Anda di halaman 1dari 26

NAMA : BAIQ ANNIDA ISMA WARDHANI

NIM : A1C015013

KELAS : AKUNTANSI A REG. PAGI

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI MINAT PEGAWAI NEGERI SIPIL (PNS)


UNTUK MELAKUKAN TINDAKAN WHISTLE-BLOWING (STUDI PADA PNS BPK RI)

Rizki Bagustianto

PENDAHULUAN

Maraknya tindak kecurangan yang terungkap beberapa tahun belakangan ini baik di sektor
privat maupun di sektor pemerintahan mendapat perhatian yang serius dari publik. Khususnya
yang terjadi di sektor publik di Indonesia, tipologi fraud yang paling sensitif dan menjadi
perhatian adalah Korupsi.

Bibit korupsi kecil jika dibiarkan dapat menjadi sebuah kebiasaan buruk yang berbuah
korupsi besar. Untuk memberantas korupsi yang terjadi dalam suatu organisasi, tentu korupsi
tersebut harus dideteksi terlebih dahulu. Salah satu alat yang efektif digunakan untuk men-
deteksi korupsi adalah dengan member-dayakan Whistle-blower.

Whistle-blower adalah seseorang (pe-gawai dalam organisasi) yang memberi-tahukan


kepada publik atau kepada pejabat yang berkuasa tentang dugaan ketidak-jujuran, kegiatan
ilegal atau kesalahan yang terjadi di departemen pemerintahan, organi-sasi publik, organisasi
swasta, atau pada suatu perusahaan (Susmanschi, 2012). Pe-ngaduan dari whistle-blower
terbukti lebih efektif dalam mengungkap fraud dibanding-kan metode lainnya seperti audit
internal, pengendalian internal maupun audit ekster-nal (Sweeney, 2008). ernet.

Sebagian orang memandang whistle-blower sebagai pengkhianat yang melanggar norma


loyalitas organisasi, sebagian lainnya me-mandang whistle-blower sebagai pelindung heroik
terhadap nilai-nilai yang dianggap lebih penting dari loyalitas kepada organi-sasi (Rothschild
dan Miethe, 1999). Pandang-an yang bertentangan tersebut kerap men-jadikan calon whistle-
blower berada dalam dilema kebimbangan menentukan sikap yang pada akhirnya dapat
mendistorsi minat whistle-blowing.

Dengan mengacu pada prosocial organizational behavior theory, dapat disimpulkan bahwa
tindakan whistle-blowing seorang pegawai menunjukkan bentuk komitmen pegawai tersebut
untuk melindungi organisasinya dari ancaman hal-hal yang tidak etis atau ilegal. Faktor
komitmen organisasi tersebut telah digunakan pula dalam penelitian ter-dahulu (Somers dan
Casal, 1994; Mesmer-Magnus dan Viswesvaran, 2005; Ahmad et al., 2012), hanya saja belum
ada penelitian yang mengujinya di Indonesia khususnya di sektor publik.

Penelitian ini memiliki tujuan untuk menguji empat determinan minat whistle-blowing
Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Indonesia pada lingkup Badan Pemeriksa. Keuangan Republik
Indonesia, yaitu sikap terhadap whistle-blowing, komitmen organi-sasi, personal cost, dan
tingkat keseriusan kecurangan. Penelitian ini juga dirancang dengan maksud untuk
mengonfirmasi hasil penelitian sebelumnya. Penggunaan respon-den yang berasal dari
lingkungan BPK RI dan tambahan pengujian pengaruh faktor komitmen organisasi dalam model
peneliti-an diharapkan dapat memperkaya hasil pe-nelitian sejenis di sektor publik di Indonesia
yang merupakan negara berkembang de-ngan karakteristik tingkat korupsinya yang masih
tinggi.

TINJAUAN TEORETIS

Prosocial Organizatinal Behavior Theory

Brief dan Motowidlo (1986) mendefinisi-kan prosocial organizational behavior sebagai


perilaku/tindakan yang dilakukan oleh anggota sebuah organisasi terhadap indi-vidu, kelompok,
atau organisasi yang dituju kan untuk meningkatkan kesejahteraan individu, kelompok, atau
organisasi ter-sebut. Perilaku prososial bukanlah perilaku altruistik. Menurut Staub (1978) yang
di-kutip oleh Dozier dan Miceli (1985) bahwa perilaku prososial adalah perilaku sosial positif
yang dimaksudkan untuk memberi-kan manfaat pada orang lain. Namun tidak seperti
altruisme, pelaku prososial juga da-pat memiliki maksud untuk mendapatkan
manfaat/keuntungan untuk dirinya juga.

Prosocial behavior theory memiliki be-berapa variabel anteseden yang di-kelompokkan ke


dalam dua kelompok besar. Pertama, Individual anteseden, Kedua, Kontekstual anteseden.

Theory of Planned Behavior

Theory of Planned Behaviour (TPB) adalah teori psikologi yang dikemukakan oleh Ajzen
(1991) yang berusaha menjelaskan hubungan antara sikap dengan perilaku. TPB muncul sebagai
jawaban atas ke-gagalan determinan sikap (attitude) dalam memprediksi tindakan/perilaku
aktual (ac-tual behavior) secara langsung. TPB mem-buktikan bahwa minat ( intention) lebih
akurat dalam memprediksi perilaku aktual dan sekaligus dapat sebagai proxy yang
menghubungkan antara sikap dan perilaku aktual.

Faktor yang Mempengaruhi Minat Whistle-blowing

Penelitian terdahulu sebagaimana telah disinggung dalam pendahuluan telah me-nguji


faktor-faktor seperti sikap terhadap whistle-blowing (Park dan Blenkinsopp, 2009; Winardi,
2013), komitmen organisasi (So-mers dan Casal, 1994; Mesmer-Magnus dan Viswesvaran, 2005;
Ahmad et al., 2012), personal cost (Kaplan dan Whitecotton, 2001; Winardi, 2013) dan tingkat
keseriusan ke-curangan (Kaplan dan Whitecotton, 2001; Sabang, 2013; Winardi, 2013). Faktor-
faktor tersebut telah diuji dengan menggunakan berbagai responden penelitian seperti Petugas
Kepolisian di Korea Selatan (Park dan Blenkinsopp, 2009), Pegawai Negeri Tingkat Bawah di
Indonesia (Winardi, 2013), Anggota dari National Association of Accountants (NAA) (Somers
dan Casal, 1994) , internal auditor di Malaysia (Ahmad et al., 2012), audit senior dari kantor
akuntan publik internasional (Kaplan dan White-cotton, 2001), dan auditor internal (Inspek-
torat) di lingkungan Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (Sabang, 2013) . Pada pe-nelitian ini
faktor-faktor tersebut akan coba digunakan dalam model penelitian di sektor publik dengan
menggunakan responden PNS yang berasal dari lingkungan BPK RI.

Sikap Terhadap Whistle-Blowing


Sikap seorang PNS terhadap whistle-blowing akan mempengaruhi minat whistle-blowing
PNS tersebut. Seorang PNS untuk dapat menjadi whistle-blower harus memiliki komponen
kognitif atau keyakinan (salient belief) bahwa whistle-blowing adalah suatu tindakan yang
memiliki konsekuensi positif misalnya untuk melindungi organisasi, memberantas korupsi,
memunculkan efek jera, menumbuhkan budaya antikorupsi, menghasilkan manfaat pribadi
seperti repu-tasi, reward dan sebagainya.

H1 : Sikap terhadap whistle-blowing berpe-ngaruh positif terhadap minat pegawai negeri sipil
untuk melakukan tindakan whistle-blowing.

Komitmen Organisasi

Beberapa penelitian terdahulu meng-hasilkan temuan yang berlawanan berkaitan dengan


pengaruh komitmen organisasi terhadap minat whistle-blowing. Hasil pe-nelitian Somers dan
Casal (1994) me-nyimpulkan bahwa komitmen organisasi berpengaruh terhadap minat whistle-
blowing pada anggota dari National Association of Accountant (NAA). Pada penelitian tersebut
responden yang diklasifikasikan dalam tingkatan berkomitmen organisasi moderat memiliki
kecenderungan untuk melaporkan wrongdoing paling tinggi dibandingkan yang memiliki
komitmen organisasi rendah ataupun tinggi. Hasil berbeda diperoleh pada penelitian Mesmer-
Magnus dan Vis-wesvaran (2005) yang menemukan bahwa komitmen organisasi tidak memiliki
kore-lasi/keterkaitan dengan minat whistle-blowing. Penelitian Ahmad et al. (2012) juga
menunjukkan bahwa komitmen organisasi tidak mampu untuk menjelaskan minat perilaku
whistle-blowing internal auditor di Malaysia.

Berdasarkan penjelasan di atas dan hasil-hasil penelitian sebelumnya, hipotesis ke dua


yang diajukan ialah:

H2 : Komitmen organisasi berpengaruh positif terhadap minat pegawai negeri sipil untuk
melakukan tindakan whistle-blowing.

Personal Cost
Personal cost of reporting adalah pan-dangan pegawai terhadap risiko pembalas-an/ balas
dendam atau sanksi dari anggota organisasi, yang dapat mengurangi minat pegawai untuk
melaporkan wrongdoing (Schutlz et al., 1993). Semakin besar persepsi personal cost seseorang
maka akan semakin berkurang minat orang tersebut untuk melakukan tindakan whistle-
blowing. Personal cost dapat saja didasarkan pada penilaian subjektif (Curtis, 2006),

H3 : Personal Cost berpengaruh negatif ter-hadap minat pegawai negeri sipil untuk melakukan
tindakan whistle-blowing.

Tingkat Keseriusan Kecurangan

Anggota organisasi yang mengamati adanya dugaan wrongdoing/kecurangan akan lebih


mungkin untuk melakukan whistle-blowing jika wrongdoing/kecurangan tersebut serius (Miceli
dan Near, 1985). Organisasi akan terkena dampak kerugian yang lebih besar dari wrongdoing
yang lebih serius dibandingkan dari wrongdoing yang kurang serius (Winardi, 2013).

H4 : tingkat keseriusan kerungan berpengaruh positif terhadap minat pegawai negeri sipil untuk
melakukan tindakan whistle-blowing.

METODE PENELITIAN Metode Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan alat statistik regresi linier berganda (
Multiple linier regresion). Alat statistik ini dipilih dengan pertimbangan bahwa hipotesis
penelitian dikembangkan menggunakan empat (>3) variabel inde-penden, sehingga diharapkan
melalui ana-lisis regresi linier berganda mampu men-jelaskan hubungan linier antara variabel
independen dengan variabel dependen dalam pengujian hipotesis. Analisis statistik dilakukan
dengan bantuan perangkat lunak statistik SPSS versi 17.

Sebelum melakukan analisis regresi linier berganda, peneliti melakukan uji validitas
terhadap instrumen kuesioner dan

Populasi dan Sampel


Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pegawai negeri sipil yang bekerja pada
berbagai unit kerja di Instansi BPK.

Teknik sampling yang digunakan adalah pemilihan sampel menggunakan metode purposive
sampling dengan berdasarkan per-timbangan (judgement) yaitu pemilihan sam-pel yang
didasarkan pada tujuan . Jumlah pegawai BPK yang memenuhi kriteria sampling tersebut adalah
sebanyak 5.389 orang dari total 6.205 pegawai aktif BPK (data per 1 Oktober 2014). Dari jumlah
ter-sebut, responden yang menjadi sampel adalah sebanyak 107 orang. Jumlah sampel tersebut
masih masuk dalam rentang sam-pel untuk penelitian korelasional yaitu > dari 30 atau < dari
500 (Sekaran dan Bougie, 2010).

Teknik Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer yang diperoleh langsung
dari sumbernya. Data yang di-gunakan berupa opini dari subjek penelitian yang dikumpulkan
dengan menggunakan metode survei yaitu melalui kuesioner. Pengumpulan data dilakukan
secara online (internet based) dengan bantuan layanan aplikasi survei online bernama
kwiksurveys (kwiksurveys.com). Proteksi terhadap link/ alamat website untuk pengisian
kuesioner dilakukan dengan pengaplikasian kode sandi (password) pada link website kuesioner,
sehingga hanya responden BPK saja yang dapat mengakses website kuesioner tersebut.

Desain Kuesioner

Peneliti tidak mengembangkan sendiri model pertanyaan dalam kuesioner melain-kan


menggunakan model pertanyaan yang telah ada dan digunakan pada penelitian terdahulu.
Kuesioner yang digunakan akan mengukur satu variabel dependen dan empat variabel
independen sesuai model penelitian yang telah ditetapkan. Skala yang digunakan untuk
pengukuran adalah skala likert yang dinyatakan dengan rentang angka 1 sampai dengan angka
5.

ANALISIS DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Karakteristik Responden


Jumlah kuesioner terjawab yang masuk ke dalam aplikasi kwiksurveys adalah se-banyak
131 kuesioner, dari jumlah tersebut hanya sebanyak 107 kuesioner yang dapat diproses dalam
penelitian ini, sedangkan sebanyak 24 kuesioner tidak dapat diguna-kan dengan rincian
sebanyak 17 kuesioner tidak terisi secara lengkap dan sebanyak 7 kuesioner dikeluarkan dari
analisis karena dianggap mengganggu reliabilitas ke-seluruhan data.

Keseluruhan responden yang me-menuhi persyaratan untuk dianalisis lebih lanjut berasal dari
35 induk unit kerja yang berbeda di berbagai kantor BPK RI yang tersebar di seluruh Indonesia.
Berdasarkan letak wilayah kedudukan kantornya, responden yang berasal dari Kantor Pusat BPK
RI menjadi penyumbang responden terbanyak yaitu sebesar 38,32%, disusul dengan BPK RI
Perwakilan Provinsi Aceh sebesar 19,63%, dan sisanya berasal dari berbagai kantor perwakilan
BPK RI lainnya. Sebagian besar responden berjenis kelamin laki-laki (71,96%), berusia antara 25
tahun sampai dengan 35 tahun (85,98%), memiliki masa kerja antara 5 tahun sampai dengan 10
tahun (66,36%), dan merupakan pegawai fungsional pemeriksa (59,81%). Berdasarkan jenjang
pendidikan terakhir yang telah di-tempuh, sebesar 31,78% responden ber- jenjang pendidikan
Diploma III, 54,20% berjenjang pendidikan sarjana (S1) atau Diploma IV, dan 14,02% responden
ber-jenjang pendidikan S2.

Validitas Instrumen Penelitian

Uji validitas dalam penelitian ini di-lakukan dengan menggunakan prosedur analisis faktor
CFA (Confirmatory Factor Analysis) dikarenakan peneliti mengguna-kan model pertanyaan
kuesioner yang telah digunakan dalam penelitian terdahulu. Hasil pengujian validitas terhadap
ke-seluruhan variabel independen menghasil-kan nilai Kaiser-Meyer-Olkin Measure of
SamplingAdequacy (KMO MSA) sebesar 0.744 (>0.5). Hasil pengujian Bartlett juga menunjukkan
nilai Chi square adalah sebesar 1893,339 dan signifikan pada p<0.01.

Hasil pengujian ulang validitas ter-hadap validitas instrumen penelitian varia-bel


independen setelah item pertanyaan KO-7 dikeluarkan diperoleh nilai KMO MSA sebesar 0,756
atau naik 0,012 dari sebelumnya yaitu 0.744, nilai tersebut sudah berada di atas 0.5 dan
signifikan. Selain itu hasil pengujian Bartlett juga menunjukkan nilai Chi square adalah sebesar
1867,153 dan signifikan pada p<0.0.
Seluruh item pertanyaan juga telah valid yang ditandai dengan seluruh nilai MSA yang lebih
besar dari 0.3 (lihat Tabel 3). Sehingga seluruh item pertanyaan selain item KO_7 dapat
digunakan untuk peng-ujian hipotesis.

Prosedur CFA yang telah dilakukan pada variabel independen selain menguji validitas
instrumen kuesioner, juga meng-hasilkan empat output komponen faktor yang merupakan
ekstraksi dari item- item pertanyaan kuesioner dan mewakili ke-empat variabel independen.
Keseluruhan nilai komponen faktor telah berada di atas nilai 0,3.

Pengujian validitas juga dilakukan ter-hadap instrumen penelitian variabel de-penden. Hasil
uji KMO atas pengukuran kecukupan sampling pada variabel de-penden diperoleh nilai KMO
MSA adalah 0.811 atau sudah berada di atas 0.5 dan signifikan. Selain itu hasil pengujian
Bartlett juga menunjukkan nilai Chi square adalah sebesar 444,361 dan signifikan pada p< 0.01
(lihat Tabel 6). Pada Tabel 7 terlihat bahwa seluruh item pertanyaan variabel dependen telah
valid, hal ini ditandai dengan seluruh nilai MSA yang lebih besar dari 0.3. Sehingga seluruh item
pertanyaan dapat digunakan untuk pengujian hipotesis.

Hasil Pengujian Hipotesis

Hasil analisis regresi linier berganda menggunakan komponen faktor yang se-belumnya
diperoleh dari hasil pengujian validitas melalui prosedur CFA.

Berdasarkan nilai unstandardized regres-sion coefficient (B), dapat dirumuskan per-samaan


matematis model regresi sebagai berikut: MWB = 6.302E-17 + 0,493 SWB + 0,311 KO - 0.141 PC
+ 0,280 TKK.

Terhadap model regresi di atas telah dilakukan uji asumsi klasik dan telah lolos uji
normalitas, non-multikolinieritas, dan non-heterokedastisitas sehingga telah di-anggap memiliki
ketepatan dalam estimasi, tidak bias, konsisten, dan dapat digunakan lebih lanjut dalam
pengujian hipotesis.

Nilai R diketahui adalah sebesar 0.662, hal ini menunjukkan bahwa terdapat
hubungan/pengaruh yang cukup kuat di antara variabel independen yang diuji dengan variabel
dependen (minat PNS melakukan tindakan whistle-blowing). Semen-tara nilai R2 yang
disesuaikan sebesar 0,416 menunjukkan bahwa variabel independen secara bersama-sama
menjelaskan variasi variabel dependen sebesar 0,416 atau 41,6%, sedangkan sisanya sebesar
58,4% dijelaskan oleh variable lain yang tidak diteliti dalam model penelitian ini.

Nilai F hitung sebesar 19,870 signifikan pada p<0,01, sehingga dapat disimpulkan bahwa
keseluruhan persamaan model re-gresi secara statistik signifikan dalam men-jelaskan minat
whistle-blowingatau dapat diartikan bahwa variabel independen sikap terhadap whistle-
blowing (SWB), komitmen organisasi (KO), personal cost (PC), dan ting-kat keseriusan
kecurangan secara bersama-sama/simultan berpengaruh terhadap varia-bel dependen minat
melakukan tindakan whistle-blowing(MWB).

Hasi uji t menunjukkan bahwa hanya variabel personal cost yang memiliki p-value>0,05 (p-
value personal cost adalah 0,60). Nilai p- value pada variabel personal cost tersebut sebenarnya
masih di bawah 0,1 (p<0,1) atau secara statistik signifikan jika tingkat keyakinan (confidence
level) diturun-kan menjadi 90%. Namun, mengingat pe-nelitian ini konsisten menggunakan
confi-dence level 95%, sehingga secara statistik pada penelitian ini hanya variabel personal cost
yang tidak berpengaruh terhadap minat PNS untuk melakukan tindakan whistle-blowing,
sedangkan tiga variabel inde-penden lainnya berpengaruh.

Pembahasan

Hasil pengujian hipotesis secara statis-tik menunjukkan bahwa sikap terhadap whistle-
blowing berpengaruh positif ter-hadap minat PNS melakukan tindakan whistle-blowing atau
dengan kata lain hipo-tesis pertama (H1) diterima. Jika dilihat dari nilai koefisien regresinya,
sikap terhadap whistle-blowing merupakan faktor yang pa-ling tinggi pengaruhnya
dibandingkan ketiga variabel independen lainnya.

Hipotesis kedua (H2) menyatakan bahwa komitmen organisasi berpengaruh positif


terhadap minat PNS melakukan tindakan whistle-blowing. Berdasarkan hasil pengujian secara
statistik menunjukkan bahwa H2 diterima. Hasil ini sejalan dengan konsep prosocial
organizational behavior dan konsep komitmen organisasi yaitu bahwa tindakan whistle-
blowing merupakan peri-laku sosial positif yang dapat memberikan manfaat bagi organisasi
dalam bentuk me-lindungi organisasi dari bahaya kecurangan (fraud). Temuan ini konsisten
dengan hasil penelitian Somers dan Casal (1994).

Temuan yang mengejutkan diperoleh dalam pengujian hipotesis ketiga (H3) yang berkaitan
dengan pengaruh personal cost. Hasil pengujian menunjukkan bahwa per-sonal cost tidak
berpengaruh terhadap minat PNS melakukan tindakan whistle-blowing atau dengan kata lain
PNS BPK RI tidak mempertimbangkan personal cost sebagai faktor yang akan mempengaruhi
minatnya untuk melakukan atau tidak melakukan tindakan whistle-blowing. Hasil penelitian ini
bertentangan dengan temuan penelitian Mesmer-Magnus dan Viswesvaran (2005) serta Kaplan
dan Whitecotton (2001) yang menyatakan bahwa personal cost memiliki hubungan negatif dan
merupakan prediktor signifikan terhadap minat whistle-blowing.

Terdapat tiga justifikasi yang mungkin dapat menjelaskan tidak berpengaruhnya personal
cost dalam hasil penelitian ini.

Pertama, Responden dalam penelitian ini (pegawai BPK-RI) memiliki karakteristik yang unik.
Karena latar belakang pendidik-an/pelatihan, pengalaman dan pekerjaan yang berkaitan
dengan audit, responden penelitian ini umumnya telah familiar dengan fraud dan alur/cara
penanganan-nya. Oleh karena itu tidak sulit bagi respon-den untuk memilih jalur pelaporan
yang menghindari personal cost saat akan melaku-kan whistle-blowing, misalnya melalui se-
macam upaya whistle-blowing anonim atau melalui internal whistle-blowing system. Me-lalui
mekanisme tersebut, identitas pelapor bisa saja dirahasiakan dan pelapor ter-lindungi dari
risiko personal cost. Kedua, dalam desain penelitian ini minat whistle-blowing tidak spesifik
didefinisikan pada saluran dan bentuk whistle-blowing tertentu, seperti minat whistle-blowing
internal atau whistle-blowing eksternal maupun minat whistle-blowing anonim atau
teridentifikasi. Hal ini mungkin menyebabkan responden yang diukur minat whistle-blowing-nya
dapat saja berasumsi bahwa ia memiliki minat yang tinggi untuk melakukan whistle-blowing
namun hanya pada saluran dan bentuk whistle -blowing yang personal cost-nya paling minim
atau dapat dihindari. Ketiga, penelitian Mesmer-Magnus dan Viswes-varan (2005) serta Kaplan
dan Whitecotton (2001) merupakan penelitian yang dilaku-kan di Amerika dengan subjek
penelitian non-PNS, sedangkan penelitian ini dilaku-kan di Indonesia dengan subjek penelitian
PNS di BPK RI. Perbedaan kondisi dan karakteristik responden mungkin menjadi salah satu
faktor penyebab temuan peneliti-an Mesmer-Magnus dan Viswesvaran (2005) serta Kaplan dan
Whitecotton (2001) tidak dapat digeneralisasikan pada penelitian ini. Pendapat ini diperkuat
oleh penelitian Winardi (2013) yang dilakukan di Indonesia dengan subjek PNS tingkat bawah
dan menghasilkan kesimpulan yang sama de-ngan penelitian ini yaitu personal cost tidak
berpengaruh terhadap minat whistle-blow-ing. Hasil yang sejalan dengan temuan Winardi
(2013) tersebut mungkin disebab kan karena memang PNS di Indonesia memiliki karakteristik
unik yang tidak mempertimbangan faktor personal cost da-lam membuat keputusan whistle-
blowing.

Hipotesis keempat (H4) dalam peneliti-an ini yaitu tingkat keseriusan kecurangan
berpengaruh positif terhadap minat PNS melakukan tindakan whistle-blowing. Hasil pengujian
menunjukkan bahwa H4 diterima dan hasil ini konsisten dengan penelitian terdahulu (Menk,
2011; Sabang, 2013; Winardi, 2013) yang juga menggunakan konsep materialitas sebagai
pembeda ting-kat keseriusan kecurangan. Temuan ini mengkonfirmasi teori prosocial
organizational behavior. Semakin tinggi tingkat materialitas kecurangan akan semakin
meningkatkan besarnya konsekuensi (magnitude of conse-quences) yang merugikan atau
membahaya-kan (Jones, 1991), dan hal itu berarti se-makin tidak etis tindak kecurangan ter-
sebut. Pelanggaran etika merupakan salah satu faktor pendorong seseorang yang berperilaku
prosocial untuk melakukan pe-laporan atau bertindak menjadi whistle blower (Sabang, 2013).

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan hasil serangkaian penguji-an dan analisis linier berganda dapat di-simpulkan
bahwa model penelitian yang telah dibuat dapat digunakan untuk mem-prediksi minat PNS BPK
RI untuk melaku-kan tindakan whistle-blowing. Tiga variabel independen yaitu sikap terhadap
whistle-blowing, komitmen organisasi, tingkat ke-seriusan kecurangan menjadi faktor yang
mempengaruhi minat whistle-blowing PNS BPK RI. Sementara faktor personal cost tidak
berpengaruh terhadap minat whistle-blowing PNS BPK RI.
Hasil penelitian ini mengonfirmasi teori-teori yang telah ada seperti prosocial
organizational behavior, theory of planned beha-vior, dan konsep komitmen organisasi. Pe-
nelitian ini juga diharapkan dapat mem-bantu pemerintah dan lembaga negara, khususnya BPK
RI, dalam merancang stra-tegi untuk meningkatkan minat whistle blowing pegawainya serta
mendesain atau menyempurnakan whistle -blowing system pada institusinya dengan
memperhatikan faktor- faktor yang mempengaruhi minat whistle blowing. Upaya peningkatan
minat whistle-blowing dapat dilakukan misalnya melalui pelatihan etika (ethics training) mau-
pun sosialisasi yang komprehensif tentang kecurangan, manfaat whistle-blowing, dan tata cara
melakukan whistle-blowing yang tepat. Melalui upaya tersebut diharapkan akan meningkatkan
kesadaran akan dam-pak kecurangan yang serius dan meningkat-kan respon positif sikap PNS
terhadap whistle-blowing. Minat whistle-blowing juga dapat ditingkatkan dengan meningkatkan
komitmen organisasi pegawai misalnya dengan pemberian kompensasi, reward dan
punishment yang memadai; menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan ter-buka sehingga
pegawai dapat merasa ter-libat dalam pelaksanaan tugas dan pencapai-an tujuan organisasi,
dan lain sebagainya.

Penelitian ini memiliki beberapa ke-terbatasan. Pertama, penelitian ini tidak spesifik
mendefinisikan minat whistle-blowing pada saluran dan bentuk whistle-blowing tertentu,
sehingga generalisasi mo-del regresi penelitian ini terbatas pada defi-nisi whistle-blowing
secara umum. Kedua, pelaksanaan pengumpulan data kuesioner yang berbasis internet
berpotensi menyebab-kan terjadinya selection bias karena respon-den hanya berasal dari
golongan yang memiliki akses internet saja. Ketiga, respon-den dalam penelitian ini hanyalah
PNS yang bekerja di BPK RI sehingga hasil pe-nelitian belum tentu sesuai untuk di-
generalisasi/digunakan pada PNS di luar BPK RI. Keterbatasan yang terakhir adalah berkaitan
dengan tema penelitian yang sen-sitif (berkaitan dengan whistle-blowing) dan pengukuran
variabel. Pelaksanaan peng-ukuran yang tidak menghadapkan respon-den dengan kondisi nyata
dikhawatirkan menyebabkan resonden menjawab pertanya-an survei secara normatif, sehingga
hasil penelitian bisa saja menjadi bias dengan kondisi yang sebenarnya di lapangan.
APAKAH TATA KELOLA PERUSAHAAN DAN KETENTUAN WHISTLEBLOWING
MENINGKATKAN RESPONSIBILITAS KEUANGAN?
Tara J. Shawver dan Todd A. Shawver
 
PENGANTAR
Marshall dan Heffes (2003) mengemukakan bahwa good corporate governance adalah tidak
mungkin di perusahaan di mana manajemen tidak menginginkannya, dan petugas, orang
dalam, auditor, dan regulator tidak mau campur tangan. Stephen Cooper, chief executive
officer (CEO) sementara dan chief restructuring officer Enron Corp., menunjukkan bahwa
Sarbanes –Oxley adalah cetak biru yang membantu untuk reformasi, tanggung jawab dan
akuntabilitas yang lebih tinggi; Namun, ''tata kelola perusahaan benar-benar keadaan
pikiran y apakah itu pra-Sarbanes, selama Sarbanes, atau pasca-Sarbanes, fakta dari hal ini,
tanpa negara berpikir yang benar, apa yang kita sedang menciptakan hanya lebih rintangan bagi
orang-orang yang berkomitmen untuk bermain game sistem untuk melompati. Kami tidak
memperbaiki sistem ' ' ( Burns, 2004 ). Perlindungan Whistleblowing menjadi lebih penting
ketika orang mencoba untuk mengesampingkan kontrol internal atau membuat laporan
keuangan yang curang. Banyak peneliti telah mencoba untuk melihat kembali kemungkinan
inhibitor tata kelola perusahaan yang baik sebagai hasil dari banyak skandal akuntansi. Kami
mengeksplorasi satu mekanisme tata kelola perusahaan, whistleblowing, untuk menentukan
apakah praktisi akuntan bersedia melakukan whistleblow untuk dua situasi yang dapat
dipertanyakan dalam manajemen laba.
TINJAUAN PUSTAKA
Pengambilan Keputusan Etis
Break (1986) mengusulkan model empat tahap dari pengambilan keputusan etis proses. Tahap
pertama adalah pengakuan masalah moral, diikuti oleh moral evaluasi / penilaian, niat moral,
dan perilaku moral. Ketajaman dilema moral dapat meningkatkan pengakuan terhadap masalah
moral ( Jones, 1991 ). Setelah pengakuan, individu harus membuat evaluasi moral
atau pertimbangan. Evaluasi moral mengarah pada niat moral ( Istirahat, 1986 ) dan niat moral
mengarah ke perilaku moral ( Trevino, 1986 ). Model pengambilan keputusan etis rumit seperti
yang ditunjukkan oleh berbagai variasi model serupa. Literatur yang berkaitan dengan
pengambilan keputusan etis sangat besar; ada tiga ulasan ekstensif tentang literatur
pembuatan keputusan etis (lihat Ford & Richardson, 1994 ; Loe, Farrell, & Mansfield,
2000 ; O 'Fallon & Butterfield, 2005 untuk perinciannya). Penelitian ini menggunakan Etika
Multidimensional Skala (MES) untuk mengevaluasi situasi etis dan meluas literatur sebelumnya
dengan mengeksplorasi apakah ada hubungan antara MES dan maksud-maksud yang beralasan
untuk melatih akuntan.
Sastra Whistleblowing
Whistleblowing adalah tindakan oleh karyawan, mantan karyawan, atau anggota organisasi
untuk melaporkan pelanggaran ilegal oleh organisasi yang akan memiliki efek buruk pada
kepentingan publik. Kepentingan publik yang dilanggar mungkin dalam bentuk penipuan,
kesehatan, pelanggaran keamanan, dan korupsi (Lloyd-La Follette Act of 1912; United States
Congress, 1912). 
Meski tidak ada teori yang terkait dengan whistleblowing khusus, Miceli dan Near (1985) telah
menyarankan teori harapan ( Vroom, 1964 ) sebagai alasannya seseorang dapat memilih untuk
whistleblow. Teori ekspektasi memandang motivasi mengingat konsekuensi dari keputusan
seseorang terhadap whistleblow termasuk keinginan untuk memiliki manajemen mengoreksi
kesalahan setelah tindakan telah dilaporkan atau tindakan terhadap whistleblower setelah
whistleblowing (yaitu, pembalasan). Near and Miceli (1995) mengusulkan model yang
menghubungkan motif yang dirasakan dengan penghentian kesalahan. Faktor-faktor yang
mempengaruhi penghentian melakukan kesalahan meliputi karakteristik dari whistleblower,
recipient-ent, kesalahan, kesalahan, dan organisasi ( Miceli & Near, 1995 ).
Teori kekuatan menunjukkan sejauh mana seorang whistleblower akan dapat mengubah
perilaku di organisasinya tergantung pada kekuatan yang mereka miliki ( Dekat & Miceli,
1987 ); dalam banyak kasus individu lebih bergantung pada organisasi daripada organisasi
tergantung pada individu ( Pfeffer & Salancik, 1978 ); yang mungkin menjelaskan mengapa
begitu sedikit orang melaporkan kesalahan ( Miceli & Near, 1992 ). Sebuah diskusi mendetail
tentang berbagai teori kekuatan termasuk sumber daya ketergantungan, nilai kongruensi,
pengaruh minoritas dalam kelompok, dan basis kekuatan individu dapat ditemukan di Near dan
Miceli (1995) . Lebih lanjut, rasa takut akan pembalasan dapat menghambat niat mengungkap
rahasia ( Keenan, 2002 ).
Bab ini mencoba untuk menentukan alasan-alasan yang dapat digunakan akuntan untuk
membenarkan whistleblowing untuk dua situasi manajemen laba. Akuntansi manajemen laba
termasuk interpretasi standar akuntansi dan aplikasi mereka untuk transaksi dan peristiwa yang
sudah terjadi. Pada dasarnya, manajer menggeser sejumlah penghasilan dari satu periode ke
periode yang lain ' ' ( Ewert & Wagenhofer, 2005, hal. 1104 ). 
Whistleblowing Studies in Accounting
Hanya ada beberapa studi dalam konteks akuntansi yang terkait dengan niat mengungkap
rahasia. Spencer (1987) melihat whistleblowing untuk auditor internal sebagai kemungkinan
yang selalu hadir menggambarkan contoh umum manajer audit menyaring temuan dari laporan
audit dengan sedikit atau tanpa penjelasan. Dalam situasi material yang kurang, auditor dapat
memberikan persetujuan dendam. Namun, jika signifikan tetapi tidak mengancam kehidupan,
ilegal, atau tidak bermoral, banyak auditor akan memilih untuk meninggalkan perusahaan
tetapi tidak melakukan whistleblow. Beberapa auditor akan memilih untuk melapor kepada
pihak berwenang di luar rantai komando untuk situasi serius, seperti pelanggaran prinsip-
prinsip moral yang mengancam jiwa, kejam, atau menjijikkan.
Near dan Miceli (1988) menemukan bahwa 80% dari direktur audit internal mengamati
kesalahan pada tahun sebelumnya dan 90% dari direktur ini telah melaporkan kesalahan
tersebut. Dari mereka yang memilih untuk bersiul, hanya 6% yang menderita pembalasan
karena whistleblowing. Sangat sedikit dari direktur ini yang merasa bahwa whistleblowing harus
dilakukan secara eksternal. Bahkan dengan 25% memilih untuk whistleblow eksternal, itu
umumnya hanya untuk tim audit eksternal. Temuan ini sesuai dengan pandangan yang sama
bahwa whistleblowing harus menjadi peristiwa luar biasa, meskipun auditor internal mengalami
kesalahan sebagai bagian rutin dari pekerjaan mereka. Selanjutnya, direktur audit internal lebih
cenderung melaporkan kesalahan jika mereka menganggap diri mereka berkinerja tinggi,
bekerja di organisasi dengan birokrasi rendah, dan merasa ditentukan oleh peran atau
moralitas mereka untuk melaporkan kesalahan ( Miceli et al., 1989 ).
 
Arnold dan Ponemon (1991) menemukan auditor internal sangat kecil kemungkinannya untuk
whistleblow daripada auditor eksternal. Label dan Miethe (1999) menemukan bahwa sebagian
besar auditor lebih memilih pengungkapan internal dari kesalahan daripada whistleblowing
eksternal (75 dan 25%, masing-masing) dan sebagian besar auditor sangat menentang undang-
undang yang mengharuskan whistleblowing
Skala Etika Multidimensional
MES, awalnya dikembangkan oleh Reidenbach dan Robin (1988) , digunakan untuk
mengidentifikasi nilai-nilai dan keyakinan responden yang terkait dengan teori etika keadilan,
deontologi, utilitarianisme, relativisme, dan egoisme. 
Shawver, dan Bancroft (2004) ; Cohen dkk. (1993, 1996, 1998) ; Cruz, Shafer, dan Strawser
(2000) ; dan Reidenbach dan Robin (1990) menemukan bahwa banyak dari pandangan-
pandangan filosofis ini memengaruhi keputusan-keputusan yang dijelaskan dalam berbagai
studi menggunakan sketsa situasionalnya masing-masing. Oleh karena itu, kami menerima
pandangan filosofis ini dan berhipotesis sebagai berikut:
H 1 : Akuntan profesional mengidentifikasi pandangan filosofis tentang keadilan, deontologi,
utilitarianisme, relativisme, egoisme, dan kasih sayang sebagai alasan bahwa tindakan
manajemen laba tidak etis.
Shawver dan Clements (2007) menguji maksud dari whistleblowing siswa akuntansi
menggunakan empat dari sketsa akuntansi dan bisnis yang dikembangkan oleh Cohen et
al. (1993, 1998) . Dua dari sketsa manajemen laba digunakan dalam penelitian ini. Shawver dan
Clements menemukan bahwa siswa akuntansi mengidentifikasi keadilan dalam sketsa Early
Shipment and Bad Debt sebagai alasan untuk whistleblow; Selain itu, utilitarianisme sedikit
signifikan sebagai alasan untuk whistleblow in vignette Early Shipment. Karena penelitian
sebelumnya tidak memeriksa niat whistleblowing dari berlatih akuntan menggunakan MES, kita
mengeksplorasi apakah konstruk filosofis ini signifikan dalam keputusan untuk
whistleblow;Oleh karena itu, kami berhipotesis sebagai berikut:
H 2 : Akuntan profesional akan mengidentifikasi pandangan filosofis tentang
keadilan, deontologi, utilitarianisme, relativisme, egoisme, dan kasih sayang sebagai alasan
untuk whistleblowing.
METODOLOGI
Pada bulan Desember 2004, selama sesi CPE dari 93 praktisi yang berlatih, kami meminta
peserta menyelesaikan survei anonim. Lima puluh tujuh peserta setuju untuk menyelesaikan
survei. Empat puluh dua tanggapan yang dapat digunakan diperoleh setelah survei yang tidak
lengkap dihilangkan dari penelitian. Usia rata-rata dari para akuntan yang berlatih ini adalah 49
tahun dengan 22 tahun pengalaman dan termasuk 36 pria dan 6 wanita. Tiga puluh tujuh dari
42 responden (88%) adalah CPA. Mayoritas responden bekerja untuk perusahaan swasta dan
telah mengidentifikasi posisinya sebagai akuntan atau anggota manajemen. 

    Tabel 1. Demografi.    
           

  N Persentase   N Persentase
           

Jenis kelamin     Jenis pekerjaan    


Pria 36 86 Pengelolaan 14 33
Wanita 6 14 Akuntan 20 48
Kosong 0 0 Auditor 7 17
Total 42 100 Konsultan 1 2
      Total 42 100

Umur (tahun)     Sertifikasi    


19 –29 2 5 BPA 37 88
Tidak ada yang
30 –39 7 17 ditunjukkan 5 12
40 –49 13 31 Total 42 100
50 –59 11 26      
Di atas 60 9 21      
Kosong 0 0      
Total 42 100      
Pengalaman     Ukuran perusahaan (aset)    
(tahun)          
0 –9 6 14 Hingga $ 250.000 4 10
10 –19 14 33 $ 250.000 –1 juta 1 2
20 –29 14 33 $ 1 - $ 2 juta 1 2
Di atas 30 8 19 Lebih dari $ 2 juta 12 29
Kosong 0 0 Berikan pekerjaan untuk 19 45
      lebih dari satu    
Total 42 100 Kosong 5 12
      Total 42 100

Pandangan politik     Tipe perusahaan    


Sangat liberal 0 0 Publik 2 5
Agak 15 36 Pribadi 33 79
liberal          
Bukan keduanya 11 26 Berikan pekerjaan untuk 6 14
      kedua    
Agak 15 36 Kosong 1 2
konservatif          
Sangat 0 0 Total 42 100
konservatif          
Kosong 1 2      
Total 42 100      
           

 
Setiap responden mengevaluasi setiap tindakan menggunakan pertanyaan MES;lebih lanjut
setiap responden menunjukkan keyakinan mereka apakah tindakan itu etis dan apakah mereka
akan menyelesaikan berbagai tindakan pada skala Likert 7 poin yang dilaporkan pada Tabel
2 . Akhirnya, pertanyaan terbuka memungkinkan peserta untuk memberikan umpan balik
tambahan tentang mengapa mereka akan atau tidak akan whistleblow untuk masing-masing
sketsa.
Eksplorasi awal dari keandalan masing-masing faktor menunjukkan penghapusan pertanyaan
yang berkaitan dengan tindakan mempromosikan diri akan secara signifikan meningkatkan
keandalan faktor pertama untuk kedua sketsa. Selanjutnya, faktor keempat dalam masing-
masing sketsa dihapus dari analisis awal karena hanya mengandung 1 pertanyaan.
Tabel 2.               Berarti dan Standar Deviasi.

Skema Pengiriman awal Utang Buruk


         

Apakah itu etis 5.71 (1,43) 5.79 (1,32)


Maukah kau melakukannya 5.88 (1.40) 5,74 (1,33)
Peer melakukannya 4.57 (1,56) 4.57 (1.61)
Peluit ditiup 4.14 (1.76) 3,85 (1,77)
         

 
Catatan : (1 As etis, 7 tidak etis); (1 menyelesaikan tindakan, 7 tidak akan menyelesaikan tindakan); (1 whistleblow, 7 tidak akan whistleblow).
 
Review dari Kaiser-Meyer-Olkin (KMO) ukuran kecukupan sampling berkisar dari 0 hingga
1; Skor KMO dalam penelitian ini adalah 0,686 untuk Pengiriman Awal dan 0,771 untuk Utang
Buruk yang menunjukkan bahwa ukuran sampel kami, meskipun kecil, cukup untuk
melanjutkan dengan analisis faktor. Kami melanjutkan dengan faktor-faktor yang dimodifikasi
dan melaporkan struktur faktor untuk sketsa Awal Pengiriman pada Tabel 3 dan struktur faktor
untuk sketsa Buruk Utang di Tabel 4 .
 
Tabel 3.               Komponen Matriks Komponen Pemindahan Awal.  Kepala Sekolah Analisis Komponen dengan
Rotasi Varimax.
 
Faktor-
Pertanyaan   faktor  
       

  1 2 3
       

Hanya / tidak adil 0,913 * 0,084 0,184


Adil tidak adil 0,926 * 0,063 0,169
Secara moral benar / tidak secara moral benar 0,845 * 0,036 0,161
Diterima untuk keluarga / tidak dapat diterima oleh keluarga 0,153 0,745 * 0,255
Bisa diterima secara budaya / tidak dapat diterima secara
budaya 0,311 0,000 0,822 *
Biasanya diterima / tidak diterima secara tradisional 0,114 0,795 * 0,102
Memuaskan bagi aktor / tidak memuaskan bagi aktor 0,050 0,196 0,787 *
Menghasilkan utilitas terbesar / menghasilkan utilitas terkecil 0,593 * 0,168 0,083
Melanggar kontrak tidak tertulis / tidak melanggar kontrak 0,659 * 0,489 0,067
Melanggar janji yang tidak terucapkan / tidak melanggar 0,340 0,776 * 0,116
janji yang tak terucapkan    
Memperlihatkan kasih sayang dari perhatian / tidak
menunjukkan belas kasihan 0,781 * 0,023 0,284
kepedulian      
Alpha faktor 0,882 0,643 0,597
KMO 0,686    
Total varian dijelaskan 0,702    
       

Tabel 4. Matriks Komponen Rotasi Penyesuaian Hutang Buruk. Analisis Komponen Utama dengan Varimax Rotation
Factors.
 
Faktor-
 Pertanyaan     faktor  
         

  1 2 3
         

Hanya / tidak adil 0,886 * 0,228 0,182


Adil tidak adil 0,887 * 0,053 0,262
Secara moral benar / tidak secara moral benar 0,875 * 0,098 0,082
Diterima untuk keluarga / tidak dapat diterima oleh keluarga 0,170 0,651 * 0,323
Bisa diterima secara budaya / tidak dapat diterima secara budaya 0,180 0,225 0,807 *
Biasanya diterima / tidak diterima secara tradisional 0,013 0,753 * 0,336
Menghasilkan utilitas terbesar 0,363 0,040 0,740 *
Meminimalkan manfaat / memaksimalkan manfaat 0,079 0,846 * 0,031
Melanggar kontrak tidak tertulis / tidak melanggar kontrak 0,650 * 0,100 0,188
Melanggar janji yang tidak terucapkan / tidak melanggar 0,418 0,675 * 0,237
janji yang tak terucapkan        
Memperlihatkan kasih sayang dari kepedulian / tidak
menunjukkan belas kasihan 0,602 * 0,362 0,423
Alpha faktor 0,867 0,759 0,660
KMO 0,771    
Total varian dijelaskan 0,701    
         

 
 
Tabel 5. Pengiriman Awal Pearson Correlations. Evaluasi Etis, Whistleblowing, dan Faktor MES.
 
    V1 Etis V1F1 V1F2 V1F3
           

Korelasi Pearson V1 Etis 1.000      


  V1F1 0,728 1.000    
  V1F2 0,225 0,346 1.000  
  V1F3 0,324 0,239 0,220 1.000
Signifikansi (satu sisi) V1 Etis        
  V1F1 0,000 .    
  V1F2 0,076 0,012 .  
  V1F3 0,018 0,064 0,081 .
           

    Whistleblow V1 V1F1 V1F2 V1F3


           

Korelasi Pearson Whistleblow V1 1.000      


  V1F1 0,392 1.000    
  V1F2 0,219 0,346 1.000  
  V1F3 0,120 0,239 0,220 1.000
Signifikansi (satu sisi) Whistleblow V1        
  V1F1 0,005 .    
  V1F2 0,081 0,012 .  
  V1F3 0,225 0,064 0,081 .
           

Tabel 6. Penyesuaian Utang Korelasi Pearson Evaluasi Etis, Whistleblowing, dan Faktor MES.

 
    V2 Etis V2F1 V2F2 V2F3
           

Korelasi Pearson V2 Etis 1.000      


  V2F1 0,821 1.000    
  V2F2 0,459 0,435 1.000  
  V2F3 0,493 0,539 0,363 1.000
Signifikansi (satu sisi) V2 Etis .      
  V2F1 0,000 .    
  V2F2 0,001 0,002 .  
  V2F3 0,000 0,000 0,009 .
           

    Whistleblow V2 V2F1 V2F2 V2F3


           

Korelasi Pearson Whistleblow V2 1.000      


  V2F1 0,450 1.000    
  V2F2 0,422 0,436 1.000  
  V2F3 0,276 0,547 0,332 1.000
Signifikansi (satu sisi) Whistleblow V2        
  V2F1 0,002 .    
  V2F2 0,003 0,002 .  
  V2F3 0,040 0,000 0,017 .
           

 
Tabel-tabel ini menunjukkan bahwa beberapa faktor dan evaluasi etis berkorelasi. Hasil ini tidak
mengherankan karena para peneliti sebelumnya telah mengidentifikasi bahwa penilaian etis ' '
terdiri dari sejumlah dimensi teoritis yang tumpang tindih yang melekat dalam berbagai
falsafah y Pada dasarnya, gagasan kita tentang keadilan, keadilan, moralitas, dan apa yang
diterima oleh keluarga kita, sebagian besar, berdasarkan tradisi dan budaya. Pengertian tentang
keadilan moral didorong oleh proses pengalaman dan sosial yang dibatasi oleh tradisi dan
budaya kita. Tradisi dan budaya membentuk keyakinan, nilai, dan sikap kita dalam semua aspek
kehidupan dan tentu saja mempengaruhi gagasan kita tentang apa yang benar dan salah ' '
( Reidenbach & Robin, 1990, p. 646 ). Variance Inflation Factors (VIFs) dilaporkan untuk
setiap model regresi untuk mengidentifikasi kemungkinan masalah multikolinearitas. Semua VIF
di bawah 1.564; yang jauh di bawah patokan 10 yang disarankan oleh Myers (1990) .
HASIL DAN DISKUSI
Pada Tabel 2 , kami meringkas sarana dan standar deviasi untuk evaluasi setiap situasi etika,
niat etis, dan kemungkinan bahwa berlatih akuntan akan mengungkap rahasia. Artinya
menunjukkan bahwa akuntan ini percaya bahwa kedua tindakan tersebut tidak etis dengan
mean untuk vignette Early Shipment of 5.71 (standar deviasi 1,43) dan rata-rata 5,79 (standar
deviasi 1,32) untuk sketsa Bad Debt pada skala 1-7 (1 sebagai etis dan 7 tidak etis).  Sarana
untuk ' ' probabilitas bahwa saya akan melakukan tindakan yang sama ' 'dengan rata-rata untuk
vignette Early Shipment of 5.88 (standar deviasi 1.4) dan rata-rata 5.74 (standar deviasi 1,33)
untuk sketsa Bad Debt (1 menyelesaikan tindakan, 7 tidak akan menyelesaikan tindakan)
menunjukkan niat untuk tidak menyelesaikan tindakan tidak etis ini tindakan. Namun,
tanggapan terhadap kedua sketsa dengan kemungkinan bahwa rekan-rekan mereka akan
menyelesaikan tindakan lebih dekat ke kisaran pertengahan dengan rata-rata untuk kedua
sketsa 4,57 yang menunjukkan niat untuk tidak menyelesaikan tindakan yang tidak etis ini.
Sarana untuk ' ' probabilitas bahwa saya akan whistleblow ' 'dengan mean untuk vignette Early
Shipment of 4,14 (standar deviasi 1,76) dan rerata 3,85 (standar deviasi 1,77) untuk sketsa Bad
Debt (1 whistleblow, 7 tidak akan whistleblow) menunjukkan bahwa meskipun akuntan yang
berlatih ini menyadari kedua tindakan tersebut tidak etis dan mereka tidak akan menyelesaikan
tindakan-tindakan ini, mereka cenderung tidak akan melakukan whistleblow. Tabel
7 menyajikan beberapa set sampel t -tests berpasangan yang menegaskan bahwa para peserta
dalam penelitian ini melihat evaluasi etika masing-masing sketsa sebagai secara statistik
berbeda dari evaluasi mereka tentang apakah atau tidak mereka akan menyelesaikan setiap
tindakan dan selanjutnya apakah atau tidak mereka akan whistleblow untuk setiap tindakan.
Sampel yang dipasangkan ini t- tes mengkonfirmasi bahwa tanggapan untuk setiap sketsa
secara statistik berbeda ketika membandingkan sarana untuk pertanyaan apakah itu etis,
apakah Anda akan melakukannya dan apakah Anda akan mengungkapnya. Selanjutnya, kami
mempertimbangkan mengapa kelompok akuntan ini mengidentifikasi setiap tindakan sebagai
tidak etis. 
Tabel 7.               Uji Sampel Berpasangan.
 
Perbedaan
Skema Berpasangan Mean (SD)  
Std. Kesalahan t- Nilai Makna
      Berarti   (Dua-ekor)
           

Pengiriman awal Etis - whistleblow 1,571 (2,55) 0,393 3,996 0,000


Pengiriman awal Lakukan - whistleblow 1,738 (2,69) 0,415 4.191 0,000
Utang Buruk Etis - whistleblow 1.927 (2.61) 0,406 4,742 0,000
Utang Buruk Lakukan - whistleblow 1,878 (2,66) 0,415 4.526 0,000
           
Tabel 8.               Hasil Regresi Berganda Voucer Awal Pengiriman.
 
Variabel tak bebas Apakah itu Etis   Peluit ditiup VIF
               

  t -Nilai Makna   t -Nilai Makna  


               

Faktor Pengiriman 1 6.044 0,000 ** 2.214 0,033 **   1.173


Faktor Pengiriman 2 0,482 0,632 0,580 0,565   1.162
Faktor Pengiriman 3 1,484 0,146 0,093 0,926   1,085
Model signifikansi   0,000 **     0,079 *    
Disesuaikan R 2
 
 
   
0,556    
     
0,095    
   

 
H
 1, Tabel 8 (tiga kolom pertama) menyajikan analisis regresi antara evaluasi apakah tindakan
itu etis dan faktor-faktor MES untuk sketsa Pengiriman Awal dan Tabel 9 menyajikan analisis
regresi untuk sketsa Utang Jahat yang mengidentifikasi mengapa para akuntan yang berlatih
merasakan tindakan manajemen laba tidak etis. Untuk sketsa Kiriman Awal dan Hutang Buruk,
akuntan yang mempraktekkan ini telah mengidentifikasi setiap tindakan sebagai tidak etis
karena alasan keadilan, deontologi, dan belas kasih seperti yang ditunjukkan pada Faktor 1
untuk kedua sketsa. Selain itu, akuntan ini juga merasa bahwa utilitarianisme signifikan
menunjukkan bahwa ada evaluasi biaya dan manfaat ketika mengevaluasi sketsa Pengiriman
Awal. The R 2 untuk masing-masing vignette Early Shipment 0.556 dan Bad Debt 0.664
menunjukkan kekuatan penjelas yang signifikan untuk model mengapa akuntan ini telah
mengevaluasi tindakan manajemen laba ini sebagai tidak etis. H 1 didukung.

Tabel 9.               Hasil Regresi Berganda Mengurangi Vignette Utang Buruk.


 
Variabel tak bebas Apakah itu Etis   Peluit ditiup VIF
               

  t -Nilai Makna   t -Nilai Makna  


               

Faktor Utang Buruk 1 6.582 0,000 ** 1,818 0,077 *   1,591


Faktor Utang Buruk 2 1,155 0,255 1,703 0,097   1,254
Faktor Utang Buruk 3 0,461 0,648 0,030 0,976   1,449
Model signifikansi   0,000 **     0,009 **    
Disesuaikan R 2
 
 
   
0,664    
     
0,207    
   

 
 
Untuk H 2 , regresi antara niat untuk whistleblow dan konstruksi MES mengidentifikasi bahwa
berlatih akuntan mengidentifikasi Faktor 1 (keadilan, deontologi, kasih sayang, dan
utilitarianisme) sebagai signifikansi yang cukup sebagai alasan untuk pengungkapan rahasia
dalam vignette Early Shipment (tiga kolom terakhir pada Tabel 8 ). Faktor 1 (keadilan,
deontologi, dan kasih sayang) dalam sketsa Bad Debt cukup signifikan (tiga kolom terakhir
dalam Tabel 9 ). The R 2 untuk masing-masing vignette Early Shipment 0.095 dan Bad Debt
0.207 menunjukkan beberapa kekuatan penjelas untuk masing-masing model. H 2 didukung.
Penelitian sebelumnya belum memeriksa alasan yang mendasari whistleblowing menggunakan
skala MES dengan berlatih akuntan; oleh karena itu, penelitian ini memberikan kontribusi
kepada badan literatur pengungkap fakta. Namun, mengingat temuan-temuan marjinal ini
eksplorasi tambahan untuk alasan yang mendasari yang dapat menyebabkan akuntan berlatih
untuk whistleblow diperlukan; pembahasan lebih lanjut tentang faktor-faktor tambahan yang
mungkin akan dibahas di masa mendatang akan dibahas nanti.
 
  Tabel 10. Frekuensi Whistleblow.  
       

Tanggapan Frekuensi Persentase yang valid Persen Kumulatif


   

Vignette Early Shipment - Kemungkinan Whistleblow  


1 3 7.1 7.1
2 8 19 26,2
3 3 7.1 33,3
4 8 19 52,4
5 8 19 71,4
6 10 23.8 95,2
7 2 4.8 100
Total 42 100  
Vignette Bad Debt - Kemungkinan Whistleblow  
1 5 11,9 11,9
2 7 16,7 28,6
3 3 7.1 35,7
4 12 28,6 64,3
5 5 11,9 76.2
6 9 21,4 97,6
7 1 2.4 100
Total 42 100  
       

 
 
Tabel 10 melaporkan distribusi frekuensi untuk mengeksplorasi lebih jauh maksud dari sampel
ini terhadap whistleblow. Ini menjadi jelas mengapa hasil yang marjinal untuk menjelaskan niat
untuk sampel akuntan ini untuk whistleblow dalam situasi manajemen laba. Untuk vignette,
Early Shipment hanya 33% mengindikasikan kemungkinan untuk whistleblow untuk tindakan
yang tidak etis ini dan hanya 36% mengindikasikan kemungkinan untuk whistleblow untuk
vignette Bad Debt. Setiap responden ditanya apakah mereka percaya situasi ini saat ini akan
terjadi dalam praktek; untuk kedua sketsa rata-rata adalah 2,83 dengan standar deviasi 1,75
yang menunjukkan bahwa kemungkinan besar situasi ini tidak akan terjadi dalam praktek.
Meskipun kedua situasi ini mewakili area manajemen laba abu-abu, kami berharap bahwa lebih
banyak akuntan akan mengindikasikan kemungkinan yang lebih tinggi untuk whistleblow
karena evaluasi etis mereka sendiri atas dilema ini menunjukkan bahwa tindakan ini tidak etis.
Selanjutnya, sebagai akibat dari paparan terhadap media dan dampak yang dipublikasikan
banyak skandal laba, termasuk hilangnya nilai pemegang saham, kematian Arthur Andersen,
dan hilangnya reputasi akuntan dan auditor dapat berkontribusi pada kemungkinan
whistleblowing. Manajemen laba dapat dipandang oleh beberapa akuntan sebagai etika;
namun demikian, penyesuaian tersebut dapat menyebabkan penyesuaian yang lebih agresif di
masa mendatang.Kami meminta setiap peserta untuk memberikan umpan balik tambahan yang
mungkin memberikan wawasan tentang mengapa seseorang akan atau tidak akan mengungkap
masalah dengan menggunakan pertanyaan terbuka untuk masing-masing sketsa. Untuk
Pengiriman Awal vignette, tanggapan menunjukkan bahwa sebagian besar tidak akan
whistleblow karena ' ' Ini tidak material, ' ' ' ' tergantung pada keadaan atau berapa kali
terjadi, ' ' ' ' jika tidak ada bahaya bagi pelanggan, biarkan manajer mendapatkan bonusnya, itu
hanya akan mengurangi penjualannya untuk kuartal berikutnya, ' ' dan ' ' Manajer sendiri akan
terluka dan mungkin membalas dendam terhadap saya. ' ' Untuk beberapa yang akan
mengungkap, tanggapan menunjukkan ' ' perilaku semacam ini sering mengarah ke aktivitas
melayani diri lebih luas ' ' dan ' ' tidak adil untuk lainnya.
 
RINGKASAN DAN KESIMPULAN
Studi ini menunjukkan bahwa meskipun sampel dari praktisi yang mempraktekkan telah
mengidentifikasi dua situasi manajemen laba sebagai tidak etis mereka tidak mungkin untuk
whistleblow. Hasil ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa
sebagian besar auditor sangat menentang undang-undang yang mengharuskan whistleblowing
( Arnold & Ponemon, 1991 ; Label & Miethe, 1999 ) dan mereka yang sadar akan tindakan yang
tidak etis dan ilegal menyatakan keprihatinan besar untuk prospek pekerjaan mereka saat ini
dan masa depan jika mereka menyuarakan keprihatinan mereka baik secara internal maupun
eksternal ( Lovell, 2002 ). Sebagian besar peserta dalam penelitian ini bekerja secara internal
untuk perusahaan swasta dan tidak akan dilindungi di bawah Sarbanes –Oxley. Studi ini
memberikan beberapa bukti bahwa perlindungan bagi mereka yang bekerja untuk perusahaan
swasta mungkin diperlukan untuk mendorong whistleblowing. Felsburg (2005) membahas
berbagai perlindungan dari pembalasan dalam berbagai keadaan untuk karyawan, termasuk
Undang-undang Hak Sipil tahun 1964, UU Udara Bersih, Amerika dengan Disabilities Act,
Undang-undang Standar Perburuhan yang Adil, Undang-Undang Keselamatan dan Kesehatan
Kerja, Undang-undang Cuti Keluarga dan Medis, dan Undang-Undang Hubungan Perburuhan
Nasional. Namun, tidak ada perlindungan untuk melaporkan manipulasi akuntansi di
perusahaan swasta. Manipulasi akuntansi di perusahaan swasta dapat berpengaruh pada
berbagai pemangku kepentingan termasuk kreditor, pemasok, karyawan, dan masyarakat; oleh
karena itu, tampaknya akuntan dan karyawan yang bekerja untuk perusahaan swasta harus
memiliki perlindungan yang sama.Miceli dan Near (1995) menemukan bahwa dari waktu ke
waktu kesalahan yang dirasakan menurun dan frekuensi whistleblowing meningkat setelah
berlalunya undang-undang untuk melindungi whistleblower pegawai negeri federal. Lebih jauh,
sebagian besar whistleblower lebih memilih untuk tetap anonim dan para pelapor yang
diidentifikasi mengalami pembalasan ( Miceli & Near, 1995 ). Ada dua beban tambahan dari
Sarbanes –Oxley Act yang membedakannya dari undang-undang lainnya: undang-undang itu
mengandung eksekutif, agen, dan pengawas individu secara pribadi bertanggung jawab atas
pembalasan; dan itu membuat pembalasan atas pelanggaran kejahatan. Sarbanes –Oxley
mewajibkan penetapan prosedur untuk pelaporan rahasia dan anonim atas kesalahan dalam
perusahaan yang diperdagangkan secara publik. Di bawah undang-undang, hukuman bagi
eksekutif yang membalas dapat mencakup hingga 10 tahun penjara.
 
Sweeney (2005) mengemukakan bahwa pengusaha harus membuat karyawan merasa
nyaman untuk melaporkan dugaan insiden pelanggaran, termasuk hotline khusus dengan
nomor bebas pulsa dan kemampuan untuk menerima panggilan mengumpulkan bila
diperlukan. Pelapor harus memiliki akses ke situs web rahasia, nomor faks, dan alamat surat
biasa atau kotak pos. Meskipun perusahaan dapat membuatnya lebih nyaman bagi karyawan
untuk bersiul, masih ada ketakutan bahwa tindakan pengungkap fakta datang dengan
konsekuensi buruk yang dapat menyebabkan pengungkap fakta Kematian profesional.
Perusahaan harus memberikan kepada karyawannya kebijakan dan prosedur organisasi untuk
melaporkan tindakan yang tidak etis, pedoman federal tentang bagaimana karyawan harus
berurusan dengan masalah pengungkap masalah, atau memberikan sesi pelatihan tahunan
kepada karyawan dengan pembaruan dan penegasan kembali perlindungan karyawan.
Pendidikan merupakan faktor penting yang akan memberi karyawan keberanian untuk
mengambil tindakan yang tepat dan melaporkan kesalahan perusahaan yang ilegal.
Kami membutuhkan akuntan dan auditor dengan keberanian moral untuk maju dan
mengidentifikasi kesalahan sebelum kolaps besar, seperti Enron, terjadi lagi. Peneliti masa
depan dapat mengeksplorasi apakah perlindungan yang diberikan di bawah Sarbanes -Oxley
memiliki dampak pada keputusan untuk whistleblow untuk akuntan yang bekerja di perusahaan
publik dan lebih jauh jika akuntan di perusahaan swasta akan lebih bersedia untuk whistleblow
jika ditawarkan perlindungan yang sama. Penelitian masa depan mungkin ingin mengeksplorasi
faktor tambahan yang mungkin terkait dengan apakah akuntan profesional dapat memilih
untuk whistleblow; variabel tersebut dapat termasuk menjamin satu pekerjaan, menawarkan
hadiah uang tunai, dan variabel organisasi seperti kepuasan kerja, komitmen organisasi, atau
berbagai tingkat materialitas dalam situasi etika. Keterbatasan penelitian ini dimulai dengan
ukuran sampel dan lokasi responden adalah dari satu negara bagian tengah Atlantik yang dapat
membatasi generalisasi dari temuan ini. Bahkan dengan keterbatasan ini, penelitian ini
memberikan dasar untuk penelitian masa depan dan yang lebih penting adalah studi pertama
yang menggunakan skala MES untuk whistleblowing intensions dari berlatih
akuntan. Selanjutnya, kami telah memberikan wawasan yang menarik ke dalam pandangan
praktisi akuntan mengenai whistleblowing untuk situasi manajemen laba dan mendorong
penelitian tambahan di bidang ini.

Anda mungkin juga menyukai