Anda di halaman 1dari 27

PENERAPAN ASAS ASERSI DALAM PELAKSANAAN AUDIT YANG DILAKUKAN OLEH

BADAN PEMERIKSA KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA DALAM MENGHITUNG


KERUGIAN NEGARA
PAPER
Diajukan untuk memenuhi nilai Mata Kuliah Teori Hukum
Disusun Oleh :
Nama Lengkap : MUHAMMAD HAIKAL YUSHENDRI, S.H.
NPM : 110120200523
Program Studi : Magister – Hukum Bisnis

Dosen :
Prof. Dr. I GDE PANTJA ASTAWA, S.H., M.H.
Dr. SUPRABA SEKARWATI, S.H., CN.

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS PADJADJARAN
KOTA BANDUNG
TAHUN 2021
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Negara sebagai badan hukum publik, memiliki tujuan yang wajib diembannya
sebagaimana yang tercantum dalam alinea keempat Pembukaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tujuan itu untuk melindungi
segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial. Tujuan negara tersebut tidak dapat terlaksana bila tidak ditopang dengan
keuangan negara sebagai sumber pembiayaannya. Dengan demikian, keuangan
negara sangat memegang peranan penting untuk mewujudkan tugas negara yang
merupakan tanggung jawab pemerintah.1

Keuangan negara merupakan salah satu unsur pokok dalam penyelenggaraan


pemerintahan negara dan mempunyai manfaat yang sangat penting guna
mewujudkan tujuan negara untuk mencapai masyarakat yang adil, makmur dan
sejahtera sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UndangUndang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk mencapai tujuan negara tersebut,
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang baik sangat diperlukan
untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Sehingga memerlukan suatu
lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri, dan profesional untuk menciptakan
pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. 2

Amandemen UUD Negara RI 1945 menghasilkan penataan ulang sistem


pemerintahan negara RI. Hal tersebut berpengaruh terhadap kewenangan rezim
hukum keuangan negara sehubungan dengan perubahan format kelembagaan dan
hubungan kewenangan dalam sistem organisasi pemerintahan. Terdapat keinginan
yang kuat untuk mengatur sistem pertanggungjawaban secara lebih jelas mengenai
keuangan negara. Hal itu menyangkut penataan di tingkat lembaga tinggi negara
dengan menempatkan posisi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagai lembaga

1
M. Djafar Saidi dan Eka M Djafar, Hukum Keuangan Negara dan Praktik, Cetakan Kelima, Rajagrafindo,
Jakarta, 2017, hal. 9
2
Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan
tinggi negara dengan kewenangan fiscal controlling yang kedudukannya sejajar
dengan lembaga tinggi negara lain.3

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) adalah suatu lembaga yang dibentuk yang bebas
dan mandiri berkedudukan di ibukota negara dan memiliki perwakilan di setiap
provinsi. Badan Pemeriksa Keuangan, sebagai badan pemeriksa keuangan eksternal
terhadap pengelolaan keuangan negara. Pemeriksaan atas laporan keuangan oleh
BPK dilakukan dalam rangka memberikan pendapat atas kewajaran informasi
keuangan yang disajikan dalam laporan keuangan. BPK adalah satu-satunya
pemeriksa keuangan ekternal di Indonesia yang mempunyai kewenangan besar
memberikan opini terhadap laporan pengelolaan dan pertanggungjawaban
keuangan Negara.

Pemeriksaan BPK mencakup pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan


pemeriksaan dengan tujuan tertentu, sesuai dengan standar pemeriksaan keuangan
negara atau daerah yang hasil pemeriksaannya diserahkan kepada DPR, DPD dan
DPRD sesuai dengan kewenangannya untuk ditindak lanjuti. BPK berwewenang
menilai dan atau menetapkan jumlah kerugian negara yang diakibatkan oleh
perbuatan melawan hukum baik sengaja maupun lalai yang dilakukan oleh
bendahara, pengelola keuangan negara, lembaga atau badan yang
menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara. Pemeriksaan terhadap
pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara ini bertujuan untuk penegakan
hukum atas penyimpangan terhadap keuangan negara. Walaupun kenyataannya
banyak penyimpangan terhadap keuangan negara yang mengakibatkan kerugian
negara. Faktor penyebabnya disebabkan karena penyalahgunaan keuangan negara
baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Keadaan ini tidak terlepas
dari dampak adanya nepotisme dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.
Kurangnya keterbukaan baik dari pejabat pengelolaan keuangan negara, maupun
keterbukaan dalam penggunaan keuangan negara.

Untuk memberantas KKN, selayaknya pemerintah menindaklanjuti temuan-temuan


hasil pemeriksaannya BPK. BPK yang merupakan satu-satunya lembaga yang
bertugas memeriksa keuangan negara, terus mengupayakan kinerja yang optimal
secara sistematis untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Peran strategis BPK

3
W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, Grasindo, Jakarta, 2006, hal. 15
sebagai lembaga yang berfungsi melindungi keuangan negara, apabila belakangan
ini beberapa pejabat koruptor di pemerintah sudah mulai terkuak setelah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bekerjasama dengan BPK perlahan mulai
mendeteksi pejabat yang melakukan tindak pidana korupsi. Demi menciptakan
masyarakatdengan moralitas anti terhadap korupsi lambat laun akan terwujudkan
oleh BPK dengan kinerjanya yang mengupayakan independensi dalam mengaudit
keuangan negara menjadi prioritas utama serta melakukan integritas dan
transparansi dalam menyampaikan hasil audit ke mata publik.

Pengalaman bangsa Indonesia telah membuktikan bahwa Tindakan KKN


menyebabkan terpuruknya bangsa Indonesia dan sulitnya mewujudkan cita-cita.
Keuangan negara bersumber dari rakyat, sehingga sudah selayaknya dikelola dan
didistribusikan untuk mewujudkan kesejahtraan rakyat, menjamin dipenuhi hak-
hak rakyat serta membiayai pelayanan kepada rakyat. Dalam hal ini pemeriksaan
yang dilakukan oleh BPK berperan penting untuk memastikan apakah keuangan
negara benar-benar dikelola secara baik untuk mewujudkan pemerintahan yang
baik yang mengutamakan kesejahteraan rakyat. 4 Upaya mewudjudkan tujuan
negara memerlukan ketertiban semua lapisan masyarakat. Dalam hal itu
masyarakat perlu memiliki pemahaman cukup untuk mengenal segenap lembaga
yang memiliki kewenangan dan kewajiban untuk menegakkan pemerintah yang
baik yang bebas dari KKN, terutama BPK dan suatu gagasan melalui pembahasan
dan penelitian untuk memberikan pemahaman mengenai bagaimana BPK berperan
penting untuk menciptakan pemerintahan yang baik dalam menjalankan tugas dan
wewenangnya sebagai Badan Pemeriksa Keuangan berdasarkan Undang – Undang.

Namun, seiring berjalannya Badan Pemeriksa Keuangan di Indonesia, seringkali


mengesampingkan aturan – aturan yang harusnya dijalankan. Prof. I Geda Pantja
Astawa pernah melakukan kritik kepada KPK dimana Calon Pimpinan KPK I
Nyoman Wara pada penjelasannya dalam pemeriksaan keuangan tidak perlu
melakukan konfirmasi kepada Auditee dalam melaksanakan tugas audit investigatif
Badan Pemeriksa Keuangan. Hal ini tentunya bertentangan dengan ketentuan UU
Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan dan Peraturan Badan
Pemeriksa Keuangan Nomor 1 tahun 2017 tentang Standar Pemeriksaan Keuangan
4
Ikhwan Fahrojih, Pengawasan Keuangan Negara Pemeriksaan Keuangan Negara Melalui Auditor
Eksternal dan Internal Serta DPR, Intrans Publishing, Malang, 2016, hal. 13
Negara (SPKN).5 Dalam melakukan suatu pemeriksaan harus terdapat tiga unsur
salah satunya adalah Asas Asersi. Asas Asersi ini wajib untuk dilaksanakan sebagai
yang dimana konsekuensinya jika diindahkan akan berdampak batal demi hukum
dalam Laporan Hasil Pemeriksaan yang dilakukan oleh Lembaga berwenang.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peran Badan Pemeriksa Keuangan dalam melakukan pemeriksaan
terhadap pengelolaan keuangan negara berdasarkan Undang – Undang Nomor
15 tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan?

2. Bagaimana penerapan Asas Asersi dalam menghitung kerugian negara?

C. Metode Penelitian
Dalam tradisi penelitian hukum terdapat dua jenis penelitian, yaitu penelitian
hukum normatif dan penelitian hukum empiris. Penelitian hukum normatif adalah
penelitian hukum yang menggunakan sumber data sekunder atau data yang
diperoleh melalui bahan-bahan kepustakaan.6 Di sisi lain, penelitian hukum empiris
adalah suatu metode penelitian hukum positif tidak tertulis mengenai perilaku
anggota masyarakat dalam hubungan hidup bermasyarakat. 7 Namun, apabila
dikehendaki peneliti dapat menggabungkan kedua jenis penelitian tersebut dalam
satu penelitian yang disebut dengan metode penelitian hukum normatif - empiris.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

5
Mediaindonesia.com, Ahli Sebut Audit Investigasi Oleh BPK Tetap Butuh Konfirmasi,
https://mediaindonesia.com/politik-dan-hukum/256459/ahli-sebut-audit-investigasi-oleh-bpk-tetap-butuh-
konfirmasi, diunduh pada Jumat 30 Agustus 2019
6
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum, Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta, 2010, hal. 154
7
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2004, hal. 155
A. Teori Lembaga Negara

Konsepsi lembaga negara dalam bahasa Belanda biasa disebut staat sorgaan,
dalam bahasa Inggris lembaga negara menggunakan istilah political institution,
dalam bahasa Indonesia sendiri hal ini identik dengan istilah lembaga negara,
badan negara atau organ negara. Menurut Philipus M. Hadjon mengutip tulisan
D. H Meuwissen, bahwa hukum tata negara (klasik) lazimnya mengenai dua pilar
hukum tata negara, yaitu organisasi negara dan warga negara, dalam organisasi
negara dicantumkan bentuk negara dan sistem pemerintahan termasuk
pembagian kekuasaan negara atau alat perlengkapan negara. 8

Menurut Philipus M. Hadjon, makna kedudukan suatu lembaga negara dapat


dilihat dari dua sisi, yaitu pertama, kedudukan diartikan sebagai suatu posisi
yaitu posisi lembaga negara dibandingkan dengan lembaga negara yang lain;
kedua, yaitu kedudukan lembaga negara diartikan sebagai posisi yang
didasarkan pada fungsi utamanya. 9 Untuk melaksanakan fungsi negara maka
dibentuk alat perlengkapan negara atau lembaga-lembaga negara, setiap
lembaga negara memiliki kedudukan dan fungsi yang berbeda-beda meskipun
dalam perkembangannya terjadi dinamika yang signifikan dalam struktur
kenegaraan.10

Lembaga negara berkaitan erat dengan konsep kekuasaan negara dimana


pembentukan lembaga negara dikaitkan dengan konsep kekuasaan negara upaya
negara untuk melaksanakan cabang-cabang kekuasaan negara. Organisasi
negara pada prinsipnya terdiri dari tiga kekuasaan penting, yaitu kekuasaan
legislatif, kekuasaan eksekutif, dan kekuasaan yudikatif. Kekuasaan legislatif
adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang, kekuasaan eksekutif adalah
kekuasaan untuk menjalankan undang-undang, serta kekuasaan yudikatif adalah
kekuasaan untuk mempertahankan undang-undang, dalam praktiknya tiga
kekuasaan ini terwujud dalam bentuk lembaga-lembaga negara. 11 Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah merupakan parlemen dengan

8
Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD 1945,
Prenadamedia Group, Jakarta, 2015, hal. 175
9
Ibid, hal. 176
10
Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara Dalam Perspektif Fikih Siyasah,
Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 126
11
Ibid, hal. 126
fungsi utamanya pengawasan dan legislasi, ataupun ditambah dengan fungsi
anggaran sebagai instrumen yang penting dalam rangka fungsi pengawasan
parlemen terhadap pemerintah. Pembagian tugas keduanya dapat diatur
berkenaan dengan aspek-aspek tertentu yang berkaitan dengan tugas legislatif,
pengawasan dan fungsi anggaran tersebut.12

Sesuai fungsinya sebagai lembaga pemeriksa keuangan, Badan Pemeriksa


Keuangan pada pokoknya lebih dekat fungsi parlemen. Karena itu, hubungan
kerja Badan Pemeriksa Keuangan dan parlemen makin dipererat. Bahkan dapat
dikatakan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan itu adalah mitra kerja yang erat
bagi Dewan Perwakilan Rakyat dalam mengawasi kinerja pemerintahan,
khususnya berkenaan dengan soal-soal keuangan dan kekayaan negara. 13
Kedudukan kelembagaan Badan Pemeriksa Keuangan sesungguhnya berada
dalam ranah kekuasaan legislatif, atau sekurang-kurangnya berhimpitan dengan
fungsi pengawasan yang dijalankan oleh DPR. Oleh karena itu, laporan hasil
pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK ini harus dilaporkan atau disampaikan
kepada DPR untuk ditindaklanjuti sebagaimana mestinya. 14 Di samping itu, mitra
kerja BPK yang semula hanya DPR di tingkat pusat dikembangkan juga ke
daerah-daerah. Sehingga, laporan hasil pemeriksaan BPK itu tidak saja harus
disampaikan kepada DPR, tetapi juga kepada DPD dan DPRD, baik tingkat
provinsi maupun tingkat kabupaten atau kota. Karena objek pemeriksaan BPK
itu tidak hanya terbatas pada pelaksanaan atau realisasi APBN, tetapi juga
APBD.15

B. Teori Keuangan Negara

Sebagai sumber pembiayaan terhadap pelaksanaan tugas negara, terlebih dahulu


dipahami pengertian keuangan negara. Hal ini dimaksudkan agar tidak terdapat
kesalahpahaman mengenai substansi yang terkandung dalam keuangan negara.
Pengertian keuangan negara dapat ditemukan dalam undang-undang maupun
pendapat dikalangan pakar hukum berdasarkan kompetensi keilmuannya. Akan
tetapi, pada bagian ini hanya dicantumkan pengertian keuangan negara
12
Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945,
Cetakan Kesatu, FH UII Press, Yogyakarta, 2004, hal. 17
13
Ibid, hal. 23
14
Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hal. 153
15
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, hal. 23 - 24
berdasarkan pada peraturan undang-undang dengan tujuan agar tidak terjadi
penafsiran berdasarkan kepentingan pihak yang mengemukakannya. 16 Menurut
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
Negara menyebutkan bahwa Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban
negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang
maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.17 Pemeriksaan keuangan negara
mencakup seluruh keuangan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yaitu:18

1. Hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang,


dan melakukan pinjaman;

2. Kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum


pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

3. Penerimaan negara;

4. Pengeluaran negara;

5. Penerimaan daerah;

6. Pengeluaran daerah;

7. Kekayaan negara atau kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak
lain berupa uang, surat berharga, piutang barang, serta hak lain yang dapat
dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
negara atau perusahaan daerah;

8. Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka


penyelenggaraan tugas pemerintahan dan atau kepentingan umum; dan

9. Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang


diberikan pemerintah.

Sesuai Pasal 1 angka 1 Undang - Undang Nomor 17 Tahun 2003, terdapat


kesesuaian makna keuangan negara berhubungan erat dengan pengelolaan

16
M Djafar Saidi dan Eka M Djafar, Op. Cit, hal. 9 - 10
17
Pasal 1 angka 1 Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
18
Ikhwan Fahrojih, Op.Cit, hal. 38 - 39
anggaran maupun barang oleh pemerintah yang berasal dari publik dan harus
digunakan untuk sebesar-besarnya bagi kepentingan rakyat. Keuangan daerah
berhubungan erat dengan hak dan kewajiban daerah terkait dengan penerimaan,
pengeluaran keuangan juga pemanfaatan barang milik daerah, yang dimulai dari
perencanaan, pelaksanaan, dan pertanggungjawaban. Dengan demikian,
merupakan suatu tindakan naif jika pemerintah tidak melakukan kewajiban
hukum untuk mengelola anggaran dengan baik dan bertanggung jawab.

C. Teori Pengawasan

Secara umum pemeriksaan merupakan bagian dari pengawasan, sehingga


melakukan fungsi pemeriksaan sekaligus juga berarti melakukan pengawasan.
Pengawasan menyangkut kegiatan yang luas yaitu setiap usaha menjaga agar
kegiatan pemerintah tetap sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai, kegiatan
tersebut mencakup pembentukan sistem pengendalian intern, pembentukan job
description yang tidak tumpang tindih, struktur yang dapat saling kontrol dan
mengendalikan (check and balance) termasuk di dalamnya adalah pemeriksaan
terhadap pelaksanaan kegiatan pemerintah apakah sesuai dengan aturan
maupun tujuan yang telah dicapai, dalam hal ini keberadaan pemeriksaan
terdapat pada tahapansetelah pelaksanaan kegiatan pemerintah (post audit)
serta memiliki sistem dan standar tertentu yang telah ditetapkan. Adapun
pengawasan terhadap keuangan negara dapat diklasifikasikan sebagai berikut.

1. Pengawasan Internal, adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga


pengawas internal yaitu lembaga yang berada dalam struktur
pemerintah/eksekutif, pengawasan ini terdiri dari:

a. pengawasan atasan langsung atau pengawasan melekat, dapat


didefinisikan sebagai serangkaian kegiatan yang bersifat sebagai
pengendalian yang terus menerus dilakukan oleh atasan langsung
terhadap bawahannya, secara preventif atau represif agar pelaksanaan
tugas bawahan tersebut berjalan secara efektif dan efisien sesuai dengan
rencana kegiatan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku; dan

b. pengawasan fungsional, adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat


pengawasan secara fungsional baik intern pemerintah maupun ekstern
pemerintah, yang dilaksanakan terhadap pelaksanaan tugas umum
pemerintahan dan pembangunan agar sesuai dengan rencana dan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.

2. Pengawasan Eksternal, pengawasan yang dilakukan oleh suatu unit


pengawasan yang sama sekali berasal dari luar lingkungan eksekutif, dengan
demikian antara pengawas dan pihak yang diawasi tidak lagi ada hubungan
kedinasan. Lembaga yang melakukan pengawasan eksternal adalah
DPR/DPRD dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)

Di atas telah dijelaskan bahwa Lembaga Pengawas Keuangan terdiri atas


lembaga pengawas internal dan lembaga pengawas eksternal. Lembaga
pengawas internal adalah lembaga pengawasan yang berasal dari struktur
pemerintah sedangkan lembaga pengawas eksternal berada di luar struktur
pemerintah atau Lembaga pengawas keuangan negara yang memiliki fungsi
pemeriksaan umumnya merupakan lembaga fungsional atau lembaga khusus
pengawasan. Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK adalah untuk kepentingan
DPR sebagai pemegang fungsi pengawasan dan anggaran. Laporan hasil
pemeriksaan BPK termasuk instansi pemerintah, bahkan yang berkewajiban
melaksanakan rekomendasi BPK adalah instansi pemerintah, DPR menggunakan
laporan hasil pemeriksaan BPK sebagai bahan pengawasan terhadap instansi
pemerintah.

D. Teori Pemisahan Kekuasaan

Konsep kedaulatan Tuhan, Hukum dan Rakyat menjadi konsep kunci dalam
sistem pemikiran mengenai kekuasaan dalam keseluruhan konsep kenegaraan
Indonesia. Menurut Jimly Asshiddiqie 19, ketiga-tiganya berlaku secara simultan
dalam pemikiran bangsa tentang kekuasaan, yaitu bahwa kekuasaan kenegaraan
dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia pada pokoknya derivate dari
kesadaran mengenai kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Produk hukum yang
dihasilkan selain mencerminkan Ketuhanan Yang Maha Esa, juga mencerminkan
perwujudan prinsip kedaulatan rakyat.

19
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit. hal. 10
Oleh karena itu, prinsip kedaulatan rakyat juga tercermin dalam struktur dan
mekanisme kelembagaan negara dan pemerintahan. Asas kedaulatan rakyat
menghendaki agar setiap tindakan dari pemerintah harus berdasarkan kemauan
rakyat, yang pada akhirnya semua tindakan pemerintah harus dapat
dipertanggungjawabkan kepada rakyat melalui wakil-wakilnya. 20 Hubungan
antar lembaga negara dalam Putusan MKRI Nomor 005/PUU-IV/2006 menurut
Mahkamah Konstitusi:

“UUD 1945 dengan jelas membedakan cabang-cabang kekuasaan


negara dalam bidang legislatif, eksekutif, dan yudikatif yang tercermin
dalam fungsi-fungsi MPR, DPR, dan DPD, Presiden, dan Wakil Presiden,
serta Mahkamah Agung, Badan Pemeriksa Keuangan, dan Mahkamah
Konstitusi sebagai lembaga-lembaga yang utama. Lembaga-lembaga
negara dimaksud itulah yang secara instrumental mencerminkan
pelembagaan fungsi-fungsi kekuasaan negara yang utama, sehingga
oleh karenanya lembaga-lembaga negara itu pula yang dapat disebut
sebagai lembaga negara utama yang hubungannya satu dengan yang
lain diikat oleh prinsip “check and balances”. Dengan demikian, prinsip
check and balances itu terkait erat dengan pemisahan kekuasaan
negara.”

Segi kelembagaan, prinsip kedaulatan rakyat itu biasanya diorganisasikan


melalui dua pilihan, yaitu melalui sistem pemisahan kekuasaan (separation of
power) atau pembagian kekuasaan (distribution/division of power). Pemisahan
kekuasaan bersifat horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam
fungsi-fungsi yang tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan
saling mengimbangi (check and balances). Sedangkan pembagian kekuasaan
bersifat vertikal ke bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah
lembaga pemegang kedaulatan rakyat.21

Pertama, doktrin pemisahan kekuasaan itu bersifat membedakan fungsi - fungsi


kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Kedua, doktrin pemisahan
kekuasaan menghendaki orang yang menduduki jabatan di lembaga legislatif

20
Titik Triwulan Tutik, Op. Cit, hal. 82
21
Jimly Asshiddiqe, Op. Cit, hal. 11
tidak boleh merangkap pada jabatan di luar cabang legislatif. Ketiga, doktrin
pemisahan kekuasaan juga menentukan bahwa masing-masing organ tidak boleh
turut campur atau melakukan intervensi terhadap kegiatan organ yang lain.
Keempat, doktrin pemisahan kekuasaan yang dianggap paling penting adalah
adanya prinsip check and balances, di mana setiap cabang mengendalikan dan
mengimbangi kekuatan cabang-cabang kekuasaan yang lain. Dengan adanya
perimbangan yang saling mengendalikan tersebut, diharapkan tidak terjadi
penyalahgunaan kekuasaan di masing-masing organ yang bersifat independen.
Kelima, prinsip koordinasi dan kesederajatan, yaitu semua organ atau lembaga
(tinggi) negara yang menjalankan fungsi legislatif, eksekutif, yudikatif
mempunyai kedudukan yang sederajat dan mempunyai hubungan yang bersifat
koordinatif, tidak bersifat subordinatif satu dengan yang lain. 22

E. Teori Check and Balances

Menurut L. Berman sebagaimana dikutip Hendra Nurtjahjo, doktrin trias politika


yang menjalankan checks and balances adalah: “System that ensure that for every
power in government there is an equal and opposite power placed in separate
branch to restrain that force … checks and balances are the constitutional controls
where by separate branches of government have limiting powers over each others
so that no branch will become supreme”. Sistem yang memastikan bahwa setiap
kekuasaan di pemerintahan adalah sederajat dan posisi berada pada cabang
terpisah untuk mengendalikan kekuasaan itu saling mengawasi dan
mengimbangi merupakan kontrol konstitutional dimana cabang yang terpisah
dari pemerintah mempunyai kekuasaan terbatas melingkupi kekuasaan lainnya
sehingga tidak akan terdapat cabang kekuasaan tertinggi. 23

Meskipun ada pembagian kekuasaan di antara pelaksana kekuasaan negara


secara tradisional, yakni antara kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, dan
berlakunya sistem check and balances di antara kekuasaan-kekuasaan negara
tersebut, akhirnya keseimbangan (balances) memang diperlukan, dan

22
Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, hal. 290
23
Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara: Pertimbangan Teori Bernegara dan Suplemen, Raja Graffindo, Jakarta,
2005, hal.72
keseimbangan ini bersifat dinamis yang seringkali paradoksal. Karena itu, yang
dibutuhkan adalah:24

1. Suatu distribusi kekuasaan (agar tidak berada dalam hanya satu tangan
saja). Hal ini tersimpul dalam lingkup pengertian “trias politica” atau
“distribution of power”.

2. Suatu keseimbangan kekuasaan (agar masing-masing pemegang kekuasaan


tidak cenderung terlalu kuat sehingga menimbulkan tirani). Hal ini tersimpul
dalam lingkup pengertian “balances”; dan

3. Suatu pengontrolan yang satu terhadap yang lain (agar suatu pemegang
kekuasaan tidak berbuat sebebas-bebasnya yang dapat menimbulkan
kesewenang-wenangan). Hal ini tersimpul dalam lingkup pengertian kata
“checks”. Dalam hal ini, agar terjadi suatu keseimbangan (balances), tidak
hanya satu cabang pemerintahan lainnya, tetapi harus saling melakukan
pengecekan satu sama lain.

Teori check and balances amat diperlukan dalam suatu sistem ketatanegaraan
berhubung manusia penyelenggara negara bukanlah malaikat, meskipun bukan
juga iblis. Tetapi manusia punya kecenderungan memperluas dan
memperpanjang kekuasaannya, yang ujung - ujungnya menjurus kepada
penyalahgunaan kekuasaan dengan mengabaikan hak-hak rakyat. Untuk itulah
diperlukan suatu sistem saling mengawasi secara seimbang check and balances
sebagai counterpart dari sistem trias politica. Operasionalisasi dari teori check
and balances ini dilakukan melalui cara-cara sebagai berikut:

1. Pemberian kewenangan terhadap suatu tindakan kepada lebih dari satu


cabang pemerintahan;

2. Pemberian kewenangan pengangkatan pejabat tertentu kepada lebih dari


satu cabang pemeritnahan. Misalnya melibatkan pihak eksekutif maupun
legislatif;

3. Upaya hukum impeachment dari cabang pemerintahan yang satu terhadap


cabang pemerintahan lainnya;

24
Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, Refika Aditama, Bandung, 2011, hal. 123
4. Pengawasan langsung dari satu cabang pemerintahan terhadap cabang
pemerintahan lainnya, seperti pengawasan terhadap cabang eksekutif oleh
cabang legislatif dalam hal penggunaan budget negara; dan

5. Pemberian kewenangan kepada pengadilan sebagai pemutus kata akhir jika


ada pertikaian kewenangan antara badan eksekutif dengan legislatif.

Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif sama-sama sederajat


dan saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan prinsip check and balances
maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi, bahkan dikontrol dengan sebaik-
baiknya sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penyelenggara negara
ataupun pribadi-pribadi yang sedang menduduki jabatan dalam lembaga negara
yang bersangkutan dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik - baiknya.

BAB III
PERAN BADAN PEMERIKSA KEUANGAN DALAM MELAKUKAN PEMERIKSAAN
TERHADAP PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA BERDASARKAN UNDANG –
UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2006 TENTANG BADAN PEMERIKSA KEUANGAN

Undang - Undang Nomor 15 tahun 2006 Tentang BPK menjelaskan dalam Pasal 6 ayat
(1) bahwa:

“BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan


negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah,
Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara,
Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, lembaga dan badan
lain yang mengelola keuangan negara.”

Selanjutnya pasal 7 ayat (1) : “BPK menyerahkan hasil pemeriksaan atas pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan negara kepada DPR, DPD, DPRD sesuai dengan
kewenangannya”.

Pasal 8 ayat (1) : “Untuk keperluan tindak lanjut hasil pemeriksaan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 7 ayat (1), BPK menyerahkan pula hasil pemeriksaan secara
tertulis kepada presiden, gubernur, bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.”

Ayat (3) “Apabila dalam pemeriksaan ditemukan unsur pidana, BPK melaporkan hal
kepada instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan perundang - undangan paling
lama satu bulan sejak diketahui adanya unsur pidana tersebut.”

Ayat (5) “BPK memantau pelaksanaan tindak lanjut hasil pemeriksaan yang dilakukan
oleh pejabat sebgaimana yang dimaksud pada ayat (1), dan hasilnya diberitahukan
secara tertulis kepada DPR, DPD, dan DPRD, serta pemerintah.”

BPK adalah sebuah lembaga negara yang bertugas memeriksa pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara. Peran pokok BPK adalah memeriksa asal usul dan
besarnya penerimaan negara dari manapun sumbernya dan harus mengetahui tempat
uang negara disimpan dan untuk apa uang negara itu digunakan. 25 Beberapa tahap yang
dilalui BPK dalam melaksanakan pemeriksaan yaitu; tahap perencanaan, pelaksaan dan
pelaporan hasil pemeriksaan. Setiap tahap prinsipnya dilaksanakan secara bebas dan
mandiri. Pemeriksaan yang dilakukan dengan bebas dan mandiri akan menghasilkan
LHP secara objektif, sehingga dapat diketahui persoalan sesungguhnya dari pengelolaan

25
BPK RI, Mengenal Lebih Dekat BPK Sebuah Paduan Populer, Biro Humas dan Luar Negeri BPK RI, hal. 2
dan tanggung jawab keuangan negara, dan selanjutnya dapat direkomendasikan secara
tepat untuk memecahkan persoalan tersebut. Adapun tahapan - tahapan tersebut
adalah:26

1. Perencanaan pemeriksaan

Untuk mewujudkan perencanaan yang komprensif, BPK dapat memamfaatkan hasil


pemeriksaan aparat pengawas internal pemerintah, memperhatikan permintaan,
saran, dan pendapat lembaga perwakilan, serta mempertimbangkan informasi dari
pemerintah, Bank Sentral dan masyarakat. Perencanaan pemeriksaan harus dengan
jelas menentukan tujuan pemeriksaan, kewenangan pemeriksaan dan metode
pemeriksaan. Metodologi pemeriksaan meliputi:27

a. Audit subject, menentukan apa yang diperiksa.

b. Audit objective, menentukan tujuan pemeriksaan.

c. Audit scope, menentukan sistim, fungsi, dan bagian dari organisasi yang secara
khusus akan diperiksa.

d. Audit procedures and steps for data gathering, melakukan cara melakukan audit
untuk memeriksa dan mengkaji kendali, menentukan siapa yang akan
diwawacara.

e. Evaluasi hasil pengujian dan pemeriksaan, spesefik, pada tiap organisasi.

f. Prosedur komunikasi dengan pihak manajemen, spesifik pada tiap organisasi.

g. Audit Report Preparation, menentukan bagaimana cara, mereview hasil audit,


yaitu evaluasi keahlian dari dokumen - dokumen prosedur, dan kebijakan dari
organisasi yang di audit.28

Dalam menunjang tugas BPK memiliki wewenang dalam rangka mewujudkan


kedaulatan rakyat di bidang pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. Adapun
wewenang BPK menurut pasal 9 UndangUndang Nomor 15 Tahun 2006 tentang BPK
adalah:

26
Ikhwan Fahrojih, Op. Cit, hal. 30
27
Ibid, hal. 31
28
Ibid, hal. 31 - 33
a. Menentukan objek pemeriksaan, merencanakan dan melaksanakan
pemeriksaan, menentukan waktu dan metode pemeriksaan, serta menyusun
dan menyajikan laporan.

b. Meminta keterangan atau dokumen yang wajib diberikan oleh setiap organisasi
Pemerintah Daerah, Pemerintah Pusat, Lembaga Lainnya, Bank Indonesia,
Badan Usaha Milik Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah,
dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara.

c. Melakukan pemeriksaan di tempat penyimpanan keuangan dan barang milik


negara di tempat pelaksanaan kegiatan, pembukuan dan tata usaha keuangan
negara, serta pemeriksaan terhadap perhitungan-perhitungan, surat-surat,
bukti-bukti, rekening koran, pertanggungjawaban, dan daftar lainnya berkaitan
dengan pengelolaan keuangan negara.

d. Menetapkan jenis dokumen, data, serta informasi mengenai pengelolaan dan


tanggung jawab keuangan negara.

e. Menetapkan standar pemerikasaan keuangan negara setelah konsultasi dengan


Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah yang wajib digunakan dalam
pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara.

f. Menetapkan kode etik pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan


negara.

g. Menggunakan tenaga ahli dan atau tenaga pemeriksa di luar BPK yang bekerja
atas nama untuk nama BPK.

h. Membina jabatan fungsional pemeriksa.

2. Memberi pertimbangan atas rancangan sistem pengendalian intern Pemerintah


Pusat atau Pemerintah Daerah sebelum ditetapkan oleh Pemerintah Pusat atau
Pemerintah Daerah. Penyelenggaraan pemeriksaan Kebebasan dalam
menyelenggarakan pemeriksaan meliputi kebebasan dalam menetukan waktu
pelaksanaan pemeriksaan dan metode pemeriksaan, termasuk dalam pemeriksaan
investigatif. Termasuk bagian dari kemandirian BPK dalam pemeriksaan keuangan
adalah ketersediaan secara memadai sumber daya manusia, anggaran, sarana dan
prasana pendukung lainnya. BPK dapat memanfaatkan hasil pekerjaan yang
dilakukan oleh aparat pengawas internal pemerintah. Dengan demikian, luas
pemeriksaan dapat sesuaikan dan difokuskan pada bidang-bidang secara potensial
berdampak pada kewajaran laporan keuangan serta tingkat efisiensi dan efektivitas
pengelolaan keuangan negara. Untuk itu, aparat pengawas internal pemerintah
wajib menyampaikan hasil pemeriksaan kepada BPK.29

Untuk laporan keuangan pemerintah pusat disampaikan presiden kepada Badan


Pemeriksa Keuangan paling lambat 3 bulan setelah tahun anggaran berakhir. Demikian
pula dengan laporan keuangan pemerintah daerah disampaikan Gubernur, Bupati atau
Walikota kepada BPK paling lambat 3 bulan setelah anggaran berakhir. Laporan
keuangan diatas memuat memuat antara lain: Laporan realisasi APBN/APBD, neraca,
laporan arus kas, catatan atas laporan keuangan, yang dilampiri dengan laporan
keuangan perusahaan negaraatau daerah. Bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban
pelaksanaan APBN/APBD disajikan sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah yang
disusun oleh suatu komite standar yang independen dan ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah setelah terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari BPK. Dalam
melaksanakan pemeriksaan atas laporan keuangan, maka kriteria yang dipakai adalah
prinsip akutansi keuangan yang berlaku. Untuk pemeriksaan kinerja kriteria yang
dipakai adalah efisiensi, evektivitas, dan ekonomis. Sedangkan dalam pemeriksaan
investigasi kriteria yang dipakai adalah kerugian negara dari unsur tindak pidana
korupsi. Bentuk temuan atas pemeriksaan antara lain:

1. Penyimpangan yang mengganggu kewajaran penyajian laporan keuangan.

2. Penyimpangan terhadap kriteria/peraturan yang telah ditetapkan.

3. Penyimpangan yang dapat menganggu asas kehematan.

4. Penyimpangan yang dapat menganggu asas efisiensi.

5. Penyimpangan yang dapat mengakibatkan tidak tercapainya program yang


direncanakan.30

Hasil pemeriksaan adalah hasil akhir dari proses penilaian kebenaran, kepatuhan,
kecermatan, kredibilitas dan keandalan informasi/data mengenai pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan secara independen, objektif, dan
29
Ikhwan Fahrojih, Op. Cit, hal. 32
30
Ikhwan Fahrojih, Op. Cit, hal. 32 - 33
professional berdasarkan standar pemeriksaan yang dituangkan dalam laporan hasil
pemeriksaan sebagai keputusan BPK. Laporan atas laporan keuangan pemerintah pusat
disebut LKPP diserahkan kepada DPR dan DPD. Laporan atas keuangan pemerintah
daerah disebut LKPD diserahkan kepada DPRD. BPK memeriksa LKPP yang diserahkan
pemerintah selama maksimal dua bulan. Hasil pemeriksaan inilah yang diserahkan oleh
BPK kepada DPR. Demikian pula pemeriksaan atas LKPD, pemeriksaan ini dilakukan
setiap tahun.Disamping itu BPK juga menyusun laporan hasil pemeriksaan yang
dilakukan setiap semester atau IHPS (Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester). LHP dan
IHPS diserahkan secara rutin kepada DPR, DPD, DPRD, setiap semester dan setiap
tahun. Selain itu dikenal pula pemeriksaan parsial, yaitu pemeriksaan dari masing-
masing satuan kerja.

Sebelum hasil pemeriksaan diserahkan kepada DPR atau DPRD atau DPD, BPK dilarang
mempublikasikan isi hasil pemeriksaan tersebut kepada pihak lain, termasuk kepada
pemerintah maupun media massa. Untuk mengatur tata cara penyerahan hasil
pemeriksaan BPK-RI diatur dalam Keputusan DPR RI Nomor 1 tahun 2004 tentang Tata
Tertib DPR RI. Pasal 166 Keputusan DPR RI Nomor 1 Tahun 2004 mengatur tentang
tata cara penyerahan hasil pemeriksaan semester BPK-RI kepada DPR RI yaitu:

1. DPR membahas hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang


diberitahukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam bentuk hasil
pemeriksaan semester, yang disampaikan dalam rapat paripurna untuk
dipergunakan sebagai bahan pengawasan.

2. DPR menugaskan komisi untuk membahas dan menidaklanjuti Hasil Pemeriksaan


semester sebagaimana yang dimaksud pada ayat 1.

3. Untuk keperluan pembahasan dan mempelajari hasil pemeriksaan semester, komisi


dapat mengadakan konsultasi dengan unsur Badan Pemeriksa Keuangan (BPK)
untuk mengklarifikasi hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan sesuai dengan
tugas komisi.

4. Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat 3 dijadikan bahan rapat kerja
dan rapat dengar pendapat.

5. Hasil rapat kerja dan rapat dengar pendapat sebagaimana dimaksud pada ayat 4
dilaporkan secara tertulis kepada pimpinan DPR.
6. Pimpinan DPR mengadakan konsultasi pimpinan - pimpinan fraksi untuk
membahas laporan tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat 5.

7. Apabila hasil konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat 6 menyimpulkan


terdapat kasus yang perlu ditindaklanjuti, dilakukan:

a. Dalam hal kasus yang diduga merupakan tindak pidana, maka pimpinan DPR
menyampaikan kasus tersebut kepada Kepolisian/kejaksaan untuk di proses
lebih lanjut.

b. Dalam hal kasus yang diduga perlu diberikan sanksi administratif, maka
pimpinan DPR menyampaikan kepada pimpinan instansi yang bersangkutan
untuk di proses lebih lanjut.31

BPK menyerahkan hasil pemeriksaan kepada DPD untuk menjadi bahan bagi DPD
dalam memberikan pertimbangan kepada DPR tentang RUU yang berkaitan dengan
APBN. BPK juga mnyerahkan hasil pemeriksaan kepada DPRD provinsi maupun DPRD
kota atau kabupaten. Hasil pemeriksaan BPK diserahkan kepada DPRD sesuai dengan
kewenanganannya. Hubungan antara BPK-RI dan DPRD sebenarnya merupakan
hubungan tiga pihak yakni:

1. Kepala daerah sebagai pihak yang wajib menyusun laporan keuangan.

2. BPK-RI sebagai pihak yang wajib melakukan audit (mandatory audit).

3. DPRD sebagai pihak yang akan menggunakan laporan keuangan.

BAB IV

PENERAPAN ASAS ASERSI DALAM MENGHITUNG KERUGIAN NEGARA

31
Ikhwan Fahrojih, Op. Cit, hal. 59 - 60
Pemeriksaan adanya Kerugian Negara yang nyata dan pasti haruslah didasarkan
Pemeriksaan Investigatif melaui asas Asersi (et audi alteram partem), yaitu
pemeriksaan harus (diberi kesempatan) dilakukan terhadap semua pihak atau orang
yang terkait dengan objek pemeriksaan, yang akan memberikan kesimpulan adanya
perbuatan melawan hukum (pidana) atau mal administrasi.

Apabila pemeriksaan Investigatif ini tidak menterapkan asas Asersi, maka pemeriksaan
dianggap premateur dan melanggar Pasal 25 Ayat 2 Undang – Undang Nomor 15 Tahun
2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan Tanggung Jawab Keuangan Negara dengan
ancaman pidana minimum 1 tahun dan maksimum 5 tahun. Konsep penyelesaian
kerugian negara sebagai akibat administrasi yang kemudian diselesaikan dengan
mekanisme administrasi menurut Pasal 59 UU Nomor 1 Tahun 2004 dan Pasal 20 - 21
UU Nomor 30 Tahun 2014 adalah dalam hal kerugian negara dapat dipulihkan selama
10 hari kerja sejak ditemukannya kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian
negara. Dengan kata lain, suatu kesalahan administrasi yang menimbulkan kerugian
negara dapat dilakukan penyelesaian secara efisien dengan penyelesaian administrasi
guna memulihkan kerugian negara. Makna kerugian negara dalam kaitannya dengan
pengertian keuangan negara adalah kerugian negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1
angka 22 Undang - Undang Nomor 1 Tahun 2004 yang merupakan kekurangan uang,
surat berharga, dan barang yang ditetapkan dalam dokumen anggaran secara nyata dan
pasti dan tidak merupakan perkiraan, asumsi, potensi, maupun kemungkinan.

Apabila suatu pemeriksaan keuangan menyatakan terdapat potensi kerugian negara,


menurut hukum hakikat penyelesaiannya masih dalam ranah administrasi negara,
karena terdapat pada dua kemungkinan, yaitu merupakan kerugian yang bersifat
administrasi, sehingga penyelesaiannya dilakukan dengan prosedur administratif
seperti ganti kerugian ditambah dengan denda atau bunga serta sanksi administrasi
lainnya yang ditetapkan pejabat administrasi atau merupakan risiko yang dapat
diselesaikan menurut ketentuan hukum administrasi atau hukum keperdataan baik
melalui pengembalian kerugian negara maupun pengenaan sanksi keperdataan yang
ditetapkan dalam kontrak.
Dengan demikian, dalam hal terjadinya penilaian atas dugaan kesalahan administrasi
atau suatu prosedur atau syarat, kesalahan administrasi tersebut harus terlebih dahulu
diidentifikasi apakah kesalahan tidak menimbulkan kerugian menyangkut suap,
paksaan, dan tipuan dan apakah pemulihan dengan pengembalian dapat menjadi dasar
menutup kekurangan administrasi yang terjadi. Kedua hal tersebut hakikatnya
mengandung upaya penindakan secara cepat terkait dengan adanya penyelesaian dan
sekaligus pengembalian kerugian negara yang disebabkan kesalahan administrasi.
Dalam konsep hukum administrasi negara, kesalahan administrasi berkaitan dengan
prosedur dan syarat bukanlah dasar untuk menentukan perbuatan yang dilakukan
menjadi salah secara keseluruhan karena prosedur dan syarat bagian dari prosedur
dalam hukum administrasi, sehingga yang menentukan batalnya perbuatan terkait
dengan tidak dipenuhinya syarat dan prosedur adalah hukum administrasi. Dengan
demikian, ketika ada penilaian atau dugaan kesalahan administrasi dalam suatu
kegiatan atau tindakan, maka kegiatan dan tindakan tersebut tidak dapat secara mudah
dianggap batal atau tiada kegiatan yang sah, karena keabsahannya berada pada
kewenangan administrasi itu sendiri.

Oleh sebab itu, ketika administrasi menyatakan prosedur dan syarat memang tidak
terpenuhi, tetapi suatu kegiatan dan perbuatan dianggap menyalahi syarat dan
prosedur, administrasi dapat melakukan pilihan tindakan melakukan perbaikan,
pembatalan, atau penundaan. Hal ini dimasudkan agar administrasi dapat diberikan
kesempatan melakukan pemulihan dan perbaikan atas syarat dan prosedur, dan
mengembalikan keadaan secara cepat menurut kebutuhan masyarakat pada saat
tersebut.

Untuk mengungkap adanya kerugian negara yang nyata dan pasti jumlahnya harus
dilakukan dengan menyampaikan laporan pemeriksaan investigatif atau pemeriksaan
tujuan tertentu yang dibutuhkan untuk menghasilkan simpulan, dan tidak hanya
didasarkan pada laporan hasil pemeriksaan biasa berupa Laporan Hasil Pemeriksaan.
Pemeriksaan investigatif akan menghasilkan simpulan mengenai kerugian negara
secara nyata dan pasti jumlahnya, yang dinyatakan terjadi akibat perbuatan melawan
hukum atau mal-administrasi. Jika kerugian negara tersebut disimpulkan merupakan
mal-administrasi, pemeriksa merekomendasikan pengenaan ganti kerugian atau
disertai dengan dendanya melalui penetapan kerugian negara. Jika kerugian negara
tersebut disimpulkan terdapat indikasi perbuatan melawan hukum pidana, pemeriksa
menyampaikan jumlah perhitungan kerugian negaranya secara nyata dan pasti. Dengan
demikian, bukan menyampaikan potensi kerugian negara.

Suatu laporan hasil pemeriksaan investigatif harus dilakukan oleh badan dan bukan
orang suatu orang dalam jabatan maupun kelompok kerjanya. Badan adalah
representasi yang didasarkan pada wewenang - wewenang publik berdasarkan syarat
dan prosedur. Dalam melakukan pemeriksaan investigatif, pemeriksa menurut
Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2008 dan Peraturan Badan
Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Nomor 1314/K/D6/2012 harus menerapkan
asas asersi, yaitu asas di mana semua pihak atau orang yang terkait dengan objek
pemeriksaan diberikan kesempatan untuk didengarkan dan diminta keterangan (et
audi alteram partem). Jika pemeriksa tidak melakukan atau tidak menerapkan standar -
standar dalam pemeriksaan, pemeriksa harus menjelaskan alasan tidak menerapkan
standar tersebut dan akibatnya.

Suatu simpulan atas kerugian negara atau tidak dengan jumlah serta perbuatan dan
pelakunya hanya dapat dilakukan setelah diterapkannya asas et audi alteram partem
yang sama dengan asas asersi, di mana semua pihak yang diduga maupun yang
dianggap mengetahui dilakukan pemeriksaan dan persepsinya, yang kemudian
dirumuskan dan dituangkan dalam hasil pemeriksaan. Tidak mungkin ada simpulan
atas kerugian negara yang tidak didasarkan proses tersebut terlebih dahulu karena
akan dianggap prematur. Bahwa suatu hasil pemeriksaan investigatif merupakan
permintaan penyidik atau badan di luar pemeriksa, tetap standar dan prosedur
mengharuskan adanya penerapan asas asersi (et audi et alteram partem).

Konsep ini hakikatnya menjelaskan penerapan asas prosesual atau keseimbangan


kepada para pihak untuk menjelaskan posisi dan pandangannya masing-masing yang
kemudian menjadi dasar bagi pemeriksa mengambil simpulan. Pelanggaran atas
dilampauinya asas asersi, pemeriksa yang menyalahgunaan kewenangannya
sehubungan dengan kedudukan dan atau tugas pemeriksaan menurut Pasal 25 ayat (2)
Undang - Undang Nomor 15 Tahun 2004 dipidana sekurang - kurangnya 1 tahun
penjara dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda setinggi - tingginya satu miliar
rupiah. Dengan demikian, jika ada pemeriksa yang menggunakan kewenangannya,
sehingga memberikan temuan dan simpulan yang tidak memadai sesuai dengan standar
pemeriksaan keuangan negara dapat dikenakan sanksi pidana tersebut.

Dengan demikian, karena kerugian negara menurut Pasal 1 angka 22 Undang-undang


Nomor 1 Tahun 2004 harus memenuhi unsur kekurangan yang nyata dan pasti
jumlahnya, maka kerugian negara bukan kerugian yang diperkirakan atau diasumsikan
sendiri karena unsur nyata dan pasti harus terpenuhi secara syarat formal. Oleh sebab
itu, perhitungan kerugian negara harus didasarkan pada prosedur dan tata cara yang
mengandung kepastian, dan tidak berdasarkan rekaan atau perhitungan yang bersifat
asumsi, potensi, atau kemungkinan atau hanya pada tafsiran sendiri mengenai norma
peraturan perUndang-undangan. Suatu penilaian dan jumlah kerugian negara tidak
dapat berdiri sendiri sebagai suatu pemahaman sendiri pemeriksa atau di luar
pemeriksa, karena semua bergantung pada penerapan prosesual atas data yang
diperoleh dan tanggapan yang harus dirumuskan dalam hasil pemeriksaan.

Dalam penilaian kerugian negara, harus dipahami jika konsepsinya adalah ada
pelanggaran administrasi, maka jika alasan itu yang dipergunakan berarti merupakan
kesalahan administrasi yang merugikan negara yang penyelesaiannya adalah
pengembalian uang. Demikian juga adanya penafsiran sepihak atas norma tidak dapat
menjadi alasan adanya kerugian negara, karena kerugian negara harus nyata dan pasti
serta tidak dapat menjadi latar belakang yang rasional dalam menentukan ada tidaknya
kerugian negara. Dalam hal terjadi pilihan tersebut, pemeriksa menurut Peraturan
Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2007 harus melaporkan unsur kondisi atas
temuan, kriteria yang diharapkan, dan akibat dari tafsiran sepihak atas norma hukum
serta sebab yang menjadi bukti adanya tindakan yang langsung merugikan negara
melalui berkurangnya kas negara atau dokumen APBN yang tidak dapat dipulihkan atau
tidak. Dengan demikan, penilaian dan jumlah kerugian negara yang hanya menyatakan
terdapat kesalahan administrasi, syarat dan prosedur, penilaian atas kerugian negara
adalah penilaian administrasi. Hal ini harus dirumuskan dalam hasil pemeriksaan
investigatif, sehingga jika tidak ada, laporan pemeriksaan demikian menurut hukum
administrasi negara dinyatakan batal demi hukum (nietig van rechtwege).
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2006 tentang Badan


Pemeriksa Keuangan (BPK), peran BPK dalam melakukan pemeriksaan
terhadap pengelolaan keuangan negara, BPK sebagai satu-satunya lembaga
pemeriksa yang diberi wewenang oleh UUD 1945 untuk melaksanakan
pemeriksaan terhadap keuangan negara yang dikelolah oleh pengelola
keuangan negara. Menyusun laporan hasil pemeriksaan, menyerahkan
laporan hasil pemeriksaan kepada DPR, DPD, DPRD dan menyerahkan pula
kepada Presiden, Gubernur atau Walikota untuk ditindak lanjuti, menilai dan
menetapkan kerugian negara dan menjadi saksi ahli dalam peradilan.

2. Badan Pemeriksa Keuangan tidak bisa sembarangan dalam melakukan


pemeriksaan. Demi menciptakan pemeriksaan yang kooperatif harus
mengedepankan Asas Asersi, agar laporan pemeriksaan keuangan yang
dikeluarkan sesuai dengan kondisi dan fakta yang ada. Pelanggaran atas
dilampauinya asas asersi, pemeriksa yang menyalahgunaan kewenangannya
sehubungan dengan kedudukan dan atau tugas pemeriksaan menurut Pasal
25 ayat (2) Undang - Undang Nomor 15 Tahun 2004 dipidana sekurang -
kurangnya 1 tahun penjara dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda
setinggi - tingginya satu miliar rupiah.

B. Saran

1. Badan Pemeriksa Keuangan dalam melakukan tugas dan wewenangnya


benar - benar mandiri dan bebas dari pengaruh pihak lain, dan pemerintah
yanng berwenang menidaklanjuti laporan hasil pemeriksaan
menindaklanjuti LHP BPK sesuai dengan tugas dan wewenangnya, demi
terciptanya good governance.
2. Badan Pemeriksa Keuangan sejatinya dalam menjalankan tugas dan fungsi
wajib memperhatikan peraturan yang berlaku. Asas Asersi harus dijalankan
agar segala proses pemeriksaan tidak cacat hukum dan melanggar aturan
yang berpotensi pidana dan denda.

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku

Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti,


Bandung, 2004

Ahmad Sukardja, Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara Dalam
Perspektif Fikih Siyasah, Sinar Grafika, Jakarta, 2012

BPK RI, Mengenal Lebih Dekat BPK Sebuah Paduan Populer, Biro Humas dan Luar
Negeri BPK RI

Hendra Nurtjahjo, Ilmu Negara: Pertimbangan Teori Bernegara dan Suplemen,


Raja Graffindo, Jakarta, 2005

Ikhwan Fahrojih, Pengawasan Keuangan Negara Pemeriksaan Keuangan Negara


Melalui Auditor Eksternal dan Internal Serta DPR, Intrans Publishing,
Malang, 2016

Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan


Dalam UUD 1945, Cetakan Kesatu, FH UII Press, Yogyakarta, 2004

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika,


Jakarta, 2010

M. Djafar Saidi dan Eka M Djafar, Hukum Keuangan Negara dan Praktik, Cetakan
Kelima, Rajagrafindo, Jakarta, 2017

Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum, Normatif &
Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2010

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, Refika Aditama, Bandung, 2011

Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca


Amandemen UUD 1945, Prenadamedia Group, Jakarta, 2015
W. Riawan Tjandra, Hukum Keuangan Negara, Grasindo, Jakarta, 2006

B. Perundang – Undangan

Undang – Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara

Undang – Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara

Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan Dan


Tanggung Jawab Keuangan Negara

Undang – Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 005/PUU-IV/2006

Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2007

Peraturan Badan Pemeriksa Keuangan Nomor 1 Tahun 2008

Peraturan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan Nomor


1314/K/D6/2012

C. Literasi Lainnya

Mediaindonesia.com, Ahli Sebut Audit Investigasi Oleh BPK Tetap Butuh


Konfirmasi, https://mediaindonesia.com/politik-dan-
hukum/256459/ahli-sebut-audit-investigasi-oleh-bpk-tetap-butuh-
konfirmasi, diunduh pada Jumat 30 Agustus 2019

Anda mungkin juga menyukai