Anda di halaman 1dari 3

2.

Presentasi kasus
Pada tanggal 15 Maret 2020, seorang laki-laki berusia 60 tahun, dengan riwayat
Obstructive Sleep Apnea Syndrome (OSAS) pada perokok, distrofi miotonik Steinert,
implantasi pace maker untuk kardiomiopati iskemik dengan blokade cabang berkas kiri,
dan diabetes, dibawa ke rumah sakit umum Aosta (Italia) setelah ditemukan jatuh di
rumah. Saat masuk rumah sakit, suhu 37,5°C dan saturasi oksigen 90%. Hasil
pemeriksaan radiografi toraks menunjukkan perselubungan di lobus kiri bawah (Gbr. 1).

Gbr. 1 Pemeriksaan radiografi toraks pada saat masuk rumah sakit

Pemeriksaan darah rutin menunjukkan hasil leukositopenia. Dilakukan pengiriman


usap saluran napas ke laboratorium. Infeksi SARS-CoV-2 dikonfirmasi oleh Reverse
Transcriptase Polymerase-Chain-Reaction Real Time (RT PCR-RT) pada 16 Maret
2020. Oleh karena itu, pasien dipindahkan ke Unit perawatan COVID 2019 dan
dipasang Ventilasi Mekanik Non Invasif (NIMV) karena terjadi krisis desaturasi berulang.
Gejala pernapasan memburuk pada malam hari. Meskipun telah dipasang NIMV dan
diberikab terapi pendukung kondisi vital, pasien dinyatakan meninggal pada 17 Maret
2020. Pneumonia SARS-CoV-2 dilaporkan sebagai penyebab utama kematian,
sementara distrofi miotonik Steinert, dan kardiomiopati iskemik terdaftar sebagai
penyebab. Jenazahnya diangkut ke krematorium setempat dan ditempatkan di lemari es
(−4 °C), menunggu izin dari istrinya untuk tindakan kremasi (diwajibkan oleh Hukum
Italia).
Memang, dalam periode waktu yang sama, istri pasien juga pernah dirawat di
Unit perawatan COVID di rumah sakit yang sama dengan gejala pernapasan berat.
Setelah terapi dengan terapi antivirus, gejala pernapasan membaik. Pada 13 April,
setelah dua pemeriksaan berturut-turut untuk RNA SARS-CoV-2 menunjukkan hasil
negatif, wanita tersebut dipindahkan ke unit perawatan non-COVID. Oleh karena itu, dia
memberikan izin untuk membakar mayat suaminya. Karena spesifikasi teknis
krematorium setempat, alat pacu jantung harus dilepas.
Pada tanggal 22 April 2020, jenazah dikeluarkan dari lemari es dan, pada saat
alat pacu jantung dikeluarkan oleh pemeriksa medis, dilakukan usap naso dan
orofaringeal. Sampel segera dikirim ke laboratorium dan dianalisis dengan RT PCR-RT
sesuai protokol WHO [7]. Hasil keluar pada hari yang sama, mengkonfirmasi persistensi
RNA SARS-CoV-2.

3. Diskusi
Kasus ini menyoroti persistensi RNA SARS-CoV-2 pada saluran pernapasan
bagian atas 35 hari setelah kematian. Temuan ini merupakan deteksi RNA SARS-CoV-
2 terlama yang terdokumentasi dalam pemeriksaan spesimen saluran napas pada
mayat.
Penelitian sebelumnya menyoroti persisteni RNA SARS CoV-2 yang terdeteksi
bahkan pada mayat yang telah mengalami pembusukan [8]. Baik waktu yang berlalu
antara kematian dan pengumpulan pemeriksaan usap maupun waktu sebelum analisis
di laboratorium tampaknya tidak mempengaruhi hasil PCR-CR [9].
Menurut penelitian sebelumnya, pendinginan dapat memperpanjang waktu
kelangsungan hidup virus corona [3,10]. Penulis berspekulasi bahwa, dalam kasus ini,
kurangnya terapi antivirus selama rawat inap, bersama dengan pendinginan mayat,
mungkin telah berkontribusi pada persistensi RNA SARS-CoV-2 yang bertahan lama.
Pemeriksaan usap post-mortem untuk deteksi RNA SARS-CoV-2 telah
direkomendasikan oleh beberapa Komite dan Lembaga Ilmiah, termasuk Public Health
England, sebagai standar penilaian post-mortem bertahap dari potensi kematian terkait
COVID-19 [6].
Pedoman forensik Italia saat ini menyatakan bahwa spesimen saluran napas harus
dikumpulkan segera setelah kematian pada kasus yang dicurigai, sebaiknya dalam
waktu 2 jam [11].
Berdasarkan laporan ini, pemeriksaan usap post-mortem bertahap harus dilakukan
bahkan setelah jeda waktu post-mortem yang panjang. Deteksi RNA SARS-CoV-2 post-
mortem dapat memiliki peran kunci pada kondisi kematian ydimana terjadi kekurangan
bantuan medis, kematian tanpa pengawasan, dan pasien dengan banyak penyakit
penyerta. Yang terakhir, kondisi klinis yang sudah ada sebelumnya dapat
menyembunyikan tanda-tanda klinis COVID-19. Demikian juga, amplifikasi post-mortem
SARS-CoV-2 juga harus dilakukan untuk mengidentifikasi kematian terkait COVID-19
yang tidak terdiagnosis pada kelompok berisiko tinggi seperti pekerja medis, penghuni
panti jompo, dan petugas penegak hukum untuk melacak kontak yang terisolasi.
Selain itu, selama pandemi SARS-CoV-2, Negara-negara yang menganut
Perjanjian Berlin dapat mempertimbangkan hasil RT PCR-RT post-mortem sebagai
bagian dari "laissez-passer untuk mayat" yang diperlukan untuk transportasi
internasional [12].
Pemeriksaan usap post-mortem dapat digunakan sebagai alat yang berharga
dalam evaluasi preventif dari rasio risiko-manfaat yang terkait dengan pelaksanaan
otopsi, untuk mengidentifikasi kasus-kasus di mana otopsi dapat direkomendasikan
untuk menentukan penyebab kematian (yaitu hasil negatif dari pemeriksaan usap
saluran napas bagian atas dan tidak ada riwayat gejala sugestif) [13].
Mempertimbangkan kondisi saat ini dimana masih kurangnya penelitian yang
membuktikan keandalan amplifikasi RNA SARS-CoV-2 post-mortem, penerapan
standar BSL yang efektif selama manipulasi, pemeriksaan, dan otopsi mayat harus
ditetapkan termasuk hasil pemeriksaan pada spesimen saluran napas klinis dan data
radiologis yang diperoleh dari rekam medis atau dari informasi riwayat yang dilaporkan
oleh kerabat, jika tersedia.
Meskipun demikian, pemeriksaan usap postmortem yang positif tidak boleh
dianggap sebagai diagnostik kematian yang disebabkan oleh infeksi SARS-CoV-2.
Sebaliknya, otopsi dapat menunjukkan tanda-tanda penyebab kematian independen,
membedakan pasien dengan infeksi SARS-CoV-2 syang telah ada [8].
Nilai deteksi RNA SARS-CoV-2 pada pemeriksaan usap post-mortem merupakan
subyek dari penelitian pendahuluan yang sedang dilakukan oleh penulis laporan ini.

Anda mungkin juga menyukai