Anda di halaman 1dari 6

Nama : Welly Bernandos

Mata kuliah : Hukum Agraria dan Property


NIM : 20010028
Dosen : Rizky ramadhani S.H.,M.H
Semester :3

Jawaban :
1. Agraria ini meliputi bumi,air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
bahkan dalam batas-batas yang di tentukan, serta mengenai ruang angkasa.

- Hukum Agraria adalah keseluruhan kaidah-kaidah hukum, baik itu tertulis


maupun tidak tertulis yang mengatur mengenai agraria.

2. Sejarah Pembentukan UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria)

Sejarah Pembentukan UUPA atau Undang-Undang Pokok Agraria memiliki


serangkaian proses yang panjang dengan dimulai pada penetapan Panitia Agraria
Yogyakarta (PAY). Panitia ini dibentuk berdasarkan Surat Ketetapan Presiden No.16
oleh Soekarno pada tanggal 12 Mei 1948. Tujuan dari pembentukan panitia tersebut
adalah untuk menyusun hukum agraria yang baru serta penetapan kebijaksanaan
politik agraria negara. Setelah pembentukan panitia tersebut, Sejarah Pembentukan
UUPA (Undang-Undang Pokok Agraria) tidak serta merta jadi dapat diterapkan. Ada
perjalanan panjang hingga akhirnya undang-undang tersebut berhasil ditetapkan.
Butuh waktu yang panjang dan berbagai perundingan hingga akhirnya resmi
diberlakukan.

Pembentukan Panitia Agraria Yogyakarta (PAY) hingga Panitia Agraria Jakarta (PAJ)

Kepanitiaan yang bertugas untuk menyusun hukum dan politik agraria ini diketuai
oleh Sarimin Reksodiharjo. Anggota dari kepanitiaan adalah para pejabat utusan
kementerian dan berbagai jawatan, wakil dari organisasi-organisasi petani yang juga
tergabung sebagai anggota KNIP, wakil Serikat Buruh Perkebunan, serta para ahli
hukum terutama hukum adat.
Lima tahun berlanjut Panitia Agraria Yogyakarta hanya mampu menghasilkan karya
dalam bentuk laporan. Hasil kepanitiaan tersebut kemudian disampaikan kepada
Presiden pada tanggal 3 Februari 1950. Sementara itu merujuk pada proses
pemindahan kekuasaan negara menuju Jakarta, maka PAY resmi dibubarkan pada
tanggal 9 Maret 1951 oleh Soekarno. Pembubaran tersebut dikeluarkan melaluk SK
Presiden No. 36 tahun 1951.
Sebenarnya pembubaran panitia bertujuan untuk mengganti saja yaitu dari Pantia
Agraria Yogyakarta menjadi Panitia Agraria Jakarta (PAJ). Tugas utama dari panitia ini
nyaris sama dengan PAY. Adapun yang menjadi ketua dari PAJ masih tetap Sarimin
Reksodiharjo. Selanjutnya berdasarkan Keputusan Presiden pada tanggal 29 Maret
1955 No. 55, dibentuklah Kementerian Agraria. Kementerian tersebut berada pada
masa kabinet Ali Sastromidjojo I. Tugas utama dari kementerian ini adalah
membentuk undang-undang agraria nasional yang sesuai dengan pasal 25 ayat 1,
pasal 37 ayat 1, dan pasal 38 ayat 3 dari Undang-Undang Dasar Sementara.

Pembentukan Panitia Negara Urusan Agraria (Panitia Soewahjo)

Kepanitiaan Agraria Jakarta tetap berjalan dan bekerja semestinya, meskipun


ketuanya telah berganti menjadi Singgih Praptodihardjo. Akan tetapi akhirnya
kepanitiaan ini dibubarkan, karena dianggap tidak dapat menyusun Rancangan
Undang-Undang Agraria. Akhirnya berdasarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia 14 Januari 1956, No. 1 tahun 1956, dibentuk kembali Panitia Negara
Urusan Agraria dengan ketua Soewahjo Soemodilogo yang juga merupakan
Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria. Anggota dari kepanitiaan adalah pejabat
dari Kementerian dan Jawatan, para ahli hukum adat, serta wakil dari beberapa
organisasi petani.
Kepanitian ini memanfaatkan semua bahan yang sudah disusun oleh kedua panitia
agraria sebelumnya. Panitia Negara Urusan Agraria ini juga disebut sebagai Panitia
Soewahjo yang akhirnya berhasil membuat rancangan undang-undang tepat pada
tanggal 6 Februari 1958. Rancangan tersebut kemudian diserahkan kepada Menteri
Agraria. Tidak lama berselang kepanitiaan ini akhirnya dibubarkan, karena tugasnya
dianggap telah selesai. Pokok dari RUU hasil Panitia Soewahjo adalah :

1. Asas domein dihapuskan diganti dengan asas hak menguasai oleh negara sesuai
dengan ketentuan pasal 38 ayat 3 Undang-Undang Dasar Sementara.
2. Asas bawah tanah pertanian dikerjakan dan diusahakan sendiri oleh pemiliknya.
(Tidak disampaikan kepada DPR)

Rancangan Soenarjo

Beberapa pasal pada rancangan undang-undang yang dihasilkan Panitia Soewahjo


kemudian dirumuskan ulang dan beberapa sistematika juga mengalami perubahan.
Akhirnya rancangan tersebut kemudian menjadi suatu dokumen yang dikenal
sebagai Rancangan Soenarjo. Rancangan ini selanjutnya diajukan oleh Menteri
Agraria  Soenarjo kepada Dewan Menteri pada tanggal 15 Maret 1958. Dewan
Menteri dalam sidangnya yang ke-94 akhirnya menyetujui rancangan tersebut pada
1 April 1958. Selanjutnya rancangan tersebut diajukan kepada DRP berdasarkan
Amanat Presiden tanggal 24 April 1958 No. 1307/HK.
Rancangan ini dibahas dalam beberapa tahap oleh DPR. Pada tanggal 16 Desember
1958 dalam sidang pleno DPR, Soenarjo menjawab pemandangan umum DPR
terhadap rancangannya. DPR akhirnya memutuskan bahwa masih perlu dikumpulkan
bahan-bahan yang lebih lengkap terkait rancangan tersebut. Lalu dibentuklah panitia
adhoc dengan ketua AM. Tambunan. Panitia ini banyak sekali mendapat masukan
dari Ketua Mahkamah Agung, Wirjono Prodjodikoro, serta Seksi Agraria Universitas
Agraria, Pro. Notonagoro.
Selanjutnya ketika Dekrit Presiden 1 Juli 1959 tenang pemberlakuan kembali
Undang-Undang Dasar 1945 dikeluarkan, maka Rancangan Undang-Undang Pokok
Agraria Soenarjo ditarik. Penarikan tersebut secara resmi dilakukan setelah
keluarnya Surat Pejabat Presiden tanggal 23 Mei 1960 No. 1532/HK/1960.
Rancangan Undang-Undang Agraria tersebut dianggap kurang cocok, karena masih
menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara sebagai bahan acuan.

Rancangan Sadjarwo

Meskipun Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria ditarik, tetapi dalam


kenayataannya tetap belangsung. Rancangan tersebut kemudian disesuaikan
terhadap Undang-Undang Dasar 1945 serta Manifesto Politik Indonesia dalam hal ini
pidato Presiden Soekarno pada tanggal 17 Agustus 1959. Setelah proses penyesuaian
dan racangan sudah menjadi lebih sempurna dan lengkap, maka rancangan tersebut
diajukan oleh Menteri Agraria Sadjarwo. Karena diajukan oleh Menteri Sadjarwo,
maka Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria tersebut dikenal sebagai Rancangan
Sadjarwo. Rancangan tersebut akhirnya disetujui oleh Kabinet Inti dalam sidang yang
dilangsungkan pada tanggal 22 Juli 1960 dan disetujui pula oleh Kabinet Pleno dalam
persidangan yang diadakan pada tanggal 1 Agustus 1960. Pada tanggal itu pula
dikeluarkan Amanat Presiden tanggal 1 Agustus 1960 No. 2584/HK/60 untuk
mengajukan rancangan tersebut kepada Dewan Perwaikilan Rakyat Gotong Royong
atau DPR-GR.

Penetapan Undang-Undang Pokok Agraria

Setelah pengajuan Rancangan Undang-Undang Pokok Agraria, maka dilakukanlah


berbagai tahap. Mulai dari pemeriksaan pendahuluan, lalu dilanjutkan pembahasan
dalam sidang-sidang komisi tertutup, kemudian pemandangan umum, dan terakhir
pada sidang-sidang pleno yang diadakan tanggal 14 September 1960 akhirnya DPR-
GR menerima rancangan tersebut dengan suara bulat. Bahkan semua golongan yang
tergabung dalam DPR-GR baik itu Golongan Islam, Golongan Nasionalis, Golongan
Komunis, dan Golongan Karya setuju dengan hal itu.
Akhirnya tepat pada hari Sabtu tanggal 24 September 1960, RUU yang sebelumnya
sudah disetujui oleh DPR-GR, secara resmi disahkan oleh Presiden Soekarno menjadi
Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Dalam diktatum Presiden kemudian lebih
dikenal sebagai Undang-Undang Pokok Agraria atau UUPA.
Penetapan UUPA menghapuskan sistem kolonial terkait hukum agraria. Nilai yang
terkandung dalam UUPA pada dasarnya merupakan hasil penjabaran dari pasal 33
ayat 2 UUD 1945. Undang-undang ini sendiri mengandung 70 pasal, 4 bab, dan 5
bagian yang sesungguhnya masih terbilang sangat terbatas dan singkat. Dengan
begitu dibutuhkan undang-undang untuk mejabarkannya, tetapi UUPA tetap menjadi
dasar hukum tertinggi tentang hukum agraria. Undang-undang ini juga menerapkan
hukum adat di dalamnya.

3. Tujuan pokok pembentukan UUPA adalah


- Meletakan dasar-dasar untuk mengadakan kesatuan dan kesederhanaan di
dalam hukum pertanahan
- Memberi kepastian hukum
- Memberi dasar-dasar bagi penyusunan hukum agraria di indonesia.

Asas-asas yang terkandung dalam UUPA

- Asas kebangsaan dan perlindungan di dalam menentukan hak milik atas


tanah.
- Asas legalitas, yang berarti bahwa segala tindakan dan perbuatan pemerintah
maupun warga negara di bidang agraria berdasarkan hukum.
- Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial
4. Menurut pasal 16 ayat 1 UUPA menyatakan bahwa terdapat hak-hak atas tanah
antara lain yaitu, hak milik, hak guna usaha,hak guna bangunan,hak pakai,hak
sewa,hak membuka tanah, dan hak memungut hasil hutan.
Perbedaan hak-hak yang terdapat dalam pasal 16 ayat 1 UUPA
- Hak milik adalah hak yang terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
atas tanah.
- Hak guna usaha ( hak erfPacht ) adalah hak untuk memakai tanah yang buka
miliknya sendiri dan digunakan untuk usaha-usaha pertanian
- Hak guna bangunan ( hak opstal ) = Perbedaan dengan HGU adalah dalam
HGB tidak mengenai atas tanah pertanian
- Hak pakai untuk gedung-gedung kedutaan negara-negara asing dapat
diberikan hak pakai karena hak ini hanya memeberikan wewenang yang
terbatas, artinya hak ini dapat berlaku selama tanahnya dipergunakan untuk
keperluan tertentu.
- Hak sewa merupakan hak pakai yang memiliki sifat khusus. Hak sewa hanya
dipergunakan untuk bangunan. Negara tidak dapat menyewakan tanah
karena negara bukan pemilik tanah.
- Hak membuka hasil dan hak memungut hasil adalah hak HAT yang dalam
hukum adat yang menyangkut tanah sehingga diatur dengan peraturan
pemerintah dengan kepentingan umum yang lebih luas untuk kepentingan
orang atau masyarakat yang bersangkutan.
5. Sumber hukum agraria

Sumber hukum agraria yang tertulis


Secara sistematis, sumber-sumber hukum agraria yang tertulis adalah:
1 Undang-Undang Dasar 1945, terutama Pasal 33 ayat 3.
2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
(UUPA).
3 Peraturan-peraturan pelaksana UUPA.
4 Peraturan-peraturan bukan pelaksana UUPA yang dikeluarkan sesudah tanggal 24
September 1960 karena suatu masalah yang perlu diatur. Misalnya Undang-Undang
51/Prp/1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya.
5 Peraturan-peraturan lama yang untuk sementara masih berlaku, sesuai dengan ketentuan
pasal-pasal peralihan.
Tujuan dari diberlakukannya peraturan-peraturan lama adalah untuk mengisi kekosongan
sebelum peraturan-peraturan pelaksana dibentuk. Peraturan-peraturan lama tersebut
diatur dalam Pasal 56-58 UUPA:
• Pasal 56 UUPA yang memberlakukan ketentuan hukum adat setempat dan peraturan-
peraturan lainnya mengenai hak-hak atas tanah yang memberi wewenang sebagaimana
atau mirip dengan yang dimaksud dalam Pasal 20 UUPA (hak milik). Ketentuan-ketentuan
tersebut tetap berlaku sebelum diberlakukannya undang-undang yang mengatur mengenai
hak milik.
• Pasal 57 UUPA yang memberlakukan ketentuan-ketentuan mengenai hypotheek yang
terdapat dalam KUH Perdata dan credietverband yang diatur dalam S. 1908-542
sebagaimana telah diubah dengan S. 1937-190. Kedua ketentuan tersebut tetap berlaku
sebelum diberlakukannya undang-undang yang mengatur mengenai hak tanggungan.
Namun dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (UU Hak
Tanggungan), maka ketentuan peralihan ini sudah tidak digunakan lagi.
• Pasal 58 UUPA yang memberlakukan peraturan-peraturan lain yang mengatur mengenai
bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hak-hak atas tanah
sepanjang tidak bertentangan dengan jiwa dari UUPA. Peraturan-peraturan tersebut tetap
berlaku sepanjang peraturan-peraturan pelaksana dari UUPA belum terbentuk.

Sumber hukum agraria yang tidak tertulis


Sumber-sumber hukum agraria yang tidak tertulis terdiri dari:
1 Hukum adat yang sesuai dengan ketentuan Pasal 5 UUPA, yaitu yang:
• Tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara;
• berdasarkan atas persatuan bangsa;
• berdasarkan atas sosialisme Indonesia;
• berdasarkan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA dan peraturan
perundangan lainnya;
• mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.
2 Hukum kebiasaan yang timbul sesudah berlakunya UUPA, yaitu yurisprudensi dan praktik
administrasi.
Hukum Agraria yang berlaku sebelum tanggal 24 september 1960 ada yang bersumber
pada :
- Hukum adat ( hukum agraria adat ) yang menimbulkan hak-hak adat yang
tunduk pada hukum agraria adat, misalnya tanah-tanah ulayat dan tanah
milik adat.
- Hukum Agraria barat, yang menimbulkan hak-hak barat seperti hak tanah
eigendom, hak tanah erf Pacht, hak tanah opstal, dll.

Anda mungkin juga menyukai