Anda di halaman 1dari 28

ASPEK SOSIAL BUDAYA PADA KEHAMILAN, PERSALINAN, NIFAS

DAN BBL

Disusun Untuk Memenuhi Mata Kuliah Pelayanan KB

dan Kesehatan Reproduksi

Dosen Pengampu

Rani Safitri,SST.,M.Keb

Disusun oleh :
Farah Intan Eka Sari (192010)
Latifah Munawaroh (192015)
Radika Pramesta Karisma (192022)
Riska Febry Rahayu (192025)
Septya Zaliyanty Putri (192032)
Widia Ayu Ramadhan (192040)

PROGRAM STUDI D-III KEBIDANAN


INSTITUT TEKNOLOGI SAINS DAN KESEHATAN

RS Dr.SOEPRAOEN
KATA PENGANTAR

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga saya
dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa pertolongan-Nya tentunya kami
tidak akan sanggup untuk menyelesaikan makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga
terlimpah curahkan kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.
Penulis mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-Nya, baik
itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga kami mampu untuk menyelesaikan
pembuatan makalah sebagai tugas Pelayanan KB dan Kesehatan Reproduksi dari Ibu Rani
dengan judul “Adaptasi Fisiologi Bayi Baru Lahir pada Sistem Hepatik”.
Kami tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan masih
banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu, kami mengharapkan kritik
serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya makalah ini nantinya dapat menjadi makalah
yang lebih baik lagi. Kemudian apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini penulis
mohon maaf yang sebesar-besarnya.
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Malang, 12 Maret 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

1. KATA PENGANTAR .............................................................................................i

2. DAFTAR ISI............................................................................................................ii

3. BAB 1: PENDAHULUAN.......................................................................................1

1.1 Latar Belakang..........................................................................................2

1.2 Rumusan Masalah....................................................................................3

1.3 Tujuan.........................................................................................................3

1.4 Manfaat………………………………………………..……………....3

1.5 Alasan Penulis………………………………………………………….3

4. BAB 2: PEMBAHASAN..........................................................................................4

2.1 definisi difusi ereksi …………………………………………..………..4

2.2 etiologi…………………………………………………………………..5

2.3 anatomi penis……………………………………………………………5

2.4 fisiologi ereksi…………………………………………………………..8

2.5 manifestasi klinik………………………………………………………..9

2.6 diagnosa…………………………………………………………………10

2.7 pengobatan………………………………………………………………11

5. BAB 3: PENUTUP....................................................................................................24

3.1 Kesimpulan..................................................................................................24

3.2 Saran.............................................................................................................24

6. DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................25

3
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Aktivitas seksual merupakan kebutuhan biologis manusia untuk mendapatkan keturunan.
Seseorang memilih suatu gaya hidup umumnya dengan harapan ingin meningkatkan aktivitas
seksualnya. Tujuan ini tidak selalu tercapai karena ketidakmengertian atau kesalahan
informasi yang mereka terima sehingga akan berakibat buruk bagi kesehatan, baik kesehatan
fisiologis maupun kesehatan jiwa (Yohana Arisandi, 2008).
Banyak yang menganggap fungsi seksual hanya mencakup organ kelamin saja, tetapi
masih terdapat sederet faktor psikis yang ikut berperan. Faktor psikis ini meliputi semua
faktor yang mempengaruhi perkembangan hidup orang tersebut dari masa kanak-kanak
hingga dewasa. Beberapa faktor fisiologis yang juga berperan dalam fungsi seksual meliputi
hormon, neurotransmitter, pembuluh darah, saraf, dan otot. Bila terdapat gangguan pada
faktor psikis maupun faktor fisik maka fungsi seksual pun dapat terganggu sehingga dapat
mengganggu keharmonisan dalam rumah tangga (Yohana Arisandi, 2008). Masalah seksual
sering menjadi penghambat atau gangguan dalam kehidupan rumah tangga karena salah satu
pihak (suami atau isteri atau bahkan keduanya) mengalami disfungsi seksual. Disfungsi
seksual merupakan kondisi dimana fungsi seksual dalam tubuh seseorang mulai melemah.
Kondisi tersebut dapat terjadi pada saat usia muda, maupun usia lanjut karena kondisi fisik
dan mental mulai berkurang (Yohana Arisandi, 2008). Setiap gangguan (baik yang dialami
laki-laki atau wanita) dapat mengakibatkan disharmoni kehidupan seksual sehingga terjadi
keretakan dalam rumah tangga yang sering berakhir dengan perceraian (Intisari, 2008).
Disfungsi seksual dapat dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin. Pada lakilaki,
disfungsi seksual meliputi gangguan dorongan seksual (GDS), disfungsi ereksi, gangguan
ejakulasi (baik dini maupun terhambat), disfungsi orgasme, dan 2 dispareunia. Sementara
pada wanita, disfungsi seksual meliputi gangguan dorongan seksual, dorongan seksual
hipoaktif, gangguan aversi seksual, gangguan bangkitan seksual, dan gangguan orgasme
(Intisari, 2008). Sekitar 10 – 15% laki-laki yang menikah mengalami disfungsi ereksi dan

4
sekitar 20 – 30% mengalami ejakulasi dini. Pada wanita, angka disfungsi seksual lebih
banyak lagi, yaitu 25 – 50% (Intisari, 2008).
Seiring dengan semakin meningkatnya insidensi gangguan fungsi seksual, obatobatan
perangsang seks, contohnya sildenafil sitrat dan testosteron, semakin beredar luas di pasaran.
Banyaknya efek samping yang timbul dari obat-obatan tersebut menyebabkan semakin
berkembangnya gerakan back to nature (kembali ke alam) sehingga membuat penggunaan
obat tradisional pun semakin meningkat. Di Indonesia terdapat 30.000 jenis tumbuhan dan
1.200 jenis diantaranya merupakan tumbuhan obat (Intisari, 2008).
Salah satu jenis obat tradisional yang beredar di masyarakat adalah afrodisiak yang
berbasis tumbuhan obat. Istilah afrodisiak ini berasal dari kata “Aphrodite”, yaitu nama dewi
kecantikan dan cinta dalam mitologi Yunani kuno. Afrodisiak adalah suatu substansi yang
telah dipercaya dapat meningkatkan gairah seksual (Wikipedia, 2008).
Pada umumnya penggunaan tumbuhan obat sebagai afrodisiak lebih banyak berdasarkan
kepercayaan dan pengalaman turun-temurun dalam masyarakat, seperti semangka (Citrullus
vulgaris Schrad.), ginseng, akar pasak bumi, dan lainlain. Pada umumnya afrodisiak bekerja
melalui peningkatan sirkulasi darah yang juga berpengaruh pada organ genital. Keadaaan ini
memungkinkan suatu obat tradisional jenis afrodisiak digunakan untuk meningkatkan
stamina (Intisari, 2008).
Semangka (Citrullus vulgaris Schrad.) dikenal berkhasiat afrodisiak, penyejuk tubuh saat
cuaca panas, diuretik, antiradang, pelumas usus, dan menghilangkan haus (BPPT, 2005).
Hal-hal di atas menyebabkan penulis tertarik untuk meneliti pengaruh ekstrak semangka
(Citrullus vulgaris Schrad.) terhadap peningkatan perilaku seksual.

1.2 Rumusan Masalah


1. mengetahua ASPEK SOSIAL BUDAYA PADA KEHAMILAN, PERSALINAN, NIFAS
DAN BBL ?
2. mengetahui apasaja yang perlu di ketahui dalam ASPEK SOSIAL BUDAYA PADA
KEHAMILAN, PERSALINAN, NIFAS DAN BBL

5
1.3 Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah untuk menjabarkan unsur-unsur ”ASPEK SOSIAL
BUDAYA PADA KEHAMILAN, PERSALINAN, NIFAS DAN BBL”dan menjelaskan isi dari
unsure – unsure yang akan di bahas. Agar kiranya lebih mempermudah da;am maemahami
materi yang akan di bahas.

1.4 Manfaat

Manfaat dari pembahasan dalam matei ” ASPEK SOSIAL BUDAYA PADA KEHAMILAN,
PERSALINAN, NIFAS DAN BBL “ pembaca dapat lebing mengenal dan memahami semua
aspek yang berada dalam materi secara singkat padat dan jelas.

BAB II
6
PEMBAHASAN

2.1 Definisi Disfungsi Ereksi

Disfungsi ereksi adalah ketidakmampuan untuk mencapai atau mempertahankan


ereksi yang cukup untuk memuaskan kinerja seksual. Dua aspek utama ereksi adalah ereksi
reflex dan ereksi psikogenik. Ereksi refleks dicapai dengan menyentuh penis secara
langsung dan berada dibawah kendali saraf perifer dan tulang belakang (S2-4 dan Th12-
L2).12 Ereksi psikogenik dicapai dengan rangsangan erotis atau emosional, dan
menggunakan sistem limbic otak. Tingkatan keparahan disfungsi ereksi digambarkan
dengan derajatnya ereksinya, entah itu normal, ringan, sedang ataupun berat, berdasarkan
kuesioner International Index of Erectile Function (IIEF-5).

Dahulu, disfungsi ereksi dianggap menjadi gangguan psikogenik murni. Seiring


berjalannya waktu dan penelitian yang dilakukan, didapatkan data bahwa lebih dari 80%
kasus memiliki etiologi organik. Penyebab disfungsi ereksi organik dapat dibagi menjadi
non-endokrin dan endokrin. Etiologi non-endokrin meliputi vaskularisasi, neurogenik
(fungsi syaraf), dan iatrogenik (berkaitan dengan pengobatan medis atau bedah).
Vaskularisasi (yang memberikan suplai ke genital) adalah etiologi yang paling umum dan
dapat melibatkan gangguan aliran inflow dan outflow dari vena (veno-occlusi corporeal).
Etiologi endokrin berkaitan dengan kadar testosterone yang berkurang. Disfungsi ereksi
organik seringkali melibatkan komplikasi psikologis; artinya hubungan interpersonal, mood
dan kualitas hidup menimbulkan efek pada fungsi ereksi.

2.2 Etiologi

7
Disfungsi ereksi seringkali disebabkan oleh beberapa faktor (multifaktorial). Etiologi
disfungsi ereksi (DE) ini disingkat sebagai IMPOTEN.

Tabel 2. Etiologi

Inflamasi Prostatitis
Mekanis Penyakit Peyronie
Psikogenik Ansietas, depresi, konflik rumah tangga,
perasaan bersalah dan norma agama
Oklusif vaskuler -Arteriogenik: hipertensif, rokok,
hyperlipidemia, diabetes mellitus.
-Venogenik: kegagalan mekanisme veno-
oklusif (karena kegagalan anatomi dan
degenerative)
Trauma Fraktur pelvis, cedera korda spinalis, trauma
penis
Ekstra factor Iatrogenik: pembedahan pada daerah pelvis,
prostatektomi Lain-lain: usia lanjut, gagal
ginjal kronik, sirosis hepar, priapismus.
Neurogenik Kelainan pada otak: tumor, cedera otak,
epilepsi, Parkinson Kelainan pada medulla
spinalis: tumor, cedera. Kelainan pada saraf
perifer: Diabetes mellitus dan defisiensi
vitamin.

2.3 Anatomi Penis

Penis terbentuk dari tiga struktur silindris: sepasang corpora kavernosa dan satu korpus
spongiosa (tempat jalannya urethra), yang terselimuti oleh jaringan subkutan dan kulit

a. Tunika Albuginea

Tunika Albuginea memiliki fleksibilitas, rigiditas dan kekuatan jaringan ke penis.


Tunica tersebut yang menyelimuti corpora cavernosa memiliki struktur bilayer dengan
multiple sublayer. Inner layer berisi jaringan cavernosa dan terbentang secara sirkuler.
Salah satu yang membentang di bagian inner layer dari tunica ini adalah pilar
8
intracavernosa yang berfungsi sebagai penyangga septum dan sebagai jaringan pendukung
terhadap jaringan erektil. Outer layer terbentang secara longitudinal, dari glans penis ke
proximal crura. Disisipkan di ramus pubik inferior, tetapi outer layer ini tidak di temukan
di posisi antara arah jam 5 sampai 7. Berdasar kontras, corpus spongiosum memiliki outer
layer yang lebih tipis, yang menyebabkan tekanan yang lebih rendah pada saat ereksi.

Banyak vena yang berada diantara inner dan outer layer dan cenderung memiliki
jalur yang pendek. Tetapi, arteri cavernosa dan cabang cabang dari arteri dorsalis penis
yang memberikan suplai tambahan ke korpus kavernosa, memiliki rute yang direct dan di
kelilingi oleh jaringan lunak periarterial, dimana berfungsi untuk melindungi arteri dari
oklusi (hambatan) dari tunika albuginea ketika ereksi. Outer layer dari tunika tersebut
memiliki peran lebih dalam mengkompresi vena vena sekitar ketika ereksi.

Jaringan eksternal pendukung penis terdiri dari 2 ligamentum; yaitu ligamentum


fundiformis dan ligamentum suspensorium. Ligamentum fundiformis terbentang dari
fascia colle dan tidak berhubungan dengan tunika albuginea korpora cavernosa.
Ligamentum suspensorium terbentang dari fascia buck dan terdiri dari 2 bagian lateral dan
1 bagian medial, dan membatasi vena dorsalis penis. Fungsi utamanya adalah
menempelkan tunika albuginea korpora cavernosa ke pubis.

b. Korpora cavernosa, Korpus spongiosum, dan Glans penis

Korpora cavernosa penis terdiri dari 2 spons; yaitu silinder yang diselimuti tunika
albuginea dan dipisahkan oleh septum. Septum antara 2 korpus tersebut bersifat inkomplit
di manusia, tetapi ada yang bersifat komplit di beberapa spesies anjing. Korpora kavernosa
didukung oleh kerangka berserat yang mencakup tunica albuginea, septum, pilar
intracavernosa, kerangka fibrosa intracavernosa dan selubung fibrosa periarterial dan
perineural. Setiap korpus kavernosum terisi konglomerasi dari sinusoid, dimana lebih
besar di daerah sentral dan lebih kecil di perifer. Struktur korpus spongiosum mirip
dengan korpora kavernosa, kecuali ukuran sinusoid lebih besar, tunika lebih tipis di
korpora spongiosum hanya dengan lapisan melingkar.

Tabel 3. Komponen penis dan fungsi saat ereksi

Korpora kavernosa Mendukung korpus spongiosum dan glans


9
Tunika albuginea -Terisi dan melindungi jaringan erectile
-Memberikan rigiditas pada korpora
kavernosa
-Berpartisipasi pada mekanisme
venoocclusive
Otot polos Meregulasi inflow dan outflow pada sinusoid
Muskulus Ischiocavernosus -Mempompa darah untuk mengeraskan ereksi
-Memberikan rigiditas tambahan saat ereksi
(supportive)
Muskulus Bulbocavernosus Membantu ejeksi sperma saat ejakulasi
Korpus Spongiosum Memberikan tekanan dan mengkonstriksikan
lumen uretra untuk membantu ejeksi sperma
Glans penis -Bekerja sebagai bantalan saat kopulasi
-Memberikan input sensoris untuk membantu
proses ereksi

c. Arteri

Area genital mendapatkan suplai darah dari arteri pudenda interna, cabang dari arteri iliaka
internal. Dalam banyak kasus, ditemukan arteri aksesorius yang memberikan suplai darah
ke penis. Timbul dari iliaka eksternal, obturator dan arteri vesikalis. Dalam sebuah
penelitian terhadap 20 cadaver melaporkan tiga pola suplai arteri penis:

- Tipe 1 yang timbul secara ekslusif dari arteri pudendal internal (3/20)

- Tipe 2 yang timbul dari arteri aksesorius dan pudendal interna (14/20)

- Tipe 3 yang timbul secara ekslusif dari arteri pudendal aksesori (3/20)

Biasanya arteri pudendal aksesori ini muncul dari arteri obturator

Arteri pudenda interna ini memiliki 3 cabang, arteri dorsalis penis, arteri
bulbourethral dan arteri cavernosus. Arteri dorsalis penis bertanggung jawab untuk mengisi
dan memberikan suplai darah pada glans penis saat ereksi. Arteri bulbourethral memasok
darah pada bulbus dan korpus spongiosum, sedangkan arteri kavernosa memberikan suplai
10
ke korpus kavernosa. Sepanjang perjalanannya, arteri tersebut banyak bercabang menjadi
arteri helisin, yang memasok darah ke trabekuler dan sinusoid.

d. Vena

Drainase vena dari tiga korpora ini berasal dari vena kecil yang mengarah pada
sinusoid perifer tepat dibawah tunika albuginea. Vena vena ini berjalan antar tunika dan
sinusoid perifer untuk membentuk vena plexus subtunica sebelum keluar sebagai vena
emisaria. Beberapa pembuluh darah yang letaknya superfisial berjalan secara subkutan dan
bersatu di pangkal penis untuk membentuk vena dorsalis superfisialis yang kemudian
menjadi vena saphena. Di luar tunika albuginea, drainase venanya.

2.4 Fisiologi Ereksi

Penis mendapat aliran darah dari arteri pudenda interna. Selanjutnya arteri ini
bercabang menjadi arteri kavernosa atau arteri sentralis, arteri dorsalis penis dan arteri bulbo-
uretralis. Arteri sentralis memasuki rongga kavernosa kemudian bercabang cabang menjadi
arteriole helisin, yang kemudian arteriole ini akan mengisikan darah ke dalam sinusoid.

Darah vena dari rongga sinusoid dialirkan melalui anyaman/pleksus yang terletak di
bawah tunika albuginea. Anyaman/pleksus ini bergabung membentuk venule emisaria dan
kemudian menembus tunika albuginea untuk mengalirkan darah ke vena dorsalis penis.

Rangsangan seksual menimbulkan peningkatan aktivitas saraf parasimpatis yang


mengakibatkan terjadinya dilatasi arteriole dan kontriksi venule sehingga inflow (aliran darah
yang menuju ke korpora) meningkat sedangkan outflow (aliran darah yang meninggalkan
korpora) akan menurun. Hal ini menyebabkan peningkatan volume darah dan tekanan pada
korpora meningkat sehingga penis menjadi ereksi.

Persarafan penis terdiri atas sistem saraf otonomik (simpatis dan parasimpatis) dan
somatis (sensorik dan motorik) yang berpusat di nucleus intermediolateralis medulla spinalis
pada segmen S2-4 dan Th12-L2.

Fase ereksi dimulai dari rangsangan yang berasal dari genitalia eksterna berupa
rangsangan raba (taktil) atau rangsangan yang berasal dari otak berupa fantasi, rangsang
pendengaran atau penglihatan. Rangsangan tersebut menyebabkan terlepasnya
11
neurotransmitter dan mengakibatkan terjadinya dilatasi arteri kavernosus/arteri helisin,
relaksasi otot kavernosus, dan konstriksi venule emisaria. Keadaan ini menyebabkan banyak
darah yang mengisi rongga sinusoid dan menyebabkan ketegangan penis. Demikian pula
sebaliknya pada fase flaksid terjadi kontriksi arteriole, kontraksi otot kavernosus, dan dilatasi
venule untuk mengalirkan darah ke vena-vena penis sehingga rongga sinusoid berkurang
volumenya.

Saat ini diketahui bahwa sebagai neuroefektor yang paling utama di dalam korpus
kavernosum pada proses ereksi adalah non adrenergik non kolinergik atau NANC.
Rangsangan seksual yang diteruskan oleh neuroefektor NANC menyebabkan terlepasnya
nitrit oksida (NO), yang selanjutnya akan mempengaruhi enzim guanilat siklase untuk
merubah guanil tri fosfat (GTP) menjadi siklik guanil mono fosfat (cGMP). Substansi
terakhir ini menurunkan jumlah kadar kalsium di dalam sel otot polos yang menyebabkan
relaksasi otot polos kavernosum sehingga terjadi ereksi penis.

Sebaliknya pada fase flaksid, terjadi pemecahan cGMP oleh enzim fosfodiesterase 5
(PDE-5) menjadi guanil mono fosfat (gambar 16-2). Cara bekerja salah satu obat disfungsi
ereksi, sildenafil sitrat adalah sebagai inhibitor enzim PDE-5 sehingga kadar cGMP tetap
dipertahankan.

2.5 Manifestasi Klinik

Manifestasi kliniknya dapat berpengaruh secara emosional seperti depresi, ansietas


atau malu. Perkawinan terganggu dan menghindari keintiman. Kepatuhan terhadap
pengobatan juga menjadi masalah. (Lee M, 2005)

2.6 Diagnosa

12
Dalam mendiagnosis disfungsi ereksi, selain menggali riwayat penyakit dahulu
maupun riwayat sosial dari pasien, pemeriksa juga harus melakukan beberapa pemeriksaan
terhadap pasien. Hal ini bertujuan selain untuk memastikan diagnosis pasien, tetapi juga
dapat memastikan tingkat keparahan dari disfungsi ereksi yang dialami pasien dan jenis
terapi yang akan diberikan kepada pasien.

a. Anamnesis

Evaluasi terhadap pasien yang mengeluh disfungsi ereksi meliputi evaluasi


riwayat seksual, evaluasi medik, dan evaluasi psikologik. Tujuan evaluasi ini adalah
menentukan apakah pasien memang menderita disfungsi ereksi atau disfungsi seksual
yang lain (penurunan libido, ejakulasi dini, ejakulasi retrograde, tidak menikmati
orgasmus (anorgasmus), dll.

Wawancara atau anamnesis yang cermat dapat membedakan antara penyebab


psikogenik dan organik. Disfungsi ereksi yang disebabkan oleh faktor psikogen biasanya
menunjukkan ciri ciri sebagai berikut:

1. Timbulnya mendadak dan didahului oleh peristiwa tertentu, misalnya sehabis


cerai/ditinggal istri atau pasangannya, keluar dari pekerjaan, atau oleh tekanan
kejiwaan.
2. Situasional yaitu disfungsi timbul bila hendak melakukan aktivitas seksual dengan
wanita tertentu, tetapi ereksi timbul kembali jika hendak berhubungan dengan wanita
lain. Tidak jarang pasien masih dapat merasakan ereksi yang maksimal dengan
masturbasi, atau membayangkan/menonton film porno, tetapi penis kembali lemas
pada saat akan melakukan senggama.
3. Ereksi nocturnal atau ereksi yang timbul pada saat bangun pagi masih cukup kuat,
tetapi pada siang hari, ereksi menurun atau bahkan tidak bisa ereksi sama sekali.

Penyebab psikogen ini ada hubungannya dengan ansietas, ketakutan, perasaan


bersalah, tekanan, atau norma-norma agama. Disfungsi ereksi yang disebabkan oleh
kelainan organik timbulnya gradual (perlahan).

Untuk mencari adanya faktor neurologi yang menjadi penyebab disfungsi ereksi
ditanyakan apakah menderita kencing manis, peminum alkohol, atau pernah mengalami
13
cedera tulang belakang. Adanya gangguan buang air besar atau buang air kecil mungkin
disebabkan oleh karena kelainan saraf. Pemeriksaan neurologi meliputi pemeriksaan
sensitifitas pada region genitalia dan perineum, dan reflex bulbo-kavernosus.

Pada pasien yang menderita kelainan hormonal, lebih banyak mengeluh terjadinya
penurunan libido daripada mengeluh penurunan ketegangan penis. Pada disfungsi ereksi
yang disebabkan oleh faktor hormonal dilakukan evaluasi terhadap sumbu hipotalamus-
hipofisis-gonad. Diperhatikan apakah ada atrofi testis, mikropenis, pertumbuhan rambut
di badan yang kurang, atau ginekomasti.

Untuk mencari kemungkinan penyebab arterial ditanyakan tentang riwayat pernah


menderita kelainan vaskuler antara lain kludikasio intermitten atau pernah menjalani
operasi bypass koroner. Operasi radikal prostatektomi, reseksi abdomino-perineal atau
cedera tulang pelvis dapat merusak pembuluh darah yang memberikan vaskularisasi ke
penis, sehingga terjadi disfungsi ereksi. Pada pemeriksaan fisik diperhatikan denyut nadi
pada arteri karotis, arteri brachialis, arteri femoralis dan arteri dorsalis penis.

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik umum dan pemeriksaan lokal yang dapat dilakukan antara lain,
ada tidaknya tanda tanda seksual sekunder da nada tidaknya bekas luka akibat operasi
atau trauma.
Pemeriksaan fisik lokal yang dapat dilakukan antara lain, pemeriksaan penis yang
meliputi ukuran dan elastisitas, pemeriksaan skrotum yang meliputi ukuran testis, dan
konsistensi serta pemeriksaan rectum dengan jari (Digital Rectal Examination) yang
meliputi ukuran dan konsistensi kelenjar prostat, vesikula seminalis, tonus otot sfingter
anal dan reflex bulbokavemosa.
c. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dapat menunjang diagnosis DE anatara lain,
kadar serum testosterone di pagi hari, pengukuran kadar glukosa dan lipid, hidup darah
lengkap (complete blood count), dan tes fungsi ginjal.

2.7Pengobatan

14
Tujuan pengobatan adalah pemulihan kuantitas dan kualitas ereksi penis yang mencukupi
intercourse. ( Lee M, 2005)

2.7.1 Pendekatan umum pada pengobatan

Langkah pertama adalah mengidentifikasi penyebab, bila memungkinkan


menghilangkannya. Faktor risiko disfungsi ereksi seperti hipertensi, DM, harus
diobati. Pasien harus membiasakan dengan cara hidup yang sehat. Sebagian dari kasus
disfungsi ereksi dapat pulih dengan cara ini, bila gagal maka diperlukan terapi
spesifik. (Lue TF, 2000; Lee M, 2005)

Pada pasien disfungsi ereksi psikogenik, psikoterapi dapat digunakan sebagai


terapi tunggal atau terapi pendamping terhadap terapi spesifik. Untuk meningkatkan
relevansi psikoterapi, pasien dan pasangannya harus diikut sertakan dalam sesi
konseling. Pengobatan harus individual dan ditujukan pada faktor yang mungkin
menjadi penyebab langsung seperti ansietas atau depresi. Efektivitas psikoterapi
rendah dan sering diperlukan dalam jangka lama. ( Lee M, 2005)

Terapi spesifik disfungsi ereksi termasuk medical device, terapi farmakologi


dan bedah. Terapi ideal onsetnya harus cepat, efektif dan nyaman, murah dengan efek
samping serius yang rendah, serta tanpa interaksi yang serius. ( Lee M, 2005)

Saat ini tidak ada terapi disfungsi ereksi yang ideal. Umumnya biasanya yang
pertama dipilih adalah yang tidak atau kurang invasif, bila responnya tidak adekuat
baru dipilih yang lebih invasif. (Lee M, 2005)

CARA NAMA GENERIK REGIMEN DOSIS


PEMBERIAN
Oral Yohimbin 3X5,4 mg /hari
Sildenafil 25-100 mg, 1 jam sebelum coitus
Apomorfin Tablet sublingual
Metiltestosteron 10-40 mg/hari
Fluoksimesteron 5-20 mg/hari
15
Trazadon 50-150 mg/hari
Fentolamin Tablet oral/bukal
Vardenafil 5-10 mg 1 jam sebelum coitus
Tadafalil 5-20 mg sebelum coitus
Topical Testosteron patch 4-6mg/hari (1 patch), ditempelkan
Testosteron gel pada skrotum, sedangkan
testodermTTS pada lengan,
punggung5-10g/hari,pada bahu,
lengan atas, abdomen
Intramuskuler Testosteron sipionat 200-400 mg/hari tiap 2-4 minggu
Testosteron enantuat 200-400 mg/hari tiap 2-4 minggu
Testosteron propionat 25-50mg/hari 2-3 X/minggu

Intrauretra Alprostadil 125-1000mcg 5-10 menit sebelum


coitus
Intracavemosa Alprostadil 2,5-60 mcg5-10 menit sebelum coitus
Papaverin Bervariasi, biasanya digunakan
Fentolamin sebagai kombinasi
Bervariasi,biasanya digunakan
sebagai kombinas

2.7.2 Vacuum Erection Device (VED)


Mekanisme kerjanya adalah mempertahankan sirkulasi masuk ke arteri dan
mengurangi sirkulasi vena keluar dari penis. Mula kerja tergantung pasiennya, sekitar
30 menit. Efek sampi VED adalah rasa sakit atau terluka akibat jepitan pita/cincin dari
alat tersebut.( Lee M, 2005)

16
2.7.3 Terapi Farmakologi

a. Inhibitor Fosfodiesterase

Mekanisme Kerja

Mekanisme kerja obat ini adalah inhibisi katabolisme cGMP yang menjadi
neurotransmiter vasodilatasi jaringan corpus cavernosum oleh inhibitor
fosfodiesterase tipe 5, sehingga kadar cGMP meningkat dan menyebabkan relaksasi
otot polos. Inhibitor fosfodiesterase isoenzim tipe-5 mempunyai selektivitas tinggi,
ditemukan di jaringan genital, tapi fosfodiesterase isoenzim tipe-5 juga terdapat di
vaskuler perifer, otot polos trakhea, dan platelet, sehingga dapat menimbulkan efek
samping di jaringan nongenital.(Lee M, 2005)

17
Obat yang termasuk golongan ini berbeda dalam profil farmakokinetiknya,
interaksi dengan obat-makanan dan efek sampingnya, harus hati-hati
penggunaannya pada penderita penyakit kadiovaskuler. Obat nya adalah: sildenafil,
vardenafil dan tadalafil. . (Lue TF, 2000; Lee M, 2005)

Efikasi

Karena efektivitasnya jelas, penggunaannya mudah dan efek sampingnya sebanding


dan rendah, inhibitor fosfodiesterase menjadi terapi lini pertama untuk disfungsi
ereksi, terutama pada pasien muda. Efektivitasnya tidak tergantung etiologi, hanya
saja efektivitasnya berkurang pada sebagian pasien pascaoperatif prostatektomi
radikal, mungkin karena kerusakan saraf. Efektivitas obat tergantung dosis. . (Lue
TF, 2000; Lee M, 2005)

Efektivitasnya meningkat bila digunakan saat mulai ada stimulus sexual,


diminum pada saat perut kosong, minimal 2 jam sebelum makan (sildenafil), tapi 2
obat lain tidak dipengaruhi makanan, walaupun hanya tadalafil yang tidak
terpengaruh oleh lemak dalam makanan, bila respon terhadap obat-obat ini tidak
adekuat, pasien patut mencoba sampai 5-8 kali. ( Lee M, 2005)

Inhibitor fosfodiesterase ini tidak boleh digunakan untuk individu dengan


fungsi ereksi normal. Gol ini juga tidak boleh digunakan bersama-sama obat untuk
18
disfungsi ereksi lain, untuk menghindari ereksi yang lama. . (Lue TF, 2000; Lee M,
2005)

Farmakokinetik dan dosis

Tercantum pada tabel 3. Untuk pasien usia> 65 tahun, gagal ginjal dan hati, dosis
harus disesuaikan.

Efek samping

Umumnya efek samping yang terjadi ringan-sedang dan pulih sendiri, jarang
memerlukan penghentian obat. Pada dosis biasa yang sering adalah sakit kepala,
facial flushing, dispepsia, kongesti nasal dan pusing, semua disebabkan efek
inhibisi fosfodiesterase isoenzim tipe-5 pada jaringan ekstragenital. (Lee M, 2005)

Sildenafil menurunkan tekanan sistolik sebesar 8-10 mm dan diastolik 5-6


mm dimulai 1 jam setelah dosis pertama dan berakhir dalam 4 jam, vardenafil
mempunyai efek vasodilatasi yang mirip. Tadalafil tidak menurunkan tekanan
darah, tapi penggunaannya pada pasien dengan penyakit CVS tetap harus hati-hati.
(Lee M, 2005)

Sildenafil menyebabkan sensitivitas terhadap cahaya, penglihatan kabur atau


hilang kemampuan membedakan warna hijau-biru. Hal ini timbul karena efek
inhibisi fosfodiesterase isoenzim tipe-6 pada retina, terutama pada dosis yang lebih
besar dari 100mg. Walaupun efeknya ringan dan reversibel, penggunaan oleh pilot
harus hati-hati; kontraindikasi bagi pasien dengan masalah oftalmologik. (Lee M,
2005)

Efek samping visual lebih jarang terjadi pada penggunaan vardenafil


dibandingkan sildenafil. Efek inhibisi fosfodiesterase isoenzim tipe-6 minimal.
Berbeda dengan dua obat sebelumnya, tadalafil menginhibisi fosfodiesterase
isoenzim tipe-11 yang ditemukan di otot skelet dan diyakini berhubungan dengan
nyeri otot dan punggung. Efek samping yang terjadi berhubungan dengan dosis.
Efek samping yang jarang dari golongan ini adalah priapismus, terutama akibat

19
pengguaan sildenafil dan vardenafil yang mempunyai waktu paruh singkat. . (Lue
TF, 2000; Lee M, 2005)

Interaksi Obat . (Lue TF, 2000; Lee M, 2005)

1. Nitrat organik (NO): menyebabkan hipotensi, karena selain mempunyai efek


hipotensif, NO juga menstimulasi aktivitas guanilat siklase dan meningkatkan
cGMP, jadi penggunaan NO tidak boleh bersamaan dengan IF. Bila terjadi efek
hipotensi, pasien harus dibaringkan dalam posisi Trendelenberg dan diberi cairan
infus secara agresif. Bila hipotensi berat tetap terjadi, diberikan adrenergik agonis.
Hal yang menarik, konsumsi sumber nitrat dan prekursornya dari diet tidak
berinteraksi dengan IF, karena diet nitrat tidak mencapai sirkulasi sistemik.

2. Metabolisme IF dapat diinhibisi oleh inibitor enzim mikrosom hepar P-450


cytochrome dari CYP 3ª4, seperti simetidin, eritromisin, klaritromisin,
ketokonazol, itrakonazol dan saquinavir. Pada pasien pengguna obat-obat ini,
penggunaan IF harus dimulai dengan dosis kecil.

b. Regimen substitusi Testosteron

Mekanisme Kerja

Regimen ini berupa testosteron eksogen untuk mencapai kadar testosteron


serum normal (300-1000 ng/dL). Penggunaann regimen ini mengoreksi gejala
20
hipogonadisme seperti lemah, hilang kekuatan otot, depresi dan penurunan libido.
Testosteron dapat langsung menstimulasi reseptor androgen di SSP dan diduga
berperan untuk menjaga kekuatan seksual yang normal. ( Lee M, 2005)

Indikasi

Penggunaannya ditujukan pada pasien dengan hipogonadisme primer


(Lutenizing hormone/LH tinggi) dan sekunder (LH rendah), yang telah
dikonfirmasi dengan kadar testosteron yang rendah. ( Lee M, 2005)

Efikasi

Efeknya dapat terlihat dalam beberapa hari-minggu, efeknya tidak langsung


mengoreksi disfungsi ereksi, tapi memulihkan libido dengan akibat mengoreksi
disfungsi ereksi.

Testosteron dapat diberikan p.o, p.e atau topikal. Preparat p.e hasilnya
efektif, tidak mahal, tidak ada masalah bioavailabilitas ataupun efek hepatotoksik
seperti yang terjadi pada preparat p.o. Walaupun penggunaan topikal lebih nyaman,
tapi mahal. ( Lee M, 2005)

Farmakokinetik

21
Bioavailabilitas testosteron natural buruk sehingga dosis yang diperlukannya
besar. Derivatnya yang mengalami alkilasi dibuat untuk memperbaiki
bioavailabilitasnya, tapi penggunaan peroral berhubungan dengan hepatotoksis
serius dengan insidensi tinggi, jadi penggunaan dalam mengelola disfungsi ereksi
tidak disukai. lebih tahan terhadap katabolisme hepatik dan dapat digunakan dengan
dosis lebih kecil, yang cenderung lebih aman. ( Lee M, 2005)

Ester testosteron untuk pemberian i.m menunjukkan DOA berbeda.


Testosteron propionat dengan DOA yang lebih singkat, diperlukan dosis 3X
seminggu, banyak diganti dengan testostron sipionat atau enantat, karena
penggunaan kedua obat ini hanya perlu diberikan setiap 2, 4 atau 6 minggu sekali.
Namun obat ini menyebabkan pola suprafarmakologi dari serum testosteron selama
interval dosis, yang berhubungan dengan manifestasi mood swing pada sebagian
pasien. ( Lee M, 2005)

Regimen testosteron topikal, berupa gel atau plester digunakan sekali sehari
(biasanya pagi hari), meningkatkan kadar testosteron serum menjadi normal selama
2-6 jam. Kadarnya akan menurun pada kadar basal, setelah 24 jam. ( Lee M, 2005)

Plester ini ditempelkan pada skrotum, karena kulitnya lebih tipis dan
vaskularisasinya lebih banyak dibandingkan lengan atau paha, sehingga absorpsinya
sangat bagus, tapi plester ini dapat terlepas bila skrotum lembab, berkeringat atau
rambutnya banyak. ( Lee M, 2005)

Untuk memudahkan, dibuat formulasi plester androderm dan testoderm


untuk penggunaan di lengan, betis atau punggung; Androderm dapt juga digunakan
di paha. Masalah absorpsi yang meningkat dan adesivitas berbeda muncul karena
tingginya insiden dermatitis kontak akibat andoderm. ( Lee M, 2005)

Formula androgen gel 1% digunakan dengan dosis lebih besar, 5-10 g


perhari pada kulit bahu, lengan atas atau abdomen. Hormon diabsorpsi cepat dalam
30 menit, tapi perlu beberapa jam untuk mencapai absorpsi lengkap, oleh karena itu
pasien tidak boleh mandi selam 5-6 jam penggunaan gel ini. ( Lee M, 2005)

Dosis
22
Dosis tergantung preparat dan cara pemberiannya. Efek adekuat dicapai setelah 2-3
bulan, jadi jangan menaikkan dosis selama periode ini. ( Lee M, 2005)

Sebelum menggunakan testosteron, pasien dengan usia>40 tahun harus menjalani


pemeriksaan guna menyingkirkan hiperplasia prostat jinak (BPH) dan Ca prostat.
Kedua penyakit ini dapat memburuk dengan penambahan testosteron eksogen. ( Lee
M, 2005)

Efek Samping

Regimen testosteron dapat menyebabkan retensi natrium, sehingga


meningkatkan berat badan, hipertensi, payah jantung dan udem. Ginekomastia
dapat terjadi akibat konversi testosteron menjadi estrogen di jaringan perifer. Hal
ini sering dilaporkan pada pasien dengan sirosis. ( Lee M, 2005)

Testosteron menyebabkan perubahan kadar lipoprotein, termasuk penurunan


HDL, namun tidak ada laporan yang berhubungan dengan penyakit CVS. Dosis
besar dapat menstimulasi eritropoiesis dan mengakibatkan polisitemia. Pasien
pengguna substitusi testosteron harus melakukan pemeriksaan kadar testosteron
serum, profil lipid dan hematokrit setiap 6-12 bulan sekali. ( Lee M, 2005)

Testosteron oral dapat menyebabkan hepatotoksik ringan –serius, termasuk


tumor jinak atau ganas, sehingga preparat p.e lebih disukai. Testosteron topikal
dapat menyebabkan dermatitis kontak yang responsif terhadap terapi steroid. ( Lee
M, 2005)

c. Alprostadil

Mekanisme Kerja

Alprostadil, dikenal sebagai PgE1, stimulan adenil siklase yang


menyebabkan peningkatan produksi cAMP, neurotransmiter yang menimbulkan
relaksasi otot polos arteri dan sinusoid corpus cavernosus. ( Lee M, 2005)

23
Preparatnya tersedia untuk injeksi intrcavernosa (Caverdex dan Edex) dan
intrauretra (medicated urethral system for erection: MUSE). (Lee M, 2005;
Campbell WB, Halushka PV, 2001)

Indikasi

Preparat intracavernosa lebih efektif dibandingkan intrauretra. Efikasi


intracavernosa lebih baik karena bioavaolabilitasnya sangat baik. Sebaliknya dosis
intrauretral harus diberikan ratusan kali dosis intracavernosa. Preparat intrauretral
diabsorpsi dari uretra kedalam corpus spongiosum dan kedalam corpus cavernosum,
tempat terlihatnya efek proerektogenik. ( Lee M, 2005)

Walaupun papaverin dan fentolamin digunakan untuk terapi intrauretra,


alprostadil lebih disukai karena penggunaanya untuk disfungsi ereksi sudah terbukti
dan berpotensi kecil untuk menimbulkan ereksi memanjang dan priapismus. ( Lee
M, 2005)

Karena penggunaanya lebih invasif, sebaiknya alprostadil digunakan bila terapi


noninvasif lain tidak berhasil, selain pada pasien DM, yang mungkin menderita
neuropati, sehingga persepsi rasa sakit berkurang saat dilakukan injeksi. Intrauretral
hanya digunakan pada pasien yang gagal dengan terapi lain dan menolak dioperasi.
( Lee M, 2005)

Farmakokinetik

Formula preparat injeksi intracavernosus dibuat khusus hanya untuk


pemberian ini. Dari tempat injeksi obat akan mencapai corpus cavernocus melalui
vaskularisasi komunikans diantara kedua corpus. Berefek cepat dalam 5-15 menit
(sama dengan preparat intrauretra). Lama kerja tergantung dosisnya, dengan dosis
lazim lama kerja berakhir tidak lebih dari 1 jam. Enzim lokal di corpus akan
memetabolisme dengan cepat. Alprostadil yang masuk ke sirkulasi sistemik
akanmengalami inaktivasi dulu di paruparu. Oleh karena itu waktu paruhnya sekitar
1 menit. Modifikasi dosis tidak diperlukan pada pasien dengan gagal ginjal ataupun
penyakit hati. ( Lee M, 2005)

24
Efek Samping

Pada preparat intracavernosus, biasanya timbul efek samping lokal yang


biasanya muncul dalam tahun pertama penggunaanya, antara lain adalah timbulnya
fibrosis di corpus, sakit lokal (ada peneliti yang menganjurkan penggunaannya
bersama-sama anestesi lokal), priapismus dan hematoma. Perbaikan tehnik
pemberian akan mengurangi efek samping lokal. Efek samping penggunaan
intrauretra antara lain striktura uretra, rasa sakit lokal, sedangkan priapismus jarang
terjadi. ( Lee M, 2005)

Efek samping sistemik jarang terjadi karena cepat dimetabolisme lokal, tapi
dosis besar dapat menimbulkan hipotensi. Penggunaannya hanya dianjurkan bagi
pasien yang dapat diandalkan melakukan injeksi dengan benar. ( Lee M, 2005)

c. Obat obat yang belum terbukti efektivitasnya

TRAZODON

Mekanisme kerjanya tidak jelas, diduga sebagai antagonis adrenergik


perifer, sehingga efek kholinergik lebih dominan sehingga timbul vasodilatasi
perifer. Efek samping sama bila digunakan untuk mengobati depresi. ( Lee M,
2005)

YOHIMBIN

Banyak digunakan sebagai aphrodisiac, karena bekerja sebagai antagonis


adrenergik sehingga meningkatkan katekolamine dan memperbaiki mood. Diduga
yohimbin juga memiliki efek proerektogenik perifer, melalui efek antagonis
adrenergik perifer, sehingga kholinergik menjadi dominan. Efek samping sistemik
dapat muncul termasuk ansietas, insomnia, takhikardia dan hipertensi. ( Lee M,
2005)

PAPAVERIN

Papaverin menimbulkan inhibisi fosfodiesterase cavernosa sehingga


katabolisme cAMP di jaringan caevernosus menurun, akibatnya terjadi relaksasi
otot polos. Dosisnya sebagai obat DE cukup besar, di lain pihak efek sampingnya
25
tergantung dosis, termasuk priapismus, fibrosis corpus cavernosus, hipotensi dan
hepatotoksik. Sering digunakan dalam dosis rendah sebagai kombinasi dengan
fentolamin atau alprostadil. ( Lee M, 2005)

FENTOLAMIN

Merupakan antagonis kompetitif adrenergik perifer. Sering digunakan


injeksi intracavernosus. Karena pada penggunaan untuk disfungsi ereksi secara
tunggal diperlukan dalam dosis besar, maka penggunaan tunggal dihindari, dan
sering dalam bentuk kombinasi. Efek samping dapat berupa hipotensi, ereksi yang
lama. ( Lee M, 2005)

BAB III

26
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat kami ambil dari makalah yang berjudul, ”ASPEK SOSIAL

BUDAYA PADA KEHAMILAN, PERSALINAN, NIFAS DAN BBL”adalah


lebih mengenal semua unsure yang terdapat dalam materi dengan menjabar dan
lebih kopleks mengenai beberapa point penting materi ini.

3.2 Saran

Sebagai kaum intelektual kita harus menjaga bahasa Indonesia agar menjadi bahasa yang
dapat mempersatukan berbagai kelompok masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan
mengadakan pembinaan dan pengembangan bahasa Indonesia agar tercapai pemakaian yang
cermat, tepat, dan efisien.

DAFTAR PUSTAKA

27
kharisma_mak_tinjauan_penyakit_disfungsi_ereksi_2017_sv(2).pdf

https://hellosehat.com/pria/penis/panduan-anatomi-penis-dan-ejakulasi/#gref

https://www.alodokter.com/melacak-penyebab-gangguan-ereksi

https://nasional.kompas.com/read/2008/07/18/11411121/ereksi.bagaimana.terjadi

https://tedas.id/pendidikan/publik/etiologi/

28

Anda mungkin juga menyukai