Anda di halaman 1dari 78

TEORI KOMUNIKASI BERDASARKAN TINGKATAN

Cara lain untuk mengelompokkan atau melakukan klasifikasi


terhadap berbagai teori komunikasi adalah dengan cara menentukan
level atau tingkatan komunikasi. Level komunikasi disebut juga
dengan konteks komunikasi. Disebut demikian karena komunikasi
selalu terjadi dalam suatu konteks, setting atau situasi tertentu.
Konteks komunikasi secara teoretis dapat dibagi kedalam berbagai
cara, seperti komunikasi kesehatan, komunikasi bisnis dan
profesional, atau komunikasi instruksional.
Pembagian paling umum dalam mengklasifikasikan teori
komunikasi adalah dengan menggunakan level; mulai dari komunikasi
antarpersonal, komunikasi kelompok, komunikasi organisasi,
komunikasi massa, komunikasi verbal dan nonverbal, dan komunikasi
antarbudaya.

KOMUNIKASI ANTARPRIBADI

Komunikasi antarpribadi pada hakikatnya adalah interaksi


antara seorang individu dan individu lainnya tempat lambang-lambang
pesan secara efektif digunakan, terutama dalam hal komunikasi antar
manusia menggunakan bahasa.
Komunikasi antarpribadi didefinisikan sebagai proses
pengiriman dan penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau antara
sekelompok kecil orang-orang dengan beberapa efek dan beberapa
umpan balik seketika “the process of sending and receiving message
between two persons, or among a small group of person, with some
effects and some immediate feedback” (Devito, 1998).
Komunikasi antarpribadi lebih efektif berlangsung jika
berjalan secara dialogis, berarti tejadi interaksi yang hidup karena
masing-masing dapat berfungsi secara bersama, baik sebagai
pendengar maupun pembicara. Keduanya memasukan pesan dan
informasi, saling memberi dan menerima. Kemungkinan munculnya
pengertian bersama (mutual understanding) dan empati lebih besar
karena keduanya saling berada berdekatan, bisa melihat mimik muka,
tatapan mata, serta bahasa tubuh. Karena kedekatan ini, juga terjadi
empati dan rasa saling menghormati, bukan karena berbagai
perbedaan, melainkan masing-masing sebagai manusia yang tampak
di hadapan mata.
Suasana komunikasi dialogis tidak selalu sesuai yang
diharapkan, bahwa akan selalu terjadi kesetaraan dan saling memberi
dan menerima secara adil. Umumnya, akan terjadi keakraban dan
kesederajatan di antara orang-orang yang memiliki kesamaan, yang
disebut Wilbur Schramm sebagai frame of reference (kerangka
referensi) yang kadang-kadang juga disebut kesamaan bidang
pengalaman (field of experience). Misalnya, kesamaan dalam bidang
pendidikan (sesama mahasiswa), pekerjaan, hobi, idiologi, dan lain-
lain.
Penjelasan di atas menunjukkan bahwa manusia tidak dapat
menghindar interaksi dengan sesamanya. Secara pasti dapat dikatakan
bahwa kita memerlukan hubungan antarpribadi.

Teori-Teori Komunikasi Antarpribadi

Fungsional
Kata fungsional disini hakekatnya ini bukanlah sebuah teori,
melainkan suatu perspektif yang dapat digunakan sebagai pijakan
teori. Beberapa teori komunikasi menggunakan perspektif fungsional
ini. Teori-teori Struktural dan Fungsional, pada bagian ini
memasukkan kelompok utama pendekatan-pendekatan yang
tergabung secara samar dalam ilmu sosial. Meski makna istilah
strukturalisme dan fungsionalisme kurang begitu tepat, tetapi
keduanya percaya bahwa struktur sosial adalah hal yang nyata dan
berfungsi dalam cara yang dapat diamati secara objektif.
Sebagai contoh, pengamat komunikasi mungkin berasumsi bahwa
hubungan personal merupakan sesuatu yang nyata dengan bagian-
bagian yang disusun secara khusus, seperti juga rumah yang
merupakan suatu yang nyata dengan material yang disusun sesuai
rencana. Disini hubungan dilihat sebagai struktur sosial. Pengamat
akan berasumsi lebih jauh bahwa hubungan yang ada bersifat tidak
statis tetapi memiliki atribut seperti ikatan, ketergantungan, kekuatan,
kepercayaan dan sebagainya.
Meskipun strukturalisme dan fungsionalisme seringkali
digabung, tetapi keduanya tetap berbeda dalam penekanannya.
Strukturalisme yang berakar pada linguistik, menekankan pada
organisasi bahasa dan sistem sosial. Fungsionalisme yang berakar
pada biologi, menekankan pada cara-cara sistem yang terorganisasi
bekerja untuk menunjang dirinya. Sistem terdiri atas variabel-variabel
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

yang berhubungan timbal balik dengan variabel lain dalam sebuah


fungsi network. Perubahan pada satu variabel akan mengakibatkan
perubahan pada yang lain. Peletakan dua pendekatan ini secara
bersama-sama menghasilkan suatu gambaran sistem sebagai struktur
elemen dengan hubungan yang fungsional. Sebagai contoh, beberapa
peneliti komunikasi organisasi menggunakan pendekatan struktural-
fungsional dalam kerja mereka. Mereka melihat organisasi sebagai
suatu sistem dimana bagian-bagian yang terkait membentuk
departemen, tingkatan, perilaku umum, suasana, aktivitas kerja dan
produk. Pendekatan teoritik yang paling umum dari komunikasi yaitu
teori sistem. Teori sistem dan dua bidang yang berhubungan,
sibernetika dan teori informasi, menyajikan perspektif yang luas
mengenai cara memandang dunia. Teori sistem berkaitan dengan
saling keterhubungan antara bagian-bagian dari suatu organisasi.
Apakah Sistem itu? Suatu sistem merupakan serangkaian hal yang
saling berhubungan satu sama lain dan membentuk suatu keseluruhan.
Suatu sistem terdiri dari empat unsure:
1. Pertama yaitu obyek. Obyek adalah bagian, elemen, atau variabel
dari sebuah sistem. Bagian tersebut dapat berupa fisik atau abstrak
atau keduanya, bergantung pada hakekat sistem.
2. Kedua, sistem terdiri dari sifat, kualitas, atau ciri dari sistem dan
obyeknya.
3. Ketiga, suatu sisem mempunyai hubungan internal diantara
obyek-obyeknya. Ini merupakan karakteristik penting yang
membatasi kualitas sistem dan merupakan tema utama yang akan
diuraikan secara rinci pada bab ini.
4. Keempat, sistem mempunyai lingkungan. Sistem tidak muncul
dalam ruang kosong tetapi dipengaruhi oleh lingkungannya.
Keluarga merupakan contoh sebuah sistem, anggota keluarga
adalah obyek sistem.
Karakteristik sebagai individu merupakan atribut, dan
interaksinya membentuk keterhubungan antar anggota. Setiap
keluarga berada dalam lingkungan sosial dan budaya, dan ada
pengaruh timbal balik antara keluarga dan lingkungannya. Anggota
keluarga bukanlah perorangan yang terpisah, keterhubungan mereka
harus dipertimbangkan untuk memahami keluarga secara penuh
sebagai suatu kesatuan. Salah satu pembedaan yang paling umum
yaitu antara sistem terbuka dan sistem tertutup. Sistem tertutup tidak
melakukan saling pertukaran dengan lingkungannya. Sistem tersebut

3
bergerak menuju kekacauan internal, disintegrasi, dan kematian.
Model sistem tertutup paling sering diterapkan untuk sistem fisika
seperti binatang, yang tidak mempunyai kualitas kelangsungan hidup.
Sistem terbuka menerima zat dan energi dari lingkungannya dan
meneruskannya kembali pada lingkungannya. Sistem terbuka
diorientasikan kearah kehidupan dan pertumbuhan. Sistem biologis,
psikologis dan sosial mengikuti model terbuka, dan sistem yang
dibicarakan pada bab ini sepenuhnya adalah jenis terbuka.
Salah satu aplikasi teori sistem dalam bidang ilmu komunikasi yaitu
yang digunakan oleh teori kebutuhan hubungan interpersonal.

Teori Kebutuhan Hubungan Interpersonal.


Teori sistem dan komunikasi dalam hubungan merupakan
salah sastu bagian dalam lapangan komunikasi yang dikenal sebagai
relational communication sangat dipengaruhi oleh teori sistem. Inti
dari kerja ini adalah asumsi bahwa fungsi komunikasi interpersonal
untuk membuat, membina, dan mengubah hubungan dan bahwa
hubungan pada gilirannya akan mempengaruhi sifat komunikasi
antarpribadi. Poin ini berdasar pada gagasan bahwa komunikasi
sebagai interaksi yang menciptakan struktur hubungan. Dalam
keluarga misalnya, anggota individu secara sendirian tidak
membentuk sebuah sistem, tetapi ketika berinteraksi antara satu
dengan anggota lainnya, pola yang dihasilkan memberi bentuk pada
keluarga. Gagasan sistem yang penting ini secara luas diadopsi dalam
lapangan komunikasi.
Proses dan bentuk merupakan dua sisi mata uang; saling
menentukan satu sama lain. Seorang Antropolog Gregory Bateson
adalah pendiri garis teori ini yang selanjutnya dikenal dengan
komunikasi relasional. Kerjanya mengarah pada pengembangan dua
proposisi mendasar pada mana kebanyakan teori relasional masih
bersandar. Pertama yaitu sifat mendua dari pesan: setiap pertukaran
interpersonal membawa dua pesan, pesan “report” dan pesan
“command”. Report message mengandung substansi atau isi
komunikasi, sedangkan command message membuat pernyataan
mengenai hubungan. Dua elemen ini selanjutnya dikenal sebagai “isi
pesan” dan “pesan hubungan”, atau “komunikasi” dan
“metakomunikasi”. Pesan report menetapkan mengenai apa yang
dikatakan, dan pesan command menunjukkan hubungan diantara
komunikator. Isi pesan sederhana seperti “I love you” dapat
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

dibawakan dalam berbagai cara, dimana masing-masing mengatakan


sesuatu secara berbeda mengenai hubungan. Frasa ini dapat dikatakan
dalam cara yang bersifat dominasi, submissive, pleading (memohon),
meragukan, atau mempercayakan. Isi pesannya sama, tetapi pesan
hubungan dapat berbeda pada tiap kasus. Proposisi kedua Bateson
yaitu bahwa hubungan dapat dikarakterisasi dengan komplementer
atau simetris. Dalam hubungan yang komplementer, sebuah bentuk
perilaku diikuti oleh lawannya. Contoh, perilaku dominan seorang
partisipan memperoleh perilaku submissive dari partisipan lain.
Dalam symmetry, tindakan seseorang diikuti oleh jenis yang sama.
Dominasi ketemu dengan sifat dominan, atau submissif ketemu
dengan submissif. Disini kita mulai melihat bagaimana proses
interaksi menciptakan struktur dalam sistem. Bagaimana orang
merespon satu sama lain menentukan jenis hubungan yang mereka
miliki. Sistem yang mengandung serangkaian pesan submissif akan
sangat berbeda dengan yang mengandung rangkaian pesan yang
besifat dominasi. Dan struktur pesan yang mencampur keduanya
adalah berbeda pula. Meski Bateson seorang pakar antropologi,
gagasannya dengan cepat dibawa kedalam psikiatri dan diterapkan
pada hubungan patologis. Beberapa peneliti komunikasi
memanfaatkan kerja Bateson dan kelompoknya. Aubrey Fisher, salah
satu yang dikenal baik dari kelompok ini, sebagai pemimpin teoritisi
sistem. Dalam buku Perspectives on Human Communication dia
menerapkan konsep sistem kedalam komunikasi.
Analisa Fisher dimulai dengan perilaku seperti komentar
verbal dan tindakan nonverbal sebagai unit terkecil analisa dalam
sistem komunikasi. Perilaku yang dapat diamati ini dapat dilihat atau
didengar dan merupakan satu-satunya ekspresi pemikiran bagi
keterhubungan individu dalam sistem komunikasi. Dari sudut pandang
sistem, perilaku itu sendiri adalah apa yang dihitung, dan struktur
hubungan terdiri atas pola perilaku yang tersusun ini. Dengan kata
lain, hubungan kita dengan orang lain ditentukan oleh bagaimana
kedua kita bertindak dan apa yang kita katakan. Pola komunikasi
dibentuk oleh sekuen tindakan. Ketika kita berkomunikasi kita
bertindak dan bereaksi dalam sekuen, jadi interaksi adalah arus pesan.
Fisher percaya bahwa arus bicara dengan dirinya sendiri mengatakan
sedikit mengenai komunikasi, sehingga harus dipecah kedalam unit-
unit yang mengandung tindakan dan respon. Fisher mengembangkan
metode untuk mengetahui semua pola percakapan, yang terdiri atas

5
pesan-pesan penyandian, sehingga pola respon dapat ditetapkan.Unit
yang paling dasar dari komunikasi dipakai Fisher adalah interact, atau
rangkaian dua pesan yang bersambungan diantara dua orang.
Contohnya yaitu pertanyaan dari orang pertama diikuti oleh jawaban
dari orang kedua. Pertanyaan yang diikuti oleh jawaban akan berbeda
dari permintaan yang diikuti persetujuan. Permintan yang diikuti oleh
penawaran adalah berbeda dari suggestion atau saran yang diikuti oleh
keberatan. Interaksi dikombinasikan kedalam unit yan glebih besar
disebut double interact (tiga tindakan), dan selanjutnya dikombinasi
lagi kedalam triple interact (empat tindakan).
Struktur dari keseluruhan interaksi merupakan rangkaian
interaksi yang makin lama makin membesar.Kebanyakan kerja Fisher
melibatkan pembuatan keputusan dalam kelompok kecil. Dalam
risetnya dia menyandi apa yang orang katakan dalam diskusi
kelompok dan menganalisa interaksi ini dalam cara yang seluruh pola,
atau struktur dari diskusi dapat digambarkan. Fisher menunjukkan
bagaimana interaksi berkombinasi dengan bentuk fase pemuatan
keputusan kelompok. Diantara periset yang terkenal dalam
komunikasi relasional adalah Edna Rogers dan Frank Millar. Kerja
Millar dan Rogers merupakan aplikasi langsung dari gagasa Bateson
dan konsisten dengan teori Fisher. Secara khusus, mereka bertanggung
jawab bagi pengembangan metode riset mengenai pengkode-an dan
pengelompokan pola relasional. Seperti Fishe, Millar dan Rogers
mengamati percakapan dan kode tindakan komunikasi dalam suatu
cara yang membiarkan mereka menemukan pola yang diciptakan
melalui interaksi. Dari risetnya mereka mengembangkan teori yang
menunjukkan bagaimana hubungan mengandung struktur kontrol,
kepercayaan, dan keakraban.

Teori Disonansi Kognitif


Teori Leon Festinger mengenai dissonansi kognitif
merupakan salah satu teori yang paling penting dalam sejarah
psikologi sosial. Selama bertahun-tahun teori ini menghasilkan
sejumlah riset dan mengisi aliran kritik, interpretasi, dan extrapolasi.
Festinger mengajarkan bahwa dua elemen kognitif termasuk sikap,
persepsi, pengetahuan, dan perilaku. Tahap pertama yaitu posisi nol,
atau irrelevant, kedua yaitu konsisten, atau consonant dan ketiga yaitu
inkonsisten, atau dissonant. Dissonansi terjadi ketika satu elemen
tidak diharapkan mengikuti yang lain. Jika kita pikir merokok itu
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

berbahaya bagi kesehatan, mereka tidak berharap kita merokok. Apa


yang konsonan dan dissonan bagi seseorang tidak bisa berlaku bagi
orang lain. Jadi kita harus selalu menanyakan apa yang konsisten dan
yang tidak konsisten dalam sistem psikologis orang itu sendiri.
Dua premis yang menolak aturan teori dissonansi. Pertama yaitu
bahwa dissonansi menghasilkan ketegangan atau penekanan yang
menekan individu agar berubah sehingga dissonansi terkurangi.
Kedua, ketika dissonansi hadir, individu tidak hanya berusaha
menguranginya, melainkan juga akan menghindari situasi dimana
dissonansi tambahan bisa dihasilkan. Semakin besar dissonansi,
semakin besar kebutuhan untuk menguranginya. Contoh, semakin
perokok tidak konsisten dengan pengetahuannya mengenai efek
negatif merokok, semakin besar dorongan untuk berhenti merokok.
Dissonansi itu sendiri merupakan hasil dari dua variabel lain,
kepentingan elemen kognitif dan sejumlah elemen yang terlibat dalam
hubungan yang dissonan. Dengan kata lain, jika kita mempunyai
beberapa hal yang tidak konsisten dan jika itu penting untuk kita, kita
akan mengalami dissonansi yang lebih besar. Jika kesehatan tidak
penting, pengetahuan bahwa merokok itu buruk bagi kesehatan
kemungkinan tidak mempengaruhi perilaku perokok secara aktual.
Bagaimana kita terkait dengan dissonansi kognitif ini? Festinger
mengemukakan sejumlah metode. Pertama, kita bisa mengubah satu
atau lebih elemen kognitif, perilaku atau sikap mungkin. Sebagai
contoh, sebagai seorang perokok , kita bisa berhenti merokok atau kita
bisa berhenti mempercayai bahwa itu merusak kesehatan. Kedua,
elemen baru mungkin ditambahkan pada satu bagian ketegangan atau
yg lain. Misalnya, kita bisa beralih mengunyah cerutu. Ketiga, kita
bisa sampai untuk melihat elemen sebagai hal yang kurang penting
daripada yang mereka gunakan. Contoh, kita mungkin memutuskan
bahwa kesehatan tidaklah sepenting kondisi pikiran. Keempat, kita
bisa mencari konsonan informasi seperti pembuktian terhadap
keuntungan merokok dengan membaca studi perusahaan cerutu.
Kelima, kita bisa mengurangi dissonansi dengan membuang atau
misinterpretasi informasi yang terlibat. Ini dapat terjadi jika kita
memutuskan bahwa meski merokok beresiko pada kesehatan, tidaklah
berbahaya sebagai weight yang akan kita capai jika kita berhenti
merokok. Tidak masalah metode mana yang akan kita pilih, itu semua
akan mengurangi dissonansi dan membuat kita merasa lebih baik
dalam sikap, kepercayaan, dan tindakan.

7
Kebanyakan teori dan riset mengenai dissonansi kognitif
disekitar situasi yang bervariasi dimana dissonansi sebenarnya
dihasilkan. Ini memasukkan situasi seperti pembuatan keputusan,
persetujuan yang terpaksa, inisiatif, dukungan sosial, dan usaha yang
sungguh-sungguh.
Jumlah dissonansi sebuah pengalaman sebagai hasil
keputusan bergantung pada empat variabel, pertama dan yang
terpenting yaitu keputusan. Keputusan tertentu, yaitu seperti
ketinggalan sarapan, mungkin tidak dan menghasilkan sedikit
dissonansi, tetapi membeli mobil dapat menghasilkan banyak
dissonansi. Variabel kedua adalah sifat menarik alternatif yang dipilih.
Hal lain yang mirip, bahwa semakin kurang atraktif alternatif pilihan,
semakin besar dissonansi. Kita kemungkinan akan menderita lebih
banyak dissonansi dari membeli mobil butut daripada mobil yang
masih mulus. Ketiga, semakin besar sifat atraktif yang diketahui dari
alternatif yang dipilih, semakin terasa dissonansi. Jika kita berharap
kita dapat menabung untuk pergi ke Eropa disamping membeli mobil,
kita akan menderita dissonansi. Akhirnya, semakin tinggi tingkat
similaritas atau tumpang tindih diantara alternatif, semakin kurang
dissonansi.
Jika kita berdebat diantara dua mobil yang sama, membuat
keputusan dengan bertujuan pada salah satu tidak akan menghasilkan
banyak dissonansi, tetapi jika kita memutuskan antara membeli mobil
dan pergi ke Eropa, kita akan memiliki banyak dissonansi.
Situasi lain dimana disonansi cenderung berhasil yaitu paksaan
kesepakatan, atau dipengaruhi untuk melakukan atau mengatakan
sesuatu yang berlawanan dengan kepercayaan atau nilai kita. Situasi
ini biasanya terjadi ketika reward terlibat untuk sepakat atau hukuman
jika tidak sepakat. Teori dissonansi meramalkan bahwa semakin
sedikit tekanan untuk patuh, semakin besar dissonansi. Jika kita
diminta untuk melakukan sesuatu yang kita tidak suka melakukan
tetapi kita dibayar banyak, kita tidak akan merasa banyak dissonansi
seperti jika kita dibayar lebih sedikit.
Semakin sedikit justifikasi eksternal (seperti ganjaran dan
hukuman), semakin banyak kita harus fokus pada inkonsistensi
internal dalam diri kita. Inilah mengapa menurut teoritisi dissonansi,
tekanan sosial yang ‘lunak’ dapat begitu kuat: dapat menyebabkan
banyak dissonansi. Ini juga menjelaskan mengapa kita harus
mengambil kerja yang bergaji tinggi meski kita tidak suka. Bayaran
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

tinggi dapat dipakai sebagai justifikasi untuk melakukannya.


Teori dissonansi juga membuat beberapa prediksi lain. Teori itu
meramalkan, misalnya, bahwa semakin sulit inisiatif seseorang
terhadap kelompok, semakin besar komitmen orang itu untuk
berkembang. Semakin banyak dukungan sosial yang seseorang terima
dari teman terhadap ide atau tindakan, semakin besar tekanan untuk
percaya pada ide atau tindakan itu. Semakin besar jumlah usaha yang
diterapkan dalam tugas, semakin orang akan merasionalisasi nilai
tugas tersebut.

Sikap, Kepercayaan, dan Nilai


Salah satu teori yang paling komprehensif mengenai sikap dan
perubahannya yaitu milik Milton Rokeach. Dia mengembangkan
penjelasan yang meluas mengenai perilaku manusia berdasarkan
kepercayaan, sikap dan nilai. Rokeach percaya bahwa setiap orang
mempunyai sistem yang tersusun dengan baik atas kepercayaan, sikap
dan nilai, yang menuntun perilaku.
Belief adalah ratusan atau ribuan pernyataan yang kita buat
mengenai diri dan dunia. Kepercayaan dapat bersifat umum ataupun
khusus, dan itu disusun dalam sistem dalam hal sentralitas atau
pentingnya terhadap ego. Pada pusat sistem kepercayaan yang
dibangun dengan baik itu, kepercayaan yang secara relatif tidak dapat
berubah yang membentuk inti sistem kepercayaan. Pada pinggiran
sistem terbentang sejumlah kepercayaan yang tidak signifikan yang
dapat mudah berubah. Percaya bahwa orang tua kita bahagia dalam
perkawinan kemungkinan cukup penting, karena dampaknya yaitu
banyak hal lain yang kita anggap benar. Percaya bahwa kita perlu
potong rambut, di sisi lain, adalah sampingan.
Semakin penting kepercayaan, semakin resisten untuk
berubah dan semakin perubahan itu berdampak terhadap keseluruhan
sistem. Dengan kata lain, jika salah satu pusat kepercayaan kita
berubah, mengharap perubahan yang agak mendalam mengenai
bagaimana kita memikirkan tentang banyak hal. Inilah mengapa anak
begitu terguncang ketika orang tua yang mereka asumsikan memiliki
perkawinan yang bahagia itu bercerai.
Attitude adalah kelompok kepercayaan yang disusun disekitar
obyek fokal dan menyarankan pada orang untuk berperilaku dalam
cara tertentu terhadap obyek tersebut. Kita mempunyai ratusan bahkan
ribuan kepercayaan dan mungkin ribuan sikap, yang masing-masing

9
mengandung sejmlah kepercayaan mengenai sikap obyek. Terdapat
sikap terhadap obyek dan sikap terhadap situasi. Perilaku orang dalam
situasi tertentu merupakan fungsi dari kedua kombinasi ini. Jika kita
tidak berperilaku dalam situasi yang berlaku secara konsisten dengan
sikap kita terhadap hal tertentu, itu kemungkinan karena sikap kita
terhadap situasi mencegahnya. Contoh untuk jenis inkonsistensi ini
yaitu makan makanan yang kita tidak suka saat kita dijamu makan
sebagai tamu. Poin disini bahwa perilaku merupakan fungsi dari
berbagai rangkaian sikap, dan sistem terdiri atas banyak kepercayaan
yang berkumpul dalam sentralitasnya.
Rokeach percaya bahwa konsep tersebut dalam menjelaskan
perilaku, nilai orang merupakan yang paling penting. value adalah tipe
kepercayaan khusus yang penting dalam sistem dan bertindak sebagai
penuntun kehidupan. Nilai ada dua macam, nilai instrumental seperti
kerja keras dan kesetiaan, merupakan garis penuntun bagi kehidupan
yang menjadi dasar perilaku sehari-hari. Nilai terminal adalah ujung
tujuan kehidupan terhadap mana kita bekerja. Contoh antara lain
kesehatan dan kebahagiaan. Komponen lain dalam sistem
kepercayaan-sikap-nilai yang mengasumsikan keseluruhan yang
sangat penting yang konsep diri, kepercayaan orang mengenai diri. Ini
merupakan jawaban atas pertanyaan Siapa saya?. konsep diri secara
khusus penting dalam sistem sebagai ujung tujuan keseluruhan sistem
seseorang. Jadi, jika kepercayaan, sikap, dan nilai menyatakan
komponen sistem, konsep diri adalah yang menuntun tujuannya.
Rokeach pada dasarnya teoritisi konsistensi. Dia memasukkan
sejumlah hipotesis signifikan mengenai sikap, kepercayaan, dan nilai,
tetapi dia menyimpulkan bahwa orang dituntun oleh kebutuhan untuk
konsisten dan bahwa inkonsistensi menciptakan tekanan untuk
berubah. Rokeach memperluas penjelasannya mengenai konsistensi
paling jauh dibandingkan teori lain dalam aliran ini. Dengan
meletakkan sistem keseluruhan menjadi pertimabngan, dia melihat
konsistensi sebagai hal yang sangat kompleks.

Teori Self Disclosure


Disclosure dan understanding merupakan tema penting dalam
teori komunikasi pada tahun ’60 dan ‘70-an. Sebagian besar sebagai
konsekuensi aliran humanistik dalam psikologi, sebuah ideologi
“honest communication” muncul, dan beberapa dari pemikiran kita
tentang apa yang membuat komunikasi interpersonal itu baik
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

dipengaruhi oleh gerakan ini. Didorong oleh karya Carl Rogers,


disebut Third Force begitu dalam psikologi menyatakan bahwa tujuan
komunikasi adalah meneliti pemahaman diri dan orang lain dan bahwa
pengertian hanya dapat terjadi dengan komunikasi yang benar.
Menurut psikologi humanistik, pemahaman interpersonal
terjadi melalui self-disclosure, feedback, dan sensitivitas untuk
mengenal/mengetahui orang lain. Misunderstanding dan
ketidakpuasan dalam hubungan diawali oleh ketidakjujuran,
kurangnya kesamaan antara tindakan seseorang dengan perasaannya,
miskin feedback, serta self disclosure yang ditahan.
Banyak riset pengenalan diri muncul dari gerakan humanistik
ini. Seorang teoritisi yang menggali proses self-disclosure ini adalah
Sidney Jourard. Uraiannya bagi kemanusiaan sifatnya terbuka dan
transparan. Transparansi berarti membiarkan dunia untuk mengenal
dirinya secara bebas dan pengenalan diri seseorang pada orang lain.
Hubungan interpersonal yang ideal menyuruh orang agar membiarkan
orang lain mengalami mereka sepenuhnya dan membuka untuk
mengalami orang lain sepenuhnya. Jourard mengembangkan gagasan
ini setelah mengamati bahwa sakit mental cenderung tertutup bagi
dunia. Dia menemukan bahwa mereka menjadi sehat ketika mereka
bersedia mengenalkan dirinya pada ahli terapi. Kemudian, Jourard
menyamakan kesakitan (sickness ) dengan ketertutupan dan kesehatan
dengan transparansi. Jourard melihat pertumbuhan, pergerakan orang
menuju cara berperilaku yang baru, sebagai hasil langsung dari
keterbukaan pada dunia. Orang yang sakit sifatnya tetap dan stagnan;
pertumbuhan orang akan sampai pada posisi hidup baru. Selanjutnya,
perubahan merupakan esensi dari pertumbuhan personal. Personal
growth melekat pada komunikasi interpersonal sebab dunia
merupakan ruang sosial yang sangat luas. Untuk menerima perubahan
seseorang itu sendiri meminta kita untuk menetapkan bahwa kita juga
diterima oleh orang lain. Pertumbuhan akan sulit jika orang-orang di
sekitar kita tidak membuka diri untuk penerimaan bagi kita.
Sekarang kita mengerti self-disclosure sebagai proses yang
lebih kompleks daripada yang dilakukan pada tahun ’60 dan ‘70-an.
Sebagai contoh pemikiran terbaru atas subyek ini, Sandra Petronio
meletakkan secara bersamaan serangkaian ide mengenai kompleksitas
self-disclosure dalam relationship. Teori ini berdasar pada risetnya
sendiri dan survey pada sejumlah banyak kajian lain dengan topik
pengembangan hubungan dan disclosure. Dia menerapkan teori ini

11
pada pasangan yang menikah khususnya, selain juga dapat diterapkan
pada bermacam-macam; hubungan. Menurut Petronio, individu
terlibat dalam hubungan secara konstan menjadi bagian dalam proses
pengaturan yang membatasi antara publik dan privat, antara perasaan
dan pikiran yang mereka mau berbagi dengan sang patner dengan
perasaan dan pikiran yang tidak mau mereka bagi. Permainan diantara
kebutuhan untuk berbagi dan kebutuhan untuk melindungi diri ini
sifatnya konstan dan mendorong pasangan untuk membicarakan dan
mengkoordinasi batasan mereka. Kapan kita diketahui dan kapan
tidak? dan ketika pasangan memberitahukan informasi personal,
bagaimana kita merespon? Ketika orang memberi tahu sesuatu, dia
sedang membuat permintaan pada orang lain untuk meresponnya
dengan sesuai. Demand/permintaan dan respond perlu dikoordinasi.
Ketika kita memberi tahu sesuatu pada patner kita, dia dapat merespon
dalam cara yang membantu kualitas hubungan dan kebahagiaan atau
dalam cara yang tidak begitu. Selanjutnya, pengaturan batasan
memerlukan pertimbangan dan pikiran. Orang membuat keputusan
mengenai bagaimana dan kapan untuk memberi tahu, dan mereka
memutuskan mengenai bagaimana merespon permintaan orang lain.
Bermacam-macam strategi langsung dan tidak langsung dapat
diusahakan, dan problem yang berulang bagi pasangan yaitu
mengkoordinasi jenis-jenis disclosure dan respon yang mereka
gunakan. Contoh, ketika kita membuat disclosure yang langsung dan
jelas, kita biasanya menginginkan respon yang juga langsung dan
jelas, dan ketika kita membuat disclosure yang samar dan implisit,
kita mungkin ingin diberi lebih banyak waktu untuk mendalami
situasi, mungkin secara coba-coba, dengan patner kita. Sejauh ini,
semua teori yang dibahas menunjukkan bagaimana pentingnya
informasi dalam penguatan hubungan. Kita kadang-kadang memantau
informasi yang disediakan oleh orang lain dan memberi informasi
mengenai diri kita sendiri.

Teori Penetrasi Sosial


Salah satu proses yang paling luas dikaji atas perkembangan
gubungan adalah penetrasi sosial. Secara garis besar, ini merupakan
ide bahwa hubungan menjadi labih akrab seiring waktu ketika patner
memberitahukan semakin banyak informasi mengenai mereka sendiri.
Selanjutnya, social penetration merupakan proses peningkatan
disclosure dan keakraban dalam hubungan.
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

Gerald Miller dan rekannya secara literal mengartikan


komunikasi interpersonal dalam term penetrasi. Semakin bertambah
yang saling diketahui oleh masing-masing komunikator, semakin
bertambah karakter interpersonal yang berperan dalam komunikasi
mereka. Semakin sedikit yang mereka ketahui tiap personnya,
semakin impersonal komunikasi itu. Komunikasi interpersonal
karenanya merupakan beragam proses penetrasi sosial. Teori penetrasi
sosial yang paling terkenal yaitu milik Altman dan Taylor. Original
Social Penetration Theory. Irwin Altman dan Dalmas Taylor
mengenalkan istilah penetrasi sosial. Manurut teori mereka, karena
hubungan itu berkembang, komunikasi bergerak dari level yang relatif
sedikit dalam, tidak akrab, menuju level yang lebih dalam, lebih
personal. Personalitas komunikator dapat diperlihatkan melalui
lingkungan dengan lapisan tiga dimensi; memiliki jarak (breadth) dan
kedalaman (depth). Breadth merupakan susunan yang berurutan atau
keragaman topik yang merasuk kedalam kehidupan individu. Depth
adalah jumlah informasi yang tersedia pada tiap topik. Pada jarak
terjauh akan merupakan level komunikasi yang dapat dilihat, seperti
berpakaian dan bicara. Didalamnya merupakan detil privat yang
meningkat mengenai kehidupan, perasaan, serta pikiran partisipan.
Karena hubungan itu berkembang, patner berbagi lebih banyak atas
diri, menyediakan breadth sebaik depth, melalui pertukaran informasi,
perasaan dan aktivitas.
Komunikasi kemudian dibantu oleh pemakaian level-level.
Pada saat level tertentu tercapai, dibawah kondisi yang
memungkinkan sepasang patner berbagi dalam meningkatkan breadth
pada level tersebut. Contohnya, setelah kencan beberapa saat
pasangan yang menikah bisa mulai mendiskusikan tindakan
berpasangan selanjutnya, dan makin bertambah informasi mengenai
langkah berpasangan selanjutnya akan diperlihatkan/diberitahu
sebelum bergerak bahkan menuju level disclosure yang lebih dalam
semisal sejarah seksual.
Teori Altman dan Taylor didasarkan dalam sebagian besar
dari satu ide yang paling populer dalam ilmu social, bahwa hubungan
akan berhasil ketika secara relatif memperoleh ganjaran (rewarding)
dan akan berhenti ketika secara relatif mengeluarkan biaya (cost).
Proses ini dikenal sebagai pertukaran sosial. Menurut Altman dan
Taylor, pasangan relasional bukan hanya mengandung reward dan
cost atas hubungan pada saat tertentu, tetapi juga menggunakan

13
informasi yang mereka cari untuk meramalkan reward dan cost di
waktu mendatang. Jika patner menilai bahwa reward secara relatif
lebih besar dari cost, mereka akan beresiko lebih banyak disclosure
yang mempunyai potensi gerakan partisipan menuju level keakraban
yang lebih dalam. Semakin besar reward yang diketahui relatif
terhadap cost, semakin cepat penetrasi. Altman dan Taylor
menemukan bahwa penetrasi tercepat cenderung terjadi dalam
langkah awal perkembangan ketika reward cenderung malampaui
cost.
Terdapat empat langkah perkembangan hubungan.
Orientation mengandung komunikasi impersonal, dimana seseorang
memberitahu hanya informasi yang sangat umum mengenai dirinya
sendiri. Jika tahap ini menghasilkan reward pada partisipan, mereka
akan bergerak menuju tahap berikutnya. The exploratory affective
exchange, dimana perluasaan/ekspansi awal informasi dan gerakan
menuju level lebih dalam dari disclosure itu terjadi. Affective
exchange memusatkan pada perasaan evaluatif dan kritis pada level
yang lebih dalam. Tahap ini tidak akan dimasuki kecuali jika patner
menyadari reward substansial yang relatif terhadap cost dalam tahap
lebih awal. Stable exchange adalah keakraban yang sangat tinggi dan
mengijinkan patner untuk meramalkan setiap tindakan pihak lain dan
menanggapinya dengan sangat baik. Altman dan Taylor menunjukkan
bahwa perkembangan hubungan bukan hanya melibatkan peningkatan
penetrasi sosial. Juga terlalu sering melibatkan keakraban yang
menurun, ketidakteraturan, dan tanpa solusi. Altman dan Taylor
menyarankan bahwa reward terkurangi dan cost meningkat pada level
komunikasi yang lebih akrab, proses penetrasi sosial akan terbentuk
dan hubungan akan mulai mengambil bagian.
Modifikasi terhadap penetrasi sosial. Teori penetrasi sosial
orisinal penting dalam memusatkan perhatian kita pada
pengembangan hubungan sebagai proses komunikasi. Terdapat
banyak kebenaran terhadap ide bahwa hubungan menjadi lebih dekat
jika informasi dibagi, dan bahwa perkembangan secara parsial
merupakan proses peningkatan keakraban. Pada saat yang sama, teori
original tersebut dianggap terlalu sederhana. Kebanyakan siswa
perkembangan hubungan sekarang ini percaya bahwa penetrasi sosial
sifatnya berputar, sebagai proses dialektis. Disebut berputar (cyclica)
sebab berlangsung dalam bentuk siklus timbal-balik, serta disebut
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

bersifat dialektis karena melibatkan pengaturan pertentangan atau


ketegangan antara lawan-lawannya.
Sebuah dialectic adalah ketegangan antara dua atau lebih
elemen yang berlawanan dalam sistem yang pada akhirnya kadang-
kadang meminta resolusi. Analisa dialektis melihat cara sistem
berkembang atau berubah, bagaimana ia bergerak, dalam merespon
ketegangan. Dan ia melihat strategi tindakan yang dipakai sistem
untuk menyelesaikan kontradiksi. Altman dan rekannya menyatakan
bahwa dialektik ini biasanya diatur dalam sebuah istilah panjang
hubungan oleh semacam siklus yang dapat diramalkan. Dengan kata
lain, karena hubungan itu berkembang, keterbukaan dan ketertutupan
yang berputar pada pasangan nikah mempunyai pengaturan tertentu
atau ritme yang dapat diramalkan. Pada saat yang sama, dalam
beberapa hubungan yang dikembangkan, perputaran yang terjadi lebih
besar dibadingkan hubungan yang kurang dikembangkan. Hal ini
sebab, konsisten dengan perkiraan dasar teori penetrasi sosial,
hubungan yang dikembangkan rata-rata lebih diterima. Untuk
mengetes ide ini, analisa Arthur VanLear menunjukkan bahwa dalam
percakapan pasangan nikah siklus keterbukaan terjadi dan beberapa
sinkronisasi juga terjadi.
Sebagai perbandingan, juga diamati kelompok pelajar yang
ternyata juga mencerminkan hal yang sama. Kedua kajian tersebut
menunjukkan bahwa siklus tersebut terjadi, bahwa sifatnya kompleks,
bahwa patner mengenal siklus mereka, dan bahwa penggabungan dan
sinkronisasi seringkali terjadi. Penting untuk dicatat, ternyata bahwa
jumlah sinkroni tidak sama pada tiap pasangan, yang berarti bahwa
terdapat perbedaan antar pasangan dalam kemampuan mereka untuk
mengkoordinasi siklus self-disclosure.

Social Exchange.
Teori ini menelaah bagaimana kontribusi seseorang dalam
suatu hubungan mempengaruhi kontribusi orang lainnya. Thibaut dan
Kelley, pencetus teori ini, mengemukakan bahwa orang mengevaluasi
hubungannya dengan orang lain. Dengan mempertimbangkan
konsekuensinya, khususnya terhadap ganjaran yang diperoleh dan
upaya yang telah dilakukan, orang akan memutuskan untuk tetap
tinggal dalam hubungan tersebut atau meninggalkannya
(mempertahankan hubungan atau mengakhirinya). Ukuran bagi
keseimbangan antara ganjaran dan upaya ini disebut comparison

15
levels, dimana di atas ambang ukuran tersebut orang akan merasa puas
dengan hubungannya. Misalnya, kita beranggapan bahwa dasar dari
persahabatan adalah kejujuran. Ketika mengetahui bahwa sahabat kita
berusaha untuk menipu, maka kita akan mempertimbangkan kembali
hubungan persahabatan denganya. Mungkin kita akan memutuskan
untuk mengahiri hubungan demi kebaikan, dengan kejujuran sebagai
ambang ukuran, kita merasa bahwa gannjaran yang kita peroleh tidak
sesuai dengan upaya kita untuk mempertahankan kujujuran dalam
hubungan.
Sementara itu comparison level of alternatives merupakan
hasil terendah atau terburuk dalam konteks ganjaran dan upaya, yang
dapat ditolerir seseorang dengan mempertimbangkan alternatif-
alternatif yang dia miliki. Jika seseorang tidak banyak memiliki
alternatif hubungan, maka dia akan memberikan standar yang cukup
rendah untuk tetap tinggal dalam suatu hubungan. Artinya, walaupun
hubungan itu seringkali dirasakan merugikan bagi dirinya, namun
karena tidak banyak memiliki alternatif hubungan, dia akan berusaha
mempertahankan hubungan tersebut. Sedangkan orang memiliki
banyak alternatif akan lebih mudah meninggalkan suatu hubungan bila
dirasakan bahwa hubungan tersebut sudah tidak memuaskan lagi.
Konsekuensi suatu hubungan dan ukuran-ukuran yang digunakan akan
berubah seiring dengan perjalanan hubungan tersebut.
Roloff (1981) mengemukakan bahwa asumsi tentang
perhitungan antara ganjaran dan upaya (untung-rugi) tidak berarti
bahwa orang selalu berusaha untuk saling mengeksploitasi, tetapi
bahwa orang lebih memilih lingkungan dan hubungan yang dapat
memberi hasil yang diinginkannya. Tentunya kepentingan masing-
masing orang akan dapat dipertemukan untuk saling memuaskan dari
pada mengerah pada hubungan yang eksploitatif. Hubungan yang
ideal akan terjadi bilamana kedua belah pihak dapat saling
memberikan cukup keuntungan sehingga hubungan tersebut menjadi
sumber yang dapat diandalkan bagi kepuasan kedua belah pihak.

KOMUNIKASI KELOMPOK

Kelompok menurut tinjauan sosiologi adalah sekumpulan dua


orang atau lebih yang saling berinteraksi dan terjadi hubungan timbal
balik yang ia merasa menjadi bagian dari kelompok tersebut. Alasan
yang paling mendasar manusia untuk berkelompok adalah dorongan
alamiah yang menunjukkan bahwa manusia sebagai mahluk hidup dan
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

sebagai bagian dari alam, harus memenuhi kebutuhan-kebutuhannya,


seperti makan, minum, seks, tempat tinggal, selain juga kebutuhan
eksistensial yaitu butuh diakui oleh orang lain.
Kelompok merupakan bagian yang tidak terpisahkan dengan
kehidupan kita, karena melalui kelompok, memungkinkan kita dapat
berbagi informasi, pengalaman dan pengetahuan kita dengan anggota
kelompok lainnya (terjadinya komunikasi kelompok).
Secara umum, disepakati bahwa jika pelaku komunikasi lebih
dari tiga orang, cenderung dianggap komunikasi kelompok kecil atau
komunikasi kelompok. Sedangkan, komunikasi kelompok besar biasa
disebut sebagai komunikasi publik. Jumlah manusia pelaku
komunikasi dalam komunikasi kelompok , besar atau kecilnya tidak
ditentukan secara matematis, tetapi tergantung pada ikatan emosional
antar anggotanya.
Michael Burgoon dan Michael Ruffner dalam bukunya
Human Communication, Arevision of Approaching
Speech/Communication, memberi batasan komunikasi kelompok
sebagai interaksi tatap muka dari tiga atau lebih individu untuk
memperoleh maksud atau tujuan yang dikehendaki seperti berbagi
informasi, pemeliharaan diri atau pemecahan masalah sehingga semua
anggota dapat menumbuhkan karakteristik pribadi anggota lainnya
dengan akurat (the face to face interaction of three or more
individuals, for a recognized purpose such as information sharing,
self maintenance, or problem solving, such that the members are able
to recall personal characteristics of the other members accurately).

Ada empat elemen yang tercakup dalam definisi ini:


1. Interaksi tatap muka. Tatap muka (face to face) mengandung
makna bahwa setiap anggota kelompok harus dapat melihat dan
mendengar anggota lainnya dan juga harus dapat mengatur umpan
balik secara verbal maupun nonverbal dari setiap anggotanya.
Batasan ini tidak berlaku atau meniadakan kumpulan individu
yang sedang melihat proses pembangunan gedung atau bangunan
baru. Dengan demikian makna tatap muka tersebut berkait erat
dengan adanya interaksi di antara semua anggota kelompok.
2. Jumlah partisipan dalam komunikasi kelompok berkisar antara 3
sampai 20 orang. Pertimbangannya, jika jumlah partisipan
melebihi 20 orang, kurang memungkinkan berlangsungnya suatu
interaksi dimana setiap anggota kelompok mampu melihat dan

17
mendengar anggota lainnya. Dan karenanya kurang tepat untuk
dikatakan sebagai komunikasi kelompok.
3. Maksud atau tujuan yang dikehendaki.Maksud atau tujuan
tersebut akan memberikan beberapa tipe identitas kelompok.
Kalau tujuan kelompok tersebut adalah berbagi informasi maka
komunikasi yang dilakukan dimaksudkan untuk menanamkan
pengetahuan (to impart knowledge). Sementara kelompok yang
memiliki tujuan pemeliharaan diri (self maintenance), biasanya
memusatkan perhatiannya pada anggota kelompok atau struktur
dari kelompok itu sendiri. Tindak komunikasi yang dihasilkan
adalah kepuasan kebutuhan pribadi, kepuasan kebutuhan
kolektif/kelompok bahkan kelangsungan hidup dari kelompok itu
sendiri. Dan apabila tujuan kelompok adalah upaya pemecahan
masalah, maka kelompok tersebut biasanya melibatkan beberapa
tipe pembuatan keputusan untuk mengurangi kesulitan-kesulitan
yang dihadapi.
4. Kemampuan anggota untuk menumbuhkan karakteristik personal
anggota lainnya secara akurat. Ini mengandung arti bahwa setiap
anggota kelompok secara tidak langsung berhubungan satu sama
lain dan maksud atau tujuan kelompk telah terdefinisikan dengan
jelas, di samping itu identifikasi setiap anggota dengan
kelompoknya relatif stabil dan permanent.
Batasan lain mengenai komunikasi kelompok dikemukakan
oleh Ronald Adler dan George Rodman dalam bukunya:
Understanding Human Communication. Mereka mengatakan bahwa
kelompok atau group merupakan sekumpulan kecil orang yang saling
berinteraksi, biasanya tatap muka dalam waktu yang lama guna
mencapai tujuan tertentu (a small collection of people who interact
with each other, usually face to face, over time in order to reach
goals)
Ada empat elemen yang muncul dari definisi ini:
1. Interaksi. Dalam komunikasi kelompok merupakan faktor yang
penting, karena melalui interaksi inilah, kita dapat melihat
perbedaan antara kelompok dengan istilah yang disebut dengan
coact. Coact adalah sekumpulan orang yang secara serentak
terikat dalam aktivitas yang sama, namun tanpa komunikasi satu
sama lain. Misalnya mahasiswa yang hanya secara pasif
mendengarkan suatu perkuliahan, secara teknis dapat disebut
sebagai kelompok. Mereka dapat dikatakan sebagai kelompok
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

apabila sudah mulai mempertukarkan pesan dengan dosen atau


rekan mahasiswa yang lain.
2. Waktu. Kelompok mensyaratkan interaksi dalam jangka waktu
yang panjang, karena dengan interaksi ini akan dimiliki
karakteristik atau ciri yang tidak dipunyai oleh kumpulan yang
bersifat sementara, (sekumpulan orang yang berinteraksi untuk
jangka waktu yang singkat, tidak dapat digolongkan sebagai
kelompok).
3. Ukuran atau jumlah partisipan dalam komunikasi kelompok.
Tidak ada ukuran yang pasti mengenai jumlah anggota dalam
suatu kelompok. Ada yang memberi batas 3-8 orang, 3-15 orang
dan 3-20 orang. Untuk mengatasi perbedaan jumlah anggota
tersebut, namun muncul konsep yang dikenal dengan smallness,
yaitu kemampuan setiap anggota kelompok untuk dapat mengenal
dan memberi reaksi terhadap anggota lainnya dengan smallness
ini, kuantitas tidak dipersoalkan sepanjang setiap anggota mampu
mengenal dan memberi reaksi terhadap anggota lainnya atau
setiap anggota mampu melihat dan mendengar anggota yang lain,
seperti yang dikemukakan dalam definisi pertama.
4. Tujuan. Yang mengandung pengertian bahwa keanggotaan dalam
suatu kelompok akan membantu individu yang menjadi anggota
kelompok tersebut dapat mewujudkan satu atau lebih tujuan.

Fungsi Komunikasi Kelompok


Keberadaan suatu kelompok dalam masyarakat dicerminkan
oleh adanya fungsi-fungsi yang akan dilaksanakannya. Fungsi-fungsi
tersebut, antara lain:
1. Fungsi hubungan sosial. Bagaimana sebuah kelompok mampu
memelihara dan memantapkan hubungan sosial diantara para
anggotanya, seperti bagaimana suatu kelompok secara rutin
memberikan kesempatan kepada anggotanya untuk melakukan
aktivitas yang informal, santai dan menghibur.
2. Fungsi pendidikan. Bagaimana sebuah kelompok secara formal
maupun informal bekerja untuk mencapai dan mempertukarkan
pengetahuan. Fungsi pendidikan dalam kelompok akan sesuai
dengan yang diharapkan atau tidak bergantung pada tiga faktor,
yaitu jumlah informasi baru yang dikontribusikan, jumlah
partisipan dalam kelompok serta frekuensi interaksi diantara para
anggota kelompok. Fungsi pendidikan ini akansangat efektif jika

19
setiap anggota kelompok, membawa pengetahuan yang berguna
bagi kelompoknya.
3. Fungsi persuasi. Seorang anggota kelompok berupaya
mempersuasi anggota lainnya supaya melakukan atau tidak
melakukan sesuatu. Seseorang yang terlibat usaha-usaha persuasi
dalam suatu kelompok, membawa resiko untuk tidak diterima oleh
para anggota lainnya. Misalnya, jika usaha-usaha persuasif
tersebut terlalu bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku
dalam kelompok.
4. Fungsi Pemecahan masalah (problem solving) dan pembuatan
keputusan (decision making). Problem solving berkaitan dengan
penemuan alternatif atau solusi yang tidak diketahui sebelumnya;
sedangkan decision making berhubungan dengan pemilihan antara
dua atau lebih solusi. Jadi, pemecahan masalah menghasilkan
materi atau bahan untuk pembuatan keputusan.
5. Terapi. Kelompok terapi memiliki perbedaan dengan kelompok
lainnya, karena kelompok terapi tidak memiliki tujuan. Objek dari
kelompok terapi adalah membantu setiap individu mencapai
perubahan personalnya. Tentunya individu tersebut harus
berinteraksi dengan anggota kelompok lainnya guna mendapatkan
manfaat, namun usaha utamanya adalah membantu dirinya
sendiri, bukan membantu kelompok mencapai konsensus contoh
dari kelompok terapi ini adalah kelompok konsultasi perkawinan,
kelompok penderita narkotik, kelompok perokok berat dan
sebagainya. Tindak komunikasi dalam kelompok-kelompok terapi
dikenal dengan nama’pengungkapan diri’ (self disclosure).
Artinya dalam suasana yang mendukung setiap anggota
dianjurkan untuk berbicara secara terbuka tentang apa yang
menjadi permasalahannya, jika muncul konflik antar anggota
dalam diskusi yang dilakukan, orang yang menjadi pemimpin atau
yang memberi terapi yang akan mengaturnya.

Teori Komunikasi Kelompok


Kelompok merupakan bagian yang sangat penting dari
aktivitas suatu masyarakat. Clovis Sheperd menjelaskan, bahwa
kelompok merupakan suatu mekanisme mendasar dari sosialisasi dan
sumber utama dari tatanan sosial. Orang mendapatkan nilai dan sikap
mereka, sebagian besar dari kelompok di mana mereka berada.
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

Karenanya kelompok (kecil) memberikan suatu fungsi perantara yang


penting antara individu dengan masyarakat luas.

Beberapa perspektif teori komunikasi kelompok yang perlu dipahami


antara lain:

Teori Perbandingan Sosial


Teori perbandingan sosial mengemukakan bahwa tindak
komunikasi dalam kelompok berlangsung karena adanya kebutuhan-
kebutuhan dari individu untuk membandingkan sikap, pendapat dan
kemampuannya dengan individu-individu lainnya. Dalam pandangan
teori perbandingan sosial ini, tekanan seseorang untuk berkomunikasi
dengan anggota kelompok lainnya akan mengalami peningkatan, jika
muncul ketidaksetujuan yang berkaitan dengan suatu kejadian atau
peristiwa; kalau tingkat pentingnya peristiwa tersebut meningkat dan
apabila hubungan dalam kelompok (group cohesiveness) juga
menunjukkan peningkatan.
Setelah suatu keputusan kelompok dibuat, para anggota
kelompok akan saling berkomunikasi untuk mendapatkan informasi
yang mendukung atau membuat individu-individu dalam kelompok
lebih merasa senang dengan keputusan yang dibuat tersebut. Teori
perbandingan sosial diupayakan untuk dapat menjelaskan bagaimana
tindak komunikasi dari para anggota kelompok mengalami
peningkatan atau penurunan.

Teori Kepribadian Kelompok


Teori kepribadian kelompok merupakan studi mengenai
interaksi kelompok pada basis dimensi kelompok dan dinamika
kepribadian. Dimensi kelompok merujuk pada ciri-ciri populasi atau
karakteristik individu seperti umur, kecendekiawanan (intelingence),
sementara ciri-ciri kepribadian atau suatu efek yang kemungkinan
kelompok bertindak sebagai satu keseluruhan, merujuk pada peran-
peran spesifik, klik dan posisi satatus. Dinamika kepribadian diukur
oleh apa yang disebut dengan synergy, yaitu tingkat atau derajat dalam
kelompok untuk digunakan dalam melaksanakan tujuan-tujuan
kelompok. Banyak dari synergy atau energi kelompok yang harus
dicurahkan kearah pemeliharaan dan keterpaduan kelompok.
Konsep kunci dari group syntality theory ini adalah synergy
(sinergi). Sinergi kelompok adalah jumlah input energi dari anggota

21
kelompok. Meskipun demikian, tidak semua energi yang dimasukkan
ke dalam kelompok akan langsung mendukung pencapaian tujuannya.
Karena tuntutan antarpribadi, sejumlah energi dihabiskan untuk
memelihara hubungan dan kendala antarpribadi yang muncul.
Selain sinergi kelompok, kita mengenal pula ‘effective synergy’, yaitu
energi kelompok yang tersisa setelah dikurangi energi intrinsik atau
sinergi pemeliharaan kelompok. Energi intrinsik dapat menjadi
produktif, sejauh energi tersebut dapat membawa ke arah keterpaduan
kelompok, namun energi intrinsik tidak dapat memberikan kontribusi
langsung untuk penyelesaian tugas.
Sinergi suatu kelompok dihasilkan dari sikap anggotanya
terhadap kelompok. Sampai batas di mana para anggota memiliki
sikap yang berbeda terhadap kelompok dan kegiatannya, maka yang
muncul kemudian adalah konflik, sehingga akan meningkatkan
proporsi energi yang dibutuhkan untuk memelihara atau
mempertahankan kelangsungan kelompok. Jadi, jika individu-individu
semakin memiliki kesamaan sikap, maka akan semakin berkurang
pula kebutuhan sehingga effective synergy semakin menjadi besar.
Dalam contoh sederhana, kita akan mencoba melihat teori ini
dan penerapannya. Dalam suatu kegiatan untuk membentuk kelompok
belajar ditemukan bahwa individu-individu memilki sikap yang
berbeda-beda terhadap materi pembelajaran. Individu-individu
diharapakan pada suasana perdebatan untuk mengatasi munculnya
perbedaan sikap, sehingga banyak waktu yang dihabiskan. Inilah yang
disebut dengan energy intrinsik. Kemudian setelah nilai ujian
diumumkan dan para anggota merasa bahwa kelompok belajarnya
telah gagal untuk mencapai tujuan yang diharapkan, maka ada satu
atau lebih anggota menarik energinya keluar dari kelompok untuk
mengikuti kelompok lain atau belajar sendiri. Dalam hal ini, effective
synergy dari kelompok tersebut sangat rendah, sehingga tidak dapat
mencapai lebih dari apa yang dapat dilakukan secara individual.
Sebaliknya, jika salah seorang anggota masuk dalam kelompok belajar
yang lain.kelompok belajar tersebut dengan segera telah mencapai
kesepakatan mengenai bagaimana harus memulai dan segera bekerja.
Karena sangat sedikit bahkan tidak ada kendala antarpribadi yang
muncul, maka kelompok belajar tersebut menjadi padu sehingga
effective synergy-nya tinggi dan tentunya setiap anggota kelompok
akan lebih baik dalam melaksanakan ujian, daripada jika mereka
belajar sendiri-sendiri.
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

Teori Percakapan Kelompok


Teori percakapan kelompok ini sangat berkaitan dengan
produktivitas kelompok atau upaya-upaya untuk mencapainya melalui
pemeriksaan masukan dari anggota (memberinputs), variabel-variabel
yang perantara (mediating variables), dan keluaran dari kelompok
(group output). Masukan atau input yang berasal dari anggota
kelompok dapat diindetifikasikan sebagai perilaku, interaksi dan
harapan-harapan (expectations) yang bersifat individual. Sedangkan
variabel - variabel perantara merujuk pada struktur formal dan struktur
peran dari kelompok seperti status, norma dan tujuan-tujuan
kelompok. Dan yang dimaksud dengan keluaran atau output kelompok
adalah pencapaian atau prestasi dari tugas atau rujuan kelompok.
Produktivitas dari suatu kelompok dapat dijelaskan melalui
konsekuensi perilaku, interaksi dan harapan-harapan melalui struktur
kelompok. Dengan kata lain, perilaku, interaksi dan harapan-harapan
(input variables) mengarah pada struktur formal dan struktur peran
(mediating variables) yang sebaliknya variabel ini mengarah pada
produktivitas, semangat dan keterpaduan (group achievement).

Teori Pertukaran Sosial


Teori pertukaran sosial ini didasarkan pada pemikiran bahwa
seseorang dapat mencapai satu pengertian mengenai sifat kompleks
dari kelompok dengan mengkaji hubungan di antara dua orang
(dyadic relationship). Suatu kelompok dipertimbangkan untuk
menjadi sebuah kumpulan dari hubungan antara dua partisipan.
Perumusan tersebut mengasumsikan bahwa interaksi manusia
melibatkan pertukaran barang dan jasa, dan bahwa biaya (cost) dan
imbalan (reward) dipahami dalam situasi yang akan disajikan untuk
mendapatkan respons dari individu-individu selama interaksi sosial.
Jika imbalan dirasa tidak cukup atau lebih banyak dari biaya, maka
interaksi kelompok akan diakhiri, atau individu-individu yang terlibat
akan mengubah perilaku mereka untuk melindungi imbalan apapun
yang mereka cari.
Pendekatan pertukaran sosial ini penting karena berusaha
menjelaskan fenomena kelompok dalam lingkup konsep-konsep
ekonomi dan perilaku mengenai biaya dan imbalan.

23
Teori Sosiometrik
Sosiometrik merupakan sebuah konsepsi psikologis yang
mengacu pada suatu pendekatan metodologis dan teoretis terhadap
kelompok. Asumsi yang dimunculkan adalah bahwa individu-individu
dalam kelompok yang merasa tertarik satu sama lain, akan lebih
banyak melakukan tindak k omunikasi, sebaliknya individu-individu
yang saling menolak, hanya sedidkit atau kurang melaksanakan tindak
komunikasi.
Tataran abstraksi atau ketertarikan dan penolakan (repulsion)
dapat diukur melalui alat tes sosiometri, dimana setiap anggota
ditanyakan untuk memberi jenjang atau rangking terhadap anggota-
anggota lainnya dalam kerangka ketertarikan antarpribadi (impersonal
attractiveness) dan keefektifan tugas (task effectiveness). Dengan
menganalisis struktur kelompok melalui sosiometrik ini, seseorang
dapat menentukan bagaimana kelompok yang padu dan produktif
yang mungkin terjadi.

KOMUNIKASI ORGANISASI

Komunikasi organisasi adalah pengiriman dan penerimaan


berbagai pesan organisasi di dalam kelompok formal maupun informal
dari suatu organisasi (Wiryanto, 2005). Komunikasi formal adalah
komunikasi yang disetujui oleh organisasi itu sendiri dan sifatnya
berorientasi kepentingan organisasi. Isinya berupa cara kerja di dalam
organisasi, produktivitas, dan berbagai pekerjaan yang harus
dilakukan dalam organisasi. Misalnya: memo, kebijakan, pernyataan,
jumpa pers, dan surat-surat resmi. Adapun komunikasi informal
adalah komunikasi yang disetujui secara sosial. Orientasinya bukan
pada organisasi, tetapi lebih kepada anggotanya secara individual.
Komunikasi organisasi adalah komunikasi antar manusia yang
terjadi dalam konteks organisasi, terjadi jaringan pesan satu sama lain
yang bergantung satu sama lain. Menurut Pace & Feules, ada dua
perspektif utama yang akan mempengaruhi bagaimana komunikasi
organisasi didefinisikan, yaitu (1) perspektif objektif dan (2)
perspektif subjektif.
Perspektif objektif menekankan definisi komunikasi
organisasi sebagai pertunjukan dan penafsiran pesan diantara unit-unit
komunikasi yang merupakan bagian dari suatu organisasi tertentu.
Fokusnya adalah penanganan pesan, yakni menerima, menafsirkan,
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

dan bertindak berdasarkan informasi dalam suatu peristiwa


komunikasi organisasi. Komunikasi dipandang sebagai alat untuk
merekayasa atau mengkonstruksi organisasi yang memungkinkan
individu (anggota organisasi) beradaptasi dengan lingkungan
organisasi.
Perspektif subjektif mendefinisikan komunikasi organisasi
sebagai proses penciptaan makna atas interaksi diantara unit-unit
organisasi yang menciptakan, memelihara, dan mengubah organisasi.
Fokusnya adalah bagaimana individu anggota organisasi bertransaksi
dan kemudian memberi makna terhadap peristiwa komunikasi yang
terjadi. Dalam arti lain, bagaimana anggota organisasi berperilaku
akan bergantung kepada makna informasi itu bagi mereka.
Dengan demikian, definisi komunikasi organisasi baik dilihat
dari perspektif objektif maupun perspektif subjektif adalah sebagai
proses penciptaan dan penafsiran informasi diantara unit-unit
komunikasi sebagai bagian dari suatu organisasi secara keseluruhan.
Dalam konteks ini, komunikasi organisasi dipandang sebagai proses
mengumpulkan, memproses, menyimpan, dan menyebarkan informasi
di antara unit-unit organisasi yang memungkinkan sistem komunikasi
organisasi berfungsi secara efektif.

Berbagai Definisi Komunikasi Organisasi


1. Pace & Feules. Komunikasi organisasi dapat didefinisikan
sebagai penunjukan dan penafsiran suatu pesan di antara unit-unit
komunikasi yang merupakan bagian dari suatu organisasi tertentu.
2. Devito. Komunikasi organisasi merupakan pengiriman dan
penerimaan pesan baik dalam organisasi di dalam kelompok
formal maupun kelompok informal organisasi.
3. Wiryanto. Komunikasi organisasi adalah pengiriman dan
penerimaan berbagai pesan organisasi di dalam kelompok formal
maupun informal dari suatu organisasi. Komunikasi formal adalah
komunikasi yang disetujui oleh organisasi itu sendiri dan sifatnya
berorientasi kepentingan organisasi. Isinya berupa cara kerja di
dalam organisasi, produktivitas, dan berbagai pekerjaan yang
harus dilakukan dalam organisasi. Misalnya: memo, kebijakan,
pernyataan, jumpa pers, dan surat-surat resmi. Komunikasi
informal adalah komunikasi yang disetujui secara sosial.
Orientasinya bukan pada organisasi, tetapi lebih kepada
anggotanya secara individual.

25
4. Goldhaber. Komunikasi organisasi adalah proses menciptakan
dan saling menukar pesan dalam satu jaringan hubungan yang
saling tergantung satu sama lain untuk mengatasi lingkungan yang
tidak pasti atau yang selalu berubah-ubah. Definisi ini
mengandung tujuh konsep kunci yaitu proses, pesan, jaringan,
saling tergantung, hubungan, lingkungan, dan ketidakpastian.
5. Katz & Kahn. Komunikasi organisasi merupakan arus informasi,
pertukaran informasi, dan pemindahan arti di dalam ;suatu
organisasi.

Organisasi dan Komunikasi


Istilah organisasi berasal dari bahasa Latin organizare, yang
secara harafiah berarti paduan dari bagian-bagian yang satu sama
lainnya saling bergantung. Di antara para ahli ada yang menyebut
paduan itu sistem, ada juga yang menamakannya sarana. Everet
M.Rogers dalam bukunya Communication in Organization,
mendefinisikan organisasi sebagai suatu sistem yang mapan dari
mereka yang bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, melalui
jenjang kepangkatan, dan pembagian tugas.
Robert Bonnington dalam buku Modern Business: A Systems
Approach, mendefinisikan organisasi sebagai sarana dimana
manajemen mengoordinasikan sumber bahan dan sumber daya
manusia melalui pola struktur formal dari tugas-tugas dan wewenang.
Korelasi antara ilmu komunikasi dengan organisasi terletak
pada peninjauannya yang terfokus kepada manusia-manusia yang
terlibat dalam mencapai tujuan organisasi itu. Ilmu komunikasi
mempertanyakan bentuk komunikasi apa yang berlangsung dalam
organisasi, metode dan teknik apa yang dipergunakan, media apa yang
dipakai, bagaimana prosesnya, faktor-faktor apa yang menjadi
penghambat, dan sebagainya. Jawaban-jawaban bagi pertanyaan-
pertanyaan tersebut adalah untuk bahan telaah untuk selanjutnya
menyajikan suatu konsepsi komunikasi bagi suatu organisasi tertentu
berdasarkan jenis organisasi, sifat organisasi, dan lingkup organisasi
dengan memperhitungkan situasi tertentu pada saat komunikasi
dilancarkan.
Sendjaja (1994) menyatakan fungsi komunikasi dalam
organisasi adalah sebagai berikut:
1. Fungsi informatif. Organisasi dapat dipandang sebagai suatu
sistem pemrosesan informasi. Maksudnya, seluruh anggota dalam
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

suatu organisasi berharap dapat memperoleh informasi yang lebih


banyak, lebih baik dan tepat waktu. Informasi yang didapat
memungkinkan setiap anggota organisasi dapat melaksanakan
pekerjaannya secara lebih pasti. Orang-orang dalam tataran
manajemen membutuhkan informasi untuk membuat suatu
kebijakan organisasi ataupun guna mengatasi konflik yang terjadi
di dalam organisasi. Sedangkan karyawan (bawahan)
membutuhkan informasi untuk melaksanakan pekerjaan, di
samping itu juga informasi tentang jaminan keamanan, jaminan
sosial dan kesehatan, izin cuti, dan sebagainya.
2. Fungsi regulatif. Fungsi ini berkaitan dengan peraturan-peraturan
yang berlaku dalam suatu organisasi. Terdapat dua hal yang
berpengaruh terhadap fungsi regulatif, yaitu: a. Berkaitan dengan
orang-orang yang berada dalam tataran manajemen, yaitu mereka
yang memiliki kewenangan untuk mengendalikan semua
informasi yang disampaikan. Juga memberi perintah atau intruksi
supaya perintah-perintahnya dilaksanakan sebagaimana
semestinya. b. Berkaitan dengan pesan. Pesan-pesan regulatif
pada dasarnya berorientasi pada kerja. Artinya, bawahan
membutuhkan kepastian peraturan tentang pekerjaan yang boleh
dan tidak boleh untuk dilaksanakan.
3. Fungsi persuasif. Dalam mengatur suatu organisasi, kekuasaan
dan kewenangan tidak akan selalu membawa hasil sesuai dengan
yang diharapkan. Adanya kenyataan ini, maka banyak pimpinan
yang lebih suka untuk mempersuasi bawahannya daripada
memberi perintah. Sebab pekerjaan yang dilakukan secara
sukarela oleh karyawan akan menghasilkan kepedulian yang lebih
besar dibanding kalau pimpinan sering memperlihatkan kekuasaan
dan kewenangannya.
4. Fungsi integratif. Setiap organisasi berusaha untuk menyediakan
saluran yang memungkinkan karyawan dapat melaksanakan tugas
dan pekerjaan dengan baik. Ada dua saluran komunikasi yang
dapat mewujudkan hal tersebut, yaitu: a. Saluran komunikasi
formal seperti penerbitan khusus dalam organisasi tersebut
(buletin, newsletter) dan laporan kemajuan organisasi. b. Saluran
komunikasi informal seperti perbincangan antar pribadi selama
masa istirahat kerja, pertandingan olahraga, ataupun kegiatan
darmawisata. Pelaksanaan aktivitas ini akan menumbuhkan

27
keinginan untuk berpartisipasi yang lebih besar dalam diri
karyawan terhadap organisasi.
Griffin (2003) dalam A First Look at Communication Theory,
membahas komunikasi organisasi mengikuti teori management klasik,
yang menempatkan suatu bayaran pada daya produksi, presisi, dan
efisiensi. Adapun prinsip-prinsip dari teori management klasikal
adalah sebagai berikut:
1. kesatuan komando- suatu karyawan hanya menerima pesan dari
satu atasan.
2. rantai skalar-garis otoritas dari atasan ke bawahan, yang bergerak
dari atas sampai ke bawah untuk organisasi; rantai ini, yang
diakibatkan oleh prinsip kesatuan komando, harus digunakan
sebagai suatu saluran untuk pengambilan keputusan dan
komunikasi.
3. divisi pekerjaan-manegement perlu arahan untuk mencapai suatu
derajat tingkat spesialisasi yang dirancang untuk mencapai sasaran
organisasi dengan suatu cara efisien.
4. tanggung jawab dan otoritas-perhatian harus dibayarkan kepada
hak untuk memberi order dan ke ketaatan seksama; suatu
ketepatan keseimbangan antara tanggung jawab dan otoritas harus
dicapai.
5. disiplin-ketaatan, aplikasi, energi, perilaku, dan tanda rasa hormat
yang keluar seturut kebiasaan dan aturan disetujui.
6. mengebawahkan kepentingan individu dari kepentingan umum-
melalui contoh peneguhan, persetujuan adil, dan pengawasan
terus-menerus.
Selanjutnya, Griffin menyadur tiga pendekatan untuk
membahas komunikasi organisasi. Ketiga pendekatan itu adalah
sebagai berikut:
1. Pendekatan sistem. Karl Weick (pelopor pendekatan sistem
informasi) menganggap struktur hirarkhi, garis rantai komando
komunikasi, prosedur operasi standar merupakan mungsuh dari
inovasi. Ia melihat organisasi sebagai kehidupan organis yang
harus terus menerus beradaptasi kepada suatu perubahan
lingkungan dalam orde untuk mempertahankan hidup.
Pengorganisasian merupakan proses memahami informasi yang
samar-samar melalui pembuatan, pemilihan, dan penyimpanan
informasi. Weick meyakini organisasi akan bertahan dan tumbuh
subur hanya ketika anggota-anggotanya mengikutsertakan banyak
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

kebebasan (free-flowing) dan komunikasi interaktif. Untuk itu,


ketika dihadapkan pada situasi yang mengacaukan, manajer harus
bertumpu pada komunikasi dari pada aturan-aturan. Teori Weick
tentang pengorganisasian mempunyai arti penting dalam bidang
komunikasi karena ia menggunakan komunikasi sebagai basis
pengorganisasian manusia dan memberikan dasar logika untuk
memahami bagaimana orang berorganisasi. Menurutnya,
kegiatan-kegiatan pengorganisasian memenuhi fungsi
pengurangan ketidakpastian dari informasi yang diterima dari
lingkungan atau wilayah sekeliling. Ia menggunakan istilah
ketidakjelasan untuk mengatakan ketidakpastian, atau keruwetan,
kerancuan, dan kurangnya predictability. Semua informasi dari
lingkungan sedikit banyak sifatnya tidak jelas, dan aktivitas-
aktivitas pengorganisasian dirancang untuk mengurangi
ketidakpastian atau ketidakjelasan. Weick memandang
pengorganisasian sebagai proses evolusioner yang bersandar pada
sebuah rangkaian tiga proses: penentuan (enachment)à seleksi
(selection)à penyimpanan (retention). Penentuan adalah
pendefinisian situasi, atau mengumpulkan informasi yang tidak
jelas dari luar. Ini merupakan perhatian pada rangsangan dan
pengakuan bahwa ada ketidakjelasan. Seleksi, proses ini
memungkinkan kelompok untuk menerima aspek-aspek tertentu
dan menolak aspek-aspek lainnya dari informasi. Ini
mempersempit bidang, dengan menghilangkan alternatif-alternatif
yang tidak ingin dihadapi oleh organisasi. Proses ini akan
menghilangkan lebih banyak ketidakjelasan dari informasi awal.
Penyimpanan yaitu proses menyimpan aspek-aspek tertentu yang
akan digunakan pada masa mendatang. Informasi yang
dipertahankan diintegrasikan ke dalam kumpulan informasi yang
sudah ada yang menjadi dasar bagi beroperasinya organisasinya.
Setelah dilakukan penyimpanan, para anggota organisasi
menghadapi sebuah masalah pemilihan. Yaitu menjawab
pertanyaan-pertanyaan berkenaan dengan kebijakan organisasi.
Misal, ”haruskah kami mengambil tindakan berbeda dari apa yang
telah kami lakukan sebelumnya?” Sedemikian jauh, rangkuman
ini mungkin membuat anda mempercayai bahwa organisasi
bergerak dari proses pengorganisasian ke proses lain dengan cara
yang sudah tertentu: penentuan; seleksi; penyimpanan; dan
pemilihan. Bukan begitu halnya. Sub-subkelompok individual

29
dalam organisasi terus menerus melakukan kegiatan di dalam
proses-proses ini untuk menemukan aspek-aspek lainnya dari
lingkungan. Meskipun segmen-segmen tertentu dari organisasi
mungkin mengkhususkan pada satu atau lebih dari proses-proses
organisasi, hampir semua orang terlibat dalam setiap bagian setiap
saat. Pendek kata di dalam organisasi terdapat siklus perilaku.
Siklus perilaku adalah kumpulan-kumpulan perilaku yang saling
bersambungan yang memungkinkan kelompok untuk mencapai
pemahaman tentang pengertian-pengertian apa yang harus
dimasukkan dan apa yang ditolak. Di dalam siklus perilaku,
tindakan-tindakan anggota dikendalikan oleh aturan-aturan
berkumpul yang memandu pilihan-pilihan rutinitas yang
digunakan untuk menyelesaikan proses yang tengah dilaksanakan
(penentuan, seleksi, atau penyimpanan).
2. Pendekatan budaya. Asumsi interaksi simbolik mengatakan bahwa
manusia bertindak tentang sesuatu berdasarkan pada pemaknaan
yang mereka miliki tentang sesuatu itu. Mendapat dorongan besar
dari antropolog Clifford Geertz, ahli teori dan ethnografi, peneliti
budaya yang melihat makna bersama yang unik adalah ditentukan
organisasi. Organisasi dipandang sebagai budaya. Suatu
organisasi merupakan sebuah cara hidup (way of live) bagi para
anggotanya, membentuk sebuah realita bersama yang
membedakannya dari budaya-budaya lainnya. Pacanowsky dan
para teoris interpretatif lainnya menganggap bahwa budaya bukan
sesuatu yang dipunyai oleh sebuah organisasi, tetapi budaya
adalah sesuatu suatu organisasi. budaya organisasi dihasilkan
melalui interaksi dari anggota-anggotanya. Tindakan-tindakan
yang berorientasi tugas tidak hanya mencapai sasaran-sasaran
jangka pendek tetapi juga menciptakan atau memperkuat cara-cara
yang lain selain perilaku tugas ”resmi” dari para karyawan, karena
aktivitas-aktivitas sehari-hari yang paling membumi juga memberi
kontribusi bagi budaya tersebut. Pendekatan ini mengkaji cara
individu-individu menggunakan cerita-cerita, ritual, simbol-
simbol, dan tipe-tipe aktivitas lainnya untuk memproduksi dan
mereproduksi seperangkat pemahaman.
3. Pendekatan kritik. Stan Deetz, salah seorang penganut pendekatan
ini, menganggap bahwa kepentingan-kepentingan perusahaan
sudah mendominasi hampir semua aspek lainnya dalam
masyarakat, dan kehidupan kita banyak ditentukan oleh
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

keputusan-keputusan yang dibuat atas kepentingan pengaturan


organisasi-organisasi perusahaan, atau manajerialisme. Bahasa
adalah medium utama dimana realitas sosial diproduksi dan
direproduksi.Manajer dapat menciptakan kesehatan organisasi dan
nilai-nilai demokrasi dengan mengkoordinasikan partisipasi
stakeholder dalam keputusan-keputusan korporat.

Gaya Komunikasi Organisasi


Enam gaya komunikasi menurut Steward L.Tubbs dan Sylvia
Moss:
1. Gaya komunikasi mengendalikan
Gaya komunikasi mengendalikan (The Controlling Style) ditandai
dengan adanya satu kehendak atau maksud untuk membatasi,
memaksa dan mengatur perilaku, pikiran dan tanggapan orang
lain. Orang-orang yang menggunakan gaya komunikasi ini
dikenal dengan nama komunikator satu arah atau one-way
communications. Pihak - pihak yang memakai controlling style of
communication ini, lebih memusatkan perhatian kepada
pengiriman pesan dibanding upaya mereka untuk berharap pesan.
Mereka tidak mempunyai rasa ketertarikan dan perhatian untuk
berbagi pesan. Mereka tidak mempunyai rasa ketertarikan dan
perhatian pada umpan balik, kecuali jika umpan balik atau
feedback tersebut digunakan untuk kepentingan pribadi mereka.
Para komunikator satu arah tersebut tidak khawatir dengan
pandangan negatif orang lain, tetapi justru berusaha menggunakan
kewenangan dan kekuasaan untuk memaksa orang lain mematuhi
pandangan-pandangannya. Pesan-pesan yang berasal dari
komunikator satu arah ini, tidak berusaha ‘menjual’ gagasan agar
dibicarakan bersama namun lebih pada usaha menjelaskan kepada
orang lain apa yang dilakukannya. The controlling style of
communication ini sering dipakai untuk mempersuasi orang lain
supaya bekerja dan bertindak secara efektif, dan pada umumnya
dalam bentuk kritik. Namun demkian, gaya komunikasi yang
bersifat mengendalikan ini, tidak jarang bernada negatif sehingga
menyebabkan orang lain memberi respons atau tanggapan yang
negatif pula.
2. Gaya komunikasi dua arah
The Equalitarian Style. Aspek penting gaya komunikasi ini ialah
adanya landasan kesamaan. The equalitarian style of

31
communication ini ditandai dengan berlakunya arus penyebaran
pesan-pesan verbal secara lisan maupun tertulis yang bersifat dua
arah (two-way communication). Gaya komunikasi ini, tindak
komunikasi dilakukan secara terbuka. Artinya, setiap anggota
organisasi dapat mengungkapkan gagasan ataupun pendapat
dalam suasana yang rileks, santai dan informal. Dalam suasana
yang demikian, memungkinkan setiap anggota organisasi
mencapai kesepakatan dan pengertian bersama. Orang-orang yang
menggunakan gaya komunikasi yang bermakna kesamaan ini,
adalah orang-orang yang memiliki sikap kepedulian yang tinggi
serta kemampuan membina hubungan yang baik dengan orang
lain baik dalam konteks pribadi maupun dalam lingkup hubungan
kerja. The equalitarian style ini akan memudahkan tindak
komunikasi dalam organisasi, sebab gaya ini efektif dalam
memelihara empati dan kerja sama, khususnya dalam situasi untuk
mengambil keputusan terhadap suatu permasalahan yang
kompleks. Gaya komunikasi ini pula yang menjamin
berlangsungnya tindak berbagi informasi di antara para anggota
dalam suatu organisasi.
3. The Structuring Style
Gaya komunikasi yang berstruktur ini, memanfaatkan pesan-pesan
verbal secara tertulis maupun lisan guna memantapkan perintah
yang harus dilaksanakan, penjadwalan tugas dan pekerjaan serta
struktur organisasi. Pengirim pesan (sender) lebih memberi
perhatian kepada keinginan untuk mempengaruhi orang lain
dengan jalan berbagi informasi tentang tujuan organisasi, jadwal
kerja, aturan dan prosedur yang berlaku dalam organisasi tersebut.
Stogdill dan Coons dari The Bureau of Business Research of Ohio
State University, menemukan dimensi dari kepemimpinan yang
efektif, yang mereka beri nama Struktur Inisiasi atau Initiating
Structure. Stogdill dan Coons menjelaskan mereka bahwa
pemrakarsa (initiator) struktur yang efisien adalah orang-orang
yang mampu merencanakan pesan-pesan verbal guna lebih
memantapkan tujuan organisasi, kerangka penugasan dan
memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul.
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

4. The Dynamic style


Gaya komunikasi yang dinamis ini memiliki kecenderungan
agresif, karena pengirim pesan atau sender memahami bahwa
lingkungan pekerjaannya berorientasi pada tindakan (action-
oriented). The dynamic style of communication ini sering dipakai
oleh para juru kampanye ataupun supervisor yang membawa para
wiraniaga (salesmen atau saleswomen). Tujuan utama gaya
komunikasi yang agresif ini adalah mestimulasi atau merangsang
pekerja/karyawan untuk bekerja dengan lebih cepat dan lebih
baik. Gaya komunikasi ini cukup efektif digunakan dalam
mengatasi persoalan-persoalan yang bersifat kritis, namun dengan
persyaratan bahwa karyawan atau bawahan mempunyai
kemampuan yang cukup untuk mengatasi masalah yang kritis
tersebut.
5. The Relinguishing Style
Gaya komunikasi ini lebih mencerminkan kesediaan untuk
menerima saran, pendapat ataupun gagasan orang lain, daripada
keinginan untuk memberi perintah, meskipun pengirim pesan
(sender) mempunyai hak untuk memberi perintah dan mengontrol
orang lain. Pesan-pesan dalam gaya komunikasi ini akan efektif
ketika pengirim pesan atau sender sedang bekerja sama dengan
orang-orang yang berpengetahuan luas, berpengalaman, teliti serta
bersedia untuk bertanggung jawab atas semua tugas atau
pekerjaan yang dibebankannya.
6. The Withdrawal Style
Akibat yang muncul jika gaya ini digunakan adalah melemahnya
tindak komunikasi, artinya tidak ada keinginan dari orang-orang
yang memakai gaya ini untuk berkomunikasi dengan orang lain,
karena ada beberapa persoalan ataupun kesulitan antarpribadi
yang dihadapi oleh orang-orang tersebut. Dalam deskripsi yang
kongkrit adalah ketika seseorang mengatakan: “Saya tidak ingin
dilibatkan dalam persoalan ini”. Pernyataan ini bermakna bahwa
ia mencoba melepaskan diri dari tanggung jawab, tetapi juga
mengindikasikan suatu keinginan untuk menghindari
berkomunikasi dengan orang lain. Oleh karena itu, gaya ini tidak
layak dipakai dalam konteks komunikasi organisasi. Berikut ini
adalah tabel mengenai gaya komunikasi.

33
Proses Komunikasi Organisasi
Pertukaran gagasan di antara para administrator dan karyawan
dalam suatu perusahaan, dalam struktur lengkap yang khas disertai
pertukaran gagasan secara horisontal dan vertikal di dalam
perusahaan, sehingga pekerjaan dapat berjalan, sangat dipengaruhi
oleh dimensi komunikasi organisasi, yakni:
1. Downward communication Yaitu komunikasi yang berlangsung
ketika orang-orang yang berada pada tataran manajemen
mengirimkan pesan kepada bawahannya. Fungsi arus komunikasi
dari atas ke bawah ini adalah: a) Pemberian atau penyimpanan
instruksi kerja (job instruction) b) Penjelasan dari pimpinan
tentang mengapa suatu tugas perlu untuk dilaksanakan (job
retionnale) c) Penyampaian informasi mengenai peraturan-
peraturan yang berlaku (procedures and practices) d) Pemberian
motivasi kepada karyawan untuk bekerja lebih baik. Ada 4
metode dalam penyampaian informasi kepada para pegawai
menurut Level (1972): 1. Metode tulisan 2. Metode lisan
3. Metode tulisan diikuti lisan 4. Metode lisan diikuti tulisan.
2. Upward communication Yaitu komunikasi yang terjadi ketika
bawahan (subordinate) mengirim pesan kepada atasannya. Fungsi
arus komunikasi dari bawah ke atas ini adalah: a) Penyampaian
informai tentang pekerjaan pekerjaan ataupun tugas yang sudah
dilaksanakan b) Penyampaian informasi tentang persoalan-
persoalan pekerjaan ataupun tugas yang tidak dapat diselesaikan
oleh bawahan c) Penyampaian saran-saran perbaikan dari
bawahan d) Penyampaian keluhan dari bawahan tentang dirinya
sendiri maupun pekerjaannya. Komunikasi ke atas menjadi terlalu
rumit dan menyita waktu dan mungkin hanya segelintir kecil
manajer organisasi yang mengetahui bagaimana cara memperoleh
informasi dari bawah. Sharma (1979) mengemukakan 4 alasan
mengapa komunikasi ke atas terlihat amat sulit: 1. Kecenderungan
bagi pegawai untuk menyembunyikan pikiran mereka 2. Perasaan
bahwa atasan mereka tidak tertarik kepada masalah yang dialami
pegawai 3. Kurangnya penghargaan bagi komunikasi ke atas yang
dilakukan pegawai 4. Perasaan bahwa atasan tidak dapat
dihubungi dan tidak tanggap pada apa yang disampaikan pegawai.
3. Horizontal communication Yaitu komunikasi yang berlangsung
di antara para karyawan ataupun bagian yang memiliki kedudukan
yang setara. Fungsi arus komunikasi horisontal ini adalah:
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

a) Memperbaiki koordinasi tugas b) Upaya pemecahan masalah


c) Saling berbagi informasi d) Upaya pemecahan konflik
e) Membina hubungan melalui kegiatan bersama.
4. Interline communication Yaitu tindak komunikasi untuk berbagi
informasi melewati batas-batas fungsional. Spesialis staf biasanya
paling aktif dalam komunikasi lintas-saluran ini karena biasanya
tanggung jawab mereka berhubungan dengan jabatan fungsional.
Karena terdapat banyak komunikasi lintas-saluran yang dilakukan
spesialis staf dan orang-orang lainnya yang perlu berhubungan
dalam rantai-rantai perintah lain, diperlukan kebijakan organisasi
untuk membimbing komunikasi lintas-saluran. Ada dua kondisi
yang harus dipenuhi dalam menggunakan komunikasi lintas-
saluran: 1. Setiap pegawai yang ingin berkomunikasi melintas
saluran harus meminta izin terlebih dahulu dari atasannya
langsung 2. Setiap pegawai yang terlibat dalam komunikasi lintas-
saluran harus memberitahukan hasil komunikasinya kepada
atasannya.

KOMUNIKASI MASSA

Komunikasi massa adalah salah satu konteks komunikasi


antar-manusia yang sangat besar peranannya dalam perubahan sosial
masyarakat. Komunikasi massa adalah salah satu konteks komunikasi
yang memanfaatkan media (massa) sebagai alat komunikasi.
Komunikasi massa tidak dapat dilepaskan dari media massa
dan massa sebagai kumpulan masyarakat yang jumlahnya banyak.
Oleh karena itulah, peran media massa sebagai penyalur pesan dan
informasi menjadi objek kajian yang tak terhindarkan. Komunikasi
massa melibatkan jumlah komunikan yang banyak, tersebar dalam
area geografis yang luas, namun punya perhatian dan minat terhadap
isu yang sama. Oleh karena itu, agar pesan dapat diterima serentak
pada waktu yang sama, digunakan media massa, seperti surat kabar,
majalah, radio, atau televisi.
Dalam tataran komunikasi ini, komunikator dan komunikan
serta antarkomunikan relatif tidak saling kenal secara pribadi, anonim,
dan sangat heterogen. Komunikator dapat berbentuk organisasi
(misalnya, tim redaksi media atau lembaga swadaya masyarakat yang

35
menyatakan protes terhadap sesuatu). Pesan-pesan yang disampaikan
bersifat umum, disampaikan secara serentak dan sangat terstruktur.
Komunikasi massa (mass communication). Komunikasi massa
dapat didefinisikan sebagai suatu jenis komunikasi yang ditujukan
kepada sejumlah audien yang tersebar, heterogen, dan anonim melalui
media massa cetak atau elektrolik sehingga pesan yang sama dapat
diterima secara serentak dan sesaat. Kemudian Mulyana (2005:74)
juga menambahkan konteks komunikasi publik. Pengertian
komunikasi publik adalah komunikasi antara seorang pembicara
dengan sejumlah besar orang (khalayak). Yang tidak bisa dikenali satu
persatu. Komunikasi demikian sering juga disebut pidato, ceramah
atau kuliah (umum). Beberapa pakar komunikasi menggunakan istilah
komunikasi kelompok besar (Large Mass Communication) untuk jenis
komunikasi ini.
Komunikasi massa adalah proses di mana informasi
diciptakan dan disebarkan oleh organisasi untuk dikonsumsi oleh
khalayak (Ruben, 1992).
Komunikasi massa adalah pesan-pesan yang dikomunikasikan
melalui media massa pada sejumlah orang. (Bittner, 1980) .
Komunikasi massa adalah suatu proses dalam mana komunikator-
komunikator menggunakan media untuk menyebarkan pesan-pesan
secara luas, dan secara terus menerus menciptakan makna-makna
yang diharapkan dapat mempengaruhi khalayak yang besar dan
berbeda-beda dengan melalui berbagai cara. (DeFleur dan Denis,
1985).
Dari ketiga defenisi di atas dapat disarikan beberapa unsur
yang terlibat dalam komunikasi massa.
1. Sumber
2. Khalayak
3. Pesan
4. Proses
5. Konteks
6. Media

Karakter Komunikasi Massa


1. Ditujukan pada khalayak yang luas, heterogen, anonim, tersebar
dan tidak mengenal batas geografis-kultural.
2. Bersifat umum, bukan perorangan atau pribadi. Kegiatan
penciptaan pesan melilbatkan orang banyak dan terorganisasi.
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

3. Pola penyampaian bersifat cepat dan tidak terkendala oleh waktu


dalam menjangkau khalayak yang luas.
4. Penyampaian pesan cenderung satu arah.
5. Kegiatan komunikasi terencana, terjadwal dan terorganisasi.
6. Penyampaian pesan bersifat berkala, tidak bersifat temporer.
7. Isi pesan mencakup berbagai aspek kehidupan manusia (ekonomi,
sosial, budaya, politik dll)
Memahami komunikasi massa tidak akan terlepas dari media
massa, karena objek kajian terbesar adalah pada peran dan pengaruh
yang dimainkan media massa. Di bawah ini akan diuraikan faktor-
faktor yang mendasar dari media massa:
1. Media massa merupakan industri yang berubah dan berkembang
yang menciptakan lapangan kerja, barang dan jasa serta
menghidupkan industri lain yang terkait. Media juga merupakan
industri sendiri yang memiliki peraturan dan norma-norma yang
menghubungkan institusi tersebut dengan masyarakat dan institusi
sosial lainnya. Di lain pihak, institusi media di atur oleh
masyarakat.
2. Media massa merupakan sumber kekuatan- alat kontrol,
manajemen, inovasi dalam masyarakat yang dapat didayagunakan
sebagai penganti kekuatan atau sumber daya lainnya.
3. Media merupakan forum atau agen yang semakin berperan untuk
menampilkan peristiwa-peristiwa kehidupan masyarakat, baik
yang bertaraf nasional maupun internasional.
4. Media seringkali berperan sebagai wahana pengembangan
kebudayaan, bukan saja dalam pengertian pengembangan bentuk
seni dan simbol tetapi juga dalam pengertian pengembangan tata
cara, mode, gaya hidup dan norma-norma.
5. Media telah menjadi sumber dominan bukan saja bagi individu
untuk memperoleh gambaran dan citra realitas sosial, tetapi juga
bagi masyarakat dan kelompok secara kolektif. Media
menyuguhkan nilai-nilai dan penilaian normatif yang dibaurkan
dengan berita dan hiburan.

Teori-Teori Komunikasi Massa

Formula Lasswell.
Seorang ahli ilmu politik Amerika Serikat pada tahun 1948
mengemukakan suatu ungkapan yang sangat terkenal dalam teori dan

37
penelitian komunikasi massa. Ungkapan yang merupakan cara
sederhana untuk memahami proses komunikasi massa adalah dengan
menjawab pertanyaan sebagai berikut:

Siapa (Who)
Berkata apa (Says what)
Melalui saluran apa (In which Channel)
Kepada siapa (To Whom)
Dengan efek apa (With what Effect)

Ungkapan dalam bentuk pertanyaan yang dikenal sebagai


Formula Lasswell ini, meskipun sangat sederhana atau terlalu
menyederhanakan suatu fenomena komunikasi massa, telah
membantu mengorganisasikan dan memberikan struktur pada kajian
terhadap komunikasi massa. Selain dapat menggambarkan komponen-
komponen dalam proses komunikasi massa, Lasswell sendiri
menggunakan formula ini untuk membedakan berbagai jenis
penelitian komunikasi.

Lasswell Model
(Komunikasi Proses Linier dan Searah)

Pendekatan Transmisional
Teori-teori yang termasuk dalam pendekatan transmisional
pada dasarnya menjelaskan sutau proses komunikasi dengan melihat
komponen-komponen yang terkandung didalamnya dan rangkaian
aktivitas yang terjadi antara satu komponen dengan komponen lainnya
(terutama mengalirnya pesan/informasi). Teori tentang transmisi
pesan ini pertama kali dikemukakan oleh seorang ahli matematika,
Claude Shannon pada akhir tahun 1940-an. Shannon yang bekerja
pada biro penelitian perusahaan telepon Bell, menerapkan
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

pemikirannya terutama untuk penelitian kepentingan telekomunikasi.


Dia berangkat dari sejumlah pertanyaan yang menyangkut jenis
saluran komunikasi apa yang dapat mengangkut muatan sinyal secara
maksimum? Berapa banyak muatan sinyal yang ditransmsikan akan
rusak oleh gangguan yang mungkin muncul dalam perjalanannya
menuju penerima sinyal?
Pertanyaan ini pada dasarnya menyangkut bidang teori
informasi. Meskipun demikian, teori yang dikembangan Shannon
bersama rekan kerjanya Warren Weaver, dalam suatu bentuk model,
telah digunakan sebagai analogi oleh berbagai ilmuwan sosial. Walau
prinsip teknologis pasti berbeda dari proses komunikasi manusia,
namun teori Shannon-Weaver telah menadi ide dasar bagi banyak
teori komunikasi (massa) di kemudian hari.
Komunikasi digambarkan sebagai suatu proses yang linier dan
searah. Yaitu proses di mana pesan diibaratkan mengalir dari sumber
dengan melalui beberapa komponen menuju kepada tujuan
(komunikan). Terdapat lima fungsi yang beroperasi dalam proses
komunikasi di samping satu faktor disfungsional yaitu noise atau
ganguan. Model yang mereka ciptakan adalah sebagai berikut:

Model Komunikasi Proses Linier dan Searah

Pesan Pesan
Sinyal Sinyal
Sumber Penerima Tujuan
Transmiter
Informasi

Sumber
gangguan

Pada dasarnya prinsip proses ini adalah seperti bekerjanya


proses penyiaran radio. Pada bagian pertama dari proses adalah
sumber informasi yang menciptakan pesan atau rangkaian pesan untuk
dikomunikasikan. Pada tahap berikutnya adalah pesan diubah ke
dalam bentuk sinyal oleh trasmiter sehingga dapat diteruskan melalui
saluran pada penerima. Penerima lalu menyusun kembali sinyal

39
menjadi pesan sehingga dapat mencapai tujuan. Sementara itu sinyal
dalamperjalanannya memiliki potensi untuk terganggu oleh berbagai
sumber gangguan yang muncul. Misalnya, ketika terdapat terlalu
banyak sinyal dalam saluran yang sama dan pada saat yang bersamaan
pula. Hal ini akan mengakibatkan adanya perbedaan antara sinyal
yang ditrasmisikan dan sinyal yang diterima. Dengan demikian dapat
diartikan bahwa pesan yang dibuat oleh sumber dan kemudian disusun
kembali oleh penerima hingga mencapai tujuan, tidak selalu memiliki
makna yang sama.
Ketidakmampuan komunikator untuk menyadari bahwa suatu
pesan yang dikirimkan tidak selalu diterima dengan pengertian yang
sama, adalah merupakan penyebab bagi kegagalan komunikasi.

Model Pengembangan DeFleur

Media
Massa

Sumber Transmite Saluran Penerima Tujuan


r

Gangguan

Tujuan Penerima Saluran Transmite Sumber


r

Perangkat Umpan
Balik
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

Dari model yang dikemukakan Shannon & Weaver ini,


Melvin DeFleur (1966) dalam bukunya Theories of Mass
Communication, mengembangkan dan mengaplikasikannya ke dalam
teori komunikasi massa. Dalam kaitannya dengan makna dari pesan
yang diciptakan dan diterima, dia mengemukakan bahwa dalam proses
komunikasi ‘makna’ diubah menjadi pesan yang lalu diubah lagi oleh
transmiter menjadi informasi, dan kemudian disampaikan melalui
suatu saluran (misalnya media massa). Informasi diterima sebagai
pesan, lalu diubah menjadi ‘makna’ tersebut, maka hasilnya adalah
komuniaksi. Namun, seperti dikemukakan sendiri DeFleur, jarang
sekali korespondensi yang sempurna. Artinya, dengan toleransi
tertentu, komunikasi masih dapat terjadi meskipun terdapat juga
’sejumlah’ perbedaan makna. DeFleur menambahkan beberapa
komponen dalam bagan Shannon Weaver untuk menggambarkan
bagaimana sumber/komunikator mendapatkan umpan balik atau
feedback, yang memberikan kemungkinan kepada komunikator untuk
dapat lebih efektif mengadaptasikan komunikasinya. Dengan
demikian, kemungkinan untuk mencapai korespondensi/kesamaan
makna akan meningkat.
Bagan Shannon-Weaver, walaupun berkesan linier dan tanpa
umpan balik, ternyata telah meletakkan dasar bagi pengembangannya
oleh DeFleur. Bagan DeFleur di atas telah memberikan gambaran
yang lebih lengkap tentang fenomena komunikasi massa. Meskipun
demikian, dalam hal komunikasi massa, sumber/komunikator
biasanya memperoleh umpan balik yang sangat teratas dari
audiencenya.

Pendekatan Psikologi-Sosial
X
Hubungan Antara Elemen-Elemen (Koorientasi)
X
X

ISSUES

ELITE PUBLIC
41

MEDIA
Bagan di atas menggambarkan bahwa ‘elite’ biasanya
diartikan sebagi kekuatan politik yang ada dalam masyarakat.
“Peristiwa” atau topik/isu adalah perbincangan/perdebatan mengenai
suatu kejadian yang terjadi dalam masyarakat, di mana dari sini akan
muncul berbagai informasi (seperti digambarkan dengan deretan X).
Publik adalah kelompok/komunitas dalam masyarakat yang
berkompeten dengan peristiwa yang diinformasikan dan sekaligus
sebagai audience dari media. Sementara itu media mengacu pada
unsur-unsur yang ada di dalam media, seperti wartawan, editor,
reporter, dan sebagainya. Garis yang menghubungkan berbagai
elemen tersebut memiliki sejumlah interpretasi. Dapat berupa
hubungan, sikap, ataupun persepsi. Demikian pula arah dari garis
tersebut dapat dianggap sebagai komunikasi searah ataupun dua arah.
Teori ini menjelaskan bahwa informasi mengenai suatu
peristiwa dicari dari, atau didapat oleh, anggota masyarakat dengan
mengacu pada pengalaman pribadi, sumber dari kalangan elite, media
massa, atau kombinasi ketiganya. Relevansi dari teori ini terletak pada
situasi yang dinamis yang dihasilkan oleh hubungan antara publik dan
kekuatan politik (elite) tertentu, pada sikap publik terhadap media, dan
pada hubungan antara elite dan media. Perbedaan atau pertentangan
antara publik dan elite dalam mempersepsi suatu peristiwa akan
membawa pada upaya mencari informasi dari media massa dan
sumber-sumber informasi lainnya. Perbedaan ini dapat pula membawa
ke arah upaya elite untuk memanipulasi persepsi publik dengan secara
langsung mencampuri peristiwa tersebut atau dengan cara
mengendalikan media massa.
Kerangka acuan yang digunakan teori ini dapat diperluas
dengan melibatkan sejumlah variabel dari elemen-elemen utama teori
ini (publik, elite, media dan peristiwa). Jadi kita dapat membedakan
peristiwa berdasarkan relevansinya, nilai pentingnya, aktualitasya,
atau tingkat kontroversinya. Kita dapat menggolongkan publik atas
segmen atau sektor, memberikan kategori atas sumber-sumber
informasi dalam elite berdasarkan posisi mereka dalam struktur sosial
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

masyarakat. Sebagai ilustrasi, penelitian mengenai penggunaan media


massa dan pendapat umum yang dilakukan oleh Tichenor (1973)
membuktikan bahwa prakiraan atas suatu peristiwa yang dianggap
kotroversial akan membuat publik untuk lebih mencermati informasi
dari media massa mengenai peristiwa tersebut.
Riley and Riley menunjuk pada peran primary group dan
reference group dalam proses komunikasi. Primary group ditandai
dengan hubungan yang intim antar anggotanya, misalnya keluarga.
Sedangkan reference group adalah kelompok dimana seseorang
belajar untuk mengenal sikap, nilai, dan perilakunya. Dalam banyak
hal primary group acapkali berfungsi pula sebagai refence group.
Sebagai komunikator atau penerima pesan, individu dipengaruhi oleh
primary group. Dalam kapasitasnya sebagai komunikator, individu
mungkin terpengaruh dalam memilih dan membentuk pesannya,
mempersepsi pesan, dan menanggapi pesan. Pada sisi lain, primary
group juga terpengaruh sebagian oleh interaksi dengan primery group
lainnya; dan sebagian lagi oleh struktur sosial yang lebih luas, yang
juga secara langsung dapat mempengaruhi individu. Struktur social
yang lebih luas ini seringkali dikenal pula sebagai secondary group,
seperti misalnya organisasi politik, perusahaan, atau serikat pekerja.
Di mana seperti halnya primary group, telah memperkenalkan norma
dan menjadi panutan dalam berperilaku. Mereka menjelaskan teorinya
dalam bagan sebagai berikut:

Primary Group dalam Komunikasi

Primary Primary
Pesan
group group

Primary K P Primary
Pesan
group group

Struktur Sosial Struktur Sosial


yang lebih luas yang lebih luas
Pesan

Keseluruahan Sistem Sosial 43


Komunikator dan penerima digambarkan sebagai elemen dari
dua struktur yang lebih besar yang saling terkait, misalnya melalui
mekanisme umpan balik. Dalam lingkup yang lebih luas mereka
meletakkan sistem komunikasi dalam suatu keseluruhan sistem sosial;
dalam masyarakat dimana orang-orang yang terlibat dalam
komunikasi berinteraksi dengan berbagai kelompok di sekelilingnya
dan struktur sosial yang lebih luas. Jadi, proses komunikasi massa
mempengaruhi dan dipengaruhi oleh proses sosial yang lebih luas
tersebut.

Teori-Teori Komunikasi Massa dan Individu

Stimulus Respons
Prinsip stimulus-respons pada dasarnya merupakan suatu
prinsip belajar yang sederhana, di mana efek merupakan reaksi
terhadap stimuli tertentu. Elemen-elemen utama dari teori ini adalah
(a) pesan (stimulus); (b) seorang penerima atau receiver (organisme);
dan (c) efek (respons).
Prinsip stimulus-respons ini merupakan dasar dari teori jarum
hipodermik, teori klasik mengenai proses terjadinya efek media massa
yang sangat berpengaruh. Dalam teori ini isi media dipandang sebagai
obat yang disuntikan kedalam pebuluh darah audience, yang
kemudian diasumsikan akan bereaksi seperti yang diharapkan. Dibalik
konsepsi ini sesungguhnya terdapat dua pemikiran yang
mendasarinya.
1. Gambaran mengenai suatu masyarakat modern yang merupakan
agregasi dari individu-individu yang relatif terisolasi (atomized)
yang bertindak berdasarkan kepentingan pribadinya yang tidak
terlalu terpengaruh oleh kendala dan ikatan sosial.
2. Suatu pandangan yang dominan mengenai media massa yang
seolah-olah sedang melakukan kampanye untuk memobilisasi
perilaku sesuai dengan tujuan dari berbagai kekuatan yang ada
dalam masyarakat (biro, iklan, pemerintah, parpol, dan
sebagainya).
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

Pada tahun 1970 Melvin DeFleur melakukan modifikasi


terhadap teori stimulus-respons dengan teorinya yang dikenal sebagai
perbedaan individu. Dalam komunikasi massa (individual
differences). Di sini diasumsikan bahwa pesan-pesan media berisi
stimulus tertentu yang berinteraksi secara berbeda-beda dengan
karakteristik pribadi dari para anggota audience. Teori DeFleur ini
secara eksplisit telah mengakui adanya intervensi variabel-variabel
psikologis yang berinteraksi dengan terpaan media massa dalam
menghasilkan efek.
Berangkat dari teori perbedaan individu dan stimulus-respons
ini, DeFleur mengembangkan model psikodinamik yang didasari pada
keyakinan bahwa kunci dari persuasi yang efektif terletak pada
modifikasi struktur psikologis internal dari individu. Melalui
modifikasi inilah respons tertentu yang diharapkan muncul dalam
perilaku individu akan tercapai. Esensi dari model ini adalah fokusnya
pada variabel-variabel yang berhubungan individu sebagai penerima
pesan, suatu kelanjutan dari asumsi sebab-akibat, dan mendasarkan
pada perubahan sikap sebagai ukuran bagi perubahan perilaku.

Komunikasi Dua Tahap dan Pengaruh Antarpribadi.


Teori ini berawal dari hasil penelitian yang dilakukan oleh
Paul Lazarsfeld dan kawan-kawannya mengenai efek media massa
dalam suatu kampanye pemilihan Presiden Amerika Serikat pada
tahun 1940. Studi tersebut dilakukan dengan asumsi bahwa stimulus
respons bekerja dalam menghasilkan efek media massa. Namun hasil
penelitian menunjukkan sebaliknya. Efek media massa ternyata
rendah dan asumsi stimulus-respons tidak cukup menggambarkan
realitas audience media massa dalam penyebaran arus informasi dan
pembentukan pendapat umum.
Dalam analisis terhadap hasil penelitian tersebut, Lazarsfeld
kemudian mengajukan gagasan mengenai ‘komunikasi dua tahap’
(two step flow) dan konsep ‘pemuka pendapat’. Temuan mereka
mengenai kegagalan media massa dibandingkan dengan pengaruh
kontak antarpribadi telah membawa kepada gagasan ‘bahwa’
seringkali informasi mengalir dari radio dan surat kabar kepada para
pemuka pendapat, dan dari mereka kepada orang-orang lain yang
kurang aktif dalam ‘masyarakat’. Pemikiran ini kemudian di lanjutkan
dengan penelitian yang lebih serius dan re-evaluasi terhadap teori
stimulus-respons dalam konteks media massa.

45
Teori dalam penelitian-penelitian komunikasi dua tahap
memiliki asumsi-asumsi sebagai berikut :
1. Individu tidak terisolasi dari kehidupan sosial, tetapi merupakan
anggota dari kelompok-kelompok sosial dalam berinteraksi
dengan orang lain.
2. Respons dan reaksi terhadap pesan dari media tidak akan terjadi
secara langsung dan segera, tetapi melalui perantaraan dan
dipengaruhi oleh hubungan-hubungan sosial tersebut.
3. Ada dua proses yang berlangsung, yang pertama mengenai
penerimaan dan perhatian dan kedua berkaitan dengan respons
dalam bentuk persetujuan atau penolakan terhadap upaya
mempengaruhi atau penyampaian informasi.
4. Individu tidak bersikap sama terhadap pesan/kampanye media,
melainkan memiliki berbagai peran yang berbeda dalam proses
komunikasi, dan khususnya dapat dibagi atas mereka yang secara
aktif menerima dan meneruskan atau menyebarkan gagasan dari
media, dan mereka yang semata-mata hanya mengandalkan
hubungan personal dengan orang lain sebagai panutannya.
5. Individu-individu yang berperan lebih aktif (pemuka pendapat)
ditandai oleh penggunaan media massa yang lebih besar, tingkat
pergaulan yang lebih tinggi, anggapan bahwa dirinya berpengaruh
terhadap orang-orang lain, dan memiliki peran sebagai sumber
informasi dan panutan.
Secara garis besar, menurut teori ini media massa tidak
bekerja dalam suatu situasi kevakuman sosial, tetapi memiliki suatu
akses ke dalam jaringan hubungan sosial ang sangat kompleks, dan
bersaing dengan sumber-sumber gagasan, pengetahuan, dan
kekuasaan, yang lainnya.

Difusi Inovasi
Teori ini pada prinsipnya adalah komunikasi dua tahap, jadi di
dalam dikenal pula adanya pemuka pendapat atau yang disebut juga
dengan istilah agen perubahan. Oleh karenanya teori ini sangat
menekankan pada sumber-sumber non-media (sumber personal,
misalnya tetangga, teman, ahli, dan sebagainya), dan biasanya
mengenai gagasan-gagasan baru yang dikampanyekan untuk
mengubah perilaku melalui penyebaran informasi dan upaya melalui
penyebaran informasi dan upaya mempengaruhi motivasi dan sikap.
Everett M. Rogers dan Floyd C. Shoemaker (1973) merumuskan
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

kembali teori ini dengan memberikan asumsi bahwa sedikitnya ada 4


tahap dalam suatu proses difusi inovasi, yaitu:
1. Pengetahuan. Kesadaran individu akan adanya inovasi dan adanya
pemahaman tertentu tentang bagaimana inovasi tersebut
berfungsi.
2. Persuasi. Individu membentuk atau memiliki sikap yang
menyetujui atau tidak menyetujui inovasi tersebut.
3. Keputusan. Individu terlibat dalam aktivitas yang membawa pada
suatu pilihan untuk mengadopsi atau menolak inovasi.
4. Konfirmasi. Individu akan mencari pendapat yang menguatkan
keputusan yang telah diambilnya, namun dia dapat berubah dari
keputusan yang telah diambil sebelumnya jika pesan-pesan
mengenai inovasi yang diterimanya berlawanan satu dengan
lainnya.
Teori ini mencakup sejumlah gagasan mengenai prosesi difusi
inovasi sebagai berikut:
1. Pertama, teori ini membedakan tiga tahapan utama dari
keseluruhan proses ke dalam tahap anteseden, dan konsekuensi.
Tahapan yang pertama mengacu kepada situasi atau karakteristik
dari orang yang terlibat yang memungkinkannya untuk diterpa
informasi tentang suatu inovasi dan relevansi informasi tersebut
terhadap kebutuhan-kebutuhannya. Misalnya, adopsi inovasi
biasanya lebih mudah terjadi pada mereka yang terbuka pada
perubahan, menghargai kebutuhan akan informasi, dan selalu
mencari informasi baru. Tahapan kedua berkaitan dengan proses
mempelajari, perubahan sikap dan keputusan. Di sini nilai inovasi
yang dirasakan akan memainkan peran penting, demikian pula
dengan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam sistem
sosialnya. Jadi, kadangkala peralatan yang secara teknis dapat
bermanfaat, tidak diterima oleh suatu masyarakat karena alasan-
alasan moral atau kultural, atau dianggap membahayakan struktur
hubungan sosial yang telah ada. Tahapan konsekuensi dari
aktivitas difusi terutama mengacu pada keadaan selanjutnya jika
terjadi adopsi inovasi. Keadaan tersebut dapat berupa terus
menerima dan menggunakan inovasi, atau kemudian berhenti
menggunakannya lagi.
2. Kedua, perlu dipisahkan fungsi-fungsi yang berbeda dari
‘pengetahuan’, ‘persuasi’, ‘keputusan’, dan ‘konfirmasi’, yang
biasanya terjadi dalam tahapan proses, meskipun tahapan tersebut

47
tidak harus selesai sepenuhnya atau secara lengkap. Dalam hal ini,
proses komunikasi lainnya dapat juga diterapkan. Misalnya
beberapa karakteristik yang berhubungan dengan tingkat persuasi.
Orang yang tahu lebih awal tidak harus para pemuka pendapat,
beberapa penelitian menunjukkan bahwa ‘tahu lebih awal’ atau
‘tahu belakangan atau tertinggal’ berkaitan dengan tingkat isolasi
sosial tertentu. Jadi, kurangnya integrasi sosial seseorang dapat
dihubungkan dengan ‘kemajuannya’ atau
ketertinggalannya’dalam masyarakat.
3. Ketiga, difusi inovasi biasanya melibatkan berbagai sumber
komunikasi yang berbeda (media massa, advertensi atau promosi,
penyuluhan, atau kontak-kontak sosial yang informal), dan
efektivitas sumber-sumber tersebut akan berbeda pada tiap tahap,
serta untuk fungsi yang berbeda pula. Jadi, media massa dan
advertensi dapat berperan dalam menciptakan kesadaran dan
pengetahuan, penyuluhan berguna untuk mempersuasi, pengaruh
antarpribadi berfungsi bagi keputusan untuk menerima atau
menolak inovasi, dan pengalaman dalam menggunakan inovasi
dapat menjadi sumber konfirmasi untuk terus menerapkan inovasi
atau sebaliknya.
4. Keempat, teori ini melihat adanya ‘variabel-variabel penerima’
yang berfungsi pada tahap pertama (pengetahuan), karena
diperolehnya pengetahuan akan dipengaruhi oleh kepribadian atau
karakteristik sosial. Meskipun demikian setidaknya sejumlah
variabel penerima akan berpengaruh pula dalam tahap-tahap
berikutnya dalam proses difusi inovasi. Ini terjadi juga dengan
‘variabel-variabel sistem sosial’ yang berperan terutama pada
tahap awal (pengetahuan) dan tahap-tahap berikutnya.

Teori-Teori Komunikasi Massa, Masyarakat dan Budaya

Teori yang disebut ‘Cutural Norms’ ini beranggapan bahwa


media tidak hanya memiliki efek langsung terhadap individu, tetapi
juga mempengaruhi kultur, pengetahuan kolektif, dan norma serta
nilai-nilai dari suatu masyarakat. Media masssa telah menghadirkan
seperangkat citra (images), gagasan , dan evaluasi dari mana audience
dapat memilih dan menjadikan acuan bagi perilakunya. Misalnya
dalam hal perilaku seksual, media massa memberikan suatu
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

pandangan kumulatif mengenai apa yang dianggap normal dan apa


yang disetujui atau tidak disetujui.
Beberapa teori penting dalam pendekatan ini, yaitu Agenda
Setting Theory, Teori Dependensi, Spiral of Silence, dan Information
Gaps.

Teori Agenda Setting


Ide dasar pendekatan Agenda Setting seperti yang sering
dikemukakan Bernard Cohen (1963) adalah bahwa “pers lebih
daripada sekadar pemberi informasi dan opini. Pers mungkin saja
kurang berhasil mendorong orang untuk memikirkan sesuatu, tetapi
pers sangat berhasil mendorong pembacanya untuk menentukan apa
yang perlu dipikirkan”.
Agenda setting oleh media massa dapat terjadi dalam
beberapa kondisi. Akan tetapi, kondisi yang berlaku di negara industri
dan di negara sedang berkembang mungkin berbeda. Riset tentang
agenda setting oleh media di negara-negara Dunia Ketiga masih perlu
dilakukan, karena kebanyakan studi tentang agenda setting yang ada
telah dilakukan di Eropa dan Amerika Serikat.
Sejarah dan orientasi agenda setting menjelaskan begitu
besarnya pengaruh media berkaitan dengan kemampuannya dalam
memberitahukan kepada audiens mengenai isu-isu apa sajakah yang
penting. sedikit kilas balik ke tahun 1922, kolumnis walter lippman
mengatakan bahwa media memiliki kemampuan untuk menciptakan
pencitraan-pencitraan ke hadapan publik. McCombs and Shaw
melakukan analisis dan investigasi terhadap jalannya kampanye
pemilihan presiden pada tahun 1968, 1972, dan 1976. pada
penelitiannya yang pertama (1968), mereka menemukan dua hal
penting, yakni kesadaran dan informasi. dalam menganalisa fungsi
agenda setting media ini mereka berkesimpulan bahwa media massa
memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap apa yang pemilih
bicarakan mengenai kampanye politik tersebut, dan memberikan
pengaruh besar terhadap isu - isu apa yang penting untuk dibicarakan.
asumsi utama dan pendapat-pendapat inti; agenda setting merupakan
penciptaan kesadaran publik dan pemilihan isu-isu mana yang
dianggap penting melalui sebuah tayangan berita. dua asumsi
mendasar dari teori ini adalah:

49
1. Pers dan media tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya,
melainkan mereka membentuk dan mengkonstruk realitas
tersebut.
2. Media menyediakan beberapa isu dan memberikan penekanan
lebih kepada isu tersebut yang selanjutnya memberikan
kesempatan kepada publik untuk menentukan isu mana yang lebih
penting dibandingkan dengan isu lainnya.
Sedikit banyaknya media memberikan pengaruh kepada
publik mengenai isu mana yang lebih penting dibandingkan dengan
isu lainnya. salah satu aspek yang paling penting dari konsep agenda
setting ini adalah masalah waktu pembingkaian fenomena-fenomena
tersebut.dalam artian bahwa tiap-tiap media memiliki potensi-potensi
agenda setting yang berbeda-beda satu sama lainnya. Pendekatan ini
dapat membantu kita untuk menganalisa kecenderungan-
kecenderungan suatu media misalnya dalam hal komunikasi politik
mereka.

Teori Dependensi Mengenai Efek Komunikasi Massa


Teori ketergantungan (Dependency Theory). Teori
ketergantungan terhadap media mula-mula diutarakan oleh Sandra
Ball-Rokeach dan Melvin Defleur. Seperti teori uses and
gratifications, pendekatan ini juga menolak asumsi kausal dari awal
hipotesis penguatan. Untuk mengatasi kelemahan ini, pengarang ini
mengambil suatu pendekatan sistem yang lebih jauh. Di dalam model
mereka mereka mengusulkan suatu relasi yang bersifat integral antara
pendengar, media. dan sistem sosial yang lebih besar.
Sejalan dengan apa yang dikatakan oleh teori uses and
gratifications, teori ini memprediksikan bahwa khalayak tergantung
kepada informasi yang berasal dari media massa dalam rangka
memenuhi kebutuhan khalayak bersangkutan serta mencapai tujuan
tertentu dari proses konsumsi media massa. Namun perlu
digarisbawahi bahwa khalayak tidak memiliki ketergantungan yang
sama terhadap semua media. Sumber ketergantungan yang kedua
adalah kondisi sosial. Model ini menunjukkan sistem media dan
institusi sosial itu saling berhubungan dengan khalayak dalam
menciptakan kebutuhan dan minat. Pada gilirannya hal ini akan
mempengaruhi khalayak untuk memilih berbagai media, sehingga
bukan sumber media massa yang menciptakan ketergantungan,
melainkan kondisi sosial. Untuk mengukur efek yang ditimbulkan
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

media massa terhadap khalayak, ada beberapa metode yang dapat


digunakan, yaitu riset eksperimen, survey dan riset etnografi.
Pemikiran terpenting dari teori ini adalah bahwa dalam
masyarakat modern, audience menjadi tergantung pada media massa
sebagai sumber informasi bagi pengetahuan tentang, dan orientasi
kepada, apa yang terjadi dalam masyarakatnya. Jenis dan tingkat
ketergantungan akan dipengaruhi oleh sejumlah kondisi struktural,
meskipun kondisi terpenting terutama berkaitan dengan apa yang
dilakukan media yang pada dasarnya melayani berbagai fungsi
informasi. Dengan demikian teori ini menjelaskan saling hubungan
antara tiga perangkat variabel utama dan menentukan jenis efek
tertentu sebagai hasil interaksi antara ketigavariabel tersebut.
Pembahasan lebih lanjut menngenai teori ditujukan pada
jenis-jenis efek yang dapat dipelajari melalui teori ini. Secara ringkas
kajian terhadap efek tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Kognitif. Menciptakan atau menghilangkan ambiguitas,
pembentukan sikap.
Agenda-setting
Perluasan sistem keyakinan masyarakat, penegasan/penjelasan
nilai-nilai.
2. Afektif. Menciptakan ketakutan atau kecemasan, meningkatkan
atau menurunkan dukungan moral.
3. Behavioral. Mengaktifkan / menggerakkan atau meredakan,
pembentukan issue tertentu atau penyelesaiannya,menjangkau
atau menyediakan strategi untuk suatu aktivitas, menyebabkan
perilaku dermawan (menyumbangkan uang).

Spiral of Silence
Dikemukakan Oleh Elizabeth Noelle pada tahun 1984.Teori
ini menjelaskan mengapa orang sering merasa perlu menyembunyikan
(to conceal) pendapat,pilihan dan pandangan mereka pada saat mereka
berada pada kelompok minoritas. Secara ontologis, bisa dilihat bahwa
teori ini termasuk kategori ilmiah.Teori ini menyatakan bahwa sudah
menjadi nasib atau takdir (fate) kalau pendapat atau pandangan (yang
dominan) bergantung pada suara mayoritas dari suatu kelompok.
Seperti kebanyakan teori-teori yang lain, teori ini bukan tanpa kritik.
Berlakunya teori ini hanya situasional dan kontekstual,yakni
hanya sekitar permasalahan pendapat dan pandangan pada
kelompok.Sedangkan untuk ketentuan lain,seperti pendapat tentang

51
suatu keahlian,misalnya untuk suatu penemuan ilmiah dan keahlian
lainnya,tidak didasarkan pada pendapat kelompok. Diam (silence)
memiliki maksud yang berbeda-beda. Ada yang beranggapan bahwa
”diam berarti setuju”, ”diam bukan berarti setuju”, bahkan ada yang
beranggapan bahwa ”diam adalah emas”. Diam adalah emas biasanya
berlaku pada konteks teori spiral of silence. Daripada ngomong yang
belum tentu didengar pendapatnya, maka lebih baik diam. Makna
diam yang kedua, yakni diam bukan berarti setuju, juga masih dalam
kerangka teori ini. Orang sering merasa lebih aman jika tidak
mengeluarkan pendapatnya di forum-forum tertentu karena berbagai
alasan. Misalnya karena tidak ada yang bakalan mendukung
pendapatnya atau ia dalam posisi minoritas,atau mungkin malahan ia
merasa inferior.Sedangkan diam berarti setuju biasa terjadi pada
peminangan dimasa dulu ketika seorang gadis dilamar atau dipinang
oleh seorang pemuda.Degan tanda diam berarti ia setuju untuk
dijodohkan dengan pemuda tersebut.
Teori ini mendasarkan asumsinya pada pemikiran sosial-
psikologis tahun 30-an yang menyatakan bahwa pendapat pribadi
sangat tergantung pada apa yang dipikirkan atau diharapkan oleh
orang lain, atau atas apa yang orang rasakan dan dianggap sebagai
pendapat dari orang lain. Berangkat dari asumsi tersebut, Teori Spiral
of Silence selanjutnya menjelaskan bahwa individu pada umumnya
berusaha untuk menghindari isolasi, dalam arti sendirian
mempertahankan sikap atau keyakinan tertentu. Oleh karenanya orang
akan mengamati lingkungannya untuk mempelajari pandangan-
pandangan mana yang bertahan dan mendapatkan dukungan dan mana
yang tidak dominan atau popular. Jika orang merasakan bahwa
pandangannya termasuk di antara yang tidak dominan atau tidak
popular, maka ia cenderung kurang berani mengespresikannya, karena
adanya, ketakutan akan isolasi tersebut.
Teori Spiral Keheningan ini dapat diuraikan sebagai berikut:
individu memiliki opini tentang berbagai isu. Akan tetapi, ketakutan
akan terisolasi menentukan apakah individu itu akan mengekspresikan
opini-opininya secara umum. Untuk meminimalkan kemungkinan
terisolasi, individu-individu itu mencari dukungan bagi opini mereka
dari lingkungannya, terutama dari media massa.
Media massa, dengan bias kekiri-kirian, mereka memberikan
interpretasi yang salah pada individu-individu itu tentang perbedaan
yang sebenarnya dalam opini publik pada berbagai isu. Media
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

mendukung opini-opini kelompok kiri dan biasanya menggambarkan


kelompok tersebut dalam posisi yang dominan.
Sebagai akibatnya, individu-individu itu mungkin mengira
apa yang sesungguhnya posisi mayoritas sebagai opini suatu
kelompok minoritas. Dengan berlalunya waktu, maka lebih banyak
orang akan percaya pada opini yang tidak didukung oleh media massa
itu, dan mereka tidak lagi mengekspresikan pandangan mereka secara
umum karena takut akan terisolasi. Selama waktu tersebut, karena
‘mayoritas yang bisu’ tetap diam, ide minoritas mendominasi diskusi.
Yang terjadi kemudian, apa yang pada mulanya menjadi opini
minoritas, di kemudian hari dapat menjadi dominan.
Spiral keheningan mengajak kita kembali kepada teori media
massa yang perkasa, yang mempengaruhi hampir setiap orang dengan
cara yang sama (Noelle-Meumann, 1973). Orang-orang yang tidak
terpengaruh oleh spiral kebisuan ini ialah orang-orang yang dikenal
sebagai avant garde dan hard core. Yang dimaksud dengan avant
garde di sini ialah orang-orang yang merasa bahwa posisi mereka
akan semakin kuat, sedangkan orang-orang yang termasuk ke dalam
kelompok hard core ialah mereka yang selalu menentang, apa pun
konsekuensinya (Noelle-Neumann, 1984).
Noelle-Newman (1984) menyatakan bahwa kekuatan media
massa diperoleh dari: (1) kehadirannya di mana-mana (ubiquity);
(2) pengulangan pesan yang sama dalam suatu waktu (kumulasi); dan
(3) konsensus (konsonan) tentang nilai-nilai kiri di antara mereka
yang bekerja dalam media massa, yang kemudian direfleksikan dalam
isi media massa.Bukti-bukti yang diungkapkan oleh Noelle-Newmann
(1980, 1981) diperoleh dari Jerman Barat, meskipun ia menyatakan
bahwa “konsonan” itu juga berlaku bagi demokrasi parlementer Barat
dan sistem media yang dikontrol pemerintah. Tidaklah jelas apakah ia
juga akan memperluas teorinya agar mencakup negara-negara yang
sedang berkembang. Namun untuk kasus di Indonesia, masa peralihan
pemerintahan Megawati ke Susilo Bambang Yudhoyono memiliki
sisi-sisi yang cukup relevan dengan asumsi teori ini.Ada beberapa
ketidaksepakatan tentang kelayakan teori dan metodologi karya
Noelle-Newmann ini. Pengritik melihat bahwa formulasi teorinya
tidak lengkap, dan konsep-konsep utamanya tidak dijelaskan dengan
memadai. Di samping itu, spiral kebisuan, sebagai teori opini publik,
dikelompokkan bersama perspektifnya yang lain tentang masyarakat
dan media massa. Di pihak lain, spiral kebisuan ini memperlakukan

53
opini publik sebagai suatu proses dan bukan sebagai sesuatu yang
statis. Perspektif itu juga memperhatikan dinamika produksi media
dengan pembentukan opini publik (Glynn dan McLeod, 1985; Katz,
1981; Salmon dan Kline, 1983). Studi yang belum lama ini dilakukan
memberi dukungan empirik pada teori spiral kebisuan. Dalam evaluasi
masalah-masalah yang dihadapi oleh suatu komunitas di Waukegan,
Illinois, Taylor (1982) menemukan bahwa orang-orang yang merasa
opininya mendapat dukungan mayoritas akan lebih berani
mengungkapkan pendapatnya. Demikian juga dengan orang-orang
yang merasa bahwa opininya akan mendapat dukungan di kemudian
hari (misalnya kelompok avant garde). Dengan cara yang serupa,
Glynn dan McLeod (1985) menemukan bahwa persepsi tentang apa
yang dipercayai orang lain akan mempengaruhi ekspresi opini dan
pemungutan suara. Mereka juga menemukan bahwa kelompok hard
core di antara para pemilih lebih suka mendiskusikan kampanye
politik daripada yang lain. Yang dimaksud dengan hard core di sini
ialah orang-orang yang secara eksplisit menyukai seorang kandidat
setelah melalui beberakali wawancara. Di samping itu, Glenn dan
McLeod (1985) melaporkan juga bahwa responden-responden mereka
lebih suka melibatkan diri dalam diskusi-diskusi politik dalam suatu
pertemuan, jika orang-orang lain yang hadir di situ pandangannya
sejalan dengan pandangan mereka.

Information Gaps
Celah informasi atau celah pengetahuan (information atau
knowledge gaps, pemikiran ini terbentuk oleh adanya arus informasi
yang terus meningkat, yang sebagian besar dimungkinkan oleh media
massa. Secara teoritis peningkatan ini akan menguntungkan setiap
orang dalam masyarakat karena setiap individu memiliki
kemungkinan untuk mengetahui apa yang terjadi di sekelilingnya atau
di dunia, yang tentunya akan membantu dirinya dalam memperluas
wawasan.
Hillip Tichenor (1970) yang mengawali pemikiran tentang
‘knowledge gaps’ ini menjelaskan bahwa ketika arus informasi dalam
suatu sistem sosial meningkat, maka mereka yang berpendidikan yaitu
mereka yang memiliki status sosial ekonomi yang lebih baik, akan
lebih mudah, lebih cepat, dan lebih baik dalam menyerap informasi
dibandingkan mereka yang kurang berpendidikan dengan staus yang
lebih rendah. Jadi, meningkatnya informasi akan menghasilkan
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

melebarnya jurang atau celah pengetahuan daripada


mempersempitnya. Sementara itu Everett M. Rogers (1976)
memperkuat asumsi tersebut dengan mengatakan bahwa iformasi
bukan hanya mengahsilkan melebarnya knowledge gaps, tetapi juga
gaps yang berkaitan dengan sikap dan perilaku. Lebih lanjut dia
mengemukakan bahwa komunikasi massa bukan satu-satunya
penyebab terjadinya gaps tersebut, karena komunikasi langsung
antarindividu dapat memiliki efek yang sempurna.
Suatu konsep lain yang dikemukakan oleh sekelompok
peneliti dari Swedia, menjelaskan tentang karakteristik dan sumber-
sumber yang memungkinkan seseorang untuk memberi dan menerima
informasi, dan yang membantu proses komunikasi bagi dirinya.
Konsep yang disebut ‘potensi komunikasi’ tersebut dipandang sebagai
alat untuk mencapai atau mendapatkan nilai-nilai tertentu dalam
hidupnya. Ukuran dan bentuk potensi komunikasi tergantung pada
tiga karakteristik utama, yaitu:
1. Karakteristik pribadi. Orang memiliki sekaligus kemampuan
alamiah seperti melihat atau berbicara, kemampuan yang
diperoleh melalui pembelajaran seperti berbicara dalam beberapa
bahasa yang berbeda. Disamping itu ia memiliki potensi
komunikasi, pengetahuan, sikap, dan kepribadian tertentu.
2. Karakteristik seseorang tergantung pada posisi soaialnya. Posisi
ini ditentukan oleh variabel-variabel seperti penghasilan,
pendidikan, umur dan jenis kelamin.
3. Karakteristik dari struktur sosial dimana seseorang berada. Salah
satu factor penting adalah berfungsinya ‘primary group’ (misalnya
keluarga, kelompok kerja), dan ‘secondary group’ (misalnya
organisasi, sekolah, klub) dalam hal komunikasi. Dalam konteks
ini, adalah relevan untuk menganggap masyarakat sebagai sistem
komunikasi.
Potensi tersebut dapat membawa pada pencapaian nilai-nilai
dan tujuan-tujuan tertentu. Sebagai contoh, pembentukan identitas diri
dan tumbuhnya solidaritas dapat mempengaruhi situasi kehidupan
seseorang, dan dapat mempengaruhi masyarakat secara keseluruhan.
Jika kita tempatkan konsep diatas dalam konteks media massa, maka
kita harus menganggap ketiga karakteristik tersebut sebagai
independent variabel dan tingkat pencapaian nilai tujuan sebagai
variabel dependen (efek, konsekuensi). Dalam perspektif yang lebih
luas kita dapat mengasumsikan bahwa, jika dalam suatu masyarakat

55
terdapat perbedaan yang sistematis antara berbagai potensi
komunikasi dari berbagai kelompok yang berbeda, maka akan
menyebabkan terjadinya perbedaan yang sistematis pula dalam
pencapaian tujuan dan nilai dari kelompok-kelompok tersebut.
Beberapa anggapan menyatakan bahwa gap cenderung
meningkat seiring dengan waktu. Dalam beberapa kasus tertentu hal
ini dapat, namun Thunberg (1979) mengemukakan bahwa situasi
sebaliknya dapat pula terjadi. Yaitu ketika gaps yang pada awalnya
melebar akhirnya dapat menutup ketika kelompok yang status sosial
ekonominya lebih rendah dapat menyusulnya. Dalam hal ini yang
terjadi hanyalah persoalan waktu saja. Pada awalnya, ketika kelompok
yang diuntungkan karena memiliki akses dan exposure pada
komunikasi yang lebih baik (memiliki potensi komunikasi yang lebih
tinggi) dengan cepat mampu menyerap informasi tentang topik
tertentu yang beredar dalam masyarakat. Meskipun demikian pada
akhirnya kelompok yang memiliki potensi komunikasi rendah akan
dapat menyusul penyerapan informasi tersebut sehingga gaps akan
menutup.
Model semacam itu disebut memiliki ‘ceiling effects’, artinya
ada plafon atau batas tertentu dalam penyerapan informasi. ‘Ceiling
effects’ terjadi jika potensi informasi mengenai suatu topik tertentu
adalah terbatas. Mereka yang memiliki kapasitas yang besar dalam
menyerap informasi, setelah sekian waktu tidak akan menemukan lagi
informasi yang tersisa mengenai suatu topik tertentu. Hal ini
menyebabkan kelompok dengan potensi komunikasi yang rendah akan
mampu menyusulnya Efek ini juga dapat terjadi jika kelompok yang
potensial tidak lagi memiliki motivasi untuk mencri lebih banyak
informasi, sementara kelompok yang kurang potensial masih
termotivasi, sehingga dalam waktu tertentu mereka juga akan menjadi
‘well infomed’.

Komunikasi Massa dan Audience

Teori-teori yang akan dibahas berikut akan memandang dari


persepektif yang berbeda dalam hubungan antara media massa,
audience, dan efek. Pada bagian ini akan dikemukakan tiga teori
dominan dari pendekatan yang menempatkan audience sebagai fokus,
yaitu uses and gratifications, uses and effects, dan information
seeking.
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

Pendekatan Used and Gratifications


Teori ini mempertimbangkan apa yang dilakukan orang pada
media, yaitu menggunakan media untuk pemuas kebutuhannya.
Penganut teori ini meyakini bahwa individu sebagai mahluk supra-
rasional dan sangat selektif. Menurut para pendirinya, Elihu Katz;Jay
G. Blumler; dan Michael Gurevitch (dalam Jalaluddin Rakhmat,
1984), uses and gratifications meneliti asal mula kebutuhan secara
psikologis dan sosial, yang menimbulkan harapan tertentu dari media
massa atau sumber-sumber lain , yang membawa pada pola terpaan
media yang berlainan (atau keterlibatan pada kegiatan lain), dan
menimbulkan pemenuhan kebutuhan dan akibat-akibat lain.
Perkembangan teori Uses and Gratification Media dibedakan
dalam tiga fase (dalam Rosengren dkk., 1974), yaitu:
1. Fase pertama ditandai oleh Elihu Katz dan Blumler (1974)
memberikan deskripsi tentang orientasi subgroup audiens untuk
memilih dari ragam isi media. Dalam fase ini masih terdapat
kelemahan metodologis dan konseptual dalam meneliti orientasi
audiens.
2. Fase kedua, Elihu Katz dan Blumler menawarkan operasionalisasi
variabel-variabel sosial dan psikologis yang diperkirakan memberi
pengaruh terhadap perbedaan pola–pola konsumsi media. Fase ini
juga menandai dimulainya perhatian pada tipologi penelitian
gratifikasi media.
3. Fase ketiga, ditandai adanya usaha menggunakan data gratifikasi
untuk menjelaskan cara lain dalam proses komunikasi, dimana
harapan dan motif audiens mungkin berhubungan.
Kristalisasi dari gagasan, anggapan, temuan penelitian tentang
Uses and Gratification Media mengatakan, bahwa kebutuhan social
dan psikologis menggerakkan harapan pada media massa atau sumber
lain yang membimbing pada perbedaan pola-pola terpaan media
dalam menghasilkan pemuasan kebutuhan dan konsekuensi lain yang
sebagian besar mungkin tidak sengaja.
Elihu Katz;Jay G. Blumler; dan Michael Gurevitch (dalam
Baran dan Davis, 2000) menguraikan lima elemen atau asumsi-asumsi
dasar dari Uses and Gratification Media sebagai berikut:
1. Audiens adalah aktif, dan penggunaan media berorientasi pada
tujuan.

57
2. Inisiative yang menghubungkan antara kebutuhan kepuasan dan
pilihan media spesifik terletak di tangan audiens.
3. Media bersaing dengan sumber-sumber lain dalam upaya
memuaskan kebutuhan audiens.
4. Orang-orang mempunyai kesadaran-diri yang memadai berkenaan
penggunaan media, kepentingan dan motivasinya yang menjadi
bukti bagi peneliti tentang gambaran keakuratan penggunaan itu.
5. Nilai pertimbangan seputar keperluan audiens tentang media
spesifik atau isi harus dibentuk.
Pengujian-pengujian terhadap asumsi-asumsi Uses and
Gratification Media menghasilkan enam (6) kategori identifikasi dan
temuan-temuannya (dalam Rosengren dkk., 1974), sebaga berikut:
1. Asal usul sosial dan psikologis gratifikasi media.
John W.C. Johnstone (1974) menganggap bahwa anggota audiens
tidak anonimous dan sebagai individu yang terpisah, tetapi
sebagai anggota kelompok sosial yang terorganisir dan sebagai
partisipan dalam sebuah kultur. Sesuai dengan anggapan ini,
media berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan dan keperluan
individu-individu, yang tumbuh didasarkan lokalitas dan relasi
sosial individu-individu tersebut. Faktor-faktor psikologis juga
berperan dalam memotivasi penggunaan media. Konsep-konsep
psikologis seperti kepercayaan, nilai-nilai, dan persepsi
mempunyai pengaruh dalam pencarian gratifikasi dan menjadi
hubungan kausal dengan motivasi media.
2. Pendekatan nilai pengharapan.
Konsep pengharapan audiens yang perhatian (concern) pada
karakteristik media dan potensi gratifikasi yang ingin diperoleh
merupakan asumsi pokok Uses and Gratification Media mengenai
audiens aktif. Jika anggota audiens memilih di antara berbagai
alternatif media dan non media sesuai dengan kebutuhan mereka,
mereka harus memiliki persepsi tentang alternatif yang
memungkinkan untuk memperoleh kebutuhan tersebut.
Kepercayaan terhadap suatu media tertentu menjadi faktor
signifikan dalam hal pengharapan terhadap media itu.
3. Aktifitas audiens.
Levy dan Windahl (1984) menyusun tipologi aktifitas audiens
yang dibentuk melalui dua dimensi:
a. Orientasi audiens: selektifitas; keterlibatan; kegunaan.
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

b. Skedul aktifitas: sebelum; selama; sesudah terpaan ( baca


handsout ”audiens”)
Katz, Gurevitch, dan Haas (1973) dalam penelitian tentang
penggunaan media, menemukan perbedaan anggota audiens
berkenaan dengan basis gratifikasi yang dirasakan. Dipengaruhi
beberapa faktor. Yaitu: struktur media dan teknologi; isi media;
konsumsi media; aktifitas non media; dan persepsi terhadap
gratifikasi yang diperoleh. Garramore (1983) secara eksperimental
menggali pengaruh ”rangkaian motivasi pada proses
komersialisasi politik melalui TV. Ia menemukan bahwa anggota
audience secara aktif memproses/mencerna isi media, dan
pemrosesan ini dipengaruhi oleh motivasi.
4. Gratifikasi yang dicari dan yang diperoleh.
Pada awal sampai pertengahan 1970-an sejumlah ilmuwan media
menekankan perlunya pemisahan antara motif konsumsi media
atau pencarian gratifikasi (GS) dan pemerolehan gratifikasi (GO).
Penelitian tentang hubungan antara GS dan GO, menghasilkan
temuan sebagai berikut GS individual berkorelasi cukup kuat
dengan GO terkait. Di lain pihak GS dapat dipisahkan secara
empiris dengan GO, seperti pemisahan antara GS dengan GO
secara konseptual, dengan alasan sebagai berikut:
a. GS dan GO berpengaruh, tetapi yang satu bukan determinan
bagi yang lain.
b. Dimensi-dimensi GS dan GO ditemukan berbeda dalam
beberapa studi.
c. Tingkatan rata-rata GS seringkali berbeda dari tingkatan rata-
rata GO.
d. GS dan GO secara independen menyumbang perbedaan
pengukuran konsumsi media dan efek.
Penelitian GS dan GO menemukan bahwa GS dan GO
berhubungan dalam berbagai cara dengan variabel-variabel:
terpaan; pemilihan program dependensi media; kepercayaan;
evaluasi terhadap ciri-ciri atau sifat-sifat media.
5. Gratifikasi dan konsumsi media.
Penelitian mengenai hubungan antata gratifikasi (GS-GO) dengan
konsumsi media terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu:
a. Studi tipologis mengenai gratifikasi media.

59
b. Studi yang menggali hubungan empiris antara gratifikasi di
satu sisi dengan pengukuran terpaan media atau pemilihan isi
media di sisi lain.
Studi-studi menunjukkan bahwa gratifikasi berhubungan dengan
pemilihan program. Becker dan Fruit memberi bukti bahwa
anggota audiens membandingkan GO dari media yang berbeda
berhubungan dengan konsumsi media. Studi konsumsi media
menunjukkan terdapat korelasi rendah sampai sedang antara
pengukuran gratifikasi dan indeks konsumsi.

6. Gratifikasi dan efek yang diperoleh.


Windahl (1981) penggagas model uses and effects, menunjukkan
bahwa bermacam-macam gratifikasi audiens berhubungan dengan
spectrum luas efek media yang meliputi pengetahuan, dependensi,
sikap, persepsi mengenai realitas social, agenda setting, diskusi,
dan berbagai efek politik. Blumer mengkritisi studi uses and
effects sebagai kekurangan perspektif. Dalam usaha untuk
menstimulasi suatu pendekatan yang lebih teoritis, Blumer
menawarkan tiga hipotesis sebagai berikut:
a. Motivasi kognitif akan memfasilitasi penemuan informasi.
b. Motivasi pelepasan dan pelarian akan menghadiahi penemuan
audiens terhadap persepsi mengenai situasi sosial.
c. Motivasi identitas personal akan mendorong penguatan efek.

Teori Used and Effects


Pemikiran yang pertama kali dikemukakan oleh Sven
Windahl (1979) ini merupakan intesis antara pendekatan uses and
gratifications dan teori tradisional mengenal efek. Konsep ‘use’
(penggunaan) merupakan bagian yang sangat penting atau pokok dari
pemikiran ini. Karena pengetahuan mengenai penggunaan media dan
penyebabnya, akan memberikan jalan bagi pemahaman dan perkiraan
tentang hasil dari suatu proses komunikasi massa.
Penggunaan media massa dapat memiliki banyak arti. Ini
dapat berarti ‘exposure’ yang semata-mata menunjuk pada tindakan
mempersepsi. Dalam konteks lain, pengertian tersebut dapat menjadi
suatu proses yang lebih kompleks, di mana isi tertentu di konsumsikan
dalam koondisi tertentu, untuk memenuhi fungsi tertentu dan terkait
harapan–harapan tertentu untuk dapat dipenuhi. fokus dari teori ini
lebih kepada pengertian yang kedua.
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

Dalam uses and gratifications, penggunaan media pada


dasarnya ditentukan oleh kebutuhan dasar individu, sementara pada
uses and effects, kebutuhan hanya salah satu dari faktor-faktor yang
menyebabkan terjadinya penggunaan media karakteristik individu,
harapan dan persepsi terhadap media, dan tingkat akses kepada media,
akan membawa individu kepada keputusan untuk menggunaka atau
tidak menggunakan isi media massa.
Hasil dari proses komunikasi massa dan kaitannya dengan
penggunaan media akan membawa pada bagian penting berikutnya
dari teori ini. Hubungan antara penggunaan dan hasilnya, dengan
memperhitungkan pula isi media, memiliki beberapa bentuk yang
berbeda, yaitu:
1. Pada kebanyakan teori efek tradisional, karakteristik isi media
menentukan sebagian besar dari hasil. Dalam hal ini, penggunaan
media hanya dianggap sebagai faktor perantara, dan hasil dari
proses tersebut dinamakan efek. Dalam pengertian ini pula uses
and gratifications hanya akan dianggap berperan sebagai
perantara, yang memperkuat atau melemahkan efek dari isi media.
2. Dalam berbagai proses, hasil lebih merupakan akibat pengunaan
daripada karakteristik isi media. Pengunaan media dapat
mengecualikan, mencegah atau menggurangi aktivitas lainnya,
disamping dapat pula memiliki konsekuensi psikologis seperti
ketergantungan pada media tertentu. Jika penggunaan merupakan
penyebab utama dari hasil, maka ia disebut konsekuensi.
3. Kita juga dapat beranggapan bahwa hasil ditentukan sebagian oleh
isi media (melalui perantaraan penggunaannya) dan sebagian lain
oleh penggunaan media itu sendiri. Oleh karenanya dua proses
yang bekerja secara serempak, yang bersama-sama menyebabkan
terjadinya suatu hasil yang kita sebut ‘conseffects’ (gabungan
antara konsekuensi dan efek). Proses pendidikan biasanya
menyebabkan hasil yang berbentuk ‘conseffects’. Dimana
sebagian dari hasil disebabkan oleh isi yang mendorong
pembelajaran (efek), dan sebagian lain merupakan hasil dari suatu
proses penggunaan media yang secara otomatis mengamulasikan
dan menyimpan pengetahuan.

Information Seeking
Information seeking memiliki beberapa keterkaitan dengan
teori sebelumnya. Teori difusi seringkali menyentuh proses pencarian

61
informasi. Used and Gratifications di anggap memberikan kerangka
bagi studi mengenai proses pencarian informasi. Demikian pula
dengan teori-teori ‘congruence’ yang menjelaskan pengorganisasian
sikap seperti misalnya teori disonansi kognitif yang dikemukakan oleh
Festinger.
Teori information seeking yang dikemukakan disini, yaitu dari
Donohew dan Tipton (1973), yang menjelaskan tentang pencaharian,
penghindaran, dan pemprosesan informasi, disebut memiliki akar dari
pemikiran psikologi sosial tentang kesesuaian sikap. Salah satu asumsi
utamanya addalah bahwa orang cenderung untuk menghindari
informasi yang tidak sesuai dengan ‘image of reality’-nya karena
terasa membahayakan.
Beberapa konsep utama dari teori ini antara lain adalah
‘image’ atau image of reality’. Pertama-tama, konsep image ini
mengacu pada pengalaman yang diperoleh sepanjang hidup seseorang
dan terdiri dari berbagai tujuan, keyakinan, dan pengetahuan yang
telah diperolehnya. Bagian kedua dari image terdiri dari konsep diri
seseorang, termasuk evaluasinya terhadap kemampuan dirinya dalam
mengatasi berbagai situasi. Ketiga, image of reality’ terdiri dari suatu
perangkat penggunaan informasi yang mengatur perilaku seseorang
dalam mencari dan memproses informasi. Ketika mencari informasi,
individu dapat memilih di antara berbagai strategi yang dalam teori ini
dibedakan antara strategi luas dan sempit. Pada strategi yang luas,
individu pertama-tama akan membuat suatu daftar mengenai asumber-
sumber informasi yang memungkinkan, mengevaluasinya, dan
memilih sumber mana yang akan digunakannya. Dalam strategi yang
sempit, satu sumber digunakan sebagai titik awal, dan pencarian lebih
lanjut dilakukan dengan menempatkan sumber tersebut sebagai
basisnya. Pencarian informasi akan dilakukan sampai pada tahap yang
disebut ‘closure’dimana seseorang akan berhenti mencari lebih
banyak informasi.
Proses pencaharian informasi oleh Donohew dan Tipton
dijelaskan dalam beberapa tahapan. Proses dimulai ketika individu
diterpa oleh sejumlah stimuli. Kepada stimuli tersebut, individu dapat
memperhatikan atau tidak memperhatikan pilihan pada salah satunya
sebagian ditentukan oleh karakteristik dari stimuli tersebut. Pada tahap
berikutnya, terjadi suatu perbandingan antara stimuli (informasi dan
image of reality’ yang dimiliki individu tersebut. Disini diuji tingkat
relevansi dan konsistensi antara image dan stimuli. Materi atau
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

informasi yang terlalu berbahaya atau tidak penting akan tersaring


keluar, demikian pula dengan stimuli yang dianggap monoton karena
tingkat konsistensinya yang tinggi. Jika stimuli diabaikan maka proses
otomatis terhenti.
Berikutnya muncul persoalan tentang apakah stimuli tersebut
menuntut suatu tindakan. Jika jawabnya adalah tidak, maka efek dari
stimuli mungkin adalah membentuk suatu bagian tambahan dari
image, sedangkan jika jawabnya adalah ‘ya’ maka perangkat dari
image of reality’ seperti pengalaman, konsep diri, dan gaya
pemprosesan informasi akan mempengaruhi tindakan apa yang harus
dilakukan.
Seandainya dalam menilai suatu situasi, seseorang
memberikan prioritas lebih pada suatu stimuli dibandingkan stimuli
lainnya, maka dia dapat memilih untuk mencukupkan pencaharian
informasinya atau mencari informasi lebih jauh. Dalam hal yang
kedua, orang tersebut harus menentukan kebutuhan-kebutuhan
informasinya dan menilai sumber-sumber yang potensial untuk
menjawab kebutuhannya. Seadainya terdapat lebih dari satu sumber
informasi yang potensial, orang tersebut harus memikirkan strategi
informasi apa yang dipilih (luas atau sempit). Apapun pilihan
strateginya, seseorang akan mencapai titik dimana dia sudah merasa
cukup mendapatkan informasi, yang biasanya akan dilanjutkan dengan
dilakukannya suatu tindakan. Dalam kedua strategi tersebut, seseorang
akan mungkin melalui sejumlah ‘information-seeking loops’ sebelum
dia merasa cukup (closure).
Setelah melakukan tindakan seorang mungkin akan
memerlukan umpan-balik (feedback) dari tindakannya, yang
memungkinkan untuk mengevaluasi efektivitas tindakannya. Disini
dia juga dapat menilai apakah informasi yang diperolehnya berguna
dan relevan bagi tindakan yang dia lakukan. Pada bagian terakhir,
proses ini dapat menghasilkan revisi pada ‘image of reality’
seseorang. Pengalaman barunya dapat mengubah persepsinya terhadap
lingkungan dan konsep diri yang telah dia miliki. Sebagai hasil dari
suatu proses yang bekerja secara utuh, gaya atau cara pencarian
informasinya dapat juga dimodifikasikan atau diperkuat.
Untuk memudahkan pemahaman, kita akan mencoba
menerapkan teori ini dalam contoh berikut: seorang petani
menemukan adanya gejala hama yang menyerang padi di sawah
(stimuli). Dia akan menganggap hal ini relevan dan memberikan

63
prioritas tinggi pada informasi mengenai hama tersebut. Melihat
situasi seperti itu, dia merasa bahwa informasi yang dimilikinya
belum cukup dan mempertimbangkan sumber-sumber informasi apa
yang dapat dipergunakannya. Dia memutuskan untuk menggunakan
strategi sempit, dimana dia lalu menghubungi Dinas Pertanian
setempat. Selanjutnya oleh Dinas tersebut dia disarankan untuk
menghubungi seorang ahli hama pertanian yang kemudian
memberikan informasi yang dia butuhkan. Ketika sekali lagi dia
mengevaluasi situasi yang dihadapinya, dia merasa telah mendapatkan
cukup informasi (donsure), dan dia lalu bertindak sesuai dengan
informasi yang telah diperolehnya. Persoalan hama teratasi dan petani
tersebut menganggap tindakan yang dia lakukan adalah tepat,
demikian pula dengan informasi yang diperolehnya. Akhirnya ‘image
of reality’ nya telah sedikit berubah, sesuai dengan pengalaman
barunya.
KOMUNIKASI VERBAL
Simbol atau pesan verbal adalah semua jenis simbol yang
menggunakan satu kata atau lebih. Bahasa dapat juga dianggap
sebagai sistem kode verbal (Mulyana, 2005). Bahasa dapat
didefinisikan sebagai seperangkat simbol, dengan aturan untuk
mengkombinasikan simbol-simbol tersebut, yang digunakan dan
dipahami suatu komunitas.
Jalaluddin Rakhmat (1994), mendefinisikan bahasa secara
fungsional dan formal. Secara fungsional, bahasa diartikan sebagai
alat yang dimiliki bersama untuk mengungkapkan gagasan. Ia
menekankan dimiliki bersama, karena bahasa hanya dapat dipahami
bila ada kesepakatan di antara anggota-anggota kelompok sosial untuk
menggunakannya. Secara formal, bahasa diartikan sebagai semua
kalimat yang terbayangkan, yang dapat dibuat menurut peraturan
tatabahasa. Setiap bahasa mempunyai peraturan bagaimana kata-kata
harus disusun dan dirangkaikan supaya memberi arti. Kalimat dalam
bahasa Indonesia yang berbunyi ”Di mana saya dapat menukar uang?”
akan disusun dengan tatabahasa bahasa-bahasa yang lain sebagai
berikut:

Inggris:
Dimana dapat saya menukar beberapa uang? (Where can I
change some money?)
Perancis:
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

Di mana dapat saya menukar dari itu uang? (Ou puis-je


change de l’argent?)
Jerman:
Di mana dapat saya sesuatu uang menukar? (Wo kann ich
etwasGeld wechseln?)
Spanyol:
Di mana dapat menukar uang? (Donde puedo cambiar
dinero?).

Tatabahasa meliputi tiga unsur: fonologi, sintaksis, dan


semantik. Fonologi merupakan pengetahuan tentang bunyi-bunyi
dalam bahasa. Sintaksis merupakan pengetahuan tentang cara
pembentukan kalimat. Semantik merupakan pengetahuan tentang arti
kata atau gabungan kata-kata.
Menurut Larry L. Barker (Mulyana, 2005), bahasa
mempunyai tiga fungsi: penamaan (naming atau labeling), interaksi,
dan transmisi informasi. Penamaan atau penjulukan merujuk pada
usaha mengidentifikasikan objek, tindakan, atau orang dengan
menyebut namanya sehingga dapat dirujuk dalam komunikasi.
Fungsi interaksi menekankan berbagi gagasan dan emosi,
yang dapat mengundang simpati dan pengertian atau kemarahan dan
kebingungan. Melalui bahasa, informasi dapat disampaikan kepada
orang lain, inilah yang disebut fungsi transmisi dari bahasa.
Keistimewaan bahasa sebagai fungsi transmisi informasi yang lintas-
waktu, dengan menghubungkan masa lalu, masa kini, dan masa depan,
memungkinkan kesinambungan budaya dan tradisi kita.
Cansandra L. Book (1980), dalam Human Communication:
Principles, Contexts, and Skills, mengemukakan agar komunikasi kita
berhasil, setidaknya bahasa harus memenuhi tiga fungsi, yaitu: (1)
Mengenal dunia di sekitar kita. Melalui bahasa kita mempelajari apa
saja yang menarik minat kita, mulai dari sejarah suatu bangsa yang
hidup pada masa lalu sampai pada kemajuan teknologi saat ini. (2)
Berhubungan dengan orang lain. Bahasa memungkinkan kita bergaul
dengan orang lain untuk kesenangan kita, dan atau mempengaruhi
mereka untuk mencapai tujuan kita. (3)Melalui bahasa kita dapat
mengendalikan lingkungan kita, termasuk orang-orang di sekitar kita.
Untuk menciptakan koherensi dalam kehidupan kita. Bahasa
memungkinkan kita untuk lebih teratur, saling memahami mengenal
diri kita, kepercayaan-kepercayaan kita, dan tujuan-tujuan kita.

65
Keterbatasan Bahasa
Keterbatasan jumlah kata yang tersedia untuk mewakili objek.
Kata-kata adalah kategori-kategori untuk merujuk pada objek tertentu:
orang, benda, peristiwa, sifat, perasaan, dan sebagainya. Tidak semua
kata tersedia untuk merujuk pada objek. Suatu kata hanya mewakili
realitas, tetapi buka realitas itu sendiri. Dengan demikian, kata-kata
pada dasarnya bersifat parsial, tidak melukiskan sesuatu secara eksak.
Kata-kata sifat dalam bahasa cenderung bersifat dikotomis,
misalnya baik-buruk, kaya-miskin, pintar-bodoh, dan sebagainya.
Kata-kata bersifat ambigu dan kontekstual. Kata-kata bersifat ambigu,
karena kata-kata merepresentasikan persepsi dan interpretasi orang-
orang yang berbeda, yang menganut latar belakang sosial budaya yang
berbeda pula. Kata berat, yang mempunyai makna yang nuansanya
beraneka ragam. Misalnya: tubuh orang itu berat; kepala saya berat;
ujian itu berat; dosen itu memberikan sanksi yang berat kepada
mahasiswanya yang nyontek.
Kata-kata mengandung bias budaya. Bahasa terikat konteks
budaya. Oleh karena di dunia ini terdapat berbagai kelompok manusia
dengan budaya dan subbudaya yang berbeda, tidak mengherankan bila
terdapat kata-kata yang (kebetulan) sama atau hampir sama tetapi
dimaknai secara berbeda, atau kata-kata yang berbeda namun
dimaknai secara sama. Konsekuensinya, dua orang yang berasal dari
budaya yang berbeda boleh jadi mengalami kesalahpahaman ketiaka
mereka menggunakan kata yang sama. Misalnya kata awak untuk
orang Minang adalah saya atau kita, sedangkan dalam bahasa Melayu
(di Palembang dan Malaysia) berarti kamu.
Komunikasi sering dihubungkan dengan kata Latin communis
yang artinya sama. Komunikasi hanya terjadi bila kita memiliki
makna yang sama. Pada gilirannya, makna yang sama hanya terbentuk
bila kita memiliki pengalaman yang sama. Kesamaan makna karena
kesamaan pengalaman masa lalu atau kesamaan struktur kognitif
disebut isomorfisme. Isomorfisme terjadi bila komunikan-komunikan
berasal dari budaya yang sama, status sosial yang sama, pendidikan
yang sama, ideologi yang sama; pendeknya mempunyai sejumlah
maksimal pengalaman yang sama.
Pada kenyataannya tidak ada isomorfisme total. Percampuran
fakta, penafsiran, dan penilaian. Dalam berbahasa kita sering
mencampuradukkan fakta (uraian), penafsiran (dugaan), dan
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

penilaian. Masalah ini berkaitan dengan dengan kekeliruan persepsi.


Contoh: apa yang ada dalam pikiran kita ketika melihat seorang pria
dewasa sedang membelah kayu pada hari kerja pukul 10.00 pagi?
Kebanyakan dari kita akan menyebut orang itu sedang bekerja. Akan
tetapi, jawaban sesungguhnya bergantung pada: Pertama, apa yang
dimaksud bekerja? Kedua, apa pekerjaan tetap orang itu untuk
mencari nafkah? .... Bila yang dimaksud bekerja adalah melakukan
pekerjaan tetap untuk mencari nafkah, maka orang itu memang sedang
bekerja. Akan tetapi, bila pekerjaan tetap orang itu adalah sebagai
dosen, yang pekerjaannya adalah membaca, berbicara, menulis, maka
membelah kayu bakar dapat kita anggap bersantai baginya, sebagai
selingan di antara jam-jam kerjanya. Ketika kita berkomunikasi, kita
menterjemahkan gagasan kita ke dalam bentuk lambang (verbal atau
nonverbal). Proses ini lazim disebut penyandian (encoding). Bahasa
adalah alat penyandian, tetapi alat yang tidak begitu baik (lihat
keterbatasan bahasa di atas), untuk itu diperlukan kecermatan dalam
berbicara, bagaimana mencocokkan kata dengan keadaan sebenarnya,
bagaimana menghilangkan kebiasaan berbahasa yang menyebabkan
kerancuan dan kesalahpahaman.

KOMUNIKASI NON VERBAL

Komunikasi memiliki beberapa pengertian, antara lain


merupakan sebuah proses interaksi sosial antara dua atau lebih
individu yang mencoba saling mempengaruhi dalam hal ide, sikap,
pengetahuan, dan tingkah laku. Selain itu komunikasi juga di
definisikan sebagai proses memberitahukan dan menyebarkan pikiran-
pikiran, nilai-nilai dengan maksud untuk menggugah partisipasi, agar
hal-hal yang diberitahukan itu menjadi milik bersama. Seperti yang
telah kita ketahui, komunikasi terdiri dari dua jenis yaitu komunikasi
verbal dan komunikasi non-verbal. Komunikasi verbal merupakan
proses komunikasi melalui bahasa dan kata-kata yang diucapkan.
Sedangkan komunikasi non-verbal merupakan proses komunikasi
yang tidak dilakukan melalui bahasa dan pengucapan kata-kata, tetapi
melalui cara-cara lain seperti bahasa tubuh, mimik wajah, sensitivitas
kulit, dan lain-lain. Walaupun masih memiliki kekurangan-
kekurangan tertentu, komunikasi verbal, seperti bahasa, telah sanggup
menyampaikan informasi kepada orang lain. Hanya saja, pesan-pesan
yang sifatnya non-verbal tentunya juga tetap dibutuhkan untuk
meperjelas informasi-informasi yang akan disampaikan oleh sender

67
agar receiver dapat lebih memahaminya, dan tidak terjadi salah
persepsi.

Fungsi Pesan Non-Verbal


Rakhmat (1985) menjelaskan bahwa komunikasi non-verbal
memiliki beberapa fungsi, yaitu:
1. Repetisi. Di sini komunikasi non-verbal memiliki fungsi untuk
mengulang kembali gagasan yang disajikan secara verbal.
Misalnya setelah seseorang menjelaskan penolakannya terhadap
suatu hal, ia akan menggelengkan kepalanya berulang kali untuk
menjelaskan penolakannya.
2. Substitusi. Di sini komunikasi non-verbal memiliki fungsi untuk
menggantikan lambang-lambang verbal. Misalnya tanpa sepatah
katapun seseorang berkata, ia dapat menunjukkan persetujuan
dengan mengangguk-anggukkan kepala.
3. Kontradiksi. Di sini komunikasi non-verbal memiliki fungsi
untuk menolak pesan verbal atau memberikan makna yang lain
terhadap pesan verbal. Misalnya seseorang memuji prestasi
rekannya dengan mencibirkan bibirnya sambil berkata: “Hebat,
kau memang hebat”.
4. Komplemen. Di sini komunikasi non-verbal memiliki fungsi
untuk melengkapi dan memperkaya makna pesan non-verbal.
Misalnya air muka seseorang menunjukkan tingkat penderitaan
yang tidak terungkap dengan kata-kata.
5. Aksentuasi. Di sini komunikasi non-verbal memiliki fungsi untuk
menegaskan pesan verbal atau menggarisbawahinya. Misalnya
seseorang mengungkapkan kejengkelannya sambil memukul
mimbar.

Pentingnya Komunikasi Non-Verbal Dalam Komunikasi Sehari-


Hari
Selain hal-hal yang telah disebutkan diatas, masih ada
beberapa alasan lagi mengapa komunikasi non-verbal memiliki peran
yang sangat penting. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Leathers
(1976):
1. Faktor-faktor non-verbal sangat menentukan makna dalam
komunikasi interpersonal.
Ketika kita mengobrol atau berkomunikasi tatap muka, kita
banyak menyampaikan gagasan dan pikiran kita lewat pesan-
pesan non-verbal. Pada gilirannya orang lain pun lebih banyak
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

membaca pikiran-pikiran kita lewat petunjuk-petunjuk non-verbal.


Menurut Birdwhistell tidak lebih dari 30% - 35% makna sosial
percakapan atau interaksi dilakukan dengan kata-kata, dan sisanya
dilakukan dengan pesan non-verbal.
2. Perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan non-
verbal ketimbang pesan verbal.
Menurut Mahrabian (1967), hanya 7% perasaan kasih sayang
dapat dikomunikasikan dengan kata-kata. Selebihnya, 38%
dikomunikasikan lewat suara, dan 55% dikomunikasikan melalui
ungkapan wajah (senyum, kontak mata, dan sebagainya).
3. Pesan non-verbal menyampaikan makna dan maksud yang relatif
bebas dari penipuan, distorsi, dan kerancauan.
Pesan non-verbal jarang dapat diatur oleh komunikator secara
sadar. Misalnya sejak zaman prasejarah, wanita selalu mengatakan
“tidak” dengan lambang verbal, tetapi pria jarang tertipu. Mereka
tahu ketika “tidak” diucapkan, seluruh anggota tubuhnya
menyatakan “ya”. Kecuali actor-aktor yang terlatih, kita semua
lebih jujur berkomunikasi melalui pesan non-verbal. Hal yang
kadang kemudian terjadi adalah double binding dimana ketika
pesan non-verbal bertentangan dengan pesan verbal, orang pada
akhirnya akan bersandar pada pesan non-verbal.
4. Pesan non-verbal mempunyai fungsi metakomunikatif yang
sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas
tinggi.
Fungsi metakomunikatif artinya memberikan informasi tambahan
yang memperjelas maksud dan makna pesan. Di atas telah
dipaparkan mengenai fungsi repetisi, substitusi, kontradiksi,
komplemen, dan aksentuasi. Semua ini menambah kadar
informasi dalam penyampaian pesan.
5. Pesan non-verbal merupakan cara berkomunikasi yang lebih
efisien dibandingkan dengan pesan verbal.
Dari segi waktu, pesan verbal sangat tidak efisien. Dalam paparan
verbal selalu terdapat redundansi (lebih banyak lambang dari yang
diperlukan), repetisi, ambiguity, dan abstraksi. Diperlukan lebih
banyak waktu untuk mengungkapkan pikiran kita secara verbal
daripada secara nonverbal.
6. Pesan non-verbal merupakan sarana sugesti yang paling tepat.
Ada situasi komunikasi yang menuntut kita untuk
mengungkapkan gagasan atau emosi secara tidak langsung.

69
Sugesti di sini dimaksudkan menyarankan sesuatu kepada orang
lain secara implicit. Leathers (1976) menyatakan bahwa jika anda
meminta pelayanan seksual dari anak di bawah umur secara
verbal, anda dapat menerima hukuman pernjara. Jika anda
melakuka hal yang sama secara non-verbal, anda bebas dari
hukuman. Kita dapat memuji seseorang secara verbal, tetapi
mengecamnya secara non-verbal. Inipun sulit dituntut secara
hukum.

Jenis-Jenis Pesan Nonverbal


Duncan (dalam Rakhmat, 1985) menyebutkan terdapat
beberapa jenis pesan non-verbal, yaitu:
1. Pesan kinesik
Pesan kinesik merupakan pesan yang menggunakan gerakan tubuh
yang berarti. Pesan ini terdiri dari tiga kompunen utama yaitu:
a. Pesan fasial
Pesan ini menggunakan air muka untuk menyampaikan
makna tertentu. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa
wajah dapat menyampaikan paling sedikit sepuluh kelompok
makna: kebahagiaan, rasa terkejut, ketakutan, kemarahan,
kesedihan, kemuakan, pengecaman, minat, ketakjuban, dan
tekad. Leathers (1976) menyimpulkan penelitian tentang
wajah sebagai berikut:
 Wajah mengkomunikasikan penilaian tentang ekspresi
senang dan tak senang, yang menunjukkan komunikator
memandang objek penelitiannya baik atau buruk.
 Wajah mengkomunikasikan minat seseorang kepada
orang lain atau lingkungan.
 Wajah mengkomunikasikan intensitas keterlibatan dalam
suatu situasi.
 Wajah mengkomunikasikan tingkat pengendalian individu
terhadap pernyataannya sendiri.
 Wajah barangkali mengkomunikasikan adanya atau
kurangnya pengertian.
b. Pesan gestural
Menunjukkan gerakan sebagian anggota badan seperti mata
dan tangan untuk mengkomunikasikan berbagai makna.
Menurut Galloway, pesan ini berfungsi untuk
mengungkapkan:
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

 Mendorong/membatasi
 Menyesuaikan/mempertentangkan
 Responsif/tak responsif
 Perasaan positif/negatif
 Memperhatikan/tidak memperhatikan
 Melancarkan/tidak reseptif
 Menyetujui/menolak.
Pesan gestural yang mempertentangkan terjadi bila pesan
gestural memberikan arti lain dari pesan verbal atau pesan
lainnya. Pesan gestural tak responsif menunjukkan gestur
yang yang tidak ada kaitannya dengan pesan yang
diresponnya. Pesan gestural negatif mengungkapkan sikap
dingin, merendahkan, atau menolak. Pesan gestural tak
responsif mengabaikan permintaan untuk bertindak.
c. Pesan postural
Berkaitan dengan keseluruhan anggota badan. Mehrabian
menyebutkan tiga makna yang dapat disampaikan postur:
 Immediacy. Merupakan ungkapan kesukaan atau
ketidaksukaan terhadap individu yang lain. Postur yang
condong kearah lawan bicara menunjukkan kesukaan atau
penilaian positif.
 Power. Mengungkapkan status yang tinggi pada diri
komunikator.
 Responsiveness. Individu mengkomunikasikannya bila ia
bereaksi secara emosional pada lingkungan, baik positif
maupun negatif.
2. Pesan proksemik
Pesan ini disampaikan melalui pengaturan jarak dan ruang. Pada
umumnya, dengan mengatur jarak, kita mengungkapkan
keakraban kita dengan orang lain. Pesan ini juga diungkapkan
dengan mengatur ruangan objek dan rancangan interior. Pesan ini
dapat mengungkapkan status sosial ekonomi, keterbukaan, dan
keakraban.
3. Pesan artifaktual
Pesan ini diungkapkan melalui penampilan, body image, pakaian,
kosmetik, dan lain-lain. Umumnya pakaian kita pergunakan untuk
menyampaikan identitas kita, yang berarti menunjukkan kepada
orang lain bagaimana perilaku kita dan bagaimana orang lain
sepatutnya memperlakukan kita. Selain itu pakaian juga berguna

71
untuk mengungkapkan perasaan (misal pakaian hitam berarti duka
cita) dan formalitas (misal sandal untuk situasi informal dan batik
untuk situasi formal).
4. Pesan paralinguistik
Merupakan pesan non-verbal yang berhubungan dengan cara
mengucapkan pesan verbal. Satu pesan verbal yang sama dapat
menyampaikan arti yang berbeda bila diucapkan dengan cara yang
berbeda. Hal-hal yang membedakan antara lain: nada, kualitas
suara, volume, kecepatan, dan ritme. Secara keseluruhan, pesan
paralinguistik merupakan alat yang paling cermat unuk
menyampaikan perasaan kita kepada orang lain.
5. Pesan sentuhan dan bau-bauan
Berbagai pesan atau perasaan dapat disampaikan melalui
sentuhan, tetapi yang paling sering dikomunikasikan antara lain:
tanpa perhatian (detached), kasih saying (mothering), takut
(fearful), marah (angry), dan bercanda (playful). Bau-bauan telah
digunakan manusia untuk berkomunikasi secara sadar maupun
tidak sadar. Saat ini orang-orang telah mencoba menggunakan
bau-bauan buatan seperti parfum untuk menyampaikan pesan.

KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

Komunikasi antarbudaya merupakan kajian yang penting pada


saat sekarang ini, era ketika konflik dan kekerasan menjadi gejala
yang sifatnya semakin meluas. Berbagai peristiwa kekerasan dan
gerakan yang membawa idiologi perlawanan secara umum
menunjukkan bahwa perasaan memadai yang terlalau besar terhadap
kelompok budayanya menjadi pelican bagi antarkelompok di
masyarakat, pergaulan dalam negara-bangsa, maupun antarnegara
(internasional).
Gejala-gejala ekspresi budaya, baik yang muncul dalam
pemikiran idiologi maupun fanatisme kelompok kebudayaan yang
setidaknya mewarnai wacana konflik dunia internasional, tetapi juga
menjadi gambaran konflik antarkelompok kebudayaan di Indonesia.
Hal ini menunjukkan bahwa prasangka antarbudaya, seprti rasisme,
etnosentrisnme, dan idiologi kelompok benar-benar ada dalam
kehidupan kita.
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

Komunikasi antar budaya pada dasarnya merupakan


komunikasi yang terjadi diantara orang atau kelompok orang yang
berbeda latar belakang kebudayaannya. Ada tiga faktor yang
mendorong perkembangan studi komunikasi antarbudaya, yaitu:
1. Kesadaran internasional
2. Kesadaran domestic
3. Kesadaran pribadi
Untuk mendapatkan kejelasan tentang berbagai
konseptualisasi tentang kebudayaan dalam konteks komunikasi antar
budaya, ada tiga dimensi yang perlu diperhatikan, yaitu:
1. Tingkat masyarakat kelompok budaya dari para pelaku
komunikasi
2. Konteks sosial tempat terjadinya komunikasi antarbudaya
3. Saluran komunikasi yang dipergunakan

Kaitan Antara Komunikasi dan Kebudayaan

Unsur-unsur pokok yang mendasari proses komunikasi


budaya adalah adanya konsepkonsep tentang kebudayaan dan
komunikasi, serta adanya saling ketergantungan antara keduanya.
Adanya saling ketergantungan antara kebudayaan dan komunikasi ini
akan terlihat dari kesimpulan sebagai berikut:

1. Kebudayaan dimiliki oleh sekelompok orang atau masyarakat


dalam suatu periode tertentu. Untuk mewariskan kepada generasi
berikutnya serta dikembangkan ke berbagai tempat diperlukan
jasa komunikasi. Dengan kata lain kebudayaan dirumuskanm
dibentuk, ditransmisikan serta dipelajari melalui komunikasi.
2. Adanya komunikasi diantara individu tergantung pada
kebudayaannya. Kebudayaan merupakan dasar atau landasan bagi
komunikasi kebudayaan yang berbeda akan menghasilkan
komunikasi yang berbeda pula.
Melalui komunikasi kita membentuk kebudayaan dan
sebaliknya melalui kebudayaan ditentukan aturan dan pola-pola
komunikasi.

Kebudayaan Sebagai Penyaring


Salah satu fungsi kebudayaan ialah sebagai penyaring
berbagai informasi yang masuk ke lingkungan masyarakat yang sangat
selektif dalam menghadapi dunia luar. Proses seleksi yang

73
dipengaruhi oleh kebudayaan ini disebut persepsi, yang kemudian
menentukan tingkah laku termasuk komunikasi. Seringkali perilaku
seseorang dipengaruhi oleh cara seseorang tsb mengenal lingkungan
dan apa yang telah diajarkan oleh semua kebudayaannya.
Untuk mendalami proses persepsi, ada tiga aspek yang perlu
diketahui:
1. Aspek struktur; apa yang kita hadapi mempunyai bentuk, ukuran,
tekstur, warna, intensitas, dan sebagainya.
2. Aspek stabilitas; dunia persepsi yang terstruktur tai mempunyai
kelanggengan (tidak berubah-ubah).
3. Aspek makna; tidak dapat dilepaskan dari kemampuan bahasa
tergantung pada penggunaan atas kata-kata yang dpt memberi
gambaran secara tepat.
Untuk memahami bagaimana proses persepsi tsb, ada dua
dimensi pokok yang mendukung, yaitu:
1. Dimensi fisik, menggambarkan perolehan kita akan informasi
tentang dunia luar melalui mata, telinga, hidung, mulut dan kulit
serta transmisi dat melalui syaraf menuju otak utk kemudian
diubah kedalam bentuk yang bermakna.
2. Dimensi psikologis, keadaan individu menentukan persepsi
mengenai lingkungan dan perilaku. Proses seleksi dalam persepsi
mengenai suatu objek dan lingkungan sekelilingnya menurut
Samovar (1981) melibatkan tiga hal yang saling berkaitan, yaitu:
a. Selective exposure (seleksi thd pengenaan pesan/stimulus)
b. Selectibe attention (seleksi dalam hal perhatian)
c. Selective retention (seleksi yang menyangkut retensi/ingatan).
Untuk menciptakan stabilitas struktur dan makna bagi
lingkungan di sekitar kita, diperlukan adanya persepsi. Melalui
persepsi, masyarakat menciptakan stabilitas,struktur dan makna bagi
lingkungan di sekitarnya.

Persepsi, Perilaku, Stereotip dan Prasangka


Untuk menciptakan stabilitas struktur dan makna bagi
lingkungan di sekitar dari pengaruh luar diperlukan adanya persepsi.
Namun untuk mendapatkan persepsi yang sama, tidaklah mudah.
Perbedaan-perbedaan ini disebabkan perbedaan biologis dan
pandangan seseorang. Semakin sama latarbelakang biologis atau
pandangan, semakin besar persamaan persepsi.
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

Dengan adanya persamaan persepsi dan lancarnya komunikasi


maka semakin besar terbentuknya identitas kelompok dan ini
menimbulkan kebudayaan tersendiri yang kemungkinan terjadi
perubahan secara terus menerus. Untuk mengenal dan memberikan
nama benda dan berbagai peristiwa di sekitar kita agar cocok dengan
struktur dan makna yang ada pada kelompok individu dan
pengembangannya, dipergunakan stereotip (keyakinan, menurut
Samovar, Porter dan Jain) dan prasangka (sikap), yang keduanya
mempunyai hubungan erat dan saling mempengaruhi dengan
komunikasi antar budaya.

Beberapa Dimensi Stereotip:


1. Arah (direction): penunjuk pada arah penilaian, misal: disenangi
atau dibenci.
2. Intensitas, yaitu menunjuk pada seberapa kuat keyakinan dari
suatu stereotip.
3. Ketepatan, artinya ada stereotip yang betul2 tidak
menggambarkan kebenaran atau sebagian tdk benar.
4. Isi khusus, yaitu sifat2 khusus mengenai suatu kelompok.

Prasangka
Prasangka menurut Samovar, dkk, adalah suatu sikap kaku
terhadap suatu kelompok orang, berdasarkan keyakinan ata
prakonsepsi yang salah. Terdapat lima macam manifestasi akibat dari
prasangka yang realisasinya tergantung dari intensitasnya:
1. Antilokusi, yaitu berbicara dg teman sendiri/org lain mengenai
sikap, perasaan, pendapat dan stereotip tentang kelompok tertentu.
2. Penghindaran diri
3. Diskriminasi
4. Serangan fisik
5. Pemusnahan, merupakan bentuk manifestasi prasangka yg
intensitasnya paling keras, misal: menghukum mati tanpa proses.

Asal mula timbulnya stereotip dan prasangka


1. Dari orang tua
2. Dari pengalaman pribadi
3. Dari media massa.

Pengaruh stereotip dan prasangka terhadap KAB


1. Dapat menyebabkan tidak terjadinya Komunikasi Antarbudaya.

75
2. Cenderung menghasilkan hal-hal yang negative selama terjadinya
proses Komunikasi Antarbudaya, sehingga mempengaruhi
kualitas dan intensitas interaksi.
3. Sangat mendalam, maka orang akan terlibat dalam perilaku
antilokusi dan diskriminasi aktif terhadap kelompok orang yang
tidak disukai yang akan membawa pada konfrontasi dan konflik
terbuka.
Tema pokok yang sangat membedakan studi Komunikasi
Antarbudaya dari studi komunikasi lainnya ialah derajat perbedaan,
latarbelakang, pengalaman yang relatif besar antara para komunikator,
yang disebabkan oleh perbedaan-perbedaan kebudayaan. Sebagai
asumsi dasar adalah bahwa di antara individu-individu dengan
kebudayaan yang sama umumnya terdapat kesamaan (homogenitas)
yang lebih besar dalam hal latar belakang pengalaman secara
keseluruhan dibandingkan dengan mereka yang berasal dari
kebudayaan berlainan.
Dalam perkembangannya teori Komunikasi Antarbudaya
telah menghasilkan sejumlah defenisi, diantaranya adalah:

Komunikasi antar budaya adalah seni untuk memahami dan


dipahami oleh khalayak yang memiliki kebudayaan lain. (Sitaram,
1970).

Komunikasi bersifat budaya apabila terjadi diantara orang-orang


yang berbeda kebudayaan. (Rich, 1974).

Komunikasi antarbudaya adalah komunikasi yang terjadi dalam


suatu kondisi yang menunjukan adanya perbedaan budaya seperti
bahasa, nilai-nilai, adat, kebiasaan. (Stewart, 1974).

Komunikasi antarbudaya menunjuk pada suatu fenomena


komunikasi di mana para pesertanya memiliki latar belakang
budaya yang berbeda terlibat dalam suatu kontak antara satu
dengan lainnya, baik secara langsung atau tidak langsung. (Young
Yung Kim, 1984)

Dari defenisi tersebut nampak jelas penekanannya pada


perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam
berlangsungnya proses komunikasi dan interaksi yang terjadi di
DASAR-DASAR TEORI KOMUNIKASI

dalamnya. Karena itu dua konsep terpenting di sini adalah kontak dan
komunikasi merupakan ciri yang membedakan studi Komunikasi
Antarbudaya dari studi-studi antropologi dan psikologi lintas budaya
yang berupaya mendeskripsikan kebudayaan-kebudayaan
antarbudaya.

Dimensi Komunikasi antar-budaya


Untuk mencari kejelasan dan mengintegrasikan berbagai
konseptualisasi tentang kebudayaan dalam konteks Komunikasi
Antarbudaya ada tiga dimensi yang perlu diperhatikan:
1. Tingkat masyarakat kelompok budaya dari partisipan;
2. Konteks sosial tempat terjadinya Komunikasi Antarbudaya;
3. Saluran yang dilalui oleh pesan-pesan Komunikasi Antarbudaya
(baik yang verbal maupun non-verbal).
Dimensi pertama menunjukan bahwa istilah kebudayaan
telah digunakan untuk merujuk pada macam-macam tingkat lingkupan
dan kompleksitas dari organisasi sosial. Umumnya istilah kebudayaan
mencakup beberapa pengertian sebagai berikut:
1. Kawasan di dunia, misalnya; budaya Timur, budaya Barat.
2. Subkawasan-kawasan di dunia, budaya Amerika Utara, Asia
Tenggara.
3. Nasional/negara, misalnya budaya Indonesia, budaya Perancis,
budaya Jepang.
4. Kelompok-kelompok etnik-ras dalam negeri seperti, Cina, Jawa,
Negro.
5. Macam-macam subkelompok sosiologis berdasarkan kategori
jenis kelamin, kelas sosial (budaya hippiis, budaya kaum
gelandangan, budaya penjara)
Dimensi kedua menyangkut Konteks Sosial, meliputi bisnis,
organisasi, pendidikan, akulturasi imigran politik, konsultasi terapi,
dsb. Komunikasi dalam semua konteks sosial tersebut pada dasarnya
memilih persamaan dalam hal unsur-unsur dasar an proses
komunikasi (misalnya menyangkut penyampaian, penerimaan dan
pemrosesan). Tetapi adanya pengaruh kebudayaan yang tercakup
dalam latarbelakang pengalaman individu membentuk pola-pola
persepsi pemikiran, penggunaan pesan-pesan verbal dan non-verbal
serta hubungan-hubungan antaranya.

77
Unsur-unsur Kebudayaan.
Karena kebudayaan memberikan identitas pada sekelompok
manusia, maka muncul suatu persoalan yakni bagaimana cara kita
mengidentifikasi aspek-aspek atau unsur-unsur kebudayaan yang
membedakan satu kelompok masyarakat budaya dari kelompok
masyarakat budaya lainnya. Samovar (1981) membagi berbagai aspek
kebudayaan kedalam tiga pembagian besar unsur-unsur sosial budaya
yang secara langsung sangat mempengaruhi penciptaan makna untuk
persepsi, yang selanjutnya menentukan tingkah laku komunikasi.
Pengaruh-pengaruh terhadap komunikasi ini sangat beragam
dan mencakup semua segi kegiatan sosial manusia. Dalam proses
Komunikasi Antarbudaya unsur-unsur yang sangat menentukan ini
bekerja dan berfungsi secara terpadu bersama-sama seperti komponen
dari suatu sistem stereo, karena masing-maasing saling membutuhkan
dan berkaitan. Tetapi dalam penelaahan, unsur-unsur tersebut dipisah-
pisahkan agar dapat diidentifikasi dan ditinjau secara satu persatu.
Unsur-unsur sosial budaya tersebut adalah:
1. Sistem keyakinan, nilai dan sikap.
2. Pandangan hidup tentang dunia.
3. Organisasi sosial.
Pengaruh ketiga unsur kebudayaan tersebut pada makna untuk
persepsi terutama pada aspek individual dan subjektifnya. Kita semua
mungkin akan mlihat suatu obbjek atau peristiwa sosial yanng sama
dan memberikan makna objektif yang sama, tetapi makna
individualnya tidak mustahil akan berbeda. Misalnya orang Amerika
dengan Arab sepakat menyatakan seseorang wanita berdasarkan
wujud fisiknya. Tetapi kemungkinan besar keduanya akan berbeda
pendapat tentang bagaimana wanita itu dalam makna sosialnya. Orang
Amerika memandang nilai kesetaraan antara pria dengan wanita,
sementara orang Arab memendang wanita cenderung menekankan
wanita sebagai ibu rumah tangga.

Anda mungkin juga menyukai