Anda di halaman 1dari 4

Yama 

(pantangan, pengendalian diri), yang terdiri atas lima perintah :

a. Ahimsa (tanpa kekerasan)


b. Satya ( kebenaran dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan, atau pantangan terhadap
kepalsuan, penipuan dan kecurangan).
c. Asteya, yakni pantang untuk menginginkan sesuatu yang bukan milik nya sendiri yang
muncul dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.
d. Brahmacarya, yakni pantang untuk kenikmatan seksual dalam pikiran, perkataan dan
tindakan.
e. Aparigraha (pantang kemewahan)
Kelima yama yang disebutkan diatas merupakan suatu keharusan tanpa perkecualian. Seorang yang
melanggar disiplin di atas itu dalam hal apapun, berbuat suatu kesalahan. Patanjali menyebut kelima
yama ini mahavrata  atau sumpah besar. Pelanggarannya tidak diperkenankan dan tidak ada alasan
untuk mengelakkannya. Patanjali mengatakan bahwa kepatuhan pada kelima yama itu diwajibkan
dan dipertahankan dalam tiap keadaan,(Saraswati, 1979:47). Dikatakan juga ketaatan pada kelima
yama itu merupakan Kode Etik Universal ( sarvabhauma) (Maswinara, 1999:166).

Niyama, (suruhan untuk berdidplin, beradab, dengan memupuk kebiasaan baik) berikut kelima
Niyama itu yaitu :

a. Sauca, kebersihan lahir batin.


b. Santosa atau kepuasan.

c. Tapa atau mengekang.


d. Svadhyaya
e. Isvarapranidhana
Diatas Yama dan Niyama telah diuaraikan semuanya sepuluh kode moral atau kebajikan etika yang
harus diwujudkan. Kebalikan dari sepuluh kebaikan yang harus diwujudkan (Yama dan Niyama)
disebut sebagaia vitarka,  yaitu kesalahan-kesalahan yang harus dengan teliti dijauhkan dan
dihilangkan, yaitu:

Ø  Himsa atau kekerasan dan tidak sabar sebagai lawan ahimsa

Ø  Asatya atau kepalsuan sebagai lawan dari satya

Ø  Steya atau keserakahan sebagai lawan dari asteya

Ø  Vyabhicara atau kenikmatan seksual sebagai lawan dari brahmacarya

Ø  Asauca atau kekotoran sebagai lawan dari sauca 

Ø  Asantosa atau ketidakpuasan sebagai lawan dari santosa


Ø  Vilasa atau kemewahan sebagai lawan tapa

Ø  Pramada atau kealpaan sebagai lawan svadhyaya

Ø  Prakrti-pranidhana atau keterikatan pada prakrti sebagai lawan dari isvarapranidhana

Dengan menempuh jalan kebaikan bukan berarti seseorang dengan sendirinya dilindungi terhadap
kesalahan yang bertentangan. Jangan menyakiti orang lain belum tentu berarti perlakukan orang lain
dengan baik. Kita harus melakukan keduanya, tidak menyakiti orang lain dan sekaligus melakukan
keramah-tamahan.

Asana, suatu cara atau sikap duduk yang baik, kuat dan menyenangkan.

Sikap ini bermacam-macam adanya, seperti padmasana (sikap teratai), wajrasana (sikap tabah),
dhanu asana (sikap busur), sarwangan asana (sikap berdiri diatas bahu), hala-asana (sikap bajak),
Bhujangga asana (sikap ular kobra), salabha asana (sikap belalang), pascimo asana ( sikap melurus
kemuka), padahasta asana ( sikap berdiri bungkuk ke muka), ardhamatsyeandra asana ( sikap
berputar), supra waja asana (sikap pangul), dhanuh asana (sikap busur tabah), mayura asana (sikap
merak), matsya asana ( sikap ikan), badha asana), sikap teratai guru), kukta asana( sikap ayam
jantan), uttama kurma asana (sikap penyu), sirsa asana ( sikap badan terbalik). Demikianlah asana-
asana yang ada dalam yoga. Artinya yoga Patanjali tidak mempermasalahkan untuk
melaksanakannya sesuai dengan kemampuan dan keinginan peserta yoga. Namun demikian
hendaknya peserta yoga berpandangan bahwa semua asana itu merupakan sukha asana I,  suatu
asana/sikap yang menyenangkan.

Pranayama, pengaturan nafas atau pengaturan nafas keluar masuk paru-paru melalui lubang hidung
dengan tujuan menyebarkan prana (energi) keseluruh tubuh. Dalam pelatihan Yoga pernafasan perlu
diatur untuk membersihkan darah, mengawasi pemusatan pikiran, karena sangat menguatkan
badan-badan dan meneguhkan pikiran. Pranayama  dilakukan dengan tiga cara yaitu menarik nafas
panjang dan dalam-dalam (puraka), menahan nafas (kumbaka), da mengeluarkan nafas (caraka).

Pratayaksa, Adalah penguasaan panca indria oleh pikiran sehingga apapun yang diterima panca
indria melalui syaraf ke otak tidak mempengaruhi pikiran. Panca indria adalah : pendengaran,
penglihatan, penciuman, rasa lidah dan rasa kulit. Pada umumnya indria menimbulkan nafsu
kenikmatan setelah mempengaruhi pikiran. Yoga bertujuan memutuskan mata rantai olah pikiran
dari rangsangan syaraf ke keinginan (nafsu), sehingga citta menjadi murni dan bebas dari goncangan-
goncangan.

Dharana artinya mengendalikan pikiran agar terpusat pada suatu objek konsentrasi. Objek itu dapat
berada dalam tubuh kita sendiri, misalnya “selaning lelata” (sela-sela alis) yang dalam keyakinan
Sivaism disebut sebagai “Trinetra” atau mata ketiga Siwa. Dapat pula pada “tungtunging panon”
atau ujung (puncak) hidung sebagai objek pandang terdekat dari mata.
Para Sulinggih (Pendeta) di Bali banyak yang menggunakan ubun-ubun (sahasrara) sebagai
objek karena disaat “ngili atma” di ubun-ubun dibayangkan adanya padma berdaun seribu dengan
mahkotanya berupa atman yang bersinar “spatika” yaitu berkilau bagaikan mutiara. Objek lain diluar
tubuh manusia misalnya bintang, bulan, matahari, dan gunung. Penggunaan bintang sebagai objek
akan membantu para yogin menguatkan pendirian dan keyakinan pada ajaran Dharma, jika bulan
yang digunakan membawa kearah kedamaian bathin, matahari untuk kekuatan phisik, dan gunung
untuk kesejahteraan. Objek diluar badan yang lain misalnya patung dan gambar dari Dewa-Dewi,
Guru Spiritual. yang bermanfaat bagi terserapnya vibrasi kesucian dari objek yang ditokohkan itu.
Kemampuan melaksanakan Dharana dengan baik akan memudahkan mencapai Dhyana dan
Samadhi.

Dhyana, Dhyana adalah suatu keadaan dimana arus pikiran tertuju tanpa putus-putus pada objek
yang disebutkan dalam Dharana itu, tanpa tergoyahkan oleh objek atau gangguan atau godaan lain
baik yang nyata maupun yang tidak nyata.

Gangguan atau godaan yang nyata dirasakan oleh Panca Indria baik melalui pendengaran,
penglihatan, penciuman, rasa lidah maupun rasa kulit. Ganguan atau godan yang tidak nyata adalah
dari pikiran sendiri yang menyimpang dari sasaran objek Dharana. Tujuan Dhyana adalah aliran
pikiran yang terus menerus kepada Hyang Widhi melalui objek Dharana, lebih jelasnya Yogasutra
Maharsi Patanjali menyatakan : “Tatra pradyaya ekatana dhyanam” Artinya : Arus buddhi (pikiran)
yang tiada putus-putusnya menuju tujuan (Hyang Widhi). Kaitan antara Pranayama, Pratyahara dan
Dhyana sangat kuat, dinyatakan oleh Maharsi Yajanawalkya sebagai berikut : “Pranayamair dahed
dosan, dharanbhisca kilbisan, pratyaharasca sansargan, dhyanena asvan gunan : Artinya : Dengan
pranayama terbuanglah kotoran badan dan kotoran buddhi, dengan pratyahara terbuanglah kotoran
ikatan (pada objek keduniawian), dan dengan dhyana dihilangkanlah segala apa (hambatan) yang
berada diantara manusia dan Hyang Widhi.

Samadhi, Samadhi adalah tingkatan tertinggi dari Astangga-yoga, yang dibagi dalam dua keadaan
yaitu : 1) Samprajnatta-samadhi atau Sabija-samadhi, adalah keadaan dimana yogin masih
mempunyai kesadaran, dan 2) Asamprajnata-samadhi atau Nirbija-samadhi, adalah keadaan dimana
yogin sudah tidak sadar akan diri dan lingkungannya, karena bathinnya penuh diresapi oleh
kebahagiaan tiada tara, diresapi oleh cinta kasih Hyang Widhi.

Baik dalam keadaan Sabija-samadhi maupun Nirbija-samadhi, seorang yogin merasa sangat
berbahagia, sangat puas, tidak cemas, tidak merasa memiliki apapun, tidak mempunyai keinginan,
pikiran yang tidak tercela, bebas dari “catur kalpana” (yaitu : tahu, diketahui, mengetahui,
Pengetahuan), tidak lalai, tidak ada ke-”aku”-an, tenang, tentram dan damai. Samadhi adalah pintu
gerbang menuju Moksa, karena unsur-unsur Moksa sudah dirasakan oleh seorang yogin. Samadhi
yang dapat dipertahankan terus-menerus keberadaannya, akan sangat memudahkan pencapaian
Moksa. 

Anda mungkin juga menyukai