Anda di halaman 1dari 28

MODEL-MODEL KOMUNIKASI

MASSA

DISUSUN OLEH :

MASKURI
3012019077

DOSEN PEMBIMBING : RUSLI, S.sos.MA

PROGRAM STUDI KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM


FAKULTAS USHULUDDIN ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI LANGSA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang hingga saat ini masih memberikan
kita nikmat iman dan kesehatan, sehingga saya diberi kesempatan yang luar biasa
ini yaitu kesempatan untuk menyelesaikan tugas penulisan makalah tentang
“Model-Model Komunikasi Massa”
Shalawat serta salam tidak lupa selalu kita haturkan untuk junjungan nabi
gung kita, yaitu Nabi Muhammad SAW yang telah menyampaikan petunjukan
Allah SWT untuk kita semua, yang merupakan sebuah pentunjuk yang paling
benar yakni Syariah agama Islam yang sempurna dan merupakan satu-satunya
karunia paling besar bagi seluruh alam semesta.
Selain itu kami juga sadar bahwa pada makalah kami ini dapat ditemukan
banyak sekali kekurangan serta jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kami
benar-benar menanti kritik dan saran untuk kemudian dapat kami revisi dan kami
tulis di masa yang selanjutnya, sebab sekali kali lagi kami menyadari bahwa tidak
ada sesuatu yang sempurna tanpa disertai saran yang konstruktif.
Di akhir kami berharap makalah sederhana kami ini dapat dimengerti oleh
setiap pihak yang membaca. Kami pun memohon maaf yang sebesar-besarnya
apabila dalam makalah kami terdapat perkataan yang tidak berkenan di hati.

Langsa, November 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGENTAR.....................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................1
B. Rumusan Masalah............................................................................2
BAB II PEMBAHASAN.................................................................................3
A. Model AnalisisDasar Komunikasi...................................................3
1. Model Dasar Komunikasi (Model Aristoteles)..........................3
2. Model Lasswell .........................................................................5
3. Model Shannon dan Weaver .....................................................6
B. Model Proses Komunikasi Sirkuler (Schramm) .............................9
C. Model Komunikasi Partisipasi ........................................................10
D. Model Jarum Hipodermik ...............................................................11
E. Model Alir Satu Tahap (One Step Flow Model) .............................13
F. Model Alir Dua Tahap (Two Step Flow Model) ............................14
G. Model Alir Banyak Tahap (Multi StepFlow Model) ......................15
H. Model Melvin De Fleur ...................................................................16
I. Model HUB (Hiebert, Ungrait, Bohn) ............................................17
J. Model Michael W Gamble dan Teri Kwal Gamble ........................18
K. Model Black dan Whitney ..............................................................19
L. Model Bruce Westley dan Malcolm Mclean ...................................19
M. Model Maletzke ..............................................................................20
N. Model Bryant dan Wallace...............................................................20
O. Model Berlo ....................................................................................21
P. Model McNelly ...............................................................................22
BAB III PENUTUP...............................................................................23
A. Kesimpulan........................................................................................23
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................24

ii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Jika kita membicarakan komunikasi massa, ada banyak hal yang terkait
mulai dari apa yang disebut pesan, gatekeeper, jumlah audience, penggunaan
media massa sebagai saluran. Oleh karenanya, komunikasi massa mempunyai
model tersendiri dalam aliran pesan-pesannya (Nurudin, 2004). Model adalah
representasi suatu fenomena, baik nyata maupun abstrak, dengan menonjolkan
unsur-unsur terpenting fenomena tersebut.
Untuk memberikan pemahaman dasar model-model komunikasi massa,
Hiebert et. al mengemukakan empat elemen yang mendasari dibuatnya model,
yakni; 1) Jumlah partisipan; 2) Jenis pesan; 3) kondisi sosial dan lingkungan
partisipan; dan 4) Penggunaan saluran komunikasi. DeVito (1997), mengatakan
ada beberapa keuntungan mempelajari model komunikasi, di antaranya sebagai
berikut:
1. Model memiliki fungsi mengorganisasikan, artinya model dapat
mengurutkan dan menghubungkan satu sistem dengan sistem lainnya
serta dapat memberikan gambaran yang menyeluruh;
2. Model membantu menjelaskan sesuatu dengan menyajikan informasi
secara sederhana, artinya tanpa model, informasi tersebut menjadi
sangat rumit;
3. Dengan model dimungkinkan adanya perkiraan hasil atau jalannya
suatu kejadian.
Secara sederhana, dapat dinyatakan bahwa model dapat dijadikan suatu
dasar bagi pernyataan kemungkinan terhadap berbagai alternatif dan karenanya
dapat membantu membuat hipotesis suatu penelitian. Secara umum ada beberapa
kategori model komunikasi massa; model liner, model sirkuler, model komunikasi
spiral, dan model lainnya.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan rumusan masalah di atas maka rumusan masalah pada makalah
ini adalah apa saja model-model komunikasi massa?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Model Analisis Dasar Komunikasi


1. Model Dasar Komunikasi (Model Aristoteles)
Salah satu dari model model komunikasi yaitu model analisis dasar
komunikasi. Model komunikasi ini dinilai sebagai suatu model paling klasik atau
model pemula komunikasi yang dikembangkan sejak Aristoteles, kemudian
Lasswell hingga Weaver dan Shannon. Aristoteles membuat model komunikasi
yang terdiri atas tiga unsur, yaitu siapa, mengatakan apa dan terakhir kepada
siapa. Model komunikasi yang dibuat Aristoteles belum menempatkan unsur
media dalam proses komunikasi karena belum ada media seperti surat kabar pada
massanya.
Rethoric, salah satu karya terbesar Aristoteles, banyak dilihat sebagai studi
tentang psikologi khalayak yang sangat bagus. Aristoteles dinilai mampu
membawa retorika menjadi sebuah ilmu, dengan cara secara sistematis
menyelidiki efek dari pembicara, orasi, serta audiensnya. Orator sendiri dilihat
oleh Aristoteles sebagai orang yang menggunakan pengetahuannya sebagai seni.
Jadi, orasi atau retorika adalah seni berorasi.
Aristoteles melihat fungsi retorika sebagai komunikasi „persuasif‟,
meskipun dia tidak menyebutkan hal ini secara tegas. Meskipun begitu, dia
menekankan bahwa retorika adalah komunikasi yang sangat menghindari metode
yang kohesif.
Aristoteles kemudian menyebutkan tentang klasifikasi tiga kondisi audiens
dalam studi retorika. Klasifikasi yang pertama adalah courtroom speaking, yaitu
yang dicontohkan dengan situasi ketika hakim sedang menimbang untuk
memutuskan tersangka bersalah atau tidak bersalah dalam suatu sidang peradilan.
Ketika seorang Penuntut dan Pembela beradu argumentasi dalam persidangan
tersebut, maka keduanya telah melakukan judicial rethoric.
Yang kedua adalah political speaking, yang bertujuan untuk
mempengaruhi legislator atau pemilih untuk ikut serta dalam pilihan politik

3
tertentu. Debat dalam kampanye termasuk dalam kategori ini. Sedangkan yang
ketiga adalah ceremonial speaking, di mana yang dilakukan adalah upaya
mendapatkan sanjungan atau menyalahkan pihak lain guna mendapatkan
perhatian dari khalayak. Mungkin yang masuk kategori ini semacam tabligh akbar
atau sejenisnya.
Karena muridnya terbiasa dengan metode dialectic Socrates, yaitu metode
diskusi tanya-jawab, one-on-one discussion, maka Aristoteles menyebutkan
retorika adalah kebalikannya. Retorika adalah diksusi dari satu orang kepada
banyak orang. Jika dialectic adalah upaya untuk mencari kebenaran, maka
retorika mencoba menunjukkan kebenaran yang telah diketemukan sebelumnya.
Dialectic menjawab pertanyaan filosofis yang umum, retorika hanya fokus pada
satu hal saja. Dialectic berurusan dengan kepastian, sedang retorika berurusan
dengan probabilitas (kemungkinan). Menurutnya, retorika adalah seni untuk
mengungkapkan suatu kebenaran kepada khalayak yang belum yakin sepenuhnya
terhadap kebenaran tersebut, dengan cara yang paling cocok atau sesuai.
Menurut Aristoteles, kualitas persuasi dari retorika bergantung kepada tiga
aspek pembuktian, yaitu logika (logos), etika (ethos), dan emosional (pathos).
Pembuktian logika berangkat dari argumentasi pembicara atau orator itu sendiri,
pembuktian etis dilihat dari bagaimana karakter dari orator terungkap melalui
pesan-pesan yang disampaikannya dalam orasi, dan pembuktian emosional dapat
dirasakan dari bagaimana transmisi perasaan dari orator mampu tersampaikan
kepada khalayaknya.
Model ini membuat rumusan tentang model komunikasi verbal yang
petama. Komunikasi terjadi saat pembicara menyampaikan pesannya kepada
khalayak dengan tujuan mengubah perilaku mereka. Model ini mempunyai 3
bagian dasar dari komunikasi. pembicara (speaker), pesan (message), dan
pendengar (listener). Model ini lebih berorientasi pada pidato. Terutama pidato
untuk mempengaruhi orang lain.
Menurut Aristoteles, pengaruh dapat dicapai oleh seseorang yang dipecaya
oleh publik, alasan, dan juga dengan memainkan emosi publik.

4
Tapi model ini juga memiliki banyak kelemahan. Kelamahan yang
pertama adalah, komunikasi dianggap sebagai fenomena yang statis. Kelemahan
yang kedua adalah, model ini tidak memperhitungkan komunikasi non verbal
dalam mempengaruhi orang lain.
Meskipun model ini mempunyai banyak kelemahan, tapi model ini nantinya akan
menjadi inspirasi bagi para ilmuwan komunikasi untuk mengembangkan model
komunikasi modern.
2. Model Lasswell
Model dasar komunikasi yang dibuat Aristoteles telah mempengaruhi
Harold D. Lasswell, yang kemudian membuat model komunikasi yang dikenal
dengan formula Lasswell. Model komunikasi Lasswell terdiri atas 5 unsur, yaitu:
siapa, mengatakan apa, melalui apa, kepada siapa dan apa akibatnya. Lasswell
melihat bahwa suatu proses komunikasi selalu mempunyai efek atau pengaruh.
Oleh karena itu tidak menghendaki kalau model Lasswell ini banyak menstimuli
riset komunikasi, khususnya pada bidang komunikasi massa dan komunikasi
publik.
Dalam sebuah artikel klasik yang ditulisnya pada tahun 1948 yang
berjudul “The Structure and Function of Communication in Society”, Lasswell
menyajikan suatu model komunikasi yang berbentuk sederhana. Model ini sering
diajarkan kepada mahasiswa yang baru belajar ilmu komunikasi.
Model yang diutarakan Lasswell ini secara jelas mengelompokkan elemen-
elemen mendasar dari komunikasi kedalam lima elemen yang tidak bisa
dihilangkan salah satunya. Model yang dikembangkan oleh Laswell ini sangat
populer di kalangan ilmuwan komunikasi, dan kebanyakan mahasiswa
komunikasi ketika pertama kali belajar ilmu komunikasi, akan diperkenalkan
dengan model di atas.
Sumbangan pemikiran Lasswel dalam kajian teori komunikasi massa
adalah identifikasi yang dilakukannya terhadap tiga fungsi dari komunikasi massa.
Pertama, adalah kemampuan kemampuan media massa memberikan informasi
yang berkaitan dengan lingkungan di sekitar kita, yang dinamakannya sebagai
surveillance. Kedua, adalah kemampuan media massa memberikan berbagai

5
pilihan dan alternatif dalam penyelesaian masalah yang dihadapi masyarakat,
yang dinamakanya sebagai fungsi correlation. Ketiga, adalah fungsi media massa
dalam mensosialisasikan nilai-nilai tertentu kepada masyarakat, yang dalam
terminologi Laswell dinamakan sebagai transmission.
3. Model Shannon dan Weaver
Model ini membahas tentang masalah dalam mengirim pesan berdasarkan
tingkat kecermatannya. Model ini mengandaikan sebuah sumberdaya informasi
(source information) yang menciptakan sebuah pesan (message) dan mengirimnya
dengan suatu saluran (channel) kepada penerima (receiver) yang kemudian
membuat ulang (recreate) pesan tersebut. Dengan kata lain, model ini
mengasumsikan bahwa sumberdaya informasi menciptakan pesan dari
seperangkat pesan yang tersedia. Pemancar (transmitter) mengubah pesan menjadi
sinyal yang sesuai dengan saluran yang dipakai. Saluran adalah media yang
mengirim tanda dari pemancar kepada penerima. Di dalam percakapan, sumber
informasi adalah otak, pemancar adalah suara yang menciptakan tanda yang
dipancarkan oleh udara. Penerima adalah mekanisme pendengaran yang kemudian
merekonstruksi pesan dari tanda itu. Tujuannya adalah otak si penerima. Dan
konsep penting dalam model ini adalah gangguan.
Melalui pernyataan-pernyataan matematis, Shannon (dan lalu juga
Weaver) menunjukkan hubungan antara elemen sistem teknologi komunikasi,
yaitu sumber, saluran, dan sasaran. Setiap sumber dalam gambaran Shannon
memiliki tenaga atau daya untuk menghasilkan sinyal. Dengan kata lain, pesan
apa pun yang ingin disampaikan melalui komunikasi, perlu diubah menjadi sinyal,
dalam sebuah proses kerja yang disebut encoding atau pengkodean. Sinyal yang
sudah berupa kode ini kemudian dipancarkan melalui saluran yang memiliki
kapasistas tertentu. Saluran ini dianggap selalu mengalami gangguan (noise) yang
mempengaruhi kualitas sinyal. Memakai hitung-hitungan probabilitas, teori
informasi mengembangkan cara menghitung kapasitas saluran dan kemungkinan
pengurangan kualitas sinyal. Sesampainya di sasaran, sinyal ini mengalami proses
pengubahan dari kode menjadi pesan, atau disebut juga sebagai proses decoding.

6
Model informasi Shannon juga menganggap bahwa informasi dapat
dihitung jumlahnya, dan bahwa informasi bersumber atau bermula dari suatu
kejadian. Jumlah informasi yang dapat dikaitkan, atau dihasilkan oleh, sebuah
keadaan atau kejadian merupakan tingkat pengurangan (reduksi) ketidakpastian,
atau pilihan kemungkinan, yang dapat muncul dari keadaan atau kejadian tersebut.
Dengan kata yang lebih sederhana, teori ini berasumsi bahwa kita memperoleh
informasi jika kita memperoleh kepastian tentang suatu kejadian atau suatu hal
tertentu.
Keunggulan model Shannon-Weaver terletak pada kemampuannya
membuat persoalan komunikasi informasi menjadi persoalan kuantitas, sehingga
sangat cocok untuk mengembangkan teknologi informasi. Kritik terhadap teori
mereka datang dari kaum yang mencoba mengaitkan informasi dengan makna dan
kandungan nilai sosial-budaya di dalam informasi. Sampai sekarang, perdebatan
tentang apakah informasi adalah sesuatu yang kuantitatif atau kualitatif masih
terus berlangsung. Ada yang mencoba mengambil kebaikan dari kedua pihak
dengan mengatakan bahwa informasi adalah sesuatu yang berwujud dan sekaligus
bersifat abstrak.
Jasa Shannon-Weaver terletak pada kepioniran mereka memperkenalkan
diskusi dan aplikasi informasi ke dalam kehidupan manusia. Apa yang sekarang
kita alami dan nikmati, adalah hasil perkembangan dari pemikiran mereka juga.
Karya Shannon dan Weaver, “Mathematical Theory of Communication”
(1949), adalah salah satu pelopor model komunikasi, dan juga dianggap sebagai
salah satu model komunikasi yang tertua. Model ini juga salah satu contoh yang
paling jelas dari “Mahzab Proses”, yaitu aliran yang melihat komunikasi sebagai
transmisi pesan.
Fokus utama teori ini adalah untuk menentukan cara di mana saluran
(channel) komunikasi dapat digunakan secara efisien. Bagi mereka, saluran
utamanya adalah kabel telepon dan gelombang radio. Mereka mencetuskan teori
yang memungkinkan mereka mendekati masalah bagaimana mengirim sejumlah
informasi yang maksimum melalui saluran yang ada, dan bagaimana mengukur
kapasitas dari suatu saluran yang ada untuk membawa informasi. Mereka

7
menggunakan asumsi bahwa komunikasi antar manusia (human communication)
itu ibarat hubungan melalui telepon dan gelombang radio.
Sumber (source) dipandang sebagai pembuat keputusan (decision maker),
yaitu sumber yang memutuskan pesan mana yang akan dikirim. Pesan yang sudah
diputuskan untuk dikirim kemudian diubah oleh transmiter menjadi sebuah sinyal
yang dikirim melalui saluran kepada penerima (receiver). Diumpamakan telepon,
salurannya adalah kabel, sinyalnya adalah arus listrik di dalamnya, dan transmiter
dan penerimanya adalah pesawat telepon.
Shannon dan Weaver mengidentifikasi tiga level gangguan (noise) dalam
studi komunikasi. Ketiga hal tersebut adalah:
 Level A (masalah teknis); Bagaimana simbol-simbol komunikasi
dapat ditransmisikan secara akurat?
 Level B (masalah semantik); Bagaimana simbol-simbol yang
ditransmisikan secara persis menyampaikan makna yang diharapkan?
 Level C (masalah keefektifan); Bagaimana makna yang diterima
secara efektif mempengaruhi tingkah laku dengan cara yang
diharapkan?
Ibarat sedang berkomunikasi lewat telepon, gangguan teknis adalah
tentang apakah telepon kita berfungsi baik atau tidak. Jika telepon yang kita
gunakan sinyalnya tidak jelas atau putus-putus, sehingga suara kita tidak terdengar
dengan jelas oleh lawan bicara kita, maka hal ini termasuk ke dalam gangguan
(noise) teknis. Pada noise yang kedua, gangguan level semantik, adalah sejauh
mana kata-
kata atau komunikasi yang kita lakukan melalui telepon tadi dapat
dipahami atau ditangkap sesuai apa yang kita maksudkan. Mungkin secara teknis,
suara kita sudah dapat didengar dengan cukup jelas oleh lawan bicara kita, tapi
belum tentu apa maksud dari pembicaraan atau dari kata-kata kita dipahami atau
ditangkap secara baik oleh lawan bicara kita itu.
Sedangkan pada level yang ketiga, gangguan masalah keefektifan adalah
persoalan tentang sejauh mana kata-kata atau komunikasi yang kita lakukan
terhadap lawan bicara kita mampu mempengaruhi tingkah laku orang tersebut

8
agar mau melakukan sesuatu sesuai dengan kehendak kita. Gangguan pada level
ini adalah persoalan behavioral. Pada level ini pula, komunikasi dilihat oleh
Shannon dan Weaver sebagai alat propaganda.
Jika ternyata komunikasi yang dilakukan tidak berhasil mengubah perilaku
lawan bicara kita agar mau mengikuti apa-apa yang dimaksudkan oleh
komunikator, maka komunikasi yang dilakukan dianggap mengalami gangguan
atau noise. Lebih dari itu komunikasi yang dilakukan dilihat juga sebagai
komunikasi yang tidak efektif, atau komunikasi yang gagal.
Dalam sudut pandang ini, model Shannon dan Weaver selanjutnya
dianggap memandang persoalan komunikasi sekedar sebagai hitung-hitungan
yang matematis. Lebih jauh lagi, komunikasi pada nantinya dibuat sedemikian
rupa agar mampu merekayasa pesan dan saluran guna mencapai level keefektifan
komunikasi yang optimal, yaitu mampu mengubah orang lain mengikuti apa-apa
yang diinginkan oleh seorang komunikator.

B. Model Proses Komunikasi Sirkuler (Schramm)


Schramm membuat serangkai model komunikasi, dimulai dengan model
komunikasi manusia yang sederhana (1954), lalu model yang lebih rumit yang
memperhitungkan pengalaman dua individu yang mencoba berkomunikasi,
hingga ke model komunikasi yang dianggap interaksi dua individu.
Berdasarkan perkembangan waktu, ketika titik perhatian penelitian mulai
bergeser dari komunikasi massa ke komunikasi yang bersifat antarpribadi dimana
dapat ditemui umpan balik dengan intensitas yang lebih tinggi, maka model
sirkuler umumnya berangkat dari paradigma antarpribadi, dimana kedudukan
komunikator dan komunikan relatif setara. Model sirkuler mulai diperkenalkan
oleh Schramm (1954), yang menyatakan, “Sebenarnya menganggap proses
komunikasi dimulai dari suatu tempat dan berakhir pada tempat lain bisa
menimbulkan salah pengertian, komunikasi itu benar-benar tidak ada ujungnya.
Kita hanyalah pusat pengatur kecil yang menangani dan mengatur rute sejumlah
besar alur informasi yang tak berujung.”

9
Schramm menggambarkan komunikasi sebagai proses sirkuler. Untuk
pertamanya mereka menggambarkan dua titik pelaku komunikasi yang melakukan
fungsi encoder, interpreter, decoder. Dalam proses sikuler ini setiap pelaku
komunikasi bertindak sebagai encoder dan decoder. Ia meng-encode pesan kita
mengirim dan men-
decode pesan ketika menerimanya. Pesan yang diterima kembali dapat
disebut umpan balik, yang tetap ia beri nama massage. Umpan balik inilah yang
telah membuat model linear menjadi sirkuler.
Selain itu, unsur tambahan baru yang ia sebut interpreter (penerjemah)
berfungsi memaknai pesan yang berhasil di sandikan/disimbolkan dengan alat
kemudian dikembalikan dalam bentuk pesan berikutnya agar dapat dikirimkan.
Model Schramm ini menggambarkan suatu proses komunikasi yang dinamis.
Model ini juga cocok untuk kajian komunikasi dalam tataran antarpribadi, di
mana kedudukan komunikator dan dan komunikan relatif setara.

C. Model Komunikasi Partisipasi


D. Lawrence Kincaid dan Everett M. Rogers mendefenisikan Komunikasi
adalah suatu proses dimana dua orang atau lebih membentuk data, melakukan
pertukaran informasi dengan satu sama lainnya yang pada akhirnya akan sampai
pada saling pengertian yang mendalam. Lawrence dan Rogers mengembangkan
sebuah model komunikasi berdasarkan prinsip pemusatan yang dikembangkan
dari teori informasi dan teori sibernetik. Model ini muncul setelah melihat
berbagai kelemahan model komunikasi satu arah yang telah mendominasi
berbagai riset teknologi sebelumnya. Teori sibernetik melihat komunikasi sebagai
suatu sistem di mana semua unsur saling bermain dan mengatur dalam
memproduksi luaran. Keberhasilan teori ini telah ditunjukkan dalam merakit
berbagai macam teknologi canggih seperti computer, radar, dan peluru kendali
jelajah.
Komunikasi sebagai suatu proses yang memusat menuju ke arah
pengertian bersama, menurut Kincaid dapat dicapai meski kebersamaan
pengertian pada suatu

10
objek yang tidak pernah sempurna. Dalam proses komunikasi yang
memusat, setiap pelaku berusaha menafsirkan dan memahami informasi yang
diterimanya dengan sebaik-baiknya. Dengan kata lain, komunikasi adalah suatu
proses di mana dua orang atau lebih saling menukar informasi untuk mencapai
kebersamaan dalam situasi di mana mereka berkomunikasi.
Model komunikasi kontemporer, sebagai paradigma baru, yang
memberi tekanan pada khalayaknya dan bersifat dua arah (dialogis), interaktif
(saling memengaruhi) dan saling membagi yang mengarah pada saling pengertian
(mutual understanding). Sedangkan model komunikasi yang berdasar paradigma
lama, memberi tekanan pada sumber sebagai pelaku yang dominan, satu arah dan
berusaha memengaruhi khalayak dengan metode persuasi propaganda. Jelasnya,
dalam komunikasi yang multidimensional semua elemen berada dalam posisi
sama untuk dapat memengaruhi dan dipengaruhi.
Model komunikasi yang terlihat pada Gambar di atas mencerminkan sifat
memusat yang terjadi dari pertukaran informasi yang melingkar (cylical). Pada
Gambar tersebut dapat dilihat bahwa proses komunikasi ini dimulai dari “dan
kemudian…” yang mengingatkan kita bahwa sesuatu telah terjadi sebelum kita
mulai mengamati suatu kejadian.
Pelaku A mungkin saja mempertimbangkan kejadian ini, atau sebaliknya
sebelum ia melakukan komunikasi (11) dengan B. Informasi yang diciptakan dan
dikirim oleh A tadi, kemudian dipersepsi oleh B. Reaksi B terhadap informasi itu
dilanjutkan (12) sebagai informasi baru kepada A, lalu dikirim lagi (13) kepada B
dengan topik yang sama. B yang menerima informasi ini kemudian melanjutkan
(14) sampai keduanya mencapai kesamaan pengertian terhadap objek yang
dibicarakan itu.

D. Model Jarum Hipodermik


Istilah model jarum hipodermik dalam komunikasi massa diartikan sebagai
media massa yang dapat menimbulkan efek yang kuat, langsung, terarah,dan
segera. Efek yang segera dan langsung itu sejalan dengan pengertian “Stimulus-
Respon” yang mulai dikenal sejak penelitian dalam psikologi tahun 1930-an.

11
Model jarum suntik pada dasarnya adalah aliran satu tahap (one step flow), yaitu
media massa langsung kepada khalayak sebagai mass audiance. Model ini
mengasumsikan media massa secara langsung, cepat, dan mempunyai efek yang
amat kuat atas mass audience. Media massa ini sepadan dengan teori Stimulus-
Response (S-R) yang mekanistis dan sering digunakan pada penelitian psikologi
antara tahun 1930 dan 1940. Teori S-R mengajarkan, setiap stimulus akan
menghasilkan respons secara spontan dan otomatis seperti gerak refleks. Seperti
bila tangan kita terkena percikan api (S) maka secara spontan, otomatis dan
reflektif kita akan menyentakkan tangan kita (R) sebagai tanggapan yang berupa
gerakkan menghindar. Tanggapan di dalam contoh tersebut sangat mekanistis dan
otomatis, tanpa menunggu perintah dari otak. Teori peluru atau jarum hipodermik
mengansumsikan bahwa media memiliki kekuatan yang sangat perkasa dan
komunikan dianggap pasif atau tidak tahu apa-apa. Teori ini mengansumsikan
bahwa seorang komunikator dapat menembakkan peluru komunikasi yang begitu
ajaib kepada khalayak yang tidak berdaya (pasif).
Model Hypodermic Needle tidak melihat adanya variabel-variabel antara
yang bekerja diantara permulaan stimulus dan respon akhir yang diberikan oleh
mass audiance. Elihu Katz dalam bukunya, “The Diffusion of New Ideas and
Practices” menunjukkan aspek-aspek yang menarik dari model hypodermic
needle ini, yaitu:
1) Media massa memiliki kekuatan yang luar biasa, sanggup
menginjeksikan secara mendalam ide-ide ke dalam benak orang
yang tidak berdaya;
2) Mass audience dianggap seperti atom-atom yang terpisah satu sama
lain, tidak saling berhubungan dan hanya berhubungan dengan media
massa. Kalau individu-individu mass audience berpendapat sama
tentang suatu persoalan, hal ini bukan karena mereka berhubungan
atau berkomunikasi satu dengan yang lain, melainkan karena mereka
memperoleh pesan-pesan yang sama dari suatu media (Schramm,
1963).

12
Model jarum hipodermik cenderung sangat melebihkan peranan
komunikasi massa dengan media massanya. Para ilmuwan sosial mulai berminat
terhadap gejala-gejala tersebut dan berusaha memperoleh bukti-bukti yang valid
melalui penelitian-penelitian ilmiah. Teori Peluru yang dikemukakan Schramm
pada tahun 1950-an ini kemudian dicabut kembali tahun 1970-an, sebab khalayak
yang menjadi sasaran media massa itu tenyata tidak pasif. Pernyataan Schramm
ini didukung oleh Lazarsfeld dan Raymond Bauer.
Lazarfeld mengatakan bahwa jika khalayak diterpa peluru komunikasi,
mereka tidak jatuh terjerembab, karena kadang-kadang peluru itu tidak
menembus. Ada kalanya efek yang timbul berlainan dengan tujuan si penembak.
Sering kali pula sasaran senang untuk ditembak. Sedangkan Bauer menyatakan
bahwa khalayak sasaran tidak pasif. Mereka secara aktif mencari yang
diinginkannya dari media massa, mereka melakukan interpretasi sesuai dengan
kebutuhan mereka.
Sejak tahun 1960-an banyak penelitian yang dilakukan oleh para pakar
komunikasi yang ternyata tidak mendukung teori ini. Hasil dari serangkaian
penelitian itu menghasilkan suatu model lain tentang proses komunikasi massa,
sekaligus menumbangkan model jarum hipodermik.

E. Model Alir Satu Tahap (One Step Flow Model)


Bermula dari Model Hypodermic Needle Theory (Teori jarum hipodermik)
yang dikembangkan dimana pesan yang disampaikan melalui media massa
langsung ditujukan kepada komunikan tanpa melalui perantara, misalnya opinion
leader. (Ardianto dan Erdinaya, 2004:66). Pesan yang disampaikan secara satu
tahap ini tidak mencapai seluruh komunikan apalagi menimbulkan efek yang
sama pada setiap komunikan.
Model ini sudah banyak ditinggalkan oleh ilmuwan komunikasi.
Masalahnya, model alir satu tahap banyak kekurangannya dan sudah tidak sesuai
lagi dengan perkembangan media massa beserta dampak yang ditimbulkannya
saat ini. Model alir satu tahap banyak dipengaruhi media masssa era Perang Dunia
(PD) II yang mengatakan bahwa media massa itu sangat kuat mempengaruhi

13
benak audience. Sementara audience sendiri dianggap tidak punya kekuatan untuk
menghindar dari pesan-pesan media massa. (Nurudin, 2004:131).

F. Model Alir Dua Tahap (Two Step Flow Model)


Model ini diperkenalkan oleh Paul Lazarfeld, Bernard Barelson dan H
Gudet dalam People's Choice (1944). (Nurudin, 2004:132). Sebagai
penyempurnaan dari model alir satu tahap (one step flow model), model ini
menyatakan bahwa media massa memiliki peran yang minim dalam
mempengaruhi audience, dengan kata lain pengaruh yang dibawa oleh media
massa tidak bersifat langsung melainkan melalui pihak lain/perantara, dalam hal
ini disebut pemimpin opini/pemuka pendapat (opinion leader).
Di lingkungan pedesaan dengan tingkat pendidikan yang belum begitu
baik dan audience yang cenderung pasif dalam berinteraksi dengan media massa,
ada pihak lain/perantara yang mengambil peran sebagai pemimpin opini/pemuka
pendapat (opinion leader). Dalam lingkungan yang tradisional seperti ini,
seseorang yang mempunyai kedudukan, pendidikan dan wibawa yang tinggi akan
menjadi pemimpin opini yang bahkan lebih dipercaya daripada pesan-pesan media
massa. Akses langsung ke media massa diambil alih oleh opinion leader dan
diteruskan kepada pengikutnya (followers).
Pada masyarakat modern perkotaan yang telah memiliki akses yang
hampir tidak terbatas pada media massa, model komunikasi dua tahap (two step
flow model) ini dapat dilihat pada penggunaan hashtag (#) sebagai instrumen
pihak yang mencoba menjadi opinion leader pada media sosial semacam twitter
atau facebook untuk menggiring dan mengumpulkan topik bahasan audience-nya
agar mengupas tema/topik tertentu yang diinginkan pihak yang mencoba berlaku
sebagai opinion leader. Pada kasus ini dapat dilihat bahwa terpaan media massa
akan disaring oleh opinion leader melalui penggunaan hashtag (#). Ini
membuktikan bahwa audience tidak langsung menerima terpaan media massa
melainkan melalui perantara yang pada akhirnya menjadi penerus pesan-pesan
media massa yang dianggap memiliki efek terbatas. Bisa jadi pesan-pesan yang

14
diterima oleh audience sudah diinterpretasikan oleh para opinion leader sesuai
dengan kapasitas dan minat serta kepentingannya.
Ada 2 (dua) unsur yang menjadi kritikan Wilbur Schramm dan William Porter
(1982) pada model ini, yaitu :
1. Beberapa media massa memiliki kredibilitas tinggi dan kemudahan akses
bagi semua orang sehingga proses penerimaan pesan tidak memerlukan
perantara.
2. Konsep pihak lain yang berlaku sebagai perantara/pemuka pendapat
(opinion leader) perlu penelaahan lebih dalam lagi mengingat pihak yang
mengambil peran sebagai opinion leader umumnya mempunyai pendidikan
formal yang lebih tinggi/lebih baik, kesejahteraan serta status sosial yang
melebihi audience- nya dan lebih terbiasa dengan komunikasi massa.

G. Model Alir Banyak Tahap (Multistep Flow Model)


Pada model alir banyak tahap (multistep flow model), interaksi antara
pesan dan media massa serta perantara/pemuka pendapat (opinion leader) menjadi
dinamis dan tidak berlaku satu arah. Pesan bisa saja diterima secara langsung, bisa
juga tidak. Model ini mengatakan bahwa hubungan timbal balik dari media ke
khalayak (yang juga berinteraksi satu sama lain), kembali ke media, kemudian
kembali lagi ke khalayak dan seterusnya. (Nurudin, 2004:134).
Sedangkan Ardianto dan Erdinaya (2004:70) menyatakan bahwa bagi
lajunya komunikasi dari komunikator kepada komunikan terdapat sejumlah
saluran yang berganti-ganti. Artinya, beberapa komunikan menerima pesan
langsung dari komunikator melalui saluran media massa lalu menyebarkannya
kepada komunikan lainnya. Pesan terpindahkan beberapa kali dari sumbernya
melalui beberapa tahap.
Untuk mempengaruhi media secara efektif, Kathleen Hall Janieson dan
Karlyn Khors Campbell dalam The Interplay Influence (1988) pada Nurudin
(2004:136) menyatakan ada 4 (empat) cara utama, yaitu:
1. Menyampaikan keluhan individual (misalnya menulis surat pembaca atau
kepada pihak yang berwenang)

15
2. Mengorganisasikan tekanan masyarakat untuk memboikot stasiun pemancar
atau produk yang bersangkutan atau melakukan tindakan hukum
3. Mendesak pihak yang berwenang untuk mengambil tindakan tertentu
4. Mengadu ke DPRD atau DPR

H. Model Melvin De Fleur


Dalam buku Theories of Mass Communication (1982) pada Nurudin
(2004:138), Melvin De Fleur mengemukakan model komunikasi massa dimana
sumber dan pemancar tidak berada di satu posisi. Baginya, antara sumber dan
pemancar berbeda tahapannya dalam aktivitas komunikasi massa. Saluran menjadi
media massa yang mampu menyebarkan pesan-pesan yang dikemukakan sumber.
Sedangkan fungsi penerima pesan sebagai orang yang dikenai sasaran pesan yang
disebarkan dan penginterpretasi pesannya. Tujuan menguraikan pesan dan
memberi mereka interpretasi penerima. Ini sama dengan fungsi otak. Umpan balik
adalah respon dari tujuan kepada sumber.
Model ini menempatkan komunikasi massa dalam konteks lembaga-
lembaga lain, terutama lembaga politik dan ekonomi - yang langsung memberi
bentuk hubungan antara komunikator, pesan dan publik. Ardianto dan Erdinaya
(2004:78). Model ini memperlihatkan sistem media Amerika secara keseluruhan,
dan pertama kali diucapkan De Fleur pada tahun 1966. Versi yang sudah
disederhanakan dan disistematiskan untuk memberi penekanan pada elemen-
elemen terpenting yang dapat ditemukan pada hampir setiap sistem komunikasi
massa nasional. Perlu ditekankan bahwa model ini hanya menggambarkan versi
liberal atau pasar bebas dari sistem media massa, karena setiap variasi dalam
keseimbangan kekuatan politik dan ekonomi dalam masyrakat dapat berakibat
banyak pada struktur antarhubungan yang digambarkan.
Ardianto dan Erdinaya (2004:80) menyebutkan elemen utama pada model
ini adalah :
1. Khalayak, yang dibeda-bedakan menurut hipotesis distribusi selera atau
tingkat kecenderungan menjadi tinggi-menengah-rendah.

16
2. Agen-agen finansial dan komersial yang menyediakan model untuk produksi
media, membeli/menyewa ruang iklan dan memperoleh penghasilan sendiri
melalui kegiatan untuk melihat kecondongan selera publik, daya beli,
kebiasaan khalayak dan kepentingan-kepentingan pemasang iklan.
3. Produksi media dan organisasi-organisasi distribusi. Dalam hal ini
kebanyakan perusahaan swasta yang harus bekerja berdasarkan keuntungan
dalam sistem produksi massal.
4. Peraturan dan lembaga pengawasan, baik yang dilaksanakan oleh
pemerintah maupun swasta dengan berbagai macam tekanannya. Lembaga-
lembaga ini menerima masukan dan umpan balik dari publik, kadang-
kadang melalui sistem politik. Kegiatan mereka bisa langsung
mempengaruhi para produsen media, baik melalui undang-undang tentang
isi media atau lewat pengawasan teknis dan finansial yang dipublikasikan
dalam kepentingan publik. Elemen ini bertindak sebagai penyeimbang
kepentingan swasta komersial.

I. Model HUB (Hiebert, Ungrait, Bohn)


Model ini dikemukakan oleh Ray Eldon Hiebert, Donald F Ungrait dan
Thomas W. Bohn. Sedangkan HUB sendiri berarti Hiebert Ungrait Bohn. Nurudin
(2004:142). Model HUB adalah model lingkaran konsentris yang bergetar sebagai
sebuah rangkaian proses aksi-reaksi.
Skema model ini mirip dengan gelombang riak air dimana komunikator
berada di tengah-tengah pusaran air, menyebarkan pesan ke luar dibantu oleh
penguat media (media amplification) yang juga berarti perluasan (extension)
dengan tujuan agar pesan yang dikeluarkan dapat diterima dengan jelas dan
lengkap. Dengan demikian saluran komunikasi sekaligus berfungsi untuk
memperluas jangkauan pesan.
Media massa sebagai alat saluran komunikasi massa tidak bisa berdiri
sendiri. Ada banyak faktor yang ikut mempengaruhi proses peredaran pesan-
pesannya. Jika diperinci ada komunikator, kode, pentapis informasi, media massa

17
itu sendiri, pengatur, penyaring komunikan dan efek. Semua elemen ini
ikut membentuk pesan apa yang akan disiarkan/diedarkan. Nurudin (2004:144).
Umpan balik selalu ada dalam proses komunikasi dan sejalan dengan
penyebaran pesan yang kemudian akan memberikan peran baru bagi komunikan
untuk merencanakan pesan yang akan dikeluarkan lagi oleh komunikator.
Disamping itu juga terdapat gangguan (distortion dan noise) yang turut dalam
proses penyebaran pesan. Gangguan bisa berupa gangguan saluran atau gangguan
yang berhubungan dengan kesalahan komunikator dalam menyandi pesan.

J. Model Michael W Gamble dan Teri Kwal Gamble


Model ini menyatakan bahwa media massa dalam komunikasi massa
memperluas bahkan mempengaruhi jenis komunikasi yang lain. Media massa
modern digunakan sebagai salah satu unsur yang mempengaruhi model
komunikasi yang dijalankan dan gatekeeper juga bisa melakukan fungsi kontrol
bahkan penyensoran. Dari model ini bisa dikatakan bahwa berkualitas tidaknya
pesan-pesan yang disampaikan ke audience sangat tergantung pada peran
gatekeeper. Nurudin (2004:139).
Peralatan media massa menjadi alat utama yang harus ada dalam
komunikasi massa. Sumber pesan mengalirkan pesan yang diedit oleh pentapis
informasi kemudian disebarkan melalui peralatan media massa lalu diterima oleh
audience setelah sebelumnya dipengaruhi oleh gangguan-gangguan. Berikutnya
audience memberikan umpan balik pada pengirim pesan melalui berbagai macam
saluran.
Pada model ini, audience sebagai penerima pesan dapat berlaku sebagai
komunikator dan bertukar peran ketika ia merespon pesan yang diterimanya
kepada komunikator (pengelola media). Pertukaran peran ini (komunikator
menjadi komunikan dan sebaliknya) tergantung pada pihak yang lebih dahulu
mengedarkan pesannya. Model ini seolah mengatakan antara sumber dan
penerima pesan sama kedudukannya. Bahkan sulit dibedakan mana sumber dan
mana penerima pesan. Nurudin (2004:142).

18
K. Model Black dan Whitney
Jay Black dan Frederick C. Whitney dalam bukunya Introduction to Mass
Communication (1988) pada Nurudin (2004:145) membagi proses komunikasi
massa menjadi 4 (empat) wilayah, yakni sumber, pesan, umpan balik dan
audience dimana masing-masing mempunyai ciri satu sama lain yang berbeda dan
melekat pada komunikasi massa umumnya.
Model ini tidak memberikan peranan gatekeeper sebagai pentapis atau
palang pintu informasi. Berbeda dengan model yang lainnya, yang menekankan
adanya gatekeeper dalam proses komunikasi massa. Model ini memasukkan
seorang sumber yang dengan sengaja ingin mempengaruhi audience (sebagai
salah satu ciri komunikan dalam komunikasi) dan pesan yang berpeluang terhadap
adanya gangguan atau kegaduhan karena dilakukan memakai saluran media
massa, audience itu sendiri memiliki beragam minat dan kepentingan dalam
memanfaatkan pesan-pesan media massa dan umpan balik yang tertunda dan
multi efek karena pesan yang satu itu ditanggapi secara beragam sehingga akan
memunculkan efek yang berlainan. Nurudin (2004:147).

L. Model Bruce Westley dan Malcolm McLean


Tidak seperti model Black dan Whitney, model ini justru menekankan
peran gatekeeper dalam proses komunikasi massa. X menunjuk pada peristiwa
atau sumber informasi sedangkan A adalah komunikator dalam komunikasi massa
yang diperankan oleh seorang reporter sementara C adalah gatekeeper yang
diperankan oleh seorang editor yang menghapus, menekankan kembali, atau
menambahkan laporan yang ditulis reporter. lalu B adalah audience yang
membaca, mendengarkan atau melihat kejadian yang dilaporkan gatekeeper
setelah sebelumnya ditulis oleh reporter. Pembaca bisa jadi merespon kepada
editor (fBC) atau ke reporter (fBA). Editor juga bisa menyediakan umpan balik
kepada reporter (fCA). Nurudin (2004:148).
Peran gatekeeper selain dapat dilakukan oleh editor, dapat juga
dilaksanakan oleh reporter. Namun, model ini seolah-olah menempatkan kedua

19
posisi itu pada tempat yang berbeda, padahal keduanya adalah komunikator (wakil
dari lembaga media massa).

M. Model Maletzke
Dikemukakan pada tahun 1963 oleh seorang ilmuwan Jerman bernama
Maletzke, model ini dibuat berdasarkan elemen-elemen tradisional komunikasi,
yakni komunikator, pesan, media dan komunikan dengan tambahan tekanan atau
kendala diantara media dan komunikan. Ardianto dan Erdinaya (2004:76).
Di awal perkembangannya secara sederhana menggambarkan peta media
massa bawah tanah di Berlin. Model ini merupakan pengembangan dari model
umum komunikasi yang sering dinamakan Communicator, Medium, dan Receiver.
Pada Ardianto dan Erdinaya (2004), beberapa faktor atau variabel lain
dalam model ini dapat dianggap sebagai kausatif dan independen, yaitu:
1. Citra diri media : pandangan seseorang terhadap dirinya sendiri,
peranan, sikap, menciptakan sebuah disposisi dalam menerima pesan.
Penelitian-penelitian psikologi-sosial, misalnya, telah memperlihatkan
bahwa kita cenderung menolak informasi yang tidak sama dengan nilai-
nilai yang kita anut.
2. Struktur kepribadian komunikan : dinyatakan bahwa orang-orang yang
mempunyai harga diri rendah lebih mudah dibujuk.
3. Konteks sosial komunikan : faktor ini bisa berupa masyarakat
disekitarnya, komunitas di mana komunikan tinggal, kelompok yang
diikutinya atau juga orang-orang yang berhubungan dengannya.

N. Model Bryant dan Wallace


Model ini khas untuk mengamati model arus pesan dalam media radio dan
televisi. Gatekeeper tidak secara khusus dimasukkan dalam proses peredaran
pesan. Nurudin (2004:150).

20
O. Model Berlo
Diperkenalkan tahun 1960 oleh David K. Berlo dari hasil pengembangan
model linear Shannon dan Weaver (1949). Model ini mengikutsertakan
komunikasi verbal dan non verbal juga mempertimbangkan aspek emosional dari
suatu pesan. 4 (empat) elemen utama yang difokuskan pada model ini adalah :
Source (S) sebagai sumber pesan, Message (M) atau pesan yang dihantarkan,
Channel (C) sebagai saluran yang digunakan, dan Receiver (R) sebagai penerima
pesan.
Masing-masing elemen dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berbeda :
1. Source (S) adalah sumber pesan, juga biasa disebut pembicara atau pengirim
pesan.
 Kemampuan berkomunikasi (communication skills) kemampuan
pembicara untuk mengkomunikasikan pesan yang mengacu kepada
kemampuannya untuk berbicara, mendengar, membaca, menulis,
mendebat dan menanyakan/menjawab pertanyaan.

 Attitudes (Perilaku) - perlakuan pembicara kepada pendengar, pokok


permasalahan dan bahkan kepada dirinya sendiri.
 Pengetahuan (knowledge) - seberapa berpendidikan, akrab dan
seberapa banyak informasi yang dikuasai si pembicara.
 Sistem Sosial (social system) - latar belakang sosial yang mengacu
pada nilai, kepercayaan, agama, budaya dan tradisi dari masyarakat
tertentu yang mempengaruhi pemahaman umum.
 Budaya (culture).
2. Message (M) adalah ide, opini, emosi atau informasi yang disampaikan.
 Konten (content) - apa yang dikandung oleh pesan
 Elemen (elements) - Bahasa, bahasa tubuh, ekspresi wajah dan postur
yang digunakan.
 Perlakuan (treatment) - bagaimana pesan ditangani atau diperlakukan.

21
 Struktur (structure) - bagaimana pesan tersebut disusun. Source (S)
harus menyusun pesannya dalam format yang paling baik untuk
menghindari gangguan dan kesalahan komunikasi.
 Kode (code) - termasuk bahasa, gerak tubuh, bahasa tubuh dan
ekspresi yang digunakan. Penggunaan kode ini harus akurat untuk
menghindari distorsi atau kesalahan penerjemahan pesan.
3. Channel (C) adalah media yang digunakan untuk menhantarkan pesan.
 Hearing (pendengaran) - digunakan untuk aktivitas oral.
 Seeing (penglihatan) - digunakan untuk mengamati presentasi visual
 Touching (sentuhan) - digunakan untuk mengenali materi
 Smelling (penciuman) - digunakan untuk membedakan bermacam
aroma
 Tasting (rasa) - digunakan untuk mendiferensiasikan rasa.
4. Receiver (R) - pihak yang menerima, memahami,
menganalisis dan menerjemahkan pesan akan dipengaruhi oleh faktor
yang sama dengan Sender
(S) namun tentu saja dengan sudut pandang penerima.

P. Model McNelly
Biasanya mengacu pada surat kabar dimana beberapa komunikator tengah
(intermediaty) berperan sebagai gatekeeper yang berada di antara kejadian dan
pembaca dan seringkali mengubah bentuk dan sifat berita yang datang kepadanya.

22
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Secara garis besar model adalah alat yang digunakan untuk membantu
merumuskan suatu permasalahan atau teori. Begitu pula tentang model-model
komunikasi seperti yang sudah disebutkan pada paper ini.
Model-model komunikasi tersebut merupakan suatu teori dari para ahli
ilmu komunikasi tentang definisi suatu pengertian komunikasi. Model-model
tersebut membantu kita untuk lebih mengerti akan konsep dan definisi suatu
proses komunikasi.
Tiap-tiap model tidak dapat dikatakan salah, karena model-model tersebut
teranalisa dengan seksama oleh para ahli dan menjadi anutan bagi masyarakat.
Dengan segala kekurangan dan kelebihannya, kemungkinan segala teori ilmu
komunikasi masih akan terus berkembang seiring dengan berkembangnya
teknologi informasi dan gaya hidup manusia. Dan itu akan menjadi tantangan bagi
kita orang-orang yang berkecimpung dalam dunia komunikasi untuk selalu
memberikan hal-hal yang baik untuk kemajuan diri dan

23
DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, E., dan L. K. Erdinaya. (2004). Komunikasi Massa; Suatu Pengantar.


Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.
Cangara, Hafied. (2011). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta. PT. RajaGrafindo
Persada.
DeVito, Joseph A. (1997). Komunikasi Antarmanusia. Jakarta. Profesional Books.
McQuail, Denis and Windahl, Sven. (2013). Communication Models for the study
of mass communications - second edition. New York. Routledge.
Mulyana, Deddy. (2015). Ilmu Komunikasi; Suatu Pengantar (Edisi Revisi).
Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.
Nuruddin. (2004). Komunikasi Massa. Malang. Cespur.
Pasaribu, Farah Tania P. (2015). Komunikasi Massa (Makalah tidak
dipublikasikan). Medan. Universitas Sumatera Utara.
Riswandi, Ilmu Komunikasi,  Graha Ilmu, Yogyakarta, 2009.
Rosmawaty, Mengenal Ilmu Komunikasi, Widya Padjadjaran, Bandung, 2010.
Wiryanto, Pengantar Ilmu Komunikasi, Grasindo, Jakarta, 2004.
Wiryanto. (2004). Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta. Grasindo.

24

Anda mungkin juga menyukai