Anda di halaman 1dari 6

Cerita Rakyat “Kabayan Pergi ke Kota” Menurut

Perspektif Interaksionisme Simbolik

Oleh:
Rosa Novia Sapphira

Latar Belakang

Interaksionisme simbolik mengkaji tindakan manusia sebagai suatu gambaran tentang


subjek pelaku menciptakan dan mempergunakan makna dan simbol, dan bukan petunjuk,
norma, dan nilai-nilai kultural menyediakan penjelasan-penjelasan atas makna dan simbol
tindakan sosial tersebut. Inilah sebuah kegiatan antar-pribadi, yang memunculkan konsensus
tentang “apa yang terjadi” dan “siapa yang memainkan peran” tertentu dalam “drama” itu.
(Irianto, 2014)

George Herbert Mead dipandang sebagai tokoh utama interaksionisme. Ia dipandang


sebagai orang pertama yang konsisten menjelaskan doktrin filsafat interaksionisme simbolis.
Salah satu pencetus paham interaksi simbolik, yang mengemukakan makna atau pemahaman
proses interaksi manusia baik secara verbal maupun nonverbal. Melalui tindakan dan tanggapan
terbentuk makna tentang kata dan tindakan serta memahami peristiwa tertentu.

Teori interaksi simbolik menyatakan interaksi sosial sebagai simbol. Kita berinteraksi
dengan yang lain secara simbolik dan yang lain memberi makna atas simbol tersebut. Asumsi-
asumsi teori bahwa (1) masyarakat terdiri atas manusia yang berinteraksi melalui tindakan
bersama dan membentuk organisasi, (2) interaksi simbolik mencakup penafsiran tindakan dan
interaksi nonsimbolik mencakup stimulus respons. Herbert Blumer mengutarakan interaksi
simbolik berkaitan dengan pemaknaan, perbahasaan, dan pemikiran. Premis ini mengantarkan
konsep diri seseorang yang bersosialisasi kepada masyarakat. Ia mengajukan premis bahwa
manusia bertindak atau bersikap terhadap manusia yang lain dilandasi oleh pemaknaan yang
dikenakan kepada pihak lain.
Pembahasan

Dalam cerita rakyat “Kabayan Pergi ke Kota” dari Jawa Barat dapat kita kaji bahwa tokoh
si Kabayan memiliki makna yang berbeda-beda, kembali kepada siapa atau bagaimana seseorang
memandang tokoh tersebut. Ketika si Kabayan pergi ke kota besar, masyarakat perkotaan
memaknai si Kabayan sebagai orang kampung. Kesannya, norak dan kampungan. Interaksi antara
orang kota dan si Kabayan dilandasi pada pikiran dengan kesan seperti itu. Padahal, jika di
perdesaan tempat dia tinggal, masyarakat memperlakukan si Kabayan dengan cara yang
berbeda, dengan perlakuan lebih ramah. Interaksi ini dilandasi oleh pemikiran bahwa si Kabayan
bukan sosok orang kampung yang norak, melainkan sosok manusia sebagaimana adanya-apa
adanya. Para budayawan dan masyarakat Sunda berpendapat bahwa sosok si Kabayan
merupakan sosok interaksi simbolik yang lugu-cerdas dan sosok yang penuh pemaknaan filosofis.
Berikut ini contoh ceritanya.

Kabayan Pergi ke Kota


Pada suatu hari Kabayan seorang pemuda desa pergi ke kota. Setelah tiba di kota ia heran
melihat gedung-gedung pencakar langit yang ada di kota tersebut. Pada saat itu ia berada tepat
di depan sebuah Bank terkenal, karena penasaran ia mencoba bertanya kepada seorang yang
berada di sampingnya yang kebetulan seorang turis asing.
Kabayan: Permisi Pak.. ini gedung apa, ya?
Lantaran si Kabayan bertanya sambil menunjuk ke arah Bank tersebut, si turis pun paham
akan maksudnya.
Turis: Bank..!
Kabayan: Gedung itu yang punya siapa ya?
Karena bingung akan maksud si Kabayan, turis pun menjawab..
Turis: I don’t know..
Kabayan: Hebat, I don’t know pasti orang kaya.
Pada waktu yang bersamaan melintas pesawat terbang di atas gedung tersebut. Si
Kabayan kembali bertanya..
Kabayan: Nah, kalo itu milik siapa?
Dengan sedikit kesal, si Turis menjawab…
Turis: I don’t know what you mean!..?
Kabayan: Wah.. wah, hebat I don’t know, gedung ini miliknya, pesawat itu juga miliknya. Dia pasti
orang yang sangat kaya.
Lalu kemudian mereka terdiam sejenak sambil melihat hilir mudik kendaraan yang
melintas. Saat itu juga si Kabayan melihat iring-iringan mobil jenazah yang melintas di depan
mereka.
Kabayan: Kira-kira siapa yang mati itu, ya?
Karena dari tadi diberi pertanyaan yang tidak jelas maksudnya, turis itu dengan kesal menjawab
sambil berteriak…
Turis: I DON’T KNOW..!!!
Kabayan: Malang nian nasibmu I DON’T KNOW.. Kaya raya kok mati…
Sumber: https://poojetz.wordpress.com/2011/02/09/kabayan-pergi-ke-kota/
Di unduh pada: Sabtu, 03 Juni 2017. Pukul: 12:22 WIB

Pemaknaan apa yang nyata berasal dari apa yang diyakini sebagai kenyataan. Keyakinan
pada kenyataan dapat dipercayai sebagai kenyataan. Dalam contoh memaknai si Kabayan sebagai
orang kampung, maka dianggap kenyataannya si Kabayan sebagai orang yang kampungan.

Pada premis perbahasaan (cara berbicara, sopan santun) muncul pemaknaan dari interaksi
sosial yang dipertukarkan. Makna bukan muncul atau melekat pada sesuatu atau suatu objek secara
alamiah, melainkan makna dalam perspektif interaksionisme simbolik berasal dari hasil proses
negosiasi melalui penggunaan bahasa. Dalam hal ini, pentingnya penamaan dari proses
pemaknaan.

Sementara itu, George Herbert Mead memaknai penamaan simbolik sebagai dasar
masyarakat yang manusiawi. Ketika si Kabayan berbahasa kampungan, konsekuensinya ia
dimaknai oleh pengguna bahasa yang kampungan. Pemaknaan muncul berdasarkan proses
negosiasi bahasa tentang kata kampungan. Makna kata kampungan menjadi tidak berarti sebelum
dia mengalami negosiasi di dalam masyarakat sosial, saat simbolisasi perbahasaan itu hidup.
Makna kata kampungan tidak muncul secara sendiri, tidak muncul secara alamiah, tetapi
pemaknaan dari suatu bahasa yang terkonstruksi secara sosial. Premis interaksi simbolik juga
menggambarkan proses berpikir sebagai perbincangan dengan diri sendiri. Proses berpikir ini
bersifat reflektif. Menurut George Herbert Mead sebelum manusia bisa berpikir, tentu
memerlukan bahasa untuk dapat berkomunikasi secara simbolik. Bahasa diibaratkan sebagai
perangkat lunak atau software yang dapat menggerakkan pikiran.

Cara kita berpikir banyak ditentukan oleh praktik kebahasaan. Bahasa bukan sekadar
dilihat sebagai alat pertukaran pesan, melainkan interaksi simbolik yang melihat posisi bahasa
sebagai seperangkat ide yang dipertukarkan kepada pihak lain secara simbolik. Artinya, kita
berkomunikasi secara simbolik.

Perbedaan penggunaan bahasa juga menentukan perbedaan cara berpikir. Contoh pada cara
pikir seseorang yang berbahasa Indonesia berbeda dengan cara pikir seseorang yang berbahasa
Inggris, Jerman atau Arab. Begitu pula dengan si Kabayan yang berbahasa Sunda berbeda cara
berpikir dengan Srimulatan yang berbahasa Jawa. Meskipun demikian, pemaknaan suatu bahasa
banyak ditentukan oleh konteks atau konstruksi sosial yang seringkali interpretasi individu sangat
berperan ketika memodifikasi simbol yang ditangkap dalam proses berpikir. Simbolisasi dalam
proses interaksi tidak secara mentah-mentah diterima dari dunia sosial karena dicerna kembali
dalam proses berpikir sesuai dengan preferensi diri.

Secara sosial manusia berbagi simbol berbahasa sama pada konteks si Kabayan bersama
dengan kata kampungan. Namun, proses berpikirnya belum tentu sama-sama menafsirkan kata
Kabayan dan kampungan dengan cara atau maksud yang sama dengan orang yang lain. Semuanya
sedikit banyak dipengaruhi oleh interpretasi individu dalam penafsiran simbolisasi.

Pemaknaan merujuk pada bahasa. Proses berpikir merujuk pada bahasa. Bahasa
menentukan proses pemaknaan dan proses berpikir. Jadi, saling terkait yang berinteraksi menjadi
kajian utama dalam perspektif interaksi simbolik.

Dalam tataran konsep atau teori komunikasi, pada hakikatnya komunikasi sebagai suatu
proses interaksi simbolik dari pelaku komunikasi. Terjadi pertukaran pesan dari simbolisasi-
simbolisasi tertentu kepada pihak lain yang diajak berkomunikasi. Saluran komunikasi
menggunakan simbol komunikasi. Pertukaran pesan ini tidak hanya dilihat pada transmisi pesan,
tetapi juga dilihat pada pertukaran cara pikir sehingga mencapai proses pemaknaan. Komunikasi
merupakan proses interaksi simbolik dalam bahasa tertentu dengan cara berpikir tertentu untuk
pencapaian pemaknaan tertentu. Semua terkonstruksikan secara sosial.
Setelah konsep meaning, language dan thought saling terkait, selanjutnya dapat dipahami
konsep George Herbert Mead tentang diri (self). Konsep diri sebenarnya dilihat pada diri sendiri
sebagaimana orang lain melihat diri sebagaimana adanya. Kaum interaksionisme simbolik melihat
gambaran mental ini dikonstruksikan secara sosial.

Dalam konsep interaksi simbolik dikatakan bahwa manusia cenderung menafsirkan diri
sendiri lebih daripada bagaimana orang lain melihat atau menafsirkan diri sendiri. Manusia
cenderung menunggu untuk melihat bagaimana orang lain memaknai diri, bagaimana ekspektasi
orang terhadap diri sendiri. Oleh karena itu, konsep diri sendiri dibentuk sebagai upaya pemenuhan
terhadap harapan atau tafsiran orang lain kepada diri sendiri. Pemaknaan interaksi
simbolik dilakukan melalui proses: (1) terjemahan dengan mengalihbahasakan dari penduduk asli
dan memindahkan rekaman ke tulisan; (2) penafsiran dengan mencari latar belakang, konteks, agar
terangkum konsep yang jelas; (3) ekstrapolasi yang lebih menekankan kemampuan daya pikir
manusia untuk mengungkapperistiwa di balik yang tersaji; (4) pemaknaan yang menuntut kemam-
puan integratif manusia, inderawi, daya pikir dan akal budi.

Dalam hal ini, si Kabayan bukan hanya jati diri Sunda, melainkan jati diri manusia itu
sendiri. Kesundaan si Kabayan ada pada latar lokalitasnya. Bahwa dalam masyarakat Sunda cara
hidup sehari-hari pergi ke sawah, ke huma, ke hutan, pasang perangkap hewan, kenduri, haji, salat,
pohon tertentu, mandi di kali. Namun, dalam alam pikiran dan sikap spiritual benar-benar untuk
semua manusia, hanya kadang terselip kosmologi Sunda lama. Sebagai cerita rakyat, si Kabayan
menggambarkan manusia di tanah Sunda. Tema dan pesan tetap universal.

Simpulan

Interaksi simbolik pada intinya sebuah kerangka referensi untuk memahami


bagaimana komunikasi kita bersama dengan orang lain menciptakan dunia simbolik dan
bagaimana dunia ini membentuk perilaku manusia. Dengan argumen ini kita dapat melihat
ketergantungan antara individu dan masyarakat, antara cerita si Kabayan dan masyarakat Jawa
Barat. Cerita kehidupan rakyat sehari-hari banyak bersifat lokal, yang juga sering diadaptasi dari
luar, seperti cerita si Kabayan. Teori ini membentuk sebuah jembatan antara teori yang berfokus
pada individu dan teori yang berfokus pada kekuatan sosial.
DAFTAR PUSTAKA

Buku

 Irianto, Agus malady.2015. Interaksionisme Simbolik; Pendekatan Antropologis


Merespons Fenomena Keseharian. Semarang: Gigih Pustaka Mandiri (cetakan
pertama).

Internet

 https://poojetz.wordpress.com/2011/02/09/kabayan-pergi-ke-kota/ diunduh pada: 03 Mei


2017. Pukul: 12:22 WIB.

 http://jurnal.upi.edu/penelitian-pendidikan/view/825/cerita-si-kabayan-(transformasi,-
proses-penciptaan,-makna,-dan-fungsi).html diunduh pada: 03 Mei 2017. Pukul: 12:25
WIB.

Anda mungkin juga menyukai