Menurut jumhur ulama hukum asal perkawinan adalah wajib hukumnya. Sedangkan Syafi'iyyah
mengatakan bahwa hukum asal perkawinan adalah mubah. Dan seseorang dibolehkan
melakukan perkawinan dengan tujuan mencari kenikmatan. Hukum Perkawinan ada lima
macam yaitu Wajib, Sunnah, Haram, Makruh dan Mubah.
Berikut macam-macam hukum nikah dalam Islam:
1. Wajib
Hukum nikah menjadi wajib bila seseorang telah mampu, baik secara fisik maupun finansial.
Sedangkan, bila ia tidak segera menikah dikhawatirkan berbuat zina.
2. Sunnah
Dasar hukum nikah menjadi Sunnah bila seseorang menginginkan sekali punya anak dan tak
mampu mengendalikan diri dari berbuat zina.
3. Makruh
Selanjutnya, hukum nikah makruh. Hal itu terjadi bila seseorang akan menikah tetapi tidak
berniat memiliki anak, juga ia mampu menahan diri dari berbuat zina. Padahal, apabila ia
menikah ibadah sunahnya akan terlantar.
4. Mubah
Seseorang yang hendak menikah tetapi mampu menahan nafsunya dari berbuat zina, maka
hukum nikahnya adalah mubah. Sementara, ia belum berniat memiliki anak dan seandainya ia
menikah ibadah sunnahnya tidak sampai terlantar.
5. Haram
Hukum nikah menjadi haram apabila ia menikah justru akan merugikan istrinya, karena ia tidak
mampu memberi nafkah lahir dan batin. Atau, jika menikah, ia akan mencari mata pencaharian
yang diharamkan oleh Allah padahal sebenarnya ia sudah berniat menikah dan mampu
menahan nafsu dari zina.
Sementara, hukum menikah bagi wanita adalah wajib menurut Ibnu Arafah. Hal itu apabila, ia
tidak mampu mencari nafkah bagi dirinya sendiri, sedangkan jalan satu-satunya dengan
menikah.
C. Tujuan Nikah/Pernikahan.
1. Melaksanakan Sunnah Rasul
Tentu saja tujuan pernikahan yang utama ialah menjauhkan dari perbuatan maksiat. Namun
sebagai seorang muslim tentu saja kita memiliki panutan dalam menjalankan kehidupan sehari-
hari. Dan ada baiknya kita mengikuti apa yang dicontohkan dan diajarkan oleh Rasulullah. Dan
pernikahan merupakan salah satu Sunnah dari Rasulullah.
2. Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia yang Asasi
Sangat dianjurkan bagi mereka yang telah mampu untuk menikah. Hal ini karena pernikahan
merupakan fitrah manusia serta naluri kemanusiaan itu sendiri. Karena naluri manusia dipenuhi
pula dengan hawa nafsu, maka lebih baik untuk dipenuhi dengan jalan yang baik dan benar
yaitu melalui pernikahan.
Apabila naluri tersebut tidak terpenuhi, maka dapat menjerumuskan seseorang kepada jalan
yang diharamkan oleh Allah SWT yaitu berzina. Salah satu fitrah manusia ialah berpasang-
pasangan antara laki-laki dan perempuan, maka akan saling melengkapi, berbagi dan saling
mengisi satu sama lain.
3. Penyempurna Agama
Dalam Islam, menikah merupakan salah satu cara untuk menyempurnakan agama. Dengan
menikah maka separuh agama telah terpenuhi. Jadi salah satu dari tujuan pernikahan ialah
menyempurnakan agama yang belum terpenuhi agar semakin kuat seorang muslim dalam
beribadah.
Rasulullah Shallallaahu'alaihi wa sallam bersabda: “Apabila seorang hamba menikah maka
telah sempurna separuh agamanya, maka takutlah kepada Allah SWT untuk separuh sisanya"
(HR. Al Baihaqi dalam Syu'abul Iman).
1) Rukun Nikah
Berikut merupakan rukun sah nikah dalam Islam:
• Mempelai pria dan wanita sama-sama beragama Islam
• Mempelai laki-laki tidak termasuk mahram bagi calon istri
• Wali akad nikah dari perempuan bersedia menjadi wali
• Kedua mempelai tidak dalam kondisi sedang ihram.
• Pernikahan berlangsung tanpa paksaan.
2) Syarat Nikah
• Ada Mahar
Mahar atau maskawin sangat penting keberadaannya di altar pernikahan dan menjadi syarat
nikah dalam Islam. Mahar adalah sejumlah harta yang diberikan oleh pihak laki-laki kepada
pihak perempuan.
Mahar dalam agama Islam menggunakan nilai uang sebagai acuan. Mempelai perempuan bisa
meminta harta seperti uang tunai, emas, tanah, rumah, kendaraan, dan benda berharga
lainnya.
Wali Nasab
Yang dimaksud wali nasab, yaitu wali berhubungan tali darah dari pihak ayah dengan
perempuan yang akan nikah. Orang-orang yang termasuk ke dalam wali nasab juga dibagi
menjadi dua, di antaranya sebagai berikut:
- Wali aqrab, yaitu:
(Ayah kandung, Ayah dari ayah kandung (kakek))
- Wali ab’ad, yaitu:
(Saudara laki-laki kandung, Saudara laki-laki seayah, Anak saudara laki-laki kandung, Anak
saudara laki-laki seayah, Paman kandung, Paman seayah, Anak paman kandung, Anak paman
seayah)
Wali Mu’thiq
Yaitu orang yang menjadi wali terhadap perempuan bekas hamba sahaya yang
dimerdekakannya.
Wali Hakim
Wali hakim berlaku ketika semua urutan di atas sudah tidak bisa dipenuhi lagi karena sebab-
sebab tertentu. Wali hakim adalah orang yang menjadi wali sebagai hakim atau penguasa yang
diangkat oleh negara yang telah ditauliyahkan sebagai wali hakim.
Wali Muhakam
Yang dimaksud wali muhakam adalah orang yang diangkat oleh kedua calon mempelai untuk
bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Apabila suatu pernikahan yang seharusnya
dilaksanakan dengan wali hakim, padahal di tempat itu tidak ada wali hakim, maka pernikahan
dilangsungkan dengan wali muhakam.
• Ibu, nenek dan seterusnya ke atas, baik jalur laki-laki maupun wanita
• Anak perempuan (putri), cucu perempuan, dan seterusnya, ke bawah baik dari jalur laki-
laki-laki maupun perempuan
• Saudara perempuan (kakak atau adik), seayah atau seibuSaudara perempuan bapak
(bibi), saudara perempuan kakek (bibi orang tua) dan seterusnya ke atas baik sekandung
• Saudara perempuan ibu (bibi), saudara perempuan nenek (bibi orang tua) dan
seterusnya ke atas baik sekandung
• Putri saudara perempuan (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu
perempuannya dan seterusnya ke bawah, baik dari jalur laki-laki maupun wanita
• Putri saudara laki-laki (keponakan) sekandung, seayah atau seibu, cucu perempuannya
dan seterusnya ke bawah baik dari jalur laki-laki maupun wanita
b) Mahram muaqqot
Mahram muaqqot ( ) محرم المؤقتadalah golongan mahram tidak boleh dinikahi pada kondisi
tertentu saja dan jika kondisi ini hilang maka menjadi halal
"Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan."
"Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka,
(bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan
padanya kebaikan yang banyak."
3. Menjaga istri
Suami wajib menjaga istrinya dengan baik, menjaga harga dirinya, menjunjung tinggi
kehormatannya, dan melindunginya dari segala sesuatu yang dapat menodai kehormatannya.
Suami pun wajib menjaga rahasia istrinya.
4. Membimbing istri
Kewajiban suami adalah memberikan bimbingan agama pada istrinya dan menyuruhnya
untuk selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Suami juga wajib menjaga istrinya dari
perbuatan dosa yang dapat mendatangkan keburukan pada keluarga. Disebutkan dalam surat
At-Tahrim ayat 6, yang berbunyi:
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan."
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa kasih sayang dan rahmat. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar
menjadi tanda-tanda bagi kaum yang berpikir."
1. Menaati suami
Apa saja kewajiban suami dan istri dalam pernikahan menurut Islam? Faktanya, menikah nggak
hanya sebatas tinggal bersama sampai maut memisahkan, Bela. Dalam Islam, suami dan istri
memiliki kewajiban dalam pernikahan tersebut, yang artinya patut dipenuhi terhadap
pasangannya. Kira-kira, apa saja, ya?
Apakah kewajiban istri itu membersihkan rumah? Apakah kewajiban suami itu menafkahi istri
dan anak-anaknya? Daripada salah menerka, baiknya mencari tahu informasi yang benar, yuk!
Melansir dari berbagai sumber, ini kewajiban suami dan istri dalam pernikahan menurut Islam.
Kewajiban pertama suami pada istri dalam pernikahan menurut Islam adalah memberikan
mahar dan nafkah. Mahar merupakan mas kawin yang patut laki-laki berikan saat menikahi
perempuan. Sedangkan nafkah, nggak hanya sebatas uang dapur, melainkan dalam bentuk
sandang, pangan dan papan (memberi pakaian, makanan, dan rumah).
"Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh
kerelaan."
Advertising
Advertising
Kemudian dalam surat Al-Baqarah ayat 233, yang berbunyi:
"Dan kewajiban bapak memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf.
Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya...."
2. Menggauli istri secara baik
Pexels.com/Cottonbro
Menggauli di sini adalah bersenggama atau bercinta dengan istri. Dalam Islam, ini menjadi
salah satu kewajiban suami pada istri, yaitu untuk menggauli pasangannya dengan baik, nggak
boleh kasar atau sampai menyakiti.
"Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka,
(bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan
padanya kebaikan yang banyak."
3. Menjaga istri
Suami wajib menjaga istrinya dengan baik, menjaga harga dirinya, menjunjung tinggi
kehormatannya, dan melindunginya dari segala sesuatu yang dapat menodai kehormatannya.
Suami pun wajib menjaga rahasia istrinya.
4. Membimbing istri
Kewajiban suami adalah memberikan bimbingan agama pada istrinya dan menyuruhnya untuk
selalu taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Suami juga wajib menjaga istrinya dari perbuatan dosa
yang dapat mendatangkan keburukan pada keluarga. Disebutkan dalam surat At-Tahrim ayat 6,
yang berbunyi:
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan
bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras dan tidak
mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu
mengerjakan apa yang diperintahkan."
Dalam Islam, suami wajib memberikan rasa cinta dan kasih sayang pada istri. Artinya, suami
wajib bertutur kata lembut, memberikan rasa tenang, mengekspresikan rasa cintanya, dan
menunjukkan kasih sayang. Kewajiban ini ada dalam al-Quran surat Ar-Rum ayat 21, yang
terjemahannya berbunyi:
"Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di
antaramu rasa kasih sayang dan rahmat. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar
menjadi tanda-tanda bagi kaum yang berpikir."
Kewajiban istri pada suami dalam pernikahan menurut islam
Setelah membahas kewajiban suami, kini saatnya membahas kewajiban istri yang menjadi hak
untuk suaminya. Apa saja?
1. Menaati suami
Kewajiban pertama istri pada suami adalah taat pada suami. Contoh taat Misalnya, istri patuh
ketika suami menyuruhnya untuk beribadah, menutup aurat, dan lain-lainnya. Namun, istri wajib
taat kecuali dalam hal-hal yang melanggar aturan agama dan/atau kesusilaan. Dalam al-Quran,
surat An-Nisa ayat 34, terjemahannya berbunyi sebagai berikut:
"Kaum laki-laki itu pemimpin wanita. Karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki)
alas sebagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan harta
mereka. Maka wanita yang salehah ialah mereka yang taat kepada Allah dan memelihara diri
ketika suaminya tidak ada menurut apa yang Allah kehendaki......"
Dalam Islam, ketaatan seorang istri pada suami disebut setara nilainya dengan jihad laki-laki.
Tetapi, ada kalanya istri dapat mendiskusikan sesuatu sebelum membuat keputusan, seperti
membahas pekerjaan, keluarga, pendidikan anak, dan sebagainya.
Bagaimana dengan menjaga rumah? Hal ini dimaksudkan seorang istri nggak boleh keluar
rumah tanpa izin dari suaminya, dan nggak boleh membawa laki-laki lain masuk ke dalam
rumah saat suami sedang nggak ada.
Sedangkan menjaga kehormatan suami adalah dengan nggak menyebarkan aib suaminya.
Sama seperti suami yang wajib menjaga rahasia istri, maka istri nggak boleh menyebarkan
rahasia suaminya. Baik itu secara langsung, maupun nggak langsung.
Namun dalam mencari kerelaan suami, istri wajib menghindari amarah atau murkanya. Artinya,
jangan sampai melakukan tindakan yang justru membuat pasangan marah karena hal ini nggak
hanya menghapus usaha mencari ridha suami, tetapi juga memberikan dampak buruk pada
keharmonisan rumah tangga.
4. Memahami urusan bercinta
Jika suami memiliki kewajiban menggauli istrinya, di sisi lain istri wajib memahami urusan
bercinta. Istri nggak boleh menolak ketika suami mengajaknya bercinta. Sebab dari Abu
Hurairah, Rasulullah SAW pernah bersabda:
“Jika seorang pria mengajak istrinya ke ranjang, lantas istri enggan memenuhinya, maka
malaikat akan melaknatnya hingga waktu shubuh.” HR. Bukhari dan Muslim.
Namun, ada kondisi yang mana istri nggak dapat memenuhi kebutuhan suami, seperti sedang
sakit, nifas, menstruasi, dan sebagainya. Namun, usahakan untuk membicarakannya secara
baik-baik dengan pasangan, ya.
“Sebaik-baik perempuan ialah seorang perempuan yang apabila engkau melihatnya, engkau
merasa gembira. Jika engkau perintah, dia akan mentaatimu. Dan jika engkau tidak ada di
sisinya, dia akan menjaga hartamu dan dirinya.”
Itulah rangkuman dari kewajiban suami dan istri dalam pernikahan menurut Islam. Kewajiban
suami menjadi hak untuk istri, begitu pula sebaliknya. Selain itu, keduanya saling melengkapi
dan mengimbangi. Ketika suami dan istri berusaha melakukan kewajibannya masing-masing
dalam pernikahan, Insya Allah pernikahan akan harmonis, serta bahagia dunia dan akhirat.
Aamiin.
Oleh karena itu, pernikahan disyariatkan dalam Islam dengan tujuan untuk memenuhi fitrah
tersebut. Islam tidak menghalangi dan menutupi keinginan ini, bahkan mengharamkan
kehidupan kaum muslimin yang menolak nikah atau bertahallul (bujangan).
Allah telah menganugerahkan kepada manusia berbagai nikmat, salah satunya adalah fitrah
untuk melakukan hubungan seksual. Namun sifat ini akan membawa akibat negatif jika tidak
diberikan batasan-batasan yang diperbolehkan dalam syariat.
Nafsunya akan berusaha memenuhi fitrah itu dengan berbagai cara yang dilarang oleh agama.
Hal ini dapat mengakibatkan kerusakan moral dan perilaku menyimpang lainnya seperti
perzinahan, arisan kerbau, dan lain-lain.
Islam hadir untuk memberikan solusi melalui pernikahan. Inilah salah satu hikmah perkawinan
yang bermanfaat bagi kesejahteraan umat.
Hal senada juga disampaikan Ustadz Muharrar, Lc. Dalam ceramah singkat di Chanel Youtube
Yuvid TV , dia mengatakan:
“Di antara kemaslahatan dan hikmah pernikahan adalah menjaga (himayah) masyarakat dari
penyebaran perilaku buruk, perilaku menyimpang seperti zina, perselingkuhan, dan
sebagainya.”
Mengutip jurnal berjudul “Perkawinan dan Hikmahnya dari Perspektif Hukum Islam” karya
Ahmad Atabik, dkk., Salah satu hikmah terpenting dalam pernikahan adalah ketenangan jiwa
karena terciptanya perasaan cinta dan kasih sayang.
Dengan menikah, manusia akan mendapatkan kepuasan lahir dan batin berupa cinta,
kedamaian, ketenangan, dan kebahagiaan dalam hidup. Allah SWT berfirman:
Artinya: Dan di antara tanda-tanda (kebesaran-Nya) adalah bahwa Dia menciptakan untukmu
pasangan dari jenismu sendiri, agar kamu condong dan merasa damai dengannya, dan Dia
menjadikan di antara kamu cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu
terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir. (QS. Ar-Rum: 21)
4. Menghubungkan Keturunan
Hikmah menikah adalah melahirkan anak yang sholeh, setia dan sholeh. Anak yang cerdas
emosi dan intelektualnya juga diperlukan untuk meneruskan ajaran agama yang dibawa oleh
orang tuanya.
Dengan menikah, semua itu bisa terwujud. Sehingga keturunan dan generasi Islam yang
unggul dapat terus eksis dan berkesinambungan.
Arti talak itu sendiri menurut Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) adalah ikrar suami di hadapan
Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan.
Mengenai talak diatur lebih lanjut dalam Pasal 129, Pasal 130, dan Pasal 131 KHI. Pasal 129
KHI berbunyi:
“Seorang suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik
lisan maupun tertulis kepada Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal istri disertai
dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu.”
Jadi, talak yang diakui secara hukum negara adalah yang dilakukan atau diucapkan oleh suami
di Pengadilan Agama.
Sedangkan, mengenai cerai karena talak yang diucapkan suami di luar Pengadilan Agama,
menurut Nasrullah Nasution, S.H. dalam artikel Akibat Hukum Talak di Luar Pengadilan hanya
sah menurut hukum agama saja, tetapi tidak sah menurut hukum yang berlaku di negara
Indonesia karena tidak dilakukan di Pengadilan Agama. Menurut Nasrullah, akibat dari talak
yang dilakukan di luar pengadilan adalah ikatan perkawinan antara suami-istri tersebut belum
putus secara hukum.
Soal talak satu dan talak dua, sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Talak Tiga Karena
Emosi, Lalu Ingin Rujuk Lagi, berpedoman pada pendapat Sayuti Thalib dalam bukunya Hukum
Kekeluargaan Indonesia (hal. 100), dikatakan bahwa Al Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 229
mengatur hal talak, yaitu talak hanya sampai dua kali yang diperkenankan untuk rujuk kembali
atau kawin kembali antara kedua bekas suami istri itu. Jadi apabila suami menjatuhkan talak
satu atau talak dua, ia dan istri yang ditalaknya itu masih bisa rujuk atau kawin kembali dengan
cara-cara tertentu.
Arti rujuk kembali ialah kembali terjadi hubungan suami istri antara seorang suami yang telah
menjatuhkan talak kepada istrinya dengan istri yang telah ditalak-nya itu dengan cara yang
sederhana. Caranya ialah dengan mengucapkan saja “saya kembali kepadamu” oleh si suami
di hadapan dua orang saksi laki-laki yang adil. Sedangkan arti kawin kembali ialah kedua bekas
suami istri memenuhi ketentuan sama seperti perkawinan biasa, yaitu ada akad nikah, saksi,
dan lain-lainnya untuk menjadikan mereka menjadi suami istri kembali. Sungguhpun demikian,
dalam masyarakat kita di Indonesia orang selalu menyebut kawin kembali itu dengan sebutan
rujuk juga (Ibid, hal. 101).
Mengenai talak satu atau talak dua ini disebut juga talak raj’i atau talak ruj’i, yaitu talak yang
masih boleh dirujuk (Ibid, hal. 103) yang pengaturannya terdapat dalam Pasal 118 KHI yang
berbunyi:
“Talak raj'i adalah talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak rujuk selama istri dalam masa
iddah.”
Jadi, akibat dari talak kesatu dan kedua ini adalah suami istri dapat rujuk atau kawin kembali.
Soal talak raj’i, Sudarsono menjelaskan bahwa (hal. 132-133) pada hakekatnya talak ini
dijatuhkan satu kali oleh suami dan suami dapat rujuk kembali dengan istri yang ditalaknya tadi.
Dalam syariat Islam, talak raj’i terdiri dari beberapa bentuk, antara lain: talak satu, talak dua
dengan menggunakan pembayaran tersebut (iwadl). Akan tetapi dapat juga terjadi talak raj’i
yang berupa talak satu, talak dua dengan tidak menggunakan iwadl juga istri belum digauli.
Masa Iddah
Adapun yang dimaksud dengan masa iddah (waktu tunggu) adalah waktu yang berlaku bagi
seorang istri yang putus perkawinannya dari bekas suaminya.[2]
a. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qabla al dukhul, waktu tunggu
ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari.
b. Apabila perkawinan putus karena perceraian waktu tunggu bagi yang masih haid
ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi
yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari.
c. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
d. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil,
waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
Talak Tiga
Berdasarkan Al Qur’an Surat Al-Baqarah ayat 230, kalau seorang suami telah menjatuhkan
talak yang ketiga kepada istrinya, maka perempuan itu tidak halal lagi baginya untuk
mengawininya sebelum perempuan itu kawin dengan laki-laki lain.
“Jika dia menceraikan perempuannya (sesudah talak dua kali), maka tiadalah halal perempuan
itu baginya, kecuali jika perempuan itu telah kawin dengan lelaki yang lain. Dan jika diceraikan
pula oleh lelaki lain itu, tiada berdosa keduanya kalau keduanya rujuk kembali, jika keduanya
menduga akan menegakkan batas-batas Allah. Demikian itulah batas-batas Allah,
diterangkannya kepada kaum yang akan mengetahuinya.”
Maksudnya ialah kalau sudah talak tiga, perlu muhallil untuk membolehkan kawin kembali
antara pasangan suami isteri pertama. Arti muhallil ialah orang yang menghalalkan. Maksudnya
ialah si istri harus kawin dahulu dengan seorang laki-laki lain dan telah melakukan
persetubuhan dengan suaminya itu sebagai suatu hal yang merupakan inti perkawinan. Laki-
laki lain itulah yang disebut muhallil. Kalau pasangan suami istri ini bercerai pula, maka barulah
pasangan suami istri semula dapat kawin kembali (Ibid. hal. 101-102).
Talak tiga ini disebut juga dengan talak ba’in kubraa yang pengaturannya dapat kita temui
dalam Pasal 120 KHI yang berbunyi:
“Talak ba'in kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat
dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah
bekas istri menikah dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba'da al dukhul dan
habis masa iddahnya.”
Soal talak tiga ini, Sudarsono menjelaskan bahwa (hal. 128-129) perempuan yang telah dijatuhi
talak tiga ini harus sudah menikah dengan laki-laki lain kemudian bercerai. Dalam keadaan
demikian, perempuan tadi tidak dilarang dinikahi lagi oleh laki-laki bekas suami pertama; hukum
perkawinan tersebut tetap halal.
Lebih lanjut Sudarsono menjelaskan bahwa apabila terjadi seorang diupah oleh bekas
suaminya pertama agar menikah dengan bekas istrinya, kemudian mentalaknya dan oleh
karena sesudah ditalak oleh laki-laki yang diberi upah itu, bekas suami pertama (yang
mengupah) mengawini perempuan itu lagi. Keadaan seperti ini tidak dibenarkan di dalam
syari’at Islam.
Lalu timbul pertanyaan, apakah talak satu, dua, dan tiga ini harus dijatuhkan berurutan atau
akumulatif?
Sebagai contoh yang kami dapatkan dari laman tausyiah275.wordpress.com -blog berisikan
kumpulan tausiyah atau nasehat keagamaan- dalam tulisan Penjelasan Mengenai Talak 1, 2,
dan 3, misalkan suami (A) dan istri (B) menikah. Lalu A mentalak B. Ini disebut talak 1. Setelah
4 bulan, mereka rujuk. Lalu karena satu dan lain hal, A kembali mentalak B. Nah, ini disebut
talak 2. Meski telah talak 2, A masih boleh rujuk dengan B. Namun jika A kembali mentalak B,
yg otomatis menjadikan talak 3 telah jatuh, maka A tidak boleh rujuk lagi dengan B, kecuali B
menikah dahulu dengan X, berhubungan intim, lalu si X mentalaknya (minimal talak 1), serta
sudah habis masa iddahnya.
Kemudian pertanyaan lain, bolehkah sekali talak langsung talak 3? Masih bersumber dari laman
yang sama, pernyataan talak yang langsung talak 3 ini masih menjadi perdebatan di kalangan
ulama.
Namun, jika merujuk pada ayat “Talak (yang dapat dirujuki) dua kali.” pada Al Qur’an Surat Al-
Baqarah ayat 229, banyak ulama yang berpendapat bahwa talak 3 hanya bisa dilakukan
setelah 2 kali talak dan 2 kali rujuk.
Meski demikian, ada yg berpendapat boleh dilakukan talak langsung talak 3 dengan merujuk
pada hadits:
“Di masa Rasulullah SAW, Abu Bakr, lalu dua tahun di masa khilafah ‘Umar muncul ucapan
talak tiga dalam sekali ucap. ‘Umar pun berkata, “Manusia sekarang ini sungguh tergesa-gesa
dalam mengucapkan talak tidak sesuai dengan aturan Islam yang dulu pernah berlaku, yaitu
talak itu masih ada kesempatan untuk rujuk. Karena ketergesa-gesaan ini, aku berharap bisa
mensahkan talak tiga sekali ucap.” Akhirnya ‘Umar pun mensahkan talak tiga sekali ucap
dianggap telah jatuh tiga kali talak.” (HR Muslim no 1472)
Merujuk pada hadits di atas, boleh saja seorang suami langsung menjatuhkan talak 3 sekaligus.
Namun, seperti yang Umar katakan, bahwa perbuatan langsung talak 3 sebenarnya hal yang
tergesa-gesa dan tidak sesuai dengan aturan Islam yang dulu pernah berlaku, yakni jatuhnya 2
kali talak dan 2 kali rujuk.
Jika seorang suami telah mentalak 3 istrinya, lalu di kemudian hari menyesal dan ingin rujuk,
maka seperti penjelasan di atas, TIDAK DIPERBOLEHKAN RUJUK kecuali si istri telah
menikah dengan orang lain, disetubuhi suami barunya, dan diceraikan (ditalak).
Macam-macam talak
1. Talak Bain
Talak Bain adalah talak yang dijatuhkan suami pada istrinya yang telah habis masa iddahnya.
Talak bain dibagi menjadi dua macam yaitu talak bain sughra dan talak bain kubra.
Talak bain sughra
yaitu talak yang dijatuhkan kepada istri yang belum dicampuri dan talak khuluk (karena
permintaan istri). Suami istri boleh rujuk dengan cara akad nikah lagi, baik masih dalam masa
Iddah maupun sudah habis masa Iddahnya.
- Bekas istri telah selesai masa Iddahnya setelah dicerai suami yang baru.
“Sesungguhnya kejujuran akan menunjukkan kepada kebaikan, dan kebaikan itu akan
mengantarkan ke surga. Seseorang yang berbuat jujur oleh Allah akan dicatat sebagai orang
yang jujur. Dan sesungguhnya bohong itu akan menunjukkan kepada kezaliman, dan kezaliman
itu akan mengantarkan ke arah neraka”. (HR Bukhar muslim).
Penyebab talak dalam islam yang pertama dan yang paling sering terjadi dari kisah nyata nyata
orang orang yang melakukan talak ialah adanya ketidakjujuran antara salah satu pihak atau
keduanya satu sama lain. keutamaan jujur dalam islam memang penting dimana dalam
pernikahan telah diucap janji untuk saling menjaga, saling terbuka, dan saling setia, jika hal
tersebut nyatanya tidak mampu mereka laksananakan dalam kehidupan berkeluarga, jadilah
talak pada akhirnya karena hubungan yang tidak ada rasa percaya satu sama lain tidak akan
mungkin bisa bertahan.
“Janganlah engkau iringkan satu pandangan kepada wanita yang bukan mahram dengan
pandangan lain, karena pandangan yang pertama itu halal bagimu, tetapi tidak yang kedua!“.
(HR Abu Daud). Jelas bahwa Allah selalu memerintahkan untuk menjaga pandangan, melihat
kepada yang bukan muhrim membuat mudah merasuknya syetan ke dalam hati dan syetan
senang menunjukkan keburukan pasangannya, baik laki laki atau wanita wajib menjaga diri,
wajib hanya melihat kepada seeorang yang telah menjadi muhrimnya saja. bahaya nafsu dalam
islam contohnya adalah terjadi permasalahan dalam rumah tangga.
4. Minim Ilmu
“Mintalah ilmu yang bermanfaat dan berlindunglah kepada Nya dari ilmu yang tidak
bermanfaat”. (HR Ibnu Majah no 3843). Wanita dan pria yang dewasa ketika menikah
seharusnya sudah memiliki ilmu tentang kehidupan rumah tangga sehingga nantinya mudah
beradaptasi dan memahami kebiasaan satu sama lain serta mmapu berbuat yang terbaik untuk
satu sama lain. kedewasaan akan berpengaruh pada kehidupan rumah tangga sebab itu wajib
untuk selalu belajar dewasa dalam segala hal. keutamaan berilmu dalam islam juga penting
dalam kehidupan rumah tangga.
5. Kurang bersyukur
Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik baiknya (QS At
Tin : 4). Kurangnya rasa syukur membuat kasih sayang kepada pasangan berkurang karena
tidak melihat sisi baik dari pasangannya sehingga menjadi penyebab talak. keutamaan
bersyukur dalam islam harus diterapkan sebagai cara untuk mengatasinya sehingga pasangan
saling mensyukuri keberadaan satu sama lain dan rasa cinta timbul lebih dalam.
7. Hawa Nafsu
“Dijadikan indah bagi manusia kesukaan kepada benda benda yang diingini, yaitu perempuan
perempuan dan anak anak, harta benda yang banyak dari emas dan perak”. (Ali Imron :
14). Nafsu dapat menyebabkan talak karena membuat seseorang hilang kendali dan hanya
berfikir secara jangka pendek tidak mempertimbangkan masa depan.
8. Kurang Beriman
“Sebaik baik perhiasan dunia adalah wanita sholehah” (HR Muslim). wanita yang tidak sholeh
dapat menajdi penyebab taat sebab ia tidak bisa menerima suaminya apa adanya serta tidak
melayani dengan cinta. keutamaan iman dalam islam harus dijalankan sebagai otivasi dalam
berkeluarga sehingga pondasi rumah tangga menjadi lebih kuat.
“Allah menyukai orang orang yang berlaku adil” (QS Al mumtahanah : 8). Contohnya ialah
seseorang yang sibuk bekerja dan tidak bisa membagi waktunya dengan adil antara pekerjaan
dan keluarganya sehingga pasangan merasa kurang diperhatikan dan kurang disayangi dan
timbul talak.
“Tiap tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya”. (QS Al Mudatstsir :
38). Orang yang bertanggung jawab tentu tidak mudah mengucap talak sebab menyadari apa
yang dulu telah dijanjikan pada wali yang dinikahinya sehingga harus menyadari tentang
tanggung jawab sebagai suami dan istri.
12. Emosi
Emosi membuat seseorang hilang kendali karena berada dalam lingkup hawa nafsu dan
dikuasai syetan sehingga dapat menyebabkan talak. Seharusnya setiap pasangan mampu
menjaga emosinya masing masing dan selalu ingat kebaikan pasangan sehingga dapat
mengontrol diri sendiri.
“Koreksilah diri kalian sebelum kalian dihisab dan berhiaslah (dengan amal shalih)” (HR
Tirmidzi). Sebelum memandang buruk memang harus memandang diri terlebih dahulu, begitu
pula dalam kehidupan rumah tangga, jika selalu menyalahkan pasangan dan tidak instropeksi,
hal itu dapat menyebabkan talak.
Suami istri harus paham bahwa tiap orang bisa berbuat kesalahan karena manusia memang
makhluk yang tidak sempurna, jika memiliki rasa maaf dalam hati yang kurang, salah satu pihak
akan terus mengingat kesalahan pasangannya sehingga mudah terjadi talak.
“Yang paling baik dantara kalian adalah yang paling baik kepada istri nya”. (HR Turmudzi). Hal
inilah yang sering menjadi alasan timbulnya talak, yakni karena merasa dikhianati. Kesetiaan
adalah hal yang utama dalam berkeluarga, jika rasa setia sangat sedikit, maka hasilnya akan
timbul talak dan penyesalan di belakang.
Padahal seseorang yang menggoda dari lingkungan luar sebenarnya hanyalah menginginkan
kesenangan belaka yang nantinya akan ditinggalkan jika orang tersebut sudah mendapatkan
kesenangan yang diinginkannya. Wajib untuk memahami hal tersebut, bagaimanapun juga
pasangan adalah seseorang yang mendampingi di kala susah dan senag, hal itu harus selalu
diingat sehingga tidak meyebabkan talak.
“Dan carilah apa yang telah ditetapkan Allah untuk kamu yaitu anak”. (Al Baqarah : 187). Dalam
kehidupan pernikahan tentu selalu menginginkan adanya anak sebagai buah dari perkawinan
dan untuk melanjutkan generasi. Jika terjadi masalah dimana memang takdir dari Allah bahwa
seorang pasangan tidak memiliki anak dan rasa iman dalam diri kedua pasangan tersebut
rendah, maka hal tersebut akan menjadi penyebab talak.
Dalam hal ini seringkali pihak perempuan yang disalahkan padahal sesungguhnya ada dan
tidaknya anak adalah hak Allah yang manusia tidak bisa menentukan seenaknya. Menyalahkan
perempuan berarti sama saja dengan menyalahkan Allah dan hal tersebut laknatnya sangatlah
besar serta keji.
“Malu dan iman keduanya sejajar bersama. Ketika salah satu dari keduanya diangkat, maka
yang lain pun terangkat”. (HRHakim dari Ibu Umar). Sebagai umat mukmin tentu harusnya
merasa malu jika melakukan talak karena dulu telah mengikat janji setia disaksikan oleh agama.
Apakah tidak malu jika mengingat janji janjinya dulu ketika menikah? Rendahnya rasa malu
karena menuruti rasa egois menjadi penyebab talak dalam islam.
Demikian artikel kali ini, sekarang anda sudah memahami berbagai hal yang dapat
menyebabkan talak bukan? segera lakukan perbaikan dan peningkatan kualitas hubungan
mulai dari diri kita sendiri agar terhindar dari perbuatan yang tidak disukai Allah ini. semoga kita
semua senantiasa bisa berkasih sayang dengan suami atau istri kita tercinta sebagai jalan
ibadah kepadaNya dan bisa bersama dalam kedamaian hingga di akherat nanti. Terima kasih
sudah membaca. Salam hangat dari penulis.
K. Rujuk
Rujuk adalah bersatunya kembali sepasang suami dan istri dalam ikatan pernikahan setelah
terjadinya talak raj'i (di antara talak satu dan talak dua), dan sebelum habis masa iddah (masa
saat istri menunggu setelah diceraikan oleh suaminya).
Jika seorang suami memutuskan untuk rujuk dengan istrinya, keduanya nggak perlu
melangsungkan akad nikah. Sebab, akad nikah yang keduanya miliki belum sepenuhnya putus.
Namun, ada beberapa cara dan syarat yang perlu diperhatikan. Namun sebelum itu, perhatikan
dasar hukum rujuk terlebih dahulu.
M. Handhanah
Pengertian secara syara' hadhanah artinya pemeliharaan anak bagi orang yang berhak
untuk memeliharanya. Bisa juga diartikan memelihara atau menjaga orang yang tidak mampu
mengurus kebutuhannya sendiri kerena tidak mumayyiz seperti anak-anak, orang dewasa tetapi
gila.
N. Iddah
Iddah (Arab: " ;عدةwaktu menunggu") di dalam agama Islam adalah sebuah masa di mana
seorang perempuan yang telah diceraikan oleh suaminya, baik diceraikan karena suaminya
mati atau karena dicerai ketika suaminya hidup, untuk menunggu dan menahan diri dari
menikahi laki-laki lain.[1][2] Tujuannya adalah untuk menjaga hubungan darah suaminya.
Dikhawatirkan, seorang wanita sedang mengandung saat akan menikah lagi sehingga anaknya
menjadi anak pria yang dia nikahi.
Seorang perempuan yang sedang dalam masa iddah disebut mu’taddah.[4] Iddah sendiri
menjadi 2, yaitu perempuan yang ditinggal mati oleh suaminya (mutawaffa ‘anha) dan
perempuan yang tidak ditinggal mati oleh suaminya (ghair mutawaffa ‘anha).
1. Zhihar
Adalah Menyamakan tubuh istri ini dikenal dengan sebutan zihar. Secara bahasa, zihar
berarti punggung. Sedangkan menurut istilah, zihar adalah saat seorang suami menyamakan
tubuh istri dengan ibunya terlebih saat berhubungan badan.
2. Qadaf
Qadzaf adalah menuduh orang lain berbuat zina, baik tuduhan itu melalui pernyataan yang
jelas maupun menyatakan anak seseorang bukan keturunan ayahnya. Perbuatan ini termasuk
dosa besar.
3. Khulu
Khulu secara etimologi berarti “melepaskan”. Sedangkan menurut istilah di dalam ilmu fiqih,
khulu adalah permintaan cerai yang diminta oleh istri kepada suaminya dengan memberikan
uang atau lain-lain kepada sang suami, agar ia menceraikannya.
4. Fasyakh
disimpulkan fasyakh adalah bentuk perceraian yang disebabkan adanya cacat atau rusaknya
perkawinan baik karena kurang syarat atau rukun yang terjadi pada saat akad perkawinan
ataupun setelah perkawinan itu berlangsung.
(1) Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan
belas) tahun.
(2) Dalam hal terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi
kepada Pengadilan dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang
cukup.
(3) Pemberian dispensasi oleh Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib
mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan.
(4) Ketentuan-ketentuan mengenai keadaan seorang atau kedua orang tua calon mempelai
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) dan ayat (4) berlaku juga ketentuan mengenai
permintaan dispensasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan tidak mengurangi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (6)."