Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH PSIKOLOGI AGAMA

Tentang
Tinjauan Psikologis Terhadap Shalat, Puasa, dan Haji

Dosen Pengampu:
Dr. Gusril Kenedi, M.Pd
Marta Suhendra, M.Pd

Disusun oleh:
KELOMPOK IX
Lesgia Novita : 1914040044
Firsta Fadhila : 1914040051
Sinta Maidatul Putri : 1914040059

PROGRAM STUDI TADRIS MATEMATIKA-B


FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
IMAM BONJOL PADANG
1443 H/2021 M
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.


Puji dan syukur kita ucapkan kepada Allah SWT. karena berkat rahmat dan
karunia-Nya pemakalah dapat menyelesaikan makalah dengan judul “Tinjauan
Psikologis Terhadap Shalat, Puasa, dan Haji ” dengan tepat waktu. Shalawat dan
salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita yakni Nabi Muhammad SAW.
Pemakalah mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Gusril Kenedi, M.Pd.
dan Bapak Marta Suhendra, M.Pd., selaku dosen pengampu Psikologi Agama yang
telah memberikan bimbingan dan arahan sehingga Pemakalah dapat menyelesaikan
makalah ini. Serta tidak lupa Pemakalah ucapkan terima kasih kepada teman-teman
seperjuangan yang selalu memberikan dukungan juga motivasi kepada Pemakalah.
Pemakalah menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan. Oleh
karena itu, Pemakalah mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun
agar makalah ini dapat lebih baik lagi. Akhir kata, dengan segala kerendahan hati
Pemakalah ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat, dengan harapan
semoga makalah ini dapat membantu semua pihak.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Padang, November 2021

Pemakalah
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i

DAFTAR ISI........................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang...............................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................... 2
C. Tujuan .......................................................................................................... 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Tinjauan Psikologis Terhadap Shalat............................................................3
B. Tinjauan Psikologis Terhadap Puasa............................................................ 7
C. Tinjauan Psikologis Terhadap Haji.............................................................12

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan................................................................................................. 21
B. Saran ...........................................................................................................21

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................22
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Islam membuat variasi dalam ibadah-ibadahnya. Di antaranya ada yang
berupa perkataan, seperti berdoa, zikir kepada Allah, menyeru kepada kebaikan,
amar makruf, nahi munkar, mengajari orang yang jahil, memberi petunjuk orang
yang tersesat, dan apa saja yang semakna dengan hal tersebut. Diantaranya ada
yang berupa perbuatan, perbuatan dengan anggota badan seperti shalat,
perbuatan dengan harta seperti zakat, atau gabungan antara dua perbuatan
tersebut seperti haji dan jihad di jalan Allah
Di antaranya bukan berupa perkataan ataupun perbuatan, tetapi berupa
menahan dan mencegah saja. Yang demikian itu seperti puasa, yang menahan
diri dari makan, minum dan menggauli istri semenjak terbit fajar hingga
terbenamnya matahari. Meskipun perbuatan menahan diri dan meninggalkan ini
negatif secara zhahir, pada hakikat dan inti sarinya merupakan amalan yang
positif. Karena ia adalah menahan nafsu dari apa yang diinginkan dengan niat
mendekatkan diri kepada Allah ta’ala. Dengan demikian, ia adalah amalan yang
berkaitan dengan kejiwaan dan kehendak, yang mempunyai bobot tersendiri di
dalam timbangan kebenaran, kebaikan, dan penerimaan di sisi Allah.
Haji adalah satu diantara 5 rukun (tiang-tiang utama) Islam yang
disepakati oleh segenap umat muslim di seluruh dunia. Pertama, syahadat (Aku
bersaksi tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah); inilah
fondasi atas mana seluruh bangunan Islam ditambatkan. Kedua, shalat; rukun ini
merepresentasikan konsep hubungan manusia dengan Tuhannya. Intinya adalah
kepasrahan total yang disimbolisasikan dengan ruku’ dan sujud, rukun shalat
yang paling banyak diulang. Ketiga, puasa; rukun Islam yang menegaskan
prinsip hubungan manusia dengan dirinya sendiri, yang intinya adalah
pengendalian diri. Keempat, zakat; rukun ini menegaskan konsep hubungan
manusia dengan sesama yang bertumpu pada kesediaan berbagi dan tolong
menolong dengan sesuatu yang sangat kongkrit, yakni harta benda/uang, untuk

1
mewujudkan keadilan dan kemaslahatan bagi sesama dan semua, terutama yang
lemah dan terpinggirkan. Dan kelima, haji. Haji dalam struktur syari’at Islam
termasuk bagian dari ibadah. Menunaikan ibadah haji adalah ritual tahunan yang
dilaksanakan oleh kaum muslim sedunia. Haji dalam arti berkunjung ke suatu
tempat tertentu untuk tujuan ibadah dikenal oleh umat manusia melalui tuntunan
agama. Ibadah ini merepresentasikan konsep hubungan manusia dengan
lingkungan semesta dan penciptanya, sehingga diharapkan dapat mengantarkan
manusia pada pengenalan jati diri, membersihkan dan menyucikan jiwa.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian shalat, puasa, dan haji?
2. Apa aspek psikologis individu yang shalat, puasa, dan haji?
3. Bagaimana contoh kasus dari tinjauan psikologis terhadap shalat, puasa, dan
haji?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian shalat, puasa, dan haji.
2. Untuk mengetahui aspek psikologis individu yang shalat, puasa, dan haji.
3. Untuk mengetahui contoh kasus dari tinjauan psikologis terhadap shalat, puasa,
dan haji.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Tinjauan Psikologis Terhadap Shalat


1. Pengertian
Menurut bahasa shalat adalah merupakan bentuk tunggal dari
shalawaat. Shalat adalah kata yang diletakkan sebagai akar kata (mashdar).
shalat kalau dari Allah berarti rahmat, kalau dari hamba berarti doa dan
istighfar. Prof. Tgk. Hasbi Ash-Shiddiqie mendefinisikan bahwa shalat yang
terambil dari bahasa Arab mempunyai arti doa memohon kebajikan dan pujian.
Sementara secara hakikat shalat mengandung pengertian, “Berhadap
hati (jiwa) kepada Allah dan mendatangkan rasa takut kepada-Nya, serta
menumbuhkan di dalam jiwa rasa keagungan, kebesaran-Nya, dan
kesempurnaan kekuasaan-Nya.” Sementara itu, Imam Safi’i menyatakan
bahwa shalat dalam pandangan syar’I adalah ucapan-ucapan yang dimulai
dengan takbiratul dan ditutup dengan salam.
Sementara almarhum Dr. Nucholis Madjid yang akrab disapa Cak
Nur menyebut bahwa shalat mempunyai makna intrinsil dan instrumental.
Intrinsik (makna dalam dirinya sendiri) karena shalat merupakan tujuan pada
dirinya sendiri, khususnya shalat sebagai peristiwa menghadap Allah dan
berkomunikasi dengan-Nya, baik melalui bacaan, maupun gerakan-gerakan
shalat, khususnya rukuk dan sujud ketika dalam shalat. Sedangkan bermakna
instrumental karena shalat dapat dijadikan sebagai sarana untuk mencapai
sesuatu dari luar dirinya sendiri.

2. Aspek Psikologis Individu yang Shalat


Shalat merupakan wujud dari pengakuan manusia sebagai orang Islam,
shalat tidak hanya dipandang sebagai suatu kewajiban dan rutinitas seorang
muslin namun juga sebagai kebutuhan jiwa dan panggilan nurani. Pembinaan
ibadah shalat diperintahkan rasul ketika anak sudah mulai menginjak usia
tujuh tahun dan jika telah sepuluh tahun belum juga melaksanakan shalat

3
maka orang tua diperbolehkan berindak tegas dengan memukulnya.
Hal ini menunjukkan bahwa secara psikologis sesuai dengan
pertumbuhan dan perkembangan kejiwaan anak, pada usia tujuh tahun anak
telah mampu membedakan antara baik dan yang buruk sehingga
kecenderungan kejiwaan pada yang baik dipandang jiwa kebergamanya belum
matang, sehingga shalat hanya sebagai rutinitas dan bukan kebutuhan jiwa.
Dengan demikian dapat dipahami bahwa jiwa keberagamaan anak secara
psikologis berkembang ketika anak telah mencapai usia akhil baligh.
Menurut Ancok (2004) terdapat empat aspek terapeutik yang
terkandung dalam shalat, yaitu:
a. Aspek Olahraga
Menurut monudin dalam satu hari paling sedikit kita melaksanakan
17 rakaatyang terdiri atas 19 posisi yang terpisah pada tiap-tiap rakaatnya.
Total ada 119 postur perhari atau 357o postur perbulan atau 4280 postur
pertahun. Rata-rata umur orang dewasa 40 tahun, maka telah melakukan
1713600 postur. Siapapun yang melaksanakan akan terlindung dan tercegah
dari sekumpulan penyakit ringan dan berat, seperti: serangan jantung dan
problema jantung lainnya, etisema (bengkak pada rongga dan paru-paru),
radang sendi, problema kandung kemih,ginjal dan usus besar, penyakit
pegal pada pinggang dan tulang belakang. Artinya gerakan-gerakan shalat
mulai dari takbiratul ihram sampai salam memberikan efek positif bagi
kesehatan jasmani dan rohani.
b. Aspek Relaksasi Otot
Ibadah shalat juga mempunyai efek, seperti relaksasi otot yaitu
kontraksi otot pijatan dan tekanan pada bagian tubuh tertentu selama
menjalankan shalat. Ada bagian-bagian tubuh tertentu yang digerakkan
selama melakukan relaksasi otot, antara lain: bagian kepala, leher, bahu,
lengan bawah, siku, pergelangan tangan,tulang belakang dan punggung,
paha, lutut, kaki dan jari-jari kaki. Gerakan-gerakan tersebut tercakup
dalam gerakan shalat. Menurut walker, aspek ini dapat mengurangi
kecemasan, mengurangi insomnia, mengurangi sifat hiperaktif pada anak da

4
n mengurangi toleransi rasa sakit.
c. Aspek relaksasi kesadaran indera
Pada saat shalat seolah-olah terbang keatas menghadap kepada Allah
secara langsung tanpa ada perantara. Setiap bacaan dan gerakan senantiasa
dihayati dan dimengerti dan ingatannya senantiasa kepada Allah. Proses
inilah yang mirip dengan relaksasi kesadaran indra. Dan rileksasi ini banyak
digunakan untuk mengatasi kecemasan, setres, depresi, tidak dapat tidur
dan gangguan kejiwaan lainnya. Artinya saat kita shalat bacaan dan gerakan
senantiasa dihayati dan dimengerti. Ingatan pun hanya fokus pada Allah
semata.
d. Aspek meditasi
Shalat memiliki efek seperti meditasi, bahkan shalat adalah meditasi
tertinggi dengan efek luar biasa apabila dilakukan dengan benar dan
khusyuk. Dalam kondisiini seseorang hanya mengingat Allah SWT bukan
mengingat yang lain. Kondisi inilahyang mirip dengan meditasi dan yoga.
Shalat akan memengaruhi seluruh system yangada dalam tubuh kita. Seperti
syaraf, peredaran darah, pernafasan, pencernaan, otot-otot, kalenjer,
reproduksi dan lainnya
e. Aspek autosugesti
Auto-sugesti adalah suatu upaya untuk membimbing diri pribadi
melalui proses pengulangan suatu rangkaian ucapan secara rahasia kepada d
iri sendiri yangmerupakan suatu keyakinan dan perbuatan. Bacaan-bacaan
dalalm shalat berisi hal-hal yang baik, berupa pujian, mohon ampun, doa
maupun permohonan yang lainnya. Ditinjau dari teori hypnosis
pengucapan kata-kata tersebut memberikan efek mensugesti atau
menghipnosis pada yang bersangkutan. Artinya shalat dapat membimbing
diri melalui proses pengulangan doa-doa atau bacaan shalat yang
menyatakan suatu keyakinan atau perbuatan positif.
f. Aspek penyaluran emosi
Shalat menjadi sarana penghubung atau sarana komunikasi antara
seorang hambadan Tuhannya. Saat itulah ia dapat mengadu dan

5
mengungkapkan isi hatinya kepadaAllah secara langsung sehingga beban
emosi dapat tersalurkan dengan tepat.
g. Aspek pembentukan kepribadian
Di dalam Al-Qur’an sudah diterangkan pengaruh shalat di dalam
mendidik jiwa manusia, menyelamatkan dari perbuatan keji dan mungkar,
serta membersihkannya dari naluri jahat yang dapat merusak kehidupan
manusia. Pada dasarnya, shalat lima waktu merupakan rangkaian perjalanan
menghadap Tuhan, yang telah diwajibkan dalam waktu yang berbeda pada
setiap siang dan malam hari. Di dalam shalat seorang mu’min melepaskan
dirinya dari segala urusan duniawi dan menumpahkan seluruh pengabdian
kepada tuhannya dengan cara mengingat kebesaran-Nya dan memohon
pertolongan serta petunjuk-Nya. Melalui shalat seorang hamba akan
memiliki kedisiplinan, cinta persaudaraan, bertutur kata yang baik dan
bersungguh-sungguhdalam hidup.
h. Aspek terapi air ( hydro theraphy)
Sebelum shalaat seseorang harus berwudhu. Wudhu ini memiliki
efek penyegaran(refreshing), mampu membersihkan badan dan jiwa serta
memulihkan tenaga.

3. Contoh Kasus
Adapaun beberapa contoh kasus tinjauan psikologis dalam shalat, yaitu
antar lain:
a. Mendidik manusia agar taat kepada pimpinan yang memberi komando,
karena setelah mendengar adzan dikumandangkan, kita disunnahkan
bersegera menuju masjid untuk menunaikan shalat berjamaah.
b. Mendidik manusia agar memiliki kedislipinan yang tinggi dalam
melaksanakan tugas yang dipikulkan kepadanya, karena shalat telah
diaturkan waktunya secara jelas.
c. Menentramkan jiwa, karena dengan shalat seseorang akan merasa
senantiasa dekat dengan Allah. Hal ini dapat dipahami karena dengan shalat
berarti berdzikir,sedangkan berdzikir kepada Allah akan membuahkan

6
ketentraman hati. Sebagaimana firman Allah :”Ketahuilah hanya dengan
berdzikir kepada Allah hati akan tentram”.(Q.S.Ar Ro’du : 28).
d. Mendorong manusia berani menghadapi problematika kehidupan
dengan hati sabar dan tabah. Semua problematika kehidupan dihadapi dan
disadarinya sebagai ujiandari Allah yang perlu diterima untuk
menguji mentalnya, serta iman dan takwanya.
e. Mendidik manusia agar bersikap sportif dan gentleman untuk mengakui
kesalahan dan dosanya, karena dengan shalat merupakan kesempatan yang
sangat baik untuk memohon ampunan kepada Allah swt. atas segala
kesalahan dan dosa-dosanya yangtelah dilakukan.
f. Menghindarkan manusia dari berbuat keji dan munkar (jahat). Jika shalat
dilakukan dengan sepenuh hati, dengan sikap tunduk dan tawadlu’ (rendah
hati) serta hati yang patuh, maka akan mendorong pelakunya untuk
membentengi dirinya dari perbuatan buruk dan jahat. Firman
Allah swt.: ”Sesungguhnya shalat itu dapat mencegah diri dari perbuatan
keji (buruk) dan munkar (jahat)”(Q.S. Ankabut : 45)

B. Tinjauan Psikologis Terhadap Puasa


1. Pengertian Puasa
Puasa merupakan ibadah yang telah lama berkembang dan
dilaksanakan oleh manusia sebelum Islam. Islam mengajarkan antara lain agar
manusia beriman kepada Allah SWT, kepada malaikat-malaikatNya, kepada
kitab-kitabNya, kepada rosul-rosulNya, kepada hari akhirat dan kepada qodo
qodarNya. Islam juga mengajarkan lima kewajiban pokok, yaitu mengucapkan
dua kalimat syahadat, sebagai pernyataan kesediaan hati menerima Islam
sebagai agama, mendirikan sholat, membayar zakat, mengerjakan puasa dan
menunaikan ibadah haji.
Saumu (puasa), menurut bahasa Arab adalah “menahan dari segala
sesuatu”, seperti menahan makan, minum, nafsu, menahan berbicara yang
tidak bermanfaat dan sebagainya. Sedangkan menurut istilah, puasa adalah
menahan diri dari sesuatu yang membatalkannya, satu hari lamanya, mulai

7
dari terbit fajar sampai terbenamnya matahari dengan niat dan beberapa syarat.
Menurut Muhammad Asad, puasa adalah the obstinence of speech
memaksa diri untuk tidak bercakap-cakap dengan perkataan yang negatif,
contohnya seperti memfitnah, berbohong, mencaci maki, berkata-kata porno,
mengadu domba dan sebagainya. Menurut Hasbi Ash Shiddieqy, puasa bisa
menjadikan orang mampu membiasakan diri untuk dapat bersifat dengan salah
satu dari sifat Allah swt, sifat tidak makan minum meskipun untuk sementara
waktu, sekaligus dapat menyerupakan diri dengan orang-orang yang
muroqobah.
Menurut Yusuf Al Qardawi, puasa sebagai sarana pensucian jiwa dan
raga dari segala hal yang memberatkan dalam kehidupan dunia sekaligus
bentuk manifestasi rasa ketaatan seseorang dalam melaksanakan perintah
Allah swt, dalam hal meninggalkan segala larangan untuk melatih jiwa dalam
rangka menyempurnakan ibadah kepadaNya. Menurut Syeikh Mansur Ali
Nashif, puasa dapat menjadi benteng dan pemelihara dari perbuatan-perbuatan
maksiat. Dikatakan demikian karena puasa dapat menghancurkan nafsu
syahwat, bahkan dapat memelihara dari pelakunya dari api neraka. Adapun
macam-macam puasa, yaitu diantaranya:
a. Puasa wajib atau puasa fardhu
Puasa fardhu ain atau puasa wajib yang harus dilaksanakan untuk
memenuhi panggilan Allah ta’ala yang disebut puasa ramadhan. Sedangkan
puasa wajib yang terdiri dalam suatu hal sebagai hak Allah SWT atau
disebut puasa kafarat. Selanjutnya puasa wajib untuk memenuhi panggilan
pribadi atas dirinya sendiri dan disebut puasa nadzar.
b. Puasa sunat atau puasa tathawwu’
Puasa ini meliputi puasa enam hari bulan syawal, puasa senin
kamis, puasa hari Arafah (tanggal 9 Zulhijjah, kecuali bagi orang yang
sedang mengerjakan ibadah haji tidak disunatkan), puasa hari Syura (10
Muharram), puasa bulan Sya’ban puasa tengah bulan (tanggal 13, 14, dan
15 bulan Qomariyah).
c. Puasa makruh

8
Puasa makruh adalah puasa yang dilakukan terus menerus sepanjang
masa kecuali pada bulan haram, disamping itu makruh puasa pada setiap
hari sabtu saja atau tiap jumat saja.
d. Puasa haram
Puasa haram adalah haram berpuasa pada waktu-waktu tertentu
misalnya Hari raya Idul Fitri (1 Syawal), Hari raya Idul Adha (10 Zulhijjah),
Hari-hari Tasyriq (11, 12 dan 13 Zulhijjah).

2. Aspek Psikologis Individu yang Puasa


Aspek psikologis dimana puasa memiliki peranan dalam menciptakan
kesehatan mental, baik sebagai pengobatan gangguan kejiwaan, sebagai
pencegah agar tidak terjadi gangguan kejiwaan, maupun sebagai alat untuk
membina kesehatan mental. Berikut beberapa manfaat psikologis dari ibadah
puasa, yaitu:
a. Puasa Sebagi Pencegahan Gangguan Kejiwaan
Puasa bulan Ramadhan merupakan salah satu cara perawatan
kejiwaan. Puasa yang dilakukan dengan ikhlas dan atas dasar kesadaran
serta kemaun untuk mematuhi perintah Allah akan dapat menjadi kebiasaan
yang dapat menghasilkan kepuasan dan kegembiraan yang mempunyai
pengaruh dan kesan yang mendalam bagi yang melaksanakannya. Dengan
demikian puasa diharapkan mampu membuat seseoarang mengendalikan
diri.
b. Puasa Untuk Pembinaan Kesehatan Mental
Pada ibadah puasa tertanan nilai kejujuran baik jujur tehadap Allah
SWT, diri sendiri maupun kepada orang lain. Jika sifat jujur telah tertanam
pada diri seseorang, maka dirinya akan merasa tentram, ia tidak akan
dihinggapi rasa takut, salah dan berdosa, karena segala sesuatu jelas dan
tidak ada yang disembunyikan.
c. Pembelaan (Sanctify)
Dalam ilmu Kesehatan Mental, terdapat salah satu cara penyesuaian
diri yang tidak sehat, yang disebut pembelaan (sanctify) yaitu orang yang

9
tidak berani mengakui kepada dirinya bahwa ia telah melanggar nilai-nilai
yang dianutnya sendiri. Jika hal ini sering terjadi maka seseorang akan
merasa sakit dan ia merasa tertipu oleh dirinya sendiri.
d. Mencegah Terjadinya Kelainan Kejiwaan
Adapun fungsi dari ibadah puasa disini dapat mencegah terjadinya
kelainan kejiwaan, dimana nilai puasa benar-benar dapt menjangkau ke
lubuk hati yang terdalam pada diri manusia, sehingga dapat menunjang
kepada pembinaan akhlak. Selain itu, terdapat juga beberapa aspek
terapeutik dalam ibadah puasa.
e. Aspek Relaksasi Usus
Menurut Andang Gunawan, ketika orang sedang berpuasa terjadi
detoksifikasi (proses pengeluaran zat-zat beracun dari dalam tubuh) yang
bersifat total dan holistik (menyeluruh). Secara alamiah usus besar
merupakan pusat kotoran sehingga wajar kalau organ yang satu ini tidak
bisa bersih 100%. Lebih lanjut Andang menjelaskan, puasa detoksifikasi
dapat dilakukan selama 2-14 hari, tergantung kondisi dan tingkat keasaman
dalam tubuh.
f. Membantu Mengendalikan Stres
Disebutkan pula sebaiknya di lakukan pada akhir pekan atau hari
libur tatkala pikiran dan tubuh sedang dalam keadaan santai. Bahkan
menurut Soekirno, peneliti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
puasa dan membantu mengendalikan stress dan menjadi terapi bagi
berbagai penyakit tertentu seperti hipertensi, kanker kardiovaskuler, ginjal
dan depresi, akan lebih cepat dan efektif bila diikuti dengan aksi puasa.
g. Aspek Meditasi
Selama sepuluh terakhir bulan Ramadhan sangat dianjurkan untuk
I’tikaf. Beri’tikaf dalam keadaan puasa memiliki efek seperti: meditasi atau
yoga bahkan merupakan meditasi atau yoga tingkat tinggi bila dijalankan
dengan benar, khusu’ dan sabar.
h. Aspek auto-sugesti/self-hipnosis
Seseorang yang berpusa hendaknya memperbanyak berdoa karena doa orang

10
yang berpuasa adalahh makbul. Thoules (1992) Auto Sugesti adalah suatau
upaya untuk membimbing diri pribadi melalui proses pengulangan suatu
rangkaian ucapan secara rahasia kepada diri sendiri yang menyatakan suatu
keyakinan atau perbuatan.
i. Aspek Pengakuan dan Penyaluran/katarsis
Puasa merupakan sarana hubungan manusia dengan Tuhan. Dalam
kondisi berpuasa, dimana nilai ruhiyah seseorang yang berpuasa sedang
meningkat, ian dapat memohon apa saja secara langsung tanpa perantara
dengan Sang Pencipta. Sehingga hal ini memberikan efek ia merasa bahwa
dirinya tidak sendiri (lonely), tidak merasa kesepian, selalu ada yang
melihatnya ada yang memelihara dan memerhatikan yaitu Allah SWT.
Adanya perasaan ini akan melegakan perasaannya dan akan membantu
proses penyembuhan.
j. Sarana Pembentukan Kepribadian
Kepribadian seseorang senantiasa perlu dibentuk sepanjang hayatnya
dan pembentukan bukan merupakaan pusnya di bulan Ramadhan) atau
mingguan (senin-kamis) atau bulanan (puasa Ayyamul Baith). Jadi
berpuasa juga dapat menjadi sarana pembentukan kepribadian yaitu
manusia yang bercirikan: disiplin, jujur, sabar, mencintai dan kasih sayang
kepada sesama manusia, senantiasa menjaga lisan, membentuk pribadi
shaleh secara individu maupun sosial.
k. Meningkatkan Kadar Keimanan
Puasa yang dikerjakan bukan karena beriman kepada Allah biasanya
menjadikan puasa itu hanya akan menyiksa diri saja. Tetapi apabila puasa
dikerjakan sebagaimana aturan dalam Islam pastinya akan mendatangkan
banyak manfaat salah satunya dalam aspek psikologi diri. Dengan begitu
puasa akan membangun pribadi dengan akhlak yang baik.

3. Contoh Kasus
Puasa sebagai pengobatan terhadap gangguan kejiwaan, pengobatan
kejiwaan yang paling baik adalah menghilangkan penyebab terjadinya

11
gangguan tersebut. Contohnya, penyebab gangguan kejiwaan yang banyak
terdapat adalah rasa berdosa atau bersalah dan rasa dendam. Perasaan itu
dapat diobati dengan cara mendekatkan diri kepada Allah SWT dan salah satu
cara adalah dengan melaksanakan ibadah wajib seperti ibadah puasa serta
ditambah dengan ibadah-ibadah sunnah.
Puasa mampu meredam dendam yang ada pada diri seseorang. Dendam
merupakan beban bathin yang dapat mempengaruhi hubungan antara satu
sama lain. Dendam yang terlalu besar dan mendalam dapat menimbulkan
serangan berbagai gejala psikomatik (penyakit yang disebabkan oleh
perasaan). Selain itu puasa juga merupakan latihan untuk menghadapi
berbagai hal yang dapat menimbulkan stress.

C. Tinjauan Psikologis Terhadap Haji


1. Pengertian Haji
Secara etimologi (bahasa), haji berarti al-qashd ila mu’azhzham yang
dalam bahasa Indonesia berarti pergi menuju sesuatu yang diagungkan. Dalam
arti etimologi ini makna haji bersifat umum karena meliputi semua jenis
berpergian yang bermaksud mengagungkan sesuatu (Abdul Aziz Muhammad
Azzam, 2010: 481).
Secara terminologi, haji didefinisikan oleh beberapa ahli sebagai
berikut:
a. Menurut Ibnu Al-Human, haji adalah pergi menuju Baitul Haram untuk
menunaikan aktivitas tertentu pada waktu tertentu (dalam Abdul Aziz
Muhammad Azzam, 2010: 481).
b. Menurut Al-Jurjani, secara syariat haji didefinisikan sebagai perjalanan
menuju Baitullah untuk menunaikan beberapa kewajiban meliputi tawaf di
ka’bah, wukuf di Aarafah seraya berihram dengan niat haji (dalam Jamal
EL Zaky, 2011: 335).
c. Menurut para pakar fiqih, haji adalah mengunjungi tempat-tempat tertentu
dengan perilaku tertentu pada waktu tertentu. Tempat tertentu yang
dimaksud dalam definisi itu adalah ka’bah di Mekah, Shafa dan Marwa,

12
Muzdalifah dan Arafah. Sedangkan perilaku tertentunya adalah ihram,
thawaf, sa’i dan wukuf di Padang Arafah. Sementara waktu tertentu
dimaksud adalah bulan syawal, Dzulqaidah dan 10 hari pertama Dzulhijjah
(dalam Abdul Aziz Muhammad Azzam, 2010: 481).
Dalam Islam haji merupakan salah satu dari rukun Islam dan
menempati rukun yang kelima dari rukun Islam dan menurut A.F. Jaelani
(2001: 105) haji merupakan ibadah sekali seumur hidup dan merupakan akhir
perintah dari rukun islam sebagai kesempurnaan agama, serta merupakan
amal yang bernilai jihad fisabilillah.
Berbeda dengan rukun-rukun Islam lainnya, kewajiban haji hanya
sekali seumur hidup dan pengulangan pelaksanaannya untuk yang kesekian
kalinya hanya merupakan sunnah (Abdul Aziz Muhammad Azzam, 2010:
481). Karena merupakan suatu kewajiban, maka menurut Ibnu Abbas, barang
siapa yang menginginkannya atau meyakini bahwa haji tidak wajib maka ia
telah kafir dan Allah tidak memerlukannya (Abdul Aziz Muhammad Azzam,
2010: 483).
Ketika seorang mukmin menunaikan perjalanan haji, setidaknya
satu kali sepanjang hidupnya ia tengah menapaki jejak ruhani yang
dulu pernah ditorehkan oleh Nabi Ibrahim a.s. bersama Hajar
dan Ismail. Karenanya perjalanan ibadah yang melibatkan
jasmani dan rohani ini mengandung beberapa hikamh/ faedah,
diantaranya:
a. Ibadah haji menegaskan kerendahan dan kehinaan manusia di
hadapan Allah.
Di dalam semua manasik (kegiatan) haji, setiap orang
melepaskan segala bentuk perhiasan, jabatan dan semua atribut
duniawi lainnya. Setiap orang hanya mengenakan kain putih (ihram)
yang melambangkan kefakiran mereka di hadapan Allah. Setiap
orang akan berdiam (wukuf) di Arafah dengan merendahkan diri di
hadapan Allah, memuji, memohon ampunan dan rahmat Allah serta
bersyukur atas segala nikmat dan karunia Allah. Ketika bertawaf

13
mengitari ka’bah, mereka menyerahkan diri mereka kepada Allah
seraya memohon perlindungan dari dorongan hawa nafsu
dan bisikan setan yang menyesatkan.
b. Ibadah haji mendidik jiwa manusia untuk menetapi kesabaran dan
kegigihan.
Dalam pelaksanaan manasik haji, para jemaah haji akan
dihadapkan kepada berbagai kesulitan, mulai dari melakukan
perjalanan jauh dari tanah air masing-masing menuju Mekkah,
panasnya suasana Arafah yang tandus saat melakukan wukuf, saling
berdesakan saat melontar jumroh, tawaf, dan sai. Kesemuanya itu
memerlukan perjuangan yang sungguh-sungguh sehingga akan
terlaksana semua manasik haji itu dengan sempurna. Dengan kondisi
itu dapat mendidik jiwa untuk menjadi sabar dan gigih.
c. Ibadah haji menegaskan semua manusisa sama di hadapan Allah.
Dengan simbol pakaian ihram yang wajib dikenakan oleh para
jemaah haji, maka hilanglah segala perbedaan yang ada pada
manusia, baik dari sisi bangsa, etnis, ras, bahasa, maupun status
ekonomi dan soisal. Di tanah haram semua perbedaan itu menguap.
Semua manusia yang hadir disana menyerukan kalimat yang sama
yaitu “ Labbaika Allahumma Labbaik, Labbaika La Syarika Laka
Labbaik, Innal hamda, wannikmata Laka wal mulk, La syarika
Laka Labbaik.” Dan semua manuisa melakukan manasik haji yang
sama (wukuf, melontar jumroh, tawaf, sai dan tahallul).
d. Ibadah haji membangkitkan kembali kenangan akan perjuangan para
Nabi di masa lalu.
Ziarah ke tanah suci (kota Mekkah, Madinah dan sekitarnya)
akan mengingatkan jemaah haji akan tempat-tempat jihad Rasulullah
dan para sahabatnya dengan penuh keihlasan dan dedikasi
mengorbankan jiwa raga serta hartanya demi untuk mengembangkan
syariat Islam. Dengan menyaksikan Mekah dan Ka’bah, jemaah haji
akan mengingat keberkahan Ibrahim, putranya Ismail dan

14
Ibundanya Hajar, yang telah membangun ka’bah, menjalani hidup
di lembah padang pasir tanpa penghuni dan tanpa tanaman,
menyerahkan nasib hanya pada Allah meski dengan segala
kesendirian dan kebutuhan, dan kemudian menjalani
ujian penyembelihan.
Ritual ibadah haji juga mengingatkan jemaah haji akan
usaha Siti Hajar (Ibunda Ismail) yang berlari-lari antara bukit safa
dan Marwa sambil menyenandungkan permintaan tolong pada
Allah demi kehidupan buah hatinya (Ismail) yang kemudian
dikabulkan Allah dengan menurunkan Jibril untuk menggali sumur
zam-zam di bawah hentakan bayi mungil Ismail yang menangis
kehausan. Dalam ibadah haji, usaha Siti Hajar ini menjadi ritual
dalam ibadah haji yaitu melakukan sai.
Ritual haji juga mengingatkan jemaah haji akan persiapan
keluarga Ibrahim dalam penyembelihan Ismail demi membuktikan
mimpi sang Ayah (Ibrahim) dan bagaimana perjuangan keluarga
ini melakukan pelemparan batu pada penampakan iblis terhadap
Hajar untuk menghalangi proses penyembelihan tersebut. Dalam
ibadah haji, perjuangan keluarga Ismail ini menjadi salah satu ritual
haji yaitu melontar jumroh. Kemudian, pada saat wukuf di
Arofah, jemaah haji akan mengingat pertemuan antara Adam dan
Hawa setelah terpisah selama lebih kurang 100 tahun sejak keduanya
diturunkan dari syurga. Ketika diturunkan dari syurga keduanya
berpisah tempat, Adam di India dan Hawa di Jeddah, lalu atas izin
Allah keduanya bertemu di padang Arofah, yaitu tepatnya di Jabal
Rahmah (Jamal Elzaky, 2011: 337, Abdul Aziz Muhammad
Azzam, dkk, 2010: 486, Hj. Maisarah Zas, 2005: 147).

2. Aspek Psikologis Individu yang Haji


Ibadah haji bukanlah perjalanan wisata, tapi perjalanan ibadah dengan
tujuan mendapatkan ridho Allah, yang melibatkan jasmani dan rohani

15
serta pengorbanan harta dan waktu (Jamal EL Zaky, 2011: 338).
Kedudukan ibadah haji dalam rukun islam menempati urutan terakhir,
ini berarti ibadah haji menjadi penyempurna kebutuhan ibadah seseorang
Muslim setelah ibadah shalat yang ia tunaikan setiap harinya, setelah bulan
Romadhan yang ia puasai setiap tahunnya, dan setelah ibadah zakat
yang ia tunaikan setelah sempurna nisabnya, lalu kemudian ia memenuhi
panggilan Allah untuk menunaikan ibadah haji (Abdul Aziz Muhammad
Azzam, dkk, 2010: 488).
Dibanding ibadah lainnya, ibadah haji agak sedikit lebih berat karena
dalam ibadah haji ini jemaah haji harus mampu dengan ikhlas mengorbankan
fisik, mental, harta dan waktu demi terlaksananya manasik haji tersebut.
Dengan pengorbanan yang besar, kenapa jemaah haji tetap mau
melakukannya? Ditinjau dari penyebab munculnya perilaku dalam perspektif
psikologi, bahwa salah satu penyebab orang berperilaku karena insight
(pemahaman akan suatu konsep). Dengan mengacu kepada konsep ini, maka
ibadah haji yang dilakukan seseorang itu karena adanya “pemahaman bahwa
haji merupakan suatu kewajiban” (insight). Ketika jemaah haji
memahami adanya kewajiban untuk melakukan haji maka timbullah
“kepatuhan, ketaatan, dan ketundukan” kepada Allah yang menginstruksikan
kewajiban itu. Inilah yang menyebabkan menjaga seseorang melakukan
haji dengan berbagai perilaku yang menjadi ritual di dalam ibadah haji itu.
Mengacu kepada “perilaku haji yang muncul dampak dari kepatuhan,
ketundukan dan ketaatan menjalankan kewajiban dari Allah”, maka berbagai
ritual yang dilakukan dalam ibadah haji itu mengandung beberapa
nilai psikologis, diantaranya:
a. Mengontrol dorongan untuk mementingkan kehidupan yang
materialistik.
Saat memulai rangkaian manasik haji, setiap jemaah haji
wajib mengenakan pakaian ihram. Ihram adalah pakaian tanpa
jahitan dan berwarna putih serta hanya menutupi sebagian tubuh
(terutama bagi laki- laki). Dengan pakaian yang sangat sederhana itu

16
menyimbolkan agar seseorang melepaskan diri dari kelekatan kepada
hal-hal yang bersifat duniawi dan segala perhiasannya.
Dengan pakaian ihram itu akan mengingatkan seseorang
bahwa saat pertama ia lahir tanpa membawa apa-apa, lalu kemudian
dibungkus oleh sehelai kain sederhana dan nanti saat ia meninggal
dunia dia juga hanya akan dibungkus oleh kain kafan warna putih
tanpa jahitan. Hal ini akan menginspirasi manusia untuk tidak
terganggu oleh tuntutan kebutuhan, kesenangan atau kenikmatan
fisik yang bersifat materi belaka.
Dengan pakaian ihram, manusia harus melucuti terlebih
dahulu semua kebutuhan fisik di luar standar dan kemudian
menggunakan pakaian standar yang bersifat universal (yaitu
pakaian ihram yang dikenakan oleh semua jemaah haji). Hal ini
mengindikasikan agar dalam kehidupan nyata manusia tidak terlalu
boleh mengejar dan mengutamakan kenikmatan duniawi sehingga
bisa merugikan diri dan orang lain (Jamal Elzaky, 2011: 340, Hj.
Maisarah Zas, 2005: 147).
b. Melatih pengendalian dorongan libidoseksual.
Mengacu kepada teori psiko analisa dari Freud bahwa
dorongan-dorongan yang berorientasi biologis itu (termasuk
dorongan libido seksual), jika tidak disalurkan maka seseorang akan
mengalami konflik. Agar individu terbebas dari konflik itu maka
individu harus menyalurkan dorongan-dorongan id tersebut.
Dalam kehidupan nyata, baik berdasarkan nilai moral dan
agama, ada aturan tertentu dalam menyalurkan dorongan libido
seksual ini demi mempertahankan hak dan martabat manusia. Agar
pelampiasan dorongan libido seksual itu sesuai dengan aturan yang
berlaku, maka diperlukan kemampuan mengontrol dorongan libido
seksual tersebut. Ketika mengenakan kain ihram, ada sejumlah
larangan yang tidak boleh dilakukan oleh jemaah haji.
Menurut para ahli fiqih salah satu diantara larangan itu

17
adalah “melakukan hubungan seksual suami istri dan segala perbuatan
yang menjadi pendorong untuk melakukan persetubuhan
seperti: berciuman, meraba, berpelukan dll” (shahih bin Fauzan Al
Fauzan, 2005:436). Dan apabila hal itu dilakukan maka ibadah
hajinya batal. Dengan demikian melalui ihram, mengindikasikan
pada manusia agar dapat mengontrol dorongan libido seksualnya
dan menyalurkannya secara benar sesuai dengan norma dan nilai-
nilai ajaran agama yang dianutnya.
c. Membantu manusia menemukan jati diri yang sejati
Padang arafah dengan gurun pasir sahara yang tandus itu
merupakan tempat “yang asing” bagi sebagian besar jemaah haji
dibanding wilayah kehidupan manusia lainnya di muka bumi ini.
Kondisi “asing ini” mengingatkan awal kelahiran manusia di bumi
yang secara psikologi sangat asing bagi kehidupan manusia
setelah berada dalam rahim ibu dengan serba kenyamanan dan
keamanan. Kondisi “asing” ini juga akan dialami manusia ketika
kematiannya, yakni pindah ke alam barzakh setelah melewati alam
dunia.
Dengan gambaran arafah sebagai suatu tempat kelahiran dan
sekaligus juga tempat kematian tanpa manusia harus pindah secara
ruang dan waktu, hal itu mengisyaratkan bahwa hanya selama wukuf
di arafah itulah sesungguhnya umur kehidupan setiap manusia di
dunia ini. Sementara itu padang arafah yang tandus dan gersang itu
seperti mengisyaratkan bahwa dari segi aturan Allah kehidupan
dunia ini sesungguhnya setandus padang arofah dibanding
kehidupan di syurga kelak.
Selain itu kondisi padang arofah yang tandus dan gersang itu
dapat mengingatkan manusia akan padang mahsyar yang dahsyat
dan sangat menakutkan sebagai tempat pengadilan manusia yang
sesungguhnya (Hj. Maisarah Zas, 2005: 151). Dengan perenungan
akan simbol dari wukuf di padang arafah itu akan mendorong

18
manusia untuk menemukan dan menjawab pertanyaan “siapa dirinya, dari
mana asalnya dan kemana akhir hidupnya.” Inilah yang kemudian
akan mengantarkan manusia untuk menemukan jati diri yang
sesungguhnya, yaitu sebagai hamba Allah yang akan kembali
menghadap Allah dengan mempertanggung jawabkan segala yang
dilakukan di dunia dari pengadilan Allah di Padang Mahsyar.

3. Contoh Kasus
a. Menumbuhkan Nilai Persamaan
Semua aktivitas tercurahkan dan disinilah titik krusial dari ibadah
haji karena dalam satu waktu ibadah haji dikerjakan bersama-sama oleh
umat Islam diseluruh dunia. Pertemuan dan perbedaan etnis, suku, bangsa,
Negara dengan latar belakang sosio-kultural yang berbeda, adat istiadat,
kebiasaan dan pemahaman tentang ibadah haji yang beragama tidak dapat
dielakkan. Pertemuan umat islam dalam ibadah haji telah menghilangkan
batas-batas nasionalitas, teritorialitas dan etnisitas, semuanya berpusat
untuk beribadah kepada Allah SWT.
b. Menumbuhkan sikap saling tolong menolong
Bagi mereka yang telah melaksanakan ibadah haji ada perubahan
perilaku dan moral dalam menjalani kehidupan ini dan mendekatkan diri
dalam dimensi moral kemanusiaan, seperti bergaul dengan
masyarakat, memberi pertolongan, sikap tawadhu’, kemurahan, dan saling
membantu.
c. Melahirkan sikap tawadhu’( rendah hati)
Ini menunjukkan penyerahan diri kepada Allah SWT. Karena banyak
kita temui saat ini, banyak mereka yang telah melaksanakan ibadah haji
namun moral dan perilakunyanya kurang mencerminkan bahwa yang
bersangkutan telah menyandang gelar haji, bahkan yang bersangkutan
melakukan pembohongan yang sudah menjadi rutinitas dalam
kehidupannya, menebar janji-janji kosong dikarenakan untuk kepentingan
sesuatu yang sesungguhnya dirinya tidak sanggup untuk melakukan

19
janjinya tersebut.
Namun untuk mencapai kepentingannya, maka dia berusaha
melakukannya walau dirinya pernah melaksanakan tahapan ibadah haji.
Seseorang yang ingin hajinya mabrur sehingga adanya perubahan pada
prilaku moralnya, ini dapat diuapayakan dengan menghindari
kemaksiatan. karna haji mabrur adalah haji yang tidak bercampur dengan
kemaksiatan.
Maksiat itu bisa berupa uang haram yang digunakan untuk ongkos
haji, manipulasi data administrasi, memotong antrian jama'ah lain, rebutan
untuk menjadi pembimbing dan petugas haji, melalaikan pelayanan yang
menjadi tugas panitia haji, marah dan berbantah soal pelayanan yang
bermasalah, mendzalimi orang lain sekedar untuk mencium hajar aswad,
menggunjing terhadap perbedaan dan keunikan orang lain, dan masih
banyak lagi. Kemaksiatan ibarat ranjau yang bertebaran di sepanjang proses
persiapan dan pelaksanaan haji. Banyak orang tidak sadar bahwa ia telah
menginjak ranjau kemaksiatan itu. Akibatnya, hajinya mardud dengan
indikasi tiadanya perubahan terhadap orang tersebut sepulang haji.
Dari sinilah introspeksi dan evaluasi haji, lebih menekankan pada
niat, sikap dan ongkos naik haji, menjadi penting yang fungsi dan harapan
utamanya adalah mengejar optimisme kemabruran yang dapat menjadi
pintu perubahan moral dan prilaku.

20
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Menurut bahasa shalat adalah merupakan bentuk tunggal dari shalawaat.
Shalat adalah kata yang diletakkan sebagai akar kata (mashdar). Sementara
almarhum Dr. Nucholis Madjid yang akrab disapa Cak Nur menyebut bahwa
shalat mempunyai makna intrinsil dan instrumental. Aspek Psikologis Individu
Shalat adalah aspek olahraga, aspek relaksasi otot, aspek relaksasi kesadaran
indera, aspek autosugesti, aspek penyaluran emosi, aspek pembentukan
kepribadian, dan aspek terapi air ( hydro theraphy).
Puasa merupakan ibadah yang telah lama berkembang dan dilaksanakan
oleh manusia sebelum Islam. Islam mengajarkan antara lain agar manusia
beriman kepada Allah SWT, kepada malaikat-malaikatNya, kepada kitab-
kitabNya, kepada rosul-rosul Nya, kepada hari akhirat dan kepada qodo qodarNya.
Islam juga mengajarkan lima kewajiban pokok, yaitu mengucapkan dua kalimat
syahadat, sebagai pernyataan kesediaan hati menerima Islam sebagai agama,
mendirikan sholat, membayar zakat, mengerjakan puasa dan menunaikan ibadah
haji.
Menurut para pakar fiqih, haji adalah mengunjungi tempat-tempat
tertentu dengan perilaku tertentu pada waktu tertentu. Aspek psikologis individu
haji, yaitu mengontrol dorongan untuk mementingkan kehidupan yang
materialistik, melatih pengendalian dorongan libido seksual, dan
membantu manusia menemukan jati diri yang sejati.

B. Saran
Demikianlah makalah ini dapat kami susun dengan sebaik-baiknya,
semoga bermanfaat untuk kita semua. Karna makalah kami jauh dari kata
sempurna jadi kami mohon partisipasinya memberi saran mengenai makalah ini.

21
DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, M. Hasbi. 2009. Pedoman Puasa Semarang: Pustaka Rizki Putra.


Daradjat, Zakiah. 1995. Ilmu Fiqh Jilid I. Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf.
El-Syafa, H. Ahmad Zacky. 2020. Nikmatnya Ibadah. Sidoarjo: Genta Group
Production.
Rasjid, Sulaiman . 2014. Fiqh Islam. Bandung: Sinar Baru Algensido.
Syarifin, Ahmad. 2018. Aspek Psikologi dan Kesehatan Mental. Bengkulu: Nuansa.
Pengertian Puasa Menurut Para Ahli. (oneline), Tersedia:
http://dilihatnya.com/900/pengertian-puasa-menurut-para-ahli. (di akses pada
hari Selasa, 0 November 2021, Pukul 16.00)
Aspek Psikologis dalam Haji, https://id.scribd.com/document/360370101/Aspek
Psikologis-Dalam-Haji (di akses pada hari Selasa, 0 November 2021, Pukul
18.00)
Nilai-Nilai Sosial Dalam Aspek Ibadah,
http://surgaidaman95.blogspot.com/2016/12/makalah-psikologi-agama-
tentang-nilai.html?m=1 (di akses pada hari Selasa, 2 November 2021, pukul
14.00)

22

Anda mungkin juga menyukai