ANALISIS KINERJA
Disusun Oleh:
Muhammad Agil Masruri (S812102007)
Dini Wahyu Mulyasari (S81210200 )
Kemudian, dengan menerapkan analisis kinerja ini berarti terjadi efisiensi anggaran
untuk pelatihan itu sendiri. Jika intervensi lain, sela in pelatihan, yang lebih sesuai maka
anggaran intervensi tersebut be lum tentu semahal atau sebanyak jumlah anggaran yang
diserap untuk pelatihan. Hal-hal sederhana seperti coaching, panduan kerja bisa saja
menjadi intervensi peningkatan kinerja yang lebih baik dibandingkan dengan pelatihan jika
keduanya merupakan hasil akhir analisis kinerja.
B. Rumusan Masalah
Melihat latar belakang masalah yang sudah dikemukakan, maka beberapa masalah yang
dapat penulis rumuskan dan akan dibahas dalam makalah ini adalah:
1. Apa pengertian Analisis Kinerja ?
2. Bagaimana cara menerapkan Analisis Kinerja?
C. Tujuan
Secara terperinci tujuan dari penulisan makalah ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengertian Analisis Kinerja
2. Untuk mengetahui cara menerapkan Analisis Kinerja
BAB II
PEMBAHASAN
A. Analisis Kinerja
Bagi ahli TP atau TK, intervensi tidak begitu saja dipilih, melainkan memilih
melakukan asesmen kebutuhan, analisis kebutuhan, analisis pekerjaan, atau analisis
kinerja. Pendekatan ini harus dilakukan demi ketepatan solusi atau intervensi, efisiensi
anggaran organisasi, serta demi peningkatan kinerja organisasi untuk layanan publik.
Lalu, mengapa jika ada seorang karyawan yang dianggap mampu tetap saja
menghasilkan kinerja buruk? Apakah ia mampu dan mau bekerja bersungguh-sungguh?
Mengapa ia tidak mau? Mengapa ia tidak dapat menunjukkan kinerja terbaiknya? Tentu
saja dua pertanyaan ini menjadi awal dari penelusuran penyebab kinerja buruk. Tidak mau
adalah gejala yang menunjukkan seorang karyawan tidak memiliki motivasi bekerja yang
baik. Tentu saja kita dapat mengupayakan terapi terkait motivasi bekerja. Lalu, bagaimana
dengan tidak dapat menunjukkan kinerja terbaik? Gejala ini menunjukkan ada kekeliruan.
Misalnya, jawaban untuk pertanyaan ini adalah karena tidak tahu, maka solusi menjadi
lebih mudah. Bekal karyawan tersebut dengan pengetahuan yang sesuai tuntutan pekerjaan
atau profesi. Solusinya mungkin saja pelatihan, pengelolaan pengetahuan atau proses
belajar lainnya. Menduga-duga bukanlah jalan keluar terbaik. Upaya melakukan analisis
kinerja dilaksanakan demi memperoleh jawaban dan solusi yang tepat untuk meningkatkan
kinerja. Ini adalah langkah awal dari seorang ahli TP yang menerapkan keilmuan TK untuk
hal lain.
Dalam konteks TP, upaya untuk menentukan apa masalah yang sebenarnya telah
dikenal sejak lama, yakni ketika ahli TP diminta untuk mendesain pembelajaran makro
yang berorientasi suprasistem sewaktu ia mengembangkan suatu kurikulum bagi suatu
program pembelajaran. Dalam hal ini, ia harus mengantisipasi potensi keberhasilan,
hambatan atau masalah yang mungkin saja timbul sewaktu proses mendesain dilaksanakan.
Proses peninjauan masalah kinerja buruk dari berbagai sudut pandang biasa disebut para
desainer pembelajaran sebagai analisis kebutuhan.
Lingkaran di atas terbagi atas empat belahan (quadrant) sesuai fungsinya. Belahan 1
dan 2, yang telah dibubuhi tanda panah adalah belahan yang membekali karyawan dengan
pengetahuan. Adapun belahan 3 dan 4 berkenaan dengan analisis lingkungan bekerja.
Belahan pertama. Belahan ini ditujukan untuk karyawan yang belum pernah menunjukkan
kinerja yang memuaskan. Belahan ini terbagi atas karyawan dengan kemampuan prasyarat
dapat dibina melalui pemberitahuan, diperlihatkan. Kini teknik ini sering disebut coaching.
Teknik lain adalah pelatihan seperti on the job training atau karyawan tersebut disekolah
kan. Adapun karyawan tanpa kemampuan prasyarat dapat dikondisikan melalui beberapa
metode seperti memberikan kemampuan prasyarat, jika diperlukan karyawan dapat
dialihtugaskan, atau menyusun ulang pekerjaan atau tugas yang diberikan. Belahan kedua.
Belahan ini berkaitan dengan alasan karyawan yang pernah berkinerja baik, namun
sekarang tidak lagi. Karyawan tersebut dapat saja diikutsertakan lagi untuk suatu pelatihan,
panduan kerja, atau manual. Selain itu, mungkin saja ia memerlukan penugasan yang
memiliki porsi berikut masukan yang bermanfaat baginya.
Dari berbagai sumber, istilah gap dapat dirangkum sebagai kesenjangan antara
keadaan ideal, termasuk di dalamnya adalah kinerja ideal dengan keadaan atau kinerja
yang sebenarnya dihasilkan pada saat ini. Adapun gap atau kesenjangan ini bisa saja
muncul sebagai kinerja buruk atau kurang, lingkungan kerja yang tidak sesuai dengan
kondisi ideal, atau kondisi bekerja lainnya yang tidak mendukung. Adapun istilah
defisiensi sering dimaknai langsung sebagai “kekurangan” kinerja ideal dibandingkan
dengan kinerja yang sebenarnya ditampilkan oleh seseorang. Defisiensi kinerja ini
berkenaan langsung dengan kepentingan keilmuan TP. Bagaimanakah kita tahu bahwa
yang dihadapi oleh ahli TP itu gap atau defisiensi? Bagaimanakah asesmen kebutuhan
tersebut dilakukan? Berikut kutipan modelnya dari Morrison, et al. (Op. cit., hlm. 35).
Simak dengan baik rincian model ini.
2. Konsep Mager.
Sering kali para ahli mengutip pendapat Mager terkait denga asesmen kebutuhan
sebagaimana halnya Brown & Green (hlm.48). Marilah kita bandingkan konsep Mager
dengan pendapat Romiszowski sebelumnya. Mager memulai asesmen kebutuhan
dengan rumusan discrepancy atau kesenjangan. Ia mencari jawaban apakah
kesenjangan itu berupa defisiensi kinerja. Jika jawabannya ya, maka ia menyarankan
pelatihan sebagai jawaban atau intervensi yang harus dilakukan. Setelah itu, model
Mager ini menyarankan untuk mencari penyebab yang paling mungkin. Apakah
karyawan itu dulu mampu menunjukkan yang terbaik. Jika jawabannya ya, maka yang
harus diper hatikan oleh ahli TK mencari penyebab penurunan mutu kinerja. Intervensi
yang mungkin saja dapat dilakukan sebagai on-the-job training (OJT), karyawan itu
memerlukan masukan, bahkan dialih fungsikan ke pekerjaan atau profesi lain.
Kemungkinan lain adalah sewaktu pertanyaan potensi karyawan di masa depan. Jika
ya, maka ia memang dapat dipertahankan untuk tetap bekarja; namun bila ia
mempunyai catatan lebih buruk, maka ia bisa saja diberhentikan.
3. Ikhtisar Perbandingan Model Harless dengan Rossett (2009)
Dua model ini mempunyai kekuatan dan penga ruh masing-masing bagi ahli
TPlain dalam rangka mengembangkan proses belajar dan upaya mem belajarkan di
suatu organisasi, baik pemerintah maupun swasta. Model Harless, dengan konsep An
Ounce of Analysis worths a Pound of Objectives adalah model lawas namun klasik
yang menjadi cikal bakal pemikiran mengenai analisis kebutuhan pada umumnya, serta
analisis kinerja pada khususnya. Harless termasuk salah satu perintis analisis kinerja
yang mengungkapkan pentingnya analisis dilakukan lebih dini demi menjaga efisiensi
pelatihan, ditinjau dari segi rumusan tujuan pelatihan atau kompetensi yang lebih tepat
sasaran berikut adanya upaya perampingan anggaran pelatihan. Konsep An Ounce of
Analysis Worths a Pound of Objectives selanjutnya bagi ahli-ahli TP di AS dimaknai
sebagai front-end analysis (FEA) mengingat konsep Harless ini sebagai upaya menakar
hasil akhir suatu pelatihan di awal kegiatan mendesain pelatihan secara umum. Adapun
pemikiran FEA kini dikenal pula diterapkan untuk bidang ilmu komputer. Jadi, model
Harless sebagai model klasik tetap relevan dengan kepentingan organisasi untuk
meningkatkan kinerja SDM di masa kini.
Bukti-bukti sering kali dikaitkan dengan data (sering, banyak, ke luhan) atau
kebendaan yang bersifat fisik (foto, benda rusak, dan seba gainya). Setelah semua dapat
disusun tertib, maka diperlukan kejelian analis untuk mengelompokkan penyebab
dalam kategori: pengetahuan/ kemampuan, insentif, serta lingkungan kerja. Kategori
penyebab pen ting karena menjadi landasan untuk menyusun alternatif atau pilihan
intervensi yang patut dilakukan. Perhatikanlah, jika Anda memperoleh kesimpulan
penyebab utamanya adalah insentif dan lingkungan kerja, maka Anda tidak perlu
melanjutkan analisis kinerja ini. Kedua penyebab utama, insentif dan lingkungan kerja,
menjadi bagian dari ilmu manaje men. Namun jika kesimpulan yang Anda peroleh
terkait kategori penge tahuan dan/atau kemampuan, maka Anda dapat melanjutkan
pekerja an dengan merumuskan alternatif intervensi untuk proses belajar atau
membelajarkan dalam berbagai pendekatan dan teknik. Inilah yang le bih penting untuk
Anda pahami dalam melakukan analisis kinerja; yakni mampu memisahkan mana
bagian profesi TP dengan bukan TP.
Untuk menentukan pilihan terbaik, Anda memerlukan tahapan tertentu yang harus
dilalui. Tahap awal, cobalah Anda rumuskan terlebih dahulu kebermanfaatan dan
keterbatasan setiap alternatif intervensi yang te lah dirumuskan. Lalu, cobalah untuk
menimbang berdasarkan asas ke pentingan dan kebermanfaatan bagi organisasi berikut
SDM yang akan menjadi subjek intervensi. Selanjutnya, pertimbangkan hasil ini
melalui kegiatan diskusi atau penelusuran pendapat dari semua pihak yang ber
kepentingan. Setelah memperoleh masukan, cobalah simpulkan dan ru muskan dengan
tepat. Tahap akhir, buatlah laporan yang memaparkan seluruh pertimbangan dan pilihan
intervensi.
Menentukan manfaat dan keterbatasan atau bobot setiap interven si tidak
ditentukan sendiri oleh ahli TP. Ia sebaiknya bekerja sama de ngan klien, atau pihak
internal organisasi seperti penjahitnya langsung sebagai mitra. Begitu pula halnya
dengan menentukan pembobotan mengingat pembobotan ini mencerminkan prioritas
organisasi dalam memilih intervensi. Jika diperlukan, dalam organisasi yang lebih be
sar, penerapan metode survei dengan instrumen skala sikap dapat digunakan untuk
menentukan pembobotan ini. Ahli TP berkepenting an untuk memberikan masukan
mengenai seluruh alternatif intervensi yang diberikan. Setelah itu, tahap II dilanjutkan
dengan tahap III dan tahap IV.
Perhatikanlah tahapan III dan IV melalui tabel berikut yang terkait dengan
penaksiran “harga” setiap alternatifintervensi.
Tahap IV adalah tahap memberikan masukan kepada klien, inter vensi apa dan
bagaimana yang sesuai dan pantas, sesuai organisasiun tuk dipilih. Tahap IV adalah
kesimpulan laporan yang harus diserahkan kepada penjahit sebagai klien. Jika
organisasi klien itu berskala besar, maka penentuan tahap IV dapat diselesaikan melalui
focus group discussion (FGD) mengingat klien adalah mitra dari ahli TP dan keduanya
harus bersinergi menghasilkan yang terbaik untuk peningkatan mutu SDM.
Tabel di atas mencerminkan tiga pilihan jumlah peserta pelatihan, yakni belajar
dalam kelompok, belajar mandiri, serta model OTJ atau pelatihan dalam bekerja (PDB).
Ketiga pilihan besaran atau jumlah ini mempunyai aspek yang dipertimbangkan seperti
pembiayaan, konsis tensi penyerapan materi oleh peserta, waktu yang terserap untuk
pela tihan, pertimbangan tuntutan keahlian pelatih atau instruktur serta per timbangan
lain yang harus diperhitungkan.
Perhatikanlah tabel di atas. Kedua pilihan penyampaian materi melalui tatap muka
maupun kelas maya sama-sama memerlukan pem biayan menengah, yakni tidak
termasuk berbiaya rendah atau tinggi. Perbedaan yang menonjol adalah penjadwalan
bagi kelas tatap muka lebih mudah dibandingkan kelas maya. Perbedaan lain adalah
tuntutan kemampuan pelatih bagi kelas tatap muka lebih tinggi dibandingkan ke las
maya. Perlu diingat bahwa perbandingan keahlian pelatih ini terjadi di negara maju
yang terbiasa dengan teknologi daring. Sesungguhnya kelas maya memerlukan pelatih
yang andal menggunakan teknologi da ring. Artinya, kemungkinan besar di Indonesia
kondisi ini dapat saja ter balik. Anggapan pelatihan kelas tatap muka akan menjadi lebih
mudah bagi pelatih (yang belum terbiasa dengan penggunaan teknologi digital)
dibandingkan dengan kelas maya.
Perhatikan tabel pilihan untuk penggunakan teknologi digital dan jaringan di atas.
CD atau DVD termasuk teknologi digital yang bersifat klasik. Belajar mandiri melalui
penyajian materi dalam CD atau DVD bukanlah hal yang asing. Dengan pembiayaan
yang relatif rendah di bandingkan penggunaan teknologi digital lain, CD atau DVD
mampu memberikan konsistensi penyajian materi yang sama tingginya dengan
teknologi digital lain. Mengingat perbandingan ini dibuat dengan kon teks negara maju,
maka kita tetap mengingat biaya produksi relatif be sar. Selain itu, waktu yang
diperlukan untuk mengembangkan relatif lama. Kelebihannya adalah baik CD maupun
DVD dapat digandakan untuk jumlah yang tidak terbatas.
Selain itu, catatan mengenai keahlian pelatih bagi penggunaan teknologi digital
dan internet ini masih memerlukan diskusi mendalam. Pelatih dianggap terbiasa
menggunakan teknologi digital dan internet dalam kesehariannya. Namun tidak jarang
pelatih atau instruktur di Indonesia belum terbiasa menggunakannya. Konteks ini
menunjukkan nilai yang terkandung untuk keahlian sangat cair dan relatif; tergantung
dari kemampuan individu pelatih itu sendiri.
Bagi kajian analisis kinerja, informasi termasuk fakta, kejadian, peristiwa atau
kasus terkait kinerja karyawan dan organisasi yang direkam atau dicatat sebagai
bahan pertimbangan untuk mencari masalah, penyebab serta menentukan intervensi
atau solusi. Data sebagai bagian dari suatu penelitian dimaknai sebagai, “The
recorded factual material commonly accepted in the scientific community as
necessary to validate research findings” (University of Oregon, online libraries,
tanggal 9 Juli 2017, pukul 12:58). Adapun dalam kamus daring Merriam-Webster,
data dijabarkan sebagai, “: (1) factual information (such as measurements or
statistics) used as a basis for reasoning, discussion, or perhitungan…….; (2)
Keluaran informasi oleh alat atau organ penginderaan yang mencakup informasi
yang berguna dan tidak relevan atau berlebihan dan harus diproses agar menjadi
bermakna; (3) Informasi dalam bentuk numerik yang dapat ditransmisikan atau
diproses secara digital”. Jika Kunci, maka data bagi AK adalah informasi yang telah
diolah baik berupa aspek statistik seperti grafik, ni lai rata-rata atau deviasi; atau
informasi yang disampaikan atau dioleh secara digital seperti menggunakan
berbagai platforms yang tersedia di dunia maya.
Dengan demikian, memperoleh dan mengolah informasi menjadi data bisa kini
bisa saja memanfaatkan teknologi digital. Inilah salah satu kemudahan yang
diperoleh dari kemajuan teknologi digital. Aspek keilmiahan. Jaminan data yang
ilmiah dan logis atau tidak memihak pada siapapun dari suatu AK dilaksanakan
secara dini. Hal ini terlaksana melalui adanya kajian ahli (expert review) atau teknik
triangulasi. Ahli TK dan TP tidak bekerja sendiri. Ia bekerja sebagai bagian dari
suatu tim. Ahli-ahli lain di antaranya mulai diperlukan sewaktu mengembangkan
instrumen AK yang valid dan reliable. Instrumen valid dan reliable ditinjau dari
segi format dan isi, sedangkan validitas dan reliabilitas instrumen tercapai ketika
ahli terkait telah memberikan masukan profesional untuk keduanya. Partisipan.
Partisipan adalah orang-orang yang dimintakan penda patnya oleh konsultan.
Partisipan bisa saja klien atau pelanggan; selain itu, partisipan juga bisa saja para
ahli lain yang dianggap perlu dilibatkan untuk proses AK. Selain itu, karyawan yang
bersangkutan, mitra kerja nya, serta atasan langsung termasuk pihak yang sebaiknya
dilibatkan. Beberapa metode-metode yang umum digunakan untuk AK yakni
pengamatan, wawancara, survei dan focus group discussion (FGD).
a. Pengamatan (Observasi)
(5) Manfaat dan keterbatasan. Cobalah Anda tuliskan apa kelebihan dan
keterbatasan dari pengamatan. Lalu, bandingkan pendapat Anda dengan
ilustrasi di bawah ini yang mencerminkan beberapa kelebihan dan keterbatasan
dari pengamatan.
b. Survey
a. Catatan Anekdot.
Selain catatan anekdot, daftar cek atau check list ini sering digunakan
untuk pengamatan (lihat: Tuckman, 2nd Ed., 1978: 166). Daftar cek
merekam informasi dengan cara menamai, memberi la bel; sedangkan hasil
yang diperoleh hanya dua hal, ada dan tidak ada atau ya-tidak, sifat data
adalah nominal. Sebagai contoh, kinerja yang baik seorang karyawan
ditopang oleh sarana kerja teknologi seperti komputer serta ruang kerja
khusus. Menelusuri informasi ini dapat dila kukan dengan merumuskan
pertanyaan seperti berikut.
c. Skala sikap
BAB III
KESIMPULAN
A. Kesimpulan
Desain pembelajaran dan penyelenggaraan pelatihan menjadi bukti perkembangan
tersebut. Asesmen kebutuhan berperan sebagai pemasok data yang dapat dipertimbangkan
untuk mendesain suatu pembelajaran atau proses belajar. Analisis kebutuhan diterapkan
untuk desain pembelajaran yang bersifat makro, atau mengembangkan kurikulum (program
pembelajaran). Tidak hanya itu, asesmen kebutuhan dapat pula digunakan untuk
mendukung prinsip efisiensi; yakni ketika pertanyaan pembelajaran atau proses belajar
menjadi pilihan atau intervensi terbaik yang harus dilaksanakan. Untuk itu, asesmen
kebutuhan disesuaikan pula dengan cakupan masalah seperti luas atau sempit, masalah
teknis atau kebijakan, masalah lingkungan atau kinerja, dan sebagainya. Untuk itu, selain
istilah asesmen kebutuhan atau needs assessment, maka dikenal pula analisis kebutuhan
(needs analysis) serta kini dikenal pula analisis kinerja (performance analysis).
Daftar Pustaka