Anda di halaman 1dari 18

Abdul Haris Nasution, Gerilya

Menyelamatkan IndonesiaOleh Nirwansyah Putra


Diselesaikan di Medan pada Rabu, 26 September 2018

September adalah pengingat bagi sesosok nama, Jenderal Besar Abdul


Haris (AH) Nasution. Figur yang berjalin dengan nama besar dalam sejarah
Indonesia: Sukarno, Hatta, Sudirman dan Soeharto. Toh, dia bukan
“hanya” itu. Karena itu, tulisan ini akan terasa begitu singkat melukiskan
sosok NasutionPeristiwa Gerakan 30 September (G-30S)/Partai Komunis Indonesia (PKI), saat
Nasution lolos dari penculikan dan pembunuhan keji, memang susah dilupakan. Menjadi
target utama, Nasution jelas bukan orang “kecil”. Namun, membingkai Nasution hanya
dari peristiwa tersebut dan perseteruannya dengan PKI, merupakan kesilapan besar.
Jangan-jangan, hal itu malah sebuah reka untuk membonsai dirinya.
Dia adalah wakil Panglima Besar Jenderal Sudirman, junior Jenderal Oerip
Sumohardjo, menata internal dan politik TNI pasca kelahirannya. Dengan Sukarno,
Proklamator dan Presiden I Indonesia: dia pernah dipecat dan juga diangkat dalam posisi
paling tinggi dalam militer dan kekuasaan. Nasution adalah juga si pembentang karpet
merah kekuasaan tunggal Sukarno sejak Dekrit 1959, namun juga pencabut mandat
Sukarno sebagai Presiden pada 1967. Dengan Soeharto, Presiden Indonesia selama 32
tahun: Nasutio-lah yang mengangkat Soeharto menjadi Presiden, lalu dihempas Soeharto,
namun kemudian digelari Jenderal Besar oleh Soeharto dan TNI sebelum wafat pada
tahun 2000 tanggal 5 bulan September.
Ed Masters, mantan Duta Besar AS di Indonesia (1978-1982), mengatakan,
Nasution mungkin saja menapak ke puncak tertinggi kekuasaan di Indonesia dengan
memanfaatkan simpati kepadanya (terutama karena peristiwa G-30–S/PKI), sikap anti
komunis dan jasanya saat memimpin perang gerilya. “Tapi dia tidak melakukannya.
Sejarah Indonesia bisa berbeda jika Jenderal Nasution menjadi Presiden,” kata Masters
kepada New York Times edisi 7 September 2000 mengomentari wafatnya Nasution. “Dia
adalah Hamlet-nya Indonesia.”
Seorang Hamlet?
***
Bila pendiri negara diukur hanya dari tokoh yang mengikuti Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI), Nasution bukanlah “senior”. Dia lahir 3 Desember 1918 di
Hutapungkut, Kota Nopan, Mandailing Natal, Sumatera Utara, daerah yang berbatasan
2

dengan Sumatera barat. Itu berarti 17 tahun setelah Presiden Sukarno lahir pada 1901.
Namun, dia hanya berbeda umur 2 tahun dengan Panglima Besar Jenderal Sudirman yang
lahir pada 1916.
Ayahnya, H Abdul Halim Nasution, menginginkan Nasution muda untuk menjadi
guru agama. Nasution lantas disekolahkan di Bukit Tinggi, Sumatera Barat dan melanjut
ke Bandung, Jawa Barat. Menurut Tim Pusat Data dan Analisa Tempo (PDAT) dalam
buku Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa Partai: Perjalanan Hidup A.H. Nasution
(1998), Nasution sempat pula menjadi guru sebentar di Tanjung Praja, Palembang, pada
1939. Nasution lalu masuk sekolah militer milik Belanda, Koninklijke Militaire
Academie (KMA), Bandung, melalui program Corps Opleiding tot Reserve Officieren
(CORO). Pada November 1940, Nasution masuk Koninklijk Nederlands Indisch Leger
(KNIL). Dia lalu diangkat sebagai Vaandrig (Pembantu Letnan) pada kesatuan Infanteri
KNIL pada 1941. Setahun berikutnya, Nasution mendapatkan pengalaman tempur
pertama saat melawan Jepang.
Seperti diketahui, militer Indonesia di awal kelahirannya, merupakan gabungan
dari perwira lulusan KNIL dan Pembela Tanah Air (PETA) bikinan Jepang, di samping
laskar-laskar bikinan kelompok masyarakat secara mandiri. KNIL merupakan sayap
militer Belanda yang khusus bertugas di Hindia Belanda. Background lulusan ini nantinya
mempunyai faktor penting dalam dinamika militer di Indonesia, baik dari segi politik
maupun dinamika internal jabatan. Peran penting Panglima Besar Sudirman (lulusan
PETA) dan Kepala Staf-nya, Oerip Sumohardjo (perwira senior dengan pangkat paling
tinggi di era KNIL), sangat penting menjaga keseimbangan di tubuh militer.
Pasca proklamasi, Nasution (bersama Tahi Bonar/TB Simatupang dan alumni
militer Bandung lainnya) bergabung dengan TKR (nama TNI di awal pembentukan 5
Oktober 1945 setelah sebelumnya bernama Badan Keamanan Rakyat/BKR). Nasution
lalu menjabat Kepala Staf Komandemen TKR Jawa Barat, lalu menjadi Panglima Divisi
TKR III Priangan. Pada Mei 1946, Nasution diangkat menjadi Komandan Wilayah Divisi
Siliwangi, divisi baru hasil perubahan Komandamen Jawa Barat. Pengangkatan Nasution
di Divisi Siliwangi menggantikan Didi Kartasasmita, seniornya.
***

Pada 1947, kabinet yang dipimpin Perdana Menteri (PM) sekaligus Menteri
Pertahanan, Amir Sjarifuddin Harahap, mengajukan program reorganisasi dan
rasionalisasi (rera) tentara. Di antara akibatnya, pengurangan jumlah personil militer dan
kendali penuh militer. Asvi Warman Adam, sejarawan LIPI, dalam tulisannya, Hatta
Kambing Hitam Madiun (2010), mengungkap kesaksian Ir Setiadi Reksoprodjo (Menteri
Penerangan dalam kabinet Amir), kalau Amir menilai tentara didikan Belanda dan
Jepang, umumnya kurang mengerti perlunya keterlibatan rakyat. Amir yang berhaluan
kiri itu, juga mengusung Perwira Perpolitikan Rakyat (Pepolit).
Sudirman dan Oerip, tidak senang terhadap program Amir ini. Sudirman
berprinsip, tentara tak mempunyai tempat dalam politik dan demikian juga sebaliknya.
Amrin Imran dalam Urip Sumohardjo (1983) menyebutkan, ketidakpercayaan politisi
pemerintah terhadap militer ini, membuat Oerip mengajukan pengunduran dirinya.
Konflik ini adalah sebuah rentetan. Sebelumnya, duet Sudirman-Oerip juga pernah
mengusulkan untuk menyerang Belanda saat posisinya sedang lemah karena masih sibuk
berkonsolidasi. Usulan ini ditolak pemerintah. Politisi lebih mengedepankan diplomasi.
3

Analisis lain menyebut kalau Amir memprioritaskan kelompok berhaluan kiri


dalam kemiliteran daripada kelompok-kelompok lain yang begitu beragam. Program rera
militer miliknya, mungkin bisa dibandingkan dengan konsep tentara rakyat ala rezim
komunis Soviet maupun China.
Meski menolak, duet Sudirman-Oerip, toh, tetap loyal. Dalam Genesis of Power:
General Sudirman and the Indonesian Military in Politics, 1945–49 (1991), karangan
Salim Said, didapat keterangan, akibat rera, Sudirman sempat diturunkan pangkatnya
menjadi Letnan Jenderal (Letjend).
Begitupun, duet Sudirman-Oerip berhasil memasukkan dan memadukan pasukan
paramiliter lain yaitu laskar-laskar bentukan rakyat, dengan Tentara Republik Indonesia
(TRI). Pemaduan ini menghasilkan format baru militer yaitu Tentara Nasional Indonesia
(TNI).
Dari titik ini, kelihatan jelas perbedaan visi TNI sebagai “tentara rakyat” antara
kubu Amir dan Sudirman-Oerip.
Akhirnya, perjanjian Renville yang dibuat 8 Desember 1947 dan ditandatangani
PM Amir pada 17 Januari 1948, membuat kabinet Amir jatuh. Perjanjian itu dinilai oleh
kelompok sipil maupun militer, sangat merugikan Indonesia. Konflik antara militer dan
elit politik Indonesia gara-gara program rera Amir, mereda sejenak. Namun, posisi tawar
militer kian meningkat sejak Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948.
AH Nasution sewaktu menjadi Panglima Divisi Siliwangi bersama Komandan
Grup Brigade Infantri 3 Belanda, Kolonel H.M.G.J. Lentz pada 5 Februari 1948 di
Tasikmalaya, Jawa Barat, pasca Perundingan Renville yang memutuskan TNI harus
keluar dari wilayah Belanda. TNI sangat kecewa terhadap putusan itu dan menjatuhkan
kepercayaan TNI terhadap politisi pemerintah.
***
Pada 17 November 1948, Oerip wafat. Pada Agustus 1949, wafatnya Oerip karena
sakit ini pernah diungkit oleh Sudirman sewaktu Sukarno dan elit pemerintahan lainnya
tidak setuju dengan usulnya untuk menyerang Belanda pasca perjanjian Roem-Royen.
Sudirman menyalahkan kebijakan dan kelakuan politisi sipil telah membuat Oerip jatuh
sakit. Pasca Oerip, Sudirman menunjuk Nasution sebagai Deputi (wakil). Konon,
penunjukan Nasution diusulkan Mohammad Hatta. Namun ada juga kemungkinan lain.
Sebagai seniornya di KNIL, Nasution diketahui juga sudah berhubungan langsung
dengan Oerip bahkan sebelum Indonesia merdeka. Sejak tak lagi menjadi Kepala Staf,
Oerip adalah penasihat Menteri Pertahanan pasca perjanjian Renville, Mohammad Hatta.
Di sisi lain, posisi Nasution sebagai wakil Sudirman jelas membuat pengaruh
Nasution meningkat di kalangan militer. Duet Sudirman-Nasution merupakan kelanjutan
duet alumni PETA-KNIL di awal-awal militer Indonesia. Meski, di internal KNIL sendiri,
penunjukan Nasution tak begitu membahagiakan karena masih ada nama Soerjadi
Soerjadarma yang lebih senior. Soerjadi tetap sebagai Kepala Staf Angkatan Udara
(KSAU).
Meski demikian, Hatta tetap melanjutkan rera dengan visi yang berbeda dengan
Amir yang cenderung politis. Walau dikenal dengan pemikiran sosialisnya, Hatta
agaknya lebih ekonomis dan nasionalis (seperti visi Sudirman-Oerip/Nasution) melihat
persoalan ini. Dia melihat posisi keuangan Indonesia yang waktu itu sangat kritis dan
perlengkapan alutsista yang sangat terbatas. Menurut hitungan Hatta, militer Indonesia
4

waktu itu yang berkisar 350.000 personil ditambah 400 ribu anggota laskar, paling tidak
akan diperkecil antara 57.000-160.000 personil. Merujuk tulisan Asvi Warman Adam,
Hatta Kambing Hitam Madiun (2010), Hatta menghitung, rasionya adalah 1 senjata : 4
prajurit.
Sebagai Wakil Panglima, Nasution tentu punya peranan dalam rera. Masalah
klasik muncul lagi: sebagian alumni PETA menilai program rera ini lebih banyak
menguntungkan alumni KNIL. Di antara yang paling keras menentang rera adalah
Kolonel Sutarto, Komandan Pasukan Panembahan Senopati. Persaingan antara Divisi
Senopati dan Siliwangi (yang pernah dikomandoi Nasution) juga mengemuka.
Namun secara umum, Mohammad Hatta belakangan menjadi sosok yang begitu
dibenci PKI dan balatentaranya, baik oleh tokoh senior maupun generasi Dipa Nusantara
(DN) Aidit nanti. Mereka juga menuduh pemerintahan Sukarno-Hatta ada main dengan
Amerika Serikat (AS) untuk menghabisi komunis berdasar sebuah pertemuan antara
kedua belah pihak di Sarangan, Madiun, Jawa Timur, pada 21 Juli 1948, yang
menghasilkan “Red Drive Proposal“. Amerika diwakili G. Hopkins dan M. Cochran,
sementara Indonesia dihadiri oleh Hatta, Sukiman, Natsir dan Mohamad Roem.
Namun, pertemuan berikut dokumen ini eksistensinya justru tak pernah dapat
dibuktikan oleh PKI. Memang, AS sudah terlibat langsung di Indonesia sejak PBB
membentuk Committee of Good Offices for Indonesia atau Komisi Tiga Negara pada
1947, di mana AS menjadi salah satu delegasi. Hal ini kemudian diikuti dengan Perjanjian
Renville yang diteken di atas kapal perang AS. Namun, mengaitkannya secara langsung
sebagai indikator kerjasama Indonesia-AS menggulung komunisme dengan iming-iming
bantuan ekonomi, jelas tudingan serius. Menuduh tanpa bukti jelas merupakan justifikasi
dari sebuah agitasi propaganda semata.
Lalu, Amir yang tak lagi mendapat mandat sebagai PM sejak 29 Januari 1948,
bertindak lebih jauh. Bersama elit komunis lainnya, Amir menggalang sayap oposisi
politik dan militer dari partai sosialis (yang tak setuju dengan Syahrir) seperti Pemuda
Sosialis Indonesia (Pesindo) dan serikat buruh seperti Sentral Organisasi Buruh Seluruh
Indonesia (SOBSI) dan yang lain, dalam Front Demokrasi Rakjat (FDR) di Solo pada 26
Februari 1948. Program FDR di antaranya menolak perjanjian Renville, memberhentikan
negosiasi dengan Belanda dan nasionalisasi perusahaan asing.
Di titik ini, program FDR memang terlihat aneh karena Amir sendiri merupakan
penandatangan perjanjian Renville sebagai wakil resmi pemerintah Indonesia waktu itu.
Soal ini, ada kemungkinan penjelasan dari sisi kebijakan politik Andrei Alexandrovich
Zhdanov, calon suksesor Joseph Stalin, pemimpin Soviet waktu itu. Zhdanov pada
September 1947 sudah memerintahkan untuk menolak kerjasama dengan kubu kapitalis
(termasuk nasionalis) Amerika Serikat dan sekutunya. Langkah komunis Soviet ini
adalah antisipasi sekaligus reaksi terhadap program Marshall Plan bikinan Amerika
Serikat yang di antaranya mencegah penyebaran komunisme pasca Perang Dunia II.
Kebijakan Zhdanov ini jelas mengoreksi kebijakan sebelumnya, di mana komunis
Indonesia mengikuti kebijakan Georgi Dimitrov Mikhaylov (pemimpin Komunis
Internasional dari 1934-1943) yang membolehkan kerjasama dengan kelompok
nasionalis dan bahkan liberal kapitalis.
Kemungkinan yang lain adalah –merujuk tulisan Rosihan Anwar dalam
“Snapshot” Amir Sjarifoeddin (2008) di koran Suara Pembaruan– Amir juga sempat
dituduh pernah menerima 25 ribu Gulden dari Charles Olke van der Plas, mantan
Gubernur Jawa Timur. Dengan demikian, Amir sendiri tak kuasa menahan gelombang di
internal komunis.
5

Situasi tambah panas karena kelompok militer yang senaung dengan FDR (seperti
Senopati dan sayap militer kelompok kiri), juga terimbas program rera yang dijalankan
Hatta. Akibatnya, benih perlawanan pun tumbuh. Seperti yang disebutkan di atas, konflik
antara divisi Siliwangi dan Senopati sudah mengemuka lama sebelumnya. Misal, pada 2
Juli 1948, Kolonel Sutarto, Komandan Senopati, tewas dibunuh. Telunjuk Senopati
mengarah ke Siliwangi yang dikomandani Letnan Kolonel Sadikin. Sutarto lalu diganti
dengan Letkol Soedi. Komandan Militer Kota Solo, Mayor Achmadi, berusaha
menengahi konflik satuan itu. Menurut tulisan majalah Tempo berjudul Laga Pengalih
Sebelum Madiun (2010), dilakukan penyelidikan dan ditemukan kalau Sutarto dibunuh
Pirono atas suruhan tokoh PKI, Alimin Prawirodirjo. Namun, persaingan tidak padam
begitu saja. Ibarat api dalam sekam.
Amir bukan sekali ini mengambil jalan konfrontasi. Dia pernah ditangkap Jepang
dan akan dihukum mati. Sukarno mengajukan pengampunan. Untungnya, Jepang mau.
M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2005) dan juga Rosihan Anwar dalam
“Snapshot” Amir Sjarifoeedin (2008), menyebut, Amir pernah mengakui kalau dia
merupakan anggota PKI bawah tanah sejak 1935.
Musso yang baru datang dari Uni Sovyet kemudian menyatukan seluruh faksi
FDR dalam PKI. Musso menyebut “Jalan Baru untuk Republik Indonesia” dan disetujui
Konferensi PKI pada 26-27 Agustus 1948. Amir yang dulu direkrut oleh Musso, langsung
berdiri di belakang Musso yang ditahbis menjadi pemimpin. Meski, Amir sempat
disalahkan juga karena mau begitu saja mundur dari jabatan Perdana Menteri. Selain itu,
posisi Musso menguat karena diduga berhasil menjadi anggota Komite Eksekutif
Komunis Internasional dan menyingkirkan peran Tan Malaka di komunis Indonesia pasca
pemberontakan 1926.
PKI lantas memberontak pada 18 September 1948 dengan mengambil alih
pemerintahan di Madiun; sebuah istilah yang ditolak oleh orang komunis.
***
Hingga saat itu, komunis berarti sudah dua kali melakukan pemberontakan.
Peristiwa pertama yaitu tahun 1926-1927 (November 1926 di Jakarta, Banten, serta
Januari 1927 di Sumatera Barat). Walau masih dikategorikan perlawanan terhadap
Belanda, namun di internal komunis sendiri, gerakan itu dikecam. Di antaranya oleh Tan
Malaka, Perwakilan Resmi Komunis Internasional wilayah Asia Tenggara waktu itu.
Kisah soal ini juga menarik.
Menurut Harry A. Poeze dalam Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1897-
1925 (2010), melalui surat pada 16 Desember 1925, Musso dan elit PKI sudah memberi
tahu rencana pemberontakan kepada Tan Malaka. Tapi Tan Malaka menolak. Dia
mengatakan itu kepada Alimin yang menemuinya di Filipina, dan menyertakan
argumentasi penolakan secara tertulis untuk disampaikan ke elit PKI lainnya. Di
Singapura, dokumen penolakan Tan Malaka bertanggal 4 Januari 1926 justru tidak
disampaikan ke pengurus lain kecuali Musso. Menurut Poezo, Alimin justru menyatakan
Tan Malaka setuju rencana itu.
Tak habis akal, Musso dan Alimin pun dikabarkan meminta dukungan langsung
ke Moskow pada Maret 1926. Tak pelak, bagi Musso, Tan Malaka adalah pengkhianat
dan biang kegagalan pemberontakan 1926-1927 oleh PKI. Hal ini diamini kader PKI yang
lebih muda dari Musso. Soemarsono, pemimpin Pesindo (juga Ketua Badan Kongres
Pemuda Republik Indonesia), penggerak lapangan pemberontakan PKI Madiun 1948,
6
mengganggap Tan Malaka adalah musuh orang-orang PKI. Selain karena program rera,
Hatta juga dimusuhi PKI karena pernah membebaskan Tan Malaka. Namun menurut
Poezo, justru Tan Malaka yang menganggap dirinya dikhianati Musso dan Alimin. Tan
Malaka sendiri di kemudian hari mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) dan
Musjawarah Ra’jat Banjak (Murba).
Pemberontakan PKI 1948 membuat negara bereaksi langsung. Nasution dalam
memoirnya, Memenuhi Panggilan Tugas; Jilid 2A Kenangan Masa Gerilya (1989),
mengungkapkan, Sukarno memanggilnya ke Yogyakarta pada 18 September 1948.
Sukarno didampingi Menteri Pertahanan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Dalam
keadaan sakit, Panglima Sudirman akhirnya datang ke Yogyakarta dari Magelang.
Seluruh petinggi negara hadir. Kesimpulannya bulat: peristiwa itu adalah sebuah
pemberontakan.
Perintah yang disusun dirancang terdiri dari tiga poin: menindak pemberontakan,
menangkap tokoh-tokohnya dan membubarkan organisasi pendukung dan simpatisan.
Dengan pecahnya pemberontakan di Madiun dan sebelumnya konflik militer di Solo,
maka pengambilalihan Yogyakarta sebagai pusat pemerintahan, hanya tinggal menunggu
waktu saja. Apalagi, tokoh PKI, simpatisan dan sebagian pasukan FDR memang sudah
ada di Yogyakarta. Memang, dalam waktu bersamaan, Konferensi Serikat Buruh Kereta
Api juga digelar di Yogyakarta. Delegasi dari daerah-daerah lain sudah berkumpul di
Yogyakarta yang waktu itu merupakan ibukota negara. Putusan lalu diambil dan Sukarno
memerintahkan Sudirman bergerak.
Sebelum mengambil opsi militer, Sudirman sempat mengutus Letnan Kolonel
Soeharto, Komandan Brigade X untuk berdiplomasi dengan PKI. Menurut Soeharto di
biografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (1989), dia membawa pesan
dari Panglima Sudirman menemui Kolonel Suadi, Komandan Pasukan Panembahan
Senopati, agar pasukan Senopati tidak terpengaruh PKI/FDR. Mereka bertemu di
Wonogiri, Jawa Tengah. Suadi lalu membawa Soeharto kepada Musso. Kepada Soeharto,
Musso menyampaikan kekecewaannya kepada Sukarno-Hatta karena mau berunding
dengan Belanda. “Kalau saya akan dihancurkan, saya akan melawan,” kata Musso kepada
Soeharto. Soeharto mengaku, dia menyampaikan pernyataan Musso itu kepada Sudirman
dan kemudian diteruskan ke Sukarno-Hatta.
Karena diplomasi buntu, Nasution pun masuk. Namun, tugas Nasution bukan
enteng. Diperkirakan 5.000-10.000 tentara pro-PKI, terutama empat batalyon Brigade 29
ada di sana. Apalagi sebelumnya di Solo, pada 13 September 1948, pasukan Senopati
sempat menyerbu markas Siliwangi karena menganggap 6 orang perwiranya “diculik”
oleh pasukan Siliwangi. Nama Tan Malaka dalam peristiwa itu juga disebut-sebut muncul
dan berada di pihak pasukan Siliwangi. Pada 16 September 1948, markas Pemuda Sosialis
Indonesia (Pesindo) Solo yang diserbu pasukan Siliwangi. Situasi pun menjadi liar
sebelum peristiwa 18 September. Pada saat pengambilalihan Madiun, PKI diklaim sudah
menguasai Magetan, Ponorogo, Ngawi, Pacitan, Wonogiri dan Sukoharjo.
Dipimpin Nasution, Kolonel Gatot Soebroto (Gubernur Militer wilayah Solo) dan
Kolonel Sungkono (Gubernur Militer Jawa Timur), TNI disebutkan mengerahkan sekitar
10 batalyon. PKI terdesak dan pada 30 September 1948, PKI mulai meninggalkan Madiun
dalam sebuah rombongan besar. Wilayah pendudukan Belanda menjadi tujuan. Di
Ponorogo, Musso dan Amir berpisah jalan. Musso tertangkap, lalu dieksekusi mati
sewaktu berusaha melahirkan diri pada 31 Oktober 1948. Sementara Amir ditangkap pada
29 November 1948 di hutan Klambu, Grobogan (sekitar 50 km dari Madiun), Jawa
Tengah, menyusul penahanan tokoh-tokoh PKI lainnya.
7

Namun, beban tentara Indonesia bukannya berkurang karena pada 19 Desember


1948, Belanda melancarkan agresi militer dan berhasil menguasai Yogyakarta dan
menangkap Sukarno dan Hatta. Panglima Sudirman memutuskan gerilya. Sebagian besar
tahanan politik dibebaskan. Aidit dalam Menggugat Peristiwa Madiun; D.N. Aidit [24
Februari 1955] (1964), menyebut, Amir dan pemimpin pemberontakan lainnya
dieksekusi mati di Desa Ngalijan, Lalung, Karanganyar, Solo, pada 19 Desember 1948
malam.
Aidit mengisahkan, pada waktu itu Amir Sjarifuddin berpakaian piyama putih
strip biru, celana hijau panjang, dan membawa buntelan sarung. Maruto Darusman
berpakaian jas cokelat dan celana putih panjang. Suripno berbaju kaos dan bersarung.
Oey Gee Hwat bercelana putih, kemeja putih dan jas putih yang sudah kotor. “Kawan-
kawan lainnya ialah Sardjono, Harjono, Sukarno, Djokosujono, Katamhadi,
Ronomarsono, dan D. Mangku,” kata Aidit. Nama-nama yang dieksekusi ini disebutkan
kembali dalam laporan majalah Tempo berjudul Lunglai di Rawa Klambu (2010).
Sementara, Alimin dan Soemarsono lolos. Aidit, Nyoto, Sudisman, Lukman dan beberapa
nama lain, juga lolos. Aidit dan Lukman disebut berhasil kabur ke China.
Pemberontakan PKI, disusul Agresi Belanda dan lalu penangkapan presiden,
membuat Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dibentuk di Sumatera. Itu
secara de jure. Merujuk pada pendapat TB Simatupang, secara de facto, tentara yang
dikomandoi Sudirman, justru menjadi simbol bahwa negara Indonesia masih berlanjut
dan berjuang secara gerilya, menjaga kedaulatan dan eksistensi teritorial negara. Nama
Sudirman semakin harum sebagai pemimpin de facto Indonesia dalam gerilyanya.
Oleh Sudirman, Nasution lantas ditugaskan sebagai komandan tentara dan
wilayah di Jawa. Nanti, setelah PDRI menyerahkan mandat kembali ke Sukarno-Hatta,
Nasution balik ke posisi awalnya sebagai Wakil Panglima Sudirman.
PKI pun padam, untuk sementara.
***
Pada 29 Januari 1950. Panglima Sudirman wafat. Indonesia berduka. Iringan
jenazah Sudirman mengular lebih 2 kilimoter. Jabatan panglima ditiadakan. Mayor
Jenderal TB Simatupang diangkat menjadi Kepala Staf Angkatan Perang (KSAP),
sedangkan Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Duet Nasution-Simatupang mulanya berjalan mulus. Namun, konflik internal
mengemuka ketika mereka berusaha merestrukturisasi dan reorganisasi TNI. Persoalan
lama muncul kembali. Nasution dan Simatupang, yang merupakan alumni sekolah militer
Belanda, disorot karena dinilai berusaha menggeser alumni PETA yang notobene dididik
Jepang. Penolakan terhadap keduanya disponsori oleh Kolonel Bambang Supeno, perwira
alumni PETA (mantan Panglima Divisi VII/Untung Suropati dan Kepala Staf Umum TNI
semasa Nasution sebagai KSAD). Supeno disebutkan menghadap langsung ke Presiden
Sukarno dan DPR untuk menyatakan ketidaksetujuannya.
Nasution-Simatupang jelas tidak senang terhadap peristiwa ini. Selain dinilai
melawan hirarki militer, peristiwa itu mengundang tangan politisi. DPR pun menyatakan
ketidaksetujuannya terhadap restrukturisasi TNI. Nasution dan pimpinan tentara,
terutama Angkatan Darat (AD), menganggap politisi sudah mencampuri urusan internal
TNI. Kejadian yang pernah dialami tentara sewaktu rera seakan terulang. Namun kini,
reaksi tentara berbeda. Mereka menyerang balik: menuntut pembubaran DPR.
8

Tuntutan diutarakan ke Presiden Sukarno pada 17 Oktober 1952 terjadi. Nasution


dan Simatupang datang menghadap Sukarno di istana, menyertakan tentara dan tank
militer di luar istana. Moncong senjata dan meriam diarahkan ke istana. Sukarno
bergeming. Dialog antara Sukarno dan Nasution itu, diceritakan kembali oleh Sukarno
dalam biografinya, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Edisi Revisi,
Cetakan Kelima (2018), karangan Cindy Adams. Berikut kutipan aslinya.

Kolonel Abdul Haris Nasution, yang memimpin percobaan “setengah kup”,


sebagaimana ia kemudian menamakannya, menyampaikan masalahnya. “Ini tidak
ditujukan kepada Bung Karno pribadi, melainkan untuk menentang sistem
pemerintahan. Bung Karno harus segara membubarkan Parlemen,” kata Nasution.

Mataku memerah karena marah. “Engkau benar dalam dalam tuntutannmu, tetapi
salah di dalam caranya. Sukarno tidak akan menyerah menghadapi paksaan. Tidak
pernah kepada seluruh tentara Belanda dan tidak kepada satu batalyon Tentara
Nasional Indonesia!”

“Bila ada kekacauan di negara kita, setiap orang berpaling kepada tentara,” balas
Nasution. “Tokoh-tokoh politik membikin peperangan, tetapi si prajurit yang harus
mati. Wajar bila kami turut berbicara tentang apa yang sedang berlangsung.”

“Mengemukakan apa yang terasa di hatimu kepada Bung Karno–YA. Tetapi


mengancam Bapak Republik Indonesia–TIDAK! JANGAN SEKALI-KALI!”
Menurut Simatupang, seperti disitir Rum Aly dalam bukunya Titik Silang Jalan
Kekuasaan 1966; Mitos dan Dilema: Mahasiswa dalam Proses Perubahan Politik 1959-
1970 (2006), waktu itu para pimpinan militer dihadapkan pada dua alternatif; menerobos
terus dan mengambil alih pimpinan negara seperti yang dituduhkan para politisi sipil
waktu itu, atau menahan diri dan memilih menunggu dilaksanakan Pemilu. Nasution,
Simatupang dan elit militer lainnya ternyata memilih mundur.
Sukarno lalu berjalan keluar langsung berhadapan massa. Menurut Sukarno,
seluruh kawasan itu seperti berada dalam keadaan perang. “‘Kup’ itu mengalami
kegagalan total. Barisan itu membubarkan diri sambil berteriak, ‘Hidup Bung Karno…!’
Hidup Bung Karno!’” demikian versi Sukarno dalam biografinya.
Tak lama selepas itu, Nasution diperiksa oleh Kejaksaan Agung. Panglima teritori
wilayah mengambil alih pimpinan dari elit militer yang mendukung aksi 17 Oktober
1952. Internal AD pun bergolak. Melihat gelagat itu, Nasution menyatakan diri
bertanggung jawab sepenuhnya dan kemudian menyatakan mundur dari jabatannya
sebagai KSAD.
Sukarno jelas menerima pengunduran diri Nasution dengan serta merta. Namun
dalam memoir Sukarno karangan Cindy Adams, Nasution bukan ditulis mengundurkan
diri, melainkan diberhentikan dari jabatannya. Kolonel Bambang Sugeng lantas diangkat
menjadi KSAD. Tak lama kemudian Simatupang ikut mundur.
Saat “menganggur” ini, Nasution menulis buku Pokok-pokok Gerilja yang
diterbitkan pada 1953. Buku ini sangat terkenal dan menjadi salah satu buku acuan utama
dalam perang gerilya di dunia. Sebuah buku yang susah ditepis saat membaca kisah
Nasution.

***
Pergolakan di tubuh AD pasca kejadian 17 Oktober 1952, belum reda. Apalagi
ikut campurnya politisi di internal tentara terus membekas kuat.
Pada 21-25 Februari 1955, AD menggelar Rapat Collegiaal (Raco) di Yogyakarta.
Rapat itu menghasilkan “Piagam Keutuhan Angkatan Darat Republik Indonesia”.
Sebanyak 29 perwira senior ikut menandatangani piagam yang menyatakan kasus 17
Oktober 1952 dianggap selesai namun silang pendapat dengan politisi sipil tidak serta
merta ikut berakhir. Akibatnya, KSAD Kolonel Bambang Sugeng yang sebelumnya
ditunjuk oleh Sukarno, jelas berada dalam posisi terjepit. Dia akhirnya memilih mundur
dan menyerahkan komando kepada wakilnya, Kolonel Zulkifli Lubis, sebagai Pejabat
KSAD. Meski terbilang masih sepupu Nasution (ibu Zulkifli Lubis bernama Siti Rewan
Nasution), Zulkifli Lubis tak sepenuhnya bisa dikatakan di bawah Nasution. Zulkifli
Lubis yang lulusan sekolah militer Jepang, pernah mendukung Bambang Soepeno saat
Nasution akan mereorganisasi militer.
Nasution dan elit AD lainnya terus bergerak. Pada 20 Mei 1954, Nasution bersama
Kolonel Gatot Soebroto, Kolonel Aziz Saleh, dan elit militer AD lainnya, mendirikan
partai politik tentara yaitu Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI). Pada
Pemilu 1955 (September Pemilu DPR dan Desember Pemilu Konstituante) nanti, IPKI
meraih 541.306 suara atau 1,43 % dari total suara sah dan berhasil meraih empat kursi di
DPR. Untuk konstituante, IPKI mendapatkan 8 kursi (544.803 suara atau 1,44% dari total
suara). Dalam masa-masa ini, hubungan pemerintah dan militer masih terus tarik-
menarik. Jabatan KSAD belum definitif, masih dipegang Kolonel Zulkifli Lubis. Jajaran
elit sipil di pemerintahan yang dipimpin PM Ali Sastroamidjojo lantas menunjuk Kolonel
Bambang Utojo sebagai KSAD. Tentu saja penunjukan itu atas persetujuan Sukarno. Dia
meneken Melalui Kepres No. 150/M tahun 1955 tanggal 10 Juni 1955, yang menetapkan
Bambang Utojo sebagai KSAD dengan pangkat Jenderal Mayor. Bambang dilantik pada
27 Juni 1955.
Tapi tentara menolak halus. Zulkifli Lubis menginstruksikan elit AD untuk tak
menghadiri pelantikan dan menolak serah terima jabatan. Kabinet Ali pun jatuh dan
digantikan Burhanuddin Harahap (dari koalisi Masyumi) sebagai Perdana Menteri.
Bambang Utojo tetap menjabat sebagai KSAD hingga 28 Oktober 1955 dengan dukungan
yang pincang.
Konflik politisi-militer akhirnya menemui jalan terang. Calon KSAD digodok
secara internal oleh elit perwira AD dan kemudian diajukan ke pemerintah. Terdapat
enam nama calon KSAD yang diusulkan, salah seorang di antaranya adalah Nasution.
Pada 12 Agustus 1955, kabinet Burhanuddin Harahap memilih Nasution sebagai KSAD.
Sukarno pun kembali berhadap-hadapan dengan Nasution.
Agaknya, situasi itu memang tak terlalu mengenakkan bagi Presiden Sukarno
yang sebelumnya mengaku memberhentikan Nasution sebagai ekses peristiwa 17
Oktober 1952. Tapi, Sukarno mau tak mau melantik Nasution pada 1 November 1955,
walaupun harus menunggu lebih dua bulan sejak dipilih oleh kabinet Burhanuddin.
Mungkin saja Sukarno ingin melewatkan dulu penyelenggaraan Pemilu 1955 (DPR) yang
digelar di bulan September. Pangkat Nasution menjadi Mayor Jenderal.
Sukarno sendiri menandaskan, pengangkatan kembali Nasution sebagai KSAD
karena dia tidak ingin menimbulkan perpecahan antara dirinya dengan Angkatan Darat.
“… karena itu kemudian aku mengangkatnya kembali pada jabatannya dan menyatakan,
10

‘Sukarno bukanlah anak kecil dan Nasution pun bukan anak kecil. Kita akan tetap
bersatu, karena jika musuh-musuh berhasil memecah-belah kita, maka Republik kita
pasti hancur.‘,” demikian ditulis Cindy Adams dalam biografi Sukarno.
Setelah 3 tahun sejak peristiwa 17 Oktober 1952, Nasution kembali di puncak
tentara. Dia merancang penugasan bagi tentara ke seluruh kawasan Indonesia. Dia juga
memusatkan seluruh latihan militer dari sebelumnya di mana komandan wilayah
mempunyai kewenangan melatih sendiri pasukannya. Nasution tampak meneruskan jejak
seniornya terdahulu, Oerip Sumohardjo.
Pasca Pemilu 1955, kondisi politik tidak stabil. Kabinet sering berganti sehingga
program ekonomi pembangunan tak kunjung terlaksana. Sistem parlementer pun
dikatakan tak efektif. Di sisi lain, Konstituante tak kunjung usai menyelesaikan
penyusunan konstitusi baru. Sukarno, di satu sisi, sudah lama menginginkan adanya
Demokrasi Terpimpin. Hal itu hanya mungkin dengan landasan UUD 1945 yang memang
memberi posisi yang kuat bagi Presiden dengan pola presidensial. Apalagi, pada 30
November 1956, setahun setelah Pemilu, DPR telah menerima pengunduran diri
Mohammad Hatta dari Wakil Presiden. Hatta resmi tidak menjadi Wakil Presiden sejak
1 Desember 1956. Walau dikatakan pengunduran diri Hatta itu karena kemauannya
pribadi sejak sebelum Pemilu 1955, namun isu perbedaan pendapatnya yang cukup tajam
dengan Sukarno, justru lebih kuat. Dwitunggal Sukarno-Hatta pun pecah.
Menariknya, Sukarno sendiri mengaku sudah berpisah jalan dengan Hatta bahkan
sebelum Indonesia merdeka. Ceritanya, pada Maret 1945, Sukarno dan Hatta terbang ke
Makassar bertemu pembesar Jepang yang sebulan sebelumnya, Februari 1945, menyerah
pada sekutu di Filipina. Jepang menawarkan Sukarno untuk memilih sistem monarki dan
menjadi raja. Sukarno dan Hatta sama-sama menolak. Namun, di soal bentuk negara,
Sukarno dan Hatta berseberangan.
“Hatta, yang selama masa pendudukan menjadi pendampingku yang baik,
agaknya sekarang telah mencium, bahwa kami sudah dekat dengan kemenangan, dan
karena itu ia kembali pada bentuk negara pilihannya dan tidak setuju dengan Sukarno.
Hatta mendukung bentuk federal. Sukarno menghendaki Negara Kesatuan. Aku
menyadari, ini adalah akhir dari kerja sama kami. Kami tidak lagi merupakan
Dwitunggal,” kata Sukarno dalam biografinya.
Dengan konteks di atas, maka Nasution dan Sukarno terlibat hubungan mutual.
Nasution dan perwira militer lainnya menginginkan politisi tidak ikut campur dalam
internal tentara. Di sisi lain, keinginan Sukarno tak akan mungkin terlaksana tanpa back-
up yang solid dari militer.
Di sisi lain, Kabinet Ali II makin tertekan karena konflik di daerah-daerah belum
selesai. Nasution mengusulkan Staat van Oorlog en Beleg (SOB), status bahaya tingkat
keadaan perang. Dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 4: Masa Pancaroba Kedua
(1984), Nasution mengatakan, dia perlu payung hukum agar dibolehkan bertindak
menjaga keamanan negara secara menyeluruh. Setelah menerima pengunduran PM Ali
Sastroamidjojo (walau kabinet Ali waktu itu sukses menyelenggaran Konferensi Asia
Afrika di Bandung), pada 14 Maret 1957, Sukarno mengumumkan negara dalam keadaan
darurat perang. Pada 17 Desember 1957, Sukarno menyatakan keadaan bahaya tingkat
keadaan perang, Staat van Oorlog en Beleg (SOB). Tentu saja, keadaan ini menempatkan
militer dalam posisi yang sangat strategis dan kuat secara politik. Nasution menjadi
Penguasa Perang Pusat (Peperpu), sementara Sukarno menjadi Penguasa Perang
Tertinggi (Peperti). Nasution dan Kolonel Azis Saleh juga dimasukkan dalam Kabinet
Karya pimpinan Ir Juanda. Sedangkan kepada partai-partai politik, Sukarno melakukan
11

konsolidasi dengan mengeluarkan Penetapan Presiden (Penpres) No. 7 tahun 1959


tentang Syarat-syarat dan Penyederhanaan Partai tanggal 31 Desember 1959.
Keputusan SOB bukan tanpa sebab pula. Waktu itu, pemberontakan demi
pemberontakan memang terjadi di daerah-daerah Indonesia dalam bentuk Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia (PRRI/1958), Piagam Perjuangan Semesta
(Permesta/1957) setelah sebelumnya ada Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII)
dan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung. Penumpasan pemberontakan ini
memunculkan nama Ahmad Yani di Angkatan Darat, saingan Nasution kelak.
Keputusan Sukarno itu membuat peran politik dan ekonomi tentara semakin kuat
dalam kekuasaan Indonesia. Tentara menjadi menteri, gubernur, anggota DPR dan
bahkan menjadi pejabat perusahaan-perusahaan negara hasil dari nasionalisasi
perusahaan asing. Pada 1958, Nasution mencetuskan “jalan tengah” bagi peran tentara di
Indonesia: tidak dikendalikan oleh politisi sipil dan tidak juga mendominasi negara atau
menjadi sebuah junta militer. Nasution melontarkan itu dalam acara peringatan ulang
tahun Akademi Militer di Magelang, Jawa Tengah pada 13 November 1958.
Di kemudian hari, konsepsi Nasution ini disebut bakal melahirkan konsep
“Dwifungsi TNI”. Walau, menurut Salam Said dalam acara Indonesian Lawyer Club edisi
September 2017 dengan topik “PKI, Hantu atau Nyata?” di TVOne, berpendapat berbeda:
justru Sukarno-lah yang melegalisasi konsepsi dwifungsi tersebut, sementara Nasution
hanya membuat konsep “Jalan Tengah” yang tidak memberi peranan politik bagi tentara.
“Yang melegalkan peranan politik pada tentara, itu Bung Karno, menjadikan tentara salah
satu kekuatan Golkar. Di situ tentara menjadi kekuatan politik legal,” tutur Said.
Apapun itu, Sukarno menapak kembali puncak kekuasaan itu dengan Nasution
berada di sisinya.
***
Musuh lama bersemi kembali. PKI yang sempat direhabilitasi dan ikut pemilu
1955, juga merapat ke ketiak Sukarno yang kian powerfull.
Sebelumnya, pada 7 September 1949, kurang lebih setahun dari Peristiwa Madiun
1948, Menteri Kehakiman Soesanto Tirtoprodjo, telah meneken surat “pengampunan”
kepada PKI. Keputusan pemerintah itu didahului oleh persetujuan oleh sidang Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang memberikan hak hidup kepada PKI. Pemerintah
tak menuntut hukum anggota-anggota PKI walau PKI dilarang bertindak kriminal.
Dalam Kongres PKI 1951, Aidit ditunjuk sebagai Ketua PKI. Lukman dan Nyoto
sebagai pendamping. PKI juga mendapat jatah kursi di DPR Sementara pada 15 Februari
1950. Walau dianggap linear dengan Musso, namun Aidit lebih menguatkan hubungan
dengan China daripada Soviet.
Sukarno sumringah. Dukungan PKI dan PNI (yang didirikan oleh Sukarno),
memerkukuh posisinya yang telah lebih dulu kokoh karena back-up penuh militer.
Sukarno menyatakan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 di istana negara dengan dihadiri seluruh
panglima militer angkatan.
Rum Aly dalam Titik Silang Jalan Kekuasaan 1966; Mitos dan Dilema:
Mahasiswa dalam Proses Perubahan Politik 1959-1970 (2006), menulis, Sukarno
bergerak naik meninggalkan wilayah titik nadir dalam kekuasaannya dan menetapkan
satu titik baru yang selama beberapa tahun ke depan akan menjadi awal menjulangnya
satu garis tegak lurus menujuk puncak kekuasaan dirinya. “Sebelum dekrit, untuk
sebagian, ia berada hanya di balik bayang-bayang kekuasaan parlementer… Padahal,
12

ia adalah proklamator dan presiden pertama negeri ini. Suatu keadaan yang secara
subjektif sangat tidak menggembirakan baginya,” tulis Rum Aly.
Pendapat ini beralasan. Sukarno sendiri dalam biografinya melukiskan peran dia
sebagai “…ketika aku mengambil peran yang secara nyata menentukan, untuk mengganti
peran legalku sebagai figuran.” Sukarno memakai kata “figuran“.
Meski seakan “meratapi” perannya yang “figuran” itu, namun, Sukarno
menggarisbawahi dekrit kembali ke UUD 1945 dan menghapus sistem parlementer,
bukanlah keinginan dia melainkan keinginan militer Angkatan Darat. “…tujuh tahun
setelah Angkatan Darat menghadapkan meriamnya kepadaku, keinginan mereka untuk
menghapus sistem kabinet parlementer dan kembali ke Undang-Undang Dasar 1945
tercapai,” demikian Sukarno seperti ditulis Cindy Adams.
Walau demikian, tentu saja yang menjadi Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan (plus Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata) adalah Sukarno sendiri.
Nasution sebagai penyokong utama, diposisikan sebagai Menteri Pertahanan Keamanan
merangkap sebagai KSAD. Setelah sebelumnya, Menteri Pertahanan selalu diisi oleh
politisi sipil, maka melihat komposisi kabinet dan militer pasca Dekrit 5 Juli 1959, dari
sisi otonomi penuh militer Indonesia, itu berarti tidak ada lagi politisi sipil yang
bersentuhan langsung dengan militer, kecuali langsung kepada Sukarno dalam jabatannya
sebagai Presiden.
Di lain pihak, PKI menemukan momentumnya dalam konteks Perang Dingin
antara Amerika dan Uni Soviet. Hubungan Sukarno yang kurang baik dengan Amerika
dan sekutunya, di sisi lain menampakkan jalinan mesra Sukarno dengan Nikita Kruschev
dari Soviet dan Mao Tse Tung dari China. Peristiwa PRRI, konfrontasi dengan Malaysia,
masalah Irian Barat dan lain-lain kasus lainnya, memeruncing hubungan Sukarno dengan
Amerika Serikat dan sekutu. Posisi politik internasional ini menjadi bingkai yang sulit
ditepis dari kekuasaan segitiga antara Sukarno, TNI dan PKI.
Bandul politik Sukarno kemudian dinilai lebih bergerak ke kiri ketika
memberikan karpet merah bagi ideologi komunis dalam doktrin Nasional-Agama-
Komunis (Nasakom). Kekuatan politik Islam yang waktu itu diwakili Masyumi yang tak
setuju dengan Nasakom, tersingkir. Tak pelak, TNI dan PKI menjadi rival yang kasat
mata. Namun, militer adalah kekuatan politik yang mempunyai senjata. Tak heran, militer
lebih diwaspadai.
Tiga tahun setelah dekrit, pada 1962, Sukarno mereorganisasi stuktur tentara
dengan menyatukan seluruh matra angkatan dan kepolisian dalam Angkatan Bersenjata
Republik Indonesia (ABRI). Nasution diangkat statusnya menjadi Kepala Staf Angkatan
Bersenjata (KSAB) sementara komando AD diberikan kepada Letnan Jenderal Ahmad
Yani sebagai Panglima AD. Posisi ini jelas membuat Nasution tidak punya akses
langsung ke pasukan AD.
Walau Nasution melemah namun sebaliknya Sukarno makin kuat karena
Nasution-Yani juga berstatus anggota kabinet. Waktu itu, kepala staf angkatan juga
berstatus sebagai menteri. Nasution sebagai Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan
dan Ahmad Yani sebagai Menteri/Panglima Angkatan Darat. Keseluruhannya di bawah
Sukarno sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata.
Dinginnya hubungan Nasution dan Yani jelas kentara. Nasution sendiri menyebut
hubungan itu dengan istilah “kortsluiting”. Usaha internal untuk melengketkan Nasution-
Yani, bukan tak dibuat namun buntu. Masalah lain, peta keretakan di internal AD, toh,
tidak hanya berpusat pada mereka berdua.
13

PKI pimpinan Aidit juga menyusup dan membina perwira militer AD untuk
bersimpati ataupun menjadi anggota PKI. Target minimal adalah dengan tidak
menganggap PKI sebagai musuh. Selain itu, faktor lain keretakan adalah sebagian
perwira juga menjalin hubungan langsung dengan Presiden Sukarno dalam kaitan pribadi
maupun kedinasan. Tak pelak, AD memang menjadi rebutan banyak pihak karena
kekuatan politiknya secara faktual.
Yang patut dicatat adalah meski “korslet” dengan Yani dan Yani lebih lengket
dengan Sukarno, namun dalam menghadapi komunisme, Nasution dan Yani satu sikap:
menentang.
Hal itu misalnya tergambar dalam Seminar Angkatan Darat tanggal 1-5 April
1965 di gedung Sekolah Staf dan Komandan Angkatan Darat (Seskoad) Bandung.
Seminar ini menghasilkan dokumen strategi politik AD, Tri Ubaya Cakti, yang berisi
tentang “Bahaya dari Utara”.
Menurut Victor M. Fic dalam bukunya Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi
tentang Konspirasi (2004), menyebut ada 4 makalah penting berikut 8 jenderal yang
menghadiri pertemuan itu yaitu Rachmat Kartakusumah, J. Mokoginta, Suwarto, Djamin
GintingS, Suprapto, Sutojo, M.T. Harjono dan S. Parman. Di sana dirumuskan ancaman
utama Indonesia dari Utara yaitu ekspansi komunisme China melalui konflik di Vietnam,
Laos dan Kamboja. Berdasarkan hal ini, maka kekosongan strategis karena menurunnya
kehadiran militer Inggris-Amerika di kawasan-kawasan yang mengelilingi Indonesia
harus diisi oleh Indonesia sendiri dan bukan oleh kebijakan ekspansionis China dan
sekutunya.
Sebagai Menpangad, Yani menyatakan kalau konsep pertahanan Indonesia harus
mencakup seluruh Asia Tenggara dengan menyontohkan hegemoni kerajaan-kerajaan
Indonesia di kawasan laut Asia Tenggara waktu lampau. “Telah menjadi kesimpulan saya
sejak tahun 1963 bahwa pada suatu waktu nanti Angkatan Laut Indonesia akan
mengambil-alih tugas Armada ke-VII Amerika Serikat dan Armada Timur Jauh Inggris
di Asia Tenggara,” kata Yani seperti dikutip Victor. Menurut Victor, kebijakan ini
menjadi jalan bagi AD untuk membuka kemungkinan mengakhiri konfrontasi dengan
Kuala Lumpur pada Agustus 1965. Perwira intelijen Kostrad seperti Ali Moertopo dan
Benny Moerdani, disebutkan ditugaskan untuk menjajaki peluang itu.
Namun menurut Jusuf Wanandi dalam tulisannya Jasa-jasa Ali Moertopo bagi
Bangsa dan Negara dalam buku yang diterbitkan CSIS berjudul Mengenang Ali
Moertopo dalam Bakti dan Karyanya (2005), seperti dikutip Rum Aly, operasi intelijen
Kostrad ke Malaysia yang disebut Operasi Khusus (Opsus) ini sudah dilakukan
sebelumnya pada pertengahan 1964 dalam sebuah prtemuan antara Yani, Soeharto
(Panglima Kostrad), Ali Moertopo dan Benny Moerdani. Karena bertentangan langsung
dengan kebijakan negara waktu itu, menurut Rum Aly, secara formal untuk tingkat
keadaan waktu itu, aktivitas tersebut masuk dalam kategori subversif.
Sukarno mencium seminar ini dan memanggil seluruh peserta ke Istana Bogor
keesokan harinya, 2 April 1965. Sukarno menyatakan agar AD tidak terjebak dalam
propaganda nekolim (Neo Kolonialisme dan Imperialisme) dan pentingnya Poros Peking-
Pyongyang-Phnom Penh-Jakarta. Namun, kemarahan Sukarno ini tidak dimasukkan
dalam dokumen hasil seminar tadi, Tri Ubaya Cakti, yang segera memicu kemarahan
Sukarno berikutnya.
Dalam pembicaraan di sela peringatan ulang tahun Sukarno di Tampak Siring,
Bali, 6 Juni 1965, Sukarno sudah memakai istilah jenderal-jenderal yang “tidak loyal”.
Buku Rum Aly menyebut peserta yang hadir dalam pembicaraan Tampak Siring itu yaitu
14

Tiga Wakil Perdana Menteri (dr Subandrio, Chaerul Saleh, dr Johannes Leimina), Yusuf
Muda Dalam (Menteri Gubernur Bank Sentral), Brigjen Sjafiuddin (Pangdam Udayana),
Sutedja (Gubernur Bali), Panglima Daerah Kepolisian, Brijen Sabur (Komandan
Tjakrabirawa), Komisaris Besar (kombes) Pol Sumirat, Ajun Kombes Pol Mangil, dan
Kolonel Bambang Widjanarko (ajudan Sukarno). Sukarno lalu menugaskan Brigjen
Sjafiuddin untuk menyelidiki lebih lanjut tentang jenderal yang tidak loyal itu. Sukarno
pun sudah sempat menyatakan akan mereposisi struktur AD. Nama Mayjend Mursjid,
Mayjen Pranoto Reksosamodro, dan Majyen Ibrahim Adjie beredar untuk mengganti
Ahmad Yani.
Kekhawatiran Sukarno terhadap loyalitas militer terutama AD dan kaitannya
dengan AS, dipandang bukan tanpa alasan pula. Pada 20 Juni 1965, Presiden Aljazair,
Ben Bella, digulingkan Kolonel Boumedienne, Panglima Angkatan Darat Aljazair atas
dukungan Dinas Rahasia Amerika (CIA). Selain itu, doktrin “Bahaya dari Utara” yang
jelas mengarah ke komunis dan bagaimanapun secara politis akan menguntungkan posisi
AS-sekutu yang waktu itu sedang Perang Dingin dengan komunisme internasional.
Apalagi, Wakil Perdana Menteri/Menteri Luar Negeri, dr Subandrio, sempat
mengemukakan kepada publik soal Gilchrist Document; surat dari Duta Besar Inggris Sir
Andrew Gilchrist yang menyebut tentang “our local army friend.” Konteks demikian
tentu saja menarik untuk dikoneksikan.
Meski internal AD yang membuat seminar yang menghasilkan Doktrin “Bahaya
dari Utara” itu, namun, Nasution justru dalam posisi tertuduh utama yang berada di balik
semua manuver-manuver utama AD, terutama oleh PKI dan Sukarno. Dalam buku Rum
Aly, dr Subandrio (yang kemudian hari dinyatakan terlibat dengan G-30-S/PKI)
mengungkapkan sosok Nasution di mata Sukarno. “Yang tidak diketahui banyak orang,
dari sekian perwira senior yang paling ditakuti Presiden Sukarno saat itu adalah
Nasution,” kata Subandrio. Nasution dikatakan sebagai perwira senior yang sarat
pengalaman tempur namun juga sangat matang berpolitik.
Karena itu pula, Nasution (selain perwira elit Mabes AD) menjadi sasaran utama
serangan-serangan politik hingga September 1965. PKI mempropagandakan isu Dewan
Jenderal yang disebut akan mengkudeta Sukarno. Mereka juga memberi cap baru:
“Jenderal Kapbir (kapitalis birokrat)” dan “Jenderal Borjuis”. Penentangan Nasution dan
AD terhadap propaganda PKI yang ingin membentuk Angkatan Kelima, menjadi bulan-
bulanan sehingga frasa “anti-Nasakom” begitu kuat mengalir ke pihak Nasution dan AD
di sepanjang 1965. PKI jelas di atas angin.
Kecenderungan melemahnya posisi AD itu, secara umum, juga dipengaruhi
keputusan Sukarno menghapus status SOB secara bertahap sejak 19 November 1962 dan
diresmikan pada 1 Mei 1963. Praktis, kekuatan istimewa militer kian pincang, apalagi
untuk menghadapi PKI secara politik. Sebelumnya, militer dapat bereaksi langsung
terhadap aktivitas PKI atas nama SOB.
Akhirnya peristiwa 30 September 1965 pun pecah. Pembentukan Dewan Revolusi
diumumkan pada pagi 1 Oktober 1965 di Radio Republik Indonesia. Dewan Revolusi
dinyatakan menjadi “sumber dari segala kekuasaan” di Indonesia. Kabinet Dwikora
dinyatakan demisioner. Pengumuman demi pengumuman yang dilancarkan ke RRI itu
berasal dari Gedung Pemetaan Nasional (Penas) yang dijadikan Sentral Komando
(Senko) I Gerakan 30 September. Dari buku karangan Letnan Kolonel Heru Atmodjo,
Asisten Direktur Intelijen Udara Angkatan Udara, yaitu Gerakan Tiga Puluh September
1965; Kesaksian Letkol (Pnb.) Heru Atmodjo (2004), didapat informasi, di gedung Penas
pada 1 Oktober pagi itu terdapat Brigjen Mustafa Sjarif Soepardjo (Pangkopur II
15

Kalimantan), Letnan Kolonel Untung (Komandan Batalyon I Tjakrabirawa), Kolonel


Latief (Komandan Brigade Infantri I Kodam V Jakarta Raya), Mayor Sujono (Komandan
Resimen pasukan Pertahanan Pangkalan AURI) dan elit PKI: Sjam Kamaruzzaman dan
Supono Marsudidjojo alias Pono.
Mulanya, bukan hanya Nasution dan kelompok Yani saja yang menjadi target
operasi. Menurut Sjam Kamaruzzaman dalam persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa
(Mahmilub) 1968 di Bandung, Sjam sempat mengusulkan kepada Aidit agar Mohammad
Hatta dan Chairul Saleh sebelum 30 September 1965. Pasalnya, keduanya sering
melakukan pertemuan dengan Nasution. Khusus sosok Chairul Saleh, dalam sebuah
pertemuan di Istana Bogor pada 1964, Chairul pernah mengungkap kepada peserta rapat
termasuk Presiden Sukarno, tentang Dokumen “Rencana 4 Tahun PKI” yang berisi
rencana PKI mengambil alih kekuasaan. Aidit terpojok dan mengatakan dokumen itu
palsu. Chairul dan Aidit disebut sempat bertengkar dan beradu fisik saat itu.
Seperti diketahui, setelah peristiwa 30 September 1965 terjadi, Hatta dan Chairul
Saleh tidak disentuh. Namun Nasution sebagai target utama, justru lolos.
***
Gerakan 30-S/PKI dan peristiwa sesudahnya jelas menjadi sebab utama kejatuhan
Sukarno. Nasution dinilai begitu kehilangan putrinya, Ade Irma Suryani Nasution.
Bintang Nasution memang bukannya langsung padam. Soeharto mulanya meletakkan
posisi Nasution sebagai penasehat baik secara militer maupun politik. Nasution kemudian
menjadi Ketua Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS), yang
menolak pertanggungjawaban Sukarno (Nawaksara dan Pelengkap Nawaksara)
seluruhnya dan mencabut mandat Sukarno sebagai Presiden. Nasution pulalah yang
mengangkat Soeharto sebagai Pejabat Presiden RI pada 12 Maret 1967 dan Presiden
definitif pada 27 Maret 1968.
Nasution dan Soeharto, toh, bukan sekali ini berhubungan. Saat Soeharto dituduh
menyelewengkan barter gula-beras pada 1959, karir militernya sempat diduga akan habis.
Namun, Nasution “menyelamatkan” karir Soeharto. Soeharto memang tak lagi menjabat
Panglima Tentara Teritorial (T-T) IV Diponegoro. Dia dibebastugaskan dan disekolahkan
di Seskoad. Wakil KSAD waktu itu, Mayor Jenderal Gatot Subroto (yang juga mantan
Panglima Diponegoro sebelum Soeharto) disebut mempunyai peranan penting atas
putusan itu.
Walau meredup, tapi Nasution tetaplah Nasution. Tak beda dengan Sukarno,
kekuasaan Soeharto juga menganggap Nasution sebagai rival. Setahun setelah Soeharto
menjadi Presiden penuh, Nasution dibatasi dan kemudian tak tampil lagi di Sekolah Staf
Angkatan Darat (Seskoad) dan Akademi Militer. Tahun 1971, Nasution bahkan
dipensiunkan dari dunia militer sewaktu masih berumur 53 tahun dari jadwal resmi yaitu
55 tahun. Setahun kemudian, Nasution sudah tak lagi menjadi Ketua MPR. Secara de
jure, karir militer dan politik Nasution banyak dinilai sebenarnya sudah habis.
Namun di 1978, bersama mantan Wakil Presiden, Mohammad Hatta, Nasution
mendirikan Yayasan Lembaga Kesadaran Berkonstitusi (YLKB). Mereka mengkritik
keras Soeharto yang dinilai menjalankan kekuasaan dengan bertentangan Pancasila dan
UUD 1945. Pada 5 Mei 1980, Nasution bersama tokoh-tokoh lainnya menandatangani
sebuah petisi, Petisi 50, yang melayangkan kritis keras kepada kepemimpinan Soeharto.
Meski demikian, Soeharto bergeming dan kukuh di puncak kekuasaan politik di
Indonesia.
16

Pasca Petisi 50 itu, bintang Nasution tak lagi bersinar. Memasuki dekade 1990-
an, seiring pertambahan umur yang kian senja, terjadilah apa yang disebut banyak orang
sebagai rekonsiliasi nasional antara Soeharto dan Nasution serta tokoh-tokoh kritis
lainnya. Pada Juni 1993, saat Nasution sakit, elit militer terlihat mengunjunginya. Melalui
utusannya, Mentri Riset dan Teknologi, B.J. Habibie, Nasution diundang ke IPTN dan
PT PAL. Tentu saja, itu semua tak mungkin dilakukan tanpa sepengetahuan dan
persetujuan Soeharto.
Tak butuh waktu lama untuk Nasution dan Soeharto berjumpa kembali. Sebulan
berikutnya, Juli 1993, Soeharto mengundangnya ke Istana Negara dan berlanjut pada
undangan pasca perayaan Hari Proklamasi RI pada 18 Agustus 1993. Empat tahun
sesudahnya, tepat pada hari ulang tahun TNI, 5 Oktober 1997, Nasution disematkan
pangkat Jenderal Besar oleh TNI. Di Indonesia hanya ada tiga orang yang mendapatkan
pangkat itu yaitu Sudirman, Nasution dan Soeharto.
Perjalanan Nasution lantas tiba di penghujung. Tiga tahun setelah penyematan
sebagai Jenderal Besar, di awal-awal tahun millenium, Nasution wafat 5 September 2000.
***
Apakah Nasution seorang Hamlet? Melihat sejarah hidupnya, seperti
menyaksikan sebuah gerilya. Sebuah gerilya untuk menyelamatkan negerinya, Indonesia.
Dia bukan Hamlet melainkan seorang savior. (*)
Referensi

Adam, Asvi Warman. (2010). “Hatta Kambing Hitam Madiun“. Artikel. Majalah Tempo
Edisi Khusus 7 November 2010.

Adams, Cindy. (2018). Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia. Edisi Revisi
Cetakan Kelima. Jakarta: Yayasan Bung Karno.

Aidit, Dipa Nusantara. (1964). Aidit Menggugat Peristiwa Madiun (Pembelaan D.N.
Aidit Dimuka Pengadilan Negeri Djakarta, Tgl. 24 Februari 1955). Cetakan ke-4.
Jakarta: Yayasan Pembaruan. [sumber:
https://www.marxists.org/indonesia/indones/1955-
AiditMenggugatPeristiwaMadiun.htm]

Aly, Rum. (2006). Titik Silang Jalan Kekuasaan 1966; Mitos dan Dilema: Mahasiswa
dalam Proses Perubahan Politik 1959-1970. Jakarta: Kata Hasta Pustaka.

Anwar, Rosihan. (2006). Sukarno, Tentara, PKI: Segitiga Kekuasaan Sebelum Prahara
Politik, 1961-1965. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

_______. (2008). “”Snapshot” Amir Sjarifoeddin”. Artikel. Suara Pembaruan edisi 31


Mei 2008.

Atmodjo, Heru. (2004). Gerakan Tiga Puluh September 1965; Kesaksian Letkol (Pnb.)
Heru Atmodjo. Jakarta: Tride.
17

Dwipayana, Gufran dan Hadimaja, Ramadan Karta. (1989). Soeharto: Pikiran, Ucapan
dan Tindakan Saya. Jakarta: Cipta Lamtoro Gung Persada.

Fic, Victor M. (2004). Kudeta 1 Oktober 1965: Sebuah Studi tentang Konspirasi. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.

Imran, Amrin (1983). Urip Sumohardjo. Jakarta: Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan.

Musso. (1953). Jalan Baru untuk Republik Indonesia; Musso (1948). Cetakan VII.
Jakarta: Yayasan Pembaruan. [sumber:
https://www.marxists.org/indonesia/indones/1948-JalanBaru.htm].

Nasution, Abdul Haris. (1983). Memenuhi Panggilan Tugas; Jilid 2A Kenangan Masa
Gerilya. Jakarta: Haji Masagung.

_______ . (1984). Memenuhi Panggilan Tugas; Jilid 4: Masa Pancaroba Kedua. Jakarta:
Gunung Agung.
_______ . (1989). Memenuhi Panggilan Tugas; Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama.
Cetakan ke-2. Jakarta: Haji Masagung.

Poeze, Harry A. (2010). Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1897-1925. Jakarta:
Pustama Utama Grafiti.

Ricklefs, Merle Calvin. (2005). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press

Said, Salim. (1991). Genesis of Power: General Sudirman and the Indonesian Military
in Politics, 1945–49. Singapura: Institute of Southeast Asian Studies.

_______. (2015). Gestapu 65: PKI, Aidit, Sukarno dan Soeharto. Jakarta: Mizan.

Tim Pusat Data dan Analisa Tempo. (1998). Jenderal Tanpa Pasukan, Politisi Tanpa
Partai: Perjalanan Hidup A.H. Nasution. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.

Anda mungkin juga menyukai