Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penerapan otonomi daerah di Indonesia berdasarkan Undang-Undang No.

32 Tahun 2004 pasal 1 angka 5 yang berbunyi otonomi daerah adalah hak,

wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri

urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan

peraturan perundang-undangan.

Reformasi pengelolaan keuangan negara dan daerah membuat masyarakat

semakin menyadari hak dan kewajibannya sebagai warga negara dan dapat

menyampaikan aspirasi dalam perbaikan terhadap pengelolaan keuangan negara

dan daerah pada instansi - instansi pemerintah pusat maupun daerah (Nasution,

2018).

Undang - Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

serta Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan

Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pemerintah daerah diberi

keleluasaan untuk mencari sumber penerimaan berupa pendapatan sendiri yang

didapatkan dari potensi daerah yang diharapkan dapat dikelola sebaik mungkin.

Pemerintah Daerah juga diberi kewenangan dalam mengatur sumber dana,

menentukan arah tujuan, dan target penggunaan penganggaran. Dalam mengelola

pemerintahan daerah, diperlukannya penilaian untuk melihat apakah kinerja

pengelolaan keuangan daerah sudah dilakukan secara efisien dan efektif.


Peraturan Pemerintah Nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan

Keuangan Daerah yang dijabarkan oleh Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor

13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah sebagaimana

telah diubah dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011

tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13

Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah adalah

merupakan panduan dan pedoman dalam Pengelolaan Keuangan Daerah.

Maka, terkait dengan hal tersebut pemerintah daerah dianggap perlu untuk

mempersiapkan instrument yang tepat dalam melaksanakan pengelolaan

keuangan daerahsecara transparan, professional dan akuntabel sehingga

bermuara pada meningkatnya kinerja keuangan pemerintah daerah (Nasution,

2018).

Penilaian kinerja pengelolaan keuangan tersebut dilakukan terhadap

Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Anggaran sebagai instrumen

kebijakan pemerintah harus dapat menunjukkan kinerja yang baik. Tujuannya

untuk penilaian secara internal maupun dalam mendorong pertumbuhan ekonomi

sehingga diharapkan bisa menimbulkan efek domino yang positif yaitu

mengurangi pengangguran dan menurunkan tingkat kemiskinan. Kinerja yang

terkait dengan anggaran merupakan kinerja keuangan berupa perbandingan antara

komponen-komponen yang terdapat pada anggaran.

Pengukuran kinerja keuangan pemerintah daerah dapat menggunakan

beberapa rasio, yaitu rasio kemandirian merupakan kemampuan pemerintah


daerah untuk mendanai kegiatan pemerintah, pembangunan, serta pelayanan

kepada masyarakat yang telah membayar pajak dan retribusi (Halim, 2007:232).

Rasio efektivitas merupakan kemampuan pemerintahan daerah dalam

merealisasikan PAD yang telah direncanakan dibandingkan dengan target yang

ditetapkan berdasarkan potensi riil daerah (Halim, 2007:234). Rasio efisiensi

adalah rasio yang menggambarkan perbandingkan realisasi pengeluaran (belanja)

dengan realisasi penerimaan daerah (Halim, 2007:234)

Agar sesuai dengan analisis rasio keuangan maka ada beberapa indikator

yang digunakan untuk mengetahui keberhasilan kinerja pengelolaan keuangan

daerah. Salah satu indikator keberhasilan kinerja pengelolaan keuangan adalah

keberhasilan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Dengan adanya

pertumbuhan ekonomi diharapkan memberi kesempatan pada daerah untuk

mengurangi tingkat pengangguran serta menurunkan tingkat masyarakat miskin

(Astuti, 2015)

Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator yang amat

penting dalam menilai kinerja suatu perekonomian, terutama untuk

melakukan analisis tentang hasil pembangunan ekonomi yang telah

dilaksanakan suatu negara atau suatu daerah. Ekonomi dikatakan

mengalami pertumbuhan apabila produksi barang dan jasa meningkat

dari tahun sebelumnya. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi

menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian dapat menghasilkan

tambahan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat pada periode tertentu.

Pertumbuhan ekonomi suatu negara atau suatu wilayah yang terus


menunjukkan peningkatan, maka itu menggambarkan bahwa perekonomian

negara atau wilayah tersebut berkembang dengan baik (Amir, 2007).

Terlaksananya pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta menurunnya

tingkat pengangguran dan masyarakat miskin juga tidak terlepas dari pengelolaan

keuangan daerah yang baik. Sesuai dengan Pedoman Pengelolaan Keuangan

Daerah yang diatur dalam Pemendagri Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 4 Ayat (1),

keuangan daerah harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-

undangan, transparan, efektif, efisien, ekonomis, dan bertanggung jawab dengan

memperhatikan azas keadilan, kepatuhan, serta bermanfaat untuk masyarakat.

Penilaian terhadap pengelolaan keuangan daerah dapat dilihat dari hasil analisis

terhadap APBD yang telah ditetapkan dan dilaksanakan (Halim, 2002).

Pertumbuhan ekonomi menunjukkan sejauh mana aktivitas perekonomian

mampu menghasilkan tambahan pendapatan masyarakat dalam suatu periode

tertentu (Sukirno, 2006:423). Tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan

pemerataan pendapatan, berarti secara langsung maupun tidak langsung akan

mengurangi jumlah pengangguran yang merupakan keadaan dimana sesorang

yang tergolong angkatan kerja namun tidak memliki pekerjaan (Nanga, 2005:

249) serta menurunkan tingkat kemiskinan, dimana kemiskinan adalah

ketidakmampuan dalam memenuhi standar minimum kebutuhan dasar yang baik

itu kebutuhan makan maupun non makan (BPS, 2008).

Pandemi Covid-19 yang mulai melanda Kalimantan Selatan sejak bulan

Maret 2020 memukul perekonomian di berbagai sektor usaha. Pembatasan proses

produksi dan penurunan permintaan memaksa para pelaku usaha untuk berjibaku
menyelamatkan usaha, bahkan tidak sedikit yang terpaksa gulung tikar. Tidak

hanya pelaku usaha berskala kecil, pelaku berskala besar pun harus memutar otak.

Pandemi yang merebak secara global juga memaksa pasar ekspor produk

Kalimantan Selatan untuk mengurangi permintaan.Meski demikian, sektor

pertanian, pertambangan dan penggalian, perdagangan, dan industri pengolahan

masih menjadi sektor-sektor dengan kontribusi besar di Kalimantan Selatan.

Sektor sektor tersebut menyumbang lebih dari separuh Produk Domestik Regional

Bruto (PDRB) Kalimantan Selatan (BPS,2021).

Tabel 1.1 Persentase Pertumbuhan Ekonomi di Kalimantan Selatan

No Tahun Persentase Pertumbuhan Ekonomi

1 2016 4,40 %

2 2017 5,28 %

3 2018 5,12 %

4 2019 4,08 %

5 2020 -1,81 %

Sumber : Data BPS yang diolah

Dapat dilihat dari Tabel 1.1 bahwa persentase pertumbuhan ekonomi di

Kalimantan Selatan dari tahun 2016 sampai dengan 2020 mengalami

ketidakstabilan dan menurun tajam di tahun 2020. Hal ini menandakan

menurunnya kinerja perekonomian di Kalimantan Selatan yang menyababkan

perumbuhan ekonomi di tahun 2020 menurun tajam. Dengan adanya penurunan

pertumbuhan ekonomi tidak menutup kemungkinan terjadinya penuruan

kesejahteraan masyarakat serta meningkatnya pengangguran.


Pertumbuhan ekonomi di Indonesia diiringi dengan meningkatnya jumlah

penduduk. Sebagian besar penduduk Indonesia masih banyak yang menjadi

pengangguran. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tingkat

pengangguran terbuka di Indonesia pada tahun 2020 bulan Februari tercatat

sebesar 05,01 persen. Pengangguran menurut definisi BPS adalah (1) mereka yang

tidak bekerja dan mencari pekerjaan; (2) mereka yang tidak bekerja dan

mempersiapkan usaha; (3) mereka yang tidak bekerja dan tidak mencari pekerjaan

karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan; dan (4) mereka yang tidak

bekerja dan tidak mencari pekerjaan karena sudah diterima bekerja, tetapi belum

mulai bekerja. Berdasarkan hal tersebut, tampak jelas bahwa mereka yang

dianggap pengangguran hanyalah kelompok penduduk yang termasuk angkatan

kerja, yakni kelompok penduduk usia kerja (Usia 15 tahun s.d. 64 tahun) yang

tidak bekerja dengan berbagai kondisi (4 kondisi) yang disebutkan di atas.

Angkatan kerja juga tidak mencakup mereka yang bersekolah, mengurus rumah

tangga, dan melaksanakan kegiatan lainnya.

Pertumbuhan ekonomi dapat meningkat dengan adanya kontribusi dari

penduduk yang bekerja dalam menghasilkan barang dan jasa sedangkan dengan

adanya pengangguran yang tidak memberikan kontribusi terhadap hal tersebut.

Dengan pertumbuhan ekonomi yang meningkat diharapkan mampu

menyelesaikan masalah pengangguran serta kemiskinan. Undang-Undang APBN

2011, Undang-Undang APBN 2012, dan Undang-Undang APBN 2013

menyebutkan adanya keterketaitan antara pertumbuhan ekonomi dengan

penyerapan tenaga kerja. Dalam penyerapan tenaga kerja dari 1 % pertumbuhan


ekonomi dimaksudkan agar pemerintah dapat mengupayakan pertumbuhan

ekonomi yang berkualitas dengan adanya penurunan jumlah pengangguran.

Tabel 1.2 Jumlah Penduduk Pengangguran/Mencari Kerja di

Kalimantan Selatan

No Tahun Jumlah Pengangguran/Mencari Kerja

(Jiwa)
1 2016 113 296.00

2 2017 98 956.00

3 2018 92 810.00

4 2019 89 269.00

5 2020 103 648.00

Sumber : Data BPS yang diolah

Dapat dilihat dari Tabel 1.2 bahwa jumlah pengangguran/mencari kerja di

Kalimantan Selatan di tahun 2016 dengan tingkat pengangguran yang tinggi

kemudian terjadinya penurunan di tahun 2017 sampai dengan 2019. Namun

melonjak tinggi lagi di tahun 2020 yang menyebabkan turunnya pertumbuhan

ekonomi di tahun tersebut dan salah satu dampaknya yaitu pengangguran.

Bertambahnya jumlah pengangguran di Kalimantan Selatan pada tahun

2020 sebesar 103 648.00, yang masuk kategori pengangguran tersebut adalah

masyarakat yang masuk dalam angkatan kerja berusia di atas 15 tahun. Angka

pengangguran bertambah lantaran sejumlah sektor usaha mengalami penurunan

dalam penerimaan tenaga kerja. Sementara jumlah angkatan kerja bertambah

(Kepala BPS Provinsi Kalimantan Selatan Mengenai Keadaan Ketenagakerjaan,

2020). Hal tersebut berdampak pula terhadap kesejahteraan masyarakat yang


apabila menganggur atau tidak memiliki pekerjaan maka tidak ada pula

pemasukkan untuk memenuhi kebutuhannya.

Tercapainya pertumbuhan ekonomi juga dapat di ukur dengan tingkat

kemiskinan. Menurut Wongdesmiwati (2009), menyatakan meningkatnya

pertumbuhan ekonomi memang tidak cukup untuk mengentaskan kemiskinan,

namun menjadi sesuatu yang dibutuhkan. Kenyataan ini berarti bahwa

pertumbuhan ekonomi yang tinggi menjadi tidak berarti bagi penurunan

masyarakat miskin jika tidak diiringi dengan pemerataan pendapatan.

Kemiskinan adalah keadaan yang sering dihubungkan dengan kebutuhan,

kesulitan dan kekurangan di kehidupan. Menurut Rintuh (2003), kemiskinan dapat

diartikan sebagai ketidak mampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan

konsumsi dasar dan meningkatkan kebutuhan konsumsi dasar dan kualitas

hidupnya. Ada dua macam ukuran kemiskinan yaitu kemiskinan absolut dan

kemiskinan relatif. Kemiskinan absolut adalah ketidakmampuan seseorang

melampaui garis kemiskinan yang ditetapkan, sedangkan kemiskinan relatif

berkaitan dengan perbedaan tingkat pendapatan suatu golongan dibandingkan

dengan golongan lainnya.

Menurut Yolanda dan Chairul, (2020) di Provinsi Kalimantan Selatan ini,

dapat diketahui bahwa semakin tahun penduduknya semakin banyak entah karena

angka kelahiran yang tinggi ataupun migrasi. Namun apabila dengan semakin

bertambahnya penduduk tidak di imbangi dengan lapangan pekerjaan yang

tersedia akan berdampak pula dengan kemiskinan.


Tabel 1.3 Jumlah Penduduk Miskin di Kalimantan Selatan (Jiwa)

No Tahun Jumlah Kemiskinan (Jiwa)


1 2016 195.700
2 2017 193.913
3 2018 189.033
4 2019 192.480
5 2020 187.874
Sumber: Data BPS yang diolah

Dapat dilihat dari Tabel 1.3 bahwa kemiskinan pada tahun 2016 sampai

dengan 2018 terjadi penurunan kemudian meningkat kembali ditahun 2019, dan

menurun di tahun 2020. Ketidakstabilan penurunan kemiskinan termasuk

berdampak terhadap pertumbuhan ekonomi.

Penurunan kemiskinan di tahun 2020 berbeda dengan meningkatnya

pengangguran. Hal tersebut dapat terjadi dikarenakan belum ingin bekerja,

mempersiapkan usaha, mempunyai pekerjaan tetapi belum bekerja sehingga tidak

terjadi peningkatan kemiskinan sebab pilihan setiap seseorang untuk menganggur

beda-beda dan memungkinkan keluarganya dapat memenuhi kebutuhannya.

Penelitian yang dilakukan oleh Ani & Dwiranda (2014), pengaruh kinerja

keuangan daerah pada pertumbuhan ekonomi, pengangguran, dan kemiskinan

kabupaten dan kota menunjukkan bahwa kinerja keuangan yang terdiri dari rasio

kemandirian menunjukan bahwa berpengaruh positif secara signifikan terhadap

pertumbuhan ekonomi, sedangkan rasio efektivitas, rasio efisiensi, dan

pertumbuhan pendapatan tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan

ekonomi. Selanjutnya antara kinerja keuangan terhadap pengangguran,


menunjukkan bahwa kinerja keuangan berupa rasio kemandirian, rasio efektivitas,

rasio efisiensi, dan pertumbuhan pendapatan tidak berpengaruh signifikan

terhadap pengangguran, sedangkan antara kinerja keuangan terhadap kemiskinan

menunjukkan bahwa rasio kemandirian berpengaruh positif secara signifikan

terhadap kemiskinan, dan rasio efektivitas, rasio efisiensi, serta pertumbuhan

pendapatan tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan.

Menurut Nurulita dkk (2018), dalam penelitiannya analisis pengaruh

kinerja keuangan daerah terhadap pertumbuhan ekonomi dan dampaknya terhadap

tingkat pengangguran di provinsi Riau menunjukkan bahwa tidak terdapat

pengaruh yang signifikan antara rasio kemandirian danrasio efektivitas keuangan

daerah terhadap pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau. Sedangkan untuk rasio

efisiensi, terdapat pengaruh yang signifikan antararasio efisiensiterhadap

pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau. Selain itu, hasil penelitian ini juga

menunjukkan bahwa tidak terdapat pengaruh yang signifikan antara rasio

kemandirian danrasio efisiensi keuangan daerah terhadap tingkat pengangguran di

Provinsi Riau melalui variabel pertumbuhan ekonomi Provinsi Riau. Sedangkan

untuk rasio efektivitas, terdapat pengaruh yang signifikan antararasio efektivitas

terhadap tingkat pengangguran melalui pertumbuhan ekonomi di Provinsi Riau.

Penelitian yang dilakukan Astuti (2015), analisis pengaruh kinerja

keuangan terhadap pertumbuhan ekonomi dan dampaknya terhadap pengangguran

dan kemiskinan (studi pada kabupaten dan kota di pulau Jawa periode 2007-2011)

menunjukkan bahwa rasio kemandirian dan rasio efektivitas berpengaruh positif

pada pertumbuhan ekonomi, sedangkan rasio efisiensi tidak berdampak signifikan


terhadap pertumbuhan ekonomi. Hasil pengujian pengaruh pertumbuhan ekonomi

terhadap pengangguran dan kemiskinan menunjukkan bahwa pertumbuhan

ekonomi memiliki efek negatif yang signifikan terhadap pengangguran, namun

tidak signifikan terhadap kemiskinan.

Penelitian ini merupakan replikasi dari penelitian Astuti (2015), dimana

obyek penelitiannya adalah kabupaten/kota yang ada di pulau Jawa dengan

periode penelitian dari tahun 2007 sampai dengan 2011. Perbedaan penelitian ini

dengan penelitian Astuti adalah pada obyek penelitian yaitu pada penelitian ini

obyeknya kabupaten/kota di Provinsi Kalimantan Selatan dengan periode

penelitian dari tahun 2016 sampai dengan 2020.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dikaji

dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pengaruh kinerja keuangan daerah berupa rasio kemandirian

terhadap pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Selatan ?

2. Bagaimana pengaruh kinerja keuangan daerah berupa rasio efektivitas

terhadap pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Selatan ?

3. Bagaimana pengaruh kinerja keuangan daerah berupa rasio efisiensi

terhadap pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Selatan ?

4. Bagaimana pengaruh serta dampak pertumbuhan ekonomi terhadap

pengangguran di Kalimantan Selatan ?


5. Bagaimana pengaruh serta dampak pertumbuhan ekonomi terhadap

kemiskinan di Kalimantan Selatan ?

1.3 Batasan Masalah

Pembatasan masalah digunakan untuk menghindari adanya pelebaran

pokok masalah agar penelitian lebih terarah dan memudahkan dalam pembahasan

sehingga tujuan penelitian akan tercapai. Adapun batasan masalah dalam

penelitian ini adalah variabel yang digunakan pada penelitian ini untuk

pemerintah daerah variabel yang digunakan kinerja keuangan, pertumbuhan

ekonomi, pengangguran serta kemiskinan.

1.4 Tujuan Penelitian

1. Untuk menganalisis pengaruh kinerja keuangan daerah berupa rasio

kemandirian terhadap pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Selatan.

2. Untuk menganalisis pengaruh kinerja keuangan daerah berupa rasio

efektivitas terhadap pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Selatan.

3. Untuk menganalisis pengaruh kinerja keuangan daerah berupa rasio

efisiensi terhadap pertumbuhan ekonomi di Kalimantan Selatan.

4. Untuk menganalisis pengaruh serta dampak pertumbuhan ekonomi

terhadap pengangguran di Kalimantan Selatan.

5. Untuk menganalisis pengaruh serta dampak pertumbuhan ekonomi

terhadap kemiskinan di Kalimantan Selatan.


1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Akademis

Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi penelitian selanjutnya dan

dapat memberikan kontribusi dalam menambah referensi mengenai variabel yang

mmempengaruhi kinerja keuangan daerah serta pertumbuhan ekonomi.

1.5.2 Manfaat Praktis

Bagi pemerintah, penelitian ini dapat menjadi masukan untuk mendukung

serta dalam hal peningkatan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai