanfaaat, lalu menambah
ganjaran atau hadiah jika ia memperlihatkan kinerja baik serta meniadakan ganjaran bagi
kinerja yang buruk. Belahan keempat, belahan ini berkenaan dengan pengelolaan atau
manajerial pekerjaan itu sendiri, seperti merumenilai kembali pekerjaan dan tanggung
jawab, atau memperbaiki lingkungan kerja. Aspek ini erat kaitannya dengan kepemimpinan
yang berlangsung dalam suatu organisasi.

Sebagai perbandingan belahan keempat di atas, perhatikanlah konsep Keller yang


menguraikan dampak motivasi terhadap kinerja seseorang. Keller (dalam Reigeluth, 1983)
mengembangkan konsep ARCS (Attention, Relevance, Confidence, Satisfaction). Arti
harfiah ARCS yakni lengkung busur. Bagi Keller, motivasi bagi seseorang untuk
berprestasi sangatlah penting. Lingkungan yang kondusif akan mengindahkan, serta
mengandung unsur ARCS (dalam bahasa Indonesia berarti perhatian, kesesuaian, rasa
percaya diri, dan kepuasan bekerja) ini. Sayangnya, masih banyak organisasi mengabaikan
aspek psikologis. Dalam hal ini, prestasi juga akan menjadi sulit untuk dicapai oleh seorang
karyawan. Dengan demikian, kenyamanan bekerja dapat tercapai jika fasilitas fisik atau
lingkunngan bekerja memadai serta motivasi bekerja tersedia dalam lingkugan kerja.
Kedua persyaratan fisik dan motivasi kerja ini, tidaklah berkaitan langsung dengan proses
belajar. Sebagaimana halnya Romiszowski, Keller percaya situasi dan kondisi bekerja
berperan besar atas prestasi seorang karyawan.
1. Model E. Konsep Morrison, Ross, Kalman & Kemp.

Keempat ahli desain pembelajaran ini melekatkan asesmen kebutuhan dalam


model desain pembelajaran mereka yang disebut effective instruction. Bagi keempat
ahli ini asesmen kebutuhan bagi suatu desain pembelajaran memiliki empat fungsi yang
mencakup seperti berikut ini.

1. Menelusuri kebutuhan khusus sesuai dengan kepentingan pekerjaan, bagian


pekerjaan, terutama masalah apa yang paling berpengaruh terhadap kinerja;

2. Menelusuri kebutuhan kritis, yakni berdampak terhadap finansial organisasi,


keamanan, atau kekacauan atas pekerjaan dan lingkungan kerja;

3. Mengatur prioritas intervensi yang diperlukan;

4. Menyediakan baseline data to assess the effectiveness of the instruction.

Dari berbagai sumber, istilah gap dapat dirangkum sebagai kesenjangan antara
keadaan ideal, termasuk di dalamnya adalah kinerja ideal dengan keadaan atau kinerja
yang sebenarnya dihasilkan pada saat ini. Adapun gap atau kesenjangan ini bisa saja
muncul sebagai kinerja buruk atau kurang, lingkungan kerja yang tidak sesuai dengan
kondisi ideal, atau kondisi bekerja lainnya yang tidak mendukung. Adapun istilah
defisiensi sering dimaknai langsung sebagai “kekurangan” kinerja ideal dibandingkan
dengan kinerja yang sebenarnya ditampilkan oleh seseorang. Defisiensi kinerja ini
berkenaan langsung dengan kepentingan keilmuan TP. Bagaimanakah kita tahu bahwa
yang dihadapi oleh ahli TP itu gap atau defisiensi? Bagaimanakah asesmen kebutuhan
tersebut dilakukan? Berikut kutipan modelnya dari Morrison, et al. (Op. cit., hlm. 35).
Simak dengan baik rincian model ini.

Peran informasi/data. Sering kali kita berpendapat untuk melakukan X untuk


mengatasi masalah pekerjaan. Padahal solusi X tersebut belum tentu tepat. Mengapa?
Kita belum melakukan kajian atau telusuran ilmiah. Solusi yang dikemukakan, yaitu
solusi X tadi adalah felt needs. Kebutuhan yang dianggap solusi itu biasa dikemukakan
oleh pemimpin atau pemegang keputusan. Adapun assessed needs atau kebutuhan hasil
telusuran terkait dengan penggunaan data formal. Assessed needs ber tumpu pada
proses penelusuran berlandaskan data. Adapun data adalah sesuatu yang diperoleh
melalui teknik dan kajian ilmiah tertentu seperti teknik pengumpulan data (survei,
wawancara, studi dokumentasi, dan sebagainya), sumber data (para pemimpin
organisasi, karyawan, ahli), serta teknik pengolahan data. Sebagai bagian dari desain
pembelajaran skala makro, asesmen kebutuhan menunjukkan kekhasannya, yakni
percaya dan memerlukan data. Teknik pengumpulan, analisis, dan pengolahan data
sama seperti yang dilaksanakan untuk data penelitian. Hanya, tujuan dan maksud
menjadi pembeda peran data dalam asesmen kebutuhan.

2. Konsep Mager.

Sering kali para ahli mengutip pendapat Mager terkait denga asesmen kebutuhan
sebagaimana halnya Brown & Green (hlm.48). Marilah kita bandingkan konsep Mager
dengan pendapat Romiszowski sebelumnya. Mager memulai asesmen kebutuhan
dengan rumusan discrepancy atau kesenjangan. Ia mencari jawaban apakah
kesenjangan itu berupa defisiensi kinerja. Jika jawabannya ya, maka ia menyarankan
pelatihan sebagai jawaban atau intervensi yang harus dilakukan. Setelah itu, model
Mager ini menyarankan untuk mencari penyebab yang paling mungkin. Apakah
karyawan itu dulu mampu menunjukkan yang terbaik. Jika jawabannya ya, maka yang
harus diper hatikan oleh ahli TK mencari penyebab penurunan mutu kinerja. Intervensi
yang mungkin saja dapat dilakukan sebagai on-the-job training (OJT), karyawan itu
memerlukan masukan, bahkan dialih fungsikan ke pekerjaan atau profesi lain.
Kemungkinan lain adalah sewaktu pertanyaan potensi karyawan di masa depan. Jika
ya, maka ia memang dapat dipertahankan untuk tetap bekarja; namun bila ia
mempunyai catatan lebih buruk, maka ia bisa saja diberhentikan.
3. Ikhtisar Perbandingan Model Harless dengan Rossett (2009)

Dua model ini mempunyai kekuatan dan penga ruh masing-masing bagi ahli
TPlain dalam rangka mengembangkan proses belajar dan upaya mem belajarkan di
suatu organisasi, baik pemerintah maupun swasta. Model Harless, dengan konsep An
Ounce of Analysis worths a Pound of Objectives adalah model lawas namun klasik
yang menjadi cikal bakal pemikiran mengenai analisis kebutuhan pada umumnya, serta
analisis kinerja pada khususnya. Harless termasuk salah satu perintis analisis kinerja
yang mengungkapkan pentingnya analisis dilakukan lebih dini demi menjaga efisiensi
pelatihan, ditinjau dari segi rumusan tujuan pelatihan atau kompetensi yang lebih tepat
sasaran berikut adanya upaya perampingan anggaran pelatihan. Konsep An Ounce of
Analysis Worths a Pound of Objectives selanjutnya bagi ahli-ahli TP di AS dimaknai
sebagai front-end analysis (FEA) mengingat konsep Harless ini sebagai upaya menakar
hasil akhir suatu pelatihan di awal kegiatan mendesain pelatihan secara umum. Adapun
pemikiran FEA kini dikenal pula diterapkan untuk bidang ilmu komputer. Jadi, model
Harless sebagai model klasik tetap relevan dengan kepentingan organisasi untuk
meningkatkan kinerja SDM di masa kini.

Untuk memperoleh wawasan lain, perhatikan ulasan perbandingan model Harless


dengan model yang digagas oleh Rossett, Model Fir st Thing Fast (2009). Model FTF
termasuk model analisis kinerja terkini mengingat kemunculannya setelah tahun 2000.
Rossett adalah penggagas analisis kebutuhan pelatihan (training needs analysis, TNA)
yang menyarankan pentingnya penelusuran "Sebenarnya" apa dan bagaimana
sebaiknya memulai dan menyelenggarakan pelatihan di organisasi. Rossett
mengemukakan hal ini karena ia telah mengamati penyeleng garaan pelatihan
dilaksanakan berdasarkan keputusan pimpinan orga nisasi. Baginya, penyelenggaran
pelatihan seperti ini ia sebut felt needs atau kebutuhan yang “dirasakan perlu” oleh
pimpinan yaitu menjadi bagian dari kebijakan, bukan assessed needs atau kebutuhan
hasil telu suran (ilmiah). Baginya tentu saja penyelenggaraan pelatihan lebih baik
berdasarkan assessed needs. TNA adalah aspek umum untuk meruntut keberadaan
kesenjangan dan defisiensi sekaligus. Adapun FTF langsung berkaitan dengan masalah
kinerja SDM.
Kedua ahli sepakat bahwa kinerja buruk belum tentu memerlukan pelatihan atau
proses belajar formal mengingat lingkungan bekerja dapat menjadi salah satu
penyebabnya. Untuk itu, mereka berdua membe dakan solusi atau intervensi dalam tiga
rumpun besar, yakni intervensi pengetahuan dan keahlian, intervensi insentif,
penggajian serta intervensi lingkungan kerja. Seorang ahli TP dapat melaksanakan
pekerjaan sebagai analis kebutuan/kinerja hingga ke penyelenggaraan proses belajar
atau kegiatan membelajarkan. Namun, ia tidak perlu ikut campur lagi atau sebaiknya
berhenti tidak memutuskan intervensi jika temuan menunjukkan intervensi yang
dibutuhkan adalah terkait insentif dan lingkungan kerja.

Jean Barbazette, dalam bukunya Training Needs Assessment meng himpun


berbagai analisis untuk mengembangkan suatu program pela tihan, diantaranya needs
assessment (asesmen kebutuhan), performance analysis (analisis kinerja), task analysis
(analisis tugas), feasibility analy sis (studi kelayakan) dan sebagainya. Terkait dengan
konsep Harless, berikut kutipan definisi analisis kinerja dari Barbazette. Baginya, “per
formance analysis (PA) is also known as ‘gap’analysis. PA looks atan em ployee’s
current performance and identifies whether or not the employee is performing as
desired” (hlm. 17). Ia menjelaskan pula maksud analisis kinerja sebagai, “... to identify
the cause ofdeficient performance so appropriate corrective action can occur” (op. cit.).
Lebih lanjut, analisis kinerja mencari jawaban dari pertanyaan apakah masalah terkait
dengan pelatihan. Jika ya, maka kemungkinan besar pelatihan harus diselengga rakan.
Jika tidak, maka solusi lain yang harus dipilih. Dalam hal ini, Bar bazette sependapat
dengan ahli lain mengenai rumusan solusi sebagai hasil analisis kinerja. Beberapa hal
yang patut dipertimbangkan untuk melaksanakan analisis kinerja tecermin dalam
kerangka berpikir berikut seperti dikutip dari Balling & Barbazette.
Barbazette mengungkapkan dua hal terkait defisiensi kinerja. Rum pun pertama
dalam konteks willingto doit, seorang karyawan yang ber sedia mengerjakan atau
melaksanakan atau situasi can/will do it; namun ia tidak mengerjakannya maka
penelusuran terkait dengan penyebab nonpelatihan seperti mencari penyebab lain,
diberi dukungan kinerja atau dibimbing dalam program coaching. Jika karyawan
ternyata tidak tahu bagaimana mengerjakan tugas atau situasi can’t/will do it, tetapi dia
bersedia untuk menyelesaikannya, maka rekomendasi yang diberikan berupa pelatihan,
penyediaan sumber-sumber belajar, peralatan; bahkan seandainya diperlukan, carilah
penyebab yang lain diluar apa yang sudah dilakukan. Rumpun kedua, yaitu ketika
karyawan tidak bersedia bekerja sesuai dengan tuntutan tugas atau won’t do it. Dalam
situasi can’t/won’t do it di mana seorang karyawan yang tidak mampu atau tidak akan
menun jukkan kinerja memuaskan karena tidak dapat atau tidak ingin, maka
rekomendasi yang dapat diberikan adalah mengajak berdiskusi mengenai konsekuensi
sikap buruk, memberi masukan, atau menyelenggara kan program coaching, serta
melakukan pengawasan ketat. Seandainya situasi can’t/won’t do it seperti seorang
karyawan yang sulit dimengerti karena ia tidak mempunyai kemampuan bahkan
kemauan, maka solusi dapat diberikan di antaranya penyelenggaraan pelatihan,
mendiskusi kan sikap buruk serta konsekuensinya. Simaklah dengan baik ulasan di atas.
Jika ditelaah, maka pendapat Jean Barbazette sebenarnya mirip dengan pendapat
(Romiszowski, 1981) tentang kemampuan dan kemauan seorang karyawan yang me
mengaruhi mutu kinerja bekerjanya. Keduanya menguraikan betapa pentingnya
motivasi internal dalam diri karyawan. Dalam hal ini, ada aspek pembawaan
kepribadian, yakni kesadaran pribadi untuk bekerja dengan baik. Selain itu, perlunya
organisasi dan lingkungan bekerja un tuk mendukung karyawan agar selalu berprestasi.

4. Konsep Dasar dan Makna An Ounce of Analysis

Sebagaimana telah disebutkan di sub-unit Makna TK dalam definisi TP (AECT


2004), profesi TK dalam konteks TP tidaklah mengambil porsi utuh dari keseluruhan
konsep TK yang dikenal dalam dunia bisnis. Uraian Molenda dan Pershing sebagai
pembatas bukanlah satu-satunya pembatas. Analisis kinerja dapat pula dijadikan
pembatas dan patut kita kaji. Analisis kinerja juga telah di sebutkan beberapa kali
sebelumnya. Salah satu teknik analisis kinerja klasik, yaitu An Ounce of Analysis atau
AOA yang digagas oleh Joe Harless (1971). Teknik ini sering disebut para ahli sebagai
front-end analysis, yang berarti mengkaji segala sesuatu sejak dini akan menghasilkan
banyak sekali rumusan tujuan yang dapat dicapai. Joe Harless menyarankan suatu
teknik menganalisis untuk menguraikan masalah kinerja buruk di suatu organisasi.
Salah satu pendapatnya adalah membedakan antara gap (kesenjangan) dengan
deficiency (kekurangan). Ia menjelaskan gap sebagai masalah berkenaan dengan
kinerja buruk namun penyebabnya bukan proses belajar. Deficiency merujuk pada
kinerja buruk yang disebabkan oleh “kekurangan” proses belajar. Sudah jelas
penyelesaiannya adalah belajar, dan upaya membelajarkan oleh organisasi.

5. Aspek dan Alur An Ounce of Analysis

Harless mengembangkan rumusan analisis kinerja mengikuti alur pragmatis


pemecahan masalah pada umumnya. Tahap awal, penelusuran dilaksanakan dengan
cara menentukan indikator. Adapun konsep indikator merujuk pada gejala atau
fenomena yang muncul dan dapat diamati oleh ahli TP; termasuk di dalamnya perilaku
karyawan sehari-hari, hasil pekerjaan, waktu yang digunakan untuk menyelesaikan atau
tidak pekerjaan tersebut, dan sebagainya. Berdasarkan indikator yang diperoleh
selanjutnya merumuskan masalah yang sebenarnya serta jabaran jenjang penguasaan
pengetahu an terkait dengan tuntutan pekerjaan karyawan. Rumusan ini sebenarnya
untuk menentukan patokan landasan keilmuan yang diyakini sebagai modal dasar
seseorang untuk bekerja.
Setelah itu, kita sebaiknya langsung menelusuri penyebab yang berdampak atas
prestasi kerja yang buruk. Untuk itu, kita mengkaji dengan kata tanya mengapa dan
bagaimana. Mengapa kinerja buruk itu terjadi, mengapa karyawan tidak masuk bekerja
tanpa alasan yang jelas? Bagaimana ia dapat melakukan kesalahan? Penelusuran
penyebab dilanjutkan dengan mencari bukti-bukti (evidence) yang mendukung atas
indikator dan penyebab. Bukti-bukti ini sangat penting mengingat penelusuran adalah
kegiatan ilmiah yang memerlukan data sebagai pendukung agar kita tidak terjebak
“berdasarkan omongan atau pembicaraan seseorang atau sekelompok orang”. Dengan
demikian, kita dapat merumuskan beberapa solusi atau remedies, yakni pilihan yang
dapat dipertimbangkan untuk menyelesaikan masalah kinerja tadi. Istilah perbaikan
(remedies) kini disebut dengan intervensi. Perbaikan atau intervensi adalah perla kuan
khusus sebagai upaya peningkatan kinerja. Tiga perbaikan yang berdampak atas kinerja
meliputi pelatihan, yaitu kegiatan belajar di kelas; rekayasa lingkungan kerja serta
manipulasi insentif bagi karyawan. Perhatikan tabel berikut yang menyajikan rumusan
indikator, penyebab, dan bukti-bukti berikut ini. Tabel ini disajikan agar Anda dapat
menyimpulkan perbedaan antara ketiga aspek penting dari An Ounce of Analysis dari
Joe Harless.
Simak dengan cermat contoh-contoh di atas, kemudian baca lah dengan teliti
penjelasan berikut ini untuk mendukung pemahaman Anda. Pertama, jumlah indikator
dan penyebab serta bukti-bukti tidak selalu harus sama, atau mengikuti aturan tertentu
seperti indikator lebih banyak dari penyebab atau sebaliknya. Indikator sebagai gejala
muncul dalam bentuk perilaku manusia seperti keluhan, protes, atau kenyataan yang
dapat diamati seperti antrian panjang mobil atau kendaraan.

Bukti-bukti sering kali dikaitkan dengan data (sering, banyak, ke luhan) atau
kebendaan yang bersifat fisik (foto, benda rusak, dan seba gainya). Setelah semua dapat
disusun tertib, maka diperlukan kejelian analis untuk mengelompokkan penyebab
dalam kategori: pengetahuan/ kemampuan, insentif, serta lingkungan kerja. Kategori
penyebab pen ting karena menjadi landasan untuk menyusun alternatif atau pilihan
intervensi yang patut dilakukan. Perhatikanlah, jika Anda memperoleh kesimpulan
penyebab utamanya adalah insentif dan lingkungan kerja, maka Anda tidak perlu
melanjutkan analisis kinerja ini. Kedua penyebab utama, insentif dan lingkungan kerja,
menjadi bagian dari ilmu manaje men. Namun jika kesimpulan yang Anda peroleh
terkait kategori penge tahuan dan/atau kemampuan, maka Anda dapat melanjutkan
pekerja an dengan merumuskan alternatif intervensi untuk proses belajar atau
membelajarkan dalam berbagai pendekatan dan teknik. Inilah yang le bih penting untuk
Anda pahami dalam melakukan analisis kinerja; yakni mampu memisahkan mana
bagian profesi TP dengan bukan TP.

Untuk menentukan pilihan terbaik, Anda memerlukan tahapan tertentu yang harus
dilalui. Tahap awal, cobalah Anda rumuskan terlebih dahulu kebermanfaatan dan
keterbatasan setiap alternatif intervensi yang te lah dirumuskan. Lalu, cobalah untuk
menimbang berdasarkan asas ke pentingan dan kebermanfaatan bagi organisasi berikut
SDM yang akan menjadi subjek intervensi. Selanjutnya, pertimbangkan hasil ini
melalui kegiatan diskusi atau penelusuran pendapat dari semua pihak yang ber
kepentingan. Setelah memperoleh masukan, cobalah simpulkan dan ru muskan dengan
tepat. Tahap akhir, buatlah laporan yang memaparkan seluruh pertimbangan dan pilihan
intervensi.
Menentukan manfaat dan keterbatasan atau bobot setiap interven si tidak
ditentukan sendiri oleh ahli TP. Ia sebaiknya bekerja sama de ngan klien, atau pihak
internal organisasi seperti penjahitnya langsung sebagai mitra. Begitu pula halnya
dengan menentukan pembobotan mengingat pembobotan ini mencerminkan prioritas
organisasi dalam memilih intervensi. Jika diperlukan, dalam organisasi yang lebih be
sar, penerapan metode survei dengan instrumen skala sikap dapat digunakan untuk
menentukan pembobotan ini. Ahli TP berkepenting an untuk memberikan masukan
mengenai seluruh alternatif intervensi yang diberikan. Setelah itu, tahap II dilanjutkan
dengan tahap III dan tahap IV.

Perhatikanlah tahapan III dan IV melalui tabel berikut yang terkait dengan
penaksiran “harga” setiap alternatifintervensi.

Tahap IV adalah tahap memberikan masukan kepada klien, inter vensi apa dan
bagaimana yang sesuai dan pantas, sesuai organisasiun tuk dipilih. Tahap IV adalah
kesimpulan laporan yang harus diserahkan kepada penjahit sebagai klien. Jika
organisasi klien itu berskala besar, maka penentuan tahap IV dapat diselesaikan melalui
focus group discussion (FGD) mengingat klien adalah mitra dari ahli TP dan keduanya
harus bersinergi menghasilkan yang terbaik untuk peningkatan mutu SDM.

E. Tindak Lanjut Analisis Kinerja


Barbazette (2006: bab 9) menyebut nya dengan analisis kontekstual. Ia
menjelaskan, “Analisis kontekstual mengambil informasi dari analisis lain yang
dijelaskan .... dan menjawab bagaimana, kapan dan di mana pelatihan akan
disampaikan. Ini membantu Anda membandingkan media pengiriman yang berbeda
dan mengatasi masalah penjadwalan dan logistik lainnya dalam konteks organisasi on
and the learning objectives” (hlm. 100). Dari rumusan ini ada tiga hal penting yang
termasuk dalam contextual analysis, yaitu how (bagaimana), when (kapan) dan where
(di mana) pelatihan akan diselenggarakan.

Terkait dengan upaya bagaimana pelatihan diselenggarakan, Bar bazette memberi


alternatif, yakni menurut jumlah atau besaran peserta (class size), pilihan kelas maya
(virtual training) atau kelas nyata (real time), serta lokasi pelatihan. Jumlah atau besaran
peserta pelatihan. Kelompok peserta pelatihan terbagi dua, berjumlah relatif besar atau
sedang melalui pelatihan langsung di kelas atau kelas maya (virtual trai ning). Adapun
pelatihan individu dapat dilaksanakan melalui pola bela jar mandiri melalui berbagai
pendekatan seperti belajar melalui modul cetak, modul elektronik melalui platform
tertentu atau langsung (daring, online). Perhatikanlah beberapa kutipan tabel dalam
Barbazette yang mencerminkan pertimbangan untuk menentukan model pelatihan yang
sesuai dengan tujuan belajar, kepentingan karyawan sebagai peserta serta kepentingan
organisasi.

Tabel di atas mencerminkan tiga pilihan jumlah peserta pelatihan, yakni belajar
dalam kelompok, belajar mandiri, serta model OTJ atau pelatihan dalam bekerja (PDB).
Ketiga pilihan besaran atau jumlah ini mempunyai aspek yang dipertimbangkan seperti
pembiayaan, konsis tensi penyerapan materi oleh peserta, waktu yang terserap untuk
pela tihan, pertimbangan tuntutan keahlian pelatih atau instruktur serta per timbangan
lain yang harus diperhitungkan.

Perhatikanlah tabel di atas. Kedua pilihan penyampaian materi melalui tatap muka
maupun kelas maya sama-sama memerlukan pem biayan menengah, yakni tidak
termasuk berbiaya rendah atau tinggi. Perbedaan yang menonjol adalah penjadwalan
bagi kelas tatap muka lebih mudah dibandingkan kelas maya. Perbedaan lain adalah
tuntutan kemampuan pelatih bagi kelas tatap muka lebih tinggi dibandingkan ke las
maya. Perlu diingat bahwa perbandingan keahlian pelatih ini terjadi di negara maju
yang terbiasa dengan teknologi daring. Sesungguhnya kelas maya memerlukan pelatih
yang andal menggunakan teknologi da ring. Artinya, kemungkinan besar di Indonesia
kondisi ini dapat saja ter balik. Anggapan pelatihan kelas tatap muka akan menjadi lebih
mudah bagi pelatih (yang belum terbiasa dengan penggunaan teknologi digital)
dibandingkan dengan kelas maya.

Perhatikan tabel pilihan untuk penggunakan teknologi digital dan jaringan di atas.
CD atau DVD termasuk teknologi digital yang bersifat klasik. Belajar mandiri melalui
penyajian materi dalam CD atau DVD bukanlah hal yang asing. Dengan pembiayaan
yang relatif rendah di bandingkan penggunaan teknologi digital lain, CD atau DVD
mampu memberikan konsistensi penyajian materi yang sama tingginya dengan
teknologi digital lain. Mengingat perbandingan ini dibuat dengan kon teks negara maju,
maka kita tetap mengingat biaya produksi relatif be sar. Selain itu, waktu yang
diperlukan untuk mengembangkan relatif lama. Kelebihannya adalah baik CD maupun
DVD dapat digandakan untuk jumlah yang tidak terbatas.

Selain itu, catatan mengenai keahlian pelatih bagi penggunaan teknologi digital
dan internet ini masih memerlukan diskusi mendalam. Pelatih dianggap terbiasa
menggunakan teknologi digital dan internet dalam kesehariannya. Namun tidak jarang
pelatih atau instruktur di Indonesia belum terbiasa menggunakannya. Konteks ini
menunjukkan nilai yang terkandung untuk keahlian sangat cair dan relatif; tergantung
dari kemampuan individu pelatih itu sendiri.

F. Metode dan Teknik Pengumpulan Informasi/Data untuk Analisis Kerja


1. Informasi dan Data untuk Analisis Kebutuhan

Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, sebagai “turunan” desain


pembelajaran, teknologi kinerja terutama kajian analisis kinerja bersifat tertib
ilmiah, yakni mengindahkan aspek keilmiahan melalui serangkaian upaya
mengumpulkan informasi atau data. Membedakan antara informasi dan data
bukanlah aspek utama, namun konsep perbedaan memerlukan kesepakatan
mengingat keduanya menuntun ahli TP/ TK untuk berpikir logis, runtut serta ilmiah
dalam rangka memberikan pilihan intervensi yang dapat dipertanggungjawab kan
kepada klien atau pelanggannya. Baik informasi maupun data masa kini termasuk
kajian lintas disiplin. Ilmu komunikasi menyebutnya sebagai pesan, informasi
dalam konteks belajar adalah materi ajar, sedang kan informasi terkait dengan
teknologi informasi mempunyai makna digital.

Bagi kajian analisis kinerja, informasi termasuk fakta, kejadian, peristiwa atau
kasus terkait kinerja karyawan dan organisasi yang direkam atau dicatat sebagai
bahan pertimbangan untuk mencari masalah, penyebab serta menentukan intervensi
atau solusi. Data sebagai bagian dari suatu penelitian dimaknai sebagai, “The
recorded factual material commonly accepted in the scientific community as
necessary to validate research findings” (University of Oregon, online libraries,
tanggal 9 Juli 2017, pukul 12:58). Adapun dalam kamus daring Merriam-Webster,
data dijabarkan sebagai, “: (1) factual information (such as measurements or
statistics) used as a basis for reasoning, discussion, or perhitungan…….; (2)
Keluaran informasi oleh alat atau organ penginderaan yang mencakup informasi
yang berguna dan tidak relevan atau berlebihan dan harus diproses agar menjadi
bermakna; (3) Informasi dalam bentuk numerik yang dapat ditransmisikan atau
diproses secara digital”. Jika Kunci, maka data bagi AK adalah informasi yang telah
diolah baik berupa aspek statistik seperti grafik, ni lai rata-rata atau deviasi; atau
informasi yang disampaikan atau dioleh secara digital seperti menggunakan
berbagai platforms yang tersedia di dunia maya.

Dengan demikian, memperoleh dan mengolah informasi menjadi data bisa kini
bisa saja memanfaatkan teknologi digital. Inilah salah satu kemudahan yang
diperoleh dari kemajuan teknologi digital. Aspek keilmiahan. Jaminan data yang
ilmiah dan logis atau tidak memihak pada siapapun dari suatu AK dilaksanakan
secara dini. Hal ini terlaksana melalui adanya kajian ahli (expert review) atau teknik
triangulasi. Ahli TK dan TP tidak bekerja sendiri. Ia bekerja sebagai bagian dari
suatu tim. Ahli-ahli lain di antaranya mulai diperlukan sewaktu mengembangkan
instrumen AK yang valid dan reliable. Instrumen valid dan reliable ditinjau dari
segi format dan isi, sedangkan validitas dan reliabilitas instrumen tercapai ketika
ahli terkait telah memberikan masukan profesional untuk keduanya. Partisipan.
Partisipan adalah orang-orang yang dimintakan penda patnya oleh konsultan.
Partisipan bisa saja klien atau pelanggan; selain itu, partisipan juga bisa saja para
ahli lain yang dianggap perlu dilibatkan untuk proses AK. Selain itu, karyawan yang
bersangkutan, mitra kerja nya, serta atasan langsung termasuk pihak yang sebaiknya
dilibatkan. Beberapa metode-metode yang umum digunakan untuk AK yakni
pengamatan, wawancara, survei dan focus group discussion (FGD).

2. Metode Analisis Kebutuhan

a. Pengamatan (Observasi)

Tiga kegiatan utama untuk melakukan pengamatan yakni melihat,


mendengar dan mencatat. (1) Melihat, melalui mata sebagai indra penglihatan,
Anda diharapkan mampu memahami apa yang sedang terjadi tidak hanya gerak
gerik seseorang namun membaca ekspresi dan tingkah laku seseorang. Selain
melihat, (2) mendengar menjadi andalan bagi pengamat untuk memperkuat
informasi yang ia terima melalui indra mata. Pengamat ketika berinteraksi
dengan seorang subjek pengamatan, mampu menjadi pendengar yang baik.
Keahliannya adalah membuat nyaman subjek agar subjek tersebut terbuka dan
merasa nyaman untuk berbicara dengan pengamat. Anda dapat menjadi
pengamat yang baik ketika Anda mampu mensinergikan apa dan bagaimana
yang Anda lihat dengan apa dan bagaimana dari yang Anda dengar. Dalam hal
ini, pengamat ditantang untuk menjadi peka namun tanpa melibatkan emosi
sendiri.

(3) Mencatat adalah kegiatan pengamat untuk menuliskan secara


objektif dan efisien apa dan bagaimana informasi yang ia terima dari yang
dilihat dan didengar. Mencatat bisa langsung ia kerjakan seperti menulis buku
harian; atau menuliskan dengan menggunakan format tertentu. Perhatikanlah
contoh berikut ini.

Kolom A adalah contoh catatan anekdot yang melibatkan emosi atau


unsur subjektivitas pengamat. Pernyataan sepanjang 1 km lebih merupakan
pernyataan yang meragukan mengingat pengamat tidak menggunakan alat ukur
tertentu. Ia hanya membuat perkiraan. Dalam kalimat kedua, ada pernyataan
“kelelahan, tidak begitu memperhatikan”. Ini menunjukkan seolah-olah
pengamat yakin mengetahui bahwa karyawan yang ia amati memang sedang
merasa kelelahan dan tidak memperhatikan proses melipat. Sekarang,
bandingkanlah dengan kalimat dalam kotak B.

Pernyataan “perlahan-lahan bergerak” dan waktu “diperkirakan 15


menit” lebih dapat diterima mengingat waktu dapat ‘diukur’ melalui jam
tangan. Kemudian, kalimat kedua mengungkapkan kata menguap yang dapat
dijadikan indikator yang menunjukkan kelelahan. Atau mengulang berkali-kali
melipat juga dapat dijadikan indikator bahwa karyawan tidak berkonsentrasi
terhadap pekerjaannya. Pemanfaatan teknologi digital dapat digunakan untuk
pengamatan. Kamera digital atau telepon seluler kini dapat digunakan untuk
merekam kegiatan apa saja termasuk pengamatan. Untuk itu, pengamat dapat
menggunakan gawainya untuk merekam dalam format video clip apa dan
bagaimana peristiwa atau kejadian terkait dengan kinerja karyawan. Merekam
gambar hidup atau video clip dengan kamera kini men jadi cara lain untuk
“mencatat” dalam teknik pengamatan. Sebaiknya durasi video clip tidak terlalu
panjang, cukup 2-3 menit saja agar lebih mudah untuk diamati dan dibahas nanti
dalam FGD.

(4) Pengamatan tentu saja memerlukan keahlian khusus. Berlatih


merupakan satu-satunya cara agar seseorang menjadi pengamat yang jeli dan
baik mengingat mengamati bukanlah “hanya” mendengar, me lihat, mencatat
biasa saja. Mengamati adalah kemampuan seseorang yang diasah untuk
memberdayakan indra penglihatan dan pendengaran secara maksimal untuk
kepentingan ilmiah. Mengamati dengan kata lain, sebagai kegiatan melihat,
mendengar, dan mencatat dengan merujuk pada konteks tertentu. Dalam hal ini,
pengamatan yang dilakukan terkait dengan kinerja seseorang terkait suatu
profesi.

(5) Manfaat dan keterbatasan. Cobalah Anda tuliskan apa kelebihan dan
keterbatasan dari pengamatan. Lalu, bandingkan pendapat Anda dengan
ilustrasi di bawah ini yang mencerminkan beberapa kelebihan dan keterbatasan
dari pengamatan.
b. Survey

Survei dirumuskan sebagai, “A survey is any activity that collects


information in an organized and methodical manner about characteristics of
interest from some or all units of a population using well-defi ned concepts,
methods and procedures, and compiles such information into a useful summary
form” (Statistic Canada, 2010, catalogue no 12 587-X, hlm. 1). Sebagaimana
halnya pengamatan, survei selain untuk pe nelitian, dapat pula diterapkan untuk
AK. Tentu saja seperti tercantum dalam definisinya, survei memerlukan
penataan tertentu dan mengacu pada struktur tertentu. Terkait dengan
penggunaan instrumen skala sikap, survei dapat menelusuri beragam
karakteristik informasi mengenai kinerja seorang karyawan dalam suatu
organisasi seperti tersaji dalam tabel berikut (lihat: Barbazzette, Op. cit.,
hlm.47-51).
Sebagaimana pengamatan, survei memiliki kelebihan dan keterba tasan.
Simaklah kekhususan dari survei tersebut yang dirangkum dari berbagai
pendapat dalam tulisan Priscilla A. Glasow (2005) dalam tulis nnya
“Fundamentals of Survey Research Methodology”.

c. Focus Group Discussion


Metode FGD diterapkan untuk “mengimbangi” atau dikombinasikan
dengan metode pengamatan dan survei mengingat FGD ini dapat
mengembangkan dan menggali pemikiran beberapa orang lebih mendalam
seperti yang dirumuskan oleh Barry Nagle & Nichell Williams dalam makalah
mereka tentang Methodology Brief: Introduction to Focus Groups. FGD dapat
dilaksanakan untuk 5-12 peserta. Semua peserta diharapkan merasakan
kenyamanan dalam mengeluarkan pemikiran agar konsultan memperoleh
penjelasan cukup terkait dengan kinerja dan profesi dalam suatu lembaga. FGD
dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan teknologi seperti merekam dalam
format video, namun letak kamera tidak boleh mengganggu pe serta sewaktu
berdiskusi.

Langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk pelaksanaan FGD


meliputi: Rumusan tujuan dilaksanakannya FGD tersebut: Rumusan topik atau
pertanyaan yang harus dijawab oleh seluruh pe serta; Kegiatan brain-storm yang
difasilitasi oleh konsultan; Pencatatan pendapat disertai rekaman seluruh
kegiatan FGD; Perumusan kesimpulan hasil FGD; Jika diperlukan, diakhir FGD
gunakanlah instrumen lain seperti skala sikap, instrumen daftar cek dan
sebagainya untuk melengkapi dan menyeimbangkan data yang diperoleh selama
FGD. Beberapa kelebihan FGD di antaranya adalah (1) informasi dan kejelasan
pemikiran setiap peserta dibandingkan pengamatan dan survei; (2) jika
menggunakan teknologi, rekaman kegiatan dapat diputar ulang dan diamati
kembali; (3) manajemen kegiatan lebih tertib. Adapun bebe rapa keterbatasan
dari FGD muncul berdasarkan kelebihannya tersebut, yakni (1) kesulitan
menciptakan koordinasi antarpeserta, tim pelaksana FGD serta waktu yang
diperlukan; (2) teknologi, kamera, dan operator nya benar-benar harus siap dan
menghasilkan rekaman kegiatan FGD yang baik.

3. Instrumen Analisis Kebutuhan

Pengamatan, survei, wawancara, dan FGD dengan pola formal dilaksanakan


melalui teknik tertentu. Teknologi sebagaimana telah dibahas dapat mempermudah
proses pengumpulan informasi. Selain itu, beberapa teknik seperti penyusunan
catatan anekdot, daftar cek, skala sikap adalah teknik yang dapat diterapkan. Setiap
teknik menyumbangkan data yang berbeda serta memiliki kekurangan tersendiri.
Beberapa hal yang menjadi rujukan sebelum menyusun instrumen AK yakni:
Rumusan tujuan (umum dan khusus) melakukan AK dalam suatu organisasi atau
lembaga; Rincian operasional rumusan yang diperlukan dalam rangka AK, mi
salnya pembatasan ruang lingkup pekerjaan/profesi atau tugas; karyawan yang akan
diperbaiki kinerjanya serta lingkungan tugas dan pekerjaan terkait; Partisipan yang
dilibatkan seperti pimpinan, ahli, karyawan dan mitra karyawan berikut peran
masing-masing dalam AK; Fasilitas dan dukungan yang diperlukan oleh konsultan
AK dalam melaksanakan AK. Instrumen Analisis Kebutuhan Perhatikanlah uraian
instrumen AK berikut.

a. Catatan Anekdot.

Format catatan anekdot sangat sederhana, dengan aspek terpenting


adalah waktu, lokasi, serta pengamat itu sendiri. Waktu dirinci sebagai
tanggal, hari, serta jadwal (pukul berapa mulai dan pukul berapa berakhir).
Lokasi merujuk kepada tempat pengamatan seperti di jalan raya, di ruang
kantor, laboratorium, di pabrik, dan sebagai nya. Adapun nama pengamat
dibutuhkan mengingat perannya dalam kegiatan analisis kinerja ini.

b. Format daftar cek

Selain catatan anekdot, daftar cek atau check list ini sering digunakan
untuk pengamatan (lihat: Tuckman, 2nd Ed., 1978: 166). Daftar cek
merekam informasi dengan cara menamai, memberi la bel; sedangkan hasil
yang diperoleh hanya dua hal, ada dan tidak ada atau ya-tidak, sifat data
adalah nominal. Sebagai contoh, kinerja yang baik seorang karyawan
ditopang oleh sarana kerja teknologi seperti komputer serta ruang kerja
khusus. Menelusuri informasi ini dapat dila kukan dengan merumuskan
pertanyaan seperti berikut.

c. Skala sikap

Skala sikap ini adalah instrumen AK bersifat multi fungsi. Seperti


contoh di bawah ini, skala sikap dapat digunakan un tuk menelusuri
beragam informasi. Sesuai dengan sifatnya, skala sikap cenderung
menanyakan pendapat pengamat atau orang yang mengisi skala sikap
tersebut. Skala sikap memberikan data yang bersifat interval, atau pendapat
yang “berjarak” sama diantaranya. Skala sikap menelusuri informasi seperti
sikap atau pendapat seseorang, kepercayaan, atau pertimbangan tertentu dari
seseorang. Jika diberikan kepada seseorang yang dianggap ahli, maka
pendapat dan pertimbangan yang diberikan bersifat profesional,
menunjukkan wawasan dan keahlian yang bersang kutan. Jika diberikan
kepada seseorang di luar ahli tadi, diharapkan ja wabannya murni
berdasarkan pendapat atau wawasan yang ia pribadi miliki. Perhatikanlah
contoh berikut.
Antara sangat setuju, setuju, biasa saja, menolak dan sangat menolak
mempunyai interval sama; begitu pula dengan jawaban angka 5 – 4 –3–2–1
dianggap memiliki interval yang sama. Walau begitu, data yang dihasilkan
berbeda. Pernyataan kesetujuan atau penolakan bersifat kualitatif, sedangkan
jawaban dengan angka adalah kuantitatif, selanjut nya harus dimaknai secara
kualitatif. Dengan demikian, pilihan jawaban yang diberikan oleh ahli atau
partisipan AK dianggap mampu mewadahi pendapat dan pertimbangan
mereka.

BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Desain pembelajaran dan penyelenggaraan pelatihan menjadi bukti perkembangan
tersebut. Asesmen kebutuhan berperan sebagai pemasok data yang dapat dipertimbangkan
untuk mendesain suatu pembelajaran atau proses belajar. Analisis kebutuhan diterapkan
untuk desain pembelajaran yang bersifat makro, atau mengembangkan kurikulum (program
pembelajaran). Tidak hanya itu, asesmen kebutuhan dapat pula digunakan untuk
mendukung prinsip efisiensi; yakni ketika pertanyaan pembelajaran atau proses belajar
menjadi pilihan atau intervensi terbaik yang harus dilaksanakan. Untuk itu, asesmen
kebutuhan disesuaikan pula dengan cakupan masalah seperti luas atau sempit, masalah
teknis atau kebijakan, masalah lingkungan atau kinerja, dan sebagainya. Untuk itu, selain
istilah asesmen kebutuhan atau needs assessment, maka dikenal pula analisis kebutuhan
(needs analysis) serta kini dikenal pula analisis kinerja (performance analysis).
Daftar Pustaka

Prawiradilaga, Dewi Salma dan Uwes Anis Chaeruman, (2018) Modul


Hypercontent Teknologi Kinerja (Performance Technology). Jakarta:
Prenadamedia Group.

Anda mungkin juga menyukai