Anda di halaman 1dari 2

Poligami dan Nikah Siri

Pada dasarnya, laki-laki memiliki kodrat dapat menikah lebih dari satu. Maka islam menyempurnakannya
dengan membuat segenap batasan agar tetap adil dan tidak mendzalimi. Sebenarnya, poligami memang
sunnah Rasulullah, dibuktikan dengan adanya istri Rasul ada yang meriwayatkan 9 orang ada juga yang
meriwayatkan 11 orang. Tentunya dengan misi dakwah di dalamnya, bukan semata-mata ingin menikah
lebih dari satu.

Maka tentunya diperlukan syarat-syarat dasar tertentu dalam berpoligami. Berdasarkan dalil dalam surah
An-nisa: ayat 3, laki-laki diperbolehkan oleh Allah menikahi 2 atau 3 ataupun 4 perempuan yang mereka
sukai. Namun, ini tidak menjadikannya dalih untuk memuaskan nafsu belaka. Maka dari itu, syarat
dasarnya diantaranya adalah:

1. Mampu. Seorang lelaki yang telah menikah dapat dikatakan mampu apabila ia telah mencukupi bahkan
lebih dari sekedar mencukupi kebutuhan sandang, pangan, papan istri juga anak-anaknya. Tidak hanya
material, tapi juga morilnya. Dalam mendidik istri dan anak-anaknya berhasil dalam membina
ketaqwaannya pada Allah. Juga mampu dan bisa menegur, bahwasanya ini termasuk kedalam sosok
ri’ayah dan qowwam yang diharapkan. Maka jika hal ini telah bisa dipenuhi, syarat pertama bisa
dipertimbangkan.

2. Adil. Adil bukan berlaku sama atau memberikan porsi yang sama beratnya, tapi adil yang dimaksud
adalah TIDAK DZALIM. Artinya, jika ingin memiliki dan membangun keluarga yang kedua, tidak dengan
mendzalimi keluarga yang pertama. Langkahnya bisa dengan jujur dan mengutarakan niat,
mengkondisikan, melihat kesiapan diri juga kapasitas diri. Jika dirasa tidak dapat berlaku adil, maka
dengan satu saja cukup. Bahkan bisa lebih baik. Karena jika lebih dari satu dan menjadikannya tidak adil,
maka dianjurkan untuk hanya cukup satu saja.

3. Sudah dengan baik menjalankan kewajibannya di dalam keluarga, menunaikan hak-hak rakyatnya jika
ia seorang pemimpin, berlaku hal yang sama adilnya juga di tempatnya bekerja, orang-orang yang
dibawah naungannya merasa dapat keadilan yang haq.

4. Izin istri pertama bukan syarat sahnya pernikahan yang kedua. Namun bisa dikondisikan jika
sebelumnya pernah terjadi perjanjian hitam diatas putih untuk tidak berpoligami dalam kehidupan
pernikahan dengan istri pertama. Atau dikondisikan ketika sekiranya, seandainya terjadi keributan yang
besar yang bisa berujung pada perceraian juga konflik yang semakin besar. Maka, kembali pada kaidah
dasar fiqh; menghindari keburukan menjadi hal utama dibanding menunaikan kebaikan.

Seorang istri tidak bisa mengharamkan poligami namun boleh untuk tidak menyetujuinya selama melihat
kondisi suami masih belum selesai (sepenuhnya memenuhi/adil) dengan tanggungjawabnya sebagai
suami dan ayah di keluarganya, juga sebagai pemimpin di tempatnya bekerja. Seorang istri tidak memiliki
wewenang melarang suaminya berpoligami atas dasar cemburu saja. Namun, jika istri mengkhawatirkan
suami nantinya tidak dapat mampu dan berlaku adil, bisa didiskusikan.
Poligami tidak atas dasar syariat bukan termasuk sunnah, malah hal itu adalah dosa besar. Yaitu poligami
yang diawali dengan selingkuh dan zina, maka pernikahannya sah menurut rukun nikah, namun
poligaminya termasuk dosa besar karena berlaku dzalim kepada 2 wanita juga pada keluarganya sekaligus.
Hal ini tidak syar’i.

Poligami yang berdasarkan syari’at adalah, yang terlepas dari zina dan selingkuh juga memenuhi syarat
sah serta rukun nikah yang telah ditentukan. Mensyiarkan pernikahannya yang kedua agar tidak timbul
fitnah yang berkelanjutan.

Nikah siri: Nikah secara sembunyi-sembunyi. Pada zaman kenabian, Rasul tidak menyukai umatnya untuk
melakukan nikah secara siri karena khawatir menimbulkan fitnah dan perbuatan keji lainnya. Maka Rasul
menganjurkan untuk menyiarkan walimah meskipun itu adalah pernikahan kedua dan ketiga atau
keempat.

Pada zaman ini, terjadi perubahan makna nikah siri. Pada umumnya, nikah siri adalah nikah yang tidak
tercatat di negara, namun selama memenuhi semua rukunnya juga syarat sahnya, itu tidak masalah.
Namun, dampaknya bisa suatu saat berpengaruh pada hak waris atau sewaktu-waktu ada konflik yang
melibatkan persidangan dan adanya gugatan, maka pasangan siri tidak bisa saling menggugat di
pengadilan. Jika terjadi hal ini, hak-hak yang seharusnya didapatkan atau kewajiban yang seharusnya
ditunaikan dan urusannya diselesaikan secara adil di hadapan hakim, pasangan siri tidak bisa
mendapatkannya. Satu contoh, terjadinya perceraian dan suaminya meninggal. Sedangkan, pasangan siri
ini telah memiliki anak, dan seharusnya mendapatkan jatah waris. Namun, dikarenakan siri dan istri
pertamapun tidak mengetahuinya, hak waris bisa saja tidak didapatkan oleh keluarga keduanya. Maka
disarankan untuk sebaiknya nikah secara resmi yang diketahui juga oleh negara agar semua kewajiban
bisa tertunaikan dan segala hak bisa terpenuhi. Kita tidak bisa menutup diri dari hal ini, karena pada
dasarnya, pernikahan adalah “kerja sama” untuk mencapai visi yang telah dibuat oleh setiap pasangan.
Maka memerlukan negosiasi. Kita harus memikirkan dampak kedepannya, tidak egois juga tidak
memaksakan kehendak.

Wallahua’lam bisshawab.

Pemateri: Ustadz Fata Fauzi, Lc,.ME

Kajian Umum Komunitas Ngaji Ummi dan Komunitas Single Fillah (19 November 2021) via Zoom Meet
Online.

Ditulis oleh: Okke Muthia

Anda mungkin juga menyukai