Anda di halaman 1dari 33

DOSEN MATA KULIAH : MINARTI,S.ST.,M.

Keb
MATA KULIAH : KEBIDANAN KOMUNITAS

MAKALAH TENTANG PROGRAM KIA

OLEH :

KELOMPOK IV

SARNIKA (PBA190003)
NURIANI (PBA190005)
RESTIANI (PBA190010)

PROGRAM STUDI DII KEBIDANAN


POLITEKNIK BAUBAU
2021
KATA PENGANTAR

Kami panjatkan puji syukur atas kehadirat Allah SWT atas segala rahmat,

taufiq, dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan

baik. Makalah ini, dapat diselesaikan dengan baik karena dukungan dan partisipasi

berbagai pihak.

Kami menyadari bahwa tiada sesuatu yang sempurna di dunia ini, begitupun

makalah yang telah penulis buat, baik dalam hal isi maupun penulisannya. Akhir

kata, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat sebagai sumbangan

pemikiran kecil bagi kemajuan ilmu pengetahuan, baik di Politeknik Bau-bau maupun

lingkungan masyarakat.

Bau bau ,24 Oktober 2021

Penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

C. Rumusan Masalah

BAB II PEMBAHASAN

A. Progran KIA

B. Ukuran Mordibitas dan Mortilitas

C. Kematian Ibu

D. Kematian Bayi

BAB III Penutup

A.Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Pemantauan Wilayah Setempat (PWS) telah dilaksanakan di Indonesia sejak


tahun 1985. Pada saat itu pimpinan puskesmas maupun pemegang program di
Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota belum mempunyai alat pantau yang dapat
memberikan data yang cepat sehingga pimpinan dapat memberikan respon atau
tindakan yang cepat dalam wilayah kerjanya.PWS dimulai dengan program
Imunisasi yang dalam perjalanannya, berkembang menjadi PWS-PWS lain
seperti PWS-Kesehatan Ibu dan Anak (PWS KIA) dan PWS Gizi.Pelaksanaan
PWS imunisasi berhasil baik, dibuktikan dengan tercapainya Universal Child
Immunization (UCI) di Indonesia pada tahun 1990.Dengan dicapainya cakupan
program imunisasi, terjadi penurunan AKB yang signifikan.Namun pelaksanaan
PWS dengan indikator Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) tidak secara cepat dapat
menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) secara bermakna walaupun cakupan
pelayanan KIA meningkat, karena adanya faktor-faktor lain sebagai penyebab
kematian ibu (ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dsb).Dengan demikian maka
PWS KIA perlu dikembangkan dengan memperbaiki mutu data, analisis dan
penelusuran data.

2. Rumusan Masalah
1. Apa saja program-program KIA diwilayah Kerja?
2. Bagaimana cara pengumpulan Data PWS-KIA diwilayah Kerja?
3. Bagaimana mengukur angka mortalitas dan morbilitas?
4. Apa saja penyebab kematian ibu dan bayi
BAB II
PEMBAHASAN

1. Prinsip Pengelolaan Program KIA

Kegiatan pokok pelayanan KIA


1. Peningkatan pelayanan antenatal di semua fasilitas pelayanan dengan
mutu yang baik serta jangkauan yang setinggi-tingginya Pelayanan antenatal
mencakup anamnesis. Pemeriksaan fisik (umum dan kebidanan),
pemeriksaan laboratorium atas indikasi serta intervensi dasar dan khusus
(sesuai resiko yang ada).
Namun dalam penerapan operasional dikenal standar minimal "10T" terdiri dari :
1. Ukur TB dan BB
2. Pemeriksaan Tekanan Darah
3. Pengukuran LILA
4. Pemeriksaan Tinggi Fundus
5. Presentasi dan DJJ
6. Imunisasi TT
7. Pemberian Tablet Fe
8. Pemeriksaan Laboratorium
9. Tata laksana kasus
10. Temu Wicara
Frekuensi pelayanan antenatal adalah minimal 4x selama kehamilan, dengan
ketentuan waktu :
 Minimal 1x pada trimester I
 Minimal 1x pada trimester II
 Minimal 2x pada trimester III
2. Peningkatan pertolongan. persalinan yang lebih ditujukan kepada
peningkatan oleh tenaga profesional secara berangsur. Dalam program KIA,
ada beberapa jenis tenaga yang memberikan pertolongan persalinan pada
masyarakat seperti;
a. Tenaga Profesional :
Dokter spesialis kebidanan, dokter umum, bidan, pembantu bidan (PKE)
dan perawat bidan
b. Dukun Bayi, dibagi sebagai berikut :
• Terlatih
Yaitu dukun bayi yang telah mendapat latihan oleh tenaga kesehatan
dan dinyatakan lulus.
• Tidak terlatih
Yaitu dukun bayi yang belum pernah dilatih oleh tenaga kesehatan atau
dukun bayi yang sedang dilatih dan Belum lulus.
Pertolongan persalinan yang dilakukan oleh dukun diharapkan memenuhi
standar minimal "3 Bersih" yang meliputi:
Bersih tangan penolong
Bersih alat pemotong tali pusat
Bersih alas tempat ibu berbaring dan lingkungannya
Pada prinsipnya, penolong persalinan harus memperhatikan hal-hal sebagai
berikut:
 Sterilitasi
 Metode pertolongan persalinan yang memenuhi persyaratan teknis medis.
 Merujuk kasus yang memerlukan tingkat pelayanan yang lebih tinggi

3. Peningkatan deteksi dini resiko ibu hamil, baik oleh tenaga kesehatan
maupun di masyarakat oleh kader dan dukun bayi serta penanganan dan
pengamatan secara terns menerus Faktor resiko ibu hamil, diantaranya :
a. Primigravida < 20 tahun atau >35 tahun
b. Jumlah anak > 4 orang
c. Jarak persalinan terakhir dengan kehamilan sekarang < 2
tahun
d. Tinggi badan < 145 cm
e. Serat badan < 38 kg dan tingkat lengan atas (Ha) < 23,5 cm
f. Riwayat keluarga menderita penyakit Diabetes Melitus,
hipertensi dan
riwayat cacat kongenital
g. Kelainan bentuk tubuh misalnya kelainan tulang belakang atau
kelainan tulang panggul
Deteksi dini ibu hamil berisiko perlu difokuskan pada keadaan yang
menyebabkan kematian ibu bersalin di rumah dengan pertolongan oleh dukun
bayi. Risiko tinggi kehamilan merupakan keadaan penyimpangan dari normal,
yang secara langsung menyebabkan kesakitan dan kematian ibu maupun bayi.
Risiko tinggi pada kehamilan meliputi :
a. Kadar haemoglobins 8 gr%
b. Tekanan darah tinggi (sistote >140 mmHg dan diastole > 90 mmHg)
c. Oedema yang nyata
d. Eklampsia
e. Perdarahan pervaginam
f. Ketuban Pecan Dini (KPD)
g. Letak lintang pada usia kehamilan > 32 minggu
h. Letak sungsang pada primigravida
i. Infeksi berat atau sepsis
j. Persalinan prematur
k. Kehamilan ganda
l. Janin yang besar
m. Penyakit kronis pada ibu
n. Riwayat obstetri yang buruk
4. Peningkatan pelayanan neonatal (bayi < 1 bulan) dengan mutu yang
baik dan jangkauan yang setinggi tingginya.
Penyebab utama kematian neonatal adalah tetanus neonatorum, gangguan yang
timbul pada Berat Badan Lahir Rendah (BBLR) dan asfiksia. Upaya yang
dilakukan untuk mencegah kematian neonatal diutamakan dengan pemeliharaan
kehamilan sebaik mungkin, pertolongan persalinan "3 Bersih" dan perawatan
yang adekuat pada bayi. Risiko pada neonatal meliputi :
a. Bayi lahir dengan berat < 2500 gr dan > 4000 gr
b. Bayi dengan tetanus neonatorum
c. Bayi dengan asfiksia
d. Bayi dengan ikterus neonatorum (ikterus > 10 had setelah
lahir)
e. Bayi dengan sepsis
f. Bayi lahir preterm dan postterm
g. Bayi lahir dengan cacat bawaan sedang
h. Bayi lahir dengan persalinan tindakan

B. Batasan Operasional Pemantauan PWS-KIA


1. Pelayanan Antenatal
Pelayanan kesehatan oleh tenaga operasional untuk ibu selama masa
kehamilannya yang dilaksanakan sesuai dengan standar pelayanan antenatal
yang ditetapkan. Standar operasional yang ditetapkan untuk pelayanan
antenatal adalah "71".
2. Penjaringan (deteksi) dini kehamilan berisiko
Kegiatan ini bertujuan untuk menemukan ibu hamil berisiko, yang dapat
dilakukan oleh kader, dukun bayi dan tenaga kesehatan.
3. Kunjungan ibu hamil
Adalah kontak ibu hamil dengan tenaga profesional untuk mendapatkan
pelayanan antenatal sesuai standar yang ditetapkan.
4. Kunjungan ibu baru hamil (K1)
Adalah kunjungan ibu hamil yang pertama kali pada masa kehamilan.
5. Kunjungan ulang
Adalah kontak ibu hamil dengan tenaga kesehatan yang kedua dan
seterusnya, untuk mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar selama
satu periode kehamilan berlangsung.
6. K4 Adalah kontak ibu hamil dengan tenaga kesehatan yang ke empat
(atau lebih), untuk mendapatkan pelayanan antenatal sesuai standar yang
ditetapkan.
7. Kunjungan Neonatal (KN)
Adalah kontak neonatal dengan tenaga kesehatan minimal 2 (dua) kali untuk
mendapatkan pelayanan dan pemeriksaan kesehatan neonatal, baik di dalam
maupun di luar gedung Puskesmas (termasuk bidan di desa, polindes, dan
kunjungan rumah) dengan ketentuan:
a. Kunjungan pertama kali pada hari pertama sampai dengan
hari ke
tujuh (sejak 6 jam setelah lahir)
b. Kunjungan kedua kali pada hari ke delapan sampai dengan
had ke
dua puluh delapan.
c. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan bukan
merupakan
kunjungan neonatal
8. Cakupan akses
Adalah persentase ibu hamil di suatu wilayah, dalam kurun waktu tertentu,
yang pernah mendapat pelayanan antenatal sesuai standar paling sedikit satu
kali selama kehamilan.
Cara menghitungnya adalah sebagai berikut:
(Jumlah kunjungan baru ibu hamil dibagi dengan jumlah sasaran ibu hamil
yang ada di suatu wilayah kerja dalam kurun waktu satu tahun) dikalikan
100%.
9. Cakupan ibu hamil (cakupan K4)
Adalah persentase ibu hamil di suatu wilayah, dalam kurun waktu tertentu,
yang mendapatkan pelayanan antenatal sesuai dengan standar paling sedikit
empat kali, dengan distribusi pemberian pelayanan minimal satu kali pada
trimester I, satu kali pada trimester II, dan dua kali pada trimester III.
Cara menghitungnya adalah sebagai berikut:
(jumlah ibu hamil yang telah menerima K4 dibagi jumlah sasaran ibu hamil
dalam kurun waktu satu tahun) dikalikan 100%
10. Sasaran ibu hamil
Sasaran ibu hamil adalah jumlah semua ibu hamil di suatu wilayah dalam
kurun waktu satu tahun.
11. Cakupan pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan
Adalah persentase ibu bersalin di suatu wilayah dalam kurun waktu tertentu,
yang ditolong persalinannya oleh tenaga kesehatan.
Cara menghitungnya adalah sebagai berikut:
(Jumlah persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan (tidak tergantung
pada tempat pelayanan) dibagi dengan jumlah seluruh persalinan yang ada di
suatu wilayah dalam kurun waktu satu tahun) dikalikan 100%.
12. Cakupan penjaringan ibu hamil berisiko oleh masyarakat
Adalah persentase ibu hamil berisiko yang ditemukan oleh kader dan dukun
bayi yang kemudian dirujuk ke Puskesmas/tenaga kesehatan, dalam kurun
waktu tertentu.
Diperkirakan persentase ibu hamil berisiko mencapai 15-2G% dari seluruh ibu
hamil.
13. Cakupan penjaringan ibu hamil berisiko oleh tenaga kesehata
Adalah persentase ibu hamil berisiko yang ditemukan oleh tenaga kesehatan,
yang kemudian ditindaklanjuti (dipantau secara intensif dan ditangani sesuai
kewenangan; dan atau dirujuk ke tingkat pelayanan yang lebih tinggi), dalam
kurun waktu tertentu.
14. Ibu hamil berisiko
Adalah ibu hamil yang mempunyai faktor risiko dan risiko tinggi.
15. Cakupan kunjungan neonatal (KN)
Adalah persentase neonatal (bayi umur < 1 bulan) yang memperoleh
pelayanan kesehatan minimal dua kali dari tenaga kesehatan satu kali pada
hari pertama sampai dengan hari ke dua puluh delapan.

Indicator Pemantauan PWS-KIA


a. Akses Pelayanan Antenatal (Cakupan K1)
Indikator akses ini digunakan untuk mengetahui jangkauan pelayanan
antenatal serta kemampuan program dalam menggerakkan masyarakat.
Rumus yang dipakai untuk perhitungannya adalah:
Jumlah kunjungan baru ( K1) ibu hamil
x100%
 Jumlah sasaran ibu hamil dalam 1tahun
 Jumlah sasaran ibu hamil dalam satu tahun dihitung dengan rumus :
CBR Propinsi x 1,1 x jumlah penduduk setempat
 Bila propinsi tidak mempunyai data CBR, dapat digunakan angka nasional,
sehingga rumus perhitungannya sebagai berikut: 3% x jumlah penduduk
setempat
b. Cakupan Ibu Hamil (K4)
Dengan indikator ini dapat diketahui cakupan pelayanan antenatal secara
lengkap (memenuhi standar pelayanan dan menepati waktu yang telah
ditetapkan) yang menggambarkan tingkat perlindungan ibu hamil di suatu
wilayah disamping menggambarkan kemampuan manajemen ataupun
kelangsungan program KIA. Rumusnya adalah:
Jumlah kunjungan ibu hamil K 4
x100%
Jumlah sasaran ibu hamil dalam 1tahun
c. Cakupan Persalinan oleh Tenaga Kesehatan
Dengan indikator ini dapat diperkirakan proporsi persalinan yang ditangani
oleh tenaga kesehatan dan ini menggambarkan kemampuan manajemen
program KIA dalam pertolongan persalinan secara profesional.
Rumus yang dipergunakan sebagai berikut:
Jumlah persalinan oleh tenaga keseha tan
x100%
 Jumlah seluruh sasaran persalinan dalam 1tahun
 Jumlah seluruh sasaran persalinan dalam satu tahun diperkirakan melalui
perhitungan :
CBR Propinsi x 1,05 x jumlah penduduk setempat
 Bila Propinsi tidak mempunyai data CBR, dapat digunakan angka nasional
sehingga rumusnya sebagi berikut :
2,8% x jumlah penduduk setempat
d. Penjaringan (deteksi) Ibu Hamil Berisiko oleh Masyarakat
Dengan indikator ini dapat diukur tingkat kemampuan dan peran serta
masyarakat dalam melakukan deteksi ibu hamil berisiko di suatu wilayah.
Rumus yang dipergunakan sebagai berikut:
Jumlah ibu hamil berisiko yang dirujuk oleh dukun
Bayi / Kader ke tenaga keseha tan
x100%
Jumlah sasaran ibu hamil dalam 1 tahun
e. Penjaringan (deteksi) Ibu Hamil Berisiko oleh Tenaga Kesehatan
Dengan indikator ini dapat diperkirakan besarnya masalah yang
dihadapi oleh program KIA dan harus ditindaklanjuti dengan intervensi
secara intensif.
Rumus yang dipergunakan sebagai berikut: : Jumlah ibu hamil berisiko yang
ditemukan oleh tenaga kesehatan dan atau dirujuk oleh dukun bayi/leader
Jumlah sasaran ibu hamil dalam 1 tahun
f. Cakupan Pelayanan Neonatal (KN) oleh tenaga Kesehatan
Dengan indikator ini dapat diketahui jangkauan dan kualttas pelayanan
kesehatan neonatal.
Rumus yang dipergunakan sebagai berikut: Jumlah kunjungan neonatal yang
mendapat pelayanan kesehatan minimal 1 kali oleh tenaga kesehatan Jumlah
seluruh sasaran bayi dalam 1 tahun.
Kunjungan minimal 2 (dua) kali dengan ketentuan:
a. Kunjungan pertama kali pada had pertama sampai dengan hari ketujuh
(sejak 6 jam setelah lahir)
b. Kunjungan kedua kali pada hari ke delapan sampai dengan hari ke dua
puluh delapan
c. Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan bukan merupakan
kunjungan neonatal
Jumlah sasaran bayi diperkirakan melalui perkiraan:
 CBR Propinsi jumlah penduduk
 Bila propinsi tidak mempunyai data CBR, dapat digunakan angka
nasional dengan perhitungan:
2,7 x jumlah setempat
Jenis Data
a. Data Sasaran
1. Jumlah seluruh ibu hamil
2. Jumlah seluruh ibu bersalin
3. Jumlah seluruh bayi berusia < 1 bulan (neonatal)
4. Jumlah seluruh bayi
b. Data Pelayanan
1. Jumlah K1
2. Jumlah K4
3. Jumlah ibu hamil berisiko yang dirujuk deh masyarakat
4. Jumlah ibu hamil berisiko yang dilayani oleh tenaga kesehatan
5. Jumlah persalinan yang ditolong oleh tenaga profesional
6. Jumlah bayi berusia < 1 bulan yang dilayani oleh tenaga kesehatan
minimal 2 (dua) kali.

Data pelayanan pada umumnya berasal dari:


1. Register kohort ibu dan bayi
2. Laporan persalinan yang ditolong oleh tenaga kesehatan dan dukun bayi.
3. Laporan dari dokter atau bidan praktek swasta
4. Laporan dari fasilitas pelayanan selain Puskesmas yang berada di wilayah
Puskesmas.
Cara Membuat grafik PWS-KIA
PWS-KIA disajikan dalam bentuk grafik dari tiap indikator yang dipakai, yang
juga menggambarkan pencapaian tiap desa dalam tiap bulan. Dengan demikian tiap
bulannya dibuat 6 grafik, yaitu:
1. Grafik cakupan K1
2. Grafik cakupan K4
3. Grafik cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan
4. Grafik penjaringan ibu hamil berisiko oleh masyarakat
5. Grafik penjaringan ibu hamil berisiko olah tenaga kesehatan
6. Grafik cakupan neonatal oleh tenaga kesehatan ,:

Langkah-langkah pokok dalam pembuatan grafik PWS-KIA:


a. Pengumpulan Data
Data yang diperlukan untuk menghitung tiap indikator diperoleh dari catatan ibu
hamil per desa, register kegiatan harian, register kohort ibu dan bayi, kegiatan
pemantauan ibu hamil per desa, catatan posyandu, laporan dari bidan/ dokter
praktek swasta, rumah sakit bersalin dan sebagainya.
b. Pengelolaan Data
 Perhitungan untuk cakupan K1 (akses)
5. Pencapaian komulatif per desa adalah
Pencapaian cakupan komulatif ibu hamil baru
per desa (Januari s/d Juni 1994)
x100%
Sasaran ibu hamil per desa selama 1 tahun
6. Pencapaian bulan ini per desa
Pencapaian cakupan ibu hamil baru per desa selama
(Juni 1994)
x100%
Sasaran ibu hamil perdesa selama 1 tahun s
7. Pencapaian bulan lalu per desa adalah
Pencapaian cakupan ibu hamil baru per desa selama
(Mei 1994)
x100%
Sasaran ibu hamil perdesa selama 1 tahun
 Perhitungan untuk cakupan K4
8. Pencapaian komulatif per desa adalah :
Pencapaian cakupan komulatif kunjungan ibu hamil (K4)
Per desa (Januari s/d Juni 1994)
x100%
Sasaran ibu hamil perdesa selama 1 tahun
9. Pencapaian bulan ini per desa
Pencapaian cakupan komulatif kunjungan ibu hamil (K4)
Per desa (Juni 1994)
x100%
Sasaran ibu hamil perdesa selama 1 tahun
10. Pencapaian bulan lalu per desa adalah
Pencapaian cakupan kunjungan ibu hamil (K4)
Per desa selama (Mei 1994)
x100%
Sasaran ibu hamil perdesa selama 1 tahun
c. Penggambaran grafik PWS-KIA
Langkah-langkah yang dilakukan dalam membuat grafik PWS-KIA (dengan
menggunakan indikator cakupan K1) adalah sebagai berikut:
1. Menentukan target rata-rata perbulan untuk
menggambarkan skala pada garis vertikal (sumbu y).Misalnya target
cakupan ibu hamil baru (cakupan K1) dalam 1 tahun ditentukan 90 % (garis
a), maka sasaran rata-rata setiap bulan adalah:

90%
 7,5%
12 bulan
Dengan demikian, maka sasaran pencapaian komulatif sampai dengan
bulan Juni adalah (6 x 7,5% =) 45 % (garis b).
2. Hasil perhitungan pencapaian komulatif
cakupan K1 sampai dengan bulan Juni dimasukkan ke dalam jalur %
komulatif secara berurutan sesuai peringkat. Pencapaian tertinggi sebelah
kiri dan terendah disebelah kanan, sedangkan pencapaian untuk
puskesmas dimasukkan kedalam kolom terakhir.
3. Nama desa bersangkutan dituliskan pada
lajur desa, sesuai dengan
cakupan komulatif masing-masing desa
4. Hasil perhitungan pencapaian bulan ini (Juni)
dan bulan lalu (Mei) untuk tiap desa dimasukkan kedalam lajur masing-
masing
5. Gambar anak panah dipergunakan untuk
lajur trend. Bila pencapaian cakupan bulan ini lebih besar dari pencapaian
cakupan bulan lalu, maka di gambarkan anak panah yang menunjuk ke
atas. Sebaliknya, untuk cakupan bulan lalu, digambarkan anak panah yang
menunjukkan kebawah, sedangkan untuk cakupan yang tetap/sama
gambarkan dengan tanda (-).

Analisis dan Tindak Lanjut PWS-KIA


Grafik PWS-KIA perlu di analisis dan ditafsirkan, agar dapat diketahui desa
mana yang paling memerlukan perhatian dan tindak lanjut yang perlu dilakukan.
1. Analisis Grafik PWS-KIA

Analisis dari grafik cakupan ibu hamil baru (akses) pada pemantauan bulan Juni
1994 dapat digambarkan dalam matriks seperti dibawah ini:

Cakupan Terhadap Terhadap Cakupan Bulan Status


Des
Target Lalu Desa
a
Diatas Dibawah Naik Turun Tetap
A + + Baik
B + + Baik
C + + Kurang
D + + Cukup
E + + Jelek

Dari matriks diatas dapat disimpulkan ada 4 macam status cakupan desa, yaitu:
2. Status baik
Adalah desa dengan cakupan diatas target yang ditetapkan, untuk bulan Juni
1994 dan mempunyai kecenderungan cakupan bulanan yang meningkat atau
tetap dibandingkan dengan cakupan bulan yang lalu. Misalnya adalah desa A
dan B, maka desa-desa ini akan mencapai atau melebihi target tahunan yang
ditentukan.
3. Status kurang
Adalah desa dengan cakupan di atas target bulan Juni 1994, namun
mempunyai kecenderungan cakupan bulanan yang menurun jika
dibandingkan dengan cakupan bulan lalu. Misalnya adalah desa C, yang
perlu mendapat perhatian karena cakupan bulan ini hanya 5% (lebih kecil
dari cakupan bulan minimal 7,55). Jika cakupan terus menurun, maka desa
ini tidak akan mencapai target tahunan.
4. Status cukup
Adalah desa dengan cakupan dibawah target bulan Juni 1994, dan
mempunyai kecenderungan cakupan bulanan yang meningkat jika
dibandingkan dengan cakupan bulan lalu. Misalnya adalah desa D, yang
perlu didorong agar cakupan bulanan selanjutnya tidak lebih kecil dari
cakupan bulanan minimal 7,5%. Jika keadaan tersebut dapat terlaksana ,
maka desa ini kemungkinan besar akan mencapai target tahunan yang
ditentukan.
5. Status jelek
Adalah desa dengan cakupan dibawah target bulan Juni 1994, dan
mempunyai kecenderungan cakupan bulanan yang menurun dibanding
dengan bulan lalu. Misalnya adalah desa E, yang perlu diprioritaskan untuk
pembinaan agar cakupan bulanan selanjutnya dapat ditingkatkan diatas
cakupan bulanan minimal agar dapat mengejar kekurangan target sampai
bulan Juni, sehingga dapat pula mencapai target tahunan yang ditentukan.
2. Rencana tindak lanjut
Bagi kepentingan program, analisis PWS-KIA ditujukan untuk menghasilkan
suatu keputusan tindak lanjut teknis dan non teknis. Bagi Puskesmas, keputusan
ini harus dijabarkan dalam bentuk rencana operasional jangka pendek untuk
dapat menyelesaikan masalah yang dihadapi sesuai dengan spesifikasi daerah.
Rencana operasional tersebut perlu dibicarakan dengan semua pihak terkait:
a. Bagi desa yang berstatus baik atau cukup, pola penyelenggaraan
pelayanan KIA perlu dilanjutkan dengan beberapa penyesuaian tertentu
sesuai kebutuhan.
b. Desa berstatus kurang, yang terutama berstatus jelek perlu diprioritaskan
untuk pembinaan selanjutnya. Perlu dilakukan analisis lebih mendalam serta
dicari penyebab rendahnya atau menurunnya cakupan bulanan, sehingga
dapat diupayakan cara penanganan masalah secara lebih spesifik.
c. Intervensi dan kegiatan bersifat teknis (termasuk segi penyediaan logistik)
harus dibicarakan dalam mini Lokakarya Puskesmas dan rapat Dinas
kesehatan Dati II (untuk bantuan dari Dati II)
d. Intervensi dan kegiatan bersifat non-teknis (untuk motivasi, penggerakan
sasaran, dan mobilisasi sumber daya di masyarakat) harus dibicarakan pada
rapat koordinasi kecamatan.

2. UKURAN MORBIDITAS & MORBILITAS

Mortalitas adalah ukuran kematian rata-rata dari penduduk dalam suatu daerah
atau wilayah tertentu. Secara sederhana, mortalitas merupakan jumlah kematian
akibat penyakit tertentu maupun kematian alami.

MENGUKUR MASALAH PENYAKIT ( ANGKA KESAKITAN / MORBIDITAS


Setiap gangguan di dalam fungsi maupun struktur tubuh seseorang dianggap
sebagai penyakit. Penyakit, sakit, cedera, gangguan dan sakit, semuanya
dikategorikan di dalam istilah tunggal : MORBIDITAS.
MORBIDITAS = Kesakitan : Merupakan derajat sakit, cedera atau gangguan pada
suatu populasi.
MORBIDITAS : Juga merupakan suatu penyimpangan dari status sehat dan
sejahtera atau keberadaan suatu kondisi sakit.
MORBIDITAS : Juga mengacu pada angka kesakitan yaitu ; jumlah orang yang
sakit dibandingkan dengan populasi tertentu yang sering kali merupakan
kelompok yang sehat atau kelompok yang beresiko.
Di dalam Epidemiologi, Ukuran Utama Morbiditas adalah : Angka Insidensi &
Prevalensi dan berbagai Ukuran Turunan dari kedua indikator tersebut.
Setiap kejadian penyakit, kondisi gangguan atau kesakitan dapat diukur
dengan Angka Insidensi dan Angka Prevalensi.
1.INSIDENSI
Adalah gambaran tentang frekwensi penderita baru suatu penyakit yang
ditemukan pada suatu waktu tertentu di satu kelompok masyarakat.
Untuk dapat menghitung angka insidensi suatu penyakit, sebelumnya harus
diketahui terlebih dahulu tentang :
™ Data tentang jumlah penderita baru.
™ Jumlah penduduk yang mungkin terkena penyakit baru( Population at Risk ).
Secara umum angka insiden ini dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu :
a. Incidence Rate
™ Yaitu Jumlah penderita baru suatu penyakit yang ditemukan pada
suatu jangka waktu tertentu(umumnya 1 tahun) dibandingkan dengan
jumlah penduduk yang mungkin terkena penyakit baru tersebut pada
pertengahan jangka waktu yang bersangkutan.
™ Rumus yang dipergunakan :
Jumlah Penderit…
• (P1 + P2), atau 2
• P1 + {½(P2 – P1)}
2. Bila diperoleh Jumlah Penduduk pada 1 Maret dan 31 Desember,
maka Jumlah Penduduk Pertengahan Tahun :
Manfaat Incidence Rate adalah :
¾ Mengetahui masalah kesehatan yang dihadapi
¾ Mengetahui Resiko untuk terkena masalah kesehatan yang
dihadapi
¾ Mengetahui beban tugas yang harus diselenggarakan oleh
suatu fasilitas pelayanan kesehatan.
b. Attack Rate
Yaitu Jumlah penderita baru suatu penyakit yang ditemukan pada
suatu saat dibandingkan dengan jumlah penduduk yang mungkin
terkena penyakit tersebut pada saat yang sama.
Manfaat Attack Rate adalah :
¾ Memperkirakan derajat serangan atau penularan suatu
penyakit.
Æ Makin tinggi nilai AR, maka makin tinggi
pula kemampuan Penularan Penyakit tersebut.
™ Rumus yang digunakan :
Jumlah Penderita Baru dlm Satu Saat
Attack Rate =
Jml. Penduduk yg. Mungkin terkena Peny.
Tersebut pd. Saat yg. Sama.
c. Secondary Attack Rate
™ Adalah : Jumlah penderita baru suatu penyakit yang terjangkit
pada serangan kedua dibandingkan dengan jumlah penduduk dikurangi
orang/penduduk yang pernah terkena penyakit pada serangan
pertama.
™ Digunakan menghitung suatu panyakit menular dan dalam suatu
populasi yang kecil ( misalnya dalam Satu Keluarga ).
™ Rumus yang digunakan :
Jml. Penderita Baru pd. Serangan Kedua
SAR = (Jml. Penddk – Pendd. Yg. Terkena Serangan Pertama )
2. PREVALENSI
Adalah : gambaran tentang frekwensi penderita lama dan baru yang ditemukan
pada suatu jangka waktu tertentu di sekelompok masyarakat tertentu. Pada
perhitungan angka Prevalensi, digunakan jumlah seluruh penduduk tanpa
memperhitungkan orang/penduduk yang Kebal atau Pendeuduk dengan Resiko
(Population at Risk). Sehingga dapat dikatakan bahwa Angka Prevalensi bukanlah
suatu RATE yang murni, karena Penduduk yang tidak mungkin.
Mortalitas merupakan salah satu komponen penting dalam kependudukan.
Pertumbuhan penduduk ditentukan salah satunya oleh mortalitas. Objek mortalitas
ialah semua manusia di segala jenis umur di manapun dan kapanpun. Mortalitas
merupakan informasi penting bagi pihak pemerintah dan swasta dalam bidang
ekonomi dan kesehatan. Permasalahan mortalitas melingkupi bidang ekonomi,
sosial, adat, maupun kesehatan lingkungan. Peningkatan kesejahteraan masyarakat
oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah dapat diketahui melalui indikator
kematian.
Perpaduan informasi berupa angka kematian ibu, angka kematian bayi, angka
kematian anak, serta prevalensi gizi buruk dan usia harapan hidup, menjadi
perwakilan dari tingkat kesejahteraan penduduk.Selain itu, besarnya mortalitas
menentukan arah pembangunan sebuah negara.
Penghitungan mortalitas terdiri atas beberapa jenis, seperti: angka kematian bayi,
angka kematian kasar, dan angka kematian menurut kelompok umur.Mortalitas
berbeda dengan morbiditas yang merujuk pada jumlah individu yang memiliki
penyakit selama periode waktu tertentu.Mortalitas secara rinci diartikan sebagai
jumlah kematian spesifik pada suatu populasi dengan skala besar suatu populasi
tiap dikali satuan. Mortalitas khusus mengekspresikan pada jumlah satuan kematian
tiap 1000 individu tiap tahun.
Ukuran kematian atau indikator mortalitas merupakan angka atau indeks yang
digunakan sebagai landasan dalam menentukan tingkatan kematian pada suatu
penduduk. Jenis ukuran kematian beragam, mulai dari rumusan yang sederhana
hingga perhitungan yang rumit. Keadaan kematian penduduk umumnya tidak
terwakili dengan ukuran kematian tunggal, sehingga biasanya digunakan beberapa
ukuran kematian sekaligus. Tiap jenis ukuran kematian juga dapat mewakili keadaan
yang berkaitan dengan mortalitas seperti fertilitas dan morbiditas pada periode
waktu tertentu.
1.Angka kematian kasar Sunting
Angka kematian kasar adalah angka yang menunjukkan jumlah kematian yang
terjadi tiap 1000 penduduk.Dalam kasus umum, kematian lebih sering terjadi di usia
tua.
Secara umum, mortalitas dipengaruhi oleh dua jenis faktor, yaitu faktor langsung
dan faktor tidak langsung. Faktor langsung merupakan faktor yang dimiliki atau
disebabkan langsung oleh orang yang mengalami kematian. Faktor langsung
bersifat alami. Macam faktor ini ialah umur, jenis kelamin, penyakit, kekerasan,
kecelakaan dan bunuh diri. Sedangkan faktor tidak langsung merupakan faktor yang
berasal dari luar diri seseorang yang mengalami kematian. Faktor tidak langsung
terbagi beradasarkan kondisi psikologi, kesehatan, dan lingkungan. Dalam lingkup
psikologi, kematian disebabkan oleh stres fisik dan stres psikologis, status
pernikahan dan status sosial-ekonomi dan pendidikan. Dari lingkup kesehatan,
kematian dipengaruhi oleh fasilitas kesehatan dan kemampuan mencegah penyakit.
Sedangkan dari faktor llingkungan, kematian dipengaruhi oleh pekerjaan, kondisi
politik, tempat tinggal, bencana alam dan pencemaran lingkungan.
2.Pendidikan Sunting
Pendidikan berpengaruh terhadap pola pikir ibu yang hamil dan akan melahirkan.
Semakin tinggi tingkat pendidikan yang diperolehnya, maka kesadaran akan
pentingnya kesehatan sebelum dan setelah melahirkan akan meningkat. Kesadaran
ini kemudian mengurangi risiko kematian karena ia akan memeriksakan dirinya di
rumah sakit dengan pelayanan dari ahli kesehatan.
3.Ekonomi Sunting
Kondisi ekonomi yang tidak memadai menjadi salah satu penyebab kematian ibu
dan anak sebelum, selama dan setelah persalinan. Keuangan yang tidak mencukupi
membuat masyarakat memilih tidak memeriksakan kesehatannya di rumah sakit,
terutama ibu hamil hingga ibu yang telah melahirkan. Kondisi ini membuat banyak
ibu yang meninggal karena memiliki penyakit yang tidak diketahui.
4.Adat Sunting
Adat khusunya berpengaruh terhadap peningkatan angka kematian ibu selama
proses persalinan. Kematian ini umumnya disebabkan adanya pendarahan yang
tidak dapat diatasi. Sebagian besar masyarakat desa lebih memilih melahirkan di
rumah dengan bantuan dukun, dibandingkan ke rumah sakit untuk menerima
bantuan persalinan dari bidan. Beberapa suku tertentu juga memiliki kebiasaan
menempatkan ibu yang sedang nifas pada tempat-tempat khusus yang kurang
higienis. Beberapa masyarakat tradisional juga memberikan status sosial yang lebih
rendah kepada wanita dibandingkan dengan laki-laki. Kondisi ini membuat wanita
sering mengalami malnutrisi sehingga meningkatkan angka kematian bayi.
5.Lingkungan Sunting
Tidak semua penyakit dan kematian dapat dihubungkan secara langsung
maupun tidak langsung dengan lingkungan tempat tinggal dan tempat kelahiran
anak-anak. Namun penyakit dan kecatatan selalu disebabkan oleh agen-agen
lingkungan. Secara tidak langsung, lingkungan mempengaruhi mortalitas maupun
morbiditas.Kematian janin dapat terjadi sebelum usia kehamilan 18 pekan akibat
terpapar radiasi. Sedangkan peningkatan mortalitas bayi disebabkan oleh suhu
tubuh yang lebih rendah dari batas normal akibat radiasi, konveksi, konduksi dan
evaporasi lingkungan sekitarnya atau terjadinya hipotermia dan hipertermia.
Selama masa bayi baru lahir (2 pekan pertama), bayi masih sangat lemah untuk
menyesuaikan fisiologi dirinya secara radikal agar dapat bertahan hidup. Bayi baru
lahir yang lemah akan gagal menyesuaikan diri dan mengalami kematian.Mortalitas
bayi baru lahir dapat diturunkan melalui transportasi dengan program STABLE
setelah proses resusitasi neonatus. Program ini telah dimulai sejak tahun 1996
M.Pada anak, risiko kematian dikurangi dengan melakukan pemberian imunisasi
yang meningkatkan ketahanan terhadap penyakit-penyakit mematikan.
Sepuluh negara dengan tingkat mortalitas terbesar adalah:
1.Angola 192.50
2.Afganistan 165.96
3.Sierra Leone 145.24
4.Mozambik 137.08
5.Liberia 295.00
6.Niger 122.66
7.Somalia 118.52
8.Mali 117.99
9.Tajikistan 112.10
10.Guinea-Bissau 108.72

3. Penyebab Kematian Ibu

Kematian ibu dibagi menjadi kematian langsung dan tidak langsung.


Kematian ibu langsung adalah sebagai akibat komplikasi kehamilan, persalinan,
atau masa nifas, dan segala intervensi atau penanganan tidak tepat dari komplikasi
tersebut. Kematian ibu tidak langsung merupakan akibat dari penyakit yang sudah
ada atau penyakit yang timbul sewaktu kehamilan yang berpengaruh terhadap
kehamilan, misalnya malaria, anemia, HIV/AIDS, dan penyakit kardiovaskular
(Saifudin, 2010).
Penyebab kematian langsung ibu di Indonesia didominasi oleh perdarahan
pasca persalinan, hipertensi/eklamsia, dan infeksi. Penyebab tidak langsung
kematian ibu adalah masih banyaknya kasus 3 terlambat dan 4 terlalu (GKIA, 2016).
Kasus 3 terlambat, meliputi :
1. Terlambat mengenali tanda bahaya persalinan dan mengambil keputusan.
2. Terlambat dirujuk ke fasilitas kesehatan.
3. Terlambat ditangani oleh tenaga kesehatan di fasilitas pelayanan kesehatan.
Kasus 4 terlalu, meluputi :
1. Terlalu tua hamil (diatas usia 35 tahun)
2. Terlalu muda hamil (dibawah usia 20 tahun)
3. Terlalu banyak (jumlah anak lebih dari 4)
4. Terlalu dekat jarak antar kelahiran (kurang dari 2 tahun

1. Epidemiologi

Kematian Ibu Menurut WHO, sekitar 830 wanita meninggal karena komplikasi
kehamilan atau persalinan di seluruh dunia setiap harinya. Diperkirakan 11 pada
tahun 2015, sekitar 303.000 wanita meninggal selama dan setelah kehamilan dan
persalinan, dimana sebagian besar dari kematian dapat dicegah (WHO, 2018).
Tingginya jumlah kematian ibu di beberapa daerah di dunia mencerminkan
ketidakadilan dalam akses menuju layanan kesehatan, dan menyoroti kesenjangan
antara kaya dan miskin. Kematian ibu (99%) terjadi di negara berkembang.
Rasio kematian ibu di negara berkembang pada 2015 adalah 239 per 100.000
kelahiran hidup berbanding 12 per 100.000 kelahiran hidup di negara maju. Ada
perbedaan besar antara negara, tetapi juga di dalam negara, dan antara wanita
dengan pendapatan tinggi dan rendah dan wanita yang tinggal di daerah pedesaan
versus perkotaan (WHO, 2018). Risiko kematian ibu tertinggi terjadi pada gadis
remaja di bawah 15 tahun dan komplikasi dalam kehamilan dan persalinan
merupakan penyebab utama kematian diantara remaja perempuan di negara
berkembang (WHO, 2018). Di wilayah Asia Tenggara diperkirakan terdapat 240.000
kematian maternal setiap tahunnya, sehingga diperoleh angka kematian maternal
sebesar 210 per 100.000 KH.
Angka kematian maternal ini merupakan ukuran yang mencerminkan risiko
obstetrik yang dihadapi oleh seorang wanita setiap kali wanita tersebut menjadi
hamil. Risiko ini semakin bertambah seiring dengan bertambahnya jumlah kehamilan
yang dialami (WHO dalam Fibriana, 2007). Melihat adanya kemungkinan untuk
mempercepat penurunan angka kematian ibu, negara-negara kini telah berkomitmen
melalui target baru 12 untuk mengurangi kematian ibu lebih jauh. Salah satu tujuan
Sustainable Development Goal (SDGs) 3 adalah untuk mengurangi rasio kematian
ibu bersalin menjadi kurang dari 70 per 100.000 kelahiran (WHO, 2018). Penurunan
AKI di Indonesia terjadi sejak tahun 1991 sampai dengan 2007, yaitu dari 390
menjadi 228. SDKI tahun 2012 menunjukkan peningkatan AKI yang signifikan yaitu
menjadi 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. AKI kembali menujukkan
penurunan menjadi 305 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup berdasarkan hasil
Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 2015 (Profil Kesehatan Indonesia, 2016).
Kematian ibu merupakan masalah kesehatan utama di Indonesia. Berdasarkan
angka-angka hasil survei nasional hingga tahun 2012.
Angka Kematian Ibu (AKI) belum menunjukkan perbaikan (GKIA, 2016). Angka
sebesar 359 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup ini setara dengan 17 ribu
kejadian kematian ibu setiap tahunnya. Hasil analisis dan studi lanjutan Sensus
Penduduk (SP) 2010 menunjukkan bahwa proporsi kematian ibu terbesar terjadi
pada saat persalinan dan 48 jam pertama setelahnya. Kematian yang terjadi pada
masa kehamilan sebagian besar terjadi saat ibu tersebut kandungannya berumur
kurang dari 20 minggu (GKIA, 2016). Di Indonesia dari 10 kehamilan terjadi pada
remaja berusia 15-19 tahun. Kehamilan remaja berusia dibawah 18 tahun
berdampak negatif pada kesehatan. Risiko kesakitan dan kematian yang terjadi 1,5
kali lebih tinggi dibandingkan kehamilan pada usia yang lebih matang (WHO. 2018
dan GKIA, 2016). 13 Penyebab langsung kematian ibu di Indonesia didominasi oleh
pendarahan pasca persalinan, hipertensi/eklamsia, dan infeksi. Penyebab tidak
langsung kematian ibu adalah masih banyaknya kasus 3 terlambat dan 4 terlalu
(GKIA, 2016). Keadaan ibu pra–hamil dapat berpengaruh terhadap kehamilannya.
Penyebab tidak langsung kematian maternal ini antara lain adalah anemia, kurang
energi kronis (KEK) dan keadaan terlalu (terlalu muda / tua, terlalu sering dan terlalu
banyak) (Saifudin, 2000). Tahun 1992 McGarthy dan Maine mengembangkan suatu
kerangka konseptual kematian ibu. Terdapat 3 komponen dalam proses kematian
ibu, yang paling dekat dengan kematian dan kesakitan adalah kehamilan, persalinan
atau komplikasinya. Komponen kehamilan, komplikasi, atau kematian secara
lengkap dipengaruhi oleh determinan antara, yaitu status kesehatan, status
reproduksi, akses terhadap pelayanan kesehatan, perilaku kesehatan dan faktor lain
yang tidak diketahui. Determinan antara dipengaruhi oleh determinan jauh yang
digolongkan sebagai komponen sosioekonomi dan budaya (Saifudin, 2010).

D. Faktor-Faktor Risiko Kematian Ibu


Menurut Mcarthy dan Maine (1992) kematian maternal dipengaruhi oleh 3
determinan, yaitu determinan dekat, determinan antara dan determinan jauh.
Determinan dekat merupakan penyebab kematian ibu, yaitu kehamilan itu sendiri
dan gangguan obstetrik yang berupa perdarahan, infeksi, eklampsia/preeklampsia,
dan lainnya. Determinan dekat secara langsung dipengaruhi oleh determinan antara
yaitu status kesehatan, status reproduksi, akses ke pelayanan kesehatan, dan
perilaku penggunaan pelayanan kesehatan. Determinan jauh merupakan determinan
yang berhubungan dengan faktor demografi dan sosiokultural, yaitu status wanita
dalam keluarga dan masyarakat, status keluarga dalam masyarakat, dan status
masyarakat.

1.Determinan Dekat
Determinan dekat merupakan proses yang paling dekat terhadap kejadian
kematian maternal, yang meliputi kehamilan itu sendiri dan komplikasi dalam
kehamilan, persalinan dan masa nifas. Tiap wanita hamil memiliki risiko komplikasi
yang berbeda, dibedakan menjadi ibu hamil risiko rendah dan ibu hamil risiko tinggi.
Komplikasi yang dapat terjadi antara lain:

A.Perdarahan
Perdarahan yang dapat menyebabkan kematian ibu antara lain adalah
perdarahan karena abortus, perdarahan ektopik terganggu, perdarahan antepartum,
dan perdarahan postpartum. Perdarahan karena abortus dapat disebabkan karena
abortus yang tidak lengkap atau cedera pada organ panggul atau usus.
Abortus sendiri adalah berakhirnya suatu kehamilan (oleh akibatakibat
tertentu) pada atau sebelum kehamilan tersebut berusia 22 minggu atau buah
kehamilan belum mampu untuk hidup di luar kandungan (Saifudin dkk, 2009).
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dimana setelah fertilisasi, implantasi terjadi di
luar endometrium kavum uteri. Kehamilan ektopik dapat mengalami abortus atau
ruptura apabila masa kehamilan berkembang melebihi kapasitas ruang implantasi
dan peristiwa ini disebut sebagai kehamilan ektopik terganggu (Saifudin, 2009).
Kehamilan ektopik yang mengalami penyulit atau terjadi ruptur pada tuba tempat
lokasi nidasi kehamilan ini akan memberikan gejala dan tanda yang khas yaitu
timbulnya sakit perut mendadak yang kemudian disusul dengan syok atau pingsan
(Hadijanto, 2010). Perdarahan antepartum merupakan perdarahan pervaginam pada
kehamilan diatas 28 minggu atau lebih.
Pendarahan antepartum terjadi pada usia kehamilan lebih dari 28 minggu
maka sering disebut atau digolongkan perdarahan pada trimester ketiga.
Pendarahan antepartum pada umumnya disebabkan oleh kelainan implantasi
plasenta (letak rendah dan previa), dan separasi plasenta sebelum bayi lahir. Faktor
yang meningkatkan kejadian plasenta previa yaitu umur penderita yang masih muda
atau berumur diatas 35 tahun, paritas penderita yang tinggi dan endometrium yang
cacat (Manuaba, 2010). Perdarahan postpartum adalah hilangnya darah 500 ml atau
lebih dari organ-organ reproduksi setelah selesainya kala tiga persalinan (setelah
plasenta lahir). Perdarahan postpartum dibagi menjadi dua yaitu, perdarahan
postpartum primer yaitu perdarahan pasca persalinan yang terjadi dalam 24 jam
pertama kelahiran penyebab utamanya adalah atona uteri, retensio plasenta,
robekan jalan lahir dan inversio uteri. Perdarahan postpartum sekunder yaitu
perdarahan pasca persalinan yang terjadi setelah 24 jam pertama kelahiran.
Penyebab utama perdarahan postpartum sekunder disebabkan oleh infeksi,
penyusutan rahim yang tidak baik atau sisa plasenta yang tertinggal (Astuti dkk,
2015). Perdarahan postpartum merupakan penyebab penting kematian maternal
khususnya di negara berkembang. Faktor-faktor yang menyebabkan perdarahan
postpartum adalah grandemultipara, jarak persalinan pendek kurang dari 2 tahun,
persalinan dilakukan dengan tindakan (Manuaba, 2010).

b.Infeksi
Infeksi adalah invasi jaringan oleh mikroorganisme patogen hingga
menyebabkan kondisi sakit karena virulensi dan jumlah mikroorganisme patogen
tersebut. Infeksi dapat terjadi pada masa kehamilan, selama persalinan (inpartu)
maupun masa nifas. Infeksi pada kehamilan adalah infeksi jalan lahir pada masa
kehamilan, baik kehamilan muda maupun tua. Keadaan infeksi ini berbahaya karena
dapat mengakibatkan sepsis, yang mungkin menyebabkan kematian ibu (Leveno
dkk. 2013). Infeksi nifas adalah infeksi bakteri yang berasal dari saluran reproduksi
selama persalinan. Penyebab terbesar dari infeksi nifas adalah penolong persalinan
yang membawa kuman ke dalam rahim ibu dengan membawa kuman yang telah
ada di dalam vagina ke atas (Astuti dkk, 2015).

c.Pre-eklamsia dan eklamsia

Pre-eklamsia adalah tekanan darah tinggi yang disertai dengan proteinuria


(protein dalam kemih) atau edema (penimbunan cairan) yang terjadi pada kehamilan
20 minggu sampai akhir minggu pertama setelah persalinan. Kelanjutan pre-
eklamsia berat menjadi eklamsia dengan tambahan gejala kejang dan/atau koma
(Astuti dkk, 2015 dan Manuaba, 2010).
Kehamilan dapat menyebabkan terjadinya hipertensi pada wanita yang sebelum
kehamilannya memiliki tekanan darah normal (normotensi) atau dapat memperberat
keadaan hipertensi yang sebelumnya telah ada. Hipertensi dalam kehamilan atau
yang dikenal sebagai pre-eklamsi, dan jika hipertensi ini disertai kejang maka
disebut sebagai eklamsia merupakan salah satu penyebab kematian tertinggi di
Indonesia. Pre-eklamsia dan eklamsia ini juga dapat terjadi pada masa nifas (Astuti
dkk, 2015).
Hipertensi didiagnosis jika tekanan darah mencapai 140/90 mmHg atau lebih.
Edema sudah tidak lagi digunakan sebagai kriteria diagnostik karena juga terjadi
pada banyak wanita hamil normal. Dahulu dianjurkan bahwa digunakan parameter
peningkatan tekanan darah sistolik 30 mmHg atau diastolik 15 mmHg sebagai
diagnostik, meskipun nilai absolut masih dibawah 140/90 mmHg. Kriteria ini tidak
lagi dianjurkan karena bukti-bukti memperlihatkan bahwa wanita dalam kelompok ini
kecil kemungkinannya mengalami gangguan pada hasil akhir kehamilan mereka.
Tetapi, wanita yang mengalami peningkatan tekanan darah sistolik 30 mmHg
atau diastolik 15 mmHg perlu diawasi secara ketat (Leveno dkk, 2013). Pre-
eklamsia dan eklamsia merupakan penyebab kematian ibu dan perinatal yang tinggi
terutama di negara berkembang. Kematian akibat eklamsia meningkat lebih tajam
dibandingkan pada 18 tingkat pre-eklamsia berat. Kejadian pre-eklamsia dan
eklamsia bervariasi di setiap negara bahkan pada setiap daerah. Dijumpai beberapa
faktor yang mempengaruhi diantaranya jumlah primigravida, terutama primigravida
muda, distensi hamil berlebihan, penyakit yang menyertai kehamilan dan jumlah
usia ibu lebih dari 35 tahun (Manuaba, 2010).

4. Partus macet atau partus lama

Partus lama terjadi sejak ibu mulai merasa mulas sampai melahirkan bayi,
biasanya berlangsung kurang dari 12 jam. Kasus bayi belum lahir lebih dari 12 jam
sejak mulas, persalinan tersebut tergolong lama (Syafrudin dan Hamidah, 2009).
Partus lama disebabkan oleh adanya kemungkinan kelainan yang terjadi pada jalan
lahir seperti terjadi kesempitan jalan lahir, mengubah posisi dan kebutuhan janin
intrauterin, ada penghalang jalan lahir, ukuran janin terlalu besar sedangkan pelvis
normal sehingga terjadi disproporsi sefalopelvik dan serviks kaku. Keadaan janin
yang dapat menyebabkan partus lama adalah letak janin yang membujur sehingga
letak sungsang, ukuran janin terlalu besar, lilitan tali pusat, dan bagian terendah
belum masuk disproporsi sefalopelvik, serta adanya kelainan pada janin yaitu tumor
abdomen, anensefali, dan hidrosefalus (Manuaba, 2010).

5. Ruptura uterus

Ruptura uteri adalah robekan atau diskontinuitas dinding rahim akibat


dilampauinya daya regang miometrium. Penyebab ruptura uteri adalah disproporsi
janin dan panggul, partus macet atau traumatik. Ruptura uteri termasuk salah satu
diagnosis banding apabila wanita dalam persalinan lama mengeluh nyeri hebat
pada perut bawah, diikuti dengan syok dan perdarahan pervaginam (Saifudin,
2010). Robekan jalan lahir selalu memberikan perdarahan dalam jumlah yang
bervariasi banyaknya. Perdarahan yang berasal dari jalan lahir selalu harus
dievaluasi, yaitu sumber dan jumlah perdarahan sehingga dapat diatasi. Sumber
perdarahan dapat berasal dari perineum, vagina, serviks dan robekan uterus (ruptur
uteri) (Manuaba. 2010).

2. Determinan antara

Determinan antara merupakan keadaan atau hal-hal yang melatarbelakangi dan


menjadi penyebab langsung serta tidak langsung dari kematian ibu meliputi status
kesehatan ibu, status reproduksi, akses terhadap pelayanan kesehatan dan perilaku
penggunaan pelayanan kesehatan.

a. Status kesehatan ibu


Menurut McCarthy dan Maine status kesehatan ibu yang berpengaruh
terhadap kejadian kematian maternal meliputi status gizi, anemia, riwayat
penyakit yang diderita ibu, dan riwayat komplikasi pada kehamilan dan
persalinan sebelumnya.
1) Status gizi
Status gizi merupakan hal yang penting diperhatikan pada masa
kehamilan, karena faktor gizi sangat berpengaruh terhadap status kesehatan
ibu selama hamil serta berguna untuk pertumbuhan dan perkembangan janin.
Hubungan antara gizi ibu hamil dan kesejahteraan janin merupakan hal yang
sangat penting untuk diperhatikan. Keterbatasan gizi selama hamil sering
berhubungan dengan faktor ekonomi, pendidikan, sosial atau keadaan lain
yang meningkatkan kebutuhan gizi ibu hamil dengan penyakit infeksi tertentu
termasuk persiapan fisik untuk persalinan. (Jannah, 2012)
Status gizi ibu hamil dapat dilihat dari hasil pengukuran terhadap lingkar
lengan atas (LILA). Pengukuran LILA bertujuan untuk mendeteksi apakah ibu
hamil termasuk kategori kurang energi kronis (KEK) atau tidak. Ibu dengan
status gizi buruk memiliki risiko untuk terjadinya perdarahan dan infeksi pada
masa nifas. Keadaan kurang gizi sebelum dan selama kehamilan memberikan
kontribusi terhadap rendahnya kesehatan ibu, masalah dalam persalinan dan
masalah pada bayi yang dilahirkan (Andriani dan Wirjatmadi, 2012) Standar
minimal ukuran LILA pada wanita dewasa atau usia reproduksi adalah 23,5
cm. Ukuran LILA < 23,5 cm maka interpretasinya adalah Kurang Energi Kronik
(KEK). (Jannah, 2012).

2) Status Anemia
Anemia pada kehamilan adalah anemia karena kekurangan zat besi.
Anemia pada kehamilan merupakan masalah nasional karena mencerminkan
nilai kesejateraan sosial ekonomi masyarakat, dan pengaruhnya sangat besar
terhadap kualitas sumberdaya manusia. Anemia kehamilan disebut “potential
danger mother and child” (potensi membahayakan ibu dan anak).
Menurut WHO, kejadian anemia kehamilan berkisar antara 20% dan
89% dengan menetapkan Hb 11 g% (g/dl) sebagai dasarnya (Manuaba,
2010). Ibu yang anemia tidak dapat mentoleransi kehilangan darah seperti
perempuan sehat tanpa anemia. Pada waktu persalinan, kehilangan darah
1.000 ml tidak mengakibatkan kematian pada ibu sehat, tetapi pada ibu
anemia, kehilangan darah kurang dari itu dapat berakibat fatal. Ibu anemia
juga meningkatkan risiko operasi atau penyembuhan luka tidak segera
sehingga luka terbuka seluruhnya (Saifudin, 2010). Pengaruh anemia selama
kehamilan yaitu dapat terjadi abortus, persalinan prematiritas, hambatan
tumbuh kembang janin dalam rahim, mudah terjadi infeksi, ancaman
dekompensasi kordis (Hb).

3) Riwayat penyakit
Kematian ibu tidak langsung merupakan akibat dari penyakit yang
sudah ada atau penyakit yang timbul sewaktu kehamilan yang berpengaruh
terhadap kehamilan, misalnya malaria, anemia, HIV/AIDS, dan penyakit
kardiovaskular (Saifudin, 2010). Kehamilan dengan penyakit jantung selalu
saling mempengaruhi karena kehamilan memberatkan penyakit jantung dapat
mempengaruhi petumbuhan dan perkembangan janin dalam rahim. Jantung
yang normal dapat menyesuaikan diri terhadap segala perubahan sistem
jantung dan pembuluh darah yang disebabkan oleh kehamilan (Manuaba,
2010).
Hipertensi yang menyertai kehamilan adalah hipertensi yang telah ada
sebelum kehamilan. Hipertensi dalam kehamilan yang disertai proteinuria dan
edema maka disebut pre-eklamsi. Penyebab utama hipertensi pada
kehamilan adalah hipertensi esensial dan penyakit ginjal (Manuaba, 2010).
Diabetes dalam kehamilan telah lama diketahui sebagai masalah serius baik
bagi ibu dan janin. Pada masa sebelum ditemukan insulin, ibu mengidap
diabetes jarang menjadi hamil. mereka yang hamil jarang mencapai
kehamilan cukup bulan. Penanganan Pengidap penyakit diabetes telah
membaik selama 50 tahun terakhir. Lindsay dalam Wylie (2010)
menyimpulkan bahwa lahir mati, mortalitas perinatal, dan abnormalitas
kongenital tetap 2-5 kali lebih sering dibandingkan kehamilan yang tidak
diperumit oleh diabetes (Wylie dan Bryce, 2010).
Malaria meningkatkan risiko anemia ibu, prematuritas, dan berat badan
lahir rendah pada kehamilan pertama. Infeksi HIV juga meningkatkan risiko
komplikasi malaria. Hepatitis virus dalam kehamilan merupakan keadaan
yang meningkatkan case fatality rate 35 kali daripada ibu tidak hamil.
Hepatitis virus umumnya terjadi pada trimester ketiga kehamilan, dapat
menyebabkan persalinan prematur, gagal hati, perdarahan dan janin pada
umumnya sulit diselamatkan. (Saifudin, 2010).

4) Riwayat komplikasi
Kehamilan dan persalinan sebelumnya Menurut Manuaba, ibu hamil
yang memiliki risiko tinggi adalah ibu hamil dengan riwayat komplikasi
kehamilan seperti keguguran berulang, sering mengalami perdarahan saat
hamil dan terjadi infeksi saat hamil serta ibu hamil dengan riwayat komplikasi
persalinan seperti persalinan prematur, persalinan dengan berat bayi lahir
rendah, persalinan lahir mati, persalinan dengan perdarahan postpartum dan
persalinan dengan tindakan (ekstraksi forseps, ekstraksi vakum letak
sungsang, operasi sesar). (Manuaba, 2010).

b. Status Reproduksi
Status reproduksi yang berperan penting terhadap kejadian kematian ibu
adalah umur ibu hamil, jumlah kelahiran, jarak kehamilan dan status perkawinan
ibu (McCharty dan Maine, 1992).
1) Umur
Faktor tidak langsung kematian ibu diantaranya adalah faktor usia terlalu tua
yaitu usia diatas 35 tahun dan usia terlalu muda yaitu usia dibawah 20 tahun. Di
Indonesia 1 dari 10 kehamilan terjadi pada remaja berusia 15-19 tahun.
Kehamilan remaja berusia dibawah 18 tahun berdampak negatif pada
kesehatan. Risiko kesakitan dan kematian yang terjadi 1,5 kali lebih tinggi
dibandingkan kehamilan pada usia yang lebih matang. (WHO. 2018 dan GKIA,
2016) Usia diatas 20 tahun dan dibawah 35 tahun adalah usia yang ideal bagi
wanita untuk hamil. Wanita usia dibawah 20 tahun memiliki risiko yang tinggi
apabila hamil karena organ reproduksi untuk gadis dibawah 20 tahun belum siap
untuk berhubungan seks atau mengandung sehingga jika terjadi kehamilan
berisiko mengalami tekanan darah tinggi (karena tubuhnya tidak kuat), kelahiran
prematur, berat bayi lahir rendah, dan berisiko terkena penyakit kanker serviks.
(Dewi, 2016).
Kehamilan pada usia diatas 35 tahun juga merupakan risiko tinggi untuk
hamil, karena organ reproduksi wanita yang sudah mengendur, banyak penyakit
yang menghampiri seperti penyakit jantung, tekanan darah tinggi, diabetes
mellitus sehingga wanita harus berhati-hati ketika memutuskan melahirkan
diatas usia 35 tahun. Wanita hamil usia diatas 35 tahun biasanya dokter
menyarankan untuk sering check up kehamilan atau menjalani serangkaian test,
konseling genetik dan skrining kendala-kendala yang mungkin terjadi pada
wanita hamil usia diatas 35 tahun. (Dewi, 2016).
2) Paritas
Paritas 2-3 merupakan paritas paling aman ditinjau dari sudut kematian
maternal. Paritas < 1 (belum pernah melahirkan/ baru melahirkan pertama kali)
dan paritas > 4 memiliki angka 25 kematian maternal lebih tinggi. (Saifudin,
2010). Paritas ≤ 1 dan usia muda berisiko karena ibu belum siap secara medis
maupun secara mental, sedangkan paritas di atas 4 dan usia tua, secara fisik
ibu mengalami kemunduran untuk menjalani kehamilan. (Fibriana, 2007)
Kehamilan kedua atau ketigapun jika kehamilannya terjadi pada keadaan yang
tidak diharapkan (gagal KB, ekonomi tidak baik, interval terlalu pendek), dapat
meningkatkan risiko kematian maternal. Paritas lebih dari 4 juga merupakan
faktor tidak langsung penyebab kematian ibu di Indonesia (GKIA, 2016).
3) Jarak kehamilan
Jarak kehamilan terlalu dekat (kurang dari 2 tahun) merupakan faktor tidak
langsung penyebab kematian ibu di Indonesia. Jarak antar kehamilan yang
disarankan pada umumnya adalah paling sedikit dua tahun, untuk
memungkinkan tubuh wanita dapat pulih dari kebutuhan ekstra pada masa
kehamilan dan laktasi. (GKIA, 2016).
4) Status perkawinan
Status perkawinan yang mendukung terjadinya kematian maternal adalah
status tidak menikah. Status ini merupakan indikator dari suatu kehamilan yang
tidak diharapkan atau direncanakan. Wanita dengan status perkawinan tidak
menikah pada umumnya cenderung kurang memperhatikan kesehatan diri dan
janinnya selama kehamilan dengan tidak melakukan pemeriksaan antenatal,
yang mengakibatkan tidak terdeteksinya 26 kelainan yang dapat mengakibatkan
terjadinya komplikasi. (WHO dalam Fibriana, 2007).

c. Akses terhadap Pelayanan Kesehatan

Hal ini meliputi antara lain keterjangkauan lokasi tempat pelayanan


kesehatan, dimana tempat pelayanan yang lokasinya tidak strategis/sulit dicapai
oleh para ibu menyebabkan berkurangnya akses ibu hamil terhadap pelayanan
kesehatan, jenis dan kualitas pelayanan yang tersedia dan keterjangkauan terhadap
informasi. Umumnya kematian maternal di negara – negara berkembang, berkaitan
dengan setidaknya satu dari tiga keterlambatan (The Three Delay Models).
Keterlambatan pertama sering dipengaruhi lambatnya pengambilan keputusan dari
pihak keluarga. Pengenalan tanda bahaya oleh tenaga kesehatan juga
memengaruhi ketepatan waktu pengambilan keputusan merujuk. (GKIA, 2016).
Keterlambatan kedua sering dipengaruhi hambatan biaya dan transportasi
dalam mendapatkan pelayanan. Masyarakat di Indonesia belum semua
memanfaatkan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) karena masih ada
ketakutan bahwa petugas akan meminta tambahan biaya serta akan adanya
perlakuan serta kualitas pelayanan kesehatan jika menggunakan JKN. (GKIA, 2016)
Keterlambatan ketiga terkait dengan lambatnya tenaga kesehatan di fasilitas dalam
menangani kasus-kasus rujukan. Ini menjadi indikator masih rendahnya kualitas
pelayanan kesehatan di Indonesia (Kemenkes dalam GKIA, 2016).

d. Perilaku Penggunaan

Pelayanan Kesehatan Perilaku penggunaan fasilitas pelayanan kesehatan


antara lain meliputi perilaku penggunaan alat kontrasepsi, dimana ibu yang
mengikuti program Keluarga Berencana (KB) akan lebih jarang melahirkan
dibandingkan dengan ibu yang tidak ber KB, perilaku pemeriksaan antenatal,
dimana ibu yang melakukan pemeriksaan antenatal secara teratur akan terdeteksi
masalah kesehatan dan komplikasinya, penolong persalinan, dimana ibu yang
ditolong oleh dukun berisiko lebih besar untuk mengalami kematian dibandingkan
dengan ibu yang melahirkan dibantu oleh tenaga kesehatan, serta tempat
persalinan, dimana persalinan yang dilakukan di rumah akan menghambat akses
untuk mendapatkan pelayanan rujukan secara cepat apabila sewaktu-waktu
dibutuhkan. (WHO dalam Fibriana, 2007). Menurut Arsmstrong (1998) program KB
memungkinkan wanita untuk merencanakan kehamilan sedemikian rupa sehingga
dapat menghindari kehamilan pada usia tertentu atau jumlah persalinan yang
membawa bahaya tambahan, dan dengan cara menurunkan tingkat kesuburan
secara umum, yaitu dengan mengurangi jumlah kehamilan. Di samping itu, program
KB dapat mengurangi jumlah kehamilan yang tidak diinginkan sehingga mengurangi
praktik pengguguran yang ilegal, berikut kematian yang ditimbulkannya. Fibriana
(2007) mengungkapkan bahwa ibu yang tidak pernah KB memiliki risiko untuk
mengalami kematian maternal 33,1 kali lebih besar bila dibandingkan dengan ibu
yang mengikuti program KB.
Pemeriksaan antenatal adalah pemeriksaan kehamilan yang dilakukan untuk
memeriksa keadaan ibu dan janinnya secara berkala, yang diikuti dengan upaya
koreksi terhadap penyimpangan yang ditemukan. Pemeriksaan antenatal dilakukan
oleh tenaga kesehatan yang terlatih dan terdidik dalam bidang kebidanan, yaitu
bidan, dokter dan perawat yang sudah terlatih. Tujuannya adalah untuk menjaga
agar ibu hamil dapat melalui masa kehamilan, persalinan dan nifas dengan baik dan
selamat. Pemeriksaan antenatal dilakukan minimal 4 kali selama kehamilan, dengan
ketentuan satu kali pada trimester pertama (usia kehamilan sebelum 14 minggu),
satu kali selama trimester kedua (antara 14 sampai dengan 28 minggu), dan dua kali
selama trimester ketiga (antara minggu 28 s/d 36 minggu dan setelah 36 minggu).
Pemeriksaan antenatal dilakukan dengan standar „5 T‟ yang meliputi : timbang berat
badan, ukur tekanan darah, ukur tinggi fundus uteri, pemberian imunisasi tetanus
toksoid, dan 5) pemberian tablet tambah darah 90 tablet selama hamil (Depkes RI
dalam Widaryatmo, 2010).
WHO (1999) menemukan bahwa sebagian besar komplikasi obstetri terjadi
pada saat persalinan berlangsung. Untuk itu diperlukan tenaga profesional yang
dapat secara cepat mengenali adanya komplikasi yang dapat mengancam jiwa ibu
dan sekaligus melakukan penanganan tepat waktu untuk menyelamatkan jiwa ibu.
Angka kematian maternal akan dapat diturunkan secara adekuat apabila 15%
kelahiran ditangani oleh dokter dan 85% ditangani oleh bidan. Rasio ini paling efektif
bila bidan dapat menangani persalinan 29 normal, dan dapat secara efektif merujuk
15% persalinan yang mengalami komplikasi kepada dokter.

3. Determinan jauh
Determinan jauh ini tidak secara langsung mempengaruhi kematian maternal,
akan tetapi faktor sosio kultural, ekonomi, dan faktorfaktor lain juga perlu
dipertimbangkan dan disatukan dalam pelaksanaan intervensi penanganan kematian
maternal.

a. Pendidikan
Termasuk dalam determinan jauh adalah status wanita dalam keluarga dan
masyarakat, yang meliputi tingkat pendidikan, dimana wanita yang berpendidikan
tinggi cenderung lebih memperhatikan kesehatan diri dan keluarganya, sedangkan
wanita dengan tingkat pendidikan yang rendah, menyebabkan kurangnya pengertian
mereka akan bahaya yang dapat menimpa ibu hamil maupun bayinya terutama
dalam hal kegawatdaruratan kehamilan dan persalinan. Ibu ibu terutama di daerah
pedesaan atau daerah terpencil dengan pendidikan rendah, tingkat independensinya
untuk mengambil keputusanpun rendah. Pengambilan keputusan masih
berdasarkan pada budaya „berunding‟ yang berakibat pada keterlambatan merujuk.
Rendahnya pengetahuan ibu dan keluarga tentang tandatanda bahaya pada
kehamilan mendasari pemanfaatan sistem rujukan yang masih kurang. Ditemukan
bahwa faktor yang berpengaruh paling penting dalam perilaku mencari pelayanan
kesehatan antenatal adalah pendidikan. 90% wanita yang berpendidikan minimal
sekolah dasar telah mencari pelayanan kesehatan antenatal. (Saifudin, 2010)
Tingkat pendidikan ibu hamil sangat berperan dalam kualitas perawatan bayinya.
Penguasaan pengetahuan erat kaitannya dengan tingkat pendidikan seseorang
(Jannah, 2012). Penelitian yang dilakukan di RSUD DR. Soesilo Slawi menemukan
bahwa pendidikan ibu < SMP memiliki risiko 3,818 kali mengalami kematian
dibandingkan ibu yang memiliki pendidikan > SMP. (Ien dan Fibriana, 2017).
b. Pendapatan
Kemiskinan dapat menjadi sebab rendahnya peran serta masyarakat pada
upaya kesehatan. Kematian maternal sering terjadi pada kelompok miskin, tidak
berpendidikan, tinggal di tempat terpencil, dan mereka tidak memiliki kemampuan
untuk memperjuangkan kehidupannya sendiri. Wanita-wanita dari keluarga dengan
pendapatan rendah memiliki risiko kurang lebih 300 kali untuk menderita kesakitan
dan kematian maternal bila dibandingkan dengan mereka yang memiliki pendapatan
yang lebih baik.
Tingkat sosial ekonomi terbukti sangat berpengaruh terhadap kondisi
kesehatan fisik dan psikologis ibu hamil. Ibu hamil yang lebih tinggi sosial
ekonominya akan lebih fokus untuk mempersiapkan fisik dan mentalnya sebagai
seorang ibu. ibu hamil yang lebih rendah ekonominya maka ia akan mendapat
banyak kesulitan, terutama masalah pemenuhan kebutuhan primer. (Jannah, 2012).

c. Wilayah
Tempat Tinggal Letak geografis sangat menentukan terhadap pelayanan
kesehatan dalam pelaksanaan antenatal care. Ibu hamil yang tinggal di wilayah
terpencil umumnya desa-desa yang masih terisolisir dan transportasi yang sulit
terjangkau, sehingga untuk menempuh perjalanan ke tempat pelayanan kesehatan
akan memerlukan waktu yang lama, sementara ibu hamil harus memeriksakan
kehamilannya (Meilani,dkk, 2009). Kejadian kematian ibu lebih tinggi pada wanita
yang tinggal di daerah pedesaan dan di antara komunitas yang lebih miskin. (WHO.
2018)

d. Upaya Menurunkan Angka Kematian Ibu


Berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan angka kematian ibu. Pada
tahun 1987 untuk pertama kalinya di tingkat internasional diadakan konferensi
tentang kematian ibu di Nairobi, Kenya. Tahun 1990 diadakan World Summit for
Children di New York, Amerika Serikat yang membuahkan tujuh tujuan utama,
diantaranya menurunkan angka kematian ibu menjadi separuh pada tahun 2000.
Pada konferensi tersebut hadir wakil dari 127 negara. Tahun 1994, diadakan pula
International Conference on Population and Develoment (ICPD) di Kairo, Mesir yang
menyatakan bahwa kebutuhan kesehatan reproduksi pria dan wanita sangat vital
bagi pembangunan sosial dan pengembangan SDM. Tahun 1995 di Beijing, Cina
diadakan Fourth World Conference on Women. Tahun 1997 di Colombo, Sri Lanka
diselenggarakan Safe Motherhood Technical Consultation. (Saifudin, 2009).
Konferensi yang terakhir, yaitu The Millenium Summit in 2000, dimana
semua anggota PBB berkomitmen pada Millenium Development Goals (MDGs)
untuk menurunkan tiga perempat angka kematian pada tahun 2015 dan untuk
membangun upaya yang telah dilakukan dalam MDGs, WHO mencanangkan
agenda baru yakni Sustainable Development Goals (SDGs) berupa pembangunan
berkelanjutan dengan salah satu targetnya menurunkan AKI dibawah 70 per
100.000 kelahiran hidup hingga tahun 2030 (WHO, 2015) Indonesia telah
mencanangkan Making Pregnancy Safer (MPS) sebagai strategi pembangunan
kesehatan masyarakat menuju Indonesia sehat 2010 pada 12 Oktober 2000,
sebagai bagian dari program Safe Motherhood.
Tujuan dari Safe Motherhood dan Making Pregnancy Safer sama yaitu
melindungi hak reproduksi dengan mengurangi beban kesakitan, kecacatan, dan
kematian berhubungan dengan kehamilan dan persalinan yang seharusnya tidak
perlu terjadi. (Martadisoebrata, Sastrawinata dan Saifudin, 2011) Safe Motherhood
merupakan upaya untuk menyelamatkan wanita agar kehamilan dan persalinannya
sehat dan aman, serta melahirkan bayi yang sehat. Tujuan upaya Safe Motherhood
adalah menurunkan angka kesakitan dan kematian ibu hamil, bersalin dan nifas, dan
menurunkan angka kesakitan dan kematian bayi baru lahir. Upaya ini terutama
ditujukan pada negara yang sedang berkembang karena 99% kematian ibu di dunia
terjadi di negara-negara tersebut. (Syafrudin dan Hamidah, 2009).

Intervensi strategis dalam upaya Safe Motherhood dinyatakan sebagai empat


pilar Safe Motherhood, yaitu :
1. Keluarga Berencana, yang memastikan bahwa setiap orang/pasangan memiliki
akses ke informasi dan pelayanan KB agar dapat merencanakan waktu yang
tepat untuk kehamilan, jarak kehamilan dan jumlah anak. Adanya KB diharapkan
tidak ada kehamilan yang tidak diinginkan, yaitu kehamilan yang masuk dalam
kategori “4 terlalu”, yaitu terlalu muda atau terlalu tua untuk kehamilan, terlalu
sering hamil dan terlalu banyak anak
2. Pelayanan antenatal, untuk mencegah adanya komplikasi obstetri bila mungkin,
dan memastikan bahwa komplikasi dideteksi sedini mungkin serta ditangani
secara memadai.
3. Persalinan yang aman, memastikan bahwa semua penolong persalinan memiliki
pengetahuan, ketrampilan dan alat untuk memberikan pertolongan yang aman
dan bersih, serta memberikan pelayanan nifas kepada ibu dan bayi. 4. Pelayanan
obstetri esensial, memastikan bahwa pelayanan obstetri untuk risiko tinggi dan
komplikasi tersedia bagi ibu hamil yang membutuhkannya.

4. Kematian Pada Bayi

Kematian bayi adalah kematian anak kurang dari satu tahun. Kematian bayi
diukur sebagai tingkat kematian bayi, yang merupakan jumlah kematian anak di
bawah satu tahun per 1000 kelahiran.
Tingkat kematian bayi, di bawah usia 1 tahun, pada 2013 Penyebab utama
dari kematian bayi adalah asfiksia kelahiran, pneumonia, komplikasi kelahiran infeksi
neonatal, diare, malaria, campak dan malagizi.[1] Beberapa faktor berkontribusi
pada kematian bayi seperti tingkat pendidikan ibu, kondisi lingkungan, dan
infrastruktur politik dan pengobatan. Menyediakan sanitasi, akses air minum bersih,
imunisasi melawan penyakit infeksi, dan langkah-langkah kesehatan publik lainnya
dapat membantu mengurangi tingkat kematian bayi.

Angka Kematian Ibu dan Bayi Pada Tahun 2018

1. Angka Kematian Ibu


Setiap hari, 830 ibu di dunia (di Indonesia 38 ibu, berdasarkan AKI 305)
meninggal akibat penyakit/komplikasi terkait kehamilan dan persalinan.
2. Angka Kematian Bayi
Sebanyak 7000 Bayi baru lahir di dunia meninggal setiap harinya (Indonesia:
185/hari, dg AKN 15/1000 Kel Hidup)
• Tiga-perempat kematian neonatal terjadi pd minggu pertama, dan 40% meninggal
dlm 24 jam pertama
• Kematian neonatal berkaitan erat dg kualitas pelayanan persalinan, dan
penanganan BBL yg kurang optimal segera setelah lahir dan bbrp hari pertama
setelah lahir
• Penyebab utama kematian (thn 2016) adalah: prematur, komplikasi terkait
persalinan (asfixia atau kesulitan bernafas saat lahir), infeksi dan cacat lahir (birth
defect)
BAB III
PENUTUP

1. Kesimpulan

Kegiatan pokok pelayanan KIA Peningkatan pelayanan antenatal di semua


fasilitas pelayanan dengan mutu yang baik serta jangkauan yang setinggi-tingginya
Pelayanan antenatal mencakup anamnesis. Pemeriksaan fisik (umum dan
kebidanan), pemeriksaan laboratorium atas indikasi serta intervensi dasar dan
khusus (sesuai resiko yang ada).
Mortalitas adalah ukuran kematian rata-rata dari penduduk dalam suatu daerah
atau wilayah tertentu. Secara sederhana, mortalitas merupakan jumlah kematian
akibat penyakit tertentu maupun kematian alami.
Kematian ibu dibagi menjadi kematian langsung dan tidak langsung. Kematian
ibu langsung adalah sebagai akibat komplikasi kehamilan, persalinan, atau masa
nifas, dan segala intervensi atau penanganan tidak tepat dari komplikasi tersebut.
Kematian ibu tidak langsung merupakan akibat dari penyakit yang sudah ada atau
penyakit yang timbul sewaktu kehamilan yang berpengaruh terhadap kehamilan,
misalnya malaria, anemia, HIV/AIDS, dan penyakit kardiovaskular (Saifudin, 2010).
Penyebab kematian langsung ibu di Indonesia didominasi oleh perdarahan pasca
persalinan, hipertensi/eklamsia, dan infeksi.
Kematian bayi adalah kematian anak kurang dari satu tahun. Kematian bayi
diukur sebagai tingkat kematian bayi, yang merupakan jumlah kematian anak di
bawah satu tahun per 1000 kelahiran.Tingkat kematian bayi, di bawah usia 1 tahun,
pada 2013 Penyebab utama dari kematian bayi adalah asfiksia kelahiran,
pneumonia, komplikasi kelahiran infeksi neonatal, diare, malaria, campak dan
malagizi. Beberapa faktor berkontribusi pada kematian bayi seperti tingkat
pendidikan ibu, kondisi lingkungan, dan infrastruktur politik dan pengobatan.
Menyediakan sanitasi, akses air minum bersih, imunisasi melawan penyakit infeksi,
dan langkah-langkah kesehatan publik lainnya dapat membantu mengurangi tingkat
kematian bayi.

DAFTAR PUSTAKA

https://id.m.wekepedia.com.program-pwskia

https://id.m.wekepedia.com-mortalitas-dan-mordibitas

https://www.who.int/news-room/fact

https://www.who.int/en/news-room/fact-sheets/detail/newborns-reducing-mortality
Nama-nama mahasiswa yang bertanya

1. Wa SITIANA "Bagaimana pandangan masyarakat dengan program PWSKIA?"

2. Sartitin "Bagaimana peran anda sebagai Bidan untuk mengurangi angka

Kematian ibu dan bayi?"

3. Lisnawati Mira "Bagaimana cara kita sebagai Bidan untuk mengurangi angka

kematian langsung dan tidak langsung akibat komplikasi kehamilan persalinan?"

Anda mungkin juga menyukai