Anda di halaman 1dari 8

Nama : Ariva Kumala Ledia Viranda

Lembaga : Komisariat Politeknik Negeri Jember

Angkatan : 2019

Terjebak kontruksi sosial

Perempuan dan laki-laki merupakan mahluk yang sama dihadapan Allah


SWT, namun banyak ditemui konstruksi sosial pemikiran mengenai budaya
patriarki. Hal ini menjadi perbincangan hanngat sepanjang masa yang tidak ada
habisnya, bahkan menjadi sangat menarik jika andai perbincangan ini difokuskan
untuk sebuah gerakan praksis yang massif. Perempuan pada masa kini bila dilihat
dari peluang dalam ruang sosial budaya sudah memiliki kedudukan yang setara
dengan laki-laki. Namun jika kita melihat dari perspektif masyarakat desa
mungkin hal ini menjadi sesuatu yang tidak wajar karena perempuan identic
dengan pekerjaan rumah. Hal ini disebabkan oleh mayoritas orang tidak dapat
membedakan antara seks dan gender,istilah seks ini sendiri memiliki arti
perbedaan anatomi biologis laki-laki dan perempuan tetapi malahan hal ini yang
menjadi topic perdebatan yang melahirkan seperangkat budaya. Sedangkan gender
merupakan gender adalah serangkaian karakteristik yang terikat kepada dan
membedakan maskulinitas(sifat laki-laki) dan feminitas(sifat perempuan). Lebih
singkatnya, gender dapat diartikan sebagai suatu konstruksi sosial atas seks,
menjadi peran dan perilaku sosial.

Lebih singkatnya, gender dapat diartikan sebagai suatu konstruksi sosial


atas seks, menjadi peran dan perilaku sosial. Istilah gender seringkali tumpang
tindih dengan seks (jenis kelamin), padahal dua kata itu merujuk pada bentuk
yang berbeda. Mulai dari bayi kita telah diperkenalkan dengan gender identity,
dimana baju dan perhiasan bayi perempuan dan laki-laki sudah pasti dibedakan
dan ketika dewasa memakai atribut yang tidak biasa dimata masyarakat maka
akan mendapatkan perilaku tidak terpuji dari orang lain yang dapat dikatakan
sebuah ketidakadilan gender dan akan menjadi beban gender(gender assignment).
Seharusnya perempuan dan laki-laki tidak mempermasalahkan mengenai peran
dan perilaku sosial karena memang keduanya mempunyai hak yang sama terlepas
dari hakekat masing-masing, agar perempuan tidak termarginalkan dengan
konstruksi sosial yang memang sudah ada dan menjadi doktrin sedari lahir.

Sering terjadi dilapangan mengenai permasalahan sepele yang sering luput


dari pembahasan, misal lelaki selalu diibaratkan dengan buaya yang dimaksudkan
bahwa lelaki itu tidak setia terhadap pasangannya dan juga terjadi pada
perempuan bahwa ketika perempuan mendapat masalah cenderung lemah dan
menangis. Padahal menurut pandangan saya setia, lemah, kuat, tangguh atau tidak
itu tidak hanya terjadi pada salah satu diantara perempuan atau laki laki. Inilah
stereotip yang sering terjadi pada saat ini, tanpa menimbang akibat dari semua itu
bahwa akan menyebabkan ketimpangan yang akhirnya membuat seorang individu
merasa dirinya seperti apa yang dikatakan orang lain. Linda L. Lindsey
menganggap bahwa semua ketetapan masyarakat perihal penentuan seseorang
sebagai laki-laki dan perempuan adalah termasuk bidang kajian gender 13 (What a
given society defines as masculine or feminim is a component of gender).

Beberapa individu atau kelompok yang mengatakan


bahwa feminisme ialah produk budaya Barat sehingga tidak cocok diterapkan di
Indonesia, tidak sesuai dengan syariat agama dan meracuni pikiran para
perempuan untuk meninggalkan kodratnya. Sementara para feminis sering
dianggap sebagai perempuan-perempuan yang benci laki-laki, anti pernikahan,
anti ibu rumah tangga sampai tuduhan kalau mereka mendukung praktik
perzinaaan dan aborsi. Setiap ada perempuan yang mengungkapkan pemikirannya
tentang kesetaraan gender, bayangannya langsung ngeri. Dikiranya perempuan
ingin mendominasi laki-laki. Padahal narasi kesetaraan gender digaungkan untuk
menyuarakan keadilan bagi perempuan maupun laki-laki yang selama ini masih
pincang. Setara itu bukan berarti sama. Inti dari kesetaraan adalah keadilan. Adil
itu sendiri adalah menempatkan segala sesuatu sesuai dengan porsinya. Jadi, kalau
ada yang bilang bahwa kesetaraan gender itu menuntut perempuan sama dengan
laki-laki, itu kurang tepat. Karena laki-laki dan perempuan dari zaman Nabi Adam
sampai zaman Dajjal turun ke bumi kelak, tidak akan pernah menjadi sama. Laki-
laki dan perempuan diciptakan dengan kondisi fisik, psikis, tugas dan peran yang
berbeda. Perbedaan-perbedaan ini ada bukan untuk saling mendominasi atau
menguasai, melainkan untuk saling melengkapi. Saling bekerjasama untuk
membangun peradaban yang lebih baik.

Realita yang terjadi pada saat ini adalah perempuan sendiri terjebak pada
bayangan ekstrim ketika mereka menjadi perempuan berada dalam ruang gerak
yang berbeda jauh dari perempuan pada umumnya, dalam artian perempuan takut
pada perspekif orang lain terhadap dirinya sendiri. Selain sebab tersebut peran
perempuan juga terbatasi dengan adanya undang-undang perkawinan nomor 1
tahun 1974 yang pasalnya, antara lain pasal 31 dan 34, disebutkan, pria adalah
kepala keluarga dan istri adalah rumah tangga. Namun ada hal yang menjadi
sebuah kebimbangan dalam memahami peran dan hakekat perempuan salah
satunya yaitu perempuan sebagai seorang ibu yang berarti mau tidak mau pada
dasarnya perempuan diciptakan untuk menjadi seorang ibu yang mengurusi
anaknya, dilain sisi yang menjadi pertanyaan bagaimana dengan seorang
perempuan merawat anaknya sebagaimana ia menjadi seorang ibu, lalu bagaimana
bila ia adalah seorang perempuan karir atau perempuan yang mempunyai banyak
kegiatan? Bagaimana dengan proses sosialisasi anaknya nanti jika ibunya berkarir
dan ayahnya juga bekerja? Jika kebanyakan anak kehi;angan masa sosialisasinya,
lalu seperti apakah generasi yang akan menjadi penerus bangsa ini? Inilah yang
masih menjadi PR bersama karena bagaimanapun itu latar belakang akan
mempengaruhi individu dan karakternya.

Jika ada yang mengatakan bahwa kesetaraan gender itu menuntut


perempuan sama dengan laki-laki, itu kurang tepat. Karena laki-laki dan
perempuan dari zaman Nabi Adam sampai zaman Dajjal turun ke bumi
kelak, tidak akan pernah menjadi sama. Laki-laki dan perempuan diciptakan
dengan kondisi fisik, psikis, tugas dan peran yang berbeda. Perbedaan-perbedaan
ini ada bukan untuk saling mendominasi atau menguasai, melainkan untuk saling
melengkapi. Saling bekerjasama untuk membangun peradaban yang lebih
baik. Sebagaimana yang telah digambarkan dalam sejarah bahwa perempuan
adalah kaum yang termarginalkan, paradigma terus terhegomoni hingga sekarang
sehingga perempuan selalu dianggap kaum lemah dan tidak berdaya.

Inilah faktanya seberapa kuat gerakan feminisme di Indonesia namun


budaya patriarki yang sudah dipegang erat oleh masyarakat Indonesia susah
dihilangkan. Walaupun perempuan saat ini sudah dapat menempuh pendidikan
dengan bebas namun kembali lagi jika sudah berumah tangga harus dapat
membagi peran, sebenarnya bias gender seperti ini muncul karena kontruksi
masyarakat itu sendiri. Praktik budaya patriarki masih membelenggu sebagian
masyarakat Indonesia sampai saat ini. Hasil dari praktik tersebut menyebabkan
timbulnya berbagai masalah sosial di Indonesia, seperti Kekerasan Dalam Rumah
Tangga (KDRT), pelecehan dan kekerasan seksual, pernikahan dini, dan stigma
mengenai perceraian. Di dalam kasus pelecehan seksual, budaya patriarki
memberikan konstruksi dan pola pikir apabila laki – laki berkaitan erat dengan
ego maskulinitas sementara feminitas sendiri diabaikan dan dianggap sebagai
sesuatu yang lemah. Masyarakat seperti membiarkan saja jika ada laki – laki
bersiul yang menggoda perempuan (catcalling) yang melintas di jalan, tindakan
mereka seolah – olah menjadi hal yang lumrah dan wajar sebab sebagai laki –
laki, mereka harus berani mengahadapi perempuan, laki – laki dianggap sebagai
kaum penggoda sementara kaum perempuan adalah objek atau makhluk yang
pantas digoda dan tubuh perempuan dijadikan sebagai tindakan kekerasan itu
sendiri. Terlebih lagi jika perempuan tersebut melakukan perlawanan, laki – laki
akan merasa disepelekan sehingga akan semakin menjadi – jadi dalam melakukan
pelecehan dan kekerasan.

Dari banyak kegelisahan tersebut yang mungkin hal itu masih hanya
segelintir, dengan keadaan seperti ini maka tidak terlepas dari gerakan feminis.
Gerakan feminisme lahir dengan diprakarsai oleh Lady Mary Wortley Montagu
dan Marquis de Condoracet dengan mengusung perjuangan yang disebut universal
sisterhood di negara-negara jajahan Eropa.muncul sebuah gerakan perempuan
yang biasa disebut feminisme, kata feminisme dikreasikan pertama kali oleh
aktivis sosialis utopis, Charles fourier pada tahun 1837. Pergerakan center Eropa
ini berpindah ke Amerika dan berkembang pesat sejak publikasi John Stuart Mill,
the Subjection of Women (1869). Perjuangan mereka menandai kelahiran
feminisme Gelombang Pertama. Setelah berakhirnya perang dunia kedua, ditandai
dengan lahirnya negara-negara baru yang terbebas dari penjajah Eropa, lahirlah
Feminisme Gelombang Kedua pada tahun 1960. Dengan puncak
diikutsertakannya perempuan dalam hak suara parlemen. Pada tahun ini
merupakan awal bagi perempuan mendapatkan hak pilih dan selanjutnya ikut
mendiami ranah politik kenegaraan. Sedangkan pengertian Feminisme merupakan
sebuah gerakan yang menuntut emansipasi atau keadilan dan hak dengan laki-
laki. Menurut bahasanya, Feminisme bersumber dari bahasa latin “Femina” yang
artinya perempuan. -isme berasal dari Yunani -ismos, Latin -ismus, Prancis
Kuno -isme, dan Inggris -ism. Akhiran ini menandakan suatu paham atau ajaran
atau kepercayaan.

Terlepas dari sejarah feminism dan pengertiannya, feminisme terlahir atas


rasa ketidakadilan dalam ruang gerak untuk mengekspresikan diri. Tentunya
berangkat dari tekat yang kuat untuk bangkit karena kita tahu bahwa budaya
patriarki yang sudah menjadi kontruksi sosial. Sehingga memerlukan perjuangan
jangka panjang, bisa juga dengan menggunakan central planner agar sedikit demi
sedikit isu yang diangkat segera menuai hasil. Ketika membahas mengenai
feminism maka tidak akan terlepas dari hak-hak yang dituntut oleh perempuan.
Feminism di Indonesia hingga kini, menurut pandangan saya isu praksis yang
diangkat feminisme ini belum jelas terarah kemana fokusnya. Disini saya akan
memapaparkan mengenai gerakan perempuan di PMII yang terkenalnya seorang
perempuan PMII disebut dengan KOPRI, wadah yang diteruntukan untuk anggota
dan kader putri ini memang menuai banyak apresiasi dan kritikan. Apresiasi yang
berikan yaitu wadah ini sebagai proses tempaan bagi para perempuan PMII dan
membentuk mental kuat untuk para perempuan yang lebih memprioritaskan
perasaannya, alibinya. Selain itu, KOPRI ini juga sebagai tempat pemberdayaan
perempuan dengan visi misi bertakjub keadilan gender. Arah gerak KOPRI dibagi
menjadi 4 yaitu

1. Gerakan sosial budaya. Output yang akan dicapai adalah advokasi kepada
masyarakat baik advokasi kebijakan public yang tidak berpihak kepada
perempuan dan advokasi kebasis masa.
2. Gerakan politik. Output yang akan dicapai dalam proses gerakan politik
adalah penguasaan leading sector oleh kader-kader perempuan PMII.
3. Gerakan sains dan teknologi. Output yang akan dicapai kader KOPRI
dapat menciptakan produk sains dan teknologi serta dapat memasuki
sector-sektor sains, berperan aktif dalam media sosial dalam langkah
pengawalan gerakan.
4. Gerakan ekonomi. Output yang akan dicapai oleh kader KOPRI dapat
mengambil peran besar dalam kemajuan perekonomian Indonesia 2030
dengan menyiapkan perempuan-perempuan kuat dalam bidang ekonomi
dan ranah gerakan.

Dari paparan mengenai arah gerak kopri diatas sebenarnya masih banyak hal yang
membuat pro-kontra pada kalangan kader putra-putri PMII. Tentu saja pro-
KOPRI mengatakan bahwa Badan Semi Otonom ini sangat tepat sekali dalam
menangani permasalahan pada kader putri. Namun tak sedikit juga yang tidak
menyetujuinya, salah satu alasannya adalah ketika berbicara realita, adanya
KOPRI ini terkesan membeda-bedakan dan memberi skat antara kader putra dan
kader putri, karena kita mengetahui bahwa permasalahan setiap kader pasti ada
baik pada keduanya. Ketika terbentuknya ini BSO ini untuk keadilan gender
sesuai yang tertera pada visi misi KOPRI maka timbul pertanyaan bahwa,
mengapa harus dibeda-bedakan jika memang kita mempunyai ruang proses yang
sama dan apabila kita lihat lagi keadaannya saat ini seharusnya KOPRRI ini
memiliki gerakan yang benar-benar nyata adanya. Berbicara mengenai gerakan,
dari kacamata saat ini memang mulai ada gerakan mengenai RUU PKS. Mulai
dari sini saja coba kita pahami lebih mendalam bahwa ketika gerakan ini hanya
digerakkan hanya dari para perempuan, kemungkinan tidak akan mempengaruhi
kebijakan bahwa RUU PKS dicabut dari prioritas prolegnas. Penarikan RUU PKS
tersebut disebut diklaim Badan Legislasi (Baleg) karena adanya sejumlah pasal
pemidanaan pada RUU PKS yang terkait dengan Rancangan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (RKUHP). Oleh karena itu, mereka harus mengesahkan
RKUHP dahulu sebelum mengesahkan RUU PKS. Selain itu mereka juga
beralasan bahwa pembahasan RUU PKS ini sulit. RUU PKS merupakan
rancangan payung hukum untuk mencegah dan melindungi korban kekerasan
seksual. RUU ini sudah masuk prolegnas prioritas sejak 2016. RUU tersebut
mengatur sembilan tindak kekerasan seksual yang akan dipidana, yang sebagian
tidak diatur dalam KUHP atau aturan lain.

Penarikan RUU PKS ini, mirisnya, dilakukan di tengah tingginya kasus kekerasan
yang dialami oleh perempuan. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap
Perempuan atau Komnas Perempuan mencatat jumlah kasus kekerasan terhadap
perempuan pada 2019 sebanyak 431.471 kasus. Angka tersebut meningkat hampir
800 persen jika dibandingkan jumlah kasus pada 2008 dengan 54.425 kasus.
Dalam 12 tahun terakhir, angka kasus pada 2019 merupakan yang tertinggi.
Jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan setiap tahunnya bergerak fluktuatif
dengan kecenderungan meningkat. Artinya bahwa jika tidak ada kebijakan yang
bijak dalam menangani permasalahan terhadap perempuan yang meliputi
kekerasan dalam hal fisik, psikis, ekonomi, seksual dan khusus. Tidak bisa apabila
KOPRI membuat sebuah strategi gerakan tanpa melibatkan laki-laki dan
perempuan karena ketika keduanya menemukan titik kumpul maka aka nada
kekuatan dan sinergitas dalam membangun gerakan ini hingga benar-benar
menghasilkan output yang dituju yaitu pengesahan RUU PKS.

Dengan begitu maka, sebenarnya masalah mengenai perempuan ini bukanlah


permasalahan para kaum perempuan saja. Bahkan lelaki juga harus ikut
menyuarakan, kader putra dan putri PMII harus bersama sama menegakkan
keadilan sesuai Nilai Dasar Pergerakan kita serta mengamalkan tiga pilar kita
yakni kemahasiswaan, keislaman dan ke Indonesiaan. Argumentasi idealis inilah
yang perlu turun temurun harus senantiasa diteruskan untuk memperjuang Diakui
ataupun tidak kebijakan saat ini akan menentukan arah bangsa-negara kita
kedepannya, nasib anak cucu kedepannya. Apalagi dibenturkan dengan
keberlangsungan kehidupan organisasi pasti akan berpengaruh. Feminisme masa
kini adalah perjuangan untuk mencapai kesetaraan harkat dan kebebasan
perempuan dalam mengelola kehidupan dan tumbuhnya baik di ruang domestik
dalam rumah tangga maupun di ruang publik dalam lingkungan masyarakat.
Kaum feminis juga menuntut suatu masyarakat yang adil serta persamaan hak
antara laki – laki dan perempuan. Dengan demikian, untuk bisa menjadi feminis
tidaklah harus menjadi berjenis kelamin perempuan. Laki – laki pun bisa,-
seharusnya bisa-, menjadi feminis agar bisa menyebarkan serta mengajak
masyarakat untuk mempunyai kesadaran dan kepedulian untuk mengubah
ketidakadilan dan penindasan terhadap perempuan, baik dalam keluarga maupun
masyarakat. Feminisme yang bercita – cita mewujudkan kesetaraan gender itu
juga akan membawa pada relasi gender. Merujuk pada kata relasi yang berarti
hubungan, dapat disimpulkan bahwa relasi gender adalah hubungan antara laki –
laki dan perempuan yang memiliki hak dan keadilan yang sama rata tanpa dibeda
– bedakan satu sama lain.

Anda mungkin juga menyukai