Anda di halaman 1dari 3

Rabu, 06 oktober 2021 21:06 WIB

Yusril Gugat AD/ART Partai Demokrat, Para Pakar Hukum Sampaikan Kritik

JAKARTA – Pakar-pakar hukum tata negara dari berbagai kampus di seluruh Indonesia, sebagaimana
rilis yang dikutip di Jakarta, Rabu (6/10/2021), menilai langkah advokat Yusril Ihza Mahendra
menggugat AD/ART Partai Demokrat melalui judicial review di Mahkamah Agung (MA) sebagai
manipulasi intelektual yang berpotensi menimbulkan kekacauan hukum.

Dr. Zainal Arifin Mochtar, S.H., LL.M., Lektor Kepala Hukum Tata Negara UGM, Jogyakarta
menandaskan, “Peraturan itu dibuat oleh Lembaga negara. Bagaimana mungkin partai itu dianggap
sebagai Lembaga negara. AD/ART itu konstitusi bagi partai, internal partai. Secara ketatanegaraan
mustahil untuk menyamakan AD/ART dengan peraturan perundang-undangan. Kan yang bisa dibawa
ke Mahkamah Agung itu adalah peraturan perundang-undangan, AD/ART itu bukan peraturan
perundang-undangan bagaimana bisa digugat di MA,”.

Dari Sumatera Barat, Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas Feri Amsari, S.H., M.H., LL.M
menegaskan, “Mahkamah Agung (MA) tidak berwenang menguji AD/ART Parpol karena sifatnya
keputusan yang tidak berada di bawah undang-undang. Sesuai teori, AD/ART adalah aturan yang
sifatnya hanya mengikat untuk kader parpol yang bersangkutan,”.

Selain itu, pihak yang berhak melayangkan gugatan harus merupakan kader dari partai yang
bersangkutan. Sementara, empat orang yang mengajukan gugatan judicial review ke MA sudah tidak
lagi berstatus kader Partai Demokrat. Mereka sudah dipecat oleh Ketua Umum AHY karena ikut hadir
dalam KLB di Deli Serdang. “Bayangkan semua warga negara bakal bisa menguji AD/ART parpol
mana pun. Stabilitas parpol akan terganggu,” tegas Feri.
Potensi anarkisme hukum ini juga menjadi perhatian dosen hukum dari Universitas Islam Indonesia,
Jogyakarta , Dr. T. M. H. Luthfi Yazid, SH.,LL.MM. “Jika MA sampai mengabulkan JR terhadap ART
Partai Demokrat maka ini akan membuka gerbang anarkisme hukum (legal anarchism), sebab setiap
orang dapat mengajukan permohonan JR terhadap AD/ART Partai Politik atau organisasinya
sehingga menafikan kepastian hukum,” papar Dr. Luthfi Yazid yang juga Wakil Presiden Kongres
Advokat Indonesia (KAI).

“AD/ART adalah sifatnya kesepakatan internal Partai Politik, sedangkan yang dapat diajukan judicial
review adalah regulasi yang dibuat otoritas resmi untuk kepentingan umum,” kata Luthfi.

Dr. Luthfi menjelaskan, setidaknya ada tiga aspek mengapa AD/ART bukanlah objek JR di MA yakni
eksistensi norma, relasi, dan implikasinya. “Yang dilakukan Yusril Ihza Mahendra bukanlah terobosan
hukum, melainkan logical fallacy. Apakah ini juga patut diduga sebagai intellectual manipulation?”
kata Dr. Luthfi Yazid.

Menanggapi alasan inovasi hukum yang diajukan penggugat, dosen Hukum Tatanegara Universitas
Trisakti, Jakarta, M. Imam Nasef, SH, MH, menegaskan, “Pengajuan AD ART Parpol dengan skema uji
materi ke MA bukanlah legal breakthrough, tetapi breaking the law. Mengapa demikian? Karena
sesungguhnya sudah ditentukan skema dan jalurnya oleh UU Nomor 2/2011 tentang Partai Politik
(UU Parpol) melalui skema perselisihan partai politik,”.

Dari Makassar, Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Hasanuddin (Unhas) Prof Dr Aminuddin
Ilmar, SH, MH, mengingatkan pengesahan pendirian partai politik, termasuk di dalamnya Anggaran
Dasar partai politik, telah melalui proses penelitian dan/atau verifikasi oleh Kemenkumham untuk
disahkan sebagai badan hukum.

“Kalaupun ada peraturan dan keputusan yang dibuat parpol yang tidak sesuai dengan AD/ART
parpol, apatah lagi bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, maka tentu
saja peraturan atau keputusan partai politik itulah yang haruslah diuji, apakah absah ataukah tidak,”
papar Prof. Aminuddin.

“Jadi bukan Anggaran Dasarnya yang harus digugat tetapi peraturan atau keputusan dari partai
politik tersebut yang bertentangan,” imbuhnya.

Berdasarkan teori dan ilmu perundang-undangan, dosen ilmu perundang-undangan Universitas


Brawijaya, Malang, Dr. Aan Eko Widiarto, S.H., M.Hum juga menyimpulkan bahwa Judicial Review
tidak bisa dilakukan terhadap AD/ART Partai Demokrat karena tidak termasuk dalam pengertian
perundang-undangan.

Dampak dari upaya JR terhadap AD/ART PD ini, berbahaya. “Dengan menggolongkan AD ART sebagai
peraturan perundang-undangan maka hanya akan memunculkan dampak Negara turut campur
terhadap otonomi parpol dan negara menjadikan parpol sebagai bagian dari negara (supra struktur
politik) bukan lagi sebagai bagian dari rakyat (infra struktur politik),” pungkas Dr. Aan Widiarto, yang
juga Wakil Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

Sebelumnya, cnn indonesia melansir, Yusril menjadi kuasa hukum empat orang mantan kader Partai
Demokrat mengajukan uji materi terhadap AD/ART Partai Demokrat ke MA.

Empat kader itu telah dipecat AHY karena mendukung Kongres Luar Biasa yang menetapkan
Moeldoko sebagai ketua umum.
Yusril mengklaim mau menjadi kuasa hukum demi demokrasi yang sehat. Menurutnya, AD/ART
partai tetap harus sesuai dengan UU dan UUD, sehingga AD/ART Demokrat perlu diuji oleh
Mahkamah Agung.***

Anda mungkin juga menyukai