Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KUNJUNGAN

KESIAPAN KERJASAMA MITRA BPPT (PT LEN)


DALAM RANGKA PELAKSANAAN FLAGSHIP PRN FAST CHARGING 2020-2024

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi

SUB BAGIAN PERENCANAAN STRATEGIS


BIRO PERENCANAAN DAN KEUANGAN
BADAN PENGKAJIAN DAN PENERAPAN TEKNOLOGI
2019
LATAR BELAKANG

Pertumbuhan electric vehicle (eV) atau kendaraan listrik di Indonesia merupakan sebuah
kemajuan dalam industri otomotif dan ketenagalistrikan sebagai terobosan untuk
keberlangsungan lingkungan dan pengurangan emisi gas buang yang menyebabkan polusi
udara. Berdasarkan pengamatan dari AirVisual sebagai lembaga independen pengamat kualitas
udara dan polusi, Indonesia menduduki peringkat 11 sebagai Negara yang paling buruk
kualitasnya dengan nilai 42.01 berada di level tidak sehat untuk kategori sensitif dan Jakarta
sebagai kota dengan peringkat 18 untuk kualitas udara terburuk dengan nilai 155 berada di level
tidak sehat. Data yang dikeluarkan oleh PT PLN menyatakan bahwa penggunaan kendaraan
listrik per Juli 2019 mencapai 1140 unit dengan komposisi 1100 motor listrik dan 40 mobil listrik.
Dalam 5 tahun ke depan, Kemenperin memprediksi jumlah mobil listrik akan mencapai 400.000
unit dan jumlah motor listrik sebanyak 1.5 juta unit.
Berdasarkan jenis sumber tenaganya, kendaraan listrik dapat dibagi menjadi beberapa kategori,
yaitu:
1. Hybrid Electric Vehicle (HEV) atau kendaraan listrik hybrid yang tercatat sebagai
kendaraan ramah lingkungan dengan tenaga listrik yang mencapai sukses komersial
pertama di era modern. Pada dasarnya mobil ini merupakan mobil bermesin konvensional
yang diberi motor listrik sebagai sumber tenaga tambahan yang mengambil catudaya dari
baterai. Mobil Hybrid dapat disamakan dengan mobil konvensional dan tidak
membutuhkan charging station. Pengisian baterai dilakukan dari hasil kinerja mesin dan
pengereman (regenerative braking). Dari uji coba yang dilakukan oleh enam perguruan
tinggi, yaitu ITB, UI, UGM, Udayana, ITS, dan UNS dalam membandingkan antara mobil
konvensional, Hybrid Electric Vehicle (HEV) dan Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV)
yang didukung oleh Toyota Indonesia beberapa waktu silam menunjukkan bahwa rata-
rata mobil hybrid lebih irit dua kali lipat dari mobil konvensional. Untuk saat ini, mobil HEV
dianggap paling siap untuk kondisi Indonesia karena keberadaan mobil ini tidak
memerlukan infrastruktur tambahan berupa charging station.

2. Plug-in Hybrid Electric Vehicle (PHEV) yang pada dasarnya PHEV merupakan kendaraan
listrik yang dilengkapi dengan mesin bakar sebagai range extender. Dengan format kerja
demikian, maka penggunaan mesin bakar jauh lebih sedikit dibandingkan HEV. Terbukti
dari hasil pengujian enam perguruan tinggi di Indonesia, PHEV jauh mengungguli
kemampuan HEV dalam hal keiritan bahan bakar fosil. Bahkan lebih dari dua kali
kemampuan HEV. PHEV memang mendapatkan asupan tambahan dari motor bakar
ataupun dari regenerating brake, namun pola pengisian tersebut tidak akan optimal
mengisi baterai hingga kondisi benar-benar penuh.

3. Battery Electric Vehicle (BEV) yang hanya mengandalkan baterai sebagai sumber daya
utama kendaraan sehingga sangat bergantung dengan adanya keberadaan infrastruktur
pengisian listrik atau charging station EV yang murni hanya mengandalkan daya dari
baterai saja dan hal tersebut sekaligus menjadi permasalah terbesarnya. Pengguna EV
harus memperhitungkan dengan cermat kapasitas baterai yang dimilikinya sekaligus
memiliki perencanaan yang lebih pasti di mana ia harus mengisi daya listrik baterai
mobilnya. Keunggulan dari BEV adalah lebih hemat secara ekonomis karena tidak

2
membutuhkan perawatan seperti yang terjadi pada mesin bakar seperti ganti oli mesin,
transmisi dan sebagainya. Sedangkan untuk motor listrik bisa dikatakan free
maintenance.

4. Fuel Cell Electric Vehicle (FCEV) walaupun sama-sama menggunakan listrik sebagai
makanan utamanya, namun Fuel Cell Electric Vehicle (FCEV) memiliki prinsip yang
berbeda. Kendaraan ini bisa menghasilkan listrik sendiri yang diproduksi di unit fuel
cellnya. Listrik hasil dari kinerja fuel cell ini kemudian dipergunakan untuk menggerakkan
motor listrik. Di atas kertas efisiensi FCEV 80% lebih baik dibandingkan mobil mesin
konvensional dan hanya memiliki ‘emisi’ berupa uap air atau berbentuk air. FCEV
memerlukan stasiun pengisian bahan bakar hydrogen. Fasilitas ini merupakan
infrastruktur modern yang relatif rumit dalam pengoperasiannya. Sedangkan untuk
melakukan penyimpanan bahan bakar harus dilakukan dengan menggunakan tabung
bertekanan tinggi yang memiliki resiko meledak baik itu di stasiun pengisian maupun pada
mobil fuel cell EV.
Dari jenis-jenis kendaraan listrik di atas, jenis PHEV dan BEV membutuhkan keberadaan
infrastruktur charging station atau stasiun pengisian listrik yang kini tengah dikembangkan oleh
berbagai pihak. Waktu pengisian baterai merupakan spesifikasi utama yang ditekankan dalam
merancang sebuah stasiun pengisian listrik. Gambar 1 menunjukan hubungan antara waktu
pengisian baterai dengan arus pengisian dan state of charge (SoC) baterai yang merupakan
prinsip dasar dari fast charging.

Gambar 1. Grafik waktu pengisian baterai Vs arus pengisian dan SoC baterai

Pada grafik di atas, digambarkan bahwa ketika state of charge (SoC) baterai berada pada di titik
0%, tegangan baterai berada pada posisi yang cukup rendah, yaitu 2 V dan arus masuk ke dalam
baterai mempunyai besaran yang sama dengan arus keluaran dari charging station. Hal ini terus
berlanjut hingga SoC baterai menyentuh 80% dalam kurun waktu 45 menit dan dalam kurun
waktu tersebut, tegangan baterai secara perlahan meningkat dari smeula 2 V menjadi 4.2 V.
Ketika SoC sudah mencapai 80%, tegangan pada baterai akan konstan pada 4.2 V dan arus
masuk ke baterai akan berkurang secara eksponansial seiring meningkatnya SoC baterai. Hal ini
terjadi untuk melindungi baterai dari kelebihan daya atau overcharge yang akan sangat

3
mempengaruhi kesehatan baterai dan menurunkan state of health baterai yang berujung pada
kerusakan baterai.
Tahap selanjutnya adalah float charging dimana sumber daya, baterai, dan beban bekerja secara
parallel. Float voltage merupakan fase dimana baterai telah mencapai SoC nominal dan berfungsi
untuk mengisi baterai ketika baterai terjadi self discharge atau pelepasan sendiri. Pada tahap ini,
arus listrik yang masuk ke dalam baterai sudah berkurang jauh dibandingkan dengan saat SoC
berada di bawah 80% dan pada akhirnya akan bernilai mendekati 0 A bila baterai sudah terisi
penuh. Waktu pengisian baterai pada tahap ini menjadi lebih lambat karena arus yang masuk
jauh lebih kecil. Apabila dilihat secara utuh, maka fast charging terjadi ketika SoC baterai berada
di bawah 80%.
Infrastruktur stasiun pengisian listrik atau charging station merupakan sebuah infrastruktur
penunjang yang dibangun agar baterai pada kendaraan listrik dapat mengisi kembali dayanya.
Secara teknis, charging station dibagi menjadi 2 jenis, yaitu AC dan DC. Perbedaan di antara
keduanya adalah arus bolak-balik yang dibangkitkan oleh PT PLN sebagai penyedia tenaga listrik
akan disearahkan di dalam kendaraan kendaraan listrik sebelum dicatu ke baterai. Hal ini
memungkinkan karena di dalam EV terdapat main board yang berfungsi untuk menyearahkan
arus listrik, namun karena keterbatasan dimensi mekanis, maka kemampuan main board dalam
menyearahkan arus listrik terbatas.
Sedangkan pada charging station DC, arus bolak-balik akan disearahkan terlebih dahulu di
charging station sebelum kemudian dialirkan menuju ke kendaraan listrik. Pada infrastruktur ini,
potensi fast charging dengan durasi pengisian baterai kendaraan listrik akan lebih baik karena
arus yang masuk sudah disearahkan terlebih dahulu di dalam charging station.
Dalam kerja charging station, ketika port dari charging station dikoneksikan dengan port milik
kendaran listrik, maka akan terjadi peristiwa handshake, dimana charging station akan membaca
informasi baterai yang dimiliki kendaraan listrik melalui battery management system. Hal ini
bertujuan untuk mengetahui jenis baterai yang digunakan, kondisi SoC baterai, dan informasi
laiinya yang bertujuan untuk mengoptimalkan proses pengisian daya baterai serta melindungi
baterai dari kondisi overcharge dan kondisi kelebihan arus ketika mengisi baterai agar kesehatan
baterai atau state of health (SoH) terjaga.
Dewasa ini, masing-masing Negara dan perusahaan yang menyediakan infrastruktur stasiun
pengisian listrik berlomba-lomba untuk membuat stasiun yang paling cepat. Berdasarkan
pengamatan dan studi literature, charging station yang berada di fasilitas umum seperti bandara
di Indonesia mampu mengisi baterai mobil listrik dari SoC 50% dalam 2-3 jam. Milik BPPT yang
terpasang di gedung II BPPT Thamrin mampu mengisi dari SoC yang sama dalam kurun waktu
1.5 Jam. Sedangkan milik Tesla, perusahaan mobil listrik besutan Elon Musk, dapat mengisi
baterai dalam 30 menit. Hal ini mendorong perlunya peningkatan waktu pengisian daya serta
peningkatan TKDN untuk stasiun pengisian listrik dalam negeri.
Selain itu, jumlah pembangunan stasiun pengisian listrik juga akan menjadi suatu kebutuhan
dalam waktu dekat dikarenakan prediksi kepemilikan kendaraan listrik yang akan meningkat
dalam 5 tahun ke depan serta persebaran kepemilikan di seluruh nusantara juga menjadi
persoalan tambahan. PT PLN telah memprediksi dan merencanakan pembangunan infrastruktur
stasiun pengisian listrik di Indonesia pada gambar 2 dan gambar 3.

4
Gambar 2. Rencana PLN dalam membangun Stasiun Pengisian Listrik

Gambar 3. Grafik Charging Station Vs EV

Dengan target jumlah pembangunan charging station yang besar, maka penelitian dan
pengembangan charging station akan menjadi sangat strategis dalam ketahanan energi nasional
karena infrastruktur tersebut akan menjadi infrastuktur yang dibutuhkan layaknya SPBU pada
saat ini. Penguasaan Teknologi dan pembangunan infrastrutur yang mempunyai TKDN tinggi
menjadi suatu keharusan dalam menyongsong era kendaraan listrik.
BPPT sebagai lembaga kaji terap berupaya untuk memberikan solusi dalam menghadapi
masifnya pembangunan charging station dengan meningkatkan kemampuan dan keandalan
infrastruktur stasiun pengisian listrik sesuai dengan standar IEC 61581 sebagai standar
internasional yang mengatur sistem infrastruktur stasiun pengisian listrik untuk kendaraan listrik.

5
BPPT bekerja sama dengan PT LEN dalam mengembangkan fast charging station dan akan
menghasilkan 2 keluaran selama 5 tahun, yaitu fast charging dan smart charging station dengan
EBT (Energi Baru Terbarukan). Berdasarkan data yang diperoleh dari unit teknis, dalam 5 tahun
waktu penelitan dan pengembangan fast charging station, direncanakan sebagai berikut:
Fast Charging Station

• Tahun 2020: Desain dan prototype Pengembangan teknologi fast Charging station EV
50 kW sesuai Standar IEC 61851.
• Tahun 2021: Desain dan prototype Pengembangan teknologi fast Charging station EV
50 kW sesuai Standar IEC 61851.
• Tahun 2022: Alih teknologi fast Charging EV
• Tahun 2023: Uji coba unjuk kerja dan safety prototype teknologi fast Charging EV
• Tahun 2024: Difusi Teknologi fast Charging EV
Smart Charging Station dengan EBT

• Tahun 2020: Desain dan prototype charging station yang memanfaatkan EBT yang
sinkron dengan PLN (Grid) sesuai dengan Standar SNI
• Tahun 2021: Uji unjuk kerja dan keandalan charging station yang memanfaatkan EBT
yang sinkron dengan PLN (Grid) sesuai dengan standar SNI
• Tahun 2022: Alih teknologi charging station yang memanfaatkan EBT yang sinkron
dengan PLN (Grid) sesuai dengan standar SNI
• Tahun 2023: Difusi teknologi charging station yang memanfaatkan EBT yang sinkron
dengan PLN (Grid) sesuai dengan standar SNI
• Tahun 2024: Difusi teknologi charging station yang memanfaatkan EBT yang sinkron
dengan PLN (Grid) sesuai dengan standar SNI
Dalam mempersiapkan keberhasilan pelaksanaan flagship PRN fast Charging tersebut, maka
sub bagian perencanaan strategis Biro Perencanaan dan Keuangan melakukan kunjungan ke
Kantor PT LEN di Bandung. Hal ini dilaksanakan untuk melakukan konfirmasi dan validasi serta
identifikasi prospek pengembangan fast charging. Hal itu dilakukan dalam rangka konfirmasi,
validasi, serta identifikasi prospek pengembangan fast charging dari sudut pandang industri,
melihat peran mitra, serta berbagai informasi yang dibutuhkan dalam upaya menunjang
keberhasilan pelaksanaan flagship tersebut.

TUJUAN DAN SASARAN

Tujuan
Tujuan Pelaksanaan kegiatan kunjungan ke PT LEN adalah:

• Melakukan validasi dan konfirmasi kesesuaian peta jejak Fast Charging yang disusun oleh
BPPT dengan rencana jangka panjang milik PT LEN
• Mengidentifikasi prospek pengembangan Fast Charging
• Mengetahui teknologi kunci dalam pengembangan Fast Charging

6
Sasaran
Adapun yang menjadi sasaran kegiatan kunjungan ini yaitu:

• Didapatkannya informasi yang tepat, akurat, dan terintegrasi terkait kerjasama yang
dilakukan oleh BPPT dan PT LEN dalam rangka pelaksanaan flagship Fast Charging
2020-2024
• Dihasilkannya kesimpulan dan saran terkait perencanaan flagship Fast Charging 2020-
2024

METODOLOGI

Metodologi yang digunakan dalam penulisan laporan ini yakni dengan pengumpulan data primer
yang dilaksanakan langsung ke lapangan dengan metode wawancara terhadap narasumber yang
kompeten, dalam hal ini Direktur Operasi II PT LEN beserta jajarannya.

WAKTU PELAKSANAAN

Kegiatan Perjalanan Dinas dalam rangka kunjungan ke PT LEN dilaksanakan selama 3 (tiga)
hari, sejak tanggal 11 Desember 2019 sampai 13 Desember 2019 dengan perincian sebagai
berikut :

• 11 Desember 2019 : Persiapan koordinasi dengan PT Len dan persiapan internal terkait
bahan paparan di SubBag Renstra
• 12 Desember 2019 : Kunjungan ke PT LEN, rapat dengan Direktur Operasi II beserta
jajarannya pada pukul 14.30 WIB – 16.00 WIB
• 13 Desember 2019 : Penyusunan laporan kegiatan dan kembali ke Jakarta

PARTISIPAN RAPAT PADA KUNJUNGAN KE PT LEN

1. Direktur Operasi II PT LEN


2. Kepala Divisi Pengembangan Bisnis & Teknologi
3. Kepala Bagian Produk Energi & Traksi
4. Kepala Bagian Pengembangan Bisnis & Investasi
5. Kepala Bagian Produk Hankam & TIKN
6. Tim SubBag Renstra Biro Perencanaan dan Keuangan BPPT yang terdiri dari:
a. Dr. Lenggogeni, SE. Ak
b. Ir. Noor Asfa Fuad, MT
c. Drs. Kusyadi Wuryanto, MM
d. Wahyu Purnomosidi, ST., MT
e. Drs. Sunyata, MM
f. Faudyarsa Fitra Wiratama, ST

7
HASIL KUNJUNGAN

Rapat tatap muka antara PT LEN dengan SubBag Renstra terkait konfirmasi dan validasi fast
charging menghasilkan beberapa hal, pertama adalah mengetahui bahwa presiden melalui
perpres nomor 55 tahun 2019 tentang percepatan program kendaraan bermotor listrik berbasis
baterai (battery electric vehicle) untuk transportasi jalan telah menugaskan PLN untuk
mengembangkan kendaraan berbasis listrik beserta pendukungnya, salah satunya adalah
infrastruktur pengisian listrik yang tertuang pada bab IV pasal 22-27. PLN, BPPT, dan PT LEN
telah melakukan MoU pada 16 Oktober 2019 untuk pembangunan infrastruktur pengisian listrik,
namun hal ini belum menjadi perjanjian yang mengikat PLN untuk menggunakan hasil produksi
charging station BPPT dan PT LEN. PLN sebagai pemilik tender masih memungkinkan
mengundang investor lain untuk membuat charging station bila tarif tenaga listrik (TTL) dan
teknologi yang pihak lain tawarkan lebih baik dibandingkan dengan hasil produksi BPPT dan PT
LEN. Sebagai industri, PT LEN juga telah mempersiapkan diri untuk berkompetisi secara
teknologi dan pasar untuk bersaing dengan pihak lain dalam persiapan pembangunan charging
station. Perlu adanya kebijakan dan regulasi yang mengatur agar PLN menggunakan charging
station produksi BPPT dan PT LEN.
Model bisnis untuk pembangunan charging station sampai laporan ini ditulis belum disusun,
sehingga penentuan tarif tenaga listrik yang akan digunakan oleh charging station produksi BPPT
dan PT LEN belum ada. Hal ini perlu mendapat perhatian, terutama pada penentuan tarif tenaga
listrik (TTL) yang merupakan faktor kunci bagi PLN dalam menentukan charging station pihak
mana yang akan digunakan.
Bila ditarik ke belakang, sejarah mobil listrik dan perangkatnya yang telah dikerjakan oleh PT
LEN, maka pada tahun 2012 PT LEN telah bekerja sama dengan perguruan tinggi yakni ITB
untuk mengembangkan inverter 75 kW dan yang terbaru sedang mengembangkan inverter 120
kW untuk bus listrik ukuran medium yang kini telah mencapai pada tahap prototype atau jika
diukur dengan TRL, maka sudah mencapai TRL 6. Selain itu, PT LEN juga bekerja sama dengan
industri yaitu PT PINDAD untuk pengembangan motor listrik untuk KBL dan PT PPD
(Pengangkutan Penumpang Djakarta) untuk pengembangan fast charging station yang dalam
durasi waktu 3 tahun dicanangkan akan memasuki proses industrialisasi.
Pembicaraan kerja sama antara PT LEN dengan BPPT yang diwakili oleh Balai Besar Teknologi
dan Konversi Energi (B2TKE) telah dimulai sejak awal tahun 2019 yang meliputi transfer of
technology untuk charging station DC berjumlah 2 buah dan 1 buah charging station AC.
Pembicaraan juga sudah mencapai tahap perencanaan peresmian charging station pada tahun
2023 dan persiapan MoU serta terkait dengan TKDN, nomenklatur, serta sistem yang digunakan
oleh charging station tersebut. PT LEN mengharapkan produk yang dikeluarkan oleh BPPT
nantinya sudah matang dan siap diproduksi oleh industri.
Fast charging station yang kini terpasang di BPPT Thamrin dan di PT LEN Bandung (yang akan
diresmikan pada 23 Desember 2019) merupakan hasil kerja sama antara BPPT dengan PT LEN
yang melibatkan instalator swasta, HS Power. HS Power berperan sebagai instalator dan juga
pengembangan monitoring system pada infrastruktur tersebut. Kemampuan charging station di
BPPT Thamrin adalah senilai 50 kW dengan waktu pengisian baterai mobil listrik dari SoC 0% ke
80% adalah selama 30 menit dan dari 80% ke 100% juga ditempuh dalam durasi waktu yang
sama, 30 menit. Hal yang perlu diperhatikan dari infrastruktur pengisian listrik ini adalah nilai

8
TKDN-nya yang sangat kecil karena seluruh produk merupakan hasil impor yang dilakukan oleh
HS Power.
Dalam pengembangan pembangunan infrastuktur pengisian listrik tahun 2020-2024, PT LEN
mencanangkan kemampuan teknologi yang sama dengan charging station existing yang telah
terpasang di BPPT Thamrin dan PT LEN Bandung namun dengan TKDN yang direncanakan
mencapai 30%. Pada gambar 4 dan gambar 5 merupakan rencana PT LEN dalam
mengembangkan infrastruktur pengisian listrik dengan TKDN 30%.

(a) (b)

(c) (d)
Gambar 4 (a) Infografis utuh pembangunan charging station; (b) Pengembangan fase 1; (C) pengembangan fase 2; (d)
pengembangan fase 3

Gambar 5 Fase pengembangan charging station selama 3 tahun oleh PT LEN

9
Gambar 4(a) menunjukan breakdown component dari charging station yang kemudian dilanjutkan
oleh gambar 4(b) menunjukan fase 1 PT LEN akan menggunakan komponen internal
(elektronika) impor secara utuh, namun bagian rangka, piranti lunak billing and monitoring
system, dan integrasi akan dilaksanakan oleh PT LEN sehingga pada tahap 1, TKDN masih
bernilai kecil.
Pada gambar 4 (c), PT LEN mulai melaksanakan pembuatan main controller dan display dari
charging station dengan tetap mempertahankan bagian-bagian yang telah dibuat sendiri pada
fase 1. Bila mengacu pada gambar 4(a), maka pertumbuhan TKDN yang terjadi adalah sebesar
20% (15% main controller ditambah 5% display).
AC-DC Converter yang bernilai 30% dari keseluruhan charging station pada fase 3 akan
dimanufaktur oleh PT LEN dengan tetap mempertahankan capaian TKDN bagian lain sampai
fase 2. Sehingga nilai TKDN charging station yang direncanakan oleh PT LEN apabila
menghitung per bagian adalah mencapai 80%.
Berdasarkan gambar 5, fase 1-3 merupakan fase sekuensial dimulai dari akhir tahun 2019 untuk
fase 1, awal 2020 untuk fase 2, dan fase 3 dimulai pada awal 2021. Sehingga dicanangkan tahun
2022, sudah tercapai charging station dengan nilai TKDN 30% dan 2024 sudah mampu
dimanfaatkan oleh industri, yakni PLN.
Hal yang menjadi permasalahan adalah menghitung TKDN, bila menggunakan Permen
Kemenperin nomor 16 tahun 2011 tentang ketentuan dan tata cara perhitungan tingkat komponen
dalam negeri, maka nilai 30% tidak akan tercapai. Namun, PT LEN kini tengah memperjuangkan
agar produk charging station dapat dimasukan ke dalam kategori di Permen Kemenperin nomor
68 tahun 2015 tentang ketentuan dan tata cara perhitungan tingkat komponen dalam negeri
produk elektronika dan telematika. Dalam Permen tersebut, desain dan hasil litbang dapat
diperhitungkan sebagai nilai tambah TKDN, sehingga dapat menambah nilai TKDN charging
station sesuai dengan rencana di awal.
Akan tetapi, produk yang diakui nilai TKDN-nya oleh Permen nomor 68 tahun 2015 hanyalah
yang sudah terdaftar pada lampiran permen tersebut dan charging station bukanlah produk yang
terdaftar dalam lampiran sehingga PT LEN harus memperjuangkan agar charging station produk
mereka dapat didaftarkan dan diakui nilai TKDN-nya.
Hal yang mendapat perhatian adalah bahan baku komponen yang digunakan oleh PT LEN dalam
membangun infrastuktur pengisian listrik bukan berasal dari dalam negeri. Bahkan, sebagian
komponen seperti resistor dan kapasitor untuk elektronika masih berupa barang impor. Tidak
adanya industri hulu yang mampu mengolah bahan baku dan menjadikannya komponen menjadi
permasalahan ketika menghitung TKDN. Sehingga, peran dari PT LEN pada saat ini adalah
sebagai integrator komponen-komponen menjadi sebuah produk utuh.
Unit teknis dalam hal ini B2TKE disarankan memikirkan ulang jumlah TKDN yang akan dikandung
dalam charging station yang akan diproduksi oleh PT LEN karena berisiko tidak tercapai bila
upaya PT LEN menghitung TKDN menggunakan Permen Kemenperin nomor 68 tahun 2015 tidak
berhasil. Selain itu, banyak komponen-komponen yang digunakan merupakan hasil impor seperti
yang telah dinyatakan pada paragraf sebelumnya.

10
Salah satu keluaran dari flagship fast charging BPPT adalah Smart Charging Station dengan
EBTmenurut PT LEN saat ini tidak diperlukan terlebih dahulu dan hendaknya BPPT fokus pada
pengembangan fast charging station yang lebih membutuhkan perhatian. Hal ini dikarenakan,
penggunaan EBT dalam hal ini adalah sel surya atau photovoltaic (PV) 50 kW dinilai tidak
memberikan dampak yang terlalu signifikan. Walakin, PT LEN mempunyai rencana untuk
menggunakan PV sebagai salah satu sumber daya charging station di infrastruktur pengisian
listrik mereka yang berlokasi di halaman parkir PT LEN Bandung menggunakan sel surya yang
terpasang di Gedung C.
Sebagai penutup, PT LEN menyatakan bahwa charging station yang akan diproduksi sudah layak
secara teknis. Namun, perlu adanya dukungan kebijakan dan regulasi untuk membantu produk
charger station dapat berkelanjutan secara ekonomis dan bersaing di pasaran serta dimanfaatkan
oleh pengguna, baik industri maupun masyarakat umum. Bila hal ini tercapai, maka dampak atau
impact L0 yang direncanakan di awal akan tercapai.

11
DOKUMENTASI KEGIATAN

12
13
14
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
1. PT LEN meyakini bahwa charging station yang akan diproduksi hasil kerja sama antara
BPPT dengan PT LEN siap secara teknologi namun membutuhkan dorongan dari segi
regulasi dan kebijakan agar infrastruktur yang dibangun dapat berkelanjutan secara
ekonomis dan mampu bersaing di pasar serta memberikan manfaat bagi Industri dan
masyarakat luas.
2. Karena masih banyaknya teknologi hulu yang belum dikuasai oleh industri seperti
pengolahan bahan baku menjadi komponen elektronika menjadi salah satu faktor utama
rendahnya TKDN. Perhitungan TKDN menggunakan Permen Kemenperin nomor 68
tahun 2015 menjadi sebuah upaya agar usaha PT LEN dalam mendesain charging station
diakui sebagai salah satu nilai TKDN yang bernilai lebih besar untuk barang elektronika.
3. Output berupa Smart Charging Station dengan EBT hendaknya ditangguhkan dulu
sampai charging station mencapai impact. Namun, perlu melihat potensi ke depan karena
tidak menutup kemungkinan PT LEN akan menggunakan EBT sebagai hybrid dengan grid
PLN.
4. Adanya ketidakpastian penggunaan charging station produksi PT LEN dan BPPT oleh
PLN, dikhawatirkan tidak tercapai impact L0 yang telah direncanakan di awal.

Saran
1. BPPT dan PT LEN perlu membuat business model dan menentukan tarif tenaga listrik
(TTL) sebagai pertimbangan bagi PLN untuk menggunakan charging station produksi PT
LEN dan BPPT. Selain itu, perlu adanya pembicaraan pada leve latas untuk
mengeluarkan kebijakan dan regulasi terkait penggunaan charging station agar dapat
infrastruktur dapat berkelanjutan secara teknologi dan ekonomi.
2. BPPT perlu berjuang bersama dengan PT LEN untuk memasukan charging station
sebagai salah satu kategori yang masuk dalam Permen Kemenperin nomor 68 tahun 2015
untuk meningkatkan perhitungan TKDN dalam charging station
3. B2TKE perlu memfokuskan pengembangan pada charging station dalam flagship ini,
karena beberapa aspek teknis dan non-teknis seperti yang tertuang pada poin nomor 1
dan 4 harus segera dibicarakan lebih jauh.
4. Perlu segera meyakinkan dan membuat perjanjian dengan PLN agar charging station
yang telah diproduksi digunakan oleh PLN. Selain itu, perlu pengawalan baik dari
pimpinan maupun unit pendukung agar flagship ini dapat berjalan dengan baik dan
mencapai target impact L0 yang telah ditetapkan.

15

Anda mungkin juga menyukai