Chapter 1: Masa Kecil-Remaja Sukarno (1901-1921)
Chapter 1: Masa Kecil-Remaja Sukarno (1901-1921)
Namun demikian, kadang gua penasaran… berapa banyak sih dari orang-orang yang
ngakunya mengidolakan Sukarno itu, memang betul-betul tau tentang proses perjuangan
dia dalam mendirikan negara Indonesia? Sejauh mana sih orang Indonesia yang ngakunya
cinta NKRI, memang betul-betul memahami gagasan, ide, serta pemikiran dari Bapak Bangsa
kita ini?
Nah, dalam artikel blog kali ini, gua mendapat kehormatan untuk menulis biografi
singkat dari Bapak Bangsa kita. Walaupun di luar tulisan ini sudah banyak yang mengupas
sisi kehidupan Sukarno, tapi kebanyakan malah bercerita tentang gossip kehidupan
pribadinya. Nah, khusus untuk artikel kali ini, gua akan fokus mengupas PROSES
PERJUANGAN Sukarno dalam memerdekakan serta pokok pemikirannya tentang Negara
Republik Indonesia. Selamat membaca!
Walaupun lahir dari keturunan bangsawan dari pihak ayah maupun ibu, jangan dikira
Sukarno lahir dan tumbuh dari keluarga yang berkecukupan. Gelar kebangsawanan itu
hanyalah tinggal nama karena kebanyakan leluhur Sukarno kalah dalam perjuangan lokal
melawan kolonial Belanda. Ayah Sukarno hanyalah guru sekolah rendah di Singaraja,
sementara sang ibu adalah gadis Pura yang menjaga kebersihan rumah ibadat itu. Sesudah
pindah ke Blitar, Sukarno dibesarkan di tengah keluarga yang bisa gua bilang kebangetan
miskinnya! Menurut otobiografi yang ditulis Sukarno dan Cindy Adams, dia tinggal di rumah
yang sangat sederhana. Keluarganya bahkan ga punya sendok, garpu, ataupun sepatu. Waktu
kecil keluarga Sukarno hanya bisa makan nasi 1x sehari, mereka bahkan gak mampu beli
beras, jadi mereka beli padi dan harus numbuk padi sendiri setiap subuh supaya jadi beras.
Bapak Bangsa kita ini memulai kehidupannya dari kemelaratan yang tak terbayangkan oleh
kita semua.
Walaupun hidup dalam kemiskinan, ayahnya yang seorang guru terus menggembleng
Sukarno dengan prinsip-prinsip hidup yang terus dia pegang. Karena itulah, Sukarno muda
tumbuh dengan jiwa kepemimpinan, cerdas, cekatan, bawel, penuh semangat, dan sekaligus
juga memiliki perasaan yang halus. Karakternya yang seperti itulah yang membuat dirinya
bisa bertahan dalam diskriminasi anak-anak Belanda sewaktu belajar di sekolah Rendah
Belanda hingga masuk ke Hoogere Burgerschool (HBS) sekolah menengah Belanda. Cerita
dikata-katain, diludahin, sampai berantem pukul-pukulan sama anak-anak cowok Belanda,
udah jadi makanan sehari-hari bagi Sukarno yang masih remaja.
Singkat cerita, sejak Sukarno masuk kelas HBS Belanda di Surabaya, dia
numpang bersama kawan ayahnya yang merupakan salah satu tokoh nasional sekaligus sang
guru Bangsa yaitu Hadji Oemar Said Cokroaminoto (selanjutnya disebut Cokroaminoto).
Pada saat itu Cokro adalah ketua Sarekat Islam, sekaligus tokoh politik masyarakat Jawa
yang dijuluki Belanda “Raja Jawa tanpa mahkota”. Di rumah Cokro yang sangat sederhana
ini, Sukarno tinggal dan belajar bersama dengan anak asuh didik Cokro yang lain
seperti Kartosoewirjo, Musso, Alimin, Semaoen.
dari kiri ke kanan : Muso, Alimin, Semaun, Sukarno, Kartosuwiryo sedang berdiskusi di rumah HOS
Cokroaminoto | Illustrasi dari film Soekarno karya Hanung Bramantyo.
Eh tapi jangan lo bayangin kamar asrama Sukarno itu kayak asrama yang nyaman
kayak zaman sekarang ye. Menurut deskripsi langsung dari otobiografi Sukarno, kamarnya di
rumah Cokro itu tidak lebih baik dari kandang ayam! Kamarnya itu gak ada pintu, ga ada
jendela, ga ada kasur, ga ada bantal, ga ada lampu. Bener-bener gelap gulita dan satu-satunya
penerangan cuma dari lilin pijar. Di dalem kamar itu cuma ada meja dan kursi reyot sama
tikar untuk tidur, lengkap bersama sarang-sarang serangga seperti nyamuk, kecoa, kelabang,
dan laba-laba. Maknyus bener dah!
Tapi jangan salah lo, justru dari kamar yang kayak kandang ayam itulah, Sukarno
menghabiskan hampir seluruh waktunya untuk membaca dan mengejar ilmu pengetahuan.
Kalo kebanyakan anak remaja zaman sekarang pada males belajar dan suka bolos ke sekolah,
Sukarno umur 15 tahun di ‘kandang ayam’ yang gelap penuh sarang serangga itu justru
hobinya belajar, membaca, dan membedah pemikiran politikus kelas dunia dari ratusan tahun
sebelumnya. Dari masih remaja, Sukarno udah katam betul perjuangan politik
pembebasan Amerika beserta perjuangan para pendiri Bangsa Amerika seperti Thomas
Jefferson, George Washington, Benjamin Franklin, John Adams, dkk.
Sukarno remaja juga tertarik sejarah perjuangan revolusi Perancis, revolusi industri,
perjuangan buruh, Declaration of Independence, perang saudara di AS, sampai revolusi
politik di Rusia. Gila banget kan?? Seorang remaja umur 15 tahun yang lahir dalam
kemelaratan, Sukarno udah gak asing lagi dengan gagasan dan pemikiran tokoh intelektual
kelas dunia seperti Karl Marx, Friedrich
Engels, Lenin, Rousseau, Voltaire, Gladstone, Beatrice
Webb, Mazzini, Cavour, Garibaldi, Otto Bauer, Alfred Adler, dan masih banyak lagi. Coba,
dari nama-nama di atas berapa banyak yang lo tahu? Gokilnya lagi, Sukarno mempelajari
pemikiran mereka semua dari kamar pengap yang cuma diterangi oleh satu lilin! Dari kamar
yang seperti ‘kandang ayam’ itulah terlahir bibit-bibit nasionalisme dan gagasan-gagasan
pemberontakan Sukarno melawan kolonialisme.
Setelah bercerai dengan Utari dan menikah dengan Ibu Inggit, Sukarno semakin
gencar dalam aktivitas politiknya. Sepulang dari kampus, doi sering mampir dulu ke warung
nasi Madura Madrawi, dari tempat itulah dia semakin kenal dengan tokoh politik lain yang
juga doyan melakukan rapat politik di situ. Beberapa tokoh yang menggebrak rasa
nasionalisme rakyat yaitu Ki Hajar Dewantara, Cipto Mangunkusumo dan Douwes Dekker
(Setiabudi), yang merupakan pendiri Indische Partij, sebuah perkumpulan radikal dengan
cita-cita pemberontakan terhadap Belanda. Sejak saat itu, Sukarno muda semakin terbakar
semangatnya untuk tampil di atas panggung.
3 serangkai yang menginspirasi Sukarno | dari kiri ke kanan : Suwardi Suryaningrat /
Ki Hajar Dewantara, Ernest Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo
Salah satu momen yang paling menggemparkan adalah tahun 1922 ketika ada rapat
raksasa di lapangan terbuka Bandung, namanya rapat radicale concentratie yang diadakan
oleh organisasi kebangsaan partai-partai lokal untuk mengumpulkan petisi demi membela
hak-hak pribumi. Sukarno yang saat itu cuma seorang mahasiswa tanggung, mencoba angkat
tangan untuk menyampaikan pendapat di depan publik. Pada saat itu, untuk pertama kalinya
kemampuan orasi Sukarno membuat ratusan penonton terperangah.
Gak tanggung-tanggung, Sukarno muda (21 tahun) secara terang-terangan menantang
Belanda (tepat di depan batang hidung para polisi Belanda), dia secara tegas menolak cara-
cara pengumpulan petisi, dan mengusulkan gerakan non-kooperatif total terhadap
pemerintahan Hindia. Itu adalah moment yg luar biasa menggemparkan, saat itu juga rapat
langsung dibubarkan polisi Belanda, dan hari itu juga nama Sukarno seorang pemuda nekat
menjadi pembicaraan di seluruh kota Bandung.
Puncaknya adalah tahun 1928 ketika PNI (namanya sekarang jadi Partai Nasional
Indonesia) menggelar kongres pertama di Surabaya dengan slogan “Indonesia Siap
Merdeka”, makin lebarlah sayap PNI sebagai partai yang didukung rakyat. Terlebih, hasil
kongres tersebut sangat bernuansa pemberontakan :
Sukarno dan keluarga dalam pembuangan di Ende | Duduk di kiri, Ibu amsi (mertua)
dan Inggit Garnasih di sisi kanan. Berdiri dari kanan: Bung Karno, Asmarahadi, Ratna
Djuami (Omi).
Itulah nasib perjuangan dan pengorbanan Bapak-Bapak Bangsa Indonesia, belasan
tahun diburu polisi, ditangkap, penjara dan dibuang kesana-kemari. Tapi semangat mereka
tetap menyala demi cita-cita sinting mereka untuk memerdekakan Hindia dan membuat
negara baru bernama Indonesia. Tahun demi tahun berlalu di pembuangan, harapan itu
muncul ketika Jepang mulai menyerbu Asia Tenggara termasuk Indonesia pada tahun 1942.
Sukarno sekarang udah berumur 41 tahun, untuk pertama kalinya dia ngeliat adanya
harapan pembebasan negerinya dari kekuasaan Eropa. Menurut Sukarno, penyerangan Jepang
inilah yang bisa membuka celah untuk membebaskan Indonesia. Di sisi lain, Jepang juga
ingin memanfaatkan tenaga kerja dari Bumiputera untuk bisa membantu mereka dalam
perang melawan sekutu. Walaupun kepentingan antar kedua belah pihak ini seolah-olah
sejalan, tapi masing-masing tetap menaruh curiga satu sama lain. Gerak-gerik Jepang sangat
ga jelas maunya apa. Awalnya sih terkesan mau nolong rakyat lepas dari jajahan Eropa,
tapi ya namanya mereka ini yang punya kekuatan militer superpower, kita bisa apa kalo
ujung-ujungnya mereka mau ngejajah kita?
Dibawalah Sukarno ke Batavia (waktu itu baru aja namanya diganti menjadi Jakarta
Tokubetsu-Shi), dan akhirnya untuk kali pertama dalam idupnya ketemuan langsung sama
yang namanya Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir. Pertemuan ini bisa dibilang moment
yang sangat sangat bersejarah, karena setelah berjuang masing-masing dari tahun 1931, tiga
tokoh utama kemerdekaan kita ini baru bertemu untuk pertama kalinya. Dari hasil pertemuan
itu, Sukarno berpendapat bahwa untuk sementara kita perlu mengikuti keinginan Jepang, agar
kemerdekaan Indonesia bisa didapatkan tanpa perlu pertumpahan darah. Di sisi lain, Sjahrir
nolak usulan itu dan lebih memilih meneruskan perjuangan secara non-kooperatif dengan
membangun basis massa agar semangat kemerdekaan tetap terjaga dari akar rumput.
dari kiri ke kanan : Sjahrir, Sukarno, Hatta | dalam proses persiapan kemerdekaan
Indonesia
Nah, dimulailah duet maut Sukarno dan Hatta pada saat itu. Mereka
memulai berdiskusi dengan Mayjen Harada agar Nusantara bukan jadi status koloni Jepang,
tapi justru mengakui kemerdekaan Indonesia sebagai atas nama persaudaraan di Asia.
Sebagai timbal baliknya, masyarakat pribumi Nusantara akan mendukung Jepang dalam
perang Pasifik melawan sekutu. Akhirnya Jepang secara setuju karena emang lagi kepepet
perang, dia mengangkat empat serangkai (Bung Karno, Bung Hatta, KH Mas Mansyur, dan
Ki Hajar Dewantara) jadi pimpinan Pusat Tenaga untuk mempengaruhi masyarakat berperang
melawan sekutu.
Serpak terjang Sukarno dalam kurun waktu pendudukan Dai Nippon di Indonesia
adalah titik sejarah yang dilematis dan sangat kontroversial. Di satu sisi, Sukarno jadi “orang
kepercayaan” Jepang, dijadikan pemimpin Pusat Tenaga Rakyat buat ngebantu ngelancarin
propagada Nippon Pemimpin Asia, Nippon Pelindung Asia, Nippon Cahaya Asia. Sukarno
tetep percaya bahwa langkah-langkah kolaborasi ini merupakan satu-satunya langkah dalam
menempuh kemerdekaan Indonesia. Langkah ini menimbulkan korban yang luar biasa
banyaknya, terutama pada penduduk Pulau Jawa dan Sumatera. Lebih dari satu juta orang
mati karena kelaparan gara-gara hasil pangan diambil untuk bekal tentara Jepang. Selain itu,
proyek-proyek pembangunan massal dan cepat juga nimbulin banyak banget korban jiwa.
Sukarno sangat menyesali andilnya dalam romusha ini, tapi dia juga berpikir bahwa hal ini
sangat diperlukan untuk dapat mewujudkan kemerdekaan Indonesia.
Foto propaganda Bung Karno, dalam operasi romusha
Keputusan Bung Karno & Hatta untuk berkooperasi dengan Jepang dengan membantu
mereka berperang adalah perdebatan moral yang tidak berujung dalam sejarah bangsa kita. Di
satu sisi, Bung Karno & Hatta menganggap cara yang mereka tempuh adalah “langkah yang
paling taktis” agar Indonesia bisa mendapatkan celah untuk memerdekakan diri tanpa perlu
berperang melawan Jepang yang kekuatan militernya bahkan mampu memukul mundur
Belanda hanya dalam hitungan hari. Sementara bagi tokoh pergerakan lapangan seperti Tan
Malaka, bahkan juga Sjahrir, Bung Karno & Hatta dinilai terlalu lembek dan pengecut untuk
melawan Jepang secara terang-terangan.
Bentuk kooperatif ini akhirnya menemukan celah ketika Jepang mengalami kekalahan
beruntun di peperangan pasifik melawan sekutu pada awal 1945. Puncaknya ketika bom atom
menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki tanggal 7 & 9 Agustus 1945 yang memaksa hampir
seluruh tentara Jepang untuk pulang ke negaranya. Di tengah masa vakum ini, akhirnya
Sukarno, dan para pejuang revolusi kita mengambil tindakan tegas untuk memproklamasikan
kemerdekaan Indonesia 17 Agustus sekaligus mewujudkan mimpi hampir seluruh rakyat
Nusantara untuk menjadi negara mandiri yang merdeka.
Konsentrasi dalam hal ini pun dilakukan. Republik harus bertahan. Tapi pake apa?
Tentara kah? Milisi? Apa ga bahaya kalo bentuk ketentaraan? Apa nanti ga langsung
diahajar Jepang yang masih belum mengakui kemerdekaan. Biar udah gak terlalu banyak,
tentara Jepang masih banyak yang bertugas buat ngejagain teritori Indonesia loh. Akhirnya
tanggal 23 dibentuklah Badan Keamanan Rakyat (BKR). Bentuk dari BKR ini bukanlah
ketentaraan, tapi hanya sekadar organisasi masyarakat untuk menampung para prajurit
mantan PETA, Heiho, dan KNIL. Lumayan lah, dari nama wadahnya ga terlalu bikin Jepang
curiga. Tapi di sisi lain, kita jadi punya organisasi pertahanan militer walau berlabel “ormas”.
t
entara rakyat Indonesia yang mempertahankan kemerdekaan dengan menggunakan senjata
rampasan dari tentara Jepang.
Senjata siap, manpower siap. Satu lagi yang harus dilakuin sama para petinggi bangsa
ini. Gimana caranya seluruh dunia tau dan ngedukung perjuangan Indonesia untuk tetap
merdeka. Secara teori sih sesuai Perjanjian Potsdam, wilayah hasil invasi Jepang harus
dikembaliin ke negara “pemilik” masing-masing. Nah, masalahnya pemilik Indonesia ini
siapa? Jangan-jangan yang dimaksud itu Belanda yang udah menduduki kita selama 300
tahun. Bisa gawat nih! Nah, tugas berat untuk meyakinkan seluruh dunia bahwa Republik
Indonesia adalah pemilik resmi rakyat Nusantara berada dalam pundak 2 pendiri bangsa kita
yang lain, yaitu Sutan Sjahrir & Mohammad Hatta. Kalo lo mau lebih tau lebih detail gimana
cerdiknya Sjahrir & Hatta dalam mendapatkan pengakuan internasional, gua sarankan baca
artikel biografi Sjahrir & Mohammad Hatta di blog Zenius.
Hari-hari ke depan yang ga menentu buat Republik Indonesia. Urusan keamanan dan
pertahanan dia serahin ke para perwira dan prajurit yang pada waktu itu belom layak disebut
tentara. Kolonel Sudirman dipercaya untuk menjadi panglima TKR yang baru aja dibentuk
yang gantiin panglima aslinya, Supriyadi. Para milisi non-tentara dihimpun oleh Tan
Malaka untuk bisa bantuin tentara buat berjuang melawan agresi sekutu. Urusan diplomasi
dipegang Sjahrir & Hatta, urusan perang & bentrokan militer dipegang Sudirman dan
Malaka. Sukarno ngapain? Nah, ini nih yang jaraaang banget infonya. Apa sih peran Sukarno
selama masa Revolusi?
Kalo mau dibilang lebay sih, Sukarno itu nyawanya Revolusi. Figur Indonesia yang
dibawa Sukarno adalah arah perjuangan rakyat saat itu. Dalam arti lebay, Indonesia bisa
dianggap ada jika dan hanya jika Sukarno tetap hidup. Berkali-kali tentara Inggris nyoba buat
nangkep Sukarno, selalu gagal. Berkali-kali pula tentara NICA nyoba bunuh Sukarno, selalu
gagal juga. Jadi tugas Sukarno selain melakukan tugas eksekutifnya, dia juga harus bertahan
hidup dan kabur-kaburan dari entah berapa banyak percobaan pembunuhan. Dengan tetap
hidup, Sukarno akan tetap menjadi “figur” yang mewakili terbentuknya NKRI &
diperjuangkan oleh seluruh rakyat Indonesia.
Di sisi lain ternyata ga cuma pihak asing yang ngerepotin Sukarno, orang kita sendiri
pun kadang-kadang ngeribetin Sukarno buat hal-hal yang sebenernya kurang penting-penting
amat untuk diladenin sama Sukarno. Jatah beras mogok dari Bekasi, Sukarno yang
nyamperin. Ada sekelompok pemuda yang ngeblokade rel kereta, Sukarno pula yang
ngademin mereka. Selidik punya selidik, hal-hal konyol semacam itu ternyata emang kadang
dibikin-bikin karena rakyat saking penasarannya dengan sosok Sukarno dan pengen
didatengin dan melihat langsung sosok Sukarno. Intinya, Sukarno merasa bahwa dirinya
harus hadir di tengah-tengah masyarakat gimana pun kondisinya.
Sukarno harus mimpin sebuah negara yang sedang diserbu oleh sekutu dan sisa-sisa
tentara Jepang masih menghantui. Negara baru yang bener-bener belum punya apa-apa. Duit
ga ada, militer seadanya, kebutuhan pokok pas-pasan, perdagangan ke luar diblokade
Belanda, kacau deh! Ujung-ujungnya apa yang dilakukan? Nyelundupin barang! Menteri
Kemakmuran waktu itu, Dr. Adnan Kapau Gani akhirnya bertugas menyelundupkan barang
agar nafas ekonomi negara kita berhembus di bawah tekanan perang. Segala macem
diselundupin dari mulai timah, beras, hasil perkebunan, dsb untuk dituker sama persenjataan
dan emas sebagai alat transaksi universal. Sukarno benar-benar ngurusin negara yang masih
bayi, ga punya apa-apa, tapi punya segudang harapan dan potensi. Digaji ga dia waktu
itu? Sama sekali nggak.
Di bawah Sjahrir atas arahan Sukarno, Indonesia berhasil mencapai kata sepakat sama
Negeri Belanda pada Perundingan Linggarjati tahun 1947. Baru deh Sukarno agak lega,
karena walaupun rugi bandar secara teritorial, Republik ini bisa napas. Untuk sejenak, ga ada
lagi pertempuran yang sifatnya bunuh-bunuhan. Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1949
giliran Bung Hatta yang memberi kemenangan telak atas Indonesia pada Konferensi Meja
Bundar (KMB) di Den Haag tahun 1949, dengan memenangkan teritori kedaulatan Indonesia
dari Sabang sampai NTT & Maluku (Timor-Timur dan Irian Barat menyusul). Kalau bukan
karena seorang Bung Hatta yang waktu itu pergi mewakili Indonesia di KMB, mungkin yang
namanya negara Republik Indonesia bentuknya ga akan seluas seperti yang kita kenal
sekarang.
Pe
ta Indonesia pada Desember 1948 (warna merah) sebelum direbut kembali oleh Bung Hatta di KMB.
kiri atas : Sukarno dengan Nehru, Bapak Bangsa India | kanan atas: Sukarno dengan
Kenndy, presiden AS ke-35 | kiri bawah: Sukarno dengan Che, tokoh pemimpin revolusi
Kuba | kanan bawah: Sukarno dengan Khrushchev, pemimpin Uni Soviet.
Usai sudah KAA, Pemilu pun digelar. Hasilnya justru membuat Sukarno kecewa.
Bukannya pesta demokrasi yang makin tercipta, malah musuh politik jadi makin banyak.
PNI, Masyumi, NU, PSI, saling melakukan serangan politik satu sama lain. Para pejabat yang
harusnya mikirin kesejahteraan rakyat, malah main kubu-kubuan, sindir-sindirian satu sama
lain. Di sisi lain, PKI justru berhasil menarik simpati rakyat sebagai organisasi awal yang
mengimpun massa dalam revolusi melawan Belanda maupun agresi militer pasca
kemerdekaan.
Selain itu, situasi keamanan negara juga makin ga jelas. Banyak perwira-perwira yang
udah keliatan bakal mau protes bahkan merencanakan pemberontakan. Ada Kolonel Alex
Kawilarang dan Letkol Vantje Sumual dari Sulawesi, ada Kolonel Maludin Simbolon dari
Sumatera Utara, dan Kapten Kahar Muzakkar sudah menyatakan diri bergabung dengan
Negara Islam Indonesia bentukan SM Kartosuwiryo, temen sekamar Sukarno waktu remaja
saat tinggal di rumah Pak Cokroaminoto. Ironis banget temen seperjuangan Sukarno dari
remaja saat melawan kolonial, sekarang malah jadi pemimpin pemberontak NKRI. Di saat
itu, keutuhan NKRI mulai terancam, bukan lagi dari pihak luar, tapi justru dari internal
saudara sebangsa kita sendiri.
Pendapat parlemen hasil pemilu waktu itu mengusulkan Hatta yang bisa ngatasin
semua ini dan selayaknya dia jadi Perdana Menteri. Eh, Bung Hatta malah memutuskan
untuk mengundurin diri dari posisi Wapres dan ga mau ikut-ikutan lagi dalam percaturan
politik RI. Di satu sisi memang pasal UUDS 1950 ga memperbolehkan Wapres jadi PM, di
sisi lain belakangan emang Bung Hatta makin ga cocok sama Bung Karno dalam visi
politiknya. Enough is enough, tugas gue untuk bikin negara ini merdeka 100% udah selesai
dengan kesuksesan di KMB, sekarang gua ga mau ikut-ikutan politik kotor ini, begitu
mungkin menurut kata hati Hatta yang integritasnya ga ada yang nandingin sepanjang sejarah
Indonesia.
Sendirian, Sukarno akhirnya dapat dukungan dari TNI yang juga setuju kalo
perpecahan internal di kalangan politik dan pemberontakan internal ini ga bisa dibiarkan
lebih lama lagi. Dengan dukungan penuh dari Jenderal Nasution yang waktu itu dipercaya
lagi sebagai Panglima TNI, jatuhlah Dekrit Presiden 1959. Kekuasaan kembali jatuh ke
tangan presiden.
“Ga ada lagi sistem multipartai yang malah bikin ribet dan memupuk konflik
internal begini, biarin aja gua dibilang diktator sama Hatta! Kalo partai-partai itu terus
berseteru, bisa-bisa perang saudara gara-gara mereka pada haus kekuasaan!”
Begitulah kurang lebih pendapat Sukarno terhadap sistem Demokrasi Liberal. Sejak
saat itulah, lahir yang namanya demokrasi terpimpin.
Dari ketiga ksatria ini, Ahmad Yani adalah anak emas kesayangan Sukarno. Bahkan
berdasarkan desas-desus yang berkembang di kalangan petinggi militer maupun sipil,
Sukarno sedang mempertimbangkan Yani sebagai calon penggantinya sebagai presiden. Tapi
di sisi lain, ada juga tokoh kuat yang punya pendukung paling banyak di masa Demokrasi
Terpimpin, yaitu