Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH

MULTIPLE TRAUMA

Disusun Oleh :

FITRIN ANINDA RANI

071201073

PROGRAM STUDI PROFESI NERS

FAKULTAS KESEHATAN

UNIVERSITAS NGUDI WALUYO

2021
A. Definisi
Multiple trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera.
Definisi ini memberikan gambaran superficial dari respon fisik terhadap
cedera, trauma juga mempunyai dampak psikologis dan sosial. Pada
kenyataannya trauma adalah kejadian yang bersifat holistik dan dapat
menyebabkan hilangnya produktifitas seseorang.
Multiple trauma dapat didefinisikan sebagai cedera pada minimal dua
sistem organ yang menyebabkan kondisi yang mengancam jiwa. Secara
khusus, Multiple Trauma adalah suatu sindrom dari cedera multiple dengan
derajat keparahan yang cukup tinggi dengan Injury Severity Score (ISS) > 16
yang disertai dengan reaksi sistemik akibat trauma yang kemudian
menimbulkan terjadinya disfungsi atau kegagalan dari organ yang letaknya
jauh dan sistem organ yang vital yang tidak mengalami cedera akibat trauma
secara langsung.
Trauma didefinisikan oleh American Heritage Dictionary sebagai luka,
terutama luka yang diakibatkan oleh cedera fisik mendadak. Trauma dengan
kata lain disebut injury atau wound dapat diartikan sebagai kerusakan atau
luka yang biasanya disebabkan oleh tindakan-tindakan fisik sehingga
mengakibatkan terputusnya kontinuitas normal atau struktur. Trauma adalah
salah satu penyebab utama cedera kritis yang sangat buruk.
B. Anatomi Dan Fisiologi
1. Anatomi Tulang
Tulang terdiri dari sel-sel yang berada pada intra-seluler. Tulang
berasal dari embrionic hyaline cartilage yang mana melalui proses
“Osteogenesis” menjadi tulang. Proses ini dilakukan oleh sel-sel yang
disebut “Osteoblast”. Proses mengerasnya tulang akibat penimbunan
garam kalsium. Ada 206 tulang dalam tubuh manusia, Tulang dapat
diklasifikasikan dalam enam kelompok berdasarkan bentuknya : (Arif
Muttaqin, 2008)
a. Tulang panjang (long bone), misalnya femur, tibia, fibula, ulna, dan
humerus. Daerah batas disebut diafisi dan daerah yang berdekatan
dengan garis epifisis disebut metafasis. Di daerah ini sangat sering
ditemukan adanya kelainan atau penyakit karena daerah ini merupakan
daerah metabolik yang aktif dan banyak mengandung pembuluh darah.
Kerusakan tau kelainan perkembangan pada daerah lempeng epifisis
akan menyebabkan kelainan pertumbuhan tulang.
b. Tulang pendek (short bone) bentuknya tidak teratur dan inti dari
cancellous (spongy) dengan suatu lapisan luar dari tulang yang padat,
misalnya tulang-tulang karpal.
c. Tulang sutura (sutural bone) terdiri atas dua lapisan tulang padat
dengan lapisan luar adalah tulang concellous, misalnya tulang
tengkorak.
d. Tulang tidak beraturan (irreguler bone) sama seperti dengan tulang
pendek misalnya tulang vertebrata
e. Tulang sesamoid merupakan tulang kecil, yang terletak di sekitar
tulang yang berdekatan dengan persediaan dan didukung oleh tendon
dan jaringan fasial, misalnya patella.
f. Tulang pipih (flat bone), misalnya parietal, iga, skapula dan pelvis.
2. Fisiologi Tulang
Fungsi tulang adalah sebagai berikut :
a. Mendukung jaringan tubuh dan memberikan bentuk tubuh.
b. Melindungi organ tubuh (misalnya jantung, otak, dan paru-paru) dan
jaringan lunak.
c. Memberikan pergerakan (otot yang berhubungan dengan kontraksi dan
pergerakan).
d. Membentuk sel-sel darah merah didalam sum-sum tulang belakang
(hema topoiesis).
e. Menyimpan garam mineral, misalnya kalsium, fosfor.

Komponen utama jaringan tulang adalah mineral dan jaringan organik


(kolagen dan proteoglikan). Kalsium dan fosfat membentuk suatu kristal
garam (hidroksiapatit), yang tertimbun pada matriks kolagen dan
proteoglikan. Matriks organik disebut juga osteoid. Sekitar 70% dari
osteoid adalah kolagen tipe I yang kaku dan memberi tinggi pada tulang.
Materi organ laen yang juga menyusun tulang berupa proteoglikan.

C. Etiologi
Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau peluru.
Luka tusuk dan luka tembak pada suatu rongga dapat di kelompokkan dalam
kategori luka tembus. Untuk mengetahui bagian tubuh yang terkena, organ apa
yang cedera, dan bagaimana derajat kerusakannya, perlu diketahui biomekanik
terutama cedera pada trauma dapat terjadi akibat tenaga dari luar berupa
benturan, perlambatan (deselerasi), dan kompresi, baik oleh benda
tajam, benda tumpul, peluru, ledakan, panas, maupun zat kimia. Akibat cedera
ini dapat menyebabkan cedera muskuloskeletal ,dan kerusakan organ. Respon
metabolik pada trauma dapat dibagi dalam tiga fase yaitu :
1. Fase pertama 
Berlangsung beberapa jam setelah terjadinya trauma. Dalam fase ini akan
terjadi kembalinya volume sirkulasi, perfusi jaringan, dan hiperglikemia.
2. Fase kedua
Terjadi katabolisme menyeluruh, dengan imbang nitrogen yang negative,
hiperglikemia, dan produksi panas. Fase ini yang terjadi setelah
tercapainya perfusi jaringan dengan baik dapat berlangsung dari beberapa
hari sampai beberapa minggu, tergantung beratnya trauma, keadaan
kesehatan sebelum terjadi trauma, dan tindakan pertolongan medisnya.
3. Fase ketiga 
Terjadi anabolisme yaitu penumpukan kembali protein dan lemak badan y
ang terjadi setelah kekurangan cairan dan infeksi teratasi. Rasa nyeri
hilang dan oksigenasi jaringan secara keseluruhan sudah teratasi. Fase ini
merupakan proses yang lama tetapi progresif dan biasanya lebih lama dari
fase katabolisme karena sintesis protein hanya bisa mencapai 35 gr /hari.
D. Klasifikasi
Berdasarkan mekanismenya, yaitu :
1. Trauma tumpul
a. Biasanya disebabkan karena kecelakaan kendaraan bermotor
b. Faktor lainnya seperti jatuh dan trauma secara mendadak
c. Hasil dari crush injury dan trauma deselerasi mengenai organ padat
(karena perdarahan) atau usus (karena perforasi dan peritonitis)
d. Limfe dan hati adalah organ yang paling sering dilibatkan
2. Trauma tajam
a. Biasanya disebabkan karena tusukan, tikaman atau tembakan senapan
b. Mungkin dihubungkan dengan dada, diafragma dan cedera pada
system retroperitoneal
c. Hati dan usus kecil adalah organ yang paling sering mengalami
kerusakan
d. Luka tusukan mungkin akan menembus dinding peritoneum dan sering
kali merusak secara konservatif, bagaimana pun luka akibat tembakan
senapan selalu membutuhkan pembedahan dan penyelidikan lebih
awal untuk mengendalikan cedera intraperitoneal.
3. Trauma Torakik
Kurang lebih 25% dari kematian karena trauma adalah karena cedera
torakik. Banyak cedera toraks yang secara potensial mengancam jiwa,
misalnya tension atau pneumotoraks terbuka, hemotoraks massif, iga
melayang (flail chest) dan tamponade jantung, dapat ditangani secara cepat
dan mudah, seringkali tanpa operasi besar. Jika tidak ditangani, maka akan
mengancam nyawa.
Berdasarkan Penilaiaan :
Sistem penilaian trauma AIS

Sko Deskripsi
r
0 Tidak ada Cedera
1 Cedera Minor
2 Cedera Sedang
3 Cedera Serius Tidak Mengancam Nyawa
4 Cedera Berat, survival expected
5 Cedera Kritis, survival oubtful
6 Cedera Fatal

Hubungan nilai ISS dengan angka mortalitas

Skor % Mortalitas
0-8 5%
9-15 8%
16-24 17%
25-40 64%
41-66 88%
Sistem penilaian anatomis yang sering digunakan adalah Injury
Severity Score (ISS) yang diturunkan dari AIS (Abbreviated Injury Scale).
AIS dikembangkan untuk mengukur trauma kecelakaan kendaraan
bermotor dan telah mengalami beberapa perubahan. AIS adalah sistem
pengkodean menyeluruh untuk cedera semua tipe di setiap bagian tubuh,
dengan deskripsi karakteristik setiap tingkat keparahan dari 0 (tidak ada
cedera) sampai 6 (cedera yang tidak dapat diselamatkan).

Penilaian AIS bersifat subjektif. Cedera sedang oleh satu pemeriksa


dapat dianggap cedera serius oleh pemeriksa lain. ISS merangkum tingkat
keparahan kondisi pasien yang mempunyai beberapa cedera. Tubuh dibagi
menjadi enam area : kepala dan leher, toraks, abdomen (termasuk organ
pelvis), alat gerak (termasuk tulang pelvis), dan permukaan tubuh. AIS
setiap cedera dicatat, dan cedera yang mempunyai nilai tertinggi di setiap
area diutamakan. ISS adalah penjumlahan kuadrat tiga nilai AIS tertinggi
di setiap tiga area tubuh yang mendapat cedera paling berat. Nilai AIS 6
setara dengan nilai ISS 75.

Rumus : ISS = a2+b2+c2

ISS dibagi menjadi 6 area, yaitu kepala dan leher, toraks, abdomen
(termasuk organ pelvis), alat gerak (termasuk tulang pelvis), dan
permukaan tubuh. Pada pasien ini, ISS mengambil area: 1. Toraks (pada
contoh terdapat 2 cedera: perforasi paru (nilai 4) dan hemopneumotoraks
bilateral (nilai 3). Nilai yang diambil adalah yang paling tinggi 42 =16) 2.
Abdomen (pada contoh terdapat 3 cedera: perforasi diafragma (nilai 3),
laserasi hepar (nilai 3), dan laserasi duodenum (nilai 2). Nilai yang diambil
adalah nilai yang paling tinggi di antara ketiganya -> 32 =9) 3. Ekstremitas
(pada contoh hanya cedera pada paha, bernilai 1 1 2 =1) Dengan demikian,
total ISS adalah 16+9+1=26.

E. Patofisiologi
Trauma pada tulang dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan
ketidakseimbangan, fraktur terjadi dapat berupa fraktur tertutup atau terbuka.
Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan lunak sedangkan fraktur
terbuka disertai dengan kerusakan jaringan lunak seperti otot, tendon, ligamen
dan pembuluh darah.
Tekanan yang kuat dapat terjadi multiple fraktur terbuka karena fragmen
tulang keluar menembus kulit dan menjadi luka terbuka serta peradangan yang
dapat memungkinkan infeksi, keluarnya darah dapat mempercepat
perkembangan bakteri. Tertariknya segmen karena kejang otot pada area
fraktur sehingga disposisi tulang. Multiple fraktur terjadi jika tulang
dikarnakan oleh stres yang lebih besar dari yang dapat di absorbsinya.
Multiple fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk,
gerakan puntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrim. Meskipun tulang
patah jaringan disekitarnya akan terpengaruh mengakibatkan edema jaringan
lunak, perdarahan keotot dan sendi, ruptur tendo, kerusakan saraf dan
kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cidera akibat gaya
yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang.
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya
pegas untuk menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar
dari yang dapat diserap tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang
mengakibatkan rusaknya atau terputusnya kontinuitas tulang. Setelah terjadi
multiple fraktur, pembuluh darah serta saraf dalam korteks, marrow, dan
jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang.
Jaringan tulang segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang
mengalami nekrosis ini menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang
ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma dan leukosit, dan infiltrasi sel
darah putih. Kejadian inilah yang merupakan dasar dari proses penyembuhan
tulang nantinya.
F. Pathway
G. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis dari multiple trauma yaitu :
1. Laserisasi, memar, ekimosis
2. Hipotensi
3. Tidak adanya bising Usus
4. Hemoperitonium
5. Mual Dan Muntah
6. Nyeri
7. Pendarahan
8. Penurunan Kesadaran
9. Sesak
10. Tanda KHRS adalah nyeri disebelah kiri diakibatkan oleh pendarahan
linfa. Tanda ini ada pada pasien recumbent.
11. Tanda Cullent aalah ekimosis perimbulikal pada pendarahan peitoneal
12. Tanda Grey-tuner adalah eksimosis pada sisi tubuh pada pendarahan
retropenitoneal
13. Tanda coopernail adalah eksinosis pada perinium,skrotum atau labia pada
fraktur pelvis
14. Tanda balance adalah daerah suara tumpul pada kuadran kiri atas ketika
dilakukan pada perkusi di hematoma limfe

H. Pemeriksaan Penunjang
1. Radiologi
a. Pemeriksaan X-Ray untuk screening trauma tumpul
b. Rontgen untuk screening adalah Ro-foto cervical lateral, Thorax AP
dan pelvis AP dilakukan pada pasien trauma tumpul dengan
multitrauma. Rontgen foto abdomen tiga aposisi (terlentang,
setengah tegak dan lateral decubitus) berguna untuk melihat
adanya udara bebas dibawah diafragma ataupun udara di luar lumen
di retroperitoneum, yang kalau ada pada keduanya menjadi petunjuk
untuk dilakukan laparatomi. Hilangnya bayangan psoas menunjukkan
kemungkinan cedera retroperitoneal
2. Pemerikasaan X-Ray
Untuk screening trauma tajam. Pasien luka tusuk dengan hemodinamik
yang abnormal tidak memerlukan pemeriksaan X-Ray pada pasien
luka tusuk diatas umbilicus atau dicurigai dengan cedera thoraco
abdominal dengan hemodinamik yang abnormal, rontgen foto thorax tegak
bermanfaat untuk menyingkirkan kemungkinan hemo atau
pneumothorax, ataupun untuk dokumentasi adanya udara bebas
intraperitoneal. Pada pasien yang hemodinamiknya normal, pemasangan
klip pada luka masuk maupun keluar dari suatu luka tembak dapat
memperlihatkan jalannya peluru maupun adanya udara retroperitoneal
pada rontgen foto abdomen tidur.
3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan darah lengkap untuk mencari kelainan pada darah itu
sendiri
b. Penurunan hematokrit/hemoglobin
c. Peningkatan Enzim hati: Alkaline fosfat, SGPT, SGOT
d. Koagulasi : PT, PTT
4. MRI
5. Angiografi untuk kemungkinan kerusakan vena hepatic
6. CT Scan
7. Radiograf dada mengindikasikan peningkatan diafragma, kemungkinan
pneumothorax atau fraktur tulang rusuk VIII-X
8. Scan limfa
9. Ultrasonogram
10. Peningkatan serum atau amylase urinek
11. Peningkatan glucose serum
12. Peningkatan lipase serum
13. DPL (+) untuk amylasen
14. Peningkatan WBC
15. Peningkatan amylase serum
16. Elektrolit serum
17. AGD

I. Penatalaksanaan
1. Primary Survey
Untuk menilai kerusakan atau perbaikan :
a. A (Airway) dan kontrol tulang belakang leher 
Kaji apakah pasien dapat bicara dengan bebas. Ada 2 teknik dalam
airway yaitu manual (in line) dan cervical collar. Penatalaksanaan
airway manual yaitu dengan chin lift/jaw thrust : lidah jatuh ke
belakang. Sedangkan penatalaksanaan airway cervical collar yaitu
dengan suction/hisap, guedel airway/nasopharingeal airway, intubasi
trakhea dengan leher ditahan (imobilisasi) pada posisi netral.
b. B (Breathing) : Look, listen, feel : untuk menilai pernapasan cukup
1) Raba trakhea supra sternal untuk mendeteksi penyimpangan yang
disebabkan oleh tension pneumothorax
2) Lakukan dada percussed untuk mengetahui hiperesonansi pada
tension pneumothorax/hemothorax.
3) Jika tidak memadai maka lakukan:
a) Dekompresi rongga pleura (pneumothorax)  
b) Tutup luka robek pada dinding dada jika ada
c) Bantu dengan napas buatan
d) Beri O2 bila ada
c. C (Circulation) : Nilai peredaran darah
1) Mencari sumber perdarahan yang berfungsi untuk mengontrol
perdarahan
2) Pengkajian tanda syok (pucat, penurunan tingkat kesadaran)
3) Auskultasi jantung untuk mendeteksi jantung tamponade
4) Raba keringat dan kulit untuk menilai perfusi
5) Raba nadi perifer dan sentral untuk mendeteksi takikardi
6) Bila tidak memadai maka lakukan:
a) Hentikan perdarahan eksternal  
b) Segera pasang dua jalur infus dengan jarum besar (14-16 G)
c) Berikan infus cairan
d. D (Disability/Tingkat Kesadaran)
Tingkat kesadaran adalah ukuran dari kesadaran dan respon seseorang
terhadap rangsangan dari lingkungan, tingkat kesadaran dibedakan
menjadi :
1) Compos Mentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya.
2) Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
3) Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
4) Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat
pulih bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur
lagi, mampu memberi jawaban verbal.
5) Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi
ada respon terhadap nyeri.
6) Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun
reflek muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap
cahaya).
Tingkat kesadaran ini bisa dijadikan salah satu bagian dari vital sign.
GCS (Glasgow Coma Scale) yaitu skala yang digunakan untuk menilai
tingkat kesadaran pasien, (apakah pasien dalam kondisi koma atau
tidak) dengan menilai respon pasien terhadap rangsangan yang
diberikan.
Tabel Glassglow Coma Scale (GCS)
Jenis Pemeriksaan Nilai
Respon buka mata (Eye opening/E)
1. Spontan 4
2. Terhadap suara 3
3. Terhadap nyeri 2
4. Tidak ada respon 1
Respon motorik (M)
1. Ikut perintah 6
2. Melokalisir nyeri 5
3. Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang) 4
4. Fleksi abnormal (dekortikasi) 3
5. Ekstensi abnormal (deserebrasi) 2
6. Tidak ada respon (flasib) 1
Respon verbal (V)
1. Berorientasi baik 5
2. Berbicara mengacau (bingung) 4
3. Kata-kata tidak teratur 3
4. Suara tidak jelas 2
5. Tidak ada respon 1

e. E (Exposure / control pada kasus trauma, dengan membuka pakaian


pasien tetapi cegah hipotermi)
2. Secondary Survey
Pemeriksaan rinci evaluasi head to toe, untuk mengidentifikasi semua
cedera yang tidak dijumpai di primary survey. Komponennya meliputi:
a. Riwayat cedera
b. Pemeriksaan fisik 
c. Pemeriksaan neurologis
d. Tes diagnostik lebih lanjut
e. Evaluasi ulang
3. Penatalaksanaan kedaruratan
Klien dengan fraktur, penting untuk mengimobilisasi bagian tubuh yang
terkena segera sebelum klien dipindahkan. Daerah yang patah harus di
sangga diatas dan dibawah tempat patah untuk mencegah gerakan rotasi.
Immobilisasi tulang panjang ekstremitas bawah dapat juga dilakukan
dengan membebat kedua tungkai bersama. Pada cidera ekstremitas atas
lengan dapat dibebatkan ke dada. Peredaran di distal cidera harus dikaji
untuk menentukan kecukupan perfusi jaringan perifer. Luka ditutup
dengan kasa steril.

J. Macam – Macam Trauma


1. Cerebral Contusio
Cerebral Contusio adalah luka memar pada otak akibat tubrukan
impact terhadap kepada atau pada suatu trauma akselerasi atau deselerasi.
Cerebral contusio merupakan salah satu bentuk trauma kepala tertutup.
Cerebral contusio terjadi ketika lebih dari 10 menit, nyeri kepala,
gangguan kesadaran (apatis), delirium sampai koma, defisit neurologis.
Kerusakan jaringan otak tanpa disertai robeknya piameter. Kerusakan
tersebut berupa gabungan antara daerah perdarahan (kerusakan pembuluh
darah kecil : kapler, vena, arteri), nekrosis otak, infark, laserasi. Cedera
kepala berat dimana otak mengalami memar dengan kemungkinan adanya
darah hemoragi
a. Tanda dan gejala :
 Gangguan kesadaran lebih lama
 Kelainan neurologik positif 
 Reflek patologik positif
 Lumpuh
 Konvulsif
 TIK meningkat
 Amnesia retnograd lebih nyata
 Ada defisit memori dan neurologis
 Bila jaringan otak yang memar luas maka bisa terjadi peninggian
ICP.
b. Ciri khas dari cerebral contusio :
 Pasien terbaring kehilangan gerakan
 Denyut nadi lemah
 Pernapasan dangkal
 Kulit dingin dan pucat
 Pasien bangun tapi akan kembali tidak sadar
 Cedera otak sedang dan berat
 Ada memar otak
 Perdarahan kecil/lokal
2. Flail Chest
Flail Chest adalah suatu kondisi medis dimana kosta - kosta yang
berdekatan patah baik unilateral maupun bilateral dan terjadi pada daerah
kostakondrial. Angka kejadian dari flail chest sekitar 5%, dan kecelakaan
lalu lintas menjadi penyebab yang paling sering. Diagnosis flail chest
didapatkan berdasarkan pemeriksaan fisik, foto Toraks, dan CT scan
Toraks (Wanek & Mayberry, 2004; Milisavljevic, et al., 2012; Lugo, et al.,
2015).
Kegagalan pernafasan pada flail chest disebabkan oleh ventilasi yang
tidak efisien karena dinding dada yang paradoks gerak serta terjadinya
komplikasi dihasilkan dari flail chest, memar paru, dan atelectasis
(Davignon & Kwo 2004, Gabram et al. 1995).

Tanda dan gejala mayor :

 Nyeri saat respirasi


 Adanya akumulasi sekret
 Ventilasi paradoxal

Tanda dan gejala minor :


 Distress pernafasan
 Takipnea
 Penurunan saturasi O2
 Hipoxia
 Asidosis respiratorik
 Takikardi
 Sianosis
 Crepitus
Pemeriksaan Primary Survei :
a. Airway
Observasi adanya destruksi jalan nafas total/parsial dan harus
dibebaskan
b. Breathing
Auskultasi adanya silent chest stridor dan distress pernafasan, berikan
O2 dengan tekanan tinggi 15 L/m via mask dan non reabrether mask.
Jika dibutuhkan dapat dilakukan endotracheal intubasi agar kebutuhan
oksigen dapat terpenuhi.
c. Circulation
Observasi nadi, kualitas, jumlah, dan irama. Observasi warna kulit
apakah ada sianosis atau tidak, CRT >3 detik atau tidak suhu tubuh,
dan blood pressure (tekanan darah).
d. Disability
Kaji tingkat kesadaran, GCS, respon pupil, mengkaji tingkat
kesadaran, sebagai ukuran oksigenasi pada organ dan perfusi.
Pemerikasaan Secondary Mencatat anamnesis yang memadai dari
pasien, orang yang berada di dekatnya atau dari penolong gawat
darurat dari kejadian dengan metode AMPEL (Alergi, Medication,
Past medical history including tetanus status, Events leading injury,
Last meat).
Pemeriksaan fisik yang hars dilakukan :
a. Kepala dan maksilofacial
b. Vertebra servical dan lebar 
c. Thorax
d. Abdomen
e. Perineum
f. Muskuloskeletal
g. Neurologis
h. Reevaluasi

3. Minor Contusio of liver 


Contusio hepar adalah robeknya atau putusnya otot pada hepar yang
diakibatkan karena trauma karena terjadi pada perut otot atau pada
sambungan muskulotendineus yang bisa terjadi secara langsung ataupun
tidak langsung .
a. Tanda dan gejala :
 Iritasi peritonium
 Nyeri pada epigastrium kanan
 Mual muntah
 Syok
b. Ciri Khusus :
 Nyeri abdomen
 Distensi
 Memar pada kuadran atas kanan dan ketiakstabilan hemodinamik 
akibat syok hemorhagic
 Kemungkinan ada patah pada tulang rusuk kanan bawah.

4. Fraktur Femur 
Fraktur femur adalah terputusnya continuitas batang femur yang bisa
terjadi akibat trauma langsung (kecelakaan lalu lintas, jatuh dari
ketinggian). Patah pada daerah ini dapat menyebabkan perdarahan yang
cukup  banyak mengakibatkan penderita jatuh dalam syok. Fraktur femur
dapat kehilangan darah hingga 1000 cc.
a. Tanda dan gejala fraktur femur :
 Nyeri dan kemerahan
 Pembengkakan
 Deformitas
 Krepitasi
 Keterbatasan gerak sendi
 Bone expos
 Perubahan posisi
b. Pengkajian sistem muskuloskeletal
1) Status lokalis : pemeriksaan dilakukan
2) Secara sistematis : Inspeksi (look), palpasi (feel), kekuatan otot
(power), pergerakan (move)

K. Komplikasi
Komplikasi fraktur meliputi :
1. Komplikasi Awal
a. Kerusakan Arteri
Pecahnya arteri karena trauma bisa ditandai dengan tidak adanya nadi,
cyanosis bagian distal, hematoma yang lebar, dan dingin pada
ekstrimitas yang disebabkan oleh tindakan emergensi splinting,
perubahan posisi pada yang sakit, tindakan reduksi, dan pembedahan.
b. Kompartement Syndrom
Kompartement Syndrom merupakan komplikasi serius yang terjadi
karena terjebaknya otot, tulang, saraf, dan pembuluh darah dalam
jaringan parut. Ini disebabkan oleh oedema atau perdarahan yang
menekan otot, saraf, dan pembuluh darah. Selain itu karena tekanan
dari luar seperti gips dan pembebatan yang terlalu kuat.
c. Fat Embolism Syndrom
Fat Embolism Syndrom (FES) adalah komplikasi serius yang sering
terjadi pada kasus fraktur tulang panjang. FES terjadi karena sel-sel
lemak yang dihasilkan bone marrow kuning masuk ke aliran darah dan
menyebabkan tingkat oksigen dalam darah rendah yang ditandai
dengan gangguan pernafasan, tachykardi, hypertensi, tachypnea,
demam.
d. Infeksi
System pertahanan tubuh rusak bila ada trauma pada jaringan. Pada
trauma orthopedic infeksi dimulai pada kulit (superficial) dan masuk
ke dalam. Ini biasanya terjadi pada kasus fraktur terbuka, tapi bisa juga
karena penggunaan bahan lain dalam pembedahan seperti pin dan plat.
e. Avaskuler Nekrosis
Avaskuler Nekrosis (AVN) terjadi karena aliran darah ke tulang rusak
atau terganggu yang bisa menyebabkan nekrosis tulang dan diawali
dengan adanya Volkman’s Ischemia.
f. Shock
Shock terjadi karena kehilangan banyak darah dan meningkatnya
permeabilitas kapiler yang bisa menyebabkan menurunnya oksigenasi.
Ini biasanya terjadi pada fraktur.
2. Komplikasi Dalam Waktu Lama
a. Delayed Union
Delayed Union merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi sesuai
dengan waktu yang dibutuhkan tulang untuk menyambung. Ini
disebabkan karena penurunan suplai darah ke tulang.
b. Nonunion
Nonunion merupakan kegagalan fraktur berkonsolidasi dan
memproduksi sambungan yang lengkap, kuat, dan stabil setelah 6-9
bulan. Nonunion ditandai dengan adanya pergerakan yang berlebih
pada sisi fraktur yang membentuk sendi palsu atau pseudoarthrosis. Ini
juga disebabkan karena aliran darah yang kurang.
c. Malunion
Malunion merupakan penyembuhan tulang ditandai dengan
meningkatnya tingkat kekuatan dan perubahan bentuk (deformitas).
Malunion dilakukan dengan pembedahan dan reimobilisasi yang baik.

L. Fokus Pengkajian
1. Anamnesa
a. Identitas Klien
Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang
dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan
darah, no. register, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa medis.
b. Keluhan Utama
Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri.
Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan.
Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien
digunakan:
1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi faktor
memperberat dan faktor yang memperingan/ mengurangi nyeri
2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau
digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau
menusuk.
3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa
sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.
4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan
klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan
seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya.
5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah
buruk pada malam hari atau siang hari.

c. Riwayat Penyakit Sekarang


Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari
fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan
terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut
sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian
tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme
terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan
memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung.
Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang yang menyebabkan
fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu,
penyakit diabetes dengan luka di kaki sangat beresiko terjadinya
osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat
proses penyembuhan tulang
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang
merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti
diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan,
dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik
f. Riwayat Psikososial
Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya
dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau
pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga
ataupun dalam masyarakat
g. Pola-Pola Fungsi Kesehatan
1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat
Pada kasus fraktur akan timbul ketidakadekuatan akan terjadinya
kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan
kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu,
pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan
obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium,
pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu keseimbangannya
dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak
2) Pola Nutrisi dan Metabolisme
Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan
sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya
untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap
pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah
muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang
tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar
matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah
muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga
menghambat degenerasi dan mobilitas klien.
3) Pola Eliminasi
Untuk kasus multiple fraktur, misalnya fraktur humerus dan fraktur
tibia tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu
perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada
pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji
frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola
ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.
4) Pola Tidur dan Istirahat
Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga
hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain
itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana
lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan
obat tidur.
5) Pola Aktivitas
Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk
kegiatan klien, seperti memenuhi kebutuhan sehari hari menjadi
berkurang. Misalnya makan, mandi, berjalan sehingga kebutuhan
klien perlu banyak dibantu oleh orang lain.
6) Pola Hubungan dan Peran
Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam
masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap, klien
biasanya merasa rendah diri terhadap perubahan dalam
penampilan, klien mengalami emosi yang tidak stabil.
7) Pola Persepsi dan Konsep Diri
Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan
akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa
ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan
gangguan citra diri.
8) Pola Sensori dan Kognitif
Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian
distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan.
begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu
juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.
9) Pola Reproduksi Seksual
Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan
hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan
keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien.
10) Pola Penanggulangan Stress
Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu
ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya.
Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif
11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan
Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah
dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa
disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien.
2. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum:
1) Kesadaran klien
- Composmentis: berorientasi segera dengan orientasi sempurna
- Apatis : terlihat mengantuk tetapi mudah dibangunkan dan
pemeriksaan penglihatan , pendengaran dan perabaan normal
- Sopor: dapat dibangunkan bila dirangsang dengan kasar dan
terus menerus
- Koma: tidak ada respon terhadap rangsangan
- Somnolen: dapat dibangunkan bila dirangsang dapat disuruh
dan menjawab pertanyaan, bila rangsangan berhenti penderita
tidur lagi.
2) Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat
dan pada kasus fraktur biasanya akut, spasme otot, dan hilang rasa.

3) Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi


maupun bentuk.

4) Neurosensori, seperti kesemutan, kelemahan, dan deformitas.

5) Sirkulasi, seperti hipertensi (kadang terlihat sebagai respon


nyeri/ansietas), hipotensi ( respon terhadap kehilangan darah),
penurunan nadi pada bagian distal yang cidera, capilary refil
melambat, pucat pada bagian yang terkena, dan masa hematoma
pada sisi cedera.

b. Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah sebagai berikut :

1) Look (inspeksi)

a) Sikatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan


seperti bekas operasi).

b) Fistula warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau


hyperpigmentasi.

c) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang


tidak biasa (abnormal)
d) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas)

e) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa)

1) Feel (palpasi)
a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban
kulit. Capillary refill time Normal (3 – 5) detik
b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau
oedema terutama disekitar persendian

c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3


proksimal, tengah, atau distal)

d) Otot: tonus pada waktu relaksasi atau kontraksi, benjolan yang


terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga
diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka
sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya,
konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya,
nyeri atau tidak, dan ukurannya.
e) Kekuatan otot : otot tidak dapat berkontraksi (1), kontraksi
sedikit dan ada tekanan waktu jatuh (2), mampu menahan
gravitasi tapi dengan sentuhan jatuh(3), kekuatan otot kurang
(4), kekuatan otot utuh (5).
2) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)
Dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat
keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu,
agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya.
Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah
pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran
metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak
(mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif
dan pasif.
1) Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera
jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.
2. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera
vaskuler, edema, pembentukan trombus)
3. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri,
terapi restriktif (imobilisasi)
4. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen,
kawat, sekrup)
5. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit,
taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)

J. Rencana Tindakan

SDKI SLKI SIKI


Nyeri Akut Tingkat Cedera (L.14136)Manajemen Nyeri (I.08238)
- Kejadian cedera Tindakan :
- Luka/lecet Observasi :
- Fraktur - Identifikasi lokasi,
- Perdarahan karakteristik, frekuensi,
- Ekspresi wajah kesakitan kualitas, intensitas nyeri
- Gangguan mobilitas - Identifikasi skala nyeri
- Tekanan darah - Identifikasi respons nyeri
- Frekuensi nadi non verbal
- Frekuensi napas - Monitor efek samping
penggunaan analgetik
Terapi :
- Berikan teknik
nonfarmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri
Kolaborasi :
- Kolaborasi menggunakan
analgetik
Risiko Disfungsi Neurovaskuler Perifer Manajemen Nyeri (I.08238)
Neurovaskuler (L.06051) Tindakan :
Perifer - Pergerakan sendi Observasi :
- Pergerakan ekstremitas - Monitor alat traksi agar
- Nyeri selalu tepat
- Perdarahan Terapi :
- Nadi - Posisikan pada
- Suhu tubuh kesejajaran tubuh yang
- Tekanan darah tepat
- Imobilisasi dan topang
bagian tubuh yang cedera
dengan tepat
- Hindari menempatkan
pada posisi yang dapat
meningkatkan nyeri
Kolaborasi :
Kolaborasi menggunakan
analgetik
Gangguan mobilitas Mobilitas Fisik (L.05042) Dukungan Mobilisasi
fisik (D.0054) Setelah dilakukan Tindakan (I.05173)
asuhan keperawatan selama Tindakan :
3x24 jam diharapkan pasien Observasi
dapat melakukan mobilitas - Identifikasi adanya nyeri
fisik secara mandiri, dengan atau keluhan fisik lainnya
kriteria hasil : - Monitor frekuensi
- Pergerakan ekstremitas jantung dan tekanan
meningkat darah sebelum memulai
- Kekuatan otot meningkat mobilisasi
- Rentang gerak (ROM) - Monitor kondisi umum
meningkat selama melakukan
- Nyeri menurun mobilisasi
- Kelemahan fisik menurun Terapeutik
- Fasilitasi aktivitas
mobilisasi dengan alat
bantu
- Fasilitasi melakukan
pergerakan, jika perlu
- Libatkan keluarga untuk
membantu pasien dalam
meningkatkan pergerakan
Edukasi
- Jelaskan tujuan dan
prosedur mobilisasi
- Ajarkan mobilisasi
sederhana yang harus
dilakukan
Gangguan integritas Integritas Kulit dan Jaringan Perawatan Integritas Kulit
kulit (D.0129) (L.14125) (I.11353)
Setelah dilakukan tindakan Tindakan :
asuhan keperawatan selama Observasi
3x24 jam diharapkan - Identifikasi penyebab
integritas kulit meningkat gangguan integritas kulit
dengan kriteria hasil : Terapeutik
- Kerusakan jaringan - Ubah posisi tiap 2 jam
menurun jika tirah baring
- Kerusakan lapisan kulit - Lakukan pemijatan pada
menurun area penonjolan tulang,
- Nyeri menurun jika perlu
- Kemerahan menurun Edukasi
- Suhu kulit membaik - Anjurkan menggunakan
- Sensasi kulit membaik pelembab (mis. Lotion,
- Tekstur membaik serum)
- Anjurkan minum air yang
cukup
- Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
Risiko infeksi Tingkat Infeksi (L.14137) Pencegahan Infeksi (I.14539)
(D.0142) Setelah dilakukan tindakan Tindakan :
asuhan keperawatan selama Observasi
3x24 jam diharapkan derajat - Monitor tanda dan gejala
infeksi menurun dengan infeksi lokal dan sistemik
kriteria hasil : Terapeutik
- Demam menurun - Berikan perawatan kulit
- Kemerahan menurun pada area edema
- Nyeri menurun - Pertahankan Teknik
- Bengkak menurun aseptik pada pasien
beresiko tinggi
Edukasi
- Jelaskan tanda dan gejala
infeksi
- Ajarkan cara memeriksa
kondisi luka atau luka
operasi
- Anjurkan meningkatkan
asupan nutrisi
- Anjurkan meningkatkan
asupan cairan

Risiko Perdarahan Tingkat Perdarahan Pencegahan Perdarahan


(D.0012)
(L.02017) (I.02067)
Setelah dilakukan Tindakan Tindakan :
asuhan keperawatan selama Observasi
3x24 jam, diharapkan tingkat - Monitor tanda dan gejala
perdarahan berkurang perdarahan
dengan kriteria hasil : - Monitor nilai
- Hemoptisis menurun hematokrit/hemoglobin
- Hematemesis menurun sebelum dan setelah
- Distensi abdomen kehilangan darah
menurun - Monitor tanda-tanda vital
- Tekanan darah membaik ortostatik
- Denyut nadi apikal Terapeutik
membaik - Pertahankan bedrest
- Suhu tubuh membaik selama perdarahan
Edukasi
- Jelaskan tanda dan gejala
perdarahan
- Anjurkan meningkatkan
asupan makanan dan
vitamin K
- Anjurkan segera melapor
jika terjadi perdarahan
Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian
obat pengontrol
perdarahan, jika perlu
- Kolaborasi pemberian
produk darah, jika perlu

Anda mungkin juga menyukai