Anda di halaman 1dari 16

Tepat hari ini tanggal 6 Juni 2016, sebagai bentuk 

peringatan kelahiran Bapak Bangsa


kita, Zenius Blog mempersembahkan tulisan biografi singkat dari Ir. Sukarno, seorang
pejuang revolusi, salah seorang pendiri negara kita, sekaligus presiden pertama Republik
Indonesia.

Siapa sih warga negara Indonesia yang ga tau nama Sukarno? Namanya


begitu melekat di setiap hati dan pikiran orang Indonesia. Jutaan orang mengidolakannya,
menjadikan dirinya sebagai figur negarawan ideal, bahkan kata-katanya seringkali dianggap
sebagai refleksi dari karakter Bangsa Indonesia yang seharusnya. Bagi sebagian orang,
Sukarno seolah-olah adalah personifikasi dari negara Indonesia itu sendiri.

Namun demikian, kadang gua penasaran… berapa banyak sih dari orang-orang yang
ngakunya mengidolakan Sukarno itu, memang betul-betul tau tentang proses perjuangan
dia dalam mendirikan negara Indonesia? Sejauh mana sih orang Indonesia yang ngakunya
cinta NKRI, memang betul-betul memahami gagasan, ide, serta pemikiran dari Bapak Bangsa
kita ini?

Nah, dalam artikel blog kali ini, gua mendapat kehormatan untuk menulis biografi
singkat dari Bapak Bangsa kita. Walaupun di luar tulisan ini sudah banyak yang mengupas
sisi kehidupan Sukarno, tapi kebanyakan malah bercerita tentang gossip kehidupan
pribadinya. Nah, khusus untuk artikel kali ini, gua akan fokus mengupas PROSES
PERJUANGAN Sukarno dalam memerdekakan serta pokok pemikirannya tentang Negara
Republik Indonesia. Selamat membaca!

Chapter 1: Masa Kecil-Remaja Sukarno (1901-1921)


Sukarno terlahir dengan nama Kusno pada 6 Juni 1901 di Surabaya dari seorang ibu
keturunan bangsawan Bali bernama Ida Ayu Nyoman Rai dan ayahnya adalah keturunan
Sultan Kediri bernama Raden Sukemi Sosrodiharjo. Berdasarkan silsilah keluarga, darah
pejuang sudah mengalir kental dalam diri Sukarno. Kakek moyang Sukarno dari pihak ibu
adalah pejuang dari Kerajaan Singaraja dalam perang Puputan di pantai utara Bali. Sementara
dari pihak ayah, mengalir darah patriot dari pahlawan tanah Jawa yaitu Diponegoro. Dari
kisah perjuangan kakek-nenek moyang keluarga, hasrat pejuang pembebasan itu diwariskan
terus hingga menjadi ambisi yang dalam diri Sukarno muda.

Walaupun lahir dari keturunan bangsawan dari pihak ayah maupun ibu, jangan dikira
Sukarno lahir dan tumbuh dari keluarga yang berkecukupan. Gelar kebangsawanan itu
hanyalah tinggal nama karena kebanyakan leluhur Sukarno kalah dalam perjuangan lokal
melawan kolonial Belanda. Ayah Sukarno hanyalah guru sekolah rendah di Singaraja,
sementara sang ibu adalah gadis Pura yang menjaga kebersihan rumah ibadat itu. Sesudah
pindah ke Blitar, Sukarno dibesarkan di tengah keluarga yang bisa gua bilang kebangetan
miskinnya! Menurut otobiografi yang ditulis Sukarno dan Cindy Adams, dia tinggal di rumah
yang sangat sederhana. Keluarganya bahkan ga punya sendok, garpu, ataupun sepatu. Waktu
kecil keluarga Sukarno hanya bisa makan nasi 1x sehari, mereka bahkan gak mampu beli
beras, jadi mereka beli padi dan harus numbuk padi sendiri setiap subuh supaya jadi beras.
Bapak Bangsa kita ini memulai kehidupannya dari kemelaratan yang tak terbayangkan oleh
kita semua.

Walaupun hidup dalam kemiskinan, ayahnya yang seorang guru terus menggembleng
Sukarno dengan prinsip-prinsip hidup yang terus dia pegang. Karena itulah, Sukarno muda
tumbuh dengan jiwa kepemimpinan, cerdas, cekatan, bawel, penuh semangat, dan sekaligus
juga memiliki perasaan yang halus. Karakternya yang seperti itulah yang membuat dirinya
bisa bertahan dalam diskriminasi anak-anak Belanda sewaktu belajar di sekolah Rendah
Belanda hingga masuk ke Hoogere Burgerschool (HBS) sekolah menengah Belanda. Cerita
dikata-katain, diludahin, sampai berantem pukul-pukulan sama anak-anak cowok Belanda,
udah jadi makanan sehari-hari bagi Sukarno yang masih remaja.
Singkat cerita, sejak Sukarno masuk kelas HBS Belanda di Surabaya, dia
numpang bersama kawan ayahnya yang merupakan salah satu tokoh nasional sekaligus sang
guru Bangsa yaitu Hadji Oemar Said Cokroaminoto (selanjutnya disebut Cokroaminoto).
Pada saat itu Cokro adalah ketua Sarekat Islam, sekaligus tokoh politik masyarakat Jawa
yang dijuluki Belanda “Raja Jawa tanpa mahkota”. Di rumah Cokro yang sangat sederhana
ini, Sukarno tinggal dan belajar bersama dengan anak asuh didik Cokro yang lain
seperti Kartosoewirjo, Musso, Alimin, Semaoen.
dari kiri ke kanan : Muso, Alimin, Semaun, Sukarno, Kartosuwiryo sedang berdiskusi di rumah HOS
Cokroaminoto | Illustrasi dari film Soekarno karya Hanung Bramantyo.

Eh tapi jangan lo bayangin kamar asrama Sukarno itu kayak asrama yang nyaman
kayak zaman sekarang ye. Menurut deskripsi langsung dari otobiografi Sukarno, kamarnya di
rumah Cokro itu tidak lebih baik dari kandang ayam! Kamarnya itu gak ada pintu, ga ada
jendela, ga ada kasur, ga ada bantal, ga ada lampu. Bener-bener gelap gulita dan satu-satunya
penerangan cuma dari lilin pijar. Di dalem kamar itu cuma ada meja dan kursi reyot sama
tikar untuk tidur, lengkap bersama sarang-sarang serangga seperti nyamuk, kecoa, kelabang,
dan laba-laba. Maknyus bener dah!

Tapi jangan salah lo, justru dari kamar yang kayak kandang ayam itulah, Sukarno
menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk membaca dan mengejar ilmu pengetahuan.
Kalo kebanyakan anak remaja zaman sekarang pada males belajar dan suka bolos ke sekolah,
Sukarno umur 15 tahun di ‘kandang ayam’ yang gelap penuh sarang serangga itu justru
hobinya belajar, membaca, dan membedah pemikiran politikus kelas dunia dari ratusan tahun
sebelumnya. Dari masih remaja, Sukarno udah katam betul perjuangan politik
pembebasan Amerika beserta perjuangan para pendiri Bangsa Amerika seperti Thomas
Jefferson, George Washington, Benjamin Franklin, John Adams, dkk.
Sukarno remaja juga tertarik sejarah perjuangan revolusi Perancis, revolusi industri,
perjuangan buruh, Declaration of Independence, perang saudara di AS, sampai revolusi
politik di Rusia. Gila banget kan?? Seorang remaja umur 15 tahun yang lahir dalam
kemelaratan, Sukarno udah gak asing lagi dengan gagasan dan pemikiran tokoh intelektual
kelas dunia seperti Karl Marx, Friedrich
Engels, Lenin, Rousseau, Voltaire, Gladstone, Beatrice
Webb, Mazzini, Cavour, Garibaldi, Otto Bauer, Alfred Adler, dan masih banyak lagi. Coba,
dari nama-nama di atas berapa banyak yang lo tahu? Gokilnya lagi, Sukarno mempelajari
pemikiran mereka semua dari kamar pengap yang cuma diterangi oleh satu lilin! Dari kamar
yang seperti ‘kandang ayam’ itulah terlahir bibit-bibit nasionalisme dan gagasan-gagasan
pemberontakan Sukarno melawan kolonialisme.

Sukarno waktu lulus dari Sekolah HBS (setingkat SMA)


Di masa remaja ini pula, tumbuh jiwa politik Sukarno bersama dengan teman-teman
diskusinya. Perkumpulan politik Sukarno yang pertama adalah Tri Koro Darmo dengan tiga
tujuan yaitu kemerdekaan politik, ekonomi, dan sosial. Tidak lama kemudian lahir
perkumpulan baru dengan aktvitas yang lebih konkrit yaitu Jong Java. Dari perkumpulan
inilah, Sukarno dkk memulai pendekatan politiknya dengan pergi ke kampung-kampung
untuk melakukan aktivitas kerja sosial, mendirikan sekolah, membantu korban bencana, dll.
Pada umur 19 tahun, Sukarno (saat itu masih SMA) udah produktif menulis gila-gilaan
sampai 500 artikel di harian Oetoesan Hindia dengan nama samaran Bima
untuk mengobarkan semangat pemberontakan pada masyarakat luas.
10 Juni 1921 Sukarno lulus dari HBS Belanda, lalu menikah dengan puteri dari
Cokroaminoto yaitu Utari. Namun demikian pernikahannya dengan Utari (16 tahun) diakui
Sukarno hanya sebatas bentuk rasa hormat pada Cokroaminoto yang khawatir akan masa
depan anaknya, sehingga hubungan mereka lebih seperti kakak-adik ketimbang seperti suami
istri. 1 Juli 1921, Sukarno resmi jadi mahasiswa Technische Hogeschool Bandung (TH
Bandung atau THB), yang sekarang namanya berubah jadi Institut Teknologi Bandung. Dia
keterima di jurusan waterbowkunde (tata bangunan air), yang dalam perkembangannya dia
ternyata lebih minat jadi arsitek bangunan umum.
Setelah kuliah, Sukarno dan Utari ngekos di rumah temennya Cokro, yaitu H.
Sanusi yang merupakan tokoh Sarekat Islam. Di tahun kedua masa kuliahnya, Sukarno mulai
ngerasa bahwa istrinya masih ‘bocah’ dan belum bisa menjadi perempuan dewasa untuk
menjadi seorang istri pejuang revolusi. Di samping itu, ibu kosnya Inggit Ganarsih, juga
punya masalah perkawinan dengan suaminya yaitu H. Sanusi. Singkat kata singkat cerita,
Sukarno dan Inggit jatuh cinta, kemudian Sukarno memutuskan untuk bercerai dengan Utari
secara baik-baik. Tanpa diduga-duga, ternyata H.Sanusi juga tidak berkebaratan untuk
bercerai dengan Inggit dan tidak mempermasalahkan hubungan Inggit dengan Sukarno. Ibu
Inggit inilah yang kelak nantinya sangat setia menemani Sukarno di masa-masa awal
perjuangannya.

Chapter 2: Awal Pergerakan Memberontak Pada Hindia (1921-


1942)

Setelah bercerai dengan Utari dan menikah dengan Ibu Inggit, Sukarno semakin
gencar dalam aktivitas politiknya. Sepulang dari kampus, doi sering mampir dulu ke warung
nasi Madura Madrawi, dari tempat itulah dia semakin kenal dengan tokoh politik lain yang
juga doyan melakukan rapat politik di situ. Beberapa tokoh yang menggebrak rasa
nasionalisme rakyat yaitu Ki Hajar Dewantara, Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker
(Setiabudi), yang merupakan pendiri Indische Partij, sebuah perkumpulan radikal dengan
cita-cita pemberontakan terhadap Belanda. Sejak saat itu, Sukarno muda semakin terbakar
semangatnya untuk tampil di atas panggung.
3 serangkai yang menginspirasi Sukarno | dari kiri ke kanan : Suwardi Suryaningrat /
Ki Hajar Dewantara, Ernest Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo
Salah satu momen yang paling menggemparkan adalah tahun 1922 ketika ada rapat
raksasa di lapangan terbuka Bandung, namanya rapat radicale concentratie yang diadakan
oleh organisasi kebangsaan partai-partai lokal untuk mengumpulkan petisi demi membela
hak-hak pribumi. Sukarno yang saat itu cuma seorang mahasiswa tanggung, mencoba angkat
tangan untuk menyampaikan pendapat di depan publik. Pada saat itu, untuk pertama kalinya
kemampuan orasi Sukarno membuat ratusan penonton terperangah.
Gak tanggung-tanggung, Sukarno muda (21 tahun) secara terang-terangan menantang
Belanda (tepat di depan batang hidung para polisi Belanda), dia secara tegas menolak cara-
cara pengumpulan petisi, dan mengusulkan gerakan non-kooperatif total terhadap
pemerintahan Hindia. Itu adalah moment yg luar biasa menggemparkan, saat itu juga rapat
langsung dibubarkan polisi Belanda, dan hari itu juga nama Sukarno seorang pemuda nekat
menjadi pembicaraan di seluruh kota Bandung.

Akibat peristiwa itu, Sukarno dapat peringatan serius oleh rektor TH Bandung waktu


itu, Prof. Jan Klopper, yang secara khusus memanggil Sukarno ke kantornya buat ngingetin
bahwa sebaiknya Sukarno jangan bikin ulah aneh-aneh, dan lebih baik fokus sama studinya
yang sebentar lagi harus selesai. Karena rasa hormat pada sang professor, Sukarno manut
walau setengah hati. Dia akhirnya konsen sama studi dan berhasil mempertahankan tesisnya
dan lulus tahun 1926. Pada saat itu, Sukarno yang awalnya lahir dari kemelaratan, dengan
ketekunan yang luar biasa, beliau berhasil menjadi insinyur ketiga dari kalangan Bumiputera,
se-Hindia Belanda. GOKIL!
Lulus sebagai insinyur, Sukarno baru merasakan kebebasan berekspresi dalam politik.
Hal itu ditandai dengan sikapnya untuk ga mau ngerjain proyek-proyek pembangunan
pemerintah kolonial. Oleh karena itu, Sukarno lebih sering bikin proyek bangunan rumah
sederhana bersama kawan seangkatannya Ir. Anwari. Uniknya, setiap rumah yang dibangun
sama Sukarno dan Anwari, dikasih “tanda tangan” berupa Gada Rujakpala di atas genteng,
senjatanya Bima – salah satu tokoh wayang kesukaan Sukarno. Satu-satunya proyek arsitek
besar yang pernah dibangun Sukarno adalah Hotel Preanger Bandung atas permintaan khusus
dari Prof. Wolff Schoemaker, dosen kesayangan Sukarno.
Hotel Preanger tahun 1930an hasil karya Schoemaker dibantu oleh Sukarno

Pembentukan PNI dan Indonesia Menggugat


Setelah beberapa kali Sukarno berkarya dalam dunia arsitek, pada akhirnya dia
kembali pada ambisi terpendamnya sejak dulu, yaitu dunia politik dan pembebasan Hindia
dari Belanda. Sampai pada akhirnya, Sukarno dan teman-teman diskusi politiknya di
Bandung mendirikan Algemeene Studie Club  (ASC). Di samping itu, rupa-rupanya gerakan
politik dari tokoh nasionalis lain pun sedang bergejolak, di antaranya para lulusan perguruan
tinggi di Belanda yang mendirikan Indische Vereniging (IV). Dari sisi lain Partai Komunis
Indonesia (PKI) pimpinan Tan Malaka, Alimin, dan Munawar Musojuga melancarkan
gerakan pemberontakan pada November 1926, namun sayangnya gagal karena rencana yang
kurang matang. Sampai pada akhirnya, Sukarno dari ASC dan teman-teman dari IV
bersepakat mendirikan partai baru bernama Perhimpunan Nasional Indonesia (PNI) pada 4
Juli 1927.
Di sisi lain, kegagalan pemberontakan PKI kepada pemerintahan Belanda yang
sempat didukung rakyat luas membuat para petinggi partainya ditangkep dan dibuang ke
Boven Digoel. Ketika rakyat semakin pesimis dan mendambakan wadah perjuangan
baru, PNI inilah yang akhirnya menjadi wadah perjuangan baur bagi rakyat, dan Sukarno
sebagai tokoh PNI paling vokal, mulai mendapat banyak pendukung setia di tanah Jawa.

Puncaknya adalah tahun 1928 ketika PNI (namanya sekarang jadi Partai Nasional
Indonesia) menggelar kongres pertama di Surabaya dengan slogan “Indonesia Siap
Merdeka”, makin lebarlah sayap PNI sebagai partai yang didukung rakyat. Terlebih, hasil
kongres tersebut sangat bernuansa pemberontakan :

1. Program politik untuk mencapai Indonesia merdeka


2. Program ekonomi dan sosial untuk memajukan pelajaran nasional
3. Menetapkan asas non-kooperatif terhadap Belanda untuk perjuangan PNI
Dokumentasi salah satu suasana rapat PNI

Makin ketar-ketirlah pihak kolonial Belanda dengan ulah Sukarno, dkk di


PNI. Gubernur Jenderal de Graeff yang waktu itu baru aja ngejabat jelas ga mau kehilangan
muka kalah sama pendahulunya Dirk Fock yang telah berhasil menumpas pemberontakan
PKI. Akhirnya de Graeff merintahin surat penangkapan buat para petinggi PNI
seperti Sukarno, Gatot Mangkuprojo, dan Markun Sumodiredjo.

Ditangkap dan diasingkan


Malem tanggal 29 Maret 1929, di tengah-tengah orasi di Yogyakarta, Sukarno dan
para petinggi PNI ditangkap dan dibawa ke Penjara Banceuy Bandung untuk nunggu
pengadilan. Singkat kata singkat cerita, Sukarno pas disidang akhirnya ngeluarin pidato
pembelaan yang dia kasih judul “Indonesia Menggugat” (IM). Naskah IM ini, walopun dia
susun pas di rumah tahanan Banceuy yang pengap dan bau pesing, isinya luar biasa lho. Ga
kurang dari 60 tokoh sedunia dia kutip dalam pidatonya itu. Mulai dari Karl Marx, Dr. Sun
Yat Sen, Mustafa Kamil(tokoh nasionalis Mesir), Henk Sneevliet (pendiri Partai Komunis
Belanda dan Indonesia), sampe Dr. Snouck Hurgronje, antropolog kenamaan Belanda, dia
kutip untuk mendukung pembelaan diri dan bangsanya melawan pemerintahan kolonial. Dari
situ Belanda kaget banget dengan kapasitas intelektual seorang insinyur muda dari kepulauan
timur jauh di Asia Tenggara karena bisa memiliki pengetahuan tentang politik dunia sampai
seluas itu. Kendati memberikan pembelaan, hakim tetap memutuskan Sukarno bersalah dan
kembali ditahan di penjara Sukamiskin.
Kisah hidup Sukarno setelah itu kebanyakan dalam penjara atau pembuangan. Sesaat
sebelum de Graeff diganti oleh Gubernur Jenderal de Jonge, dia membebas beberapa tahanan
politik termasuk Sukarno. Sukarno akhirnya sempat aktif lagi di politik walau cuma sesaat
dengan bergabung ke Partindo, sementara perjuangan dalam PNI dilanjutkan oleh Hatta dan
Sjahrir. Namun jangan lo bayangin Sukarno itu kompak dengan kubu Hatta dan Sjahrir pada
waktu itu. Justru pada awal perjuangan, Sukarno terlibat saling kritik dan cela-celaan di
media lokal dengan Hatta dan Sjahrir. Karena makin bandel dan ga kapok-kapok, Sukarno
akhirnya ditangkep (lagi) oleh Gubjend de Jonge dan langsung diasingkan ke Ende, Nusa
Tenggara Timur. Sementara Hatta, Sjahrir, dkk ditangkap dan dipenjara di Penjara Glodok
(1934), kemudian dibuang lagi ke Boven Digul Papua pada Januari 1935.

Sukarno dan keluarga dalam pembuangan di Ende | Duduk di kiri, Ibu amsi (mertua)
dan Inggit Garnasih di sisi kanan. Berdiri dari kanan: Bung Karno, Asmarahadi, Ratna
Djuami (Omi).
Itulah nasib perjuangan dan pengorbanan Bapak-Bapak Bangsa Indonesia, belasan
tahun diburu polisi, ditangkap, penjara dan dibuang kesana-kemari. Tapi semangat mereka
tetap menyala demi cita-cita sinting mereka untuk memerdekakan Hindia dan membuat
negara baru bernama Indonesia. Tahun demi tahun berlalu di pembuangan, harapan itu
muncul ketika Jepang mulai menyerbu Asia Tenggara termasuk Indonesia pada tahun 1942.

Chapter 3: Kependudukan Jepang & Kemerdekaan Indonesia (1942 – 1945)


Pada awal tahun 1942, terjadi peristiwa yang tidak diduga-duga, militer Jepang masuk
ke wilayah Asia Tenggara termasuk Hindia Belanda. Persenjataan militer Belanda ternyata ga
ada apa-apanya dibandingkan kekuatan Nippon, Belanda yang udah ratusan tahun menduduki
Hindia, bisa dipukul mundur oleh Jepang hanya dalam hitungan hari! Maret 1942, Belanda
nyerah kepada Jepang. Penyerahan kekuasaan berlangsung cepet banget. Supaya dapet
simpatik masyarakat, Jepang langsung ngebebasin para tokoh pemberontak dan pahlawan
rakyat seperti Hatta, Sjahrir, termasuk Bung Karno.

Sukarno sekarang udah berumur 41 tahun, untuk pertama kalinya dia ngeliat adanya
harapan pembebasan negerinya dari kekuasaan Eropa. Menurut Sukarno, penyerangan Jepang
inilah yang bisa membuka celah untuk membebaskan Indonesia. Di sisi lain, Jepang juga
ingin memanfaatkan tenaga kerja dari Bumiputera untuk bisa membantu mereka dalam
perang melawan sekutu. Walaupun kepentingan antar kedua belah pihak ini seolah-olah
sejalan, tapi masing-masing tetap menaruh curiga satu sama lain. Gerak-gerik Jepang sangat
ga jelas maunya apa. Awalnya sih terkesan mau nolong rakyat lepas dari jajahan Eropa,
tapi ya namanya mereka ini yang punya kekuatan militer superpower, kita bisa apa kalo
ujung-ujungnya mereka mau ngejajah kita?

Dibawalah Sukarno ke Batavia (waktu itu baru aja namanya diganti menjadi Jakarta
Tokubetsu-Shi), dan akhirnya untuk kali pertama dalam idupnya ketemuan langsung sama
yang namanya Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Pertemuan ini bisa dibilang moment
yang sangat sangat bersejarah, karena setelah berjuang masing-masing dari tahun 1931, tiga
tokoh utama kemerdekaan kita ini baru bertemu untuk pertama kalinya. Dari hasil pertemuan
itu, Sukarno berpendapat bahwa untuk sementara kita perlu mengikuti keinginan Jepang, agar
kemerdekaan Indonesia bisa didapatkan tanpa perlu pertumpahan darah. Di sisi lain, Sjahrir
nolak usulan itu dan lebih memilih meneruskan perjuangan secara non-kooperatif dengan
membangun basis massa agar semangat kemerdekaan tetap terjaga dari akar rumput.

dari kiri ke kanan : Sjahrir, Sukarno, Hatta | dalam proses persiapan kemerdekaan
Indonesia
Nah, dimulailah duet maut Sukarno dan Hatta pada saat itu. Mereka
memulai berdiskusi dengan Mayjen Harada agar Nusantara bukan jadi status koloni Jepang,
tapi justru mengakui kemerdekaan Indonesia sebagai atas nama persaudaraan di Asia.
Sebagai timbal baliknya, masyarakat pribumi Nusantara akan mendukung Jepang dalam
perang Pasifik melawan sekutu. Akhirnya Jepang secara setuju karena emang lagi kepepet
perang, dia mengangkat empat serangkai (Bung Karno, Bung Hatta, KH Mas Mansyur, dan
Ki Hajar Dewantara) jadi pimpinan Pusat Tenaga untuk mempengaruhi masyarakat berperang
melawan sekutu.
Serpak terjang Sukarno dalam kurun waktu pendudukan Dai Nippon di Indonesia
adalah titik sejarah yang dilematis dan sangat kontroversial. Di satu sisi, Sukarno jadi “orang
kepercayaan” Jepang, dijadikan pemimpin Pusat Tenaga Rakyat buat ngebantu ngelancarin
propagada Nippon Pemimpin Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Cahaya Asia. Sukarno
tetep percaya bahwa langkah-langkah kolaborasi ini merupakan satu-satunya langkah dalam
menempuh kemerdekaan Indonesia. Langkah ini menimbulkan korban yang luar biasa
banyaknya, terutama pada penduduk Pulau Jawa dan Sumatera. Lebih dari satu juta orang
mati karena kelaparan gara-gara hasil pangan diambil untuk bekal tentara Jepang. Selain itu,
proyek-proyek pembangunan massal dan cepat juga nimbulin banyak banget korban jiwa.
Sukarno sangat menyesali andilnya dalam romusha ini, tapi dia juga berpikir bahwa hal ini
sangat diperlukan untuk dapat mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Foto propaganda Bung Karno, dalam operasi romusha

Keputusan Bung Karno & Hatta untuk berkooperasi dengan Jepang dengan membantu
mereka berperang adalah perdebatan moral yang tidak berujung dalam sejarah bangsa kita. Di
satu sisi, Bung Karno & Hatta menganggap cara yang mereka tempuh adalah “langkah yang
paling taktis” agar Indonesia bisa mendapatkan celah untuk memerdekakan diri tanpa perlu
berperang melawan Jepang yang kekuatan militernya bahkan mampu memukul mundur
Belanda hanya dalam hitungan hari. Sementara bagi tokoh pergerakan lapangan seperti Tan
Malaka, bahkan juga Sjahrir, Bung Karno & Hatta dinilai terlalu lembek dan pengecut untuk
melawan Jepang secara terang-terangan.
Bentuk kooperatif ini akhirnya menemukan celah ketika Jepang mengalami kekalahan
beruntun di peperangan pasifik melawan sekutu pada awal 1945. Puncaknya ketika bom atom
menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki tanggal 7 & 9 Agustus 1945 yang memaksa hampir
seluruh tentara Jepang untuk pulang ke negaranya. Di tengah masa vakum ini, akhirnya
Sukarno, dan para pejuang revolusi kita mengambil tindakan tegas untuk memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia 17 Agustus sekaligus mewujudkan mimpi hampir seluruh rakyat
Nusantara untuk menjadi negara mandiri yang merdeka.

Chapter 4: Peran Sukarno dalam Proses Pembentukan Negara (1945 – 1950)


17 Agustus 1945, NKRI secara sepihak menjadi negara yang merdeka. Sukarno
membacakan teks proklamasi dalam kondisi ga tidur selama empat hari dan sedang demam
tinggi 40°C  karena terserang malaria. Lega campur gundah tetep nyelimutin perasaannya.
Dalam kondisi yang belum 100% pulih dari demam, esok hari setelah proklamasi
berangkatlah dia ke Gedung Raad van Indie, tempat dulu Volksraad berkantor. Di gedung itu
lagi ngumpul para pendiri-pendiri bangsa yang sedang Rapat PPKI. Hasil rapat pada hari itu
memutuskan bahwa Sukarno diangkat jadi presiden Republik Indonesia & Bung Hatta
menjadi wapres.
Dengan perasaan campur aduk antara senang, bangga, sekaligus khawatir mengemban
tugas yang berat tersebut. Sebenernya, ada tiga hal yang harus dikerjain oleh Sukarno selaku
Presiden RI. Pertama adalah fungsi eksekutif sebagai presiden. Dari mulai milih menteri dan
departemen, serta membentuk struktur wewenang yang konkrit dan jelas. Tugas kedua,
menyiarkan berita kemerdekaan lewat siaran-siaran colongan dari pemancar berita
Pemerintahan Jepang (jaman dulu belum ada Twitter bok!). Tugas yang ketiga adalah
melucuti senjata dari pihak tentara Jepang yang masih ketinggalan di Indonesia dan belum
pulang kampung. Ini paling penting nih yang ketiga, karena Sukarno sudah memprediksikan,
ga nyampe sebulan lagi pasti pasukan Sekutu bakal nyampe ke Indonesia. Kebayang
kalo pasukan Sekutu yang begitu canggih terus kita ga punya senjata yang memadai. Bisa
gagal merdeka nih!

Konsentrasi dalam hal ini pun dilakukan. Republik harus bertahan. Tapi pake apa?
Tentara kah? Milisi? Apa ga bahaya kalo bentuk ketentaraan? Apa nanti ga langsung
diahajar Jepang yang masih belum mengakui kemerdekaan. Biar udah gak terlalu banyak,
tentara Jepang masih banyak yang bertugas buat ngejagain teritori Indonesia loh. Akhirnya
tanggal 23 dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR). Bentuk dari BKR ini bukanlah
ketentaraan, tapi hanya sekadar organisasi masyarakat untuk menampung para prajurit
mantan PETA, Heiho, dan KNIL. Lumayan lah, dari nama wadahnya ga terlalu bikin Jepang
curiga. Tapi di sisi lain, kita jadi punya organisasi pertahanan militer walau berlabel “ormas”.

t
entara rakyat Indonesia yang mempertahankan kemerdekaan dengan menggunakan senjata
rampasan dari tentara Jepang.
Senjata siap, manpower siap. Satu lagi yang harus dilakuin sama para petinggi bangsa
ini. Gimana caranya seluruh dunia tau dan ngedukung perjuangan Indonesia untuk tetap
merdeka. Secara teori sih sesuai Perjanjian Potsdam, wilayah hasil invasi Jepang harus
dikembaliin ke negara “pemilik” masing-masing. Nah, masalahnya pemilik Indonesia ini
siapa? Jangan-jangan yang dimaksud itu Belanda yang udah menduduki kita selama 300
tahun. Bisa gawat nih! Nah, tugas berat untuk meyakinkan seluruh dunia bahwa Republik
Indonesia adalah pemilik resmi rakyat Nusantara berada dalam pundak 2 pendiri bangsa kita
yang lain, yaitu Sutan Sjahrir & Mohammad Hatta. Kalo lo mau lebih tau lebih detail gimana
cerdiknya Sjahrir & Hatta dalam mendapatkan pengakuan internasional, gua sarankan baca
artikel biografi Sjahrir & Mohammad Hatta di blog Zenius.
Hari-hari ke depan yang ga menentu buat Republik Indonesia. Urusan keamanan dan
pertahanan dia serahin ke para perwira dan prajurit yang pada waktu itu belom layak disebut
tentara. Kolonel Sudirman dipercaya untuk menjadi panglima TKR yang baru aja dibentuk
yang gantiin panglima aslinya, Supriyadi. Para milisi non-tentara dihimpun oleh Tan
Malaka untuk bisa bantuin tentara buat berjuang melawan agresi sekutu. Urusan diplomasi
dipegang Sjahrir & Hatta, urusan perang & bentrokan militer dipegang Sudirman dan
Malaka. Sukarno ngapain? Nah, ini nih yang jaraaang banget infonya. Apa sih peran Sukarno
selama masa Revolusi?
Kalo mau dibilang lebay sih, Sukarno itu nyawanya Revolusi. Figur Indonesia yang
dibawa Sukarno adalah arah perjuangan rakyat saat itu. Dalam arti lebay, Indonesia bisa
dianggap ada jika dan hanya jika Sukarno tetap hidup. Berkali-kali tentara Inggris nyoba buat
nangkep Sukarno, selalu gagal. Berkali-kali pula tentara NICA nyoba bunuh Sukarno, selalu
gagal juga. Jadi tugas Sukarno selain melakukan tugas eksekutifnya, dia juga harus bertahan
hidup dan kabur-kaburan dari entah berapa banyak percobaan pembunuhan. Dengan tetap
hidup, Sukarno akan tetap menjadi “figur” yang mewakili terbentuknya NKRI &
diperjuangkan oleh seluruh rakyat Indonesia.

Di sisi lain ternyata ga cuma pihak asing yang ngerepotin Sukarno, orang kita sendiri
pun kadang-kadang ngeribetin Sukarno buat hal-hal yang sebenernya kurang penting-penting
amat untuk diladenin sama Sukarno. Jatah beras mogok dari Bekasi, Sukarno yang
nyamperin. Ada sekelompok pemuda yang ngeblokade rel kereta, Sukarno pula yang
ngademin mereka. Selidik punya selidik, hal-hal konyol semacam itu ternyata emang kadang
dibikin-bikin karena rakyat saking penasarannya dengan sosok Sukarno dan pengen
didatengin dan melihat langsung sosok Sukarno. Intinya, Sukarno merasa bahwa dirinya
harus hadir di tengah-tengah masyarakat gimana pun kondisinya.

Sukarno harus mimpin sebuah negara yang sedang diserbu oleh sekutu dan sisa-sisa
tentara Jepang masih menghantui. Negara baru yang bener-bener belum punya apa-apa. Duit
ga ada, militer seadanya, kebutuhan pokok pas-pasan, perdagangan ke luar diblokade
Belanda, kacau deh! Ujung-ujungnya apa yang dilakukan? Nyelundupin barang! Menteri
Kemakmuran waktu itu, Dr. Adnan Kapau Gani akhirnya bertugas menyelundupkan barang
agar nafas ekonomi negara kita berhembus di bawah tekanan perang. Segala macem
diselundupin dari mulai timah, beras, hasil perkebunan, dsb untuk dituker sama persenjataan
dan emas sebagai alat transaksi universal. Sukarno benar-benar ngurusin negara yang masih
bayi, ga punya apa-apa, tapi punya segudang harapan dan potensi. Digaji ga dia waktu
itu? Sama sekali nggak.
Di bawah Sjahrir atas arahan Sukarno, Indonesia berhasil mencapai kata sepakat sama
Negeri Belanda pada Perundingan Linggarjati tahun 1947. Baru deh Sukarno agak lega,
karena walaupun rugi bandar secara teritorial, Republik ini bisa napas. Untuk sejenak, ga ada
lagi pertempuran yang sifatnya bunuh-bunuhan. Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1949
giliran Bung Hatta yang memberi kemenangan telak atas Indonesia pada Konferensi Meja
Bundar (KMB) di Den Haag tahun 1949, dengan memenangkan teritori kedaulatan Indonesia
dari Sabang sampai NTT & Maluku (Timor-Timur dan Irian Barat menyusul). Kalau bukan
karena seorang Bung Hatta yang waktu itu pergi mewakili Indonesia di KMB, mungkin yang
namanya negara Republik Indonesia bentuknya ga akan seluas seperti yang kita kenal
sekarang.
Pe
ta Indonesia pada Desember 1948 (warna merah) sebelum direbut kembali oleh Bung Hatta di KMB.

Chapter 5 : Demokrasi Liberal (1950 – 1959)


Usai sudah masa Revolusi yang penuh dengan pertumpahan darah dan intrik-intrik
baik dari kalangan eksternal maupun internal (konflik PKI Madiun, berdirinya Negara Islam
Indonesia, dsb). Saatnya Indonesia bisa berfungsi layaknya negara merdeka pada umumnya.
Saat itu, negara kita ini udah terlanjur memiliki bentuk federasi sesuai dengan isi KMB.
Sukarno dan Hatta, memutuskan untuk segera ngubah bentuk negara menjadi negara kesatuan
seperti yang dicita-citain waktu Proklamasi. Tugas pertama Sukarno sebagai presiden RIS
adalah bikin RIS jadi NKRI.
Seabis ganti bentuk negara dan ganti undang-undang dari Konstitusi RIS ke UUDS
1950, Sukarno memutuskan bahwa sekaranglah saatnya dia berperan sebagai “duta”
Indonesia untuk seluruh dunia dan mengenalkan negara baru ini ke hadarapan para pemimpin
dunia. Sementara untuk urusan dalam negeri, Sukarno cuma mau tiga masalah diselesaikan
oleh para Perdana Menteri:

1. Irian Barat direbut kembali.


2. Pemilihan Umum.
3. Menjaga keutuhan NKRI.
Nah, mulailah rencana Sukarno dalam memperkenalkan Indonesia ke mata dunia. Hal
pertama yang dia lakukan adalah merencanakan sebuah pertemuan akbar di Bandung
bersama dengan PM Ali Sastroamijoyo. Yes, pertemuan itu bernama Konferensi Asia Afrika
(KAA). Dengan pidato yang ciamik untuk mempersatukan kerjasama antar negara-negara di
Asia dan Afrika, Sukarno menggoyang panggung KAA dan mengenalkan nama negara kita
pada negara-negara di Asia dan Afrik. Sekali tepuk dua benua, boss!
Keberhasilan Ali dan Sukarno di KAA bikin nama Indonesia makin nyata di kancah
internasional. KAA dianggap oleh bangsa-bangsa dunia ketiga sebagai wujud dari
perlawanan atas penjajahan dan kolonialisme. Perlawanan sekeren itu Indonesia yang bikin
coy! Status ini dipake sama Sukarno untuk muncul ke tengah-tengah panggung dunia sebagai
tokoh yang sangat anti penjajahan dan menjunjung tinggi kenetralan.
Baik Eisenhower & Kennedy (dua presiden Amrik) maupun Nikita Khrushchev (pemimpin
Uni Soviet) menaruh perhatian besar kepada sosok Sukarno. Di mata dunia, Sukarno menjadi
sosok pemimpin yang betul-betul netral dalam perang dingin, tidak memihak (non-
blok), namun secara tegas menolak penjajahan dan kolonialisme. Itulah kenapa, Sukarno bisa
akrab dengan banyak pemimpin dunia dari berbagai macam latar belakang ideologi.

kiri atas : Sukarno dengan Nehru, Bapak Bangsa India | kanan atas: Sukarno dengan
Kenndy, presiden AS ke-35 | kiri bawah: Sukarno dengan Che, tokoh pemimpin revolusi
Kuba | kanan bawah: Sukarno dengan Khrushchev, pemimpin Uni Soviet.
Usai sudah KAA, Pemilu pun digelar. Hasilnya justru membuat Sukarno kecewa.
Bukannya pesta demokrasi yang makin tercipta, malah musuh politik jadi makin banyak.
PNI, Masyumi, NU, PSI, saling melakukan serangan politik satu sama lain. Para pejabat yang
harusnya mikirin kesejahteraan rakyat, malah main kubu-kubuan, sindir-sindirian satu sama
lain. Di sisi lain, PKI justru berhasil menarik simpati rakyat sebagai organisasi awal yang
mengimpun massa dalam revolusi melawan Belanda maupun agresi militer pasca
kemerdekaan.

Selain itu, situasi keamanan negara juga makin ga jelas. Banyak perwira-perwira yang
udah keliatan bakal mau protes bahkan merencanakan pemberontakan. Ada Kolonel Alex
Kawilarang dan Letkol Vantje Sumual dari Sulawesi, ada Kolonel Maludin Simbolon dari
Sumatera Utara, dan Kapten Kahar Muzakkar sudah menyatakan diri bergabung dengan
Negara Islam Indonesia bentukan SM Kartosuwiryo, temen sekamar Sukarno waktu remaja
saat tinggal di rumah Pak Cokroaminoto. Ironis banget temen seperjuangan Sukarno dari
remaja saat melawan kolonial, sekarang malah jadi pemimpin pemberontak NKRI. Di saat
itu, keutuhan NKRI mulai terancam, bukan lagi dari pihak luar, tapi justru dari internal
saudara sebangsa kita sendiri.
Pendapat parlemen hasil pemilu waktu itu mengusulkan Hatta yang bisa ngatasin
semua ini dan selayaknya dia jadi Perdana Menteri. Eh, Bung Hatta malah memutuskan
untuk mengundurin diri dari posisi Wapres dan ga mau ikut-ikutan lagi dalam percaturan
politik RI. Di satu sisi memang pasal UUDS 1950 ga memperbolehkan Wapres jadi PM, di
sisi lain belakangan emang Bung Hatta makin ga cocok sama Bung Karno dalam visi
politiknya. Enough is enough, tugas gue untuk bikin negara ini merdeka 100% udah selesai
dengan kesuksesan di KMB, sekarang gua ga mau ikut-ikutan politik kotor ini, begitu
mungkin menurut kata hati Hatta yang integritasnya ga ada yang nandingin sepanjang sejarah
Indonesia.
Sendirian, Sukarno akhirnya dapat dukungan dari TNI yang juga setuju kalo
perpecahan internal di kalangan politik dan pemberontakan internal ini ga bisa dibiarkan
lebih lama lagi. Dengan dukungan penuh dari Jenderal Nasution yang waktu itu dipercaya
lagi sebagai Panglima TNI, jatuhlah Dekrit Presiden 1959. Kekuasaan kembali jatuh ke
tangan presiden.
“Ga ada lagi sistem multipartai yang malah bikin ribet dan memupuk konflik
internal  begini, biarin aja gua dibilang diktator sama Hatta! Kalo partai-partai itu terus
berseteru, bisa-bisa perang saudara gara-gara mereka pada  haus kekuasaan!”
Begitulah kurang lebih pendapat Sukarno terhadap sistem Demokrasi Liberal. Sejak
saat itulah, lahir yang namanya demokrasi terpimpin.

Chapter 6 : Demokrasi Terpimpin – Lengser dari


Pemerintahan (1950 – 1966)
Sebenernya, apa sih yang dimaksud sama Demokrasi Terpimpin a la Sukarno?
Sukarno sih ngakunya konsep ini udah dia pikirin sejak tahun 1928, dan menurut dia, konsep
demokrasi yang seperti ini lah yang paling cocok dengan kepribadian Bangsa Indonesia.
Bangsa Indonesia, secara sosiologis menurut dia, adalah bangsa yang membutuhkan figur
“Bapak” dalam keluarga tempat segala keputusan ditentukan dan diimplementasikan oleh
anggota keluarga yang lain, seperti halnya bangsa-bangsa dengan adat ketimuran lainnya.
Supaya ada yang mengevaluasi dan mencegah dirinya gak jadi diktator, diangkatlah
tiga orang yang dikasih jabatan Deputi Perdana Menteri: Subandrio, Dr. Leimena, dan
Khairul Saleh. Lebih lanjut, buat nyegah terjadinya kesewenang-wenangan pada fungsi
eksekutif, dibentuklah MPRS dan DPR Gotong Royong, yang terdiri dari wakil-wakil partai,
angkatan bersenjata, tokoh-tokoh terkemuka dari setiap daerah, dll. Ditambah lagi, beberapa
orang ahli yang dapat memberikan masukan dan saran terhadap jalannya pemerintahan yang
digabungin dalam satu badan khusus yang disebut Dewan Pertimbangan Agung. Baru kali
inilah, Sukarno bisa dibilang betul-betul berkuasa secara eksekutif, baru sekarang ini
juga terbentuk sistem negara impian Sukarno sejak masa mudanya.
Terus, apa sih yang dihadapin sama pemerintahan Sukarno pada masa Demokrasi
Terpimpin? Ada banyak hal, salah satunya adalah protes keras dari banyak pihak intelektual
yang mengkritik keputusan Dekrit & terciptanya Demokrasi Terpimpin. Dari namanya saja,
bentuk pemerintahan ini dinilai menghianati makna demokrasi yang sesungguhnya dan
membuka pintu bagi kediktatoran dengan kekuasaan yang terlalu terpusat pada satu sosok,
yaitu Sukarno. Kritik terhadap Sukarno ini dilakukan bukan hanya oleh tokoh mahasiswa
seperti Soe Hok Gie, tapi juga para kawan-kawan seperjuangannya seperti Moh
Hatta, Sjahrir, dan juga Natsir.
Tapi di antara semua masalah itu, hal yang paling bikin gemes sih, masalah perebutan
Irian Barat yang gak beres-beres udah belasan taun. Akhirnya, Sukarno memercayakan isu-
isu keamanan dan teritorial ini kepada 3 ksatria yang paling dia andalkan. Secara umum,
masalah pertahanan ini dia percayakan pada Jenderal Abdul Harris Nasution. Untuk ngurus
pemberontak macem Negara Islam Indonesia dan PRRI-Permesta, dia percayain kepada
perwira kesayangannya yang jago banget meredam pemberontakan yaitu Mayor Jenderal
Ahmad Yani. Untuk masalah Irian Barat dia percayain ahli strategi lapangan yang sangat
berpengalaman dari sejak agresi militer Belanda sekaligus komandan pasukan Komando
Strategis Angkatan Darat (Kostrad), Mayor Jenderal Suharto.
Sukarno bersama dengan Jend Nasution (kiri) dan Mayjen Suharto (kanan)

Dari ketiga ksatria ini, Ahmad Yani adalah anak emas kesayangan Sukarno. Bahkan
berdasarkan desas-desus yang berkembang di kalangan petinggi militer maupun sipil,
Sukarno sedang mempertimbangkan Yani sebagai calon penggantinya sebagai presiden. Tapi
di sisi lain, ada juga tokoh kuat yang punya pendukung paling banyak di masa Demokrasi
Terpimpin, yaitu 

Anda mungkin juga menyukai