1
Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan penelitian (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1994), hlm. 21.
2
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: PT Gelora Aksara
Pratama, 1990), hlm. 119.
3
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: PT Gelora Aksara
Pratama, 1990), hlm. 119.
bagaimana cara memperoleh dan menyusun pengetahuan yang benar berdasarkan
metode ilmiah maka secara filsafati dapat dikatakan bahwa metodologi ini
termasuk dalam katagori epistemologi.4
Epistemologi merupakan pembahasan bagaimana kita mendapatkan
pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan? Apakah hakikat, jangkauan
dan ruang lingkup pengetahuan? Apakah manusia dimungkinkan untuk
mendapatkan pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk
ditangkap manusia.5
Melalui cara kerja berdasarkan metode ilmiah ini maka pengetahuan yang
dihasilkan diharapkan mempunyai karakteristik (watak dan ciri khasnya) sesuai
dengan tuntutan pengetahuan ilmiah. Yakni, bersifat rasional dan teruji yang
memungkinkan sebagai pengetahuan yang dapat diandalkan.6
Yang menjadi tujuan ilmu pengetahuan tidak lah lain ialah tercapainya
kebenaran. Untuk mencapai tujuan, yaitu kebenaran, maka ditempuhlah cara dan
jalan tertentu, yang dikenal dengan metode ilmu pengetahuan atau metode ilmiah.
Cara atau jalan yang dilalui oleh proses ilmu sehingga mencapai kebenaran adalah
bermacam-macam, tergantung kepada sifat ilmu itu sendiri, ilmu pengetahuan
alamkah atau ilmu sosial.
Menurut Elgin F. Hunt metode ilmu (dalam hal ini ilmu sosial) meliputi
enam bagian, yaitu:
4
Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan penelitian (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1994), hlm. 22.
5
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: PT Gelora Aksara
Pratama, 1990), hlm. 119.
6
Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan penelitian (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1994), hlm. 22.
7
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987), hlm. 61.
1. Observasi
2. Perumusan masalah
3. Mengumpulkan dan mangklasifikasi fakta
4. Mengadakan generalisasi
5. Perumusan hipotesa
6. Mengadakan testing dan verifikasi8
Dari rangkaian keterangan termaksud di atas jelaslah bahwa terbentang
jalan yang panjang yang dilalui dalam proses dari pengetahuan biasa
menjadi pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Proses yang ditempuh
itu, yang dikenal dengan sebutan metode ilmiah itu, ialah antara lain dapat
disusun sebagai berikut:
1. Pengumpulan (koleksi) data dan fakta
2. Pengamatan (observasi) data dan fakta
3. Pemilihan (seleksi) data dan fakta
4. Penggolongan (klasifikasi) data dan fakta
5. Penafsiran atau interpretasi data dan fakta
6. Penarikan kesimpulan umum (generalisasi
7. Perumusan atau hipotesa
8. Pengujian (verifikasi) terhadap hipotesa melalui riset, empiri dan
eksperimen.
9. Penilaian (evaluasi): menerima atau menolak atau menambah atau
merubah hipotesa
10. Perumusan teori ilmu pengetahuan: dan
11. Perumusan dalil atau hukum ilmu pengetahuan9
8
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987), hlm. 63.
9
Endang Saifuddin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987), hlm. 63-
64.
Alur berpikir yang tercakup dalam metode ilmiah dapat dijabarkan dalam
beberapa langkah yang mencerminkan tahap-tahap dalam kegiatan ilmiah.
Kerangka berpikir ilmiah yang berintikan proses logico-hypotetico-verifikasi ini
pada dasarnya terdiri dari langkah-langkah sebagai berikut:
1. Perumusan masalah yang merupakan pertanyaan mengenai objek
empiris yang jelas batas-batasnya serta dapat diidentifikasikan faktor-
faktor yang terkait di dalamnya.
2. Penyusunan kerangka berpikir dalam pengajuan hipotesis yang
merupakan argumentasi yang menjelaskan hubungan yang mungkin
terdapat antara berbagai faktor yang saling mengkait dan membentuk
konstelasi permasalahan. Kerangka berpikir ini disusun secara rasional
berdasarkan premis ilmiah yang teruji kebenarannya dengan
memperhatikan faktor-faktor empiris yang relevan dengan
permasalahan.
3. Perumusan hipotesis yang merupakan jawaban sementara atau dugaan
terhadap pertanyaan yang diajukan yang materinya merupakan
kesimpulan dari kerangka berpikir yang dikembangkan.
4. Pengujian hipotesis yang merupakan pengumpulan fakta-fakta yang
relevan dengan hipotesis yang diajukan untuk memperlihatkan apakah
terdapat fakta-fakta yang mendukung hipotesis tersebut atau tidak.
5. Penarikan kesimpulan yang merupakan penilaian apakah sebuah
hipotesis yang diajukan itu ditolak atau diterima sekiranya dalam proses
pengujian terdapat fakta yang cukup yang mendukung hipotesi maka
hipotesis itu diterima. Sebaliknya kiranya dalam proses pengujian tidak
terdapat fakta yang cukup mendukung hipotesis maka hipotesis itu
ditolak. Hipotesis yang diterima kemudian dianggap menjadi bagian
dari pengetahuan ilmiah sebab telah memenuhi persyaratan keilmuan
yakni mempunyai kerangka penjelasan yang konsisten dengan
pengetahuan ilmiah sebelumnya serta telah teruji kebenarannya.
Pengertian kebenaran di sini harus ditafsirkan secara prakmatis artinya
bahwa sampai saat ini belum terdapat fakta yang menyatakan
sebaliknya.10
10
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: PT Gelora Aksara
Pratama, 1990), hlm. 128.
11
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: PT Gelora Aksara
Pratama, 1990), hlm. 128-130.
a. Kesadaran akan adanya masalah menyadari adanya persoalan, berarti
membuka keinginan untuk mencoba menemukan pemecahannya. Inilah
awal penemuan ilmu.
b. Pemeriksaan (lebih jauh) persoalan, dalam arti pengujian terhadap suatu
masalah, yang dimulai dengan pengamat. Tindakan ini diawali dengan
suatu minat atau ketertarikan terhadap masalah dan karenanya berupaya
untuk memahaminya. Meskipun minat untuk memahami cendrung
berlanjut dengan minat untuk memeahami solusinya, tapi tentu saja
upaya awal harus terfokus kepada pemahaman akan masalah. Inilah
upaya untuk mengklarifikasi masalah, yaitu baik untuk menandai batas-
batasnya maupun untuk menganalisa unsur-unsurnya. Klarifikasi
demikian bertujuan untuk membedakan aspek-aspek masalah yang
relevan dari yang tidak relevan. Ini bertujuan untuk memberikan dasar
bagi pembedaan antara data yang relevan dengan yang tidak relevan
(karenanya menjadi hipotesa yang relevan dan tidak relevan) .
c. Mengusulkan solusi, supaya dapat memuaskan, sudah tentu solusi harus
relevan dengan masalah. Untuk maksud demikian, perlu
mempertimbangkan saran-saran awal, melakukan pemikiran trial and
error. Meski demikian kalau sebuah masalah penting, tetapi tidak
ditemukan solusinya, para ilmuan biasanya mencoba hipotesa kerja,
yaitu hipotesa yang hanya relevan dengan beberapa segi esensial
masalah, lalu dengan menyelidiki implikasi hipotesa tersebut, mereka
bisa menemukan data tambahan yang relevan dengan klarifikasi
masalah lebih lanjut atau sangkalan terhadap hipotesa kerja itu.
d. Menguji usulan. Ada dua jenis pengujian (pembuktian hipotesa), yang
dapat dibedakan menjadi: mental dan operasional. Yang pertama,
banyak hipotesis yang ada, pada awalnya sudah memberikan kesan
untuk dapat diuji secara mental sebelum ada beberapa tawaran atau
masukan terhadapnya. Yang kedua, operasional testing atau pengujian
operasional sering melbatkan perancangan satu atau lebih eksperimen
bertujuan untuk menunjukkan kemungkinan hipotesa untuk
dilaksanakan. Ini melibatkan pengamatan atas bukti baru yang dapat
membenarkan hipotesa atau menolaknya.
e. Penyelesaian masalah. Masalah bisa tetap ilmiah sekalipun tidak
dipecahkan, bahkan sekalipun kelihatan tidak dapat dipecahkan oleh
metode-metode yang diketahui sekarang ini. Akan tetapi tujuan dan
maksud metode ilmiah adalah memecahkan masalah. Masalah yang
berasal dari keraguan, tidak sepenuhnya dapat terpecahkan hingga
keraguan itu hilang, dan para peneliti merasa puas bahwa pemahaman
telah dicapai. Masalah awal, ditambah masalah tambahan, muncul
selama masa penelitian yang menentukan kriteria terhadap solusi yang
memuaskan.12
Demikianlah secara singkat telah dibahas hakikat metode ilmiah yang alur-
alur pikirannya tercermin dalam langkah-langkah tertentu. Alur pikiran keilmuan
inilah yang penting sebab ilmu pada kenyataanlah yang paling asasi adalah produk
kegiatan berpikir lewat suatu cara berpikir tertentu. Dengan metode ilmiah sebagai
paradigma maka ilmu dibandingkan dengan berbagai pengetahuan lainnya dapat
dikatakan berkembang dengan sangat cepat. Salah satu faktor yang mendorong
perkembangan ini adalah faktor sosial dari komunikasi ilmiah di mana penemuan
individual segera dapat diketahui dan dikaji oleh anggota masyarakat ilmuwan
lainnya. Tersedia alat komunikasi tertulis dalam bentuk majalah, buletin, jurnal,
film dan berbagai media massa lainnya sangat menunjang intensitas dan
efektivitas komunikasi ini. suatu penemuan baru di negara yang baru segera dapat
diketahui oleh ilmuwan di negara-negara lainnya. Penemuan ini segera dapat
diteliti kebenarannya oleh kalangan ilmiah di mana saja sebab prosedur untuk
menilai kesahihan pernyataan yang dikandung pengetahuan tersebut sama-sama
telah diketahui oleh seluruh masyarakat ilmuwan.13
12
Muhamma Muslih, Filsafat Ilmu Kajian Atas Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori
Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Penerbit Belukar), hlm. 29-30.
13
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer (Jakarta: PT Gelora Aksara
Pratama, 1990), hlm. 133-134.
KESIMPULAN
Anshari, Endang Saifuddin. Ilmu Filsafat dan Agama. Bandung: PT Bina Ilmu Karya, 1987.
Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Bina
Harapan, 1990.
Lubis, Solly. Filsafat Ilmu dan Penelitian. Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1994.
Muslih, Mohammad. Filsafat Ilmu Kajian atas Asumsi Dasar, Paradigma dan kerangka
teori ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Belukar, 2016.