Anda di halaman 1dari 17

Kisah Seorang Penjual Koran

Di ufuk timur, matahari belum tampak. Udara pada pagi hari terasa dingin. Alam pun masih
diselimuti embun pagi. Seorang anak mengayuh sepedanya di tengah jalan yang masih lengang.
Siapakah gerangan anak itu? Ia adalah seorang penjual Koran, yang bernama Ipiin.

Menjelang pukul lima pagi, ia telah sampai di tempat agen koran dari beberapa penerbit. “Ambil
berapa Ipiin?” tanya Bang Ipul. “Biasa saja.”jawab Ipiin. Bang Ipul mengambil sejumlah koran
dan majalah yang biasa dibawa Ipiin untuk langganannya. Setelah selesai, ia pun berangkat.

Ia mendatangi pelanggan-pelanggan setianya. Dari satu rumah ke rumah lainnya. Begitulah


pekerjaan Ipiin setiap harinya. Menyampaikan koran kepada para pelanggannya. Semua itu
dikerjakannya dengan gembira, ikhlas dan rasa penuh tanggung jawab.

Ketika Ipiin sedang mengacu sepedanya, tiba-tiba ia dikejutkan dengan sebuah benda. Benda
tersebut adalah sebuah bungkusan plastik berwarna hitam. Ipiin jadi gemetaran. Benda apakah
itu? Ia ragu-ragu dan merasa ketakutan karena akhir-akhir ini sering terjadi peledakan bom
dimana-mana. Ipiin khawatir benda itu adalah bungkusan bom. Namun pada akhirnya, ia
mencoba membuka bungkusan tersebut. Tampak di dalam bungkusan itu terdapat sebuah kardus.
“Wah, apa isinya ini?’’tanyanya dalam hati. Ipiin segera membuka bungkusan dengan hati-hati.
Alangkah terkejutnya ia, karena di dalamnya terdapat kalung emas dan perhiasan lainnya. “Wah
apa ini?”tanyanya dalam hati. “Milik siapa, ya?” Ipiin membolak-balik cincin dan kalung yang
ada di dalam kardus. Ia makin terperanjat lagi karena ada kartu kredit di dalamnya. “Lho,…ini
kan milik Pak Edison. Kasihan sekali Pak Edison , rupanya ia telah kecurian.”gumamnya dalam
hati.

Apa yang diperkirakan Ipiin itu memamg benar. Rumah Pak Edison telah kemasukan maling tadi
malam. Karena pencuri tersebut terburu-buru, bungkusan perhiasan yang telah dikumpulkannya
terjatuh. Ipiin dengan segera memberitahukan Pak Edison. Ia menceritakan apa yang terjadi dan
ia temukan. Betapa senangnya Pak Edison karena perhiasan milik istrinya telah kembali. Ia
sangat bersyukur, perhiasan itu jatuh ke tangan orang yang jujur. Sebagai ucapan terima
kasihnya, Pak Edison memberikan modal kepada Ipiin untuk membuka kios di rumahnya. Kini
Ipiin tidak lagi harus mengayuh sepedanya untuk menjajakan koran. Ia cukup menunggu pembeli
datang untuk berbelanja. Sedangkan untuk mengirim koran dan majalah kepada pelanggannya,
Ipiin digantikan oleh saudaranya yang kebetulan belum mempunyai pekerjaan. Itulah akhir dari
sebuah kejujuran yang akan mendatangkan kebahagiaan di kehidupan kelak.
Sahabat Terbaik

"Persahabatan bukan hanya sekedar kata,


yang ditulis pada sehelai kertas tak bermakna,
tapi persahabatan merupakan sebuah ikatan suci,
yang ditoreh diatas dua hati,
ditulis dengan tinta kasih sayang,
dan suatu saat akan dihapus dengan tetesan darah dan mungkin nyawa"..
***
“Key… sini dech cepetan, aku ada sesuatu buat kamu”, panggil Nayra suatu sore.
“Iya, sebentar, sabar dikit kenapa sich?, kamu kan tau aku gak bisa melihat”, jawab seorang
gadis yang dipanggil Key dari balik pintu.

Keynaya Wulandari, begitulah nama gadis tadi, meskipun lahir dengan keterbatasan fisik, dia
tidak pernah mengeluh, semangatnya menjalani bahtera hidup tak pernah padam. Lahir dengan
kondisi buta, tidak membuatnya berkecil hati, secara fisik matanya tidak bisa melihat warna-
warni dunia, tapi mata hatinya bisa melihat jauh ke dalam kehidupan seseorang. Mempunyai
hoby melukis sejak kecil, dengan keterbatasannya, Key selalu mengasah bakatnya. Tak pernah
sedikitpun dia menyerah.

Duduk di bangku kelas XII di sebuah Sekolah Luar Biasa di kotanya, Keynaya tidak pernah
absen meraih peringkat dikelas, bahkan guru-gurunya termotivasi dengan sifat pantang menyerah
Key. Sejak baru berusia 3 tahun, Keynaya sudah bersahabat dengan anak tetangganya yang
bernama Nayra Amrita, Nayra anak seorang direktur bank swasta di kota mereka. Nayra cantik,
pinter dan secara fisik Nayra kelihatan sempurna.
***
Seperti sore ini, Nayra sudah nangkring di rumah Key. Dia berbincang-bincang dengan Key,
sambil menemani sahabatnya itu melukis.
“Key, lukisan kamu bagus banget, nanti kamu ngadain pameran tunggal ya, biar semua orang tau
bakat kamu”, kata Nayra membuka pembicaraan. 

“Hah”, Key mendesah pelan lalu mulai bicara, “Seandainya aku bisa Nay, pasti sudah aku
lakukan, tapi apa daya, aku ini gak sempurna, seandainya aku mendapat donor kornea, dan aku
bisa melihat, mungkin aku bahagia dan akan mengadakan pameran lukisan-lukisanku ini” ucap
Keynaya dengan kepedihan.
“Suatu hari nanti Tuhan akan memberikan anugrahnya kepadamu, sahabat, pasti akan ada yang
mendonorkan korneanya untuk seorang anak sebaik kamu,” timpal Nayra akhirnya.
Berbeda secara fisik, tidak pernah menjadi halangan di dalam jalinan persahabatan antara Nayra
dan Keynaya, kemana pun Nayra pergi, dia selalu mengajak Key, kecuali sekolah tentunya,
karena sekolah mereka berdua kan berbeda.

Sedang asik-asiknya dua sahabat ini bersenda gurau, tiba-tiba saja Nayra mengeluh,
“aduuh, kepala ku”
“Kamu kenapa Nay, sakit??” tanya Keynaya.
“Oh, ngga aku gak apa-apa Key, Cuma sedikit pusing saja”, ucap Nayra sambil tersenyum.
“Minum obat ya Nay, aku gak mau kamu kenapa-napa, nada bicara Key terdengar begitu
khawatir.
“aku ijin pulang dulu ya Key, mau minum obat” ujar Nayra sambil berpamitan pulang.

Di kamarnya yang terkesan sangat elegan, nuansa coklat mendominasi di setiap sudut ruangan,
Nayra terduduk lemas di atas ranjangnya,
“Ya Tuhan, berapa lama lagi usiaku di dunia ini?? Berapa lama lagi malaikatmu akan
menjemputku untuk menghadapmu?” erang hati Nayra.
Di vonis menderita leukimia sejak 7 bulan lalu dan tidak akan berumur lama lagi sungguh...
Akhir Bahagia Ku

Mentari pagi telah keluar dari peraduan nya dan pagi ini siap ku gapai dengan suka cita.
Bagaimana tidak, hari ini adalah hari pertama aku menjadi Mahasiswi di sebuah Universitas
terkemuka di Indonesia, Ya UGM. Aku akan memulai kehidupan baru di Jogja, menjadi
perempuan yang mandiri karena aku tinggal sendiri disini.

Sampai di gerbang UGM aku langsung terpukau “Ya Allah, aku masih tidak percaya kalau aku
menjadi bagian di Universitas impian semua anak Indonesia” Ucapku dalam hati.

“Assalamualaikum, aku Retno Mahasiswi baru yang akan mengikuti Ospek disini. Kakak
Pembina kegiatan ini?” Tanyaku kepada seorang laki-laki yang berdiri tepat di sampingku
“Waalaikumsalam, Oh iya saya Egi Afriano. Kegiatan akan dimulai pukul 09.00 WIB. Kamu
Fakultas apa?” Tanya kak Egi padaku
“Aku Fakultas Ekonomi” Jawabku.

Kegiatan ini sungguh menyenangkan dan juga melelahkan. Selama 1 Minggu kegiatan Ospek
berlangsung. Banyak sekali pengalaman yang tak terlupakan dan ini awal rencana Allah yang
indah itu. Aku dipertemukan oleh teman-teman yang sangat baik.
“Hai retno… Aku Rina, kamu yang kost di Jalan Diponegoro itu kan? Kamu Fakultas Ekonomi
juga?” Tanya Rina yang menurut aku cantik.
“Iya.. Oh kamu Rina. Gak nyangka ya kita satu Fakultas” Sahutku.

Semakin hari aku semakin akrab dengan Rina. Meskipun kami berbeda penampilan. Tetapi itu
bukan penghalang bagi kami. Rina sering sekali cerita tentang dunia percintaan dia, tetapi aku
hanya tersenyum, maklum aku tidak mengerti tentang itu semua karena aku belum pernah
pacaran sekalipun. Aku berprinsip tidak akan pacaran sampai kuliah ku selesai. Masih banyak
hal penting daripada Pacaran. Lagi pula dalam agama Islam tidak dibenarkan untuk berpacaran.

3 tahun berlalu, Aku semakin senang menjadi seorang Mahasiswi. Banyak sekali organisasi yang
aku geluti di Kampus untuk mencari pengalaman hidup. Tetapi aku tak menyangka kalau bentar
lagi akan skripsi. Yah aku terpilih untuk siding lebih cepat dari yang dijadwalkan. Aku diberi
waktu 4 bulan untuk menyelesaikan semua tugas skripsi.

Akhirnya sidang skripsi ku selesai, semua berjalan dengan baik dan semoga hasilnya pun baik.
“aamiin” do’aku dalam hati.

Meskipun aku masih tidak menyangka kalau aku akan menjadi seorang Sarjana Ekonomi yang
merupakan Impian ku sejak SMP. Hatiku masih tidak percaya 3 tahun aku sudah bisa mendapat
gelar S.E. “Ya Allah aku masih tidak percaya, apakah ini kebahagiaan itu, Tugasku selanjutnya
adalah Membahagiakan Orangtua dan Kakak-Kakak ku.” Ucapku.

Acara Wisuda pun akan dimulai, rasa bahagia dan haru menjadi satu dan tak terbendung. Apalagi
duduk di samping ku ada sosok-sosok yang membuat aku bisa menjadi seperti sekarang, sosok-
sosok yang inspiratif dan luar biasa, Mereka adalah Ibu, Bapak dan Kakak-kakakku.

Setelah 1 bulan melepaskan status dari Mahasiswi dan telah menjadi Seorang Sarjana Ekonomi.
Sekarang aku sedang sibuk mencari pekerjaan untuk merealisasikan mimpi ku yang
sesungguhnya yaitu membahagiakan keluarga.

Alhamdulillah akhirnya aku diterima disalah satu Bank Syariah di Bandar Lampung. Selama
bekerja disana aku merasa nyaman dan betah sekali. Meskipun awalnya terkejut karena aku tidak
menyangka Mas Egi Afriano, pembimbing aku waktu Ospek di UGM ternyata satu kantor
dengan aku dan dia juga ternyata di Jogja dulu anak rantauan. Semakin hari aku semakin akrab
dengan Mas Egi karena di kantor pun aku satu tim kerja dengan nya dia sebagai pembimbing
bagi Junior.

Sampai pada suatu hari Mas Egi datang ke rumah ku dan membicarakan sesuatu kepada Bapak
dan Ibu. Ternyata Mas Egi mengKhitbah aku. Ya Allah sekenario kehidupan yang Engkau beri
kepada ku sungguh indah. Meski awal perjuangannya berat tetapi akhirnnya sungguh
mengagumkan. Mungkin Mas Egi adalah seseorang yang Kau maksud dalam Kitab Lauhul
Mahfudz ku.
Guru

Hari ini aku kembali mengingatnya.. sesosok pahlawan tanpa tanda jasa yang telah tiada, ibu ke
dua bagiku, guru ku yang tercinta, yang bernama Ibu Teti Khodijah.
Beliau adalah sosok guru yang baik dan cantik, dia mengajar ku 2 kali, namun yang ke 2 itu
hanya sesaat. Baiklah akan ku ceritakan.

Hari ini aku duduk di bangku kelas 2 SD. aku dengan teman teman ku yang berjumlah 65
kembali bersama sama, tapi sayangnya kami dibagi menjadi 2.
“65 dibagi 2 menjadi 32-33.. baik yang 32.. [....]” ucap salah satu guru yang mungkin akan
menjadi wali kelas ku saat itu.

Aku ternyata masuk kelas B, dengan jumlah murid 32, aku pikir aku akan masuk A, tapi masuk
B.. aku senang karena aku bisa menjadi anak kelas 2.. dan aku mendapatkan wali kelas yang
yang bernama “Teti Khodijah”
Beliau adalah sesosok guru yang baik nan cantik, aku yang terkadang selalu lupa atau tidak bisa
selalu ia ingati, aku pun senang belajar bersama nya hingga kelas 2 itu usai aku tidak kembali
diajar oleh nya.

2 Tahun kemudian
Kini aku telah kelas 5 dan aku kembali bersama teman teman lama ku, namun kini jumlahnya
hanya ada 59 saja. sedih pikir ku banyak yang keluar dan sekarang wali kelas ku ada 2 orang,
aku senang saat melihat wali kelas ku itu, ia dia adakah ibu Teti dan dia sangat baik kepadaku.

“Ri.. Ri..” ucap teman ku dan aku menjawab “Hah apaan ki?” dia pun berbicara “Ibu teti baik
yah” sembari tersenyum… aku pun tersenyum dan berkata “Iyalah dia sangat baik”. kami pun
akhirnya keasyikan mengobrol dan sampai tegor oleh guru yang lainnya.

Sampai pada suatu saat salah satu wali kelas ku berkata


“Anak-anak, ibu teti sedang berada di rumah sakit, dia sakit.. tapi tenang aja yah beliau pasti
akan baik-baik saja kok.. dan ini pengganti nya, ibu sri”
Kami pun serentak mengucapkan “Selamat pagi bu sri”
Ibu Sri ini pun langsung tersenyum. aku senang memiliki guru yang baik hati kembali, tapi aku
rindu dengan ibu Teti

4 Bulan berlalu aku masih belajar dengan Ibu Sri, kenapa dengan ibu teti? ada apa dengan nya?
kenapa masih belum mengajar kami, akhirnya kami pun menanyakan keadaan Ibu Teti keapada
wali kelas ku
“Bu.. bu teti udah sembuh belum bu?” ucap salah satu teman ku dengan nada sedih. aku waktu
itu bertanya tanya, kenapa teman ku ini bertanya dengan nada sedih ada apa dengan nya?
Dan wali kelas ku itu menjawab “Gak apa apa.. gak apa apa kok ibu teti mah”
Aku yang mendengar itu merasa senang. dan aku pun pulang

Malam harinya aku tidur dan bermimpi kalau ibu teti menghampiri ku dan berkata
“Ri.. jangan pernah menyerah, kamu pasti bisa yah nak, ibu akan selalu di samping kamu”
Aku pun langsung terbangun dan… hari sudah pagi, aku pun berangkat ke sekolah, namun apa
yang aku lihat, sekolah begitu sedih, seperti suasana berkabung dan aku tanyakan kepada teman
ku ada apa dengan ini semua dan dia menjawab kalau ibu teti telah tiada, aku yang mendengar
ini sedih.. tangisan mata ini selalu muncul ketika mengingat kebaikan nya, aku senang dan
sedih.. senang bisa membawa nya hingga tempat terakhir dan sedih karena ibu ke dua ku telah
tiada
Kini aku akan menjadi anak yang lebih bisa, aku yakin beliau ada di samping ku untuk
menyemangati ku saat ini
Pantang Menyerah Untuk Sekolah

Danu adalah anak dari orang yang kurang mampu, Ibunya meninggal dunia saat Danu berumur 2
tahun. Sepeninggal Ibunya, keluarganya menjadi berantakan, ayah Danu mempunyai banyak
hutang kepada rentenir untuk menghidupi keluarganya, uang hasil kerja sebagai penyapu jalanan
saja tidak cukup untuk menghidupi keluarganya.

Danu duduk di kelas 6 SD, walaupun dia anak dari orang yang kurang mampu tapi ia termasuk
siswa yang cukup pandai. Setelah pulang sekolah Danu selalu menjualkan koran dari toko koran
langganannya, setiap hari Danu mendapat uang sebesar Rp 25.000 dari hasil menjualkan koran.
Uang itu ia pergunakan untuk membelikan obat untuk adiknya yang terbaring lemah di tempat
tidur.

Suatu ketika, Danu diberi sebuah surat dari Pak Dadang, guru Danu, Surat itu ia berikan kepada
Ayahnya, ternyata isi surat tersebut adalah Danu diminta untuk membayar uang sekolah yang
sudah menunggak selama 4 bulan. Danu berfikir apakah ia bisa melanjutkan sekolahnya atau
tidak.

Danu sudah 5 hari tidak masuk sekolah, ia berusaha mencari uang bersama ayahnya untuk
membiayai sekolahnya. Pada sore hari Pak Imam Guru sekolahnya Danu datang ke rumahnya
Danu, Pak Imam bertanya kepada Danu kenapa sudah tidak masuk sekolah selama 5 hari, Danu
berterus terang bahwa ia mencari uang bersama Ayahnya untuk membiayai sekolahnya. Cukup
lama mereka berbincang-bincang, tidak lama kemudian Pak Imam berkata kepada Danu untuk
terus sekolah, dan Pak Imam akan membiayai Sekolah (SD) Danu.

Esok harinya Danu masuk sekolah, di sekolah ada pengumuman bahwa Ujian Sekolah akan
diadakan 1 minggu kemudian, dan barang siapa yang lulus dengan nilai yang bagus ia akan
mendapat beasiswa untuk masuk SMP Harapan Bangsa secara gratis.

Danu terus belajar dengan giat, agar ia bisa mendapatkan beasiswa tersebut. Saat Ujian
berlangsung, Danu dapat mengerjakannya dengan baik.

3 minggu kemudian hasil Ujian Nasional diumumkan, Danu sangat gembira dengan nilai yang
cukup bagus, yaitu: BI (9,2), Mat (9), IPA (9,6). dan Pak Imam mengumumkan siapa yang
mendapat beasiswa masuk SMP Harapan Bangsa. Dan ternyata Danu yang mendapatkan
beasiswa tersebut. Danu sangat gembira dan berterimakasih kepada semua gurunya dan Ayahnya
yang telah membantunya dalam belajar.

Akhirnya Danu terus melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi yaitu SMP, ia akan
belajar dengan sungguh-sungguh supaya berhasil untuk meraih cita-citanya, yaitu seorang Guru.
Meraih Kesuksesan

Dika adalah murid yang cerdas, dan pintar. Walau cerdas dan pintar ia tidak sombong terhadap
prestasi yang pernah ia capai. Lain dengan Kika, dia adalah anak yang pandai dan sombong.

Pada suatu hari, Bu Erli memberikan ulangan matematika. Semua anak nampak tidak sabar
untuk mengerjakan soal itu. “Pasti gampang!” kata Kika dalam hati dengan sombong. Bu Erli
pun membagikan soal ulangan. Setelah itu, semua anak mengerjakannya dengan tertib dan
tenang. Angin berhembusan dengan tenang memasuki kelas. Suasana kelas pun menjadi tenang.
Semua anak nampaknya sudah selesai mengerjakan ulangan, Bu Erli pun mengumpulkan kertas
hasil ulangan matematika.

“Pasti aku akan mendapat nilai 100.” kata Kika dengan sombong di hadapan Dika. “Kika, jangan
soombong kamu! belum tentu kamu mendapat nilai 100. Kalau kamu tidak mendapat nilai 100
bagaimana? kesal kan?” tanya Dika dengan senyuman manis di bibirnya. Kika hanya terdiam
dan menginggalkan kelas.

Sekarang Bu Erli akan membagikan hasil ulangan matematika. Semu anak tidak sabar untuk
mengetahui hasil ulangannya. Saat Dika mendapat hasilnya, ia melihat di kertas ulangannya
tertulis nilai 100 di atasnya. Dika pun bangga dengan hasil kerja kerasnya sendiri. Sedangakan
Kika, ia melihat ia mendapat nilai 70, ia pun kecewa dengan hasilnya. Ia merasa malu sekarang
dengan Dika, karena ia terlalu percaya diri untuk mendapatkan nilai 100.

“Bagaimana Kika?” tanya Dika dengan heran, “hhmmm… aku mendapat nilai 70 Dika.” jawab
Kika dengan kesal, “makannya jadi orang jangan sombong dong Kika!” sahut Dika sambil
tersenyum. Kika merasa kesal dengan perbuatannya selama ini, ia pun mulai merubah sikapnya
yang sombong itu. Berkat Dika, ia tahu apa yang harus ia lakukan untuk meraih nilai yang bagus.
Pengalaman Lomba Matematika

Awalnya saya ikut lomba matematika, karena saya iseng ikut-ikutan teman saya yang bernama
Rendra. Waktu itu pas saya kelas dua SMA. Saya ikut dan ternyata soalnya tidak mudah.
Caranya sangat tidak biasa, kalau dihitung dengan kalkulator, hasilnya bisa dipastikan error. Tapi
hal itu yang menarik minat saya untuk mengikuti lomba matematika, karena saya suka
menghitung.

Ketika diseleksi, saya berhasil lulus. Karena hanya tiga orang yang dipilih mewakili sekolah,
dengan tidak membayar (alias gratis, hehe..). Saya senang sekali, seperti tidak percaya bisa lolos
seleksi.

Kemudian lomba dimulai jam delapan pagi, tempatnya di sekolah saya. Ketika saya sampai di
sekolah sekitar jam tujuh pagi. Saya melihat ada beberapa mobil khusus untuk lomba, waktu itu
yang saya lihat SMA 63 dan SMA 47.

Awalnya agak deg-degan sekali, betul saja, ketika saya masuk. Semuanya pada ngeliatin saya
seperti orang asing. Semua yang lagi belajar melihat saya dengan tatapan curiga. Tapi saya tetap
tenang, waktu itu yang lihat saya adalah anak yang mewakili sekolah mereka masing-masing,
lomba matematika ini khusus DKI Jakarta, jadi bisa ditebak sekolah SMA mana saja yang berada
di jakarta.

Saya belajar dulu bersama teman saya di masjid sekolah. Kemudian mengerjakan soal-soal
matematika yang menarik. Pengawasnya pak pais, guru matematika saya kelas satu SMA.
Alhamdulillah soalnya bisa saya kerjakan dengan baik, meski gak masuk ke babak finalis, hehe..

Ketika saya kelas tiga SMA, atau lebih tepatnya sekarang. Saya ikut lagi lomba tersebut, soalnya
dapet sertifikat, sertifikatnya bagus dan menarik, membuat saya ingin ikut lagi. Mana yang ikut
lombanya itu-itu aja, saya, Rendra sama Aryo, sama persis ketika kelas dua SMA. Tapi kali ini
lombanya di SMA 47. Mungkin pada gak suka matematika, padahal menurut saya matematika
menarik dan tidak membosankan.

Pagi-pagi sekali, saya menunggu teman saya di tempat makan. Kemudian Rendra datang, saya
dan Rendra makan bubur dulu sebelum berangkat ke SMA 47. Makan bubur minumnya teh
hangat, bukan teh botol lho. Saya naik angkot, kemudian naik metro mini. Selanjutnya jalan kaki
menuju SMA 47. Di depan pagar sekolah, ada Aryo.

Kemudian bersama-sama masuk ke sma 47, di tempat parkirnya ada lapangan, di dalam
sekolahnya juga ada dua lapangan, pokoknya luas banget. Masjidnya bagus, arsitekturnya
menarik. Sekolahnya bersih dan nyaman. Abis itu masuk ke dalam kelas, kelasnya bersih, lalu
mulai lomba. Agak sedikit terhambat, mungkin karena ada SMA yang tidak datang. Padahal
sudah dilakukan di dua sekolah, yaitu di SMA 47 dan SMA 3.

Ketika sudah selesai lomba, saya sama Rendra jalan-jalan, melihat pemandangan yang indah.
Kemudian naik angkot, keluar menuju seskoal. Abis itu jalan kaki, sampai pegel, soalnya macet
banget. Ini merupakan pengalaman berharga yang tidak mungkin terlupakan.
Pesan Ayahku
Pada hari itu Nurmala sedang ada di sekolah ketika semua orang panik lari tunggang langgang
sementara ayah nurmala yang sedang terbaring di gubuk yang reot nan kumuh tak dapat berbuat
banyak sempat ia berteriak memanggil anaknya atau memanggil-manggil orang yang sedang
berlarian namun tak satupun dari mereka yang mendengar jeritan lelaki tua itu.

Nurmala berlari sekuat tenaga menuju rumahku aku tak peduli orang-orang yang berusaha
melarangku di pikiranku saat ini adalah tentang keadaan ayahku. Sambil meneteskan air mata
aku terus menerebos kerumununan orang yang sebagian ku lihat penuh luka-luka seperti terkena
hantaman benda keras. Di sekelilingku ku lihat sebagian dari mereka telah menjadi mayat
sungguh tragis keadaan di sekelilingku darah bececeran dimana-mana rumah-rumah hancur.
Pikirannya semakin tak karuan mempertanyakan bagaimana nasib ayahnya. Ayah masih
ingatkah kau tentang hari kemarin saat kita berdiri bersama memandang indahnya mentari senja
di pinggir pantai pelabuhan ratu dan kau memberiku setetes semangat untuk menempuh ujian
nasional yang hari ini adalah hari pertama aku ujian.
Aku masih ingat pesanmu ayah, aku ingat itu kau mengatakan kepadaku:
“Nak, apa pun yang terjadi kamu harus ikhlas menerimanya nanti. Janji ya nak!”
Ayah kau tahu hari ini aku dapat menjawab semua soal Bahasa Indonesia dengan mudah dan
tidak kah kau tahu ayah bahwa hari ini aku benar-benar menjawabnya dengan jujur seperti
pesanmu itu:
“jangan lupa berlaku jujur ya neng gelis walau hasilnya tak tinggi nanti namun jika dilakukan
dengan jujur akan lebih bernilai dari pada nilai tinggi hasil dari kebohongan”.

Setelah beberapa kilometer ku berlari ku sampai di tempat yang ku kenal namun tak kutemukan
rumah dan ayahku tempat itu sepi tak berpenghuni dan Nampak porak poranda oleh gempa 7,6
SR yang baru saja mengguncang Sukabumi.
Sudah hampir satu bulan aku di pengungsian dan selama itu pula aku mencari-cari ayahku semua
pos telah ku datangi dari pos data korban meninggal dunia sampai pos korban luka-luka namun
tak ku temukan nama ayah ku di sana.

Esok adalah ujian nasional setelah sebulan ditunda selama akhirnya ujian dilaksanakan. Dan hari
ini adalah ujian mata pelajaran Kimia pelajaran yang aku sukai aku tak tahu dapat maksimal atau
tidak karena konsentrasiku terpecah. Ayah tahukah kau bahwa hari ini adalah ujian kimia
pelajaran yang aku sukai dan setiap aku dapat nilai bagus dari ujian kimia, selalu ku tunjukan
padamu nilai yang kuraih. Aku rindu senyumanmu ayah. Lirihku dalam hati.
Ayah, aku akan tetap berlaku jujur hari ini meski tanpa persiapan. Mudah-mudahan aku bisa
mengerjakan dengan baik. Amin…

Hari ini 27 Juni pengumuman ujian nasional keluar dengan hati berkecamuk cemas aku
melangkahkan kaki menuju sekolahku SMA INSAN BANGSA berjam jam aku menunggu
sembari mengobrol dengan beberapa teman akhirnya tepat pukul 13:00 WIB Kepala Sekolah
mengumumkan hasilnya beberapa siswa sudah mendapatkan hasilnya namun entah mengapa
namaku belum juga dipanggil dan kucari namaku di daftar siswa yang lulus pun tak ada aku
semakin risau bagai gempa mengguncang hatiku bergetar kencang ingin rasanya aku teriak tidak
mungkin namun lagi-lagi ku ingat kata-kata ayahku:
“Nak, apapun hasilnya terimalah dengan ikhlas.”
Dengan kata-kata itu aku sedikit semangat tak lama kepala sekolah memintaku untuk menghadap
ke ruangannya kulihat raut wajahnya seperti menyimpan rahasia. Dengan lembut ia memintaku
untuk membuka amplop putih di hadapannya. aku tak sanggup membaca isi surat itu dan bagai
kejatuhan bulan ku lihat deretan-deretan angka di hadapanku, ternyata aku berhasil lulus dengan
nilai tertinggi aku senang dan bangga hatiku berbunga-bunga bagai musim semi dan akhirnya
kepala sekolah mengumumkan aku di hadapan ratusan siswa dan teman-temanku bahwa aku
lulusan terbaik dengan nilai tertinngi di kota Sukabumi.

Kupandangi langit biru di atas sana kulihat ayahku tersenyum menatapku senyumnya bagai
mawar yang mekar merekah indah sekali di pandang namun tak lama senyum itu hilang bersama
mentari yang turun ke zona terdalam bumi.

Ayah dimana saja kau berada aku Nurmala mengucapkan terimakasih lihatlah nilai-nilai hasil
kejujuran anakmu ini. Dan lihatlah surat beasiswa kuliah kedokteran ini ayah… terima kasih atas
semuanya ayah di Pantai Parangtritis ini sekarang ku labuhkan pencarian ilmu ini…
Wah, Aku Guru Favorit

Banyak orangtua waktu itu yang bilang bahasa Inggris belum perlu untuk anak-anak kecil siswa
TK sampai SD 1-3. Kata mereka “ngomong bahasa Indonesia aja belum bener”. “gimana anak
sekecil itu ngomong Inggris?”. Aku bingung waktu itu harus jawab apa, soalnya aku bukan
mengajar di sekolah tapi buka kelas di ruang tamu rumahku. Waktu itu tahun 1994. Aku
memang tidak punya latar belakang pendidikan guru. Aku hanya punya keinginan dan semangat
untuk mengajar bahasa Inggris anak-anak.

Di antara pro dan kontra aku tetap buka kelas yang aku kasih nama Kelompok Belajar Rainbow.
Siswaku teman sekolah anakku, Lutfi, yang waktu itu TK-A. Nyatanya, siswaku senang belajar
bahasa Ingris walau hanya berupa kata-kata. “Apple” kataku, “apple” kata mereka sambil aku
tunjukan gambar apel segar sambil menari-nari. Karpet dan meja kecil juga kursi belajar mereka
jadi berantakan. Wah, senangnya aku walau harus terus merapikan ruang kelas setiap belajar kata
baru.

Anakku Lutfi sudah kelas 1 SD ketika ada teman yang mengajak aku kelola Akademi Bahasa
Asing. Jurusan yang dibuka bahasa Inggris tambahannya bahasa Jepang. Aku tidak lanjutkan
Rainbow walau siswaku sudah ada yang SD 1-3. Siswa kecilku sudah tidak ada lagi berganti
dengan Mahasiswa. Pernah Lutfi aku ajak ke kampus, aku bilang “ini murid-murid mama”, kata
Lutfi “kenapa murid mama besar?” sambil kebingungan memandangi siswaku yang sibuk
konsultasi, “hai dek” kata mereka dan Lutfi cuma diam terus merapat di sampingku.

Suatu hari mahasiswiku, Hasanah, datang ke ruang Dosen. “Bu, sepertinya ibu cocok ngajar SD.
Lagi ada penerimaan bu di sekolah saya ngajar” kata Hasanah. “Ah, anda pasti becanda” kataku
waktu itu, tahun 2002. Penasaran, aku melamar di sekolah tersebut. Aku datang pagi hari
sebelum ke kampus. Surprise.. siang jam 12 di hari yang sama aku sudah dihubungi pihak
sekolah. Besok datang untuk tes dan interview. Aku lulus, berikutnya Micro Teaching. Tes apa
lagi? Sebutan itu terasa asing di telingaku. Aku diberi penjelasan tentang micro teaching oleh Ibu
Ambar yang belakangan aku tau beliau guru Sejarah SMA di Perguruan itu. Aku bilang, “bu
saya hanya mencoba saja. Informasi ini dari Mahasiswi saya yang mengajar di sini. Saya tidak
punya pengalaman mengajar SD”. “Nyatanya ibu yang dipilih dari 12 pelamar yang lain”. Kata
ibu Ambar tersenyum.

Tahun ajaran baru dan untuk pertama kali aku mengajar. Sangat jauh berbeda suasana mengajar
di sekolah dan di tempat kursusku dulu. Di sekolah anak-anak sudah harus disiplin, tidak bisa
menari-nari atau bernyanyi-nyanyi lagi sesuka hati. Mereka sudah harus patuh pada peraturan
kelas. Aku mengajar dengan suka cita. Aku tau bahasa Inggris bukan pelajaran mudah untuk
mereka. Selain pakai gambar, aku juga pakai tape recorder supaya mereka bisa mendengarkan
bahasa Inggris melalui lagu. Mereka happy dan aku juga senang. Karena aku hanya mengajar
kelas seminggu sekali, maka setiap aku mengajar kelas yang lain siswa kecilku dari kelas yang
sudah aku ajar atau yang belum aku ajar akan memanggil namaku di jendela setiap aku lewat
kelas mereka, “Ibu lita… ibu lita…” Bahkan kalau mereka sedang olahraga akan berhamburan
menghampiriku. Aku tau mereka rindu untuk belajar denganku seperti aku juga rindu untuk
mengajar mereka. Wah.. Ibu lita guru favorit kata ibu Aisyah rekan guruku.
Kisah Si Ahmad

Di suatu pedesaan ada seorang anak sebut saja sih akhmad, sehari-harinya dia membantu
bapaknya ke sawah. Akhmad masih berumur 17 tahun, tiap hari dia mengabiskan waktunya
hanya di sawah dan ditemani oleh seekor kerbau, dan ayah nya. sedangkan temannya sibuk ke
sekolah, akhmad tidak melanjutkan sekolah karena orangtuanya tidak mampu membiayai, besar
harapan akhmad untuk bisa sekolah lagi, karena cita-cit nya ingin menjadi seorang guru, agar
bisa membantu orang yang tak mampu. Akhmad anak pertama dari 3 bersaodara sedangkan
adiknya yang dua masih kecil-kecil.

Suatu hari akhmad melewati sekolah SMP, sekolah yang diinginkan oleh ahkmad, dia melihat
teman-temannya dengan asik bercanda, dan dia pun termenung sambil (membanyangkan kapan
saya bisa masuk ke sekolah itu), tak lama kemudian teman-temannya datang menghampiri dia
(akhmad) dan berkata “akhmad kapan kamu sekolah, masa yang lain sekolah kamu jadi
penggembala kerbau”, sambil ketawa sih temannya, dengan sedihnya sih ahkmad pergi, dan tak
mengihiraukan ocehan temannya, tapi dia masih terbayang oleh ocehan temannya.

Keesokan harinya si akhmad, bertanya pada bapaknya


“pak?.. akhmad, mau sekolah lagi”.
“ekolah dari mana uangnya mad, sedangkan buat makan kita masih susah”
“tapi ahkmad mau sekolah kaya temen-temen”,
“sedangkan adik kamu ajah masih kecil-kecil”.
“iya, tapi akhmad mau sekolah pak, akhmad malu dikatain sama temen-teman kapan sekolah dan
Cuma jadi pengembala kerbau”.
“sudah jangan dengerin temen-temen kamu”,
“pokoknya akhmad mau sekolah kaya temen-temen”.
Bapak sontak marah, “kamu susah dibilangin” sambil lempar gelas ke tanah
akhmad serontak pergi meninggalkan rumah

Si akhmad mengadu pada temannya si kerbau


“kerbau, apa aku salah, jika aku minta sekolah lagi”
“ngoooooo”
“aku ingin kaya temen-temen bisa sekolah”
“ngooooooooo”
Sambil dia tiduran di atas kerbau, tak terasa dia bangun dan terkejut hari sudah sore, dia ingat
harus memberi makan ternaknya.

Akhirnya dia pulang dan sesampai di rumah, dia diam-diam masuk rumah, dan memberi makan
ternaknya, tiba-tiba bapaknya datang dan sambil ngomong.
“dari mana kamu mad?”,
Akhamd serontak kaget, sambil bilang, “haah, habis dari ladang pak sama si kerbau”.
“sudah sana mandi, terus makan”.
Ahkmad yang tadinya ketakutan. Akhirnya cepat-cepat pergi mandi.

Malamnya si akhmad di kamar, sambil pegang buku, dia berkata, “ya tuhan kapan saya bisa
sekolah lagi tuhan, akhamd mau jadi anak pinter tuhan”, dia menatap langit langit atap rumah
yang masih bisa lihat bintang dari kamarnya, tak disengaja bapaknya dengar dan dia langsung ke
kamar akhmad sambil dia lihat anaknya, di depan pintu yang terbuka sedikit, dia termenung
dengan kesedihan dan kekosongan dalam pikiranya, dan dalam pikirannya “ya tuhan semoga
saya bisa menyekolahkan anak saya”.
Nasihat Ayah
Kecewa dan marah. Itulah yang aku rasakan saat ini. Aku kecewa dengan keputusan yang telah
ditetapkan. Dan aku marah karena keputusan itu bukanlah sesuatu yang aku inginkan.

Sekarang aku berada di ruang keluarga, duduk berhadapan dengan ayahku. Ayahku menatapku.
Aku tahu arti tatapan itu. Itu adalah tatapan kekecewaan, kecewa melihat hasil ujianku. Kecewa
melihat nilai ujian semesterku, nilai yang bisa membuat aku tidak lulus. Dan kecewa atas
sikapku. Aku baru saja bercerita kepada ayah tentang penyebab rendahnya nilaiku.

Sebenarnya, nilai rendah bukanlah kemauanku. Aku mampu menyelesaikan soal-soal yang
diberikan. Tetapi aku sengaja mengkosongkan lembaran jawabanku. Aku punya alasan
melakukannya. Aku melakukannya karena tidak terima dengan keputusan kampus yang
mengumumkan bahwa jurusan yang aku ambil, Matematika Umum S1 akan dialihkan ke
Matemaatika D3 untuk guru. Ketetapan itu dibuat dengan alasan bahwa di Riau mengalami
kekurangan tenaga pengajar. Aku tentu saja menolak keputusan itu. Teman-temanku yang juga
menolak bahkan telah mantap ingin pindah jurusan.

Aku sebenarnya tidak ingin menjadi guru, karena aku tidak memiliki minat dengan profesi
tersebut. Dan aku ingin mengikuti langkah teman-temanku untuk pundah jurusan. Tapi aku
merasa terlalu tanggung, karena pada saat itu aku hendak ujian semester.

Dan sebagai wujud rasa kesalku, aku tidak menjawab soal-soal ujian. Itu adalah bentuk protesku.
Bahkan aku telah mendapatkan beberapa kali panggilan dari dosen sebelum nilai ujian keluar,
karena heran melihat nilai ujianku menurun drastis. Padahan aku termasuk salah satu mahasiswa
yang menonjol dan aktif. Tetapi aku tidak menghiraukan panggilan itu hingga nilai ujianku
keluar.

Dan disinilah aku sekarang. Di depan ayahku. Menanti tanggapan apa yang akan diberikannya
padaku. Apakah ayah akan marah? Atau bahkan setelah ini dia tidak akan ambil peduli?

Sesaat kemudian, aku mendengar helaan nafas ayah. Terdengan berat. Kemudian ayah berkata,
“untuk saat ini, jangan dipikirkan jadi apa kita nanti, tapi pikirkan ilmunya. Karena dengan ilmu
yang kita dapatlah, bisa membawa kita ke arah yang kita inginkan. Berbeda dengan yang awal,
kali ini aku mendengar nada suara ayah yang tenang.

Dan untuk sesaat aku tertegun. Memikirkan kata-kata yang baru saja keluar dari mulut ayah.
Ayah benar. Selama ini aku belajar untuk mencari ilmu. Begitu bodohnya aku mensia-siakan
ilmuku hanya karena keputusan kampus. Aku mengangkat wajahku yang sedari tadi tertunduk
dan menatap ayah. “Aku mengerti ucapan ayah. Dan sekarang apa yang harus aku lakukan?”

“Mumpung masih ada waktu, pergilah temui dosenmu dan minta ujian perbaikan. Ayah yakin
dosenmu akan menerimanya karena mereka tahu kamu bukanlah orang bodoh yang mau mensia-
siakan nilaimu tanpa alasan yang jelas.

Aku mengiyakan perkataan ayah. Dan keesokan harinya, aku menemui dosenku untuk meminta
ujian perbaikan. Dosenku juga sempat bertanya mengapa lembaran jawabanku kosong, lalu aku
menceritakan alasanku. Dan ternyata tanggapan dosenku sama dengan ayahku. Agar aku
terfokus pada ilmu yang aku dapat, bukan profesi apa yang akan aku jalani.

Aku mempunyai waktu seminggu untuk memperbaiki nilai-nilaiku. Dan seperti yang ayahku
bilang, aku bukanlah orang bodoh. Aku mampu menyelesaikan semua soal ujian. Dan nilaiku
yang keluar hampir semuanya A. Dan karena aku dikuasai kemarahan dan kekesalan, aku
mengabaikan nilaiku dan lebih mengutamakan keinginanku.

Selanjutnya aku tetap pada jurusan yang aku ambil. Aku akan mencoba menjalaninya. Dan
secara perlahan-lahan aku mulai menyukai Matematika D3 yang aku jalani. Itu karena sekarang
aku mementingkan ilmu yang aku dapat, bukan lagi memikirkan profesi guru yang akan aku
jalani setelah lulus dari kampus ini. Dan aku sadar dengan ilmu yang ada pada diriku, bisa
membawaku kemanapun yang aku inginkan. Seperti yang telah dikatakan oleh ayahku.
Tekun Awal Yang Sukses

Burung berkicauan, di antara hempasan gelombang yang tinggi menerpa pantai. Nama ku fachri
aku hanyalah anak seorang nelayan, penghasilan ayahku tidak terlalu tinggi, tapi kedua orangtua
ku tetap berusaha menyuruh aku sekolah.

Sejak SD aku didik untuk belajar, jadi tak heran jika aku sering juara kelas, setelah lulus SD,
orangtua ku berhasil menyekolah kan aku di MTs alkautsar demi pemahaman gama islam,
supaya kelak aku tau tentang agama.
Semangat belajarku meningkat sejak MTs, itu berkat dukungan orangtua ku, dan semenjak MTs
ayah mengajarku berdebat menurut akal sehat, dan pada saat itulah aku tertarik di dunia hukum,
yaitu menjadi seorang pengacara. Aku tau cita-cita menjadi seorang pengacara sangatlah berat,
tapi itulah mimpi besarku yang ingin aku capai.

Setamatnya di MTs aku melanjutkan sekolah menengah atas 13 BATAM (SMA 13 BATAM).
Sangat beruntung aku mendapat beasiswa dari pemerintah berkat prestasiku, tidak sia-sia
pengorbananku, dan aku sangat bangga bisa meringankan beban kedua orangtua ku.

Semenjak di SMA inilah aku kenal dengan nama motivasi, ayahku seringkali memotivasi diriku
yang membuat semangat belajarku makin membara, ada satu motivasi yang sampai sekarang
paling ku ingat dari ayahku, ayah ku berkata kepada ku, “nak ayah ada satu nasehat untuk mu”
“apa tu yah…”
“pemuda yang baik adalah pemuda yang mampu mengatasi masalahnya sendiri, dan mampu
membawa kehidupanya lebih baik, lewat kerja kerasnya sendiri, kamu lihat betapa banyak anak
orang kaya yang berpoya-poya dengan harta orangtuanya pemuda semacam ini adalah pemuda
yang pemalas, dilihat dari materi memang mereka bagus, tapi kalu dilihat dari usahanya sendiri
sebenarnya mereka nol, tidak ada apa-apanya”.

Mendengar kata sang ayah hati ku semakin membara penuh semangat, aku bertekat akan
mengejar mimpi ku menjadi seorang pengacara, Alhamdulillah aku diteriam kuliah di UIB aku
masuk di bidang hukum, lewat ketekunanku berorganisasi dan belajar, akhirnya aku bisa
mengejar mimipiku, dan aku berkata kepada ayahku, “ayah ini janji ku kepadamu, aku berhasil
menjadi pemuda yang ayah katakan, aku berhasil lewat usaha ku sendiri”
Perjalanan Hidup Yang Menyakitkan
Waktu SD, gua masuk di kelas anak homogen atau kelas pintar. Pas SMP, nilai gua turun banget
sampai-sampai banyak banget orang yang ngejek-ngejek dan ngejelek-jelekin gua. Sampai-
sampai, orangtua gua juga ikut ngejelek-jelekin gua!! Benci banget dah gua, bukannya malah
nyemangatin gua buat kembali raih prestasi gua, malahan mereka ikut ngejelek-jelekin gua, gua
sempat berpikir, “gua anak mereka gak sih? Kok gitu amat mereka sama gua?”, kata-kata
pedesnya yang paling gua inget tuh “eh lu, belajar sono, lu bego banget sih jadi anak” dan setiap
kali gua bantuin mereka, pasti ada aja yang salah di mata mereka.
Jadi, gua yang dulunya cerewet, sekarang jadi pendiam banget. Bahkan kalau ditanya sama
orangtua gua, gua bahkan gak ngejawab, gua jawab palingan yang penting aja. Emang gak sopan
sih, tapi gua udah terlanjur sakit hati banget dengan kata-kata yang keluar dari mulutnya.
Dan gua ingat juga tuh kata-kata guru gua, “eh lu, kepintaran tuh datangnya gak dari langit!”,
pokoknya rasanya kayak mau bunuh diri gitu deh. Nyesek banget euy.

Hampir setiap hari gua ngurung diri sendiri di kamar, gak tau mau ngapain lagi, gua udah putus
asa dengan semuanya itu, dengan semua rasa nyesek gua ini. Rasanya gak mampu banget
nanggung beban ini sendirian. Gua punya sahabat, dia itu kalau di luar sekolah bego banget tapi
giliran di sekolah berubah jadi orang yang pinter banget. Pusing gua, kok dia bisa gitu yah? Tapi,
gak tau lah, Dia tuh, orangnya beruntung banget, gak sama kayak gua. Dan, dia mau nerima gua
apa adanya.

Dan, waktu itu, gua lagi renungin semua kejadian yang gua alamin. Gua jadi sadar dan gua pun
jadi rajin belajar. Kalo ada tugas, langsung gua kerjain. Kalo ada ulangan, gua langsung belajar.
Dan semuanya gua lakuin dengan baik. Sampai pada akhirnya pada saat pembagian nilai, gua
bersyukur banget karena nilai gua bagus, dan gua dapet gelar ranking 10 besar. Gua bersyukur
banget. Dan, karena kejadian itu, temen-temen gua yang dulu ngejelek-jelekin gua jadi ngejar-
ngejar gua. Dan orangtua gua juga minta maaf sama gua, gua maafin sih, tapi rasa nyesek gua itu
masih belum bisa sembuh biar gimana pun. Bayangin deh kalau lu ada di posisi gua waktu itu.
Bayangin deh, kalau setiap hari lo nangis cuma karena dikata-katain kayak gitu.

Tapi, semua tangisan gua itu, sekarang udah kebayar dengan kembalinya prestasi gua, pokoknya
gua senang banget deh, rasanya kayak lagi berkunjung ke tempat yang gak pernah didatengin
semua orang, ataupun dapet uang 1 miliyar deh. Dan gua juga sadar, kalau nangis itu gak bisa
buat semuanya berubah. Dan bener tuh kata guru gua, kepintaran tuh gak datang dari langit,
semuanya harus ada perjuangan dan pengorbanannya.
Telat
“Huh kenapa banyak banget pr sih” gumamku sambil malas-malasan. Aku pikir lebih baik aku
tidur terlebih dahulu sekiranya untuk menyegarkan pikiranku dan meningkatkan konsentrasiku
nantinya setelah aku bangun kembali.

Seperti ada sosok yang membangunkanku, setiap kali saja ketika dihantui banyak pr, aku selalu
bangun sekitar jam 2. Walaupun aku terbangun, aku masih bermalas-malasan karena masih
mengantuk. Tapi tak berapa lama aku beranjak dari kasurku untuk mengerjakan pr.

“Hoahm… kenapa pr ini begitu banyak” gumamku sambil mengantuk. Ada 3 pr yang harus ku
kerjakan sekarang, aku lebih memilih mengerjakan pr PKn terlebih dahulu. “Selesai juga, sudah
satu jam aku mengerjakan pr PKn ini” ucapku. Selanjutnya ku memilih untuk mengerjakan pr
Biologi, ketika ku lihat soalnya, ini begitu susah, sudah aku membolak-balik halaman demi
halaman dalam buku tak ku temui juga jawabannya. Sudah aku cari-cari di google tapi hasilnya
nihil. “Sebenarnya pr macam apa ini sih” gumamku sambil marah-marah.

Ketika ku lihat lagi ke jam dinding ku, ternyata sudah jam 4, waktu terasa begitu cepat berlalu
padahal masih banyak pr yang harus ku kerjakan. Niatnya aku mau berbaring untuk
merentangkan badan tapi aku ketiduran. Kemudian aku dibangunkan oleh ibuku, dan ketika
kulihat jam, ternyata sudah jam setengah 6. Aku cepat-cepat mengambil air wudhu untuk
kemudian shalat subuh.

“Halah sudah pagi padahal pr masih belum selesai” gumamku. Biasanya ketika di kelas, aku
menyontek pr dari teman-temanku, tapi tidak kali ini. Aku belum rapih-rapih padahal sudah jam
6, biasanya jam segini aku sudah berangkat ke sekolah. Aku langsung cepat-cepat mandi, rapih-
rapih, mengemas buku-buku, tapi aku tidak tahu dimana lembar kegiatan yang harusnya ku bawa
hari ini pada pelajaran Sejarah. Aku mencari-cari di meja belajarku tapi tak ku temui. Aku
bingung harus berbuat apa. Ternyata ketika ku lihat jam lagi, sudah jam setengah 7. “Kenapa
cepat sekali sih” gumamku sambil cepat-cepat berangkat sekolah.

Jarak dari rumahku ke sekolah cukup jauh terlebih lagi selalu macet di jalan. Ternyata ketika ku
sampai di sekolah, gerbang sudah ditutup. Aku terlambat 7 menit. Aku kembali pulang ke rumah.
Sesampainya di rumah orangtuaku bertanya “Kenapa pulang?” tanya Ibuku. “Aku telat Mah”
jawabku sambil berjalan menuju kamarku.

Keesokkan harinya di sekolah, aku dipanggil oleh Wali Kelasku untuk menemuinya. Ia bertanya
kepadaku “Kenapa kemarin tidak hadir?” tanya Wali Kelasku. “Saya telat Pak” jawabku.
“Kenapa telat?” tanya Wali Kelasku. “Saya telat karena tidak dapat mengoptimalkan waktu yang
saya miliki” jawabku.

Setelah beberapa nasihat yang ia lantunkan kepadaku, aku mengakhiri pembicaraan dengannya.

“Sudah iya Pak. Saya mau belajar lagi” ucapku sambil tersenyum pergi meninggalkan Wali
Kelasku.
Hadiah dari Kakek
Hari Minggu kemarin aku ikut orangtuaku ke Solo. Ada undangan dari bulik Sri. Ini untuk
kesekian kalinya aku ke Solo. Tetapi ini untuk yang pertama kalinya aku pergi dengan kakek.
Biasanya hanya dengan orangtuaku saja. Di dalam bis, kakek banyak bercerita tentang Solo, kota
tempat kelahirannya. Keraton Solo, Pasar Klewer, Kleco tempat bermainnya dan beberapa
tempat yang asing di telingaku mengalir tanpa henti. Aku hanya mengangguk-angguk sambil
menahan kantuk. Perjalanan yang menyenangkan.

Walaupun tidak bersekolah, kakek Dullah, itu nama kakekku, pengetahuannya sangat luas.
Beliau banyak mengamati peristiwa-peristiwa di sekitarnya. Dulu, saat aku kelas II SD, ada surat
dari pakde Sastro di Jambi. Aku yang sedang tiduran sehabis pulang dari sekolah, dibangunkan
kakek.

“Inilah akibatnya kalau tidak mau belajar. Membaca surat dari anaknya saja tidak bisa. Kamu
yang belum terlambat, jangan meniru kakekmu dulu. Kakek kalau disuruh belajar malah
bermain. Beginilah akibatnya,” katanya saat aku sudah berada di depannya. Aku kemudian
disuruh membacakan surat itu. Saat itu aku belum bisa membaca lancar. Dengan terbata-bata
akhirnya aku selesai juga membacanya. Dan aku pula yang menulis surat balasannya dengan
didikte oleh kakek.

Sejak itu, aku jadi suka membaca dan menulis. Saat ada surat dari pakde Mirun, yang di
Balikpapan, aku sudah lancar membaca dan menulis. Kakek terkejut melihat kemajuan
kemampuan membaca dan menulisku. Hanya dalam tempo dua bulan aku sudah sangat mahir
membaca dan menulis.

Bis yang aku tumpangi melaju dengan cepatnya. Penumpangnya makin penuh saja. Di daerah
Delanggu beberapa pedagang asongan naik.
“Penumpang bis Yogya–Solo yang saya hormati. Saya akan menawarkan buku IPS Terbaru.”
Tiba-tiba seorang pedagang asongan menawarkan barangnya. Tangan kanan memperlihatkan
barang pada para penumpang. Tangan yang kiri menenteng kardus berisi buku-buku.
“Bapak-bapak, Ibu-ibu dan Saudara-saudara yang saya hormati. Buku ini sangat pas untuk anak-
anak kelas I, II, III, IV, V dan IV bahkan sampai tamat SMP. Setelah tamat SMP, berikan buku
ini pada adiknya. Setelah adiknya tamat SMP. Berikan lagi pada adiknya lagi.” Aku lirik kakek.
Tampaknya beliau antusias sekali mendengar kata-kata perkenalan dari pedagang asongan
tersebut.
“Banyak pengetahuan yang bermanfaat dari buku ini. Tujuh keajaiban dunia, propinsi-propinsi
yang terbaru di Indonesia, nama raja-raja yang terkenal dan bangsa yang mendirikannya. Rakai
Samaratungga yang mendirikan Candi Borobudur, Rakai Pancapana yang mendirikan candi
Kalasan, dan lain-lain. Buku ini sangat murah. Kalau di toko buku dijual RP 15.000,00, di sini
cukup Rp 10.000,00. Sayang anak, sayang adik. Silakan buku dibawa pulang!!” katanya
mengakhiri pidato sambil memberi kesempatan pada para penumpang mengamati buku
dagangannya.

Aku mengamati buku tersebut. Isinya tidak banyak berbeda dengan buku-buku di rumah. Aku
lihat kakek juga membuka-buka buku tersebut.
“Andi, mau buku ini. Kakek belikan ya.” kata kakek bersemangat sambil terus mengambil uang.
Sebenarnya aku tidak tertarik dengan buku tersebut. Aku sudah memiliki buku-buku yang
memuat hal-hal seperti itu. Orangtuaku juga tidak menawariku untuk membeli buku tersebut.
Untuk menjaga perasaannya aku mau saja dibelikan buku tersebut. Akan sangat kecewa apabila
aku sampai menolak pemberian kakek terutama buku. Untuk pemberian yang lain beliau tidak
masalah. Dulu aku pernah mengalaminya. Aku ditawari kakek sebuah buku. Kakek tidak salah.
Buku itu buku cerita petualangan. Karena menurutku harganya cukup mahal aku menolak
pemberiannya. Beberapa hari kakek menjadi lebih diam dari biasanya. Tidak banyak bercerita
dan bergurau. Aku tidak akan menyakiti hati kakek untuk kesekian kalinya. Mumpung harganya
murah. Lumayan juga buat menambah koleksi buku-bukuku.
Itulah kakekku. Walau tidak bisa membaca dan menulis, beliau setiap ada kesempatan selalu
memberikan hadiah buku pada cucu-cucunya.
“Andi, buta ilmu itu lebih berbahaya daripada buta mata. Orang yang buta ilmu bisa merusak
atuan-aturan yang berlaku tetapi orang yang buta mata sedang ia tidak buta ilmu dia tidak akan
merusak, Bahkan dia akan bisa bermanfaat bagi sesamanya,” kata kakek pada suatu sore sambil
menunggu adzan Magrib berkumandang.

Nasihat Ayah

Aku adalah siswi kelas XI di SMPN 121 JAKARTA UTARA. Aku mempunyai cita-cita yang
tinggi. Aku bercita-cita ingin menjadi seorang guru bahasa indonesia, karena aku sangat
menyukai pelajaran di bidang sastra dan bahasa. Setelah lulus SMP nanti, aku sangat ingin
melanjutlan ke SMAN 75, tetapi orangtua ku tidak mendukung niat ku ini.

Saat di rumah, aku dan keluargaku sedang berkumpul di ruang tamu, ayahku mengawali
percakapan dengan menanyakan nilai rapot bayangan ku yang sudah dibagikan.
“Nak bagaimana dengan nilai rapotmu? Apakah kamu puas dengan nilai rapotmu?” tanya ayah
kepada ku.
“Alhamdulillah, Yah! Nilai rapotku lumayan bagus, hanya 2 mata pelajaran yang dibawah
KKM” kata ku.
“Dan aku sudah cukup puas dengan nilai rapotku. Bagaimana dengan Ayah? Apa Ayah puas
dengan nilai rapotku?” kata ku lagi.
“iya Nak, Ayah juga sudah puas dengan hasil belajarmu. Pesan Ayah! Agar kamu rajin belajar
lagi, supaya nanti bisa masuk SMA Negeri.” kata Ayah dengan nada menasihati.
“iya Yah, aku juga inginnya seperti itu. Aku ingin masuk ke SMAN 75 kalau lulus SMP nanti.”
kata ku sambil menjelaskan.
Saat aku berbicara seperti itu, sepertinya ada rasa kecewa di raut wajah Ayah. Aku jadi merasa
bersalah. Suasana pun hening sejenak. Ibu ku datang membawakan minum untuk Ayah.
“ini Yah, diminum dulu tehnya” kata Ibu sambil menyodorkan secangkir teh kepada Ayah.
“Terima kasih ya bu” kata Ayah sambil mengambil teh yang Ibu berikan.
Setelah itu, Ibu duduk di samping Ayah, dan ikut mengintrogasiku.
“Memangnya kamu setelah lulus SMP ingin melanjutkan ke SMA mana Nak?” kata ibu.
“Kalau aku sih ingin masuk ke SMAN 75 Bu.” kata ku.
“Menurut Ayah, kamu lebih baik melanjutkan sekolah ke SMAN 110 saja Nak” kata ayah.
“Loh! Memangnya kenapa Yah.” kata ku dengan nada yang tinggi.
“Begini loh Nak! Menurut Ayah SMAN 110 itu sekolahnya cocok untuk kamu Nak. Karena kan
sekolahnya juga tidak terlalu jauh dari rumah kita. Bukannya Ayah melarang kamu untuk
memilih sekolah sendiri. Tetapi Ayah hanya memberi saran untuk kamu Nak.” nasihat ayah
panjang lebar.
“iya loh Nak! Menurut Ibu, saran Ayah mu itu juga bagus. Karena kan kalau sekolahnya dekat
itu, tidak memerlukan ongkos, selain bisa menghemat ongkosnya, bisa membuat kamu bebas
dari macet dan tidak terlambat saat ke sekolah.” penjelasan ibu panjang lebar.
Aku hanya bisa diam saat Ayah dan Ibu ku berkata seperti itu. Aku sedikit kecewa dengan
mereka. Tetapi aku tidak mau mengecewakan mereka. Aku berfikir sejenak, dan setelah ku
pertimbangkan, omongan Ayah dan Ibuku ada benar nya juga, aku juga tidak perlu
menghabiskan waktu ku untuk berangkat dan pulang sekolah.
“Baiklah Yah, Bu, aku akan mengikuti nasihat Ayah dan Ibu. Aku akan melanjutkan sekolah ku
ke SMAN 110 saja.” kata ku sambil tersenyum kepada Ayah dan Ibu ku.
“wah!! Bagus kalau kamu mau mengikuti nasihat Ayah dan Ibu” kata ku sambil tersenyum
kepada Ayah dan ibu.
“iya. Ibu juga ikut senang kalau begitu.” kata Ibu.
“Iya Bu, setelah aku fikir-fikir, omongan Ayah sama Ibu ada benarnya juga.” kata ku.
“Iya Nak, Ayah harap kamu bisa tambah giat belajarnya. Supaya nanti bisa dapat nilai yang
tinggi saat UN ya.” kata Ayah sambil mengelus kepala ku.
“Iya Yah. Terimakasih atas nasihat Ayah. InsyaAllah aku akan giat lagi belajarnya Yah.” kata
ku.

Ternyata setiap nasihat itu mempunyai makna tersendiri. Dari nasihat Ayah, aku bisa belajar
menjadi anak yang tidak egois dan mau mendengarkan nasihat yang Ayah berikan. Karena setiap
nasihat dari orangtua itu selalu benar dan bermanfaat bagi anaknya. Setiap orangtua tidak akan
pernah mau menyesatkan anaknya sendiri. Justru orangtua itu akan terus menuntun anaknya ke
jalan yang benar.

Anda mungkin juga menyukai