Anda di halaman 1dari 17

PEMERIKSAAN TORCH

Di susun oleh Kelompok VI

Di susun oleh Kelompok 3


Irlan Agung Wiguna
Yeni Juhaeni
Ai Juariah
Ai Marliah
Eva Nurseva

PROGAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI


ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS 2020
BAB I9

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

TORCH merupakan suatu istilah jenis penyakit infeksi yang terdiri dari Toxoplasma,
Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes. Keempat jenis penyakit ini sama bahayanya bagi ibu
hamil karena dapat menganggu janin yang dikandungnya. Bayi yang dikandung tersebut
mungkin akan terkena katarak mata, tuli, hypoplasia (gangguan pertumbuhan organ tubuh
seperti jantung, paru-paru, dan limpa). Bisa juga mengakibatkan berat bayi tidak normal,
keterbelakangan mental, hepatitis, radang selaput otak, radang iris mata, dan beberapa jenis
penyakit lainnya (Sarwono, 2007).

Toksoplasmosis merupakan penyakit zoonosis klasik yang dapat dijumpai hampir di


seluruh dunia. Penyakit ini merupakan penyakit infeksi parasit yang paling sering terjadi pada
manusia (Kurniawan, 2009). Penyakit ini merupakan masalah kesehatan yang penting dan
sering sekali karena variabilitasnya berkaitan dengan berbagai faktor, seperti usia, kebiasaan,
sosiokultural, gizi, kontak dengan kucing, iklim dan kondisi geografis (Barbosa et al., 2009).
Etiologi toksoplasmosis adalah parasit Toksoplasma gondii. Indonesia sebagai negara tropik
merupakan tempat yang sesuai untuk perkembangan parasit tersebut, ditambah beberapa
kondisi yang dapat menunjang perkembangan parasit ini adalah sanitasi lingkungan dan
banyaknya sumber penularan terutama kucing dan sebangsanya (Felidae, Adyatma, 1980:
1990).

Toksoplasmosis pada manusia dijumpai di seluruh dunia dengan angka prevalensi


yang berbeda. Di Eropa Selatan prevalensi toksoplasmosis sebesar lebih dari 60%, sedangkan
di Eropa Utara prevalensi kurang dari 20%. Amerika Tengah mencapai 90%. Penelitian di
Denmark antara tahun 1999-2002 menunjukkan bahwa prevalensi toksoplasmosis kongenital
pada bayi baru lahir adalah 2,1/10000 kelahiran hidup (Schimdt et al., 2006). Di Amerika
Serikat didapatkan sekitar 3-70% orang sehat telah terinfeksi Toksoplasma gondii.
Toksoplasma gondii juga menginfeksi 3500 bayi baru lahir di Amerika Serikat (Herdiman,
2006). Di Amerika serikat, satu dari tiga orang yang berumur 50tahun tercatat infeksi oleh
ookista T.gondii (Kruszon-Moran,et al.,2007). Di Indonesia walaupun belum ada penelitian
epidemiologi secara luas, didapatkan data sebagai berikut: tahun 1991 prevalensi
toksoplasmosis pada manusia di Indonesia mencapai 2-63% (Gandahusada, 1991). Di DIY
prevalensinya 61,5%, dengan angka tertinggi didapatkan di kabupaten Kulonprogo 78,6%
dan angka terendah di kabupaten Gunungkidul yaitu 29,5% (Sujono, 2010).

Faktor resiko toksoplasmosis, yaitu faktor resiko pemeliharaan kucing, konsumsi


daging setengah matang, konsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan mentah yang tidak dicuci,
konsumsi susu yang tidak di pasteurisasi, tidak mencuci tangan sebelum makan setelah
melakukan aktivitas seperti berkebun, orang yang melakukan transfusi darah atau
transplantasi organ (Levine 1990; Mahmoodi et al, 2005.; Manouchehri-Naeini et al, 2007;
Mohammadi et al, 2008; Hatam et al., 2005). Salah satu faktor resiko toksoplasmosis adalah
infeksi protozoa yang ditularkan melalui tubuh kucing. Manusia berperan sebagai hospes
perantara, sedangkan kucing dan famili Felidae lainnya merupakan hospes definitif (Levine,
1990). Penularannya dapat melalui makan makanan yang tercemar ookista dari feses
(kotoran) kucing yang menderita toksoplasma. Feses kucing yang mengandung ookista akan
mencemari tanah (lingkungan) dan dapat menjadi sumber penularan baik pada manusia
maupun hewan. Tingginya resiko infeksi toksoplasma melalui tanah yang tercemar,
disebabkan karena oosista bisa bertahan di tanah sampai beberapa bulan (Howard, 1987).

Diagnosa toksoplasmosis ditegakkan melalui berbagai macam pemeriksaan: tes


serologis, pemeriksaan radiologi, pemeriksaan molekuler, pemeriksaan histologi dan kultur
parasit. Pemeriksaan yang paling sering dikerjakan adalah pemeriksaan serologi untuk
mendeteksi IgG anti toksoplasma dan IgM anti toksoplasma. Infeksi akut pada kehamilan
sangat penting diketahui sehingga tindakan yang tepat dapat diambil untuk mencegah akibat
yang ditimbulkan oleh penularan dari ibu kepada janin yang dikandungnya. Pemeriksaan IgG
dan IgM pada suatu serum tidak selalu dapat membedakan infeksi akut dengan infeksi kronis
karena IgM spesifik dapat bertahan beberapa tahun dalam peredaran darah (Petersen, et al.,
2005). Pemeriksaan aviditas IgG dapat membantu membedakan infeksi akut dan infeksi
kronis (Hedman, et al.,1989). Pemeriksaan serologi yang paling sering digunakan adalah
pemeriksaan dengan metode ELISA, yang dikenal karena mempunyai sensitifitas dan
spesifisitas yang tinggi.

Populasi manusia yang mungkin berisiko tinggi terinfeksi oleh parasit ini, yaitu wanita
hamil dan individu yang mengalami defisiensi sistem imun (Chahaya I, 2003). Laporan
penelitian epidemiologis menunjukkan bahwa prevalensi infeksi Toxoplasma gondii pada
wanita (pranikah atau hamil) bervariasi secara substansial antar negara. Dalam studi Kuba,
70,9% wanita yang diteliti memiliki-Toxoplasma gondiiantibodi anti 12 minggu sebelum
kehamilan (Morales et al-Gonzalez 1995). Di negara-negara Eropa, prevalensi infeksi
Toxoplasma gondii pada wanita bervariasi 9-67% (Alvarado-Esquivel et al 2006).

Wanita pranikah merupakan populasi yang berpotensi akan mendapatkan kehamilan.


Populasi ini selanjutnya akan memiliki faktor risiko untuk mendapatkan dampak buruk atas
terjadinya infeksi toksoplasma yang berdampak pada kelainan selama kehamilan, kecacatan
dan kematian janin. Oleh karena itu sangat diperlukan skrining terhadap toksoplasma pada
wanita pranikah, karena toksoplasma yang terdeteksi sebelum kehamilan bisa segera diobati
sehingga mencegah penularan ke fetus.

B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan pemeriksaan TORCH?
2. Penyakit apa yang tergolong dalam TORCH?
3. Apa indikasi pemeriksaan TORCH?
4. Apa etiologi pada penyakit TORCH?
5. Bagaimana bentuk peringatan untuk pemeriksaan TORCH?
6. Persiapan apa yang harus dilakukan sebelum pemeriksaan TORCH?
7. Bagaimana penjelasan prosedur pemeriksaan TORCH?
8. Komplikasi apa yang dapat terjadi setelah pemeriksaan TORCH?
9. Bagaimana bentuk tanda dan gejala penyakit TORCH?

C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui dan memahami pemeriksaan TORCH.
2. Mengetahui dan memahami penyakit yang tergolong ke dalam TORCH.
3. Mengetahui dan memahami indikasi pemeriksaan TORCH.
4. Mengetahui dan memahami etiologi pada penyakit TORCH.
5. Mengetahui dan memahami bentuk peringatan untuk pemeriksaan TORCH.
6. Mengetahui dan memahami hal-hal yang harus dilakukan sebelum pemeriksaan
TORCH.
7. Mengetahui dan memahami prosedur pemeriksaan TORCH.
8. Mengetahui komplikasi yang dapat terjadi setelah pemeriksaaan TORCH.
9. Mengetahui dan memahami tanda dan gejala penyakit TORCH.
BAB II

TINJAUAN TEORI

A. Pengertian TORCH
TORCH adalah singkatan dari (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus (CMV) dan
Herpes simplex virus yang terdiri dari HSV1 dan HSV 2 serta kemungkinan oleh
virus lain (Other virus) yang dampak klinisnya lebih terbatas (misalnya Measles,
Varicella, Echovirus, Mumps, virus Vaccinia, virus Polio dan virus Coxsackie-B).

B. Pengertian Pemeriksaan TORCH


Pemeriksaan TORCH adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mendeteksi
adanya infeksi pada ibu hamil. Dengan pemeriksaan ini, infeksi bisa terdeteksi lebih
dini, sehingga risiko penularan dan komplikasi infeksi pada janin bisa dicegah.
TORCH, kadang disebut juga TORCHS, adalah singkatan dari beberapa
nama penyakit infeksi, yaitu Toksoplasmosis, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes
simplex virus, dan Sifilis.
Pada dasarnya, ketika tubuh terserang mikroorganisme asing, seperti virus atau
bakteri, sistem kekebalan tubuh akan memproduksi senyawa yang disebut antibodi.
Peran senyawa ini adalah untuk melawan dan mencegah mikroorganisme tersebut
menyebabkan penyakit. Dalam hal ini, pemeriksaan TORCH dilakukan untuk
mendeteksi antibodi yang dihasilkan tubuh ketika terserang mikroorganisme
penyebab penyakit-penyakit infeksi di atas.

C. Penyakit – Penyakit Yang Tergolong Pada TORCH


1. Toksoplasmosis
Toksoplasmosis adalah infeksi yang disebabkan oleh parasit Toxoplasma
gondii. Parasit ini dapat ditemukan pada kotoran kucing yang terinfeksi dan
makanan yang belum matang. Jika ibu hamil menderita toksoplasmosis,
parasit tersebut dapat menular ke janin dan menyebabkan janin terlahir dengan
masalah kesehatan, seperti infeksi mata yang serius, gangguan pendengaran,
atau gangguan mental.

2. Rubella
Rubella dikenal juga sebagai campak Jerman. Bila terjadi pada ibu hamil,
infeksi ini dapat menular ke janin dan menyebabkan janin terlahir dengan
kelainan jantung, tuli, gangguan penglihatan, infeksi paru, kelainan darah, atau
keterlambatan pertumbuhan. Selain itu, seiring bertumbuhnya bayi, infeksi
rubella juga dapat menyebabkan gangguan saraf pusat, kelainan sistem imun,
atau gangguan tiroid.
3. Cytomegalovirus (CMV)
Cytomegalovirus (CMV) adalah jenis virus yang umumnya menyerang orang
dewasa dan jarang menyebabkan gangguan kesehatan serius. Namun, pada
janin dan bayi baru lahir, virus tersebut dapat menyebabkan tuli, gangguan
penglihatan, pneumonia, kejang, dan keterlambatan pertumbuhan.

4. Herpes simplex virus (HSV)


HSV adalah virus yang dapat menyebabkan herpes, baik oral maupun genital,
pada orang dewasa. Bayi dapat tertular virus herpes dari ibunya selama proses
persalinan, terutama jika ibunya menderita herpes genital. Pada bayi, infeksi
virus herpes dapat menyebabkan gejala, seperti ruam-ruam yang berisi cairan
di mulut, mata, dan kulit, bayi terlihat malas, gangguan pernapasan, serta
kejang

5. Sifilis
Ibu hamil dapat menderita sifilis lewat hubungan seksual, yang selanjutnya
dapat ditularkan ke janin yang sedang dikandungnya. Infeksi yang sering
disebut “penyakit raja singa” ini dapat menyebabkan keguguran, bayi lahir
prematur, dan tuli

D. Etiologi Pada Penyakit TORCH


a. Toxoplasmosis
Infeksi Toxoplasmosis di sebabkan oleh parasit Toxoplasma gondi
adalah protozoa yang dapat di temukan pada hampir semua hewan
dan unggas berdarah panas, akan tetapi kucing adalah inang
primernya, kotoran kucing yang berasal dari makanan hewan yang
kurang masak yang mengandung oocyst dari toxoplasma gondi dapat
menjadi jalan penyebaran nya, contoh lainya adalah pada saat
berkebun atau saat membenahi tanaman di pekarangan, kemudian
tangan yang belum bersih kontak langsung dengan mulut.
b. Rubella
Virus ini di temukan pertama kali di Amerika tahun 1966 rubella
pernah menjadi endemic di berbagai negara, virus ini menyebar
melalu droplet masa inkubasi nya kurang lebih 14 sampai dengan 21
hari.
c. Cyto Megalo Virus (CMV)
Jika ibu hamil terinfeksi, maka janin yang dikandung mempunyai
resiko tertular sehingga mengalami gangguan misalnya pembesaran
hati, kuning, pengapuran otak, ketulian, retardasi mental, dll.
d. Herpes simplek Infeksi TORCH yang terjadi pada ibu hamil dapat
membahayakan janin yang dikandungannya. Pada infeksi TORCH,
gejala klinis yang ada sering sulit dibedakan dari penyakit lain
karena gejalanya tidak spesifik. Walaupun ada yang memberi gejala
ini tidak muncul sehingga menyulitkan dokter untuk melakukan
diagnosis. Oleh karena itu, pemeriksaan laboratorium sangat
diperlukan untuk membantu mengetahui infeksi TORCH agar dokter
dapat memberikan pengananganan atau terapi yang tepat.
E. Patofisiologi Pada penyakit TORCH
a. Toksoplasmosis merupakan infeksi protozoa yang disebabkan
oleh Toxoplasma gondii dengan hospes definitif kucing dan
hospes perantara manusia. Manusia dapat terinfeksi parasit
ini bila memakan daging yang kurang matang atau sayuran
mentah yang mengandung ookista atau pada anak-anak yang
suka bermain di tanah, serta ibu yang gemar berkebun dimana
tangannya tertempel ookista yang berasal dari tanah.
Perkembangan parasit dalam usus kucing menghasilkan
ookista yang dikeluarkan bersama tinja. Ookista menjadi
matang dan infektif dalam waktu 3-5 hari di tanah. Ookista
yang matang dapat hidup setahun di dalam tanah yang
lembab dan panas, yang tidak terkena sinar matahari secara
langsung. Ookista yang matang bila tertelan tikus, burung,
babi, kambing, atau manusia yang merupakan hospes
perantara, dapat menyebabkan terjadinya infeksi.
Toksoplasmosis dikelompokkan menjadi toksoplasmosis
akuisita (dapatan) dan toksoplasmosis kongenital yang
sebagian besar gejalanya asimtomatik. Keduanya bersifat
akut kemudian menjadi kronik atau laten. Gejala yang
nampak sering tidak spesifik dan sulit dibedakan dengan
penyakit lainnya. Pada ibu hamil yang terinfeksi di awal
kehamilan, transmisi ke fetus umumnya jarang, tetapi bila
terjadi infeksi, umumnya penyakit yang didapat akan lebih
berat. Pada toksoplasmosis yang terjadi di bulan-bulan
terakhir kehamilan, parasit tersebut umumnya akan ditularkan
ke fetus tetapi infeksi sering subklinis pada saat lahir. Pada
ibu hamil yang mengalami infeksi primer, mula-mula akan
terjadi parasitemia, kemudian darah ibu yang masuk ke dalam
plasenta akan menginfeksi plasenta (plasentitis). Infeksi
parasit dapat ditularkan ke janin secara vertikal. Takizoit
yang terlepas akan berproliferasi dan menghasilkan fokus-
fokus nekrotik yang menyebabkan nekrosis plasenta dan
jaringan sekitarnya, sehingga membahayakan janin dimana
dapat terjadi ekspulsi kehamilan atau aborsi.

b. Secara patofisiologi, infeksi rubella postnatal dan kongenital


memiliki persamaan dalam hal mekanisme penularan virus
melalui kontak langsung atau aerosol dari sekresi saluran
napas atas dari individu yang infeksius terhadap individu
yang rentan. Namun, infeksi rubella postnatal dan kongenital
berbeda dalam hal tingkat kerusakan organ dan komplikasi
jangka panjang yang mungkin terjadi.
Patogenesis infeksi rubella berawal ketika virus ditularkan
secara kontak langsung atau aerosol dari sekresi saluran
napas atas individu yang infeksius. Tingkat infeksi ditentukan
oleh jumlah virus yang terkandung dalam sekresi yang
berasal dari nasofaring dan dapat berlangsung sejak 1 minggu
sebelum hingga 2 minggu setelah munculnya ruam. Masa
paling menular adalah antara 5 hari sebelum hingga 6 hari
setelah awitan ruam.

c. Patofisiologi herpes genital dimulai dari infeksi virus HSV ke


dalam tubuh. Infeksi HSV 1 dapat terjadi apabila terdapat
kontak langsung dengan cairan tubuh penderita, sedangkan
HSV 2 terjadi melalui hubungan seksual. Virus dapat
menetap di sistem saraf tepi (infeksi laten) dan suatu waktu
dapat menimbulkan reaktivasi.

Virus herpes masuk kontak langsung dengan cairan tubuh


penderita, sama seperti virus herpes pada penderita herpes
simpleks. Glikoprotein yang berasal dari membran virus akan
mengikat reseptor pada sel inang yang selanjutnya memulai
fusi antara sel dan membran virus. Virus kemudian
melepaskan kapsid dan tegumen yang mengandung DNA ke
dalam sitoplasma sel inang. Setelah masuk ke sitoplasma,
kapsid dibawa ke nukleus melalui interaksi dengan minus-
end-directed microtubule motor protein dynein. Selama
masuk dan transit ke nukleus, banyak tegument terlepas dari
kapsid. Kapsid yang sebagian tegumennya telah terlepas
mengikat kompleks pori nuklir inang kemudian melepaskan
DNA melalui proses uncoating.

d. Patofisiologi infeksi Human cytomegalovirus (HCMV)


mencakup adanya peran dari biologi molekuler virus, peran
manusia sebagai reservoir virus, transmisi pada manusia, dan
klasifikasi dari infeksi HCMV.

Human Cytomegalovirus (HCMV) memiliki glikoprotein B


yang berfungsi untuk menginvasi virus ke dalam sel dan
berfusi dengan membran sel virus. Protein dari virus akan
berikatan dengan nukleus sel dan bereplikasi di dalam sel
tersebut. Protein dari virus akan mengganggu aktivitas
regulasi dan metabolisme sel inang yang selanjutnya dimulai
proses replikasi dari virus. Virus HCMV sendiri memiliki
sifat replikasi yang lambat disebabkan karena produksi
protein yang lambat pada tubuh virus. Setelah virus
bereplikasi dalam nukleus, virus akan keluar ke sitoplasma
sel dan dilepaskan ke aliran darah sehingga terbentuk fase
viremia dalam tubuh pasien.

e. Patofisiologi sifilis dapat dibagi menjadi dua macam, yaitu


sifilis yang didapat maupun sifilis kongenital. Perbedaan
patofisiologi keduanya terdapat pada cara masuknya bakteri
Treponema pallidum. Pada sifilis didapat, bakteri masuk
melalui mukosa atau kulit, sedangkan pada sifilis kongenital,
bakteri menembus sawar plasenta dan menginfeksi fetus.

Treponema pallidum mula-mula masuk melalui mikroabrasi


dermal atau membran mukosa yang intak. Hal ini akan
menyebabkan munculnya lesi tunggal tidak nyeri (chancre)
pada area inokulasi. Dalam beberapa jam setelahnya bakteri
akan masuk ke dalam aliran limfe dan darah yang kemudian
menjadi infeksi sistemik.

F. Tanda dan Gejala pada pemeriksaan TORCH


a. Toxoplasma
Gejala yang diderita biasanya mirip dengan gejala influenza, bisa
timbul rasa elah, malaise, demam disertai hepatomegaly, dan
umumnya tidak menimbulkan masalah.
b. Herpes Simplek
Penderita biasanya mengalami demam, salivasi, mudah terangsang
dan menolak untuk makan. Dengan dilakukan pemeriksaan
menunjukan adanya ulkus dangkal multiple yang nyeri pada mukusa
lidah, gusi, dan bukal dengan vesikel pada bibir dan sekitarnya.
c. Cyto Megalo Virus (CMV)
Gejala CMC yang muncul pada wanita hamil minimal biasanya :
 Demam
 Penurunan sel darah putih
 Kulit berwarna kuning
 Pembesaran hati dan Limpa
 Kerusakan atau hambatan pembentukan organ tubuh seperti
mata, Otak, gangguan mental dll
 Umumnya janin yang terinfeksi CMV lahir prematur dan
berat badan lahir rendah
d. Rubella
Tanda dan gejala yang biasa nya muncul bertahan dalam dua atau
tiga hari dan mungkin melibatkan
 Demam Ringan 38,9 derajat celcius atau lebih rendah
 Sakit kepala
 Hidung tersumbat
 Peradangan mata merah
 Muncul ruam merah
 Nyeri pada persendian

G. Indikasi Pemeriksaan Torch


Pemeriksaan TORCH dapat dilakukan pada ibu hamil di trimester pertama dan
bayi baru lahir yang menunjukkan gejala-gejala penyakit infeksi yang tergolong ke
dalam TORCH, seperti:
a) Berat dan panjang badan yang lebih kecil dari bayi seusianya
b) Katarak
c) Trombositopenia
d) Kejang
e) Kelainan jantung
f) Tuli
g) Pembesaran hati dan limpa
h) Sakit kuning (jaundice)
i) Keterlambatan pertumbuhan

H. Peringatan Pemeriksaan TORCH


Pemeriksaan TORCH dilakukan untuk mendeteksi antibodi yang baru atau
pernah diproduksi oleh tubuh. Antibodi tersebut adalah IgM dan IgG untuk TORCH.
Hasil positif untuk pemeriksaan TORCH tidak selalu berarti Anda sedang mengalami
infeksi dari penyakit yang tergolong ke dalam TORCH. Jika hasil IgM positif, maka
berarti saat ini sedang terjadi infeksi. Jika hasil IgG yang positif, maka bisa terjadi dua
kemungkinan, yaitu pernah terkena infeksi atau sudah melakukan vaksin untuk
TORCH. Sedangkan jika kedua antibodi positif, maka dokter akan melakukan
pemeriksaan lain untuk memastikan ada tidaknya infeksi. Ada baiknya Anda
melakukan konsultasi ke dokter untuk hasil pemeriksaan TORCH, sehingga
penanganan dini untuk mencegah terjadinya komplikasi bisa dilakukan.

I. Sebelum Pemeriksaan TORCH


Pemeriksaan TORCH merupakan pemeriksaan sederhana, sehingga umumnya
tidak memerlukan persiapan khusus. Meski demikian, pasien perlu memberi tahu
dokter jika sedang menderita suatu penyakit, meski bukan penyakit yang tergolong ke
dalam TORCH.
Pasien juga harus memberi tahu dokter jika sedang menjalani pengobatan
tertentu. Jika diperlukan, dokter akan meminta pasien untuk berpuasa dan
menghentikan konsumsi obat-obatan untuk sementara waktu.

J. Prosedur Pemeriksaan TORCH


Prosedur pemeriksaan TORCH cukup sederhana, yaitu berfokus pada
pengambilan sampel darah dan deteksi antibodi. Pemeriksaan ini dapat dilakukan di
klinik atau rumah sakit terdekat. Tahapan-tahapannya berlangsung seperti berikut:
a) Dokter akan mensterilkan bagian tubuh yang akan dijadikan tempat
pengambilan sampel darah. Biasanya, sampel darah akan diambil dari
pembuluh darah vena di lengan.
b) Dokter akan mengikat lengan atas dengan menggunakan alat khusus agar vena
di lengan menggembung dan terlihat jelas.
c) Dokter kemudian akan menusukkan jarum ke dalam vena dan memasang
tabung steril untuk mengumpulkan sampel darah.
d) Ikatan pada lengan akan dilepaskan agar darah dapat mengalir dengan
sendirinya ke dalam tabung sampel.
e) Setelah dirasa cukup, dokter akan mencabut jarum dan memasang perban pada
titik tusukan jarum.

Setelah pemeriksaan TORCH Jika pasien diduga positif menderita penyakit


yang tergolong ke dalam TORCH, dokter akan merekomendasikan pasien untuk
menjalani pemeriksaan lain guna memastikan diagnosis. Beberapa pemeriksaan
lanjutan yang dapat dijalani setelah pemeriksaan TORCH adalah:
a) Tes fungsi lumbal untuk mendeteksi adanya infeksi toksoplasmosis, rubella,
dan herpes simplex virus di sistem saraf pusat

b) Tes kultur lesi kulit, untuk mendeteksi adanya infeksi herpes simplex virus
c) Tes kultur urine, untuk mendeteksi adanya infeksi cytomegalovirus

Jika diagnosis sudah dipastikan, dokter akan menentukan pengobatan yang sesuai
dengan kondisi pasien.

K. Komplikasi Pemeriksaan TORCH


Pemeriksaan TORCH adalah pemeriksaan yang sederhana dan umumnya aman. Akan
tetapi, pengambilan sampel darah dalam pemeriksaan TORCH tetap dapat
menimbulkan sejumlah komplikasi, seperti kemerahan di lokasi pengambilan sampel
darah, nyeri, atau lebam.

DAFTAR PUSTAKA
Adyatma, 1980. Kebijaksanaan Pemberantasan Penyakit Parasit di Indonesia.
Cermin Dunia Kedokteran, 1-4.
Alvarado-Esquivel, C., Sifuentes-Álvarez, A., Narro-Duarte, S.G. et al. 2006.
Seroepidemiology of Toxoplasma gondii infection in pregnant women in a
public hospital in northern Mexico. BMC Infect Dis 6, 113.
https://doi.org/10.1186/1471-2334-6-113
Barbosa et al. (2009). Infection Control & Hospital Epidemiology. 30(12), 1242-1242.
DOI: 10.1086/648974
Chahaya, I., 2003. Epidemiologi “Toxoplasma Gondii”. Digital Library. Universitas
Sumatera Utara. 
Gandahusada, S. 1991. Study on the prevalence of Toxoplasmosis in Indonesia: A
review. Proceedings of the 33rd. Seameo Tropmed Regional Seminar
Supplement to The Southeast Asian J. Trop. Med. Hlth. Vol. 22.
Gonzalez-Morales T, Bacallo-Gallestey J, Garcia-Santana CA, Molina-Garcia JR.
1995. Prevalence of Toxoplasma gondii in apopulation of pregnant in Cuba.
Gac. Med. Mex., 131: 499-503.
Hedman, K., Lappalainen, M., Seppäiä, I., & Mäkelä, O. 1989. Recent primary
toxoplasma infection indicated by a low avidity of specific IgG. Journal of
infectious diseases, 159(4), 736-740.
Howard, B.J. 1987. Clinical and Patology Microbiology. The CV Mosby Company
St. Louis, Washington DC. Toronto.
Jones J. L., Kruszon-Moran D., Sanders-Lewis K., et al. 2007. Toxoplasma gondii
infection in the United States, 1999-2004, decline from the prior decade. 77,
405-410.
Kurniawan. 2009. Tiga ratus juta orang terkena toksoplasmosis. Available from:
http://us.health.detik.com/read/2009/08/06/163531/1178719/763/300
[Diakses: 26 Januari 2021].
Levine, N. D. (1990). Parasitologi Veteriner. Ashadi, G., Penerjemah. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Mahmoodi M, Mohebali M, Hejazi H, Keshavarz H, Alavi AM, Izadi Sh. 2005.
Seroepidemiological study on toxoplasmic infection among high-school girls
by IFAT. J. Sch. Public Health Institute Public Health Res. 3(1): 29-42.
Manouchehri-Naeini K, Keshavarz H, Abdizadeh-Dehkordi R, Zebardast N, Kheiri S,
Khalafian P, Salehifard AZ. 2007. Seroprevalence of anti-Toxoplasma
antibodies among pregnant women from Chaharmahal and Bakhtyari
province using indirect immunoflurescent. J. Shahrekord. Uni. Med. Sci. 8(4):
74-80.
Mohammadi P, Taherpur A, Mohammadi H (2008). Seroprevalence of Toxoplasmosis
in women during marriage consultation in Sanandaj. J. Infect. Trop. Dis.
13(40): 25-29.
Petersen, C. A., Krumholz, K. A., & Burleigh, B. A. 2005. Toll-like receptor 2
regulates interleukin-1β-dependent cardiomyocyte hypertrophy triggered by
Trypanosoma cruzi.  Infection and immunity. 73(10), 6974-6980.
Prawirohardo, Sarwono. 2007. Ilmu Kandungan Edisi 2 Jilid 4. Jakarta: YBP-SP.
Schmidt DR, Hogh B, Andersen O, Fuchs J, Fledelius H, Petersen E. The national
neonatal screening programme for congenital toxoplasmosis in Denmark:
results from the initial four years, 1999-2002. 91(8):661-5. DOI:
10.1136/adc.2004.066514.
Suharsono, Sujono Riyadi. 2010. Asuhan Keperawatan Anak dengan Haemoragic
Fever. Jakarta.
Suhendro, Leonard Nainggolan, Khie Chen, Herdiman T., & Pohan. 2016. Demam
Berdarah Dengue dalam: Aru W. Sudoyo, Bambang Setiyohadi, Idrus Alwi,
Marcellus Simadibrata K., Siti Setiati. Editor: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Jilid 3 Edisi 4. Jakarta: Pusat Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Hal. 1731-1735.

Anda mungkin juga menyukai