Anda di halaman 1dari 22

ASESMEN & INTERVENSI SOSIAL

IMPLEMENTASI DAN SUSTAINABILITY

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Asesmen dan Intervensi Sosial

Disusun Oleh :
Kelompok 3

1. Erna Nur hidayah 15000119120010


2. Mutiara Rifani 15000119140158
3. Gita Tahmila Rizka 15000119120070
4. Yasmin Zahra T 15000119120062
5. Muhammad Sheva 15000119140138
6. Hafidz Al Ghifari 15000119120054
7. Aisyah Zahra Madani 15000119130178
8. M.Aidil Fatra 15000119120047
9. Ledia Hanifa 15000119130293

Dosen Pengampu :

Dra. Endang Sri Indrawati, S.Psi., M.Si.

Agustin Erna Fatmasari, S.Psi., M.A.

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penyusun ucapkan atas kehadirat Allah SWT yang hingga saat
ini masih memberikan penyusun nikmat iman dan kesehatan, sehingga penyusun diberi
kesempatan yang luar biasa ini yaitu kesempatan untuk menyelesaikan tugas penulisan
makalah mengenai asesmen dan intervensi sosial implementasi dan sustainability.

Adapun penulisan makalah ini merupakan bentuk dari pemenuhan tugas mata kuliah
Asesmen dan Intervensi Sosial. Pada makalah ini akan dibahas mengenai identify adopters
dan users, specify implementation & sustainability’s performance objectives, specify
determinants & create matrices, select methods & strategies, dan select methods & strategies

Penyusun mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada setiap pihak


yang telah mendukung serta membantu penyusun selama proses penyelesaian makalah ini
hingga telah terselesaikannya makalah ini. Penyusun juga berharap semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat bagi setiap pembaca. Tak lupa dengan seluruh kerendahan hati,
penyusun meminta kesediaan pembaca untuk memberikan kritik serta saran yang
membangun mengenai penulisan makalah ini, untuk kemudian penyusun akan merevisi
kembali pembuatan makalah ini di kesempatan berikutnya.

1
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………..…………...1
DAFTAR ISI…………………………………………………………………….…………..2
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………...3
A. Latar Belakang……………………………………………………………………... ..3
B. Rumusan Masalah…………………………………………………………………....4
C. Tujuan…………………………………………………………………………….......4
BAB II PEMBAHASAN…………………………………………………………………....5
A. Identify Adopters & Users…………………………………………………………. ..5
B. Specify Implementation & Sustainability’s Performance Objectives…………….... ..8
C. Specify Determinants & Create Matrices…………………………………………...10
D. Select Methods & Strategies………………………………………………………...15
E. Design Program to Affect Implementation & Sustainability…………………...…...17

BAB III PENUTUP………………………………………………………………………...19

A. Kesimpulan…………………………………………………………………………..19
B. Saran…………………………………………………………………………………19

DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………………….....20

LEMBAR KONTRIBUSI………………………………………………………………….21

2
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Kehidupan masyarakat sejatinya selalu mengalami perubahan seiring


berkembangnya zaman. Dalam proses perubahan tersebut, terkadang muncul kondisi
yang tidak diharapkan atau tidak seharusnya terjadi. Kondisi yang tidak diharapkan
tersebut lama kelamaan menjadi polemik dan membawa dampak buruk bagi kehidupan
masyarakat. Ketika proses sosial dan gejala sosial memberikan dampak negatif bagi
kehidupan masyarakat, maka proses sosial dan gejala sosial tersebut dapat berubah
menjadi masalah sosial. Ketika permasalahan dalam masyarakat muncul dan tidak
segera muncul penyelesaian, maka permasalahan tersebut secara perlahan akan menjadi
penyakit di masyarakat. Dalam psikologi terdapat cabang yang disebut psikologi sosial,
dimana dalam bahasannya bertujuan mendeskripsikan, menjelaskan, mengendalikan,
dan merekayasa perilaku dan proses kejiwaan individu yang dipengaruhi kehadiran
orang lain serta memahami psikologi kelompok mengenai fenomena yang dalamnya
mencakup gejala-gejala perilaku dan kejiwaan sosial manusia.

Dalam upaya memahami dan dan mendeskripsikan permasalahan, para psikolog


sosial membutuhkan sebuah metode. Metode yang digunakan diantaranya adalah
metode asesmen dan intervensi. Asesmen menurut Lerner dalam Riana Bagaskorowati
(2010:67-68) adalah suatu proses pengumpulan informasi selengkap-lengkapnya
mengenai individu yang akan digunakan untuk membuat pertimbangan dan keputusan
yang berhubungan dengan individu tersebut. Asesmen digunakan untuk penyaringan
dan diagnosis, evaluasi atas intervensi, dan riset atau penelitian. Hal itu dikarenakan
metode asesmen dilakukan dengan mengumpulkan atau mendapatkan informasi yang
akurat dan lengkap, sehingga dari informasi yang diperoleh dapat dibuat kesimpulan
yang benar dalam menegakkan diagnosis. Sedangkan Intervensi psikologi merupakan
sebuah metode yang dapat mengubah tingkah laku, pikiran, dan perasaan seseorang.
Intervensi dalam setting sosial mengupayakan sebuah perubahan secara terencana pada
individu, kelompok, maupun komunitas yang dapat diukur dan dievaluasi
keberhasilannya. Perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki keberfungsian
sosial dimana setiap individu, keluarga atau kelompok dapat berperan sebagaimana
mestinya dalam masyarakat atau lingkungan sosialnya.

3
Maka dari itu, bahasan mengenai asesmen dan intervensi tidak dapat dipisahkan.
Intervensi dapat dilakukan setelah adanya asesmen atau tahap pengumpulan informasi.
Pelaksanaan intervensi setting sosial memiliki enam tahapan yang perlu diperhatikan.
Salah satu diantaranya adalah tahapan implementasi dan sustainability yang akan
menjadi bahasan makalah ini. Implementasi dalam KBBI diartikan sebagai pelaksanaan
atau penerapan. Yang dimaksud disini, implementasi dapat diartikan sebagai tahap
pelaksanaan program intervensi guna membantu individu dan/ komunitas dalam
mencapai tujuan yang telah ditentukan. Sedangkan sustainability merupakan tahap
pemeliharaan dan pelembagaan program intervensi atau hasilnya.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan pengadopsi dan pengguna program intervensi?
2. Apa saja tujuan kinerja dari implementasi dan keberlanjutan program intervensi?
3. Apa saja determinan dan kreasi matriks program intervensi ?
4. Apa saja metode dan strategi dalam program intervensi ?
5. Bagaimana cara merancang program untuk mempengaruhi implementasi dan
keberlanjutan program intervensi ?
C. TUJUAN
1. Untuk mengidentifikasi pengadopsi dan pengguna program intervensi
2. Untuk menentukan tujuan kinerja implementasi dan keberlanjutan program
intervensi
3. Untuk menentukan determinan dan membuat matriks dalam program intervensi
4. Untuk memilih metode dan strategi dalam program intervensi
5. Untuk merancang program guna mempengaruhi implementasi dan keberlanjutan
program intervensi

4
BAB II
PEMBAHASAN

A. Identify Adopters & Users

Tahap kelima dari pemetaan program intervensi adalah implementasi. Implementasi


dalam KBBI merujuk pada pengertian dari pelaksanaan atau penerapan. Dalam hal ini,
implementasi dapat diartikan sebagai tahap pelaksanaan program intervensi guna membantu
individu dan/ komunitas dalam mencapai tujuan yang telah ditentukan. Selain itu, tahap
kelima ini bertujuan untuk memastikan program yang telah disusun dapat digunakan serta
dipertahankan dalam jangka waktu yang diperlukan. Mengidentifikasi pengguna suatu
program intervensi sangat penting dilakukan. Dalam penyusunan program (tahap 3: desain
program), memperoleh dan mengetahui informasi sebanyak mungkin mengenai calon
pengguna program intervensi dapat berguna dalam memastikan kesesuaiannya.

Adopters merupakan kata yang berasal dari adopt, adopt sendiri merupakan kata
dalam bahasa inggris yang memiliki arti; mengadopsi, menyetujui, mengambil, memungut,
mengangkat (Dictionary Cambridge). Sedangkan dari KBBI sendiri, adopters merupakan
kata yang diadaptasi kata nomina (kata benda) yakni pengadopsi.

Menurut Rogers (1996) Adopter merupakan individu atau sekelompok individu yang
menerima ide-ide baru. Adopsi jika didefinisikan akan berbeda maknanya berdasarkan
konteksnya dalam adopsi inovasi oleh Rogers melalui bukunya yang berjudul “Diffusion Of
Innovation” bahwa adopsi inovasi diartikan sebagai penggunaan suatu ide baru. Dari konsep
adopsi inovasi, adopsi secara terpisah bermakna kegiatan menggunakan sesuatu, dan inovasi
adalah suatu ide yang dianggap baru. “Adoption in organizational context has traditionally
referred to a level of awareness and commitment by an individual organization towards a
specific technology or idea (Rogers, 1995)”. Sedangkan adopsi menurut Nagy (2010) dalam
konteks penggunaan teknologi baru pada organisasi adalah organisasi melakukan pembelian
dan mengimplementasikan teknologi baru. Kim dan Crowston (2011) mendefinisikan adopsi
“as a user’s initial acceptance of an object”. Dengan demikian berdasarkan beberapa definisi
diatas dan jika disesuaikan dengan konteks materi disini, dapat disimpulkan bahwa adopters
adalah pelaku atau seseorang maupun sekumpulan individu yang menerapkan sebuah
ide/gagasan baru dalam sebuah program yang ingin dilakukan.

5
Berbicara mengenai adopters (adopter), tentunya tidak jauh dari sebuah inovasi
terhadap sesuatu hal. Konsep adopsi juga berbeda dengan menyontek ataupun menjiplak
punya orang lain, namun disini lebih ditekankan bahwa konsep adopsi ialah memparafrase/
mengadaptasi suatu program yang sekiranya sesuai jika diterapkan pada kondisi tertentu.
Menurut RM Goodman, Parcel, dkk (dalam Bartholomew,L.K, dkk, 2006) Penggunaan
program oleh adopter memiliki tiga tahap, yakni:

1. Adopsi, keputusan untuk menggunakan suatu program, yang tergantung pada


pengetahuan tentang suatu inovasi, kesadaran akan kebutuhan yang tidak terpenuhi,
dan keputusan bahwa suatu inovasi tertentu dapat memenuhi kebutuhan yang
dirasakan dan akan diberikan percobaan (adopsi dapat bergantung pada diseminasi
aktif dari a program),
2. Implementasi, penggunaan program hingga titik uji coba yang adil,
3. Keberlanjutan, pemeliharaan dan pelembagaan program atau hasilnya.

Manusia sebagai makhluk/ individu yang memiliki daya pikir dan emosi, hidup dalam
sistem sosial dan lingkungan yang selalu berubah serta senantiasa berupaya untuk
meningkatkan kualitas kehidupannya. Setiap generasi akan ada individu-individu yang
membawa perubahan pada masyarakat baik itu lingkup kecil, menengah, ataupun skala besar,
dan akan ada perubahan di masyarakat baik itu riil dari pemikiran sendiri ataupun hanya
adopsi dari program-program yang telah ada sebelumnya. Adopter layaknya seorang agen
perubahan bagi masyarakat awam yang masih berpikiran sempit dan belum memikirkan
kemajuan. Setiap program yang ditawarkan oleh adopter pun belum tentu akan diterima baik
oleh masyarakat. Tentu saja penerimaan atas ide-ide perubahan tidak semudah itu. Ada
masyarakat yang menentang karena menganggap hal tersebut melanggar etika, norma, dan
ketentuan agama, ada pula masyarakat yang tidak peduli mengenai hal itu.

Beranjak dari uraian diatas, dalam mengidentifikasi user dan adopter perencana dapat
mengacu pada beberapa pertanyaan seperti; siapa yang akan melaksanakan program, siapa
yang akan memutuskan untuk menggunakan program ini, siapa yang perlu dikonsultasikan
oleh pengambil keputusan, siapa yang akan menjamin bahwa program ini terus berlanjut
selama dibutuhkan, serta apakah ada perbedaan orang dalam mengimplementasikan suatu
program dengan komponen yang berbeda. Proses pengadopsian suatu program oleh adopter
pada mulanya dilakukan pemetaan intervensi, dalam pengguna (user’s) ada perencana dan
calon pengguna.

6
Sederhananya seperti ini, dalam buku Planning Health Promotion Programs, Am
Intervention Mapping Approach (Bartholomew,L.K, dkk, 2006) para adopter melakukan
adopsi program pencegahan AIDS Belanda untuk sekolah kejuruan, dijelaskan bahwa untuk
mengantisipasi masalah dengan adopsi dan implementasi program di masa depan,
pengembang program membentuk papan penghubung untuk menjembatani kesenjangan
antara tim penelitian dan pengembangan sistem sekolah. Dewan ini terdiri dari perwakilan
dari tim penelitian dan pengembangan, layanan konsultasi sekolah, organisasi yang
memberikan pendidikan seks dan AIDS ke sekolah menengah, dan asosiasi guru biologi.
Peran dewan adalah untuk memberikan umpan balik tentang kinerja program dan mengubah
tujuan dan memberikan saran tentang masalah implementasi. Dewan penghubung
memberikan pertimbangan yang cermat terhadap konteks sekolah menengah untuk program
tersebut dan kepada para guru yang akan menggunakannya. Berdasarkan penjelasan singkat
tersebut dapat kita simpulkan bahwa dalam pengadopsian program tersebut terdapat beberapa
user’s yakni pengembang program (adopters), tim penelitian dan pengembangan sistem
sekolah seperti layanan konsultasi sekolah, organisasi yang memberikan pendidikan seks &
AIDS, serta asosiasi guru biologi yang turut andil sebagai calon pengguna program tersebut.

Contoh lain dari sebuah program adopsi adalah Program Mitra di Sekolah Asma
adalah proyek penelitian dan demonstrasi untuk mengembangkan dan mengevaluasi program
berbasis sekolah multikomponen untuk meningkatkan pengelolaan asma anak (Bartholomew,
Czyzewski, Swank, McCormick, & Parcel, 2000; Bartholomew, Gold, dkk., 2000). Untuk
membantu mengembangkan intervensi dan mencapai adopsi dan implementasi program,
promotor kesehatan menciptakan sistem keterkaitan dengan dua komponen. Yang pertama
adalah komite penasihat yang terdiri dari direktur layanan kesehatan sekolah, perawat
sekolah, kepala sekolah dasar, direktur manajemen risiko, direktur pemeliharaan dan layanan
gedung, dan orang tua dari anak penderita asma. Peran utama kelompok ini adalah untuk
terlibat dalam perencanaan untuk mengembangkan dan melaksanakan intervensi untuk
memastikan adopsi dan implementasi program. Komponen kedua adalah sekelompok kecil
sekolah percontohan terpilih untuk dijadikan sebagai sumber informasi tentang kebutuhan,
harapan, dan keterbatasan pengguna program dan untuk menguji komponen intervensi. Peran
utama kelompok ini adalah untuk memastikan bahwa program promosi kesehatan sesuai
dengan pengguna program dan sesuai dengan struktur dan konteks sekolah. Kedua kelompok

7
formal ini berfungsi sebagai mitra dalam proses perencanaan program. Berdasarkan uraian
program diatas dapat kita simpulkan kembali, kira-kira siapa adopters dan user’s dalam
program tersebut. Diketahui bahwa pihak pertama yakni komite penasihat (direktur layanan
kesehatan sekolah, perawat sekolah, kepala sekolah dasar, direktur manajemen risiko,
direktur pemeliharaan dan layanan gedung, dan orang tua dari anak penderita asma), dan
pihak kedua sekelompok kecil sekolah.

B. Specify Implementation & Sustainability’s Performance Objectives


1. Implementasi

Penerapan suatu program tidak menjamin pada pelaksanaan program tersebut. Guna
program dilaksanakan dengan baik, maka dalam Baranowski & Stables (2000), bahwa para
pengembang program dan evaluator memperhatikan tiga dimensi dalam implementasi, yaitu
kesetiaan (fidelity) , kelengkapan (completeness) , dan dosis (dose). Kesetiaan (fidelity)
merupakan sejauh mana program dapat diimplementasikan berdasarkan metode dan
strateginya secara utuh. Kelengkapan (completeness) menunjukan proporsi kegiatan program
dengan komponen yang dilaksanakan. Dosis (dose) merupakan jumlah unit atau program
yang diterima peserta. Sebagai contoh dalam buku Planning Health Promotion Programs,
Am Intervention Mapping Approach adalah pada Program Edukasi Keluarga mengenai
Fibrosis Kristik, dimana pada program itu telah diajarkan semua modul program
(kelengkapannya baik) tetapi terabaikan dalam penetapan tujuan dengan keluarga (kesetiaan
tidak ada). Berdasarkan hal tersebut, proses penting dalam mengembangkan tujuan kinerja
dalam implementasi adalah dengan menjawab beberapa pertanyaan berikut, yaitu "Apa
sebenarnya program tersebut?" dan "Apa yang merupakan tingkat kesetiaan dan tingkat
kelengkapan yang konsisten sehingga program dapat efektif?".

Pengembang program harus mengetahui program tersebut dengan sangat baik.


Karakteristik dalam implementasi program adalah adaptasi timbal balik. Inovasi dan
organisasi harus beradaptasi sesuai dengan tujuan, proses, dan struktur dari program. Sebagai
contoh pengimplementasian pada program kurikulum smart choice yang dilakukan oleh guru
dan kepala sekolah, mereka mengembangkan beberapa rangkaian tujuan, yaitu:

● Guru akan berpartisipasi dalam pelatihan untuk mempersiapkan kurikulum smart


choice

8
● Guru akan menjadwalkan dan memasukan kurikulum smart choice kedalam rencana
pembelajaran untuk tiap semester
● Guru akan menggunakan metode pengajaran sesuai dengan rencana pembelajaran
dalam kurikulum smart choice

2. Sustainability (Keberlanjutan)

Pada tahap terakhir penggunaan program terdapat sustainability atau keberlanjutan


yang digambarkan dengan pelembagaan. Pelembagaan berarti memasukkan program ke
dalam rutinitas suatu organisasi dengan harapan program tersebut dapat bertahan meskipun
pendanaan program, pengadopsi, atau pendukung tidak ada lagi. Putra, dkk (2018)
menyatakan bahwa setidaknya ada 7 faktor sebab berhentinya pemberdayaan masyarakat
yang dilakukan oleh mahasiswa PKM diantaranya perencanaan, masa studi mahasiswa, sikap
masyarakat sasaran, sikap pelaksana program, kaderisasi dan seleksi, dana eksternal, peluang
dengan dosen.

EM Rogers (1983) menjelaskan pelembagaan sebagai rutinitas adalah suatu kemajuan


inovasi yang membuat tidak adanya perbedaan antara individu dengan host praktik
organisasi. Sedangkan RM Goodman dan Steckler (1989) menjelaskan bahwa intervensi
pendidikan dan promosi kesehatan dapat menjadi inovasi yang rapuh dan bisa dibuang
kecuali jika promotor kesehatan merencanakan dan memelihara pelembagaan.

Pada dasarnya keberlanjutan adalah mempertahankan program. Namun, sebelum


mengambil langkah untuk mempertahankan program, perencana akan memutuskan tujuan
terlebih dahulu yang terdiri dari pelembagaan, kelanjutan dampak kesehatan, pembangunan
kapasitas, atau bisa saja kombinasi dari berbagai tujuan.

Sebagai contoh misalnya dalam pelembagaan. Pertanyaan : “apa yang perlu dilakukan
pengambil keputusan organisasi dalam memasukkan program ke dalam rutinitas organisasi
untuk jangka panjang?”. Berikut adalah beberapa tujuan kinerja pelembagaan untuk Smart
Choices dalam distrik sekolah:

1. Koordinator distrik memasukkan guru kesehatan baru untuk mengimplementasikan


program Smart Choices ke dalam rencana tahunan mereka.
2. Manajer gudang buku dan kurikulum akan memesan dan memelihara inventaris
kurikulum

9
3. Kepala sekolah akan mengimplementasikan Smart Choice ke dalam deskripsi dan
evaluasi tugas guru.
4. Seluruh kepala sekolah menengah akan memasukkan program Smart Choice ke
dalam item baris anggaran.
5. Komite kurikulum distrik sekolah akan menuliskan Smart Choice ke dalam
panduan kurikulum untuk sekolah sains menengan.
6. Komite kebijakan akan melaporkan hasil program ke asosiasi orangtua-guru setiap
tahun.

Tujuan dapat dituliskan apabila beberapa organisasi di masyarakat tertarik untuk


melanjutkan program setelah masa awal pendanaan. Tujuan dituliskan untuk memasukkan
pembuat keputusan organisasi yang akan dilakukan untuk melanjutkan program tersebut di
organisasi mereka. Fokus program dapat bergeser apabila pendekatan ini memiliki hambatan
dalam pendanaan berkelanjutan dan pengembangan program, yaitu menjadi ke arah
pengembangan antara kapasitas pendidik kesehatan oleh organisasi lokal dengan
kepemimpinan yang telah disediakan oleh departemen kesehatan lokal (Jackson dkk, 1994).

C. Specify Determinants & Create Matrices


1. Penentu Penggunaan Program
Sama seperti tujuan kinerja dari perilaku yang berhubungan dengan kesehatan
dan kondisi lingkungan, tujuan kinerja dari penggunaan program akan memiliki
beberapa kumpulan determinan, dimana kumpulan determinan tersebut merupakan
faktor yang kemungkinan akan memengaruhi kinerja mereka. Determinan tersebut
mungkin saja bersifat personal (terletak pada individu yang bertanggung jawab pada
adopsi dan implementasi) ataupun eksternal (faktor sosial atau struktural yang
mungkin berfungsi sebagai penghalang atau fasilitator).
Proses memilih determinan dimulai dengan mendiskusikan daftar faktor-faktor
yang berfungsi sebagai penghalang untuk mencapai tujuan kinerja untuk adopsi,
implementasi, dan keberlanjutan (Elliot et al., 2004). Untuk menambahkan ke daftar
ini, tim tersebut harus melakukan peninjauan literatur dan mencari informasi dari
calon pengguna program. Selanjutnya, tim dapat mereview literatur tentang teori yang
sudah digunakan sebelumnya untuk menjelaskan tentang adopsi, implementasi, serta
kelanjutan dari inovasi dan literatur dari teori umum yang mencakup beberapa
determinan yang teridentifikasi. Teori yang direview tidak terbatas dengan satu teori
saja, sebagai contoh Teori Kognitif Sosial digunakan oleh tim perencana untuk

10
menghipotesa determinan dari adopsi dan implementasi seperti harapan akan hasil,
reinforcement untuk adopsi, serta kemampuan perilaku dan self-efficacy untuk
implementasi (Parcel, Eriksen, et al., 1989; Parcel, Taylor, et al., 1989).
Interaksi sosial yang dilakukan di antara para pemangku kepentingan yang
berusaha untuk memaksimalkan tujuan dan kepentingan mereka sendiri selama adopsi
dan implementasi berlangsung cukup kompleks. Pengambil keputusan dalam
organisasi bisa saja mengadopsi program untuk mencapai tujuan organisasi ataupun
mengurangi tekanan dari kelompok-kelompok yang berkepentingan. Perencana
mungkin saja ingin menjalankan program seperti yang mereka inginkan daripada apa
yang sudah direncanakan oleh developer. Keputusan yang dibuat untuk
mempertahankan program dapat bersaing dengan kegiatan organisasi lainnya.
Program tersebut mungkin saja menjadi sumber pengembangan karir bagi beberapa
orang, tetapi mungkin ada juga beberapa orang yang menganggap bahwa program
tersebut merupakan beban kerja yang mereka tidak inginkan. Bagaimanapun pastinya
akan ada beberapa pendapat atau pandangan yang bersaing mengenai apakah program
tersebut sebaiknya diadopsi, bagaimana cara melaksanakan programnya, dan apakah
program tersebut perlu untuk dipertahankan.
Saat perhatiannya bergeser dari adopsi menuju implementasi suatu program,
determinan akan lebih menekankan kepada behavioral capability, skills, self-efficacy,
dan reinforcement. Tantangan dalam merencanakan intervensi untuk mempromosikan
implementasi adalah memperkirakan secara tepat tingkat keterampilan dan
self-efficacy terkait yang diperlukan untuk mengimplementasikan program tersebut.
Sebagai contoh, terdapat program yang yang membutuhkan berbagai jenis
keterampilan untuk menjadikan program yang kompleks ini menjadi sebuah program
pelatihan. Koordinator program yang harus mengarahkan penggunaannya
menganggap bahwa keterampilan merupakan determinan yang penting untuk
mengimplementasikan, dan penyebaran intervensi lebih menekankan kepada
pembangunan keterampilan.
Determinan lainnya yang bisa dikatakan cukup penting dalam implementasi
suatu program adalah reinforcement (penguatan). Biasanya, sebuah inovasi akan
menguatkan secara intrinsik dikarenakan implementer akan dapat melihat efek dari
inovasi tersebut. Dalam sebuah program yang bernama CATCH (sebuah program
yang berfokus kepada kesehatan anak), petugas yang bekerja di bagian food service
sangat senang ketika melihat anak-anak lebih memilih makanan yang rendah lemak,

11
rasa senangnya tersebut mendorong sang petugas makanan untuk semakin semangat
untuk menciptakan lingkungan yang sehat bagi anak-anak. Meski begitu, pada awal
implementasi, penguatan yang positif dapat tertunda dan berubah menjadi sebuah
hukuman (jika implementer atau pelaksana melihat perubahan yang terjadi sebagai
sebuah gangguan). Oleh karena itu, penguatan ekstrinsik mungkin perlu juga untuk
dibangun ke dalam intervensi implementasi. Penguatan ekstrinsik terkadang bisa
dengan mudah menyoroti hasil program yang mungkin sulit untuk dilihat oleh
implementer atau pelaksana.
Karena adopsi dan implementasi program sering melibatkan organisasi dan
kelompok komunitas dalam membuat keputusan dan mengubah pelaksanaan untuk
memanfaatkan suatu inovasi, penerapan dari perubahan organisasi dan model
pengembangan masyarakat sangat penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor
penentu eksternal adopsi dan implementasi program (J. A. Hogan et al., 2003).
Diskusi dan tinjauan literatur memberikan informasi, namun tetap menghipotesiskan
hubungan determinan dengan tujuan adopsi dan implementasi. Jika ada daftar
determinan yang panjang di tahap ini, perencana mungkin perlu menguji hubungan
determinan yang dihipotesiskan untuk memilih determinan yang paling penting dalam
pengarahan pengembangan intervensi. Jika daftar determinannya sedikit, perencana
mungkin perlu mengumpulkan data dari calon pengguna program untuk
mengidentifikasi determinan tambahan. Di kedua kasus ini, perencana bisa
menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif.
Metode kualitatif seperti focus group atau wawancara, dapat membantu
menghasilkan ide determinan baru atau dalam memverifikasi beberapa penemuan dari
pencarian literatur. Sementara pengumpulan data secara kuantitatif menggunakan
kuesioner yang mengukur determinan dan minat atau intensi untuk mengadopsi dan
mengimplementasikan suatu program dapat sangat membantu dalam menilai kekuatan
dari asosiasi antara determinan dan adopsi potensial serta implementasi. Dengan
kedua tipe pengumpulan data, perencana dapat memperoleh beberapa perkiraan ada
atau tidaknya determinan pada sistem pengguna.
Tim penyelenggara harus menyaring daftar determinan. Untuk menilai daftar
determinan, perencana harus memulai dengan mengurutkan seberapa pentingnya
setiap determinan (list prioritas) (yaitu, kekuatan asosiasi dengan adopsi dan
implementasi program) dan kemampuannya untuk berubah (yaitu, seberapa besar
kemungkinan intervensi difusi memengaruhi perubahan determinan). Perencana harus

12
memprioritaskan pada determinan-determinan tersebut yang memiliki kepentingan
dan kemampuan untuk berubah yang tinggi. determinan biasanya menjadi suatu faktor
yang kritis dalam adopsi dan implementasi program. Sebagai contoh, biaya untuk
adopsi suatu program mungkin dapat termasuk determinan kuat, namun mungkin ada
hal kecil yang perencana bisa lakukan untuk mengurangi biaya tersebut. Karena biaya
bisa menjadi penghalang yang besar untuk proses adopsi, maka hal ini perlu
diarahkan kepada intervensi sehingga perencana dapat menemukan cara untuk
menyeimbangi (menemukan sumber dana tambahan) atau mendemonstrasikan bahwa
biaya yang dikeluarkan akan sesuai dengan manfaat yang akan di dapat dalam
program.
2. Matriks dan Rencana Promosi Kegunaan Program
Bagian ini menghubungkan antara tujuan kinerja dan determinan untuk adopsi,
implementasi dan keberlanjutan untuk menciptakan tujuan perubahan. Tahapan ini
fokus pada hasil untuk adopsi, implementasi, dan keberlanjutan suatu program.
Matriks dikembangkan untuk merencanakan suatu intervensi, dengan memasukkan
tujuan kinerja di sebelah kiri matriks dan determinan di bagian atas matriks.
Kemudian perencana program menilai setiap sel untuk memutuskan apakah
determinan itu mungkin penting untuk pencapaian tujuan kerja. Selanjutnya,
perencana menulis perubahan tujuan untuk sel yang sesuai. Proses menulis perubahan
tujuan sama dengan matriks adopsi dan implementasi. Berikut contoh gambar matriks
dalam proses perencanaan dan penyusunan suatu program tentang kesehatan baik
dalam proses adopsi, implementasi, dan keberlanjutan.

13
14
Agar program bisa memiliki dampak yang bermakna, fase selanjutnya dalam
pengembangan intervensi adalah untuk mengarahkan adopsi, implementasi, dan
pelembagaan program ke tempat yang menjadi sumber subjek (dalam buku Planning
Health Promotion Programs disebutkan the cystic fibrosis centers). Untuk
menyempurnakan hasil dari adopsi, implementasi, dan pelembagaan program, tim
perencana mendesain suatu penyebaran intervensi untuk diarahkan ke determinan
personal dan eksternal.

D. Select Methods & Strategies


Organisasi menggunakan program yang kompleks serta membutuhkan pertimbangan
dari banyak faktor (Beyer & Trice, 1978; R. M. Goodman dkk., 1997; Riley, Taylor, &
Elliott, 2003). Tujuan, struktur wewenang, peran, serta peraturan, baik itu nilai dan
norma yang tertanam di organisasi atau peraturan resmi organisasi yang terikat hukum
perlu diperhatikan dalam perencanaan suatu program (E. M. Rogers, 1983).
Pengadopsian suatu inovasi dalam perusahaan dapat diputuskan oleh individu tanpa
bergantung dengan orang lain, dilakukan secara kolektif yang disetujui bersama oleh
anggota organisasi atau subsistem di dalamnya, atau oleh seseorang atau beberapa orang
yang mempunyai wewenang di dalam organisasi. Intervensi yang dilakukan untuk
memengaruhi keputusan adopsi harus jelas diarahkan pada bagaimana keputusan tersebut
diambil. Keberhasilan implementasi bergantung pada tingkat perasaan saat mengerjakan
tugas serta bantuan yang diberikan. Keputusan adopsi yang diambil dapat dipengaruhi
oleh faktor-faktor tersebut.
Terpilihnya suatu program adopsi baru dalam organisasi dipengaruhi dengan adanya
ahli program (Riley, 2003). Ahli program sering kali merupakan individu yang cerdas

15
dan analitis, serta mempunyai koneksi yang strategis dalam organisasi. Ahli program
rata-rata mempunyai kemampuan intuitif dalam menemukan pengadopsi program dan
calon pesertanya. Mereka mempunyai kemampuan negosiasi dan interpersonal yang
bermanfaat dalam penyelesaian masalah terkait adaptasi dan implementasi suatu
program, mereka menjadi kekuatan dalam menyediakan atau menyiapkan adopsi
program serta mencegah pemutusan program. Ahli program lebih berani dalam
mengambil risiko, lebih kreatif, dan lebih sering melakukan upaya dalam memengaruhi
orang lain. Seorang ahli program wajib kredibel bagi para rekan-rekannya, ketika sebuah
inovasi terkesan mahal atau mengarah ke sesuatu yang baru bagi organisasinya serta
harus memegang peran yang penting dalam organisasi.
Penyusunan suatu rancangan program diawali dengan membuat daftar tujuan yang
menentukan adanya perubahan kinerja serta mengumpulkan gagasan terkait metode yang
dianggap dapat membawa perubahan. Perencana program kemudian melakukan tinjauan
pada riset yang relevan serta mempraktikkan literatur tersebut untuk memverifikasi,
menolak, atau mengubah daftar metode sementara yang ada. Bagi perencana program,
pendekatan yang terbaik adalah dengan mulai mencari literatur terkait program yang
mempromosikan kesehatan secara luas. Kemudian perencana meninjau literatur-literatur
yang berkaitan dengan inovasi lain yang mungkin mempunyai beberapa elemen yang
sama atau cocok dengan adopsi dan implementasi dari program tersebut. Perencana
program juga perlu mengeksplorasi literatur-literatur tentang teori perubahan dan
hubungannya dengan konstruk teori yang spesifik pada daftar akhir faktor penentu.
Contohnya, efikasi diri yang dapat dianggap sebagai faktor penentu yang penting dalam
implementasi program, tetapi tidak secara khusus dibahas dalam literasi yang luas.
Meski begitu, tinjauan literatur terkait efikasi diri mengarah pada teori belajar sosial yang
di dalamnya membahas serta menunjukkan metode yang efektif dalam mengubah efikasi
diri (Bandura, 1986). Terakhir, perencana dapat mengumpulkan data tambahan dari
pengadopsi yang potensial dan pengguna program yang mungkin dapat berguna dengan
menguji coba beberapa item dalam daftar metode sementara untuk menentukan
penerimaan dan kesesuaian item yang akan digunakan dalam intervensi.
Tim perencana dapat menggunakan daftar metode-metode yang telah direvisi untuk
merancang strategi praktis dalam memengaruhi adopsi dan implementasi program.
Perencana program bisa saja mendapatkan ide untuk strategi lebih awal dibandingkan
dengan ide untuk metode saat melakukan peninjauan tujuan dari adopsi dan
implementasi. Selanjutnya, mereka dapat menilai strategi untuk dihubungkan dengan

16
metode teoritis. Sebagai contoh, perencana menggunakan metode curah pendapat yang
diikuti dengan strategi untuk memengaruhi keluarga agar mengadopsi program untuk
survei dan memperbaiki bahaya cedera bagi anak-anak dalam rumah tangga. Komunikasi
lewat media massa untuk mendapatkan cerita dari para orang tua yang berhasil
mengadopsi program dan menemukan bahaya yang dapat membahayakan anak mereka
merupakan salah satu strategi yang efektif. Strategi ini dinamakan role-model stories
(Pulley, McAlister, Kay, & O’Reilly, 1996; A. G. Ramirez et al., 1995; Suarez, Nichols,
Pulley, Brady, & McAlister, 1993) yang dapat dihubungkan dengan metode modelling
dari teori belajar sosial. Kemudian, perencana dapat melakukan peninjauan terhadap
prinsip-prinsip teori yang mengarah pada penggunaan modelling untuk memengaruhi
kemungkinan faktor penentu dari program yang diadopsi seperti norma, ekspektasi hasil,
serta efikasi diri. Perencana program dapat merancang intervensi yang mempunyai
keunggulan dari yang sudah dipelajari orang lain terkait metode modelling serta
bagaimana metode tersebut dapat diterapkan pada ide mereka lewat role-model stories
sebagai strategi.
Perencana program mampu mengatasi faktor-faktor penentu yang sifatnya pribadi
seperti pengetahuan terkait kompatibilitas program dan keunggulan yang relatif, sikap
terhadap program, ekspektasi hasil dari program, efikasi diri, dan kemampuan perilaku
dalam melakukan aktivitas program yang didasari oleh metode psikologi sosial, seperti
komunikasi persuasif, peniruan atau modelling, pelatihan skills, rangsangan atau
stimulus, penguatan, serta perbandingan sosial (Bandura, 1986; McGuire, 1985).
E. Design Program to Affect Implementation & Sustainability

Desain intervensi ditujukan untuk merencanakan proses perbaikan berdasarkan


identifikasi masalah yang ditemukan dalam proses diagnosa dan pemberian umpan balik.
Desain Intervensi merupakan bagian dalam proses untuk mencapai tujuan yang
berhubungan dengan pemecahan masalah, pengambilan keputusan tim, komunikasi
maupun kepemimpinan (Adibatul dkk, 2019). Rancangan intervensi digunakan untuk
mengatur dan mempengaruhi tujuan perubahan yang terkait dengan penggunaan
program. Rencana desain intervensi dalam tahap kelima sama pentingnya dalam program
di tahap keempat, namun dalam tahap ini rancangan intervensi dibuat untuk
mempengaruhi program adopsi, implementasi dan hasil keberlanjutan. Materi yang
diperlukan dalam adopsi ataupun implementasi harus dideskripsikan dalam desain
dokumen dan diproduksi dengan perhatian yang sama.

17
Desain program melalui serangkaian proses dalam penentuan preferensi yaitu; 1)
tujuan dalam relevansi budaya, 2) penelitian praproduksi, 3) orientasi budaya
praproduksi, 4) timbal balik dalam belajar mengajar, dan 5) memeriksa dengan pelaksana
potensial. Selanjutnya dalam mempersiapkan desain dokumen diperlukan untuk merekrut
konsultan kreatif sebagai bagian dalam proses produksi dalam branding program. Desain
program dengan sumber daya kreatifnya akan menggambarkan tujuan program dengan
langkah pertama yaitu penyampaian parameter kebutuhan.

Rancangan desain intervensi dalam tahap kelima dapat digunakan untuk mengarahkan
terbentuknya pertanyaan yang akan mengevaluasi bukti adopsi program. Evaluasi akan
menggambarkan sejauh mana jangkauan program dapat tepat sasaran dalam populasi
yang dituju dan menginterpretasi dampak program. Implementasi program berkaitan
dengan kelengkapan, kuantitas penyampaian program, dan kesesuaian penyampaian
program dengan yang dirancang di awal. Kinerja dan tujuan perubahan yang dinyatakan
untuk implementasi program dapat membantu memandu pembentukan pertanyaan untuk
mengukur kelengkapan dan ketepatan implementasi. Akhirnya, pertanyaan untuk
mengevaluasi keberlanjutan program dapat didasarkan pada kinerja dan tujuan perubahan
untuk mengatasi pemeliharaan, pelembagaan, adaptasi, dan pengembangan kapasitas
(Lytle, dkk dalam L. Kay Bartholomew, 2006).

18
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Berdasarkan bahasan yang telah dipaparkan diatas, dapat diambil kesimpulan
bahwa implementasi merupakan tahap pelaksanaan program intervensi dalam tahap
kelima yang digunakan untuk membantu individu dan/ komunitas dalam mencapai
tujuan yang telah ditentukan, sedangkan adopters adalah pelaku atau seseorang
maupun sekumpulan individu yang menerapkan sebuah ide/gagasan baru dalam
sebuah program yang ingin dilakukan. Penggunaan program oleh adopter memiliki
tiga tahap, yakni 1) adopsi, 2) implementasi, 3) keberlanjutan.

Sedangkan sustainability (keberlanjutan) digambarkan sebagai pemeliharaan


dan pelembagaan program atau hasilnya. Pelembagaan berarti memasukkan program
ke dalam rutinitas suatu organisasi dengan harapan program tersebut dapat bertahan
meskipun pendanaan program, pengadopsi, atau pendukung tidak ada lagi. Pada
dasarnya keberlanjutan bertujuan untuk mempertahankan program. Namun, sebelum
mengambil langkah untuk mempertahankan program, terdapat beberapa hal yang
perlu diperhatikan, yakni; pemutuskan tujuan yang terdiri dari pelembagaan,
kelanjutan dampak kesehatan, pembangunan kapasitas, atau bisa saja kombinasi dari
berbagai tujuan.

B. SARAN
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan. Untuk kedepannya penulis akan berusaha menyusun makalah secara
lebih fokus dan detail dengan sumber yang lebih banyak dan dapat
dipertanggungjawabkan. Kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat
dibutuhkan penulis.

19
DAFTAR PUSTAKA

Adibatul, S. dkk. (2019). Desain, Analisis, Desain Intervensi dan Perbandingan Alternatif
Intervensi. Program Studi Kesehatan Masyarakat Stikes Kharisma Persada. Tangerang

Bartholomew, L.K, Parcel, G,S, et.al. (2006). Planning Health Promotion Programs, An
Intervention Mapping Approach. San Francisco: Market Street, John Wiley & Sons
Inc Publishers.

Goodman, R. M., & Steckler, A. (1989). A Model for The Institutionalization of Health
Programs. Family and Community Health, 11, 63–78.

Jackson, C., Fortmann, S. P., Flora, J. A., Melton, R. J., Snider, J. P., & Littlefield, D. (1994).
The capacity-building approach to intervention maintenance implemented by the
Stanford Five-City Project. Health Education Research, 9, 385–396.

Kim, Youngseek & Kevin Crowston. (2011). Technology Adoption and Use Theory Review
for Studying Scientists’ Continued Use of CyberInfrastructure. ASIST: New Orleans,
LA, USA. Retrieved from http://crowston.syr.edu/system/files/ASIST2011-
Cyber-infrastructureTheoryReview-FinalVersion1.pdf

Nagy, Delmer. (2010). Understanding Organizational Adoption Theories Through the


Adoption of Disruptive Innovation: Five Cases of Open Source Software. Graduate
Theses and Dissertations. University of South Florida. Retrieved from
http://scholarcommons.usf.edu/cgi/viewcontent.cgi ?article=4696&context=etd

Putra, A. P., Satriawan, N., Nasirin, A., Hidayat., C. (2018). Program Kreativitas Mahasiswa
dan Implikasinya dalam Upaya Sustainable Empowerment. Ranah Research, 1, 1-8.

Rogers, E. M. (1983). Diffusion of innovations. (3rd ed.). New York: The Free Press.

Rogers, Everett M. (1995). Diffusion of Innovations (Fourth Edition). The Free Press. New
York.

Roger, E. M. (1996). Diffusion of Innovation. New York: The Free Press, Collier Macmillan
Publishers.

20
LEMBAR KONTRIBUSI

Nama NIM Kontribusi

Erna Nur hidayah 15000119120010 Bab I Pendahuluan


Bab III Penutup

Mutiara Rifani 15000119140158 Identify Users and Adopter

Gita Tahmila Rizka 15000119120070 Design program to affect


implementation & sustainability

Yasmin Zahra T 15000119120062 Specify Determinants & Create


Matrices

Muhammad Sheva F.S 15000119140138 Specify Determinants & Create


Matrices

Hafidz Al Ghifari 15000119120054 Select methods and strategies

Aisyah Zahra Madani 15000119130178 Specify Implementation’s Performance


Objectives

M.Aidil Fatra 15000119120047 Identify Users and Adopter

Ledia Hanifa 15000119130293 Specify Sustainability’s Performance


Objectives
Membuat kerangka makalah

21

Anda mungkin juga menyukai