Anda di halaman 1dari 136

Karya: Wawan Muhwan Hariri

Rangkuman Buku Pengantar Ilmu Hukum

Oleh:
Indrawan Guamo
1011421045
Kelas C
BAB 1 Pengertian dan Ruang Lingkup Pengantar Ilmu Hukum
A. Istilah Pengantar Ilmu Hukum
Pengantar ilmu hukum atau inleiding tot de reachr sweetenschap adalah mata kuliah
yang dipelajari pada Recht School (RHS) atau sekolah tinggi hukum batavia pada masa
Hindia Belanda yang didirikan pada tahun 1924 di batavia ( sekarang Jakarta ). Istilah
tersebut sama dengan terdapat dalam Undang-undang Perguruan Tinggi Negeri Belanda
Hoger Onderwijswet 1920.
Pada zaman kemerdekaan, istilah Pengantar Ilmu Hukum pertama kali digunakan oleh
Universitas Gajah Mada yang didirikan di Yogyakarta pada tanggal 13 maret 1946.
Pengantar Ilmu Hukum (PIH) merupakan mata kuliah dasar yang disajikan dengan tujuan
memperkenalkan ilmu hukum secara global. Hakikatnya merupakan landasan pengetahuan
hukum yang bersifat makro dan sebagai akar ilmu hukum yang mesti dikuasai oleh
mahasiswa yang mengkaji ilmu hukum.
Menurut Satjipto Rahardjo, pengantar Ilmu Hukum adalah ilmu pengetahuan yang
berusaha menelaah hukum secara umum, mencakup hal-hal yang berhubungan dengan
hukum yang objeknya hukum itu sendiri. Pengantar Ilmu Hukum dapat dinamakan
"Encyclopaedia Hukum", yaitu mata kuliah dasar yang merupakan pengantar ((introduction
atau inleiding) dalam mempelajari ilmu hukum.
Tujuan pengantar Ilmu Hukum adalah menjelaskan keadaan,inti,maksud,dan tujuan
dari bagian-bagian penting dalam hukum, serta hubungan integritas antar-berbagai bagian
tersebut dengan ilmu hukum. Adapun kegunaanya adalah memahami bagian atau jenis ilmu
hukum lainnya.
Kedudukan Pengantar Ilmu Hukum merupakan landasan bagi mata kuliah dasar khusu
pada bidang hukum. Pengantar Ilmu Hukum berfungsi memberikan pengertian dasar, baik
secara garis besar maupun secara mendalam mengenai hal-hal yang berkaitan dengan
hukum. Selain itu PIH berfungsi pedagogis, yakni menumbuhkan sikap kuat dan
merangsang minat mempelajari hukum dengan cara yang lebih komprehensif.
Pengantar Ilmu Hukum adalah ilmu pengetahuan yang objeknya hukum, mempelajari
seluk beluk hukum, asal mula adanya hukum, wujud hukum, asas hukum, sistem hukum,
macam macam pembagian hukum, sumber hukum, perkembangan hukum, fungsi hukum,
kedudukan hukum dalam masyarakat, menelaah hukum sebagai gejala, fenomena,
kehidupan manusia secara universal dan kondisional.
B. Pengertian Ilmu Hukum
Kata ilmu hukum terdiri atas dua kata, yaitu ilmu dan hukum. Ilmu berasal dari bahasa
Arab, yakni 'alama, yu'limu, 'ilman, 'aliman, artinya pengetahuan. Secara epistemologis,
istilah ilmu berbeda dengan pengetahuan. Ilmu merupakan sekumpulan pengetahuan yang
telah diuji kebenarannya, sedangkan pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui oleh setiap
orang yang dapat bersumber dari pengalaman, ide ataupun intuisi, tetapi belum diuji
validitasnya.
Pada dasarnya, pengetahuan memiliki tiga kriteria (Juhaya S. Pradja, 1997:6), yaitu:
1. Sistem gagasan dalam pikiran ;
2. Persesuaian antara gagasan dan benda-benda yang sebenarnya ;
3. Keyakinan tentang persesuain it.
Pengetahuan diperoleh dengan 3 cara yaitu, yaitu :
1. Gagasan dalam pikiran atau ide,
2. Pengalaman,
3. Intuisi.
Seluruh pengetahuan yang dikelola oleh akal pikiran manusia, diakumulasikandan diuji
secara sistematis, logis, dan ilmiah maka pengetahuan itu berubah menjadi ilmu dengan
tingkat kebenaran yang ilmiah. Kebenaran ilmiah adalah kebenaran yang ditandai oleh
terpenuhinya syarat-syarat ilmiah, terutama menyangkut teori yang menunjang dan sesuai
dengan bukti.
Kebenaran pengetahuan dapat pula dibagi menjadi dua macam, yaitu kebenaran mutlak
atau absolut dan kebenaran relatif atau nisbi. Kebenaran mutlak adalah kebenaran yang tidak
berubah ubah dan tidak dapat dipengaruhi oleh yang lain. Adapun kebenaran relatif atau
nisbi adalah kebenaran yang berubah ubah, tidak tetap, dan dapat dipengaruhi oleh hal lain
di luar hakikat dirinya. (Beni Ahmad Saebani, 2008:34).
Ilmu objektif adalah ilmu yang keberadaan objeknya tidak bergantung pada ada atau
tidaknya subjek tentang objek tersebut.
Adapun ilmu subjektif, adalah ilmu yang keberadaan objeknya bergantung pada ada
tidak adanya subjek. Jika subjek tidak ada, ilmu pun tidak ada. Kebeeadaan ilmu ini dalam
kondisi relatif. ( Beni ahmad Saebani,2008:98).
Metode mempelajari hukum terdiri atas beberapa metode, yaitu :
1. Metode idealis: perwujudan nilai-nilai tertentu ;
2. Metode normatif : analisis hukum sebagai sistem abstrak,otonom, dan bebas nilai ;
3. Metode sosiologis: hukum sebagai alat untuk mengatur masyarakat, faktor yang
memengaruhi pembentukan hukum;
4. Metode historis: melihat sejarah hukum, sejak masa lampau, sekarang, dan prediksi untuk
masa yang akan datang;
5. Metode sistematis:hukum sebagai sistem yang terdiri atas berbagai subsistemyang
integral dan holistis;
6. Metode komparatif : membandingkan antara tata hukum yang berlaku pada suatu negara
dan negara lainnya.
C. Pengertian Hukum
Kata hukum secara etimologis berasal dari kata "law" (Inggris), "recht" (Belanda), "loi
atau droit" (Prancis), "ius" (Latin), "derecto" (Spanyol), "dirrito" (Italia). Dalam bahasa
Indonesia, kata hukum diambil dari bahasa Arab, yaitu "hakama yahkumu hukman", yang
berarti memutuskan suatu perkara.
Banyak ahli hukum mendefinisikan hukum sebagai berikut.
1. Hukum adalah ketentuan-ketentuan yang menjadi peraturan hidup masyarakat yang
bersifat mengendalikan, mencegah, mengikat, dan memaksa.
2. Hukum adalah menetapkan sesuatu atas sesuatu yang lain, yaitu menetapkan sesuatu
yang boleh dikerjakan, harus dikerjakan, dan terlarang dikerjakan.
3. Hukum merupakan ketentuan suatu perbuatan yang terlarang berikut berbagai
akibat/sanksi hukum di dalamnya
4. Hukum adalah al-isbath atau ketetapan yang mengatur tata cara perbuatan manusia
dewasa. Tuntutan dan ketetapan yang dimaksudkan mengatur perilaku manusia untuk
meninggalkan atau mengerjakan perbuatan tertentu (Hanafie, 1988: 15).
5. Abdul Wahab Khalaf (1987: 100) mengatakan bahwa hukum itu tuntunan Allah yang
berkaitan dengan perbuatan orang dewasa yang menyangkut perintah, larangan, dan
kebolehan untuk mengerjakan atau meninggalkannya. Tingkah laku manusia dibatasi
oleh kaidah-kaidah normatif yang berlaku dalam kehidupan masyarakat yang bertujuan
mencapai kehidupan yang aman, tertib, dan damai.
6. Hukum adalah produk pemerintah atau penyelenggara negara atau lembaga legislatif dan
lembaga yang memiliki wewenang untuk itu, yang kemudian menjadi hukum positif atau
peraturan yang mengikat kehidupan masyarakat dalam aktivitas sosial, ekonomi, politik,
dan budaya.
7. Hukum sebagai tata nilai, artinya mengandung nilai baik-buruk, salah-benar, adil-zalim,
dan lain-lain, yang berlaku secara umum. 20. Hukum sebagai sistem ajaran yang
menguraikan hukum yang dicita-citakan, hukum sebagai ideologi masyarakat.
8. Aristoteles mengatakan bahwa hukum adalah particular law is that which each
community lays down and applies to its own members. Universal law is the law of nature
(hukum adalah pijak mendasar untuk kehidupan anggota masyarakat. Hukum alam
merupakan hukum universal).
9. Grotius: Law is a rule of moral action obliging to that which is right (hukum adalah
sebuah aturan tindakan moral yang membawa kepada kebenaran).
10. Hobbes: Where as law, properly is the word of him, that by right had command over
others" (Pada dasarnya, hukum adalah sebuah kata seseorang, yang dengan haknya,
mampu memerintah pada yang lain).
Dari semua pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa hukum adalah peraturan,
ketentuan, dan ketetapan yang telah disepakati oleh masyarakat dan para penegak hukum,
yang harus dilaksanakan sebaik baiknya. Hukum mengandung sanksi tertentu untuk
diterapkan pada para pelanggar hukum.
D. Unsur-unsur Hukum
Unsur-unsur yang terdapat dalam hukum meliputi hal-hal berikut ;
1. Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat;
2. Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib;
3. Peraturan itu bersifat memaksa;
4. Sanksi yang tegas terhadap pelanggaran.
Pada setiap negara hukum terdapat ciri-ciri yang khas, yaitu :
1. Pengakuan dan perlindungan hak-hak asasi manusia
2. Peradilan bebas,mandiri, dan tidak memihak;
3. Pembagian kekuasaan dalam sistem pengelolaan kekuasaan negara;
4. Berlakunya asas legalitas hukum dalam segala bentuknya, yaitu, semua tindakan negara
harus didasarkan atas hukum yang sudah dibuat secara demokratis semenjak sebelumnya,
bahwa hukum yang dibuat itu adalah "supreme" atau di atas segala-galanya, dan semua
orang sama kedudukannya di hadapan hukum.
Selain unsur-unsur hukum (gegevens van het recht) tersebut ada pula unsur-unsur hukum
lainnya, terdiri atas unsur idiil dan real. Unsur idiil, unsur yang terletak pada bidang yang
sangat abstrak yang tidal dapat dilihat oleh pancaindra, tetapi kehadirannya dapat dirasakan
Unsur ini terdapat dalam diri setiap pribadi manusia, yang terdiri atas:
1. Unsur cipta, harus diasah yang dilandasi logika kognitif. Unsur ini menghasilkan ilmu
tentang pengertian (begrippen)
2. Unsur karsa, harus diasah, yang dilandasi etika dan berorientasi pada aspek konatif;
3. Unsur rasa, harus diasih dan dikembangkan dengan landasan estetika dan beraspek afektif
dalam perspektif aksiologis yang melahirkan asas-asas (beginselen).
Adapun unsur real, karena sifatnya yang konkret, bersumber dari kehidupan manusia,
seperti tradisi, norma sosial, pembawaan alamiah manusia semenjak dilahirkan, dan lainnya.
Unsur hukum yang berasal dari akal bersifat tetap, karena kontruksi akal manusia dapat
dinilai dengan mudah. Konstruksi akal menjadi bahan hukum yang berupa peraturan
perundang-undangan.
Unsur idiil bersumber pada perasaan sehingga sifatnya berubah ubah dan sukar
dievaluasi, sebagaimana asas-asas hukum pun bergantung pada ideologi hukum yang dianut
yang telah menjadi bagian dari rasa kehidupan manusia masing-masing atau pandangan hidup
masyarakat yang berbeda-beda.
Unsur real terdiri atas manusia, kebudayaan materiil, dan lingkungan alam. Unsur idiil
menghasilkan kaedah-kaedah hukum melalui filsafat hukum dan "normwissenschaft atau
sollenwissenschaft.
BAB 2 ILMU HUKUM SEBAGAI DISIPLIN ILMU
A. Pengertian Disiplin Hukum
Disiplin hukum pada dasarnya merupakan sistem ajaran tentang hukumu hukum
merupakan bagian dari disiplin hukum, terutama disiplin hukum yang berkaitan dengan
kehidupan manusia atau tindak tanduk masyarakat yang diatur oleh kaidah sosial yang telah
disepakati Dengan demikian, disiplin hukum berkaitan dengan ilmu kaidah hukum yang
merupakan bagian dari ilmu hukum yang khusus mengajarkan kaidah hukum dan segala
seluk-beluk.
Keseluruhan disiplin ilmiah disebut dengan satu istilah, yaitu disiplin ilmiah tentang
hukum (sciences concerned with law, Radbruch), atau ilmu-ilmu hukum (Mochtar
Kuvamaatmadja) atau pengembanan hukum teoritikal (theoretische kefening, Meuwissen).
Istilah-istilah tersebut menunjukkan kegiatan akal budi untuk secara ilmiah (rasional-
sistematikal-metodikal dan terus-menerus) berupaya untuk memperoleh pengetahuan
tentang hukum dan penguasaan intelektual atas hukum.
Berbagai disiplin ilmiah tentang hukum dapat dibedakan dalam dua kelompok, yaitu :
1. Disiplin hukum dan disiplin non-hukum atau disiplin ilmu-ilmu lain yang objek
telaahnya hukum.
2. Disiplin hukum mempelajari hukum sebagai objeknya dengan menggunakan pendekatan
internal, artinya melakukan pengkajian dari dalam ilmu hukum, atau dengan kata lain
bertolak dari titik partisipan. Disiplin hukum itu dapat dibagi lagi menjadi tiga
kelompok, yaitu ilmu hukum; filsafat hukum; dan teori hukum.
Adapun disiplin non-hukum menggunakan pendekatan yang eksternal, yaitu sebagai
pengamat yang mempelajari hukum dari luar hukum itu sendiri. Disiplin ini mencakup
sejarah hukum, sosiologi hukum, antropologi hukum, dan psikologi hukum.
Pada tiap-tiap bidang studi hukum, walaupun terdapat perbedaan, yang masih dalam
satu program, ada pula sifat yang sama, yaitu sifat 'juridis normatif. Oleh karena itu, pada
umumnya pendekatan yang digunakan dalam penelitian bersifat juridis normatif atau
normatif empiris. Kedua pendekatan disiplin ilmu hukum tersebut dapat dijelaskan berikut.
1. Pendekatan normatif
Pendekatan yang diarahkan pada upaya melihat permasalahan dengan sifat hukum
yang normatif, misalnya dengan asas-asas hukum, sistematika hukum,
sinkronisasi/penyesuaian hukum, perbandingan hukum, dan sejarah hukum.
2. Pendekatan empiris (empirical/nyata)
Pendekatan yang diarahkan pada upaya melihat permasalahan dengan sifat hukum
yang nyata atau sesuai dengan kenyataan hidup pada masyarakat. Hukum itu adalah
masyarakat atau segala yang ditaati oleh masyarakat itulah hukum, atau meneliti hukum
tertentu dalam pelaksanaannya di masyarakat.
3. Pendekatan normatif empiris
Menggabungkan dua pendekatan, yaitu berusaha mempelajari pasal-pasal
perundangan, pandangan pendapat para ahli lalu menguraikannya, juga menggunakan
bahan-bahan yang sifatnya normatif untuk mengolah dan menganalisis data-data yang
diperoleh dari lapangan.
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto (1993: 8) berpendapat bahwa disiplin
hukum pada mulanya terdiri atas ilmu hukum dan filsafat hukum yang masing-masing
memiliki ruang lingkup tersendiri. Ilmu hukum dibagi lagi menjadi dua bagian, yaitu
ilmu dogmatis hukum dan ilmu kenyataan hukum. Ilmu dogmatis hukum terbagi dua,
yaitu ilmu kaidah hukum dan ilmu mengenai pengertian pokok ilmu hukum.
B. Ilmu Hukum Sebagai Kaidah Hukum
Kaidah hukum adalah peraturan yang dibuat atau yang dipositifkan secara resmi oleh
penguasa masyarakat atau penguasa negara, mengikat setiap orang, dan berlakunya dapat
dipaksakan oleh aparat penegak hukum atau aparat negara, sehingga berlakunya kaidah
hukum dapat dipertahankan. Kaidah hukum ditujukan pada sikap lahir manusia atau
perbuatan nyata yang dilakukan manusia.
Menurut Sudikno Mertokusumo, isi kaidah hukum ditujukan pada sikap lahir manusia.
Kaedah hukum mengutamakan perbuatan lahiriah, yaitu perbuatan yang tampak. Pada
hakikatnya, kaidah hukum terdapat di dalam batin, bukan pada pikiran, dan yang paling
utama, secara lahiriah tidak melanggar kaidah hukum. Orang tidak akan dihukum atau diberi
sanksi hukum hanya karena apa yang dipikirkan atau apa yang terbersit di batinnya.
Perencanaan, iktikad baik atau buruk dan sebagainya. Pengertian kesengajaan, iktikad
baik atau buruk ini berhubungan dengan batin manusia dan tidak akan tampak secara
lahiriah. Misalnya dalam hal pembunuhan, seseorang secara lahiriah telah terbukti
membunuh, tetapi masih dipersoalkan apakah membunuh dengan sengaja, direncanakan,
pembelaan diri, atau sebaliknya.
Dilihat dari sifatnya, kaidah hukum dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
1. hukum yang imperatif, yaitu kaidah hukum itu bersifat apriori harus ditaati, bersifat
mengikat dan memaksa. Tidak ada pengecualian seorang pun di mata hukum (equality
before the law);
2. hukum yang fakultatif, yaitu hukum itu tidak secara apriori mengikat, Kaidah fakultatif
bersifat sebagai pelengkap. Contoh:
Setiap warga negara berhak untuk mengemukakan pendapat.
Apabila seseorang berada di dalam forum, ia dapat mengeluarkan
pendapatnya atau tidak sama sekali.
Menurut bentuknya, kaidah hukum dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
1. kaidah hukum yang tidak tertulis, biasanya tumbuh dalam masyarakat dan bergerak
sesuai dengan perkembangan masyarakat.
2. kaidah hukum yang tertulis, biasanya dituangkan dalam bentuk tulisan pada undang-
undang dan sebagainya. Kelebihan kaidah hukum yang tertulis adalah adanya kepastian
hukum, mudah diketahui, dan penyederhanaan hukum serta kesatuan hukum.
Kaidah hukum dapat berupa hukuman atau sanksi pidana yang terdiri atas berbagai
jenis dan bentuk. Sesuai dengan Bab II (PIDANA), Pasal 10, Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) di antaranya adalah:
a. Pidana pokok:
1. pidana mati;
2. pidana penjara;
3. Pidana kurungan;
4. Pidana denda;
5. Pidana tutupan
b. Pidana tambahan :
1. pencabutan hak-hak tertentu
2. perampasan barang-barang tertentu;
3. pengumuman putusan hakim.
Tujuan kaidah hukum adalah kedamaian. Kedamaian adalah suatu keadaan adanya
keserasian antara (nilai) ketertiban ekstern antarpribadi dengan nilai ketenteraman intern
pribadi. Adapun tugas kaidah hukum adalah mencapai keadilan, yaitu keserasian antara
(nilai) kepastian hukum dengan (nilai) kesebandingan hukum. Hubungan antara tugas dan
tujuan hukum adalah bahwa pemberian nilai kepastian hukum akan mengarah pada
ketertiban ekstern pribadi, sedangkan pemberian kesebandingan hukum akan mengarah
pada ketenteraman intern pribadi.
Dengan demikian, pada dasarnya, kaidah hukum bertujuan menjaga hubungan
antarmanusia dalam masyarakat agar kehidupan masyarakat berjalan dengan tertib dan
teratur
C. Keberlakuan Kaidah Hukum
Teori keberlakuan kaidah hukum adalah sebagai berikut.
1. Kaidah hukum berlaku secara yuridis, apabila penentuannya didasarkan pada kaidah yang
lebih tinggi tingkatannya (Hans Kelsen, 2000), atau berbentuk menurut cara yang telah
ditetapkan, atau apabila menunjukkan hubungan keharusan antara suatu kondisi dan
akibat. Secara filosofis, berlakunya kaidah hukum dianggap berlaku apabila dipandang
sesuai dengan cita-cita masyarakat.
2. Kaidah hukum berlaku secara sosiologis. Apabila kaidah tersebut efektif, artinya, kaidah
tersebut dapat dipaksakan berlakunya oleh penguasa walaupun tidak diterima oleh warga
masyarakat (teori kekuasaan), atau kaidah tersebut berlaku karena diterima dan diakui
oleh masyarakat (teori pengakuan). Berlakunya kaidah hukum secara sosiologis menurut
teori pengakuan adalah apabila kaidah hukum tersebut diterima dan diakui masyarakat.
Adapun menurut teori paksaan berlakunya kaidah hukum apabila dipaksakan oleh
penguasa.
3. Kaidah hukum tersebut berlaku secara filosofis, artinya sesuai dengan cita-cita hukum
sebagai nilai positif yang tertinggi.
Kaidah hukum sebaiknya mengandung ketiga aspek tersebut. Jika hanya berlaku secara
yuridis, kaidah hukum hanya merupakan hukum yang mati. Jika hanya berlaku secara
sosiologis karena dipaksakan, kaidah hukum tersebut tidak lebih dari sekadar alat pemaksa.
Jika hanya memenuhi syarat filososfis, kaidah hukum tersebut tidak lebih dari kaidah hukum
yang dicita-citakan.
Perumusan kaidah hukum ada dua macam, yaitu:
1. hipotetis/bersyarat: yaitu yang menunjukkan adanya hubungan antara kondisi (sebab) dan
konsekuensi (akibat) tertentu;
2. kategori: yaitu suatu keadaan yang menurut hukum tidak menunjukkan adanya hubungan
antara kondisi (sebab) dan konsekuensi (akibat).
menunjukkan adanya hubungan antara kondisi (sebab) dan konsekuensi (akibat).
Secara mendasar, kaidah hukum berkaitan dengan esensinya atau disebut hukum
esensial. Hukum esensial adalah hukum yang bersifat mematok, bukannya memaksa karena
hukum tidak dapat memaksa dan ia dapat dilanggar. Sesuatu yang menyebabkan terjadinya
paksaan adalah diri sendiri ataupun orang lain (negara). Hukum yang baik adalah hukum
yang menggambarkan keinginan-keinginan masyarakatnya.
Gustaf Raderuch berpendapat bahwa dasar keberlakuan kaidah hukum dapat dilihat dari
kewenangan-kewenangan pembentuk undang-undang dan faktor-faktor yang memengaruhi
berlakunya hukum dalam masyarakat sehingga hukum tersebut berlaku efektif.
Faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kaidah hukum Dalam teori-teori ilmu hukum, dapat dibedakan antara tiga macam hal
mengenai berlakunya hukum sebagai kaidah, yaitu:
a. kaidah hukum berlaku secara yuridis;
b. kaidah hukum berlaku secara sosiologis;
c. kaidah hukum berlaku secara filosofis.
2. Penegak hukum
Penegak hukum atau orang yang bertugas menerapkan hukum secara hierarkis,
mulai tingkat terbawah hingga teratas, misalnya kepolisian, kejaksaan, hakim, mahkamah
agung, dan lainnya.
3. Sarana/fasilitas
Sarana dan prasarana untuk terlaksananya hukum sangat penting, misalnya kantor
kepolisian, lembaga pemasyarakatan, dan seluruh fasilitas yang diperlukan.
4. Warga masyarakat
Masyarakat termasuk faktor penentu berlakunya kaidah hukum karena pada dasarnya
hukum dibuat untuk kepentingan masyarakat. Cita-cita sosial masyarakat untuk
memperoleh keamanan, ketenteraman, dan keadilan.
MCST Kansil menegaskan bahwa masyarakat adalah persatuan manusia yang timbul
dari kodrat yang sama, yang terbentuk dari dua orang atau lebih untuk hidup bersama
sehingga timbul berbagai hubungan yang mengakibatkan seorang dan orang lain saling
mengenal dan memengaruhi.
Dengan demikian, unsur-unsur masyarakat terdiri atas.
a. manusia yang hidup bersama;
b. berkumpul dan bekerja sama untuk waktu lama;
c. merupakan satu kesatuan;
d. merupakan sistem hidup bersama (Soerjono Soekanto, 1990: 28).
Dalam masyarakat terdapat berbagai golongan dan aliran. Walaupun golongan itu
beragam dan masing-masing mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, kepentingan bersama
mengharuskan adanya ketertiban dalam kehidupan masyarakat. Adapun yang memimpin
kehidupan bersama, yang mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat adalah
peraturan hidup.
Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya dengan aman, tenteram, dan damai,
manusia perlu adanya suatu tata (orde - ordnung). Tata itu berwujud aturan yang menjadi
pedoman bagi segala tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup, sehingga kepentingan
masing-masing dapat terpelihara dan terjamin, dan setiap anggota masyarakat mengetahui
hak dan kewajiban.
Tata tersebut sering disebut kaidah atau norma sosial. Kaidah atau norma sosial
adalah patokan atau pedoman tingkah laku yang diharapkan, yang berisi perintah, yang
merupakan keharusan bagi seseorang untuk berbuat sesuatu karena akibat-akibatnya
dipandang baik dan juga berisi larangan, yang merupakan keharusan bagi seseorang untuk
tidak berbuat sesuatu karena akibat-akibatnya dipandang tidak baik.
Kaidah sosial memberi petunjuk kepada manusia mengenai tata cara bertindak dalam
masyarakat serta perbuatan-perbuatan yang harus dijalankan dan harus dihindari. Dalam
kehidupan masyarakat terdapat kaidah hukum dan kaidah
D. Norma Hukum
Norma hukum adalah aturan sosial yang dibuat oleh lembaga lembaga tertentu,
misalnya pemerintah, sehingga dengan tegas melarang serta memaksa orang untuk
berperilaku sesuai dengan keinginan pembuat peraturan itu. Pelanggaran terhadap norma ini
berupa sanksi denda sampai hukuman fisik (dipenjara hingga hukuman mati).
Norma hukum dibuat sebagai peraturan atau kesepakatan tertulis yang memiliki sanksi
dan alat penegaknya agar masyarakat menaatinya dan merasa jera dengan sanksi yang
diterapkan sehingga tidak mengulangi perbuatan yang melanggar hukum untuk kedua
kalinya.
Ciri-ciri norma hukum adalah:
1. aturannya pasti (tertulis);
2. mengikat semua orang;
3. memiliki alat penegak aturan;
4. dibuat oleh penguasa;
5. bersifat memaksa;
6. sanksinya berat.
Adapun norma sosial keberadaannya berbeda dengan norma hukum.
Norma sosial memiliki ciri-ciri berikut:
1. aturannya tidak pasti dan tidak tertulis;
2. ada-tidaknya alat penegak tidak pasti (terkadang ada, terkadang tidak ada);
3. dibuat oleh masyarakat;
4. bersifat tidak terlalu memaksa;
5. sanksinya ringan.
Di samping ciri tersebut di atas, norma sosial merupakan sarana yang dipakai masyarakat
untuk menertibkan kehidupan sosial, menuntun, dan mengarahkan tingkah laku manusia
dalam berhubungan dengan orang lain (Satjipto Rahardjo, 1982: 66). Norma sosial dapat
berasal dari sistem budaya yang dianut oleh masyarakat.
E. Ruang Lingkup Kaidah Hukum
Di antara bagian dari kaidah hukum adalah norma. Norma adalah ketentuan yang
mengatur tingkah laku manusia dalam masyarakat. Pada umumnya, norma hanya berlaku
dalam lingkungan masyarakat tertentu, atau dalam lingkungan etnis tertentu atau dalam
wilayah negara tertentu. Sekalipun demikian, ada pula norma yang bersifat universal, yang
berlaku di semua wilayah dan semua umat manusia, seperti larangan mencuri, membunuh,
menganiaya, memperkosa, dan lain-lain.
Norma berada pada kaidah hukum yang dijadikan rujukan pemberlakukan sanksi
hukum. Kaidah hukum yang bersifat normatif terdiri atas beberapa macam, yaitu sebagai
berikut.
1. Kaidah kesopanan, yaitu ketentuan hidup yang berasal dari pergaulan dalam masyarakat.
Hakikat atau dasar dari kaidah kesopanan adalah kepantasan, kebiasaan, dan kepatutan
yang berlaku dalam masyarakat. Kaidah kesopanan sering dinamakan kaidah sopan
santun, tata krama atau adat istiadat. Sanksi kaidah kesopanan yang dijatuhkan akan
menimbulkan celaan yang dirasakan sebagai penderitaan.
2. Kebiasaan. Kebiasaan sebagai hakikat norma kesopanan dalam kehidupan masyarakat
diterima dan ditaati sebagai aturan yang mengikat, walaupun tidak ditetapkan oleh
pemerintah. Kebiasaan adalah tingkah laku individu-individu dalam masyarakat yang
dilakukan berulang-ulang mengenai peristiwa dan suatu hal yang sama yang diyakini
bersama sebagai aturan hidup dan patut ditaati atau dipatuhi.
Untuk menjadi kebiasaan, diperlukan syarat-syarat berikut:
a. Ada perbuatan atau tindakan semacam dalam keadaan yang sama dan harus selalu
diikuti oleh masyarakat. Misalnya kebiasaan jual beli dengan cara menaksir jumlah
buah-buahan yang masih berada di atas pohon. Dalam bidang perdagangan,
kebiasaan ini dibentuk oleh para pedagang.
b. Harus ada keyakinan hukum dari golongan orang-orang yang berkepentingan (opinio
iuris necessitatis), yaitu: (1) keyakinan hukum dalam arti materiil, yaitu keyakinan
bahwa aturan itu memuat sesuatu yang baik.; (2) keyakinan hukum dalam arti formal,
yaitu keyakinan bahwa aturan itu harus diikuti dengan taat dan dengan tidak
mengingat nilai dari isi aturan tadi.
c. Adat istiadat adalah kebiasaan-kebiasaan sosial yang sejak lama. dalam masyarakat
dengan maksud mengatur tata tertib.
d. Kaidah keyakinan (agama), yaitu ketentuan hidup yang berasal dari Tuhan, yang
isinya berupa larangan, perintah, dan ajaran. Kaidah keyakinan berasal dari wahyu,
dan mempunyai nilai fundamental yang mewarnai berbagai kaidah yang lain.
Pelanggar kaidah keyakinan/agama akan dikenakan sanksi oleh Tuhan kelak di
akhirat.
e. Kaidah kepercayaan bertujuan mencapai suatu kehidupan yang beriman, sedangkan
kaidah kesusilaan bertujuan agar manusia hidup berakhlak atau mempunyai hati
nurani bersih. Kaidah kesopanan bertujuan agar pergaulan hidup berlangsung dengan
menyenangkan, sedangkan kaidah hukum bertujuan untuk mencapai kedamaian
dalam pergaulan antarmanusia.
3. Kaidah moral: moral berasal dari kata mos dan bentuk jamaknya mores, kosa kata dalam
bahasa Latin yang berarti tata cara atau adat istiadat. Moral disinonimkan dengan akhlak,
budi pekerti, atau susila (dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia). Ada yang berpendapat
moral adalah ajaran baik dan buruk tentang perbuatan atau kelakuan (akhlak).
4. Kaidah agama, aturan hidup yang bersumber dari wahyu yang diyakini oleh para
penganut agama tertentu.
5. Kaidah kesusilaan, aturan hidup yang bersumber dari nilai-nilai yang hidup di
masyarakat.
Perbedaan antara kaidah hukum dengan kaidah agama adalah:
1. Dilihat dari tujuannya, kaidah hukum bertujuan menciptakan tata tertib masyarakat dan
melindungi manusia beserta kepentingannya. Adapun kaidah agama bertujuan untuk
memperbaiki pribadi agat menjadi manusia ideal di mata Tuhan.
2. Dilihat dari sasarannya, kaidah hukum mengatur tingkah laku manusia dan memberi
sanksi bagi setiap pelanggarnya dalarn kehidupan dunia. Adapun kaidah agama mengatur
sikap batin manusia sebagai pribadi.
3. Ditinjau dari sumber sanksinya, sumber sanksi berasal dari luar dan dipaksakan oleh
kekuasaan dari luar diri manusia (heteronom). Kaidah agama sumber sanksi berasal dari
ajaran agama, dari Tuhan.
4. Ditinjau dari kekuatan mengikatnya, pelaksanaan kaidah hukum dipaksakan secara nyata
oleh kekuasaan dari luar, sedangkan pelaksanaan kaidah agama pada asasnya bergantung
pada yang bersangkutan.
5. Ditinjau dari isinya kaidah hukum memberikan hak dan kewajiban (atribut dan normatif)
adapun kaidah agama hanya memberikan kewajiban (normatif). Hak-haknya diatur
sepenuhnya oleh Tuhan.
Perbedaan antara kaidah hukum dan kaidah kesopanan adalah:
1. kaidah hukum memberi hak dan kewajiban, sedangkan kaidah kesopanan hanya
memberikan kewajiban.
2. sanksi kaidah hukum dipaksakan dari masyarakat secara resmi (negara), sedangkan
sanksi kaidah kesopanan dipaksakan oleh masyarakat secara tidak resmi.
Perbedaan antara kaidah kesopanan dan kaidah agama, dan kaidah kesusilaan adalah:
1. asal kaidah kesopanan dari luar diri manusia, sedangkan asal kaidah agama dan kaidah
kesusilaan berasal dari pribadi manusia;
2. kaidah kesopanan berisi aturan yang ditujukan pada sikap lahir manusia, sedangkan
kaidah agama dan kaidah kesusilaan berisi aturan yang ditujukan pada sikap batin
manusia;
3. tujuan kaidah kesopanan menertibkan masyarakat agar tidak ada korban, sedangkan
tujuan kaidah agama dan kaidah kesusilaan adalah menyempurnakan manusia agar tidak
menjadi manusia jahat.
Ciri-ciri kaidah hukum yang membedakan dengan kaidah lainnya adalah:
1. hukum bertujuan untuk menciptakan keseimbangan antara kepentingan;
2. hukum mengatur perbuatan manusia yang bersifat lahiriah;
3. hukum dijalankan oleh badan-badan yang diakui oleh masyarakat;
4. hukum mempunyai berbagai jenis sanksi yang tegas dan bertingkat;
5. hukum bertujuan untuk mencapai kedamaian (ketertiban dan ketenteraman).
Meskipun dalam kehidupan masyarakat sudah ada kaidah yang mengatur tingkah laku
manusia, kaidah hukum masih diperlukan karena alasan berikut.
1. Masih banyak kepentingan lain dari manusia dalam pergaulan hidup yang memerlukan
perlindungan karena belum mendapat perlindungan yang sepenuhnya dari kaidah agama,
kesusilaan, kaidah sopan santun, kebiasaan ataupun adat.
2. Kepentingan manusia yang telah mendapat perlindungan dari kaidah-kaidah tersebut,
dipandang belum cukup terlindungi karena apabila terjadi pelanggaran terhadap kaidah
tersebut, akibat atau ancamannya dipandang belum cukup kuat.
Soerjono Soekanto (1993: 10-12) menguraikan macam-macam kaidah, yaitu:
1. Tata kaidah aspek hidup pribadi:
a. kaidah kepercayaan;
b. kaidah kesusilaan;
2. Tata kaidah aspek hidup antarpribadi:
a. kaidah sopan santun;
b. kaidah hukum.
3. Kaidah hukum abstrak dan kaidah hukum konkret (individual);
4. Kaidah yang memuat perintah, larangan, dan kebolehan yang bersifat imperatif dan
fakultatif.
F. Fungsi dan Tujuan Hukum
1. Fungsi Hukum
Hukum selalu melekat pada kehidupan manusia sebagai individu ataupun
masyarakat. Dengan berbagai peran hukum, hukum berfungsi menertibkan dan mengatur
pergaulan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di dalam
kehidupan sosial. Secara sistematis, fungsi hukum dalam perkembangan masyarakat
adalah sebagai berikut.
1. Alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat. Hukum berfungsi menunjukkan
manusia untuk memilih yang baik atau yang buruk sehingga segala sesuatu dapat
berjalan tertib dan teratur.
2. Sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin.
3. Menentukan orang yang bersalah, dan yang tidak bersalah, memaksa agar peraturan
ditaati dengan ancaman sanksi bagi pelanggarnya.
4. Sarana penggerak pembangunan. Daya ikat dan memaksa dari hukum dapat digunakan
atau didayagunakan untuk meng gerakkan pembangunan. Hukum dijadikan alat untuk
membawa masyarakat ke arah yang lebih maju.
5. Penentuan alokasi wewenang secara terperinci tentang pihak-pihak yang boleh
melakukan pelaksanaan (penegak) hukum, yang harus menaatinya, yang memilih
sanksi yang tepat dan adil, seperti konsep hukum konstitusi negara.
6. Alat penyelesaian sengketa, yaitu memelihara kemampuan masyarakat untuk
menyesuaikan diri dengan kondisi kehidupan yang berubah, dengan cara merumuskan
kembali hubungan esensial antaranggota masyarakat.
7. Alat ketertiban dan keteraturan masyarakat. Hukum sebagai petunjuk bertingkah laku.
Masyarakat harus menyadari adanya perintah dan larangan dalam hukum sehingga
fungsi hukum sebagai alat ketertiban masyarakat dapat direalisir.
8. Alat untuk mewujudkan ketenteraman sosial lahir dan batin. Hukum yang bersifat
mengikat, memaksa, dan dipaksakan oleh alat negara yang berwenang membuat orang
takut untuk melakukan pelanggaran karena ada ancaman hukumannya dan dapat
diterapkan tanpa tebang pilih.
9. Alat kritik. Fungsi ini berarti bahwa hukum tidak hanya mengawasi masyarakat
semata-mata tetapi juga berperan mengawasi pejabat pemerintah, para penegak hukum
ataupun aparatur negara, sehingga semua masyarakat harus harus taat hukum.
10. Pemersatu bangsa dan negara serta meningkatkan kewibawaan negara di mata dunia.
11. Lawrence M. Friedman mengatakan bahwa fungsi hukum adalah:
a. pengawasan atau pengendalian sosial (social control);
b. penyelesaian sengketa (dispute settlement);
c. rekayasa sosial (social engineering).
12. Menurut Theo Huijbers, fungsi hukum adalah memelihara kepentingan umum dalam
masyarakat, menjaga hak-hak manusia, mewujudkan keadilan dalam hidup bersama.
2. Tujuan Hukum
Berikut ini beberapa pendapat ahli hukum tentang tujuan hukum.
1. Prof. Lj. Van Apeldom: tujuan hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat
dengan damai dan adil. Untuk itu, hukum harus menciptakan masyarakat yang adil
dengan mengadakan perimbangan antara kepentingan yang bertentangan satu dan
lainnya, dan setiap orang harus memperoleh (sedapat mungkin) yang menjadi
haknya. Pendapat Apeldorn ini dapat dikatakan jalan tengah antara dua teori tujuan
hukum, teori etis, dan utilitis. Perdamaian di antara manusia dipertahankan oleh
hukum dengan melindungi kepentingan hukum manusia tertentu, kehormatan,
kemerdekaan, jiwa, harta benda terhadap pihak yang merugikan. \
2. Aristoteles: hukum mempunyai tugas yang suci, yaitu memberi kepada setiap orang
yang ia berhak menerimanya.
3. Prof. Soebekti: tujuan hukum adalah melayani kehendak negara, yaitu mendatangkan
kemakmuran dan kebahagiaan bagi rakyat. Dalam melayani tujuan negara, hukum
memberikan keadilan dan ketertiban bagi masyarakatnya.
4. Geny (Teori Ethic): tujuan hukum adalah mencapai keadilan. Tujuan hukum
ditentukan oleh unsur keyakinan seseorang yang dinilai etis. Adil atau tidak, benar
atau salah. Tumpuan dari teori ini hukum berada pada sisi batin seseorang.
Kesadaran etis yang berada pada tiap-tiap batin orang menjadi ukuran untuk
menentukan warna keadilan dan kebenaran.
5. Jeremy Bentham (Teori Utility): Hukum bertujuan memberikan faedah bagi manusia.
Teori ini menetapkan bahwa tujuan hukum ialah untuk memberikan faedah
sebanyak-sebanyaknya.
6. Prof. J. Van Kan: tujuan hukum adalah menjaga kepentingan tiap tiap manusia
supaya tidak diganggu. Dengan tujuan ini, dapat dicegah terjadinya perilaku main
hakim sendiri terhadap orang lain, karena tindakan itu dicegah oleh hukum.
7. Hukum bertujuan untuk mencapai kedamaian, yaitu adanya keselarasan, keserasian,
dan keseimbangan antara ketenteraman dan ketertiban.
8. Hukum bertujuan menjamin kepastian status seseorang sebagai warga negara.
Dengan hukum ada kepastian status diri individu dalam berhubungan satu dan lain,
apakah dia benar-benar sebagai warga negara atau bukan sebagai warga negara.
Hukum menjamin terpenuhinya hak-hak warga negara, dan menjamin agar
pemerintah (penguasa) tidak melakukan tindakan sewenang wenang kepada setiap
warga negaranya.
9. Purnadi dan Soerjono Soekanto (1989) mengatakan bahwa tujuan hukum adalah
kedamaian hidup antarpribadi yang meliputi ketertiban eksternal antarpribadi dan
ketenangan internal pribadi.
10. S.M. Amin: tujuan hukum adalah mengadakan ketertiban dalam pergaulan manusia
sehingga keamanan dan ketertiban terpelihara.
G. Istilah-istilah dalam Hukum
Istilah yang sering digunakan dalam pembahasan hukum dan dapat menjadi acuan
pembuatan peraturan, yaitu sebagai berikut.
1. Actus non facid reum, nisi mens sitrea (sikap batin yang tidak bersalah, orang tidak
boleh dihukum).
2. All men are equal before the law, without distinction sex, race, religion and social status
(semua manusia sama di depan hukum, tanpa membedakan kelamin, kulit, agama, dan
status sosial).
3. Alterum non laedere (perbuatanmu janganlah merugikan orang lain).
4. Audi et alteram partem atau audiatur et altera pars (para pihak harus didengar).
5. Bis de eadem re ne sit actio atau ne bis in idem (perkara yang sama dan sejenis tidak
boleh disidangkan untuk yang kedua kalinya).
6. Clausula rebus sic stantibus (suatu syarat dalam hukum internasional bahwa suatu
perjanjian antarnegara masih tetap berlaku apabila situasi dan kondisinya tetap sama).
7. Cogitationis poenam nemo patitur (tiada seorang pun dapat dihukum oleh sebab yang
dipikirkannya).
8. De gustibus non est disputandum (mengenai selera tidak dapat disengketakan).
9. Eidereen wordt geacht de wette kennen (setiap orang dianggap mengetahui hukum).
10. Errare humanum est, turpe in errore perseverare (membuat kekeliruan itu manusiawi,
tetapi tidaklah baik untuk mempertahankan kekeliruan).
Istilah atau konsep lain yang berhubungan dengan hukum adalah sebagai berikut
1. Subjek Hukum ( subjectum juris )
Subjek hukum merupakan pendukung hak, terdiri atas badan hukum alam (manusia
dewasa) dan badan hukum buatan (organisasi yang berbadan hukum punya hak dan
kewajiban). Subjek hukum juga diartikan segala sesuatu yang dapat memperoleh hak dan
kewajiban dari hukum, atau sebagai pemegang, pengemban, atau penyandang hak dan
kewajiban orang (natuurlijk persoon) badan hukum (rechtspersoon).
2. Peristiwa Hukum
Peristiwa hukum adalah kejadian atau perbuatan yang oleh peraturan atau kaidah
hukum dihubungkan dengan akibat hukum yang berupa timbulnya atau hapusnya hak dan
kewajiban tertentu bagi subjek hukum tertentu yang terkait pada peristiwa tersebut.
Ada tiga kelompok peristiwa hukum, yaitu:
a. keadaan, yang terdiri atas: (1) alamiah, siang, dan malam; (2) kejiwaan, normal atau
abnormal; (3) sosial, keadaan darurat/ perang;
b. kejadian, kelahiran-kematian;
c. perilaku/sikap tindak: sikap tindak menurut hukum; sikap tindak melawan hukum; sikap
tindak lainnya.
3. Perbuatan Hukum
a. Perbuatan hukum, yaitu perbuatan subjek hukum yang diberi akibat hukum oleh
kaidah hukum tertentu, dan timbulnya akibat hukum ini dikehendaki oleh subjek
hukum.
b. Bukan perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh subjek hukum yang
menimbulkan akibat hukum tertentu, dan akibat hukum ini tidak dikehendaki oleh
subjek hukum.
Perbuatan hukum dibagi menjadi dua macam:
a. Perbuatan hukum tunggal atau sepihak, yaitu perbuatan yang sudah selesai dan memiliki
akibat hukum dengan satu tindakan sepihak oleh satu subjek hukum tanpa memerlukan
persetujuan subjek hukum lain, misalnya perbuatan menulis surat, atau hibah;
b. Perbuatan hukum berganda, yaitu perbuatan yang memerlukan keterlibatan lebih dari
satu subjek hukum untuk selesai sebagai perbuatan hukum dan memiliki akibat hukum.
4. Hak dan Kewajiban
Hak adalah peranan yang boleh tidak dikerjakan atau dilaksanakan. Jadi, sifatnya
fakultatif. Adapun kewajiban merupakan peranan yang harus dilaksanakan (bersifat
imperatif).
Hak dan kewajiban merupakan perimbangan kekuasaan dalam bentuk hak individual
di satu pihak yang tercermin pada kewajiban pihak lawan. Hak dan kewajiban merupakan
kewenangan yang diberikan kepada seseorang oleh hukum.
Hak dan kewajiban dapat dibedakan antara lain:
a. hak dan kewajiban yang relatif atau searah
b. hak dan kewajiban absolut atau jamak arah.
5. Hubungan Hukum
Hubungan hukum adalah setiap hubungan yang terjadi antara dua subjek hukum atau
lebih pada saat hak dan kewajiban pada suatu pihak berhadapan dengan hak dan
kewajiban pihak lain.
Hukum memiliki dua segi, yaitu segi kekuasaan atau kewenangan atau segi hak dan
segi kewajiban.
6. Asas-asas Hukum
Asas hukum adalah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum.
Asas-asas itu dapat juga disebut titik tolak dalam pembentukan undang-undang dan
interpretasi undang-undang tersebut. Oleh karena itu, Satjipto Rahardjo menyebutkan,
bahwa asas hukum ini merupakan jantungnya peraturan hukum. Disebut demikian karena
ia merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu pertautan hukum.
7. Akibat Hukum
Akibat hukum adalah akibat yang ditimbulkan oleh peristiwa hukum atau akibat
yang ditimbulkan oleh hubungan hukum. Contohnya adalah timbulnya hak dan kewajiban
pembeli dan penjual
8. Kodifikasi Hukum dan Unifikasi Hukum
Kodifikasi berasal dari kata codex yang berarti undang-undang. Kodifikasi hukum
adalah pembukuan hukum yang sejenis di dalam kitab undang-undang. Surojo Wignjo
Diputro menjelaskan, "Kodifikasi adalah pengumpulan pelbagai peraturan perundangan
mengenai materi tertentu dalam buku yang sistematis dan teratur, atau pembukuan secara
teratur dan sitematis dari pelbagai peraturan hukum mengenai materi tertentu."
9. Penegakan Hukum
Hukum dapat ditegakkan di masyarakat bergantung pada tiga sisi, yaitu:
a. materi hukum;
b. aparat penegak hukum;
c. kesadaran hukum masyarakat.
Menurut Soejono Soekanto, dalam kesadaran hukum terdapat empat indikator, yaitu:
a. pengetahuan hukum;
b. pemahaman hukum;
c. penilaian dan sikap terhadap
d. ketaatan hukum.
10. Wibawa Hakim.
Wibawa hakim atau pengadilan dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu
a. peraturan perundang undangan;
b. birokrasi;
c. kesadaran hukum masyarakat.
Faktor-faktor tersebut dapat memicu lahirnya hakim yang unggul kompetitif dan
komparatif. Secara konkret, kekuasaan kehakiman dirumuskan dalam Pasal 32 dan
Pasal 33 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004, tentang Kekuasaan Kehakiman, dengan
seperangkat orientasi atau sikap peran dari sosok hakim. Dengan kata lain,
pengembangan kemampuan hakim mencakup semua unsur yang ditentukan dalam Pasal
32 dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tersebut, yaitu:
a. pengembangan integritas dan kepribadian hakim dengan senantiasa
mengoptimalkan perilaku tidak tercela, jujur, adil, dan mandiri;
b. pengembangan diri dengan cara terus-menerus belajar dari menangani dan
mengadili berbagai kasus in konkret selama kariernya sebagai hakim;
c. pengembangan profesionalisme hakim dengan cara terus-menerus menambah
wawasan keilmuan, baik dalam bidang hukum maupun bidang-bidang lain yang
berada di sekitar ilmu hukum, seperti sosiologi, antropologi, psikologi, ilmu politik,
ilmu ekonomi. dan lain-lain.
Tugas utama pengadilan atau hakim adalah menerima, memeriksa, dan memutus
suatu perkara yang diajukan kepadanya, tidak boleh menolak suatu perkara dengan dalil
tidak ada aturan hukum yang mengaturnya.
11. Masyarakat Hukum
Jika masyarakat diartikan sebagai suatu sistem hubungan yang teratur, masyarakat
hukum merupakan sistem hubungan teratur dengan hukumya sendiri. Adapun yang
dimaksud dengan "hukum sendiri" adalah hukum yang dibuat oleh dan untuk
masyarakat itu sendiri dalam sistem hubungan tadi.
12. Etika Profesi Hukum
Dalam profesi hukum terdapat kaidah-kaidah pokok etika profesi sebagai berikut:
a. profesi harus dipandang (dan dihayati) sebagai suatu pelayanan;
b. Pelayanan profesional dalam mendahulukan kepentingan klien mengacu pada
kepentingan atau nilai-nilai luhur sebagai norma kritik yang memotivasi sikap dan
tindakan;
c. Pengemban profesi harus selalu berorientasi pada masyarakat sebagai keseluruhan;
d. agar persaingan dalam pelayanan berlangsung secara sehat harus dapat menjamin
mutu dan peningkatan pengembanan profesi tersebut.
Etika profesi adalah sikap etis sebagai bagian integral dari sikap hidup dalam
menjalani kehidupan sebagai pengemban profesi.
13. Objek Hukum
Objek hukum adalah segala sesuatu yang menjadi sasaran pengaturan hukum, yang
segala hak dan kewajiban serta kekuasan subjek hukum saling berkaitan. Misalkan benda-
benda ekonomi, yaitu benda-benda yang diperoleh dengan memerlukan pengorbanan
terlebih dahulu.
H. Hukum dan Kekuasaan
Sudikno Mertokusuko (2003: 20-27) mengatakan bahwa yang dapat memberi atau
memaksakan sanksi terhadap pelanggaran kaidah hukum adalah penguasa, karena
penegakan hukum dalam hal adanya pelanggaran merupakan monopoli penguasa.
Hukum ada karena kekuasaan yang sah. Kekuasaan yang sahlah yang menciptakan
hukum. Ketentuan-ketentuan yang tidak berdasarkan kekuasaan yang sah pada dasarnya
bukan termasuk hukum. Secara historis, jarang dijumpai hukum yang tidak bersumber pada
kekuasaan yang sah.
Revolusi misalnya, merupakan kekuasaan yang tidak sah (coup de'etat) dan merupakan
kekerasan atau kekuatan fisik. Kekuatan fisik ini sering menghapus hukum yang lama dan
menciptakan hukum baru. Revolusi baru menciptakan hukum atau revolusi itu mendapat
dukungan dari rakyat dan berhasil. Kalau tidak berhasil, revolusi tidak merupakan sumber
hukum. Dalam UU No. 19 tahun 1964, revolusi disebut sebagai sumber hukum. Jadi, hukum
dapat pula bersumber pada kekuatan fisik, tetapi kekuatan fisik bukan merupakan unsur
hukum.
BAB 3 Sumber Hukum dan Metode Penafsiran Hukum
A. Pengertian Sumber Hukum dan Macamnya
Sumber hukum adalah segala sesuatu yang menimbulkan aturan aturan, yang
mempunyai kekuatan bersifat memaksa, yaitu aturan-aturan yang apabila dilanggar
mengakibatkan sanksi yang tegas dan nyata.
Sumber hukum menurut Ahmad Sanusi terdiri atas:
1. Sumber hukum normal, yaitu:
a. sumber hukum normal yang langsung atas pengakuan undang-undang, yaitu undang-
undang, perjanjian antar negara, dan kebiasaan.
b. sumber hukum normal yang tidak langsung atas pengakuan undang-undang, yaitu
perjanjian doktrin dan yurisprudensi.
2. Sumber hukum abnormal, yaitu:
a. proklamasi;
b. revolusi;
c. coup d'etat.
Sumber hukum menurut van Apeldoorn terdiri atas:
1. Sumber hukum historis, yaitu hukum dapat ditemukan dalam peristiwa masa lalu. Dalam
peristiwa itulah terdapat hukum atau ditemukan dokumen-dokumen bersejarah.
2. Sumber hukum sosiologis, yaitu faktor-faktor yang menentukan isi hukum positif,
keadaan agama, pandangan agama, dan kebudayaan..
3. Sumber hukum filosofis, yaitu sumber hukum dilihat dari kepentingan individu, nasional,
atau internasional sesuai dengan falsafah atau idelogi suatu negara. Sumber hukum ini
dibagi lebih menjadi dua macam, yaitu:
a. Sumber isi hukum, yang menjelaskan seluk-beluk hukum. Ada tiga pandangan yang
menjelaskan asal mula hukum, yaitu:
(1) pandangan teokratis, yaitu pandangan bahwa hukum
berasal dari Tuhan; (2) pandangan hukum kodrat, yaitu pandangan bahwa isi hukum
berasal dari akal manusia; (3) pandangan mazhab historis, yaitu pandangan bahwa isi
hukum berasal dari kesadaran hukum.
b. Sumber kekuatan mengikat dari hukum, yaitu alasan-alasan hukum mempunyai
kekuatan mengikat dan manusia tunduk pada hukum.
C. Sumber hukum dalam arti formal, yaitu sumber hukum dilihat dari cara terjadinya
hukum positif yang merupakan fakta yang menimbulkan hukum yang berlaku mengikat
hakim dan masyarakat.
Van Apeldoorn dan pandangan ahli hukum lainnya, seperti Satjipto Rahardjo
(1990:112) menyatakan dua sumber hukum, yaitu sebagai berikut.
1. Sumber hukum materiil, yaitu faktor yang turut serta menentukan isi hukum. Dapat
ditinjau dari berbagai sudut, misalnya sudut ekonomi, sejarah, sosiologi, filsafat,
agama, dan lainnya. Sumber hukum materiil terdiri atas tiga jenis, yaitu: (a) sumber
hukum historis (rechtsbron in historischezin); (b) sumber hukum sosiologis
(rechtsbron in sociologischezin); (c) sumber hukum filosofis (rechtsbron in
filosofischezin).
2. Sumber hukum formal
Sumber hukum formal adalah sumber hukum dengan bentuk tertentu yang
merupakan dasar berlakunya hukum secara formal. Jadi, sumber hukum formal
merupakan dasar kekuatan mengikatnya peraturan-peraturan agar ditaati oleh
masyarakat ataupun oleh penegak hukum.
B. Macam-macam Hukum Formal
Hukum formal terdiri dari beberapa macam, yaitu sebagai berikut.
1. Undang-undang
Undang-undang adalah peraturan negara yang mempunyai kekuatan hukum
mengikat yang diadakan dan dipelihara oleh penguasa negara.
Menurut Buys (189), undang-undang mempunyai dua arti:
1. Dalam arti formal, yaitu setiap keputusan pemerintah yang merupakan undang-undang
karena cara pembuatannya (misalnya, dibuat oleh pemerintah bersama-sama dengan
parlemen);
2. Dalam arti materiil, yaitu setiap keputusan pemerintah yang menurut isinya mengikat
setiap penduduk.
Menurut UU No. 10 tahun 2004, undang-undang adalah peraturan perundang-undangan
yang dibentuk oleh DPR dengan persetujuan bersama Presiden (Pasal 1 angka 3).
2. Kebiasaan (Custom)
Kebiasaan adalah perbuatan manusia yang tetap dilakukan berulang-ulang dalam hal
yang sama. Apabila suatu kebiasaan tertentu diterima oleh masyarakat dan kebiasaan itu
selalu berulang-ulang dilakukan sedemikan rupa, sehingga tindakan yang berlawanan
dengan kebiasaan itu dirasakan sebagai pelanggaran perasaan hukum, timbullah suatu
kebiasaan hukum, yang oleh pergaulan hidup dipandang sebagai hukum.
Untuk timbulnya hukum kebiasaan diperlukan beberapa syarat berikut:
1. adanya perbuatan tertentu yang dilakukan berulang-ulang di dalam masyarakat tertentu
(syarat materiil);
2. adanya keyakinan hukum dari masyarakat yang bersangkutan (opinio necessitatis)
bahwa perbuatan tersebut merupakan kewajiban hukum atau demikianlah seharusnya
= (syarat intelektual); 3. adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar.
Selanjutnya, kebiasaan akan menjadi hukum kebiasaan karena kebiasaan tersebut
dirumuskan hakim dalam putusannya.
3. Adat istiadat
Adat istiadat adalah himpunan kaidah sosial yang sudah lama ada dan merupakan
tradisi serta lebih banyak berbau sakral, mengatur tata kehidupan masyarakat tertentu.
Adat istiadat hidup dan berkembang pada masyarakat tertentu dan dapat menjadi
hukum adat jika mendapat dukungan sanksi hukum.
4. Jurisprudensi (Keputusan Hakim)
Jurisprudensi adalah keputusan hakim yang terdahulu terhadap peristiwa tertentu
yang dijadikan dasar bagi keputusan hakim lain sehingga keputusan ini menjadi
keputusan hakim yang tetap. Seorang hakim mengikuti keputusan hakim yang terdahulu
karena ia sependapat dengan isi keputusan tersebut dan dipakai sebagai pedoman dalam
mengambil keputusan mengenai suatu perkara yang sama.
5. Traktat (Treaty)
Traktat adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih yang mengikat
tidak hanya kepada masing-masing negara itu, tetapi mengikat pula terhadap warga
negara dari negara-negara yang berkepentingan.
Macam-macam traktat:
a. Traktat bilateral, yaitu traktat yang diadakan hanya oleh dua negara, misalnya
perjanjian internasional yang diadakan antara pemerintah RI dengan pemerintah
RRC tentang "Dwikewarganegaraan".
b. Traktat multilateral, yaitu perjanjian internasional yang diikuti oleh beberapa negara,
misalnya perjanjian tentang pertahanan negara bersama negara-negara Eropa
(NATO) yang diikuti oleh beberapa negara Eropa.
6. Perjanjian (Overeenkomst)
Perjanjian adalah suatu peristiwa ketika dua orang atau lebih saling berjanji untuk
melakukan atau tidak melakukan perbuatan tertentu. Para pihak yang telah saling sepakat
mengenai hal-hal yang diperjanjikan, berkewajiban untuk mentaati dan melaksanakannya
(asas pact sunt servanda).
7. Pendapat Sarjana Hukum (doktrin)
Doktrin adalah pendapat seseorang atau beberapa orang sarjana hukum yang
terkenal dalam ilmu pengetahuan hukum. Doktrin ini dapat menjadi dasar pertimbangan
hakim dalam menjatuhkan putusannya.
C. Sifat-sifat Hukum
Sifat hukum adalah sebagai berikut:
1. abstrak, tidak dapat dilihat atau diraba sehingga yang tampak hanya pelaksanaanya;
2. universal, yaitu di seluruh dunia terdapat hukum. Cicero mengatakan "ubi societas ubi
ius" artinya di mana ada masyarakat, di situ ada hukum karena hukum merupakan gejala
sosial;
3. kontinu, hukum berlangsung terus-menerus, dari generasi ke generasi. Lingkungan
berlakunya sangat luas. Hukum mengatur manusia sejak lahir sampai manusia itu mati.
Hukum adalah terjemahan dari bahasa Belanda "Recht" yang dapat berarti "hak" Optatief
karakter, yaitu sesuatu yang seharusnya dilakukan;
4. Imperatif karakter, artinya sesuatu mesti dilakukan begitu. Hukum itu mengikat dan
memaksa.
Dari penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa sumber hukum adalah kenyataan
yang menimbulkan hukum berlaku dan mengikat setiap orang. Sumber hukum dapat
dibedakan menjadi berikut ini.
1. Sumber hukum dalam arti formal: Mengkaji prosedur atau tata cara pembentukan hukum
atau melihat bentuk lahiriah dari hukum yang bersangkutan, yang dapat dibedakan secara
tertulis dan tidak tertulis. Contohnya: Hukum perundang-undangan, hukum
yurisprudensi, hukum traktat atau perjanjian, dan hukum doktrin Sumber hukum dalam
arti formal yang tidak tertulis contohnya adalah hukum kebiasaan.
2. Sumber hukum dalam arti materiil: yaitu faktor-faktor atau kenyataan-kenyataan yang
turut menentukan isi dari hukum. Isi hukum ditentukan oleh dua faktor, yaitu:
a. Faktor ideal, yaitu faktor yang berdasarkan pada cita-cita masyarakat terhadap
keadilan;
b. faktor sosial kemasyarakatan, antara lain:
(1) stuktur ekonomi;
(2) kebiasaan-kebiasaan;
(3) tata hukum negara lain;
(4) agama dan kesusilaan;
(5) kesadaran hukum.
D. Bahan-bahan Hukum
Bahan-bahan hukum terdiri atas sebagai berikut.
1. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang mengikat, terdiri atas.
a. norma dasar: pembukaan UUD 1945;
b. aturan-aturan dasar: batang tubuh UUD 1945 serta ketetapan MPR;
c. perundang-undangan yang terdiri atas:
(1) Undang-undang dan peraturan yang setaraf; setaraf;
(2) Peraturan pemerintah dan peraturan yang
d. (3)Keputusan presiden dan peraturan yang setaraf;
(3) Keputusan menteri dan peraturan yang setaraf;
(4) Peraturan-peraturan daerah;
(5) bahan hukum yang tidak dikodifikasikan;
(6) yurisprudensi atau hukum yurisprudensi;
(7) traktat atau perjanjian (hukum perjanjian).
2. Bahan hukum sekunder memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti
rancangan undang-undang, hasil penelitian, hasil karya di bidang hukum, dan lainnya.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan sekunder.
E. Cara Membedakan Hukum
Dalam kepustakaan hukum klasik secara eksternal dikenal dua cara membedakan
hukum, yaitu:
1. hukum publik, diasosiasikan pada adanya campur tangan negara yang dominan yang
tujuannya untuk kepentingan umum;
2. hukum privat atau perdata, diasosiasikan pada adanya kebebasan berkontak dari para
pihak yang melakukan perbuatan hukum tertentu.
Dilihat dari berbagai aspeknya, hukum dapat dibedakan ke dalam klasifikasi berikut ini.
1. segi bentuk, hukum dibedakan menjadi hukum tertulis dan hukum tidak tertulis;
2. segi isi/hubungan hukum/kepentingan yang diatur: hukum publik, dan hukum privat;
3. segi kebedaan eksitensi: ius constitutum dan ius constitendum
4. segi perbedaan wilayah keberlakuan: hukum alam: secara sederhana dapat dirumuskan
sebagai hukum yang berlaku di mana saja, kapan saja, siapa saja, yang bersifat universal;
5. hukum positif: dilihat dari segi sifatnya yang kaku (rigid);
6. hukum positif/imperatif yang luwes (fleksibel).
7. hukum fakultatif: perbedaan antara hukum substantif dan hukum adjektif:
a. hukum substantif: hukum yang dilihat dari isinya berisikan pengaturan hak dan
kewajiban;
b. hukum adjektif: hukum yang mengatur tata cara melaksanakan dan mempertahankan
hukum substantif.
Berikut ini diuraikan perbedaan-perbedaan hukum yang berlaku (positif) di Indonesia, yaitu
sebagai berikut.
1. Hukum Pidana
a. Pengertian
Hukum pidana adalah hukum yang mengatur pelanggaran pelanggaran dan
kejahatan terhadap kepentingan umum, perbuatan yang diancam hukuman yang
merupakan penderitaan atau siksaan. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur
pelanggaran dan kejahatan yang merugikan kepentingan umum.
Asas berlakunya hukum pidana adalah asas legalitas Pasal (1) KUHP. Tujuan
hukum Pidana adalah: (1) prefentif (pencegahan), yakni untuk menakut-nakuti setiap
orang jangan sampai melakukan perbuatan yang tidak baik; (2) respresif (mendidik),
yaitu mendidik seseorang yang pernah melakuakan perbuatan tidak baik menjadi
baik dan dapat diterima kembali dalam kehidupan bermasyarakat.
Hukum pidana dibagi menjadi:
1. Hukum pidana objektif (ius poenale), semua peraturan tentang perintah atau
larangan terhadap pelanggaran diancam dengan hukuman yang bersifat siksaan.
Hukum pidana objektif dibagi dua macam, yaitu:
a. hukum pidana materiil, yaitu hukum yang mengatur hal-hal, orang-orang, dan
cara seseorang dapat dihukum;
b. hukum pidana formal, yang mengatur cara-cara menghukum seseorang yang
melanggar peraturan pidana.
2. Hukum pidana subjektif (ius puniendi), ialah hak negara atau alat-alat untuk
menghukum berdasarkan hukum pidana objektif.
3. Hukum pidana umum, yaitu hukum pidana yang berlaku untuk setiap penduduk
kecuali anggota ketentaraan.
b. Tindak pidana
Tindak pidana (delik) adalah perbuatan yang melanggar undang undang
sehingga bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan sengaja oleh
orang yang dapat dipertanggungjawabkan atau perbuatan yang dapat dibebankan
oleh hukum pidana. Unsur-unsur tindak pidana (delik) adalah sebagai berikut:
1. ada suatu kelakuan (gedraging);
2. sesuai dengan uraian undang-undang (wettelijke omshrijving);
3. kelakuan hukum adalah kelakuan tanpa hak yang diancam dengan hukuman;
4. unsur objektif, mengenai perbuatan, akibat, dan keadaan. Perbuatan dalam arti
positif, yaitu perbuatan manusia yang disengaja, sedangkan dalam arti negatif,
yaitu kelalaian akibat, efek yang timbul dari sebuah perbuatan, atau keadaan suatu
hal yang menyebabkan seseorang dihukum berkaitan dengan waktu.
5. unsur subjektif, yaitu keadaan dapat dipertanggungjawabkan dan schold
(kesalahan) dalam arti dolus (sengaja) dan culpa (kelalaian).
c. Jenis-jenis delik
Delik terdiri atas sebagai berikut.
1. Delik formal, yaitu kejahatan dianggap selesai jika perbuatan sebagaimana
dirumuskan dalam peraturan pidana itu telah dilakukan.
2. Delik materiil, yaitu yang dilarang oleh undang-undang adalah akibatnya.
3. Delicta commissionis, yaitu pelanggaran terhadap larangan yang diadakan oleh
undang-undang.
4. Delicta commissionis, pelanggaran terhadap keharusan yang diadakan oleh undang-
undang
5. Delik yang dilakukan dengan sengaja (dolus).
6. Delik yang dilakukan dengan kelalaian(culpa), yaitu:
a. kejahatan yang berdiri sendiri;
b. kejahatan yang dijalankan terus;
c. kejahatan bersahaja;
d. kejahatan tersusun;
e. kejahatan yang berjalan habis (kejahatan selesai pada suatu saat);
f. kejahatan yang terus-menerus;
g. delik pengaduan;
h. delik commune (tidak membutuhkan pengaduan).
7. Delik politik, kejahatan yang ditujukan pada keamanan negara atau kepala negara
langsung atau tidak langsung.
8. Delik umum (commune delict): Kejahatan yang dapat dilakukan oleh setiap orang.
9. Delik khusus: Kejahatan yang hanya dapat dilakukan oleh orang tertentu.
2. Hukum Administrasi Negara
Hukum administrasi negara adalah peraturan hukum yang mengatur administrasi,
yaitu hubungan antarwarga negara dan pemerintahnya yang menjadi sebab hingga negara
itu berfungsi (Abdoel Dajamali, 1993: 95).
Sumber-sumber hukum administrasi negara pada umumnya, dapat dibedakan
menjadi dua macam, yaitu:
a. Sumber hukum materiil, yaitu sumber hukum yang turut menentukan isi kaidah
hukum. Sumber hukum materiil ini berasal dari berbagai peristiwa dalam pergaulan
masyarakat dan peristiwa peristiwa itu yang dapat memengaruhi bahkan menentukan
sikap manusia.
b. Sumber hukum formal, yaitu sumber hukum yang sudah diberi bentuk tertentu. Agar
berlaku umum, suatu kaidah harus diberi bentuk sehingga pemerintah dapat
mempertahankannya.
Objek Hukum Administrasi Negara
Objek hukum administrasi negara adalah pokok permasalahan yang akan dibicarakan dalam
hukum administrasi negara.
Berangkat dari pendapat Djokosutono bahwa hukum administrasi negara adalah hukum
yang mengatur hubungan hukum antara jabatan-jabatan dalam negara dan para warga
masyarakat, dapat dipahami bahwa objek hukum administrasi negara adalah pemegang jabatan
dalam negara atau alat-alat perlengkapan negara, dan warga masyarakat.
Ada yang berpendapat bahwa objek hukum administrasi negara sama dengan objek hukum
tata negara, yaitu negara (Soehino, S.H.).
3. Hukum Perdata
Hukum perdata adalah aturan-aturan hukum yang mengatur tingkah laku setiap
orang terhadap orang lain yang berkaitan dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam
pergaulan masyarakat ataupun pergaulan keluarga. Hukum perdata dibedakan menjadi
dua, yaitu:
1) hukum perdata materiil mengatur kepentingan-kepentingan perdata setiap subjek
hukum;
2) hukum perdata formal, mengatur tata cara seseorang mempertahankan haknya apabila
dilanggar oleh orang lain. Hukum perdata dibagi dalam empat bagian, yaitu sebagai
berikut:
 Hukum tentang orang atau hukum perseorangan (persoonenrecht) yang antara lain
mengatur (a) orang sebagai subjek hukum; (b) orang dalam kecakapannya untuk
memiliki hak-hak dan bertindak sendiri untuk melaksanakan hak-haknya itu.
 Hukum kekeluargaan atau hukum keluarga (familierecht) yang memuat, antara lain:
(a) perkawinan, perceraian beserta hubungan hukum yang timbul di dalamnya
seperti hukum harta kekayaan suami dan istri; (b) hubungan hukum antara orangtua
dan anak anaknya atau kekuasaan orangtua (ouderlijke macht); (c) perwalian
(voogdij); (4) pengampunan (curatele).
 Hukum kekayaan atau hukum harta kekayaan (vermogensrecht) yang mengatur
hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang. Hukum harta
kekayaan ini meliputi: (a) Hak mutlak adalah hak-hak yang berlaku terhadap setiap
orang; (b) Hak perseorangan adalah hak-hak yang hanya berlaku terhadap seorang
atau suatu pihak tertentu saja.
 Hukum waris (erfrecht) mengatur benda atau kakayaan seseorang jika ia meninggal
dunia (mengatur akibat-akibat hukum dari hubungan keluarga terhadap harta
warisan yang ditinggalkan seseorang).
4. Hukum Ketenagakerjaan
Asal mula hukum Ketenagakerjaan di Indonesia bisa dilihat dari beberapa fase mulai
pada abad 120 SM, yaitu saat bangsa Indonesia mulai mengenal sistem gotong-royong,
yang memiliki nilai luhur dan diyakini membawa kemaslahatan karena berintikan
kebaikan, kebijakan, dan hikmah bagi semua orang, yaitu sistem pengerahan tenaga kerja
tambahan dari luar kalangan keluarga untuk mengisi kekurangan tenaga, dan masa sibuk
yang tidak mengenal balas jasa dalam bentuk materi.
5. Hukum Agraria
Hukum agraria nasional diatur dalam UU No. 5 tahun. 1960 tentang peraturan dasar
pokok agraria (UUPA). Undang-undang ini lahir pada tanggal 24 september 1960 yang
menyatakan bahwa bumi, air, ruang, udara, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya merupakan karunia Tuhan kepada bangsa Indonesia.
Menurut Pasal 33 (3) UUD 1945, "bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di
dalamnya dikuasai kemakmuran rakyat." Hak demikian disebut hak menguasai negara.
negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat."
Tujuan hukum agraria (UUPA) adalah :
1. Membawa kemakmuran, kebahagiaan, san keadilan bagi negara dan rakyat ;
2. Mengadakan kesatuan dan kesederhanaan dalam hukum pertanahan ;
3. Memberi kepastian hukum mengenai hak-hak atas tanah bagi rakyat Indonesia.
Asas hukum agraria adalah sebagai berikut.
1. Asas hak menguasai negara
2. Asas nasionalitas
3. Asas hak atas tanah mempunyai fungsi sosial
4. Asas persamaan
5. Asas mengerjakan sendiri tanah pertaniannya secara aktif.
6. Hukum Perpajakan
Pajak adalah iuran kepada negara yang terhitung oleh wajib pajak berdasarkan
undang-undang dan tidak dapat mendapat prestasi (balas jasa) kembali yang langsung.
Hukum pajak adalah himpunan yang mengatur hubungan antara pemerintah dan
wajib pajak yang antara lain mengatur pihak dan objek pajak.Landasan yuridis hukum
perpajakan:
1. Konstitusional: Pasal 23A UUD 1945 "pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa
untuk keperluan negara diatur dengan undang-undang;
2. Operasional:
 UU No. 6 tahun 1983 ketentuan umum dan tata perpajakan;
 UU No. 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan;
 UU No. 8 tahun 1983 tentang pajak pertambahan nilai, barang-barang dan jasa
dan pajak penjualan atas barang mewah.
3. Sosiologis : pajak sebesar-besarnya digunakan untuk kesejahteraan rakyat;
4. Filosofis: pajak untuk menciptakan keadilan sosial .
Fungsi pajak antara lain:
1. Membiayai pengeluaran-pengeluaran umum sehubungan dengan tugas negara
menyelenggarakan pemerintahan dan kesejahteraan rakyat;
2. Fungsi budgeter: sebesar-besarnya dimasukan ke dalam pemasukan negara, untuk
pembangunan negara;
3. Fungsi mengatur: pada pihak swasta agar dapat menjalankan perusahaanya untuk
kemajuan ekonomi nasional.
Pajak digolongkan kepada
1. pajak langsung: pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak Contoh: pajak penghasilan,
pajak gaji dan upah;
2. pajak tidak langsung: pajak yang ada pada akhirnya dapa memakan harga. Contoh: pajak
penjualan dan pembangunan;
3. pajak lokal/daerah: pajak yang dipungut oleh pemerintah daera Contoh: pajak jalan dan pajak
reklame;
4. pajak negara/pusat: dipungut oleh pemerintah pusat untu kepentingan umum oleh inspeksi
pajak. Contoh: iuran rehabilitas daerah dan iuran pembangunan daerah.
Teori, sistem, dan asas pemungutan pajak adalah:
a. Teori: seorang wajib pajak harus mengisi SPT, mendatangani sendin SPT, mengembalikan
SPT tersebut pada inspeksi pajak dalar jangka waktu tertentu, wajib memberikan
keterangan pajak dar memperlihatkan bukti pembukuan pajak.
b. Sistem: sistem pemungutan pajak di Indonesia masih menggunaka sistem self assessiment,
yaitu sistem yang setiap wajib pajak diberika kepercayaan untuk menghitung sendiri utang
pajaknya
c. Asas Pemungutan Pajak: pembagian tekanan pajak di antara sub pajak ng dilakukan
seimbang dengan kemampuannya, yaitu bawah perlindungan pemerintah. Asas ini
menetapkan bah pemungutan pajak hendaknya dilakukan sehemat-hemat jangan sekali-kali
biaya pemungutan melebihi pemasukan pajak
Ciri-ciri pajak adalah:
1. pajak dipungut berdasarkan ketentuan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya;
2. dalam pembayaran tidak dapat ditunjukkan kontra prestasi individual oleh pemerintah;
3. pajak dipungut oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah;
4. pajak digunakan untuk membiayai public investment; 5. pajak dapat juga mempunyai tujuan
yang tidak budgeter tetapi bertujuan mengatur.
F. Metode Penafsiran Hukum
1. Metode idealis, metode yang bertitik tolak dari pandangan bahwa hukum sebagai
perwujudan dari nilai-nilai tertentu dalam masyarakat.
2. Metode normatif analitis, yaitu melihat hukum sebagai aturan yang abstrak. Metode ini
melihat hukum sebagai lembaga otonom dan dapat dibicarakan sebagai subjek tersendiri
terlepas dari hal-hal lain yang berkaitan dengan peraturan-peraturan. Bersifat abstrak
artinya kata-kata yang digunakan pada setiap kalimat tidak mudah dipahami. Untuk
mengetahuinya, peraturan-peraturan hukum itu harus diwujudkan. Perwujudan ini dapat
berupa perbuatan-perbuatan atau tulisan. Apabila ditulis, pilihan dan susunan kata-kata
yang dipilih harus tepat.
3. Metode sosiologis, yaitu metode yang bertitik tolak dari pandangan bahwa hukum
sebagai alat untuk mengatur masyarakat. Realitas masyarakat merupakan kenyataan
dinamis dari berbagai cara pandang dan variasi perilaku individu, meskipun realitas itu
seolah olah dikotomis dengan kenyataan lainnya, bahwa manusia adalah creator
kehidupan sosial yang potensial dalam melakukan tindakan uai dengan hasratnya masing-
masing.
Ketika konsep masyarakat dan budaya berlaku, secara langsung atau tidak, potensi
individual akan terjebak dalam sistem kehidupan normatif yang dapat menghentikan proses
dinamis dari berbagai potensi individual yang dimaksud (Beni Ahmad Saebani, 2007:54).
4. Metode historis, yaitu metode yang mempelajari hukum dengan melihat faktor-faktor
sejarah timbulnya hukum. Dalam metode ini diteliti beberapa hal yang berkaitan dengan
sejarah, yaitu:
 peristiwa masa lalu;
 pelaku sejarah;
 tempat kejadian perkara;
 bukti-bukti sejarah;
 situasi dan kondisi.
5. Metode sistematis, yaitu metode yang melihat hukum sebagai suatu sistem.
Pada pertemuan tahun 1954 (pertemuan tahunan) dibentuk The American Association
for The Advancement of Science (AAAS), sebuah perkumpulan di bawah pimpinan
seorang biolog, yaitu Ludwig Von Bertalanffy, seorang ekonom, Kenneth Boulding,
seorang biomatematikus, Anatol Rapoport, dan seorang fisiologis, Ralph Gerard.
Perkumpulan tersebut dinamakan The Society for General Sistems Theory, yang
kemudian diubah namanya menjadi The Society for General Sistems Research. Tujuan dan
fungsinya adalah mengembangkan sistem-sistem teoretikal yang dapat diterapkan terhadap
lebih dari sebuah departemen pengetahuan tradisional Adapun fungsi-fungsi pokoknya
sebagai berikut:
a. meneliti isomorfi konsep, hukum, dan model dalam berbagai macam bidang dan
membantu terjadinya transfer yang bermanfaat dari bidang yang satu pada bidang lain;
b. merangsang perkembangan model-model teoretikal yang cocok untuk bidang-bidang
yang belum memilikinya;
c. meminimasi duplikasi upaya teoretikal dalam berbagai macam bidang;
d. mempromosi kesatuan ilmu pengetahuan dengan jalan memperbaiki komunikasi
antarpara spesialis.
Metode sistematis berpijak pada pemahaman bahwa secara etimologis, kata sistem
berasal dari bahasa Yunani, yaitu "sistema" yang berarti, "suatu keseluruhan yang tersusun
dari sekian banyak bagian (Shrode dan Voich, 1974: 115), atau "hubungan yang
berlangsung di antara satuan-satuan atau komponen secara teratur (Awad, 1979:4).
6. Metode komparatif, yaitu metode yang mempelajari hukum membandingkan tata hukum
dalam berbagai sistem hukum dan perbandingan hukum di berbagai negara.
7. Metode filosofis. Menurut Juhaya S. Pradja (1997: 14), metode filosofis ada tiga, yakni:
(1) metode deduksi, yaitu suatu metode berpikir yang menarik kesimpulan dari prinsip-
prinsip umum kemudian diterapkan pada sesuatu yang bersifat khusus; (2) metode
induksi, metode berpikir dalam menarik kesimpulan dari prinsip khusus, kemudian
diterapkan kepada sesuatu yang bersifat khusus (3) metode dialektika, yaitu metode
berpikir yang menarik kesimpulan melalui tiga tahap atau jenjang, yaitu tesis, antitesis,
dan sistesis. Tiga metode yang dikemukakan oleh Juhaya S. Pradja itu, menjelaskan
bahwa dalam mempelajari hukum ada dua pendekatan, yaitu pendekatan logika dan
dialektika.
BAB 4
ILMU HUKUM SEBAGAI ILMU KENYATAAN
A. Sosiologi dan Sosiologi Hukum
1. Pengertian
Sosiologi berasal dari bahasa Latin, yaitu socius yang berarti kawan, dan logos yang
berarti ilmu pengetahuan. Ungkapan ini pertama kali dipublikasikan oleh August Comte
dalam bukunya "Cours De Philosophie Positive" (1798-1857). Walaupun banyak definisi
tentang sosiologi, umumnya sosiologi dikenal sebagai ilmu pengetahuan tentang
masyarakat.
Masyarakat adalah sekelompok individu yang mempunyai hubungan, memiliki
kepentingan bersama, dan memiliki budaya. Sosiologi mempelajari masyarakat, perilaku
masyarakat, dan perilaku sosial manusia dengan mengamati perilaku kelompok yang
dibangunnya. Sebagai sebuah ilmu, sosiologi merupakan pengetahuan kemasyarakatan
yang tersusun dari hasil-hasil pemikiran ilmiah dan dapat dikontrol secara kritis.
Sosiologi lahir di Eropa ketika ilmuwan Eropa pada abad ke-19 mulai menyadari
perlunya secara khusus mempelajari kondisi dan perubahan sosial. Para ilmuwan itu
kemudian berupaya membangun suatu teori sosial berdasarkan ciri-ciri hakiki masyarakat
pada tiap tahap peradaban manusia. Comte membedakan antara sosiologi statis, yang
perhatian dipusatkan pada hukum-hukum statis yang menjadi dasar adanya masyarakat
dan sosiologi dinamis, yaitu perhatian dipusatkan tentang perkembangan masyarakat
dalam arti pembangunan.
2. Pokok Bahasan Sosiologi
Pokok bahasan sosiolgi ada empat, yaitu sebagai berikut.
a. Fakta sosial sebagai cara bertindak, berpikir, dan berperasaan yang berada di luar
individu dan mempunyai kekuatan memaksa dan mengendalikan individu tersebut.
Contoh, di sekolah, seorang murid diwajibkan untuk datang tepat waktu,
menggunakan seragam, dan bersikap hormat kepada guru. Kewajiban-kewajiban
tersebut dituangkan ke dalam sebuah aturan dan memiliki sanksi tertentu jika
dilanggar. Dari contoh tersebut, bisa dilihat adanya cara bertindak, berpikir, dan
berperasaan yang ada di luar individu (sekolah), yang bersifat memaksa dan
mengendalikan individu (murid).
b. Tindakan sosial sebagai tindakan yang dilakukan dengan mempertimbangkan
perilaku orang lain.
c. Khayalan sosiologis sebagai cara untuk memahami apa yang terjadi di masyarakat
ataupun yang ada dalam diri manusia. Menurut Wright Mills, dengan khayalan
sosiologi, kita mampu memahami sejarah masyarakat, riwayat hidup pribadi, dan
hubungan antara keduanya. Alat untuk melakukan khayalan sosiologis adalah
permasalahan (troubles) dan isu (issues).
d. Realitas sosial adalah penungkapan tabir menjadi realitas yang tidak terduga oleh
sosiolog dengan mengikuti aturan-aturan ilmiah dan melakukan pembuktian secara
ilmiah dan objektif dengan pengendalian prasangka pribadi, dan pengamatan tabir
secara jeli, serta menghindari penilaian normatif.
3. Ciri-ciri dan Hakikat Sosiologi
Sosiologi merupakan salah satu bidang ilmu sosial yang mempelajari masyarakat.
Sosiologi telah memenuhi semua unsur ilmu pengetahuan. Menurut Harry M. Johnson,
yang dikutip oleh Soerjono Soekanto, sosiologi merupakan ilmu yang mempunyai ciri-ciri
berikut.
 Empiris, yaitu didasarkan pada observasi dan akal sehat yang hasilnya tidak bersifat
spekulasi (menduga-duga).
 Teoretis, yaitu selalu berusaha menyusun abstraksi dari hasil observasi yang konkret di
lapangan, dan abstraksi tersebut merupakan kerangka dari unsur-unsur yang tersusun
secara logis dan bertujuan menjalankan hubungan sebab akibat sehingga menjadi teori.
 Komulatif, yaitu disusun atas dasar teori-teori yang sudah ada, kemudian diperbaiki,
diperluas sehingga memperkuat teori-teori yang lama.
 Nonetis, yaitu pembahasan suatu masalah tidak mempersoalkan baik atau buruk masalah
tersebut, tetapi lebih bertujuan menjelaskan masalah tersebut secara mendalam.
Hakikat sosiologi sebagai ilmu pengetahuan adalah sebagai berikut
a. Sosiologi adalah ilmu sosial karena yang dipelajari adalah gejala-gejala
kemasyarakatan.
b. Sosiologi termasuk disiplin ilmu normatif, bukan merupakan disiplin ilmu kategori
yang membatasi diri pada kejadian saat ini dan bukan apa yang terjadi atau seharusnya
terjadi.
c. Sosiologi termasuk ilmu pengetahuan murni (pure science) dan ilmu pengetahuan
terapan.
d. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan abstrak dan bukan ilmu pengetahuan konkret.
Artinya yang menjadi perhatian adalah bentuk dan pola peristiwa dalam masyarakat
secara menyeluruh, bukan hanya peristiwa itu sendiri.
e. Sosiologi bertujuan menghasilkan pengertian dan pola-pola umum, serta mencari
prinsip dan hukum umum dari interaksi manusia, sifat, hakikat, bentuk, isi, dan
struktur masyarakat manusia.
f. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan yang empiris dan rasional. Hal ini menyangkut
metode yang digunakan.
g. Sosiologi merupakan ilmu pengetahuan umum, artinya sosiologi mempunyai gejala-
gejala umum yang ada pada interaksi antara manusia.
4. Objek Sosiologi
Sosiologi sebagai ilmu pengetahuan mempunyai beberapa objek:
a. Objek material, yaitu kehidupan sosial, gejala-gejala dan proses hubungan antara
manusia yang memengaruhi kesatuan manusiaitu sendiri.
b. Objek formal, lebih ditekankan pada manusia sebagai makhluk sosial atau masyarakat.
Dengan demikian, objek formal sosiologi adalah hubungan manusia antara manusia
dan proses yang timbul dari hubungan manusia di dalam masyarakat.
c. Objek budaya, yaitu salah satu faktor yang dapat memengaruhi hubungan satu dengan
yang lain.
d. Objek agama, pengaruh objek dari agama ini dapat menjadi pemicu dalam hubungan
sosial masyarakat, dan banyak hal ataupun dampak yang memengaruhi hubungan
manusia.
5. Ruang Lingkup Kajian Sosiologi
Sebagai ilmu pengetahuan, sosiologi mengkaji lebih mendalam pada bidangnya
dengan cara bervariasi. Ruang lingkup kajian sosiologi lebih luas daripada ilmu sosial
lainnya. Hal ini dikarenakan ruang lingkup sosiologi mencakup semua interaksi sosial
yang berlangsung antarindividu, individu dan kelompok, serta antarkelompok di
lingkugan masyarakat. Ruang lingkup kajian sosiologi diperinci menjadi beberapa hal
berikut:
a. Ekonomi beserta kegiatan usahanya secara prinsipil berhubungan dengan produksi,
distribusi, dan penggunaan sumber-sumber kekayaan alam;
b. Masalah manajemen, yaitu pihak-pihak yang membuat kajian,berkaitan dengan apa
yang dialami warganya;
c. Persoalan sejarah, yaitu berhubungan dengan catatan kronologis, misalnya usaha
kegiatan manusia beserta prestasinya yang tercatat, dan sebagainya.
6. Perkembangan sosiologi dari abad ke abad
a. Perkembangan pada abad pencerahan
Berkembangnya ilmu pengetahuan pada abad pencerahan (sekitar abad ke-17 M),
turut berpengaruh terhadap pandangan mengenai perubahan masyarakat. Ciri-ciri
ilmiah mulai tampal pada abad ini. Para ahli berpendapat bahwa pandangan mengena
perubahan masyarakat harus berpedoman pada akal bud manusia.
b. Pengaruh perubahan yang terjadi pada abad pencerahan
Perubahan-perubahan besar pada abad pencerahan, terus berkembang secara
revolusioner sapanjang abad ke-18 M. Dengan cepat, struktur masyarakat lama
berganti dengan struktur yang lebih baru. Hal ini terlihat dengan jelas terutama dalam
revolus Amerika, revolusi industri, dan revolusi Prancis. Gejolak-gejolak yang
diakibatkan oleh ketiga revolusi ini terasa pengaruhnya d seluruh dunia. Para ilmuwan
tergugah, dan mulai menyadan pentingnya menganalisis perubahan dalam masyarakat.
c. Gejolak abad revolusi
Perubahan yang terjadi akibat revolusi benar-benar men cengangkan. Struktur
masyarakat yang sudah berlaku ratusa tahun menjadi rusak. Bangasawan dan kaum
rohaniwan yang semula bergemilang harta dan kekuasaan, disetarakan haknya dengan
rakyat jelata. Raja yang semula berkuasa penuh, kini hans memimpin berdasarkan
undang-undang yang ditetapkan. Banyak kerajaan besar di Eropa yang jatuh dan
terpecah.
d. Kelahiran sosiologi modern
Sosiologi modern tumbuh pesat di benua Amerika, tepatnya di Amerika Serikat
dan Kanada. Pada permulaan abad ke-20, gelombang besar imigran berdatangan ke
Amerika Utara. Gejala itu berakibat pesatnya pertumbuhan penduduk, munculnya
kota-kota industri baru, bertambahnya kriminalitas, dan lain lain. Konsekuensi dari
gejolak sosial itu adalah perubahan besar masyarakat pun tak terelakkan.
Perubahan masyarakat itu menggugah para ilmuwan sosial untuk berpikir keras, agar
sampai pada kesadaran bahwa pendekatan sosiologi lama ala Eropa tidak relevan lagi.
Mereka berupaya menemukan pendekatan baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat
pada saat itu. Lahirlah sosiologi modern.
Berbeda dengan pendapat sebelumnya, pendekatan sosiologi modern cenderung
mikro (lebih sering disebut pendekatan empiris). Artinya, perubahan masyarakat dapat
dipelajari mulai dari fakta sosial demi fakta sosial yang muncul.
7. Sosiologi Hukum
Sosiologi hukum merupakan salah satu cabang ilmu-ilmu yang secara analitis dan
empiris mempelajari hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala sosial lainnya.
Istilah sosiologi hukum pertama kali diperkenalkan oleh Anzilolti (1882).
Sosiologi hukum memadukan dua istilah yang awalnya digunakan secara terpisah,
yaitu sosiologi dan hukum. Hanya, secara terminologis yang dimaksudkan hukum di sini
bukan ilmu hukum, melainkan berbagai bentuk kaidah sosial atau norma, etika
berperilaku, peraturan, undang-undang, kebijakan, dan sebagainya yang berfungsi
mengatur kehidupan manusia dalam bermasyarakat, bertindak untuk dirinya atau orang
lain, dan perilaku atau tingkah polah lainnya yang berhubungan dengan kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Dengan demikian, sosiologi hukum lebih tepat merupakan kajian ilmu sosial
terhadap hukum yang berlaku di masyarakat dan perilaku serta gejala sosial yang menjadi
penyebab lahirnya hukum di masyarakat. Kehadirannya dapat didahului oleh hukum dan
sebaliknya oleh masyarakat, yang secara substansial, gejala sosial menjadi bagian penting
dari gejala hukum di masyarakat, sebagaimana gejala hukum merupakan gejala sosial
Hubungan timbal balik inilah yang penting untuk dipelajari secara sosiologis dan
filofofis.
Soerjono Soekanto (2003: 7) meskipun belum begitu tegas mendefinisikan sosiologi
hukum, dari uraian pengantar bukunya Pokok pokok Sosiologi Hukum, ia menjelaskan
bahwa secara substansial, hadirnya hukum tidak dapat dilepaskan dari gejala sosial dan
dinamikanya. Oleh karena itu, setiap tindakan masyarakat yang mengandung unsur-unsur
hukum menjadi bagian dari kajian sosiologi hukum.
Dalam konteks sosiologi hukum terdapat lima hal mendasar menjadi bagian
terpenting sebagai disiplin ilmu, yaitu:
1. eksistensi masyarakat sebagai objek sosiologi hukum;
2. berbagai gejala sosial dan dinamikanya;
3. stratifikasi dan kelas-kelas sosial;
4. emografi dan perkembangan masyarakat desa dan kota;
5. norma sosial yang dianut sebagai pandangan hidup masyarakat.
B. Hubungan Sosiologi Hukum dengan Antropologi hukum
Dalam berbagai subdisiplin ilmu, sering ditemukan nama ilmu-ilmu yang
menghubungkannya dengan disiplin ilmu yang sudah baku, Misalnya filsafat, yang
melahirkan filsafat sosial, filsafat sejarah, filsafat bahasa, filsafat ilmu, filsafat agama, dan
sebagainya.
Demikian pula, dengan sosiologi yang melahirkan sosiologi agama, sosiologi politik,
sosiologi ekonomi, sosiologi hukum, dan sebagainya. Juga antropologi yang melahirkan
antropologi agama, antropologi hukum, dan antropologi politik. Keberadaan ilmu
pengetahuan tersebut menunjukkan kekayaan khazanah disiplin ilmu bersangkutan.
Semakin kecil kajian yang didalaminya, semakin profesional ilmuwan yang
mendalaminya, karena pendekatannya lebih spesifik dan memperdalam pengetahuan dengan
paradigma untuk mengetahui sebanyak banyaknya tentang sesuatu yang sedikit. Bukan
sebaliknya, yakni mengetahui sedikit-sedikit dari yang banyak.
Sosiologi biasanya bergandengan dengan antropologi. Sosiologi mengedepankan
kajian-kajian tentang kehidupan masyarakat, pelapisan sosial, perkembangan sosial, struktur
yang terdapat dalam masyarakat dan berbagai hubungan timbal balik serta hubungan
fungsionalnya, sifat pengaruh memengaruhi dan akibat sosialnya.
Ada empat macam hubungan ilmiah antara sosiologi hukum dengan antropologi
hukum, yaitu sebaga berikut.
1. hubungan dialektika dalam keterpaduan disiplin ilmu, yaitu keduanya merupakan bagian
dari disiplin ilmu sosial;
2. hubungan sinergitas epistemologis. Karena sosiologi hukum dan antropologi hukum
merupakan ilmu pengetahuan sosial dan budaya yang mengkaji keberadaan hukum dalam
masyarakat dan fungsi hukum untuk kehidupan manusia;
3. hubungan fungsional-timbal balik, yaitu memadukan dua pendekatan dalam memahami
eksistensi hukum. Sosiologi hukum mengedepankan gejala sosial yang melahirkan
hukum, sedangkan antropologi hukum mengedepankan budaya dan kesadaran hukum
masyarakat.
4. hubungan paternalistik, yaitu implikasi dari gejala hukum ataupun fungsi kebudayaan
terhadap pembentukan perilaku manusia dan masyarakat pada umumnya.
Dari empat hubungan tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa sosiologi hukum
dengan antropologi hukum saling berhubungan erat apabila dilihat dari objek utamanya,
yakni manusia, komunitas, peran dan fungsi sosial dan kebudayaan. Kaidah hukum, norma
sosial, undang-undang, ajaran agama, adat, dan sebagainya.
C. Berbagai Pendekatan dalam Sosiologi Hukum
Hakikat pengetahuan terdapat pada jati diri ilmu bersangkutan, oleh karena itu
pengetahuan secara filosofis ada dua kategori, yakni pengetahuan tentang realitas absolut
dan pengetahuan tentang realitas relatif. Realitas absolut adalah pengetahuan yang
bersumber dari keberadaan yang sudah pasti adanya, sedangkan realitas relatif merupakan
pengetahuan yang bersumber dari keberadaan yang berubah-ubah dan dipenuhi oleh
berbagai kemungkinan.
Sosiologi hukum merupakan pengetahuan realitas relatif, karena senantiasa
mengedepankan kajiannya pada sesuatu yang terjadi dan yang mungkin terjadi. Hukum yang
berupa kaidah sosial atau pelbagai peraturan dalam prinsip sosiologi hukum mengalami
berbagai perubahan.
kemungkinan akan memengaruhi perilaku masyarakat. Tindakan sosial merupakan
realitas mutlak sementara relevansinya dengan ketaatan terhadap norma sosial atau hukum
merupakan realitas relatif Pemahaman tersebut dibangun oleh tiga alasan mendasar, yaitu:
1. segala sesuatu yang terjadi dalam masyarakat secara empiris terlihat dan terasa realitas
absolut karena apa pun yang terjadi secara lahiriah, begitulah hukum tentang kejadian,
2. pemahaman terhadap segala yang terjadi dan dilakukan oleh masyarakat bukan
merupakan kejadiannya. Dengan demikian, pemahaman atas gejala sosial adalah realitas
relatif yang sangat dekat dengan berbagai kemungkinan. Setiap ilmu pengetahuan dengan
netral dapat melakukan penafsiran hukmiah terhadap tindak-tanduk manusia dan
masyarakat;

3. kompromisasi antara segala hal yang terjadi di masyarakat dengan corak pemahaman
hukmiah merupakan salah satu bentuk sintesis antara realitas mutlak dengan realitas
relatif. Dengan pendekatan inilah, sosiologi dan hukum saling menyandarkan diri (Beni
Ahmad Saebani, 2008: 67).
Secata filosofis, ada tiga pendekatan yang dapat dilakukan, yaitu sebagai berikut.
1. Pendekatan ontologis, yaitu pendekatan yang mengkaji secara mendalam tentang hakikat
kehidupan sosial dan hukum yang diterapkan dan berlaku di masyarakat. Teori hakikat
dalam konteks sosiologi hukum menitiberatkan prinsip-prinsip dasar tujuan hidup
masyarakat dan berbagai upaya mencapainya.
Dengan pendekatan Fontologis, substansi tindakan sosial dan substansi hukum yang The
berlaku adalah kesadaran. Adapun tujuan setiap tindakan manusia adalah untuk mencapai
tiga kebutuhan utama, yaitu kebutuhan primer, kebutuhan sekunder, dan kebutuhan
tersier atau komplementer. Pendekatan ontologis terhadap gejala sosial dan eksistensi
normatif moralitas sosial dalam konteks sosiologi hukum bermaksud menggali bentuk-
bentuk fenomenologi sosial secara apa adanya yang dipandang menentukan terwujudnya
determinasi tau sebaliknya bahwa moralitas norma: dan hukum yang berkembang atau
yang dilaksanakan menentukan adanya diferensiasi sosial secara deterministik.
2. Pendekatan epistemologis. Dalam filsafat, pendekatan ini merupakan teori pengetahuan
atau ada yang menyebutnya filsafat ilmu. Epistemologi adalah filsafat ilmu yang
mempersoalkan kebenaran pengetahuan, kebenaran ilmu, atau keilmuan pengetahuan.
Kebenaran epistemologis diperinci ke dalam empat hal yang mendasar, yaitu:
(a) kebenaran religius, yaitu kebenaran yang dibangun oleh kaidah-kaidah agama dan
keyakinan tertentu yang bersifat mutlak dan tidak dapat dibantah; (b) kebenaran filosofis,
yaitu kebenaran hasil perenungan, dan pemikiran refleksi filsuf yang kontemplatif dan
spekulatif; (c) kebenaran estetis, yaitu kebenaran yang didasarkan pada unsur seni dan
instrumen perasaan tentang keindahan, kesenangan, dan penilaian baik atau buruk; (d)
kebenaran ilmiah, yaitu kebenaran yang objektif karena adanya relevansi antara
pernyataan dan kenyataan.
Teori yang digunakan menunjang dan diindikasikan telah terbukti kebenarannya
rasional dan teruji sehingga memenuhi legitimasi pengetahuan empiris. Apabila
pendekatan epistemologis digunakan dalam sosiologi hukum, sosiologi hukum
merupakan pendekatan atau metode dalam memahami dan meneliti keberadaan hukum di
masyarakat dan gejala sosial yang menjadi penyebab lahirnya kaidah sosial yang bersifat
normatif. Tidak ada metode atau pendekatan lain yang secara epistemologis bertujuan
mencari kebenaran sosiologis-yuridis atau yuridis-sosiologis tentang berbagai gejala
sosial dan hukum di masyarakat, kecuali sosiologi hukum.
3. Pendekatan aksiologis, yaitu pendekatan filosofis yang dapat diterapkan ke dalam
sosiologi hukum untuk mengkaji gejala sosial dan eksistensi hukum dan berbagai kaidah
normatif di masyarakat dalam perspektif fungsi dan urgensinya bagi masyarakat atau bagi
hukum. Pendekatan aksiologis mempertanyakan hal-hal yang berkaitan secara pragmatis
tentang etika dan estetika, tentang manfaaf perilaku dan tindakan manusia atau
masyarakat secara umum. bahwa pendekatan aksiologis adalah pengkajian yang
mendalam terhadap Sutardjo A. Wiramihardja (2006: 37) menegaskan hakikat penilaian
atas kebenaran, kebaikan, keindahan, dan semua jenis kemungkinan dengan
mempertanyakan kesucian.
Menurut Beni Ahmad Saebani, tiga pendekatan yang mereduksi dari filsafat di atas
dapat dikembangkan menjadi lima pendekatan yang berbeda-beda, terutama berkaitan
dengan prinsip epistemologis dan aksiologisnya. Kelima pendekatan tersebut adalah
sebagai berikut.
1. Pendekatan sosiologis-explainatif, yaitu menjelaskan makna-makna hukum yang
terdapat dalam kitab-kitab hukum dan kaidah-kaidah hukum yang bersifat dogmatis
dengan mengutarakan makna makna tekstualnya dan menutupi makna kontekstualnya.
Pendekatan ini merupakan bagian dari linguisitas pemahaman ahli hukum dan sosiolog
dalam menerjemahkan pasal-pasal hukum, baik yang tertulis maupun ugeran-ugeran
normatif yang tidak tertulis.
2. Pendekatan sosiologis-normatif. Pendekatan yang bukan sekadar menerjemahkan
kaidah hukum yang dogmatis dan pasal-pasal yang tertuang dalam kitab-kitab hukum
dan ugeran adat istiadat sosial, melainkan juga melakukan pengkajian terhadap
berbagai latar belakang lahirnya kaidah hukum dan norma sosial yang berlaku di
masyarakat.
3. Pendekatan sosiologis-institusionalistik. Pendekatan yang memandang bahwa lembaga
hukum atau institusi sosial yang berada bersama masyarakat atau jauh dari jangkauan
kehidupan sosial merupakan penyebab utama lahirnya bentuk-bentuk kehidupan sosial
dan karakteristik hukum yang berlaku. Lembaga yang mewadahi ragam hukum dan
kaidah sosial dipandang sebagai tolok ukur tercapainya tujuan hukum di masyarakat
dan tujuan masyarakat dalam melaksanakan hukum.
4. Pendekatan fenomenologis. Pendekatan yang memisahkan hukum dengan masyarakat.
Hukum adalah hukum, masyarakat adalah masyarakat. Hukum dibiarkan berdiri
sendiri untuk menjelaskan hakikatnya dari apapun yang ada dalam dirinya.
5. Pendekatan sosiologis-prularistik. Pendekatan yang memahami hukum sebagai kaidah
sosial yang kebenarannya universal, tidak dibatasi oleh wilayah atau lokalitas sosial.
Pendekatan ini menolak paradigma hukum yang bersifat teritorialis. Muatan lokal,
dalam pandangan sosiologi prularistik, adalah gejala kebudayaan material, yang
apabila dilihat substansinya terdapat keragaman tindakan dengan satu tujuan sosial.
Ada juga yang berpendapat bahwa pendekatan terhadap sosiologi hukum adalah
sebagai berikut.
1. Pendekatan instrumental
Pendekatan yang menekankan pada fungsi hukum sebagai sarana pengambilan
keputusan oleh penguasa. Kelemahan pendekatan ini adalah para sosiolog berperan
sebagai seorang teknis, sehingga aspek-aspek struktur sosial lainnya sering terabaikan.
2. Pendekatan hukum alam dan positivistik
Hukum alam dan positivistik lebih menitikberatkan pada adanya proses
legislasi, bahkan cenderung bersifat legisme. Pendekatan ini memandang hukum itu
sebagai undang-undang. Pendekatan paradigma sosiologi hukum
3. Paradigma sosiologi hukum mempelajari hukum sebagai gejala sosial.
Dengan penjelasan tersebut dapat disimpulkan bahwa ruang lingkup sosiologi
hukum adalah:
1. mempelajari dasar sosial dari hukum;
2. mempelajari efek atau pengaruh hukum terhadap gejala sosial lainnya. Ditinjau dari
perspektif penelitiannya, sosiologi hukum dapat digolongkan dalam dua golongan,
yaitu:
a. sosiologi hukum teoretis: bertujuan untuk menghasilkan generalisasi atau
abstraksi setelah pengumpulan data, penelitian terhadap keteraturan sosial dan
pengembangan hipotesis, dalam hipotetis selalu terdapat sebab akibat;
b. sosiologi hukum praktis bertujuan menguji hipotetis
Sosiologi hukum merupakan ilmu pengetahuan tentang interaksi manusia
yang berkaitan dengan hukum dalam kehidupan bermasyarakat.
Manfaat mempelajari sosiologi hukum:
1. mengetahui dan memahami perkembangan hukum positif (tertulis atau tidak
tertulis) di dalam negara atau masyarakat;
2. mengetahui efektivitas berlakunya hukum positif di dalam masyarakat;
3. mampu menganalisis penerapan hukum di dalam masyarakat;
4. mampu mengonstruksikan fenomena hukum yang terjadi di masyarakat;
5. mampu memetakan masalah-masalah sosial dalam kaitan dengan penerapan
hukum di masyarakat;
6. memiliki jangkauan luas dalam kehidupan. Pakar dan praktisi hukum cenderung
berorientasi pada "quit juris" (kebenaran memiliki jangkuan luas dalam
kehidupan. Pakar dan praktisi normatif);
7. masyarakat berpotensi harmoni dan konflik;
8. Kebenaran sosiologi hukum adalah adanya kesesuian antara fakta dengan teori
yang dijadikan ukuran untuk melihat kebenaran.
D. Antropologi Hukum
1. Pengertian Antropologi
Antropologi merupakan salah satu cabang ilmu-ilmu sosial yang mempelajari
budaya masyarakat etnis tertentu. Antropologi berawal dari ketertarikan orang-orang
Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat, budaya yang berbeda yang dikenal di
Eropa.
Antropologi lebih memusatkan pada penduduk sebagai masyarakat tunggal, tunggal
dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal di daerah yang sama. Antropologi hampir
identik dengan sosiologi, tetapi sosiologi lebih menitikberatkan pada masyarakat dan
kehidupan sosialnya.
Antropologi berasal dari kata Yunani, anthropos yang berarti "manusia" atau
"orang", dan logos yang berarti "wacana atau ilmu". Antropologi mempelajari manusia
sebagai makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
Antropologi memiliki dua sisi holistis, yaitu meneliti manusia pada setiap waktu dan
setiap dimensi kemanusiaannya. Arus utama inilah yang secara tradisional memisahkan
antropologi dari disiplin ilmu kemanusiaan lainnya yang menekankan pada perbandingan
atau perbedaan budaya antarmanusia.
Definisi antropologi menurut para ahli adalah sebagai berikut.
1. William A. Havilland (1988: 6): antropologi adalah studi mengenai umat manusia
yang berusaha menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan
perilakunya, serta untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keragaman
manusia.
2. David Hunter (1979: 9): antropologi adalah ilmu yang muncul dari keingintahuan
yang tidak terbatas tentang umat manusia.
3. Koentjaraningrat (1989: 13): antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat
manusia pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat,
serta kebudayaan yang dihasilkan.
Macam-macam cabang antropologi adalah:
1) Antropologi fisik, terdiri dari:
a. Paleoantrologi adalah ilmu yang mempelajari asal-usul manusia dan evolusi
manusia dengan meneliti fosil-fosil.
b. Somatologi adalah ilmu yang mempelajari keberagaman ras manusia dengan
mengamati ciri-ciri fisik.
2) Antropologi budaya
a. Prehistori adalah ilmu yang mempelajari sejarah penyebaran dan perkembangan
budaya manusia mengenal tulisan.
b. Etnolinguistik antrologi adalah ilmu yang mempelajari suku suku bangsa yang ada
di dunia.
c. Etnologi adalah ilmu yang mempelajari asas kebudayaan manusia di dalam
kehidupan masyarakat suku bangsa di seluruh dunia.
d. Etnopsikologi adalah ilmu yang mempelajari kepribadian bangsa serta peranan
individu pada bangsa dalam proses perubahan adat-istiadat dan nilai universal
dengan berpegang pada konsep psikologi.
2. Sejarah Antropologi
a. Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)
Sekitar abad ke-15 dan abad 16, bangsa-bangsa di Eropa mula berlomba-lomba
untuk menjelajahi dunia, mulai Afrika, Amerika, Asia hingga Australia. Dalam
penjelajahannya, mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak
menjumpai suk suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan penemuan
mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal perjalanan. Mereka
mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku asing tersebut. Mulai
ciri fisik kebudayaan, susunan masyarakat, atau bahasa dari suku tersebut Bahan-
bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing tersebut kemudian dikenal dengan
bahan etnografi atau deskripsi bangsa bangsa.
Bahan etnografi itu menarik perhatian para pelajar di Eropa. Kemudian, pada
permulaan abad ke-19, perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi suku
luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu, timbul usaha
usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi
b. Fase Kedua (tahun 1800-an)
Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-
karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyara pada saat itu. Masyarakat dan
kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan. Mereka menganggap bangsa-bangsa
selain Eropa sebagai bangsa-bangsa primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa
sebagai bangsa yang tinggi kebudayaannya.
Pada fase ini, antropologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat
dan kebudayaan primitif dengan maksud memperoleh pemahaman tentang tingkat-
tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
c. Fase Ketiga (awal abad ke-20)
Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di
benua lain, seperti Asia, Amerika, Australia, dan Afrika. Dalam rangka membangun
koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala, seperti serangan dari bangsa asli,
pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi bangsa Eropa, serta hambatan lain.
d. Fase Keempat (setelah tahun 1930-an)
Pada fase ini, antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan
suku bangsa asli yang dijajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh
kebudayaan bangsa Eropa. Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa,
Perang Dunia II. Perang ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia
dan membawa sebagian besar negara-negara di dunia pada kehancuran total.
Kehancuran itu menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang
tak berujung.
Pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa bangsa yang dijajah
Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa tersebut
berhasil, tetapi banyak masyarakatnya yang masih memendam dendam terhadap
bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-tahun.
Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak
lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku
bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami, Flam, dan Lapp.
3. Pengertian Antropologi Hukum
Antropologi hukum adalah ilmu hukum yang mempelajari pola-pola sengketa dan cara
penyelesaiannya, baik pada masyarakat yang sederhana maupun pada masyarakat yang
mengalami modernisasi. Antropologi hukum melihat norma sosial sebagai hukum.
Apabila terjadi pelanggaran atau tindakan tidak mengindahkan norma sosial, orang yang
melanggar akan diberi sanksi, dalam bentuk sanksi fisik, sanksi sosial, dan sanksi lainnya.
Ada empat syarat menjadi hukum atau norma, yaitu;
1. attribute of authority (adanya kewenangan);
2. attribute infention of universal application (adanya penerapan hukum universal);
3. attribute of obligation (adanya hak dan kewajiban);
4. attribute of sanksion (adanya sanksi hukum).
Antropologi hukum memberikan referensi dalam pembuatan undang-undang (law
making proces). Tugas antropologi hukum tersebut tampak jelas pada persidangan-
persidangan atau penyelesaian sengketa yang berlangsung di pengadilan, ketika hakim
memutuskan perkara sengketa dengan cara menggali sumber-sumber hukum yang hidup
dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.
E. Psikologi Hukum
1. Psikologi
Istilah psikologi berasal dari bahasa Yunani "psyche" yang berarti jiwa, dan
"logos" yang berarti ilmu. Secara harfiah, psikologi berarti ilmu jiwa. Psikologi adalah
ilmu yang sedang berkembang yang dapat diterapkan pada setiap bidang dan segi
kehidupan. Cabang-cabang psikologi dapat digolongkan berdasarkan kekhususan
bidang studinya, baik ilmu dasar (teoretis) maupun yang bersifat terapan (praktis).
Sejarah Perkembangan Psikologi Pada zaman Yunani Kuno, para ahli falsafat
mencoba mempelajari jiwa. Plato menyebut jiwa sebagai ide, Aristoteles menyebut jiwa
sebagai fungsi mengingat.
2. Psikologi Hukum
Psikologi hukum merupakan psikologi khusus yang mengalami perkembangan
seiring dengan perkembangan ilmu hukum yang berkembang karena pengaruh ilmu-ilmu
metayuridis, misalnya, tujuan dan kepentingan negara, seperti organisasi militer,
perpajakan, administrasi kepolisian, dan pemerintahan pada umumnya. (Soedjono
Dirdjosisworo, Sosilogi Hukum ([Studi tentang Perubahan Hukum dan Sosial], Rajawali,
Jakarta, 1981: 3-4)
Psikologi hukum menyoroti hukum sebagai salah satu perwujudan perkembangan
jiwa manusia. Psikologi hukum mempelajari perikelakuan atau sikap tindak hukum, yang
mungkin merupakan perwujudan dari gejala-gejala kejiwaan tertentu, dan juga landasan
kejiwaan dari perikelakuan atau sikap tindak tersebut.
Psikologi hukum merupakan cabang studi hukum yang masih muda, yang lahir
karena kebutuhan dan tuntutan kehadiran psikologi dalam studi hukum, terutama
kebutuhan bagi praktik penegakan hukum, termasuk untuk kepentingan pemeriksaan di
muka sidang pengadilan. Walaupun demikian, perhatian psikologi hukum masih belum
memadai karena belum ada kesepakatan yang mantap mengenai ruang lingkupnya.
3. Psikologi Hukum Perkembangan
Psikologi deduktif berkaitan dengan hukum perkembangan. menunjukkan adanya
hubungan yang ajeg, yang variabel-variabel empirisnya dapat diramalkan. Hukum-hukum
dalam konsepsi perkembangan tersebut antara lain sebagai berikut.
a. tempo perkembangan. Perkembangan jiwa berlainan menurut temponya masing-
masing. Ada yang cepat (tempo singkat) dan ada yang lambat. Suatu saat ditemukan
seorang anak yang cepat menguasai keterampilan berjalan, berbicara, tetapi pada saat
yang lain ditemukan seorang anak lambat berjalan dan berbicara. Mereka memiliki
tempo sendiri-sendiri.
b. Hukum irama perkembangan. Hukum ini mengungkapkan bukan lagi cepat atau
lambatnya perkembangan anak, melainkan irama atau ritme perkembangan.
Perkembangan anak tersebut mengalami gelombang "pasang surut"' mulai dilahirkan
hingga masa dewasa.
c. Hukum konvergensi perkembangan. Pandangan pendidikan tradisional pada masa
lalu berpendapat bahwa hasil pendidikan yang dicapai anak selalu dihubung-
hubungkan dengan status pendidikan orangtuanya. Menurut kenyataan yang ada
sekarang, pendapat lama itu tidak sesuai lagi dengan keadaan. Pandangan tersebut
dikuasai oleh aliran nativisme yang dipelopori Schopen Hauer yang berpendapat
bahwa manusia adalah hasil bentukan dari pembawaan.
d. Hukum kesatuan organ. Tiap-tiap anak itu terdiri atas organ-organ tubuh, yang
merupakan satu kesatuan di antara organ-organ tersebut, yang antara fungsi dan
bentuknya tidak dapat dipisahkanatau integral.
e. Hukum hieraki perkembangan. Perkembangan anak itu tidak mungkin mencapai fase
tertentu dengan spontan, tetapi melalui tahapan yang tersusun sedemikian rupa
sehingga perkembangan diri seseorang menyerupai derajat perkembangan.
f. Hukum masa peka. Masa peka ialah masa yang paling tepat untuk berkembang. Pada
masa ini, fungsi kejiwaan atau fisik seseorang tidak berjalan secara serempak antara
satu dan lainnya.
g. Hukum mengembangkan diri. Dorongan yang pertama adalah dorongan
mempertahankan diri, kemudian disusul dengan dorongan mengembangkan diri.
Dorongan mempertahankan diri terwujud, misalnya dorongan makan dan menjaga
keselamatan diri sendiri. Dorongan mempertahankan diri, misalnya seorang anak
yang ingin menjadi juara, pandai, dan sukses.
h. Hukum rekapitulasi. Perkembangan jiwa anak adalah ulangan secara singkat dari
perkembangan manusia di dunia dari masa berburu hingga masa industri. Teori ini
berlangsung dengan berabad-abad dengan lambat. Jika pengertian rekapitulasi ini
ditransfer ke psikologi perkembangan, dapat dikatakan bahwa perkembangan jiwa
anak mengalami ulangan ringkas dari sejarah kehidupan umat manusia.
4. Psikologi dalam Hukum Pidana
Professor Sudarto menegaskan bahwa yang membedakan hukum pidana dari bidang
hukum lain adalah sanksi yang diancamkan kepada pelanggaran normanya. Sanksi dalam
hukum pidana ini adalah sanksi yang negatif. Oleh karena itu, dikatakan bahwa hukum
pidana merupakan sistem sanksi yang negatif. Di samping itu, mengingat sifat dari
pidana, hendaknya diterapkan apabila sarana (upaya) lain tidak memadai, dikatakan pula
bahwa hukum pidana mempunyai fungsi yang subsider.
Dengan demikian, makna mendasar tentang sifat hukum pidana, yaitu sanksi pidana
terhadap pelanggar norma, dan fungsi subsider akan diterapkan dengan benar apabila
sarana lain tidak berdaya san berfungsi untuk pengawasan perilaku agar tidak lagi
dilakukan tindakan yang merugikan masyarakat.
F. Aspek psikologis dalam penegakan hukum
Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap upaya penegakan Hukum
Lawrence M. Friedman (2001) mengemukakan empat fungsi sistem hukum, yaitu:
1. Sistem hukum merupakan kontrol sosial dari pemerintah. Hal ini berarti bahwa
pemerintah secara sistematis menghadirkan sistem hukum untuk mengendalikan
dinamika sosial agar tidak keluar dari koridor yang diinginkan untuk mencapai tujuan
hidup bersama. Dari fungsi pertama ini, hukum dapat dipahami sebagai agen kekuasaan
(eksekutif) sehingga hukum dapat dipisahkan dari masyarakatnya. Apabila
pemahamannya demikian, cara berpikir tersebut berada dalam bingkai positivisme
hukum. Oleh karena itu, hukum akan berpengaruh terhadap sistem sosial yang
independen.
Kelemahan konsep ini adalah diabaikannya adat-istiadat masyarakat, dan cenderung
memfokuskan perhatian pada kekuasaan politik. Selanjutnya, kondisi ini memunculkan
fenomena bahwa struktur hukum sangat ditentukan oleh konfigurasi politik,
memunculkan ketidakpastian, baik bagi anggota legislatif maupun bagi masyarakat
karena hukum seolah-olah tercabut dari hakikatnya. Selain itu, aturan-aturan hukum
hanya bersifat teknis hanya menjadi wilayah pengetahuan yang esoteris, yaitu
pengetahuan yang asing bagi masyarakat bersangkutan serta hanya untuk para praktisi
dan ahli hukum sehingga akan terjadi sikap apatis terhadap hukum.
2. Sistem hukum berfungsi sebagai cara dan mekanisme penyelesaian sengketa.
Penyelesaian lain yang bisa digunakan untuk menyelesaikan sengketa atau konflik adalah
cara musyawarah, mediasi, dan atau adjudikasi. Berkaitan dengan fungsi kedua ini, perlu
dicermati pendapat Carl Von Savigny yang menyatakan bahwa hukum itu adalah "jiwa
dan moralitas" masyarakat itu sendiri. Agar norma-norma hukum tertentu diterima dan
dihormati oleh masyarakat bersangkutan, harus dipastikan bahwa norma norma tersebut
tidak berseberangan dengan kesadaran hukum masyarakat. Dalam rangka penyelesaian
sengketa perlu dilakukan pendekatan-pendekatan persuasif, sehingga hasilnya dapat
memenuhi keinginan para pihak.
3. Sistem hukum berfungsi untuk merekayasa kehidupan sosial. Berpijak pada ajaran
Roscoe Pound (Sociological Jurisprudence) yang menyatakan bahwa eksistensi hukum
untuk merekayasa kehidupan sosial, para penegak hukum harus memerankan hukum
sebagai alat untuk membangun mind set (pola pikir, sikap, mentalitas) masyarakat, yang
diharapkan menjadi pijakan dasar bagi masyarakat bersangkutan untuk bergerak menuju
perubahan perubahan yang diinginkan.
4. Fungsi sistem hukum adalah sebagai sarana pemeliharaan sosial. Fungsi ini sangat
penting dalam kaitannya dengan penegakan struktur hukum agar tetap berjalan sesuai
dengan aturan mainnya. Friedman (2001) berpendapat bahwa sebagai bagian dari legal
system, upaya penegakan hukum (law enforcement) sangat ditentukan oleh tiga aspek
pokok, yaitu: legal structure, legal substance, dan legal culture.
Legal structure adalah aspek yang berkaitan dengan lembaga hukum. Termasuk dalam
aspek ini adalah kompetensi, sikap, dan lembaga komitmen pejabat yang memiliki
kewenangan membuat peraturan

G. Otopsi Psikologi (Kasus Bunuh Diri)


Otopsi psikologi merupakan kegiatan penelusuran atau penelitian tentang kehidupan
korban sampai saat kematiannya, untuk mengetahui kondisi psikis atau mental kejiwaan
yang mengarah pada ada atau tidak adanya dorongan untuk melakukan bunuh diri.
Mengacu pada pengertian tersebut, proses otopsi psikologi tidak sama dengan proses
otopsi medis, yaitu tidak melakukan proses pembedahan secara fisik, tetapi pembedahan
terhadap riwayat perjalanan hidup korban sampai pada saat-saat akhir kematiannya.
Kegiatan yang dilaksanakan dalam proses otopsi psikologi utamanya dilakukan melalui
penelitian, pengungkapan data-data dan riwayat hidup korban melalui wawancara terhadap
orang-orang yang mempunyai hubungan dekat dengan korban.
Penelitian terhadap data medis dan data psikologis (bilamana ada) sangat diperlukan
untuk mengungkap riwayat kesehatan fisik dan mental atau kejiwaan korban pada masa
hidupnya, serta analisis terhadap Tempat Kejadian Perkara (TKP) korban ditemukan dalam
keadaan meninggal dunia. Secara spesifik dan lebih terperinci, Sherry Russell (2004)
menyatakan beberapa data yang diperlukan dalam proses otopsi psikologi, yaitu sebagai
berikut;
1. informasi pribadi (personal information), seperti usia; statusperkawinan; ketaatan
beragama; riwayat pendidikan; riwayat pekerjaan; dan sebagainya;
2. riwayat status kesehatan mental atau kejiwaan;
3. riwayat keluarga (family history);
4. visum et Repertum (VER) kematian korban;
5. 5.riwayat kematian dalam keluarga, meliputi usia dan faktor penyebab;
6. riwayat kesehatan medis (medical record);
7. riwayat adanya kondisi stres atau depresi sebagai akibat dari permasalahan yang sedang
dihadapi setidaknya dalam satu tahun terakhir;
8. laporan polisi atau laporan kemajuan penyelidikan;
9. Reaksi keluarga atau teman terhadap kabar kematian korban;
H. Psikologi Forensik
The committee on ethical Guidelines for Forensik Psychology mendefinisikan
psikologi forensik sebagai semua bentuk layanan psikologi yang dilakukan pada hukum.
Luasnya bidang psikologi forensik dan penggunaan istilah yang beragam membuat
masyarakat menjadi bingung akan tugas psikolog forensik serta istilah yang paling tepat
digunakan.
Ada yang menggunakan istilah psychology and criminology, psychology of court room,
investigative psychology. Meliala (2008) menyatakan psikologi forensik merupakan istilah
yang dapat memayungi luasnya cakupan keilmuan psikologi forensik. Komunitas psikologi
forensik di Indonesia juga menyepakati istilah psikologi forensik dengan membentuk
komunitas minat di bawah HIMPSI dengan nama Asosiasi Psikologi Forensik Indonesia
(APSIFOR).
Individu yang berkecimpung pada psikologi forensik dapat dibedakan menjadi:
1. Ilmuwan psikologi forensik. Tugasnya melakukan kajian/ penelitian yang terkait dengan
aspek-aspek perilaku manusia dalamproses hukum.
2. Praktisi psikolog forensik. Tugasnya memberikan bantuan profesional berkaitan dengan
permasalahan hukum. Psikolog forensik adalah psikolog yang mengaplikasikan ilmunya
untuk membantu penyelesaian masalah hukum.
Berikut akan dipaparkan beberapa tugas psikolog forensik di tahap proses peradilan
pidana, antara lain sebagai berikut.
1) Interogasi Kepolisian pada Pelaku
Interogasi bertujuan agar pelaku mengakui kesalahannya. Teknik lama yang
digunakan polisi adalah dengan melakukan kekerasan fisik Teknik ini banyak
mendapatkan kecaman karena orang yang tidak bersalah dapat mengakui kesalahan
akibat tidak tahan oleh kekerasan fisik yang diterimanya. Teknik interogasi dengan
menggunakan teori psikologi dapat digunakan, misalnya dengan teknik
maksimalisasi dan minimalisasi (Kassin dan McNall dalam Constanzo, 2006).
Psikolog forensik dapat memberi pelatihan kepada polisi tentang teknik interogasi
yang menggunakan prinsip psikologi.
Criminal profiling dapat disusun dengan bantuan teori psikologi Psikolog
forensik dapat membantu polisi melacak pelaku dengan menyusun profil kriminal
pelaku. Misal pada kasus teroris, misalnya, dapat disusun criminal profile dari
teroris, yang berguna dalam langkah penyidikan di kepolisian ataupun masukan bagi
hakim (misalnya apakah tepat teroris dihukum mati atau hanya seumur hidup).
Psikolog forensik juga dapat membantu polisi dengan melakukan asesmen
untuk memberikan gambaran tentang kondisi mental pelaku.
2) Pada Korban
Beberapa kasus dengan trauma berat menolak untuk menceritakan kejadian
yang dialaminya. Untuk itu, psikolog forensik dapat membantu polisi dalam
melakukan penggalian informasi terhadap korban, misalnya pada anak-anak atau
wanita korban kekerasan. Penggalian korban perkosaan pada anak yang masih sangat
belia dapat digunakan alat bantu boneka (Probowati, 2005).
3) korban dibunuh atau bunuh diri.
3. Pada Saksi
Proses peradilan pidana bergantung pada hasil investigasi terhadap saksi, karena
baik polisi, jaksa maupun hakim tidak melihat langsung kejadian perkara. Penelitian
menemukan hakim dan juri di Amerika menaruh kepercayaan 90% terhadap pernyataan
saksi, padahal banyak penelitian yang membuktikan bahwa kesaksian yang diberikan
saksi banyak yang bias
4. Pengadilan
Psikolog forensik dalam peradilan pidana di pengadilan adalah saksi ahli bagi korban
(misalnya kasus KDRT, kasus dengan korban anak-anak, seperti perkosaan, dan
penculikan anak), dan bagi pelaku dengan permasalahan psikologis (misalnya mental
retarded, pedophilia, dan psikopat).
5. Lembaga Pemasyarakatan
Psikolog sangat dibutuhkan di Lapas, misalnya pada kasus percobaan bunuh diri,
yang para narapidananya tidak tertangani secara baik karena tidak setiap lapas memiliki
psikolog.
Selain itu, pemahaman petugas lapas kurang baik terkait dengan rehabilitasi
psikologis sehingga mereka sering memberikan hukuman dengan tujuan mengurangi
perilaku negatif narapidana (seperti berkelahi, berbohong). Di sini, psikolog forensik
dibutuhkan dalam rangka melakukan asesmen dan intervensi psikologis pada narapidana.
I. Sejarah Hukum
Sejarah hukum adalah cabang ilmu pengetahuan hukum yang menyoroti perkembangan
dan asal-usul sistem hukum dalam satu atau beberapa masyarakat. Di samping itu, dipelajari
pula faktor-faktor non hukum yang memengaruhi perkembangan dan asal-usul tersebut.
Dilihat dari bentuknya, sejarah hukum dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1. Sejarah hukum ekstern, ruang lingkupnya adalah perkembangan secara menyeluruh dari
hukum positif tertentu. Objek khususnya adalah sejarah pembentukan hukum/pengaruh
sumber-sumber hukum dalam arti formal pada periode tertentu.
2. Sejarah hukum intern, ruang lingkupnya adalah lembaga-lembaga hukum dan pengertian
hukum dari bidang hukum menurut periodesasi tertentu. Sejarah hukum di Indonesia
dapat diperincikan sebagai berikut.
1. Periode Kolonialisme
Periode kolonialisme terbagi dalam tiga tahapan besar, yaitu periode VOC, Liberal
Belanda, dan politik etis hingga penjajahan Jepang.
a. Periode VOC
Pada masa pendudukan VOC, sistem hukum yang diterapkan bertujuan:
a. kepentingan ekspolitasi ekonomi demi mengatasi krisis ekonomi di negeri Belanda;
b. pendisiplinan rakyat pribumi dengan cara yang otoriter;
c. Perlindungan terhadap pegawai VOC, sanak-kerabatnya, dan para pendatang Eropa.
Hukum Belanda diberlakukan terhadap orang-orang Belanda atau Eropa, sedangkan
bagi pribumi, yang berlaku adalah hukum-hukum Fang dibentuk oleh tiap-tiap komunitas
secara mandiri. Tata Pemerintahan dan politik pada zaman itu telah memarginalkan hak hak
dasar rakyat di Nusantara dan menjadikan penderitaan yang mendalam terhadap rakyat
pribumi pada masa itu.
b. Periode Liberal Belanda
Peraturan tentang Tata Pemerintahan (di Hindia Belanda) Pada 1854 di Hindia Belanda
diterbitkan Regeringsreglement (RR di negeri jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur
perlindungan yang tujuan utamanya melindungi kepentingan usaha-usaha swasta di negeri
jajahan dan untuk pertama kalinya mengatur perlindungan hukum terhadap kaum pribumi
dari kesewenang-wenangan pemerintahan jajahan.
c. Periode Politik Etis sampai Kolonialisme Jepang
Kebijakan politik etis dikeluarkan pada awal abad ke-20. Kebijakan awal politik etis
yang berkaitan langsung dengan pembaharuan hukum adalah: (a) pendidikan untuk anak-
anak pribumi, termasuk pendidikan lanjutan hukum; (b) pembentukan Volksraad, lembaga
perwakilan untuk kaum pribumi; (c) penataan organisasi pemerintahan, khususnya dari
segi efisiensi; (d) penataan lembaga peradilan, khususnya dalam hal profesionalitas; (e)
pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi pada kepastian hukum.
Hingga runtuhnya kekuasaan kolonial, pembaruan hukum di Hindia Belanda mewariskan:
(a) dualisme/pluralisme hukum privat serta dualisme/pluralisme lembaga lembaga
peradilan; (b) penggolongan rakyat ke dalam tiga golongan; Eropa dan yang disamakan,
Timur Asing, Tionghoa dan Non-Tionghoa, dan pribumi.
2. Periode Revolusi Fisik hingga Demokrasi Liberal
a. Periode Revolusi Fisik
Pembaruan hukum yang sangat berpengaruh pada masa awal ini adalah pembaruan
bidang peradilan, yang bertujuan dekolonisasi dan nasionalisasi, yaitu:
1. Meneruskan unfikasi badan-badan peradilan dengan melakukan penyederhanaan;
2. Mengurangi dan membatasi peran badan-badan pengadilan adat dan swapraja, kecuali
badan-badan pengadilan agama yang bahkan dikuatkan dengan pendirian Mahkamah
Islam Tinggi.
b. Periode Demokrasi Liberal
UUDS 1950 telah mengakui hak asasi manusia, tetapi pada masa ini pembaharuan
hukum dan tata peradilan tidak banyak terjadi. Yang ada adalah dilema untuk
mempertahankan hukum dan peradilan adat atau mengodifikasi dan mengunifikasinya
menjadi hukum nasional yang peka terhadap perkembangan ekonomi dan tata hubungan
internasional. Kemudian, yang berjalan hanyalah unifikasi peradilan dengan
menghapuskan seluruh badan-badan dan mekanisme pengadilan atau penyelesaian
sengketa di luar pengadilan negara, yang ditetapkan melalui UU No. 9/1950 tentang
Mahkamah Agung dan UU Darurat No. 1/1951 tentang Susunan dan Kekuasaan
Pengadilan.
c. Periode Demokrasi Terpimpin sampai Orde Baru
(1) Periode Demokrasi Terpimpin
Langkah-langkah pemerintahan demokrasi terpimpin yang dianggap sangat
berpengaruh dalam dinamika hukum dan peradilan adalah:
a. Menghapuskan doktrin pemisahan kekuasaan dan mendudukkan Mahkamah
Agung dan badan-badan pengadilan di bawah lembaga eksekutif;
b. Mengganti lambang hukum, dewi keadilan menjadi pohon beringin yang berarti
pengayoman;
c. Memberikan peluang kepada eksekutif untuk melakukan campur tangan secara
langsung atas proses peradilan berdasarkan UU No.19/1964 dan UU No.13/1965;
d. Menyatakan bahwa hukum perdata pada masa kolonial tidak berlaku, kecuali
sebagai rujukan, sehingga hakim mesti mengembangkan putusan-putusan yang
lebih situasional dan kontekstual.
(2) Periode Orde Baru
Perkembangan dan dinamika hukum dan tata peradilan di bawah Orde Baru
justru diawali oleh penyingkiran hukum dalam proses politik dan pemerintahan. Di
bidang perundang-undangan, rezim Orde Baru membekukan pelaksanaan Undang-
Undang Pokok Agraria, dan pada saat yang sama membentuk beberapa undang-
undang yang memudahkan modal asing berinvestasi di Indonesia, di antaranya
adalah Undang-Undang Penanaman Modal Asing, Undang-Undang Kehutanan, dan
Undang-Undang Pertambangan. Selain itu, Orde Baru juga melakukan: (a)
Penundukan lembaga-lembaga hukum di bawah eksekutif; (b) Pengendalian sistem
pendidikan dan penghancuran pemikiran kritis, termasuk dalam pemikiran hukum.
d. Periode Pasca Orde Baru (1998 - Sekarang)
Semenjak pucuk eksekutif dipegang Presiden Habibie hingga sekarang, sudah terjadi
empat kali amandemen UUD RI. Pada arah perundang-undangan dan kelembagaan
negara, beberapa pembaruan formal yang mengemuka adalah:
1. pembaruan sistem politik dan ketetanegaraan;
2. pembaruan sistem hukum dan hak asasi manusia;
3. pembaruan sistem ekonomi.
Penyakit lama Orde Baru, yaitu korupsi, kolusi, dan nepotisme masih kukuh
mengakar pada masa pascaorde baru, bahkan semakin luas jangkauannya. Selain itu,
kemampuan perangkat hukum pun dinilai belum memadai untuk menjerat para pelaku
semacam itu. Aparat penegak hukum, seperti polisi, jaksa, dan hakim (kini ditambah
advokat) belum mampu mengartikulasikan tuntutan pembaruan hukum.

J. Politik Hukum
Politik hukum adalah aspek-aspek politis yang melatarbelakangi proses pembentukan
hukum dan kebijakan suatu bidang tertentu, sekaligus memengaruhi kinerja lembaga-
lembaga pemerintahan yang terkait dalam bidang tersebut dalam mengaplikasikan ketentuan
ketentuan produk hukum, kebijakan, dan menentukan kebijakan lembaga-lembaga tersebut
dalam tataran praktis dan operasional. Sedemikian pentingnya peranan politik hukum ini
sehingga ia dapat menentukan keberpihakan suatu produk hukum dan kebijakan.
Pengertian mengenai politik hukum dapat dikemukakan sebagai berikut.
1. Satjipto Rahardjo: politik hukum adalah aktivitas menentukan pilihan mengenai tujuan
dan cara-cara yang hendak dipakai untul mencapai tujuan hukum dalam masyarakat.
2. Padmo Wahjono dikutip oleh Kotam Y. Stefanus: politik hukum adalah kebijaksanaan
penyelenggara negara mengenai kriteria menghukumkan sesuatu (menjadikan sesuatu
sebagai hukum). Kebijaksanaan tersebut dapat berkaitan dengan pembentukan hukum
dan penerapannya.
3. L. J. Van Apeldorn: politik hukum sebagai politik perundang undangan. Politik hukum
berarti menetapkan tujuan dan isi peraturan perundang-undangan hanya terbatas pada
hukum tertulis. Pengertian tersebut mengingat di Belanda, hukum dianggap identik
dengan undang-undang. Hukum kebiasaan tidak tertulis diakui hanya jika diakui oleh
undang-undang. Politik hukum juga dikonsepsi sebagai kebijaksanaan negara untuk
menerapkan hukum.
4. Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto: politik hukum merupakan kegiatan memilih
nilai-nilai dan menerapkan nilai-nilai.
5. Moh. Mahfud M.D.: politik hukum adalah pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada,
termasuk penegasan Bellefroid dalam bukunya Inleinding Tot de Fechts Weten Schap in
Nederland. Moh. Mahfud M.D. menyebutkan bahwa politik hukum adalah legal policy
yang akan atau telah dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah Indonesia. Legal
policy mengenai pembangunan hukum
Menurut Soehardjo, politik hukum merupakan salah satu cabang atau bagian dari ilmu
hukum. Ilmu hukum terbagi atas sebagai berikut
1. Dogmatika hukum, memberikan penjelasan mengenai isi (in houd) hukum, makna
ketentuan hukum, dan menyusunnya sesuai dengan asas-asas dalam suatu sistem
hukum.
2. Sejarah hukum, mempelajari susunan hukum yang lama yang mempunyai pengaruh dan
peranan terhadap pembentukan hukum sekarang. Sejarah hukum mempunyai arti
penting apabila ingin memperoleh pemahaman yang baik tentang hukum yang berlaku
sekarang.
3. Ilmu perbandingan hukum, mengadakan perbandingan hukum yang berlaku di berbagai
negara, meneliti kesamaan dan perbedaanya.
4. Politik hukum, bertugas meneliti perubahan-perubahan yang perlu diadakan terhadap
hukum yang ada agar memenuhi kebutuhan kebutuhan baru di dalam kehidupan
masyarakat.à
5. Ilmu hukum umum, tidak mempelajari tertib hukum tertentu, tetapi melihat hukum
sebagai suatu hal sendiri, lepas dari kekhususan yang berkaitan dengan waktu dan
tempat. Ilmu hukum umum berusaha untuk menentukan dasar-dasar pengertian perihal
hukum, kewajiban hukum, personel atau orang yang mampu bertindak dalam hukum,
objek hukum, dan hubungan hukum.
Berdasarkan posisi ilmu politik hukum dalam dunia ilmu pengetahuan seperti yang
telah diuraikan, objek ilmu politik hukum adalah hukum; hukum yang berlaku sekarang,
baik yang berlaku pada waktu yang lalu maupun yang seharusnya berlaku pada waktu yang
akan datang.
Pendekatan yang digunakan dalam objek politik hukum adalah praktis ilmiah, bukan
teoretis ilmiah. Penggolongan lapangan hukum yang klasik atau tradisional yang dianut
dalam tata hukum di Eropa dan tata hukum Hindia Belanda berkaitan dengan hal hal berikut.
1. Hukum Tata Negara;
2. Hukum Tata Usaha;
3. Hukum perdata;
4. Hukum Dagang;
5. Hukum Pidana;
6. Hukum Acara;
7. Hukum Perburuhan;
8. Hukum Agraria;
9. Hukum Ekonomi;
10. Hukum Fiskal.
Pembagian hukum secara tradisional antara lain: Hukum Nasional terbagi menjadi
enam bagian:
1. Hukum Tata Negara;
2. Hukum Adminitrasi Negara;
3. Hukum Perdata;
4. Hukum Pidana;
5. Hukum Acara Perdata;
6. Hukum Acara Pidana.
Hukum nasional tradisional mengandung ide, asas, nilai, dan sumber hukum, yang jika
semua itu dijadikan satu disebut politik hukum nasional.
K. Politik Legislasi Pascaamandemen
Pascaamandemen UUD 1945, tidak hanya lembaga-lembaga negara yang menjadi
sederajat, fungsi legislasi pun mengalami perubahan yang fundamental. Dari yang semula
presidensial heavy, bergeser ke DPR.
Hal ini dapat dilihat dari perubahan pada Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 dari "Presiden
memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR menjadi
Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang dengan persetujuan DPR."
Perubahan tersebut diikuti dengan berubahnya Pasal 20 UUD 1945, yaitu (1) DPR
mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang; (2) setiap rencangan undang-undang
dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama; (3) jika rancangan
undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak
boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu; (4) Presiden mengesahkan rancangan
undang-undang yang telah disetujui bersama menjadi undang-undang; (5) dalam hal
rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh
Presiden dalam waktu tiga puluh hari sejak rancangan undang-undang itu disetujui,
rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang undang dan wajib diundangkan.
Perubahan Pasal 20 UUD 1945 ini jelas menghilangkan dominasi presiden dalam proses
pembentukan undang undang, dan sekaligus menggesernya ke DPR.
Fungsi legislasi DPR menunjukkan adanya superioritas terhadap fungsi legislasi DPD.
DPD hanya diberi kewenangan untuk mengajukan dan ikut membahas rancangan undang-
undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan
pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya
ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dengan demikian,
meskipun DPD memiliki ruang dalam proses legislasi, DPD tidak mempunyai fungsi
legislasi. Sebab, fungsi legislasi harus dilihat secara utuh, yaitu dimulai dari proses
pengajuan sampai pemberian persetujuan terhadap rancangan undang-undang menjadi
undang-undang.
Superioritas atau monopoli fungsi legislasi DPR seperti itu ternyata telah menjadi
catatan banyak pakar untuk mengadakan koreksi terhadap Pasal 20 hasil amandemen
tersebut. Hal ini karena, dalam lembaga perwakilan rakyat yang menganut sistem bikameral,
dua lembaga yang ada memiliki harmoni kewenangan dalam fungsi legislasi. Dalam hal ini,
meskipun tidak memiliki hak untuk mengajukan rancangan undang-undang, Majelis Tinggi
(Senates/House of Lords) berhak untuk mengubah, mempertimbangkan, atau menolak (veto)
fancangan undang-undang dari Majelis Rendah (Kongress/House of representatives.)
L. Harmonisasi Hukum
Dalam negara hukum, konstitusi harus menjadi acuan penyelenggaraan negara dan
kehidupan warga negara. Dalam hal ini, sistem pemerintahannya harus memiliki tata hukum,
yang menjadi bingkai norma-norma hukum agar saling terkait dan tersusun menjadi sebuah
sistem. Setiap norma hukum dalam sistem tersebut harus tersusun dalam tata norma hukum
secara hierarkis tidak boleh mengesampingkan atau bahkan bertentangan dengan norma
hukum lainnya, baik secara vertikal maupun horizontal. Dengan demikian, jika terjadi
konflik antarnorma tersebut maka akan tunduk pada norma norma logisnya, yakni norma-
norma dasar yang ada dalam konstitusi.
Karakteristik dari norma hukum yang bersumber pada norma dasar itu meliputi prinsip
konsistensi dan legitimitas, yaitu suatu norma hukum tetap akan berlaku dalam suatu sistem
hukum sampai daya lakunya diakhiri melalui cara yang ditetapkan dalam sistem hukum,
atau digantikan norma lain yang diberlakukan oleh sistem hukum itu sendiri. Dalam
karakteristik tersebut, berlaku prinsip-prinsip, antara lain i posterior derogate legi priori
(norma hukum yang baru membatalkan norma hukum yang terdahulu), lex superior derogate
legi inferiori (norma hukum yang lebih tinggi tingkatannya membatalkan norma hukum
yang lebih rendah), dan lex specialis derogate legi generalis (norma hukum yang bersifat
khusus membatalkan norma hukum yang bersifat umum).
Sekalipun demikian, terhadap prinsip hukum lex specialis yang berlaku sebaliknya,
artinya merupakan keadaan "menyimpang" dari keharmonisasian norma-norma dalam
tatanan hirarki sistem hukum nasional, hal ini tentu hanya boleh terjadi apabila norma-
norma hukum yang umum tidak jelas atau mengatur norma hukum yang dibutuhkan.
Meskipun lex specialis dapat dipandang sebagai masalah dalam politik harmonisasi hukum,
ia masih berada dalam koridor atau kerangka hukum dari norma-norma dasar dalam
konstitusi.
Dalam kaitan politik harmonisasi hukum tersebut UU No. 10 tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangarr telah memberikan pedoman dalam
pembentukan peraturan perundang undangan antara lain diatur: (1) mengenai asas
sebagaimana diatur dalam Pasal 5; (2) materi muatan sebagaimana diatur dalam Pasal 6; (3)
jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 7; dan
Bab V tentang pembentukannya. Khusus tentang "harmonisasi" dalam UU No. 10 tahun
2004 ini memang hanya disebut satu kali, yakni dalam Pasal 18 ayat (2). Dalam Pasal ini
disebutkan; "Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-
undang yang berasal dari Presiden, dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung
jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan" (baca: Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia).
Dengan adanya ketentuan Pasal 18 ayat (2) tersebut, harmonisasi hukum secara tegas
dibebankan kepada suatu kementerian, yakni Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal
ini agar norma-norma dalam rancangan undang-undang dimaksud tidak bertentangan secara
vertikal dengan UUD 1945 dan horizontal dengan undang-undang lain.
Dari sisi internal, faktor demokratisasi dan desentralisasi telah membawa dampak pada
proses pengambilan keputusan kebijakan publik. Dampak tersebut terkait dengan makin
meningkatnya tuntutan akan partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik; meningkatnya
tuntutan penerapan prinsip-prinsip tata kepemerintahan yang baik, antara lain transparansi,
akuntabilitas dan kualitas kinerja publik serta taat pada hukum; meningkatnya tuntutan
dalam penyerahan tanggung jawab, kewenangan dan pengambilan keputusan. Demikian
pula, secara khusus dari sisi internal birokrasi, berbagai permasalahan masih banyak
dihadapi, di antaranya pelanggaran disiplin, penyalahgunaan kewenangan dan
penyimpangan yang tinggi; rendahnya kinerja sumber daya aparatur; sistem kelembagaan
(organisasi) dan ketatalaksanaan (manajemen) pemerintahan yang belum memadai;
rendahnya efisiensi dan efektivitas kerja; rendahnya kualitas pelayanan umum; rendahnya
kesejahteraan PNS; dan banyaknya peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan
perkembangan keadaan dan tuntutan pembangunan.
Dari sisi eksternal, faktor globalisasi dan revolusi teknologi informasi merupakan
tantangan sendiri dalam upaya menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Hal
tersebut terkait dengan makin meningkatnya ketidakpastian akibat perubahan faktor
lingkungan politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi dengan cepat, makin derasnya arus
informasi dari mancanegara yang dapat menimbulkan infiltrasi budaya, dan terjadinya
kesenjangan informasi dalam masyarakat (digital divide). Perubahan-perubahan ini
membutuhkan aparatur negara yang memiliki kemampuan pengetahuan dan keterampilan
yang andal untuk melakukan antisipasi, menggali potensi dan cara baru dalam menghadapi
tuntutan perubahan. Di samping itu, aparatur negara harus mampu meningkatkan daya
saing, dengan melakukan aliansi strategis untuk menjaga keutuhan bangsa.
Pelaksanaan reformasi birokrasi saat ini masih dirasakan kurang berjalan sesuai
dengan tuntutan reformasi. Hal tersebut terkait dengan tingginya kompleksitas
permasalahan dalam upaya mencari solusi perbaikan, masih tingginya tingkat
penyalahgunaan wewenang, banyaknya praktik KKN, dan masih lemahnya pengawasan
terhadap kinerja aparatur.
M. Hukum dan Pemerintahan yang Bersih ( Law and Clean Government )
Pemerintah sebagai wakil atau tangan rakyat menjadi ujung tombak dalam
pembangunan negara. Amanat yang diberikan rakyat dalam undang-undang yang
mewajibkan pemerintah mewujudkan pembangunan yang dicita-citakan sudah semestinya
dijalankan dengan sebaik-baiknya. Pemerintahan yang baik dan bersih merupakan kunci
keberhasilan pembangunan.
Hukum diperlukan untuk menata sebuah pemerintahan yang bersih, dan sebaliknya
pemerintahan yang bersih merupakan pemerintahan yang menegakkan supermasi hukum
sebagai pedoman dalam menjalankan amanat dan kehendak rakyat yang berlangsung secara
konstitusional. Oleh sebab itu, reformasi hukum yang sedang berjalan saat ini hanya akan
berhasil dan memiliki efektivitas bagi kesejahteraan rakyat apabila pemerintahan yang akan
datang merupakan pemerintahan yang bersih.
Berbagai kebijakan terkait reformasi birokrasi terus diupayakan untuk disempurnakan
dan ditingkatkan dalam rangka menciptakan tata pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Hal mendasar yang perlu segera diselesaikan karena akan sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan pelaksanaan reformasi birokrasi ke depan adalah percepatan penyelesaian dan
penetapan beberapa RUU menjadi UU yang menjadi landasan hukum pelaksanaan reformasi
birokrasi, antara lain, RUU Pelayanan Publik, RUU Kementerian Negara, RUU
Administrasi pemerintahan, RUU Etika( kode etik) Penyelenggara Negara, RUU Tata
Hubungan Kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, antara Pemerintah
Daerah Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota, dan RUU Revisi Undang-undang
Nomor 7 tahun 1971 tentang Ketentuan-ketentuan pokok Kearsipan.
N. Lembaga-lembaga yang berwenang
Montesquieu mengutarakan Trias Politica tentang kekuasaan negara yang terdiri atas
tiga pusat kekuasaan dalam lembaga negara,antara lain:
1. Eksekutif;
2. Legislatif;
3. Yudikatif. Yang berfungsi sebagai sentra-sentra kekuasaaan negara yang masing-
masing harus dipisahkan. Dalam kaitanya dengan politik hukum adalah penyusunan
tertib hukum negara, ketiga lembaga tersebutlah yang berwenang melakukannya.
O. Regionalisme
Dewasa ini, regionalisme diartikan bagian dari dunia, yang meliputi beberapa negara
yang berdekatan letaknya, yang mempunyai kepentingan bersama. Dengan kata lain,
regionalisme adalah suatu kerja sama secara kontinu antarnegara di dunia. Pada dasarnya,
regionalisme sudah ada sejak dahulu, seperti regionalisme antara negara-negara Skandinavia
yang terdiri atas Swedia, Norwegia, dan Denmark. Begitu pula dengan Benelux yang terdiri
atas Belgia, Nederland, dan Luxsemburg. Mereka bekerja sama dalam satu ikatan. Sekalipun
demikian, contoh-contoh tersebut kurang mempunyai pengaruh terhadap politik hukum
dunia. Keduanya tidak dianggap terlalu penting, lain halnya dengan NATO yang terdiri dari
batasan negara Eropa Barat masih ditambah lagi dengan Turki dan Kanada. Mereka
mempunyai pengaruh besar terhadap politik hukum negara-negara dunia dibandingkan
dengan Benelux.

P. Sifat Politik Hukum


Menurut Bagir Manan, seperti yang dikutip oleh Kotan Y. Stefanus bukunya
"Perkembangan Kekuasaan Pemerintahan Negara", dalam politik hukum terdiri atas sebagai
berikut.
1. Politik hukum yang bersifat tetap (permanen): Berkaitan dengan sikap hukum yang selalu
menjadi dasar kebijaksanaan pembentukan dan penegakan hukum.
Bagi bangsa Indonesia, politik hukum tetap antara lain:
a. Terdapat satu sistem hukum, yaitu Sistem Hukum Nasional.
b. Setelah 17 Agustus 1945, politik hukum yang berlaku adalah politik hukum nasional,
artinya telah terjadi unifikasi hukum (berlakunya satu sistem hukum di seluruh wilayah
Indonesia). Sistem hukum nasional tersebut terdiri atas:
 Hukum Islam (yang dimasukkan adalah asas-asasnya);
 Hukum Adat (yang dimasukkan adalah asas-asasnya);
 Hukum Barat (yang dimasukkan adalah sistematikanya);
 Sistem hukum nasional yang dibangun berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
2. Tidak ada hukum yang memberi hak istimewa pada warga negara tertentu berdasarkan
suku, ras, dan agama. Kalaupun ada perbedaan, semata-mata didasarkan pada
kepentingan nasional dalam rangka keasatuan dan persatuan bangsa.
3. Pembentukan hukum memerhatikan kemajemukan masyarakat. Masyarakat memiliki
peran penting dalam pembentukan hukum sehingga masyarakat harus ikut berpartisipasi
dalam pembentukan hukum.
4. Hukum adat dan hukum yang tidak tertulis lainnya diakui sebagai subsistem hukum
nasional sepanjang nyata-nyata hidup dan dipertahankan dalam pergaulan masyarakat.
5. Pembentukan hukum sepenuhnya didasarkan pada partisipasi masyarakat.
6. Hukum dibentuk dan ditegakkan demi kesejahteraan umum (keadilan sosial bagi seluruh
rakyat) terwujudnya masyarakat yang demokratis dan mandiri serta terlaksananya negara
berdasarkan hukum dan konstitusi.
7. Politik hukum yang bersifat temporer, artinya sebagai kebijaksanaan yang ditetapkan dari
waktu ke waktu sesuai dengan kebutuhan

Q. Sistem Hukum Nasional


Hukum nasional suatu negara merupakan gambaran dasar mengenai tatanan hukum
nasional yang dianggap sesuai dengan kondisi masyarakat yang bersangkutan. Bagi
Indonesia, tatanan hukum nasional yang sesuai dengan masyarakat Indonesia adalah yang
berdasarkan Pancasila dengan pokok-pokoknya sebagai berikut.
1. Sumber Dasar Hukum Nasional
Sumber dasar hukum nasional adalah kesadaran atau perasaan hukum masyarakat
yang menentukan isi kaidah hukum. Dengan demikian, sumber dasar tatanan hukum
Indonesia adalah perasaan hukum masyarakat Indonesia yang terjelma dalam pandangan
hidup Pancasila. Oleh karena itu, dalam kerangka sistem hukum Indonesia, Pancasila
menjadi sumber hukum (Tap MPRS No. XX/ MPRS/1966).
2. Cita-cita Hukum Nasional
UUD 1945 memuat pokok-pokok pikiran sebagai berikut.
a. negara melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia
dengan berdasar atas persatuan;
b. negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia;
c. negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan
perwakilan;
d. negara berdasar atas KeTuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang
adil dan beradab.
3. Politik Hukum Nasional
Politik Hukum Nasional Politik hukum yang dilakukan oleh pemerintah berkaitan
erat dengan wawasan nasional bidang hukum, yaitu cara pandang bangsa Indonesia
mengenai kebijaksanaan politik yang harus ditempuh dalam rangka pembinaan hukum di
Indonesia. Adapun arah kebijaksanaan politik dibidang hukum ditetapkan dalam GBHN.
Dalam TAP MPR terdapat politik hukum Indonesia yang menyangkut GBHN, antara
lain:
1. TAP MPR No. 66/MPRS/1960
2. TAP MPR No. IV/MPR/1973
3. TAP MPR No. IV/MPR/1978
4. TAP MPR No. II/MPR/1983
5. TAP MPR No. II/MPR/1988
6. TAP MPR No. II/MPR/1993
7. TAP MPR No. X/MPR/1998
Pokok-pokok reformasi pembangunan dalam rangka penyelamatan dan normalisasi
kehidupan nasional sebagai haluan negara adalah:
1. TAP MPR No. VIII/MPR/1998
Mencabut:
2. TAP MPR No. II/MPR/1998
3. TAP MPR No. X/ MPR/1998, tentang GBHN
4. Tap MPR No. IV/MPR/1999 tentang GBHN 1999 sampai dengan 2004.
R. Ilmu Bantu Politik Hukum
Ilmu bantu politik hukum adalah ilmu yang dipakai dalam mendekati/mempelajari
politik hukum secara konsepsional, teori, dan penelitian. Ilmu bantu utama politik hukum
adalah sosiologi hukum, antropologi hukum, psikologi hukum, dan sejarah hukum.
S. Filsafat Hukum
Filsafat hukum adalah cabang filsafat yang membicarakan hakikat dan tujuan hukum.
Filsafat hukum membahas soal-soal konkret mengenai hubungan antara hukum dan moral
(etika) dan masalah keabsahan berbagai macam lembaga hukum.
Kajian tentang filsafat hukum merupakan studi yang sifatnya mendasar dan
komprehensif dalam ilmu hukum. Hal ini karena filsafat hukum merupakan landasan bagi
hukum positif yang berlaku di suatu negara dan dalam pengaturan hak asasi manusia.
Landasan filsafat negara sangat menentukan pola pengaturan HAM di negara yang
bersangkutan, apakah negara itu berpaham liberalis, sosialis atau Pancasialis. Pancasila
sebagai philosophische gronslag bangsa Indonesia merupakan dasar dari filsafat hukum
Pancasila yang selanjutnya menjadi dasar dari hukum dan praktik hukum di Indonesia.
Perenungan dan perumusan nilai-nilai filsafat hukum juga mencakup penyerasian nilai-nilai,
misalnya penyerasian antara ketertiban dan ketenteraman, antara kebendaan dan
kerohaniaan, dan antara kelanggengan dan konservatisme (Purnadi Purbacaraka dan
soerjono Soekanto, 1979: 11).
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto menyebutkan empat arti filsafat hukum, yaitu:
1. ilmu pengetahuan yang tersusun secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran;
2. suatu sistem ajaran tentang kenyataan atau gejala-gejala yang dihadapi;
3. pedoman atau patokan sikap tindak atau perilaku yang pantas atau diharapkan;
4. tata hukum, yaitu struktur dan proses perangkat norma hukum yang berlaku pada suatu
waktu dan tempat tertentu serta berbentuk tertulis.
Peran Filsafat Hukum dalam Pembaharuan Hukum di Indonesia
Rumusan Pancasila yang dijumpai dalam Alinea keempat Pembukaan UUD 1945
adalah sumber dari segala sumber hukum di Indonesia yang merupakan produk filsafat
hukum negara Indonesia. Pancasila ini muncul diilhami dari banyaknya suku, ras, latar
belakang, serta perbedaan ideologi dalam masyarakat yang majemuk. Untuk itu, muncullah
filsafat hukum untuk menyatukan masyarakat Indonesia dalam satu bangsa, satu kesatuan,
satu bahasa, dan prinsip kekeluargaan, walaupun tindak lanjut hukum-hukum yang tercipta
sering terjadi hibrida (percampuran), terutama dari hukum Islam, hukum adat, dan hukum
barat (civil law, khususnya negara Belanda).
Hukum Islam sering dijadikan dasar filsafat hukum sebagai rujukan mengingat
mayoritas penduduk Indonesia adalah umat muslim, contoh konkret dari hukum Islam yang
masuk dalam konstitusi Indonesia melalui produk filsafat hukum adalah Undang-undang
No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, yang di dalamnya terdapat pasal tentang kebolehan
poligami bagi laki-laki, yaitu dalam Pasal 3 ayat 1, Pasal 4 ayat 1 dan 2, dan Pasal 5 ayat 1
dan 2. Walaupun banyak pihak yang memprotes pasal kebolehan poligami tersebut, tidak
sedikit pula yang mempertahankan pasal serta isi dari Undang-Undang Perkawinan tersebut.
DPR adalah lembaga yang berjuang mengesahkan Undang Undang No. 1 tahun 1974
tentang Perkawinan, yang diundangkan pada tanggal 2 Januari tahun 1974, dan sampai
sekarang masih berlaku tanpa adanya perubahan.
T. Kriminologi
Kriminologi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari atau mencari sebab-musabab
kejahatan, akibat-akibat yang ditimbulkan dari kejahatan, dan untuk menjawab alasan-alasan
seseorang melakukan kejahatan (Mamik Sri Supatmi dan Herlina Permata Sari, 2007).
Menurut Muhammad (2007: 2), ruang lingkup pembahasan dalam kriminologi dapat
dibagi menjadi:
1. kejahatan, perilaku menyimpang, dan kenakalan;
2. pola tingkah laku kejahatan dan sebab musabab terjadinya kejahatan;
3. korban kejahatan;
4. reaksi sosial masyarakat terhadap kejahatan.
Beberapa pemikiran tentang kejahatan, di antaranya sebagai berikut.
1. Demonologis
Demonologis merupakan pemikiran awal yang dikembangkan atas dasar pemikiran
yang tidak rasional, suatu tingkah laku kejahatan yang dilakukan oleh individu
merupakan pengaruh dari roh jahat (demon-setan). Benar atau salahnya tingkah laku
ditentukan oleh definisi kepala suku atau orang yang dianggap sebagai dewa. Pemikiran
ini masih bersifat konvensional. Tindakan pelanggaran yang dianggap paling serius bagi
demonologis adalah mempergunakan ilmu hitam atau dikenal dengan black magic.
Hukuman yang digunakan juga masih bersifat tradisional yang ditujukan untuk mengusir
roh jahat dalam diri individu tersebut, seperti membakar individu yang memiliki ilmu
hitam.
2. Klasik
Dalam pemikiran klasik, tingkah laku jahat yang dilakukan oleh manusia merupakan
cerminan dari adanya konsep "free will" atau kehendak bebas. Dalam penjelasan
mengenai pemikiran klasik dengan konsep free will ini menganggap bahwa individu
memiliki pilihan dan pemikiran untuk menentukan tindakan yang akan mereka lakukan,
Hukuman yang diterapkan pada pemikiran ini bersifat umum sesuai dengan kejahatan
yang dilakukan. Tokoh pemikiran klasik ini, antara lain Cesare Beccaria dan Jeremy
Bentham.
3. Neo Klasik
Neo Klasik muncul sebagai bentuk kritikan terhadap klasik yang menyamakan
hukuman setiap orang tanpa mempertimbangkan usia, fisik, dan kondisi kejiwaan
seseorang.
4. Determinisme
Determinisme merupakan suatu penjelasan mengenai kejahatan bahwa tingkah laku
jahat merupakan pengaruh faktor-faktor tertentu. Ada beberapa paradigma dalam
determinisme, yaitu:

a. Positivisme
Salah satu tokoh yang terkenal dalam paradigma positivisme ini adalah Cesare
Lombroso yang menghubungkan tingkah laku jahat dengan kondisi biologis atau
fisik seseorang.
b. Interaksionisme
Dalam paradigma interaksionisme, tingkah laku jahat merupakan definisi dari
hasil interaksi. Seseorang dianggap jahat ketika orang lain melihat bahwa tingkah
laku tersebut adalah jahat atau menyimpang. Teori yang terkenal pada paradigma
interaksionis adalah teori "Labeling". Tokoh-tokohnya antara lain Edwin Lemert,
Becker, Kitsuse, dan Goffman.
c. Konflik
Tingkah laku jahat merupakan suatu definisi yang dibuat oleh penguasa
terhadap tingkah laku yang ditujukan untuk kepentingan penguasa. Tokoh-tokohnya
antara lain Bonger, Quinney, Taylor, Vold, dan J.Young.
d. Pos modern Kriminologi
Paradigma ini memandang bahwa kejahatan merupakan konsep yang harus
didekonstruksikan. Tiga buah pendekatan dalam paradigma ini, yaitu realisme,
feminisme, dan konstitutif.
e. Budaya
Paradigma budaya melihat tingkah laku jahat dalam konteks budaya yang
berbeda. Jika satu kebudayaan tertentu, suatu tindakan dianggap sebagai tingkah laku
jahat, pada kebudayaan lain belum tentu dipandang demikian.
BAB 5
SISTEM HUKUM DAN KLASIFIKASI HUKUM
A. Pengertian Sistem Hukum
Menurut Sudikno Mertukusumo, sistem hukum merupakan tatanan atau kesatuan yang
utuh, yaitu kaidah atau pernyataan tentang yang seharusnya sehingga sistem hukum
merupakan sistem normatif. Dengan kata lain, sistem hukum adalah kumpulan unsur yang
ada dalam interaksi yang antara satu dan lainnya merupakan satu kesatuan yang
terorganisasi dan kerja sama pada arah tujuan kesatuan.
Masing-masing bagian tidak berdiri sendiri terlepas satu dan lain. tetapi saling terkait.
Arti pentingnya adalah setiap bagian terletak pada ikatan sistem, dalam kesatuan dan
hubungannya yang sistematis dengan peraturan-peraturan hukum lainnya.
Sistem hukum adalah kesatuan hukum yang terdiri atas bagian bagian hukum sebagai
unsur pendukung. Masing-masing bagian atau unsur tersebut saling berhubungan secara
fungsional, resiprokal (timbal balik, pengaruh-memengaruhi) dan saling ketergantungan
(interdependen).
B. Hukum Merupakan suatu Sistem
Bagian-bagian dari hukum merupakan unsur-unsur yang mendukung hukum sebagai
suatu kesatuan (integral) dalam suatu jaringan dengan hubungan yang fungsional, resiprokal
dan interdepedensi. Misal antara HTN, HAN, hukum pidana, hukum perdata, dan seterusnya
yang mengarah pada tujuan yang sama, yaitu menciptakan kepastian hukum keadilan dan
kegunaan.
Sistem tidak terlepas dari asas-asas yang mendukungnya Untuk itu hukum adalah suatu
sistem, artinya suatu susunan atau tataan teratur dari aturan-aturan hidup, keseluruhannya
terdiri atas bagian bagian yang berkaitan satu sama lain. Misalnya dalam hukum perdata
sebagai sistem hukum positif, sebagai keseluruhan, di dalamnya terdiri atas bagian-bagian
yang mengatur tentang hidup manusia sejak lahir sampai meninggal dunia.
Dari bagian-bagian sistem hukum perdata itu, ada aturan-aturan hukum yang berkaitan
secara teratur. Keseluruhannnya merupakan peraturan hidup manusia dalam keperdataan
(hubungan manusia satu sama lainnya demi hidup).
Untuk mencapai suatu tujuan kesatuan hukum, diperlukan kerja sama antara bagian-
bagian atau unsur-unsur tersebut menurut rencana dan pola tertentu. Dalam sistem hukum
yang baik tidak boleh terjadi pertentangan atau tumpang-tindih di antara bagian-bagian yang
ada. Jika pertentangan atau kontradiksi tersebut terjadi, sistem itu sendiri yang
menyelesaikannya sehingga tidak berlarut.
Hukum yang merupakan sistem tersusun atas sejumlah bagian yang masing-masing
merupakan sistem yang dinamakan subsistem. Semua itu bersama-sama merupakan satu
kesatuan yang utuh. Misalnya sistem hukum positif Indonesia, terdapat subsistem hukum
perdata, subsistem hukum pidana, subsistem hukum tata negara, dan lain-lain yang satu dan
lainnya saling berbeda. Sistem hukum di dunia ini ada bermacam-macam, yang satu dengan
lainnya saling berbeda.
Sistem hukum menunjukkan adanya unsur-unsur dan sifat hubungannya, sedangkan
tata hukum menunjukkan struktur dan proses hubungan dari unusr-unsur hukum.
Pembagian sistem hukum dapat dilihat dari peraturan atau norma hukum yang
kemudian dikelompokkan dan disusun dalam suatu struktur atau keseluruhan dari berbagai
struktur. Misalnya, UU Pajak dan UU Kepegawaian yang dikelompokkan sebagai Hukum
Administrasi Negara.
C. Sistem Hukum di Indonesia
Hukum Indonesia adalah keseluruhan kaidah dan asas berdasarkan keadilan yang
mengatur hubungan manusia dalam masyarakat yang berlaku sekarang di Indonesia. Sebagai
hukum nasional, berlakunya hukum Indonesia dibatasi dalam wilayah hukum tertentu, dan
ditujukan pada subjek hukum dan objek hukum tertentu pula. Subjek hukum Indonesia
adalah warga negara Indonesia dan warga negara asing yang berdomisili di Indonesia. Objek
hukum Indonesia adalah semua benda bergerak atau tidak bergerak, benda berwujud atau
tidak berwujud yang terletak di wilayah hukum Indonesia.
Hukum Indonesia sebagai perlengkapan masyarakat ini berfungsi untuk
mengintegrasikan kepentingan-kepentingan anggota masyarakat sehingga tercipta ketertiban
dan keteraturan. Karena hukum mengatur hubungan antarmanusia dengan manusia, manusia
dengan masyarakat dan sebaliknya, ukuran hubungan tersebut adalah keadilan.
Hukum Indonesia pada hakikatnya merupakan suatu sistem, yang terdiri atas unsur-
unsur atau bagian-bagian yang satu sama lain saling berkaitan dan berhubungan untuk
mencapai tujuan yang didasarkan pada UUD 1945 dan dijiwai oleh falsafah Pancasila.
Sebagai satu sistem, sistem hukum Indonesia telah menyediakan sarana untuk
menyelesaikan konflik di antara unsur-unsurnya. Sistem hukum Indonesia juga bersifat
terbuka, sehingga di samping faktor di luar sistem, seperti ekonomi, politik, sosial dapat
mempengaruhi, sistem hukum Indonesia juga terbuka untuk penafsiran yang lain.
Salah satu hal yang spesifik dari hukum Indonesia yang membedakannya dari hukum
negara lain adalah tekad untuk tidak melanjutkan hukum warisan pemerintah kolonial yang
pernah menjajahnya. Tekad ini direalisasikan dengan melakukan perubahan fundamental
pada hukum "warisan" kolonial.
Perubahan yang dilakukan meliputi:
1. melakukan unifikasi terhadap Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
2. menghapus sistem pembagian golongan;
3. memberlakukan satu sistem peradilan umum di seluruh indonesia dengan menghapuskan
perbedaan sistem peradilan yang sempat ada pada masa pemerintahan kolonial.
D. Klasifikasi Hukum
1. Klasifikasi Hukum Berdasarkan Bentuk
Hukum berdasarkan bentuk terbagi atas hukum tertulis dan hukum tidak tertulis.
Hukum tertulis biasanya terdapat pada negara yang menganut sistem hukum cred lase
(Eropa Kontinental), contohnya Indonesia, sedangkan hukum tidak tertulis terdapat
pada negara-negara yang menganut sistem hukum common line, contohnya
Hukum tertulis adalah hukum yang telah dikodifikasikan bukukan) dalam
peraturan perundang-undangan. Contoh hukum artulis adalah KUHP (Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana), KUH perdata, KUH dagang, dan sebagainya. Hukums tidak
tertulis merupakan hukum yang didasarkan pada kebiasaan masyarakat. Hukum tidak
tertulis disebut hukum adat karena didasarkan pada adat Lebiasaan dan biasanya hukum
ini sering dianggap baik oleh masyarakat.
2. Klasifikasi menurut Daerah Kekuasan (Teritorial)
Klasifikasi hukum menurut teritorial terbagi atas hukum nasional, hukum
internasional, dan hukum asing. Hukum nasional adalah hukum yang hanya berlaku
dalam wilayah negara tertentu. Dagi warga negara, hukum tanah airnya merupakan
hukum Hukum ini bersumber dari yurisprudensi, dokrin, dan sebagainya. Hukum
internasional merupakan hukum yang berlaku di wilayah berbagai negara. Hukum ini
terjadi karena adanya perjanjian perjanjian antarnegara demi terpenuhinya hak dan
kewajiban serta rasa dil bagi setiap negara. Adapun hukum asing hanya berlaku di negara
Lain.
3. Klaslikasi Hukum menurut Waktu Berlakunya
Klasifikasi hukum ini dibagi atas ius constitutum, ius constituendum, dan hukum
alam. Ius constitutum atau sering disebut sebagai hukum positif adalah hukum yang
berlaku saat ini (sekarang) bagi suatu masyarakat tertentu. Ius constituendum merupakan
hukum yang diharapkan berlaku pada masa yang akan datang, sedangkan hukum alam itu
berlaku di mana-mana, kapan saja, dan untuk siapa saja.
Menurut Eric L. Ricgard, klasifikasi hukum terdiri atas:
1. Civil law (Eropa Kontinental): hukum berdasarkan kode sipil yang terkodifikasi
2. Common law (Anglo Saxon): hukum berdasarkan kebiasaan.
3. Islamic law (Timur Tengah): hukum berdasarkan syariah Islam yang bersumber dari
Al-Quran dan Hadis.
4. Socialist law: hukum yang mendasari kepentingan umum.
5. Far East law (Timur Jauh): hukum berdasarkan perpaduan antara civil law, cammon
law, dan hukum Islam.
E. Sistem Hukum Modern
Sistem hukum yang modern adalah sistem hukum yang mencerminkan rasa keadilan
bagi masyarakat, sesuai dengan kondisi masyarakat yang diaturnya, dibuat sesuai dengan
prosedur yang ditentukan. Hukum yang dapat dimengerti atau dipahami oleh masyarakat.
Ciri-ciri hukum modern:
1. jujur, tepat waktu, efisiensi, orientasi ke masa depan, produktif, tidak status quo;
2. terdiri atas peraturan yang isi dan pelaksanaannya seragam;
3. sistem hukum yang transaksional, hak dan kewajiban dalam perjanjian tidak memandang
usia, kelas, agama, dan jenis kelamin;
4. bersifat universal dan dilaksanakan secara umum;
5. hierarkis yang tegas;
6. melaksanakan hukum sesuai dengan prosedur;
7. rasional;
8. dilaksanakan oleh orang yang berpengalaman,
9. spesialisasi dan diadakan penghubung di antara bagian-bagiannya,
10. hukum mudah berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat;
11. penegak hukum dan lembaga pelaksana hukum adalah lembaga kenegaraan, artinya
negara memonopoli kekuasaan;
12. perbedaan yang tegas diantara tiga lembaga negara (eksekutif, legislatif, dan yudikatif).
Menurut Paul Scholten, sistem hukum modern merupakan semua peraturan yang saling
berhubungan, yang satu ditetapkan oleh yang lain. Peraturan tersebut dapat disusun secara
rasional dan bagi yang bersifat khusus dapat dicarikan aturan umumnya sehingga sampai pada
asasnya yang mendasar.
Komponen sistem hukum modern adalah:
1. unsur struktural: bagian-bagian dari sistem hukum yang bergerak dalam mekanisme
tertentu;
2. unsur substansi: hasil nyata yang diterbitkan oleh sistem hukum berupa:
a. hukum inconcreto, yaitu kaidah hukum individual, seperti pengadilan menghukum
terpidana, polisi panggil saksi untuk proses verbal;
b. hukum inabstracto, yaitu kaidah hukum umum, aturan hukum yang tercantum dalam
Undang-Undang, misalnya Pasal 362 KUHP tentang pencurian.
3. unsur budaya: sikap tindak masyarakat beserta nilai-nilai yang di anutnya, jalinan nilai
sosial berkaitan dengan hukum berserta sikap tindak yang memengaruhi hukum. Menurut
Fuller terdapat asas-asas yang harus dipenuhi dalam sistem hukum, yaitu:
a. mengandung aturan yang tidak hanya memuat keputusan yang bersifat sementara;
b. setelah selesai peraturan harus diumumkan;
c. berlaku asas fiksi;
d. tidak boleh ada peraturan yang berlaku surut;
e. peraturan harus disusun dan dirumuskan dengan kata dan kalimat yang mudah
dimengerti;
f. peraturan tidak boleh mengandung tuntunan di luar kemampuan yang dapat dilakukan.
F. Pancasila Sebagai Pandangan Hidup dan Sumber Hukum Bangsa
Pandangan hidup bangsa merupakan kesatuan dari rangkaian nilai-nilai luhur, yang
berfungsi sebagai kerangka acuan untuk menata kehidupan individu, interaksi antarindividu,
dan individu dengan alam sekitarnya dalam lingkup kehidupan berbangsa.
Pedoman hidup (pandangan hidup) bangsa dan negara mengandung dua konsepsi dasar
mengenai kehidupan bernegara yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia. Pertama, bersifat
khusus, yaitu "....melindungi segenap bangsa Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa..... Kedun bersifat umum dengan artian dalam
lingkup kehidupan sesama bangsa di dunia, yang dalam pembukaan UUD 1945 adalah
"...dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan perdamaian
abadi, dan keadilan sosial...."
Bangsa Indonesia merupakan kausa materialis Pancasila atau asal dari nilai-nilai
Pancasila. Nilai-nilai Pancasila pada hakikatnya merupakan kristalisasi nilai-nilai yang
digali dari bangsa Indonesia sendiri. Nilai-nilai ketuhanan, nilai kemanusiaan, nilai
persatuan, nilai kerakyatan, dan nilai keadilan telah ada dan tercermin dan terkandung dalam
kehidupan masyarakat yang berupa adat-istiadat, kebudayaan. dan kebiasaan dalam
memecahkan permasalahan mereka sehari-hari.
Susunan isi, arti, dan esensi nilai-nilai Pancasila dapat dikategorikan ke dalam tiga
lingkup: Pertama, umum-universal, yaitu sebagai pangkal tolak penjabarannya dalam
bidang-bidang kenegaraan dan tertib hukum Indonesia, serta penerapannya dalam berbagai
bidang kehidupan. Kedua, umum-kolektif, yaitu sebagai pedoman kolektif negara dan
bangsa Indonesia, terutama dalam menegakkan tertib hukum Indonesia. Ketiga, khusus-
konkret, dalam artian isi, arti, dan esensi Pancasila dapat dijabarkan dalam berbagai bidang
kehidupan.
Pancasila sebagai dasar negara amat penting dan mendasar bagi Indonesia. Pancasila
merupakan landasan fundamental bagi penyelenggaraan negara. penyelenggaraan negara.
Unsur-unsur Pancasila telah dimiliki oleh Indonesia sebagai kristalisasi dari asas-asas dalam
kebudayaan, nilai-nilai ketuhanan, yang kemudian diformulasikan oleh para pendiri negara
sebagai dasar negara oleh Panitia Sembilan (asal mula tujuan/ kausa finalis), dan selanjutnya
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan Pancasila sebagai dasar
negara yang sah (asal mula karya/kausa efisien).
Pancasila memiliki kedudukan yuridis sebagai dasar negara sejak 18 Agustus 1945
bersamaan dengan diundangkannya UUD 1945 dalam berita Republik Indonesia Tahun II
No. 7 oleh PPKI. Sebab, secara formal, Pancasila memperoleh kedudukan yuridis
konstitusional dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat.
Kedudukan Pancasila sebagai dasar negara Indonesia membawa konsekuensi logis,
yaitu kekuatan imperatif atau memaksa secara hukum. Kekuatan imperatif atau memaksa
artinya menuntut warga negara untuk taat dan tunduk kepada Pancasila dan aturan hukum
yang dijiwainya. Pelanggaran terhadap Pancasila dan peraturan-peraturan yang dijiwainya
diikuti dengan sanksi hukum sesuai dengan hukum yang berlaku.
Tata urutan perundang-undangan adalah sebagai berikut:
1. 1.Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945);
2. 2.Undang-Undang (UU) stsu Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu);
3. Peraturan Pemerintah (PP);
4. Peraturan Presiden (Perpres);
5. Peraturan Daerah (Perda);
6. Perda Provinsi;
7. Perda Kabupaten atau Kota;
8. Peraturan Desa atau Peraturan yang setingkat.
Pancasila sebagai Sumber Hukum
Sumber hukum adalah segala yang menimbulkan aturan-aturan yang mempunyai
kekuatan memaksa, yaitu aturan-aturan yang kalau dilanggar mengakibatkan sanksi yang
tegas dan nyata. Sumber-sumber hukum diklasifikasikan ke dalam dua kelompok besar.
Pertama, sumber hukum materiil, yaitu sumber hukum yang menentukan isi norma hukum.
G. Sistem Hukum Adat dan Hukum Perdata
1. Hukum Adat
Hukum adat merupakan hukum tidak tertulis yang dibentuk dan dipelihara oleh
masyarakat hukum adat tanpa campur tangan dari penguasa, yang dilengkapi dengan
sanksi sebagai upaya pemaksa. Hukum adat merupakan hukum yang bersifat lokal, dan
karena dibentuk oleh masyarakat hukum adat yang tata susunannya sangat bergantung
pada faktor pembentuknya, mengakibatkan hukum adat menjadi plural dan berbeda di
antara tiap daerah dan tiap masyarakat.
Sesuai dengan faktor genealogis, ada tiga masyarakat hukum adat, yaitu masyarakat
matrilineal, patrilineal, dan parental. Adapun berdasar pada faktor teritorial terbentuk tiga
macam masyarakat, yaitu: persekutuan desa, persekutuan daerah, dan perserikatan
kampung.
2. Sistem Hukum Acara Perdata Indonesia
Dalam rangka menegakan hukum perdata materiil diperlukan hukum perdata formal
(hukum acara perdata) atau adjective law, yaitu aturan hukum yang mengatur cara
menegakkan hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim di peng i pengadilan
sejak pemajuan gugatan sampai pada pelaksanaan putusan. Asas-asas yang perlu
diperhatikan dalam bercara perdata, antara lain: hakim bersifat menunggu; hakim
bersikap pasif; sidang terbuka untuk umum; mendengar kedua belah pihak; beracara itu
dikenakan biaya, terikatnya hakim pada alat bukti; dan putusan hakim harus disertai
alasan-alasan. Beracara perdata itu melalui tiga tahap, yaitu pendahuluan, penentuan, dan
pelaksanaan
Hukum perdata merupakan hukum yang mengantur hubungan antarperseorangan,
mengatur hak dan kewajiban dalam lapangan hukum kekeluargaan dan dalam pergaulan
masyarakat. Sistematika hukum perdata menurut ilmu pengetahuan terdiri atas empat
bagian, yaitu hukum orang, hukum harta kekayaan, hukum perikatan, dan hukum waris.
3. Sistem Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana Indonesia
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik yang mengatur hubungan
antara negara dengan warga negara. Hukum pidana dalam pengertian sempit hanya
mencakup hukum pidana materiil, sedangkan hukum pidana dalam arti luas mencakup
hukum pidana materiil dan hukum pidana formal atau hukum acara pidana.
Hukum pidana materiil diatur dalam KUHP, sedangkan hukum acara pidana diatur
dalam UU No. 8 tahun 1981 tentang KUHAP dan peraturan perundang-undangan
lainnya.
Hukum acara pidana atau hukum formal merupakan ketentuan tentang tata cara
proses perkara pidana sejak adanya sangkaan seseorang telah melakukan tindak pidana
hingga pelaksanaan keputusan pengadilan, mengatur hak dan kewajiban bagi mereka
yang bersangkut paut dengan proses perkara pidana berdasarkan undang undang, serta
diciptakan untuk penegakan hukum dan keadilan.
4. Sistem Hukum Tata Negara Indonesia dan Sistem Hukum Administrasi Negara
Hukum tata negara dan hukum administrasi negara mempunyai hubungan erat.
Hukum administrasi negara meliputi semua aturan hukum yang bersifat teknis (negara
dalam keadaan bergerak), sedangkan hukum tata negara meliputi semua aturan hukum
yang bersifat fundamental (negara dalam keadaan diam/tidak bergerak).
Alat administrasi negara dalam menjalankan fungsinya untuk mewujudkan
kesejahteraan masyarakat berwenang untuk melakukan perbuatan hukum dengan pihak
masyarakat, baik di lapangan hukum privat maupun lapangan hukum publik. Di samping
itu, alat administrasi negara diperbolehkan melakukan kebebasan bertindak (freis
ermessen). Akan tetapi, agar dalam menjalankan fungsinya tidak sewenang-wenang, alat
administrasi negara harus memerhatikan dan melaksanakan tiga belas asas pemerintahan
yang baik.
5. Sistem Hukum Internasional
Hukum internasional sebagai hukum yang mengatur pergaulan negara-negara
berdaulat memiliki subjek hukum, yaitu negara, organisasi internasional, Palang Merah
Internasional, tahta suci manusia, dan perusahaan transnasional. Berbeda dengan hukum
nasional yang memiliki kekuasaan eksekutif pusat sehingga mampu untuk memaksa
warganya menaati peraturan yanf dibuatnya, hukum internasional tidak memiliki
kekuatan tersebut.
H. Macam-macam Badan Peradilan di Indonesia
Badan-badan peradilan di bawah Mahkamah Agung merupakan suatu bagian sebagai
pelaku kekuasaan kehakiman guna menegakkan hukum dan keadilan. Badan-badan
peradilan yang dimaksud, yaitu badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum dan
badan peradilan dalam lingkungan peradilan khusus.
Lingkungan peradilan umum terdiri atas Pengadilan Negeri yang merupakan peradilan
tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi merupakan peradilan tingkat banding. Dalam
lingkungan peradilan umum dibentuk per dilan khusus, antara lain: Pengadilan Anak;
Pengadilan Niaga; Pengadilan HAM, Pengadilan Korupsi; Pengadilan Hubungan Industrial,
Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam sepanjang kewenangannya
menyangkut kewenangan peradilan umum, terdiri atas Mahkamah Syariah sebagai peradilan
tingkat pertama di ibu kota kabupaten/kota dan Mahkamah Syariah sebagai peradilan tingkat
banding di Ibu Kota Provinsi Nangroe Aceh Darussalam.
Lingkungan peradilan khusus terdiri atas Peradilan Agama, Peradilan Militer dan
Peradilan Tata Usaha Negara. Lingkungan Peradilan Agama terdiri atas Pengadilan Agama
yang merupakan Pengadilan Tingkat Pertama dan Pengadilan Tinggi Agama merupakan
Pengadilan Tingkat Banding.
Badan peradilan umum (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dan badan peradilan
khusus (Peradilan Agama, Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara) merupakan badan-
badan peradilan di bawah Mahkamah Agung sebagai bagian dari pelaku kekuasaan
kehakiman dalam rangka menegakkan hukum dan keadilan.
Keempat badan pengadilan tersebut mempunyai kekuasaan atau wewenang untuk
mengadili, yaitu kekuasaan atau kewenangan atau kompetensi absolut ataupun relatif.
Kompetensi absolut, yaitu wewenang yang berhubungan dalam memeriksa jenis perkara
tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan peradilan lain. baik dalam
lingkungan yang sama (Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung)
maupun dalam lingkungan peradilan lain (Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama).
Kekuasaan relatif adalah pembagian wewenang suatu pengadilan yang berkaitan dengan
suatu perkara yang dapat diperiksa oleh pengadilan di tempat lain.
Adapun kekuasaan/wewenang badan peradilan umum adalah memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara perdata dan perkara pidana. Pengadilan Negeri berwenang
memeriksa dan memutuskan perkara pada tingkat pertama, sedangkan Pengadilan Tinggi
memeriksa dan memutus di tingkat banding. Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara
tertinggi mempunyai wewenang mengadili padatingkat kasasi terhadap putusan yang
diberikan pada tingkat terakhir oleh semua lingkungan peradilan yang berada di bawah
Mahkamah Agung.
Kekuasaan pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan umum, antara lain: (1)
pengadilan anak berwenang memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara anak
nakal; (2) pengadilan niaga, memeriksa dan memutus permohonan pernyataan pailit dan
permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang, di pengadilan wilayah hukum
debitur; (3) perkara lain di bidang perniagaan yang penetapannya dilakukan dengan Undang-
Undang; (4) Pengadilan HAM, memeriksa dan memutus Pelanggaran HAM yang berat
meliputi kejahatan genosida dan kejahatan kemanusiaan; (5) Pengadilan Korupsi, memeriksa
dan memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh KPK; (6) pengadilan
hubungan Industrial, memeriksa dan memutus (a) di tingkat pertama mengenai perselisihan
hak; (b) di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; (c) di tingkat
pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja; (d) di tingkat pertama dan
terakhir mengenai perselisihan antarserikat pekerja atau serikat buruh satu tempat
perusahaan. Wewenang relatif pengadilan hubungan industrial pada pengadilan yang daerah
hukumnya tempat buruh atau pekerja bekerja atau tempat perusahaan berada; (7) peradilan
syariat Islam Provinsi Nangroe Aceh Darussalam yang dilakukan oleh Mahkamah Syariah
sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum.
Kekuasaan atau kewenangan Peradilan Agama, memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam
di bidang perkawinan, pewarisan, wasiat, hibah, wakaf, infak, sedekah, dan ekonomi
syariah, pada pengadilan yang wilayah hukumnya kediaman pemohon, kecuali ditentukan
lain dalam undang-undang.
Kekuasaan badan Peradilan Militer berwenang: (1) mengadili tindak pidana yang
dilakukan oleh seseorang yang pada waktu melakukan tindak pidana adalah: (a) prajurit; (b)
berdasarkan Undang-Undang dipersamakan dengan prajurit; (c) anggota suatu golongan atau
jawatan atau badan atau yang dipersamakan atau dianggap sebagai prajurit berdasarkan
undang-undang; (d) seseorang yang tidak masuk golongan huruf a, huruf b dan huruf c,
tetapi atas keputusan Panglima dengan persetujuan Menteri Kehakiman harus diadili oleh
suatu Pengadilan dalam lingkungan peradilan militer; (2) memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata;(3) menggabungkan perkara
gugatan ganti rugi dalam perkara pidana yang bersangkutan atas permintan dari pihak yang
dirugikan sebagai akibat yang ditimbulkan oleh tindak pidana yang menjadi dasar dakwaan,
dan sekaligus memutus kedua perkara tersebur dalam satu putusan (Undang-undang No. 31
tahun 1997, pasal 9).
I. Interpretasi Hukum
Saat ini, banyak penafsiran hukum yang bergantung pada para ahli yang
mengemukakan pandangannya. Akan tetapi, hakikat dan penafsiran hukum meliputi:
1. Penafsiran tata bahasa ;
2. Penafsiran sahih (otentik,resmi);
3. Penafsiran historis(sejarah hukum dan sejarah undang-undang);
4. Penafsiran sistematis;
5. Penafsiran nasional;
6. Penafsiran teleologis(sosiologis);
7. Penafsiran eksekutif;
8. Penafsiran restriktif;
9. Penafsiran analogis;
10. Penafsiran a. Contrario ( Menurut Peringkaran ).
BAB 6
Aliran Hukum dan Cara Pembedaannya
Aliran dalam Hukum
Para pakar telah mengklasifikasikan aliran-aliran hukum, di antaranya adalah sebagai
berikut:
1. Soerjono Soekanto membagi aliran hukum menjadi mazhab formalitas, mazhab sejarah dan
kebudayaan, aliran utilitarianisme, aliran sociological yurisprudence, dan aliran realism
hukum.
2. Satjipto Rahardjo, mengemukakan berbagai aliran hukum, yaitu teori Yunani dan Romawi,
hukum alam, potivisme dan utilitarianisme, teori hukum murni, pendekatan sejarah dan
antropologis, dan pendekatan sosiologis.
3. Lili Rasdji, mengemukakan aliran-aliran yang paling berpengaruh, yaitu aliran hukum alam,
aliran hukum positif, mazhab sejarah, sociological jurisprudence, dan pragmatic legal
realism.
Berkenaan dengan kekuasaan yang menentukan kaidaj hukum, terdapat beberapa aliran
pemikiran dalam hukumnya, yaitu sebagai berikut.
1. Aliran Hukum Alam
Menurut aliran ini, kaidah hukum merupakan hasil dari titah Tuhan dan langsung
berasal dari Tuhan. Oleh karena itu, aliran ini mengakui adanya hukum yang benar dan
abadi, sesuai dengan ukuran kodrat, serta selaras dengan alam.
Dalam ajaran ini, ada dua unsur yang menjadi pusat perhatian, yaitu unsur agama dan
unsur akal. Pada dasarnya, hukum alam bersumber pada Tuhan, yang mengingkari akal
manusia dan sebaliknya hukum alam bersumber pada akal atau pikiran manusia.
Aliran hukum alam berkembang semenjak 2500 tahun yang lalu Aliran ini timbul
sebagai akibat dari kegagalan umat manusia dalam mencari keadilan yang absolut. Hukum
alam di sini dipandang sebagai yang hukum yang berlaku secara universal dan abadi.
Hukum alam dipandang sebagai yang lebih tinggi dibanding dengan hukum diciptakan oleh
manusia.
Berdasarkan sumbernya, aliran ini dapat dibagi dua, yaitu: (1) irasional, berpendapat
bahwa hukum yang berlaku universal dan abadi itu bersumber dari Tuhan secara langsung;
(2) rasional, menyatakan bahwa sumber hukum yang universal dan abadi adalah rasio
manusia. Pendukung aliran hukum alam irasional, antara lain Thomas Aquinas, John
Salisbury, Dante, Piere Dubois, Marsilius Padua, dan John Wycliffe. Adapun pendukung
hukum alam rasional adalah Hugo de Groot (Grotius), Cristian Thomasius, Imanuel Kant,
dan Samuel von Pufendorf.
Friedman berpendapat bahwa hukum alam memiliki fungsi jamak, yaitu:
1. instrumen utama dalam transformasi dari hukum sipil kuno pada zaman Romawi ke suatu
sistem yang luas dan kosmopolitan.
2. digunakan sebagai sejata oleh kedua belah pihak dalam pertikaian antara gereja pada
abad pertengahan dan para kaisar Jerman.
3. latar belakang pemikiran untuk mendukung berlakunya hukum internasional dan
menuntut kebebasan individu terhadap absolutisme.
4. prinsip-prinsip hukum alam juga digunakan oleh para hakim Amerika (yang berhak untuk
menafsirkan konstitusi) guna menentang usah-usaha perundang-undangan negara untuk
memodifikasi dan mengurangi kebebasan mutlak individu dalam bidang ekonomi.
2. Teori Perjanjian Masyarakat
Teori ini berpendapat bahwa hukum adalah perwujudan kemauan orang dalam
masyarakat yang bersangkutan yang ditetapkan oleh negara, yang mereka bentuk karena
suatu perjanjian dan orang mentaati hukum karena perjanjian tersebut.
3. Aliran Sejarah
Pokok pikiran aliran ini, yaitu manusia di dunia ini terbagi atas beberapa bangsa dan
bangsa yang mempunyai sifat dan semangat yang berbeda-beda. Oleh karena itu, hukum
berlainan dan berubah sesuai dengan tempat dan zaman karena hukum ditentukan oleh
sejarah. Hukum yang dibuat oleh manusia masih ada di bawah kebaikan yang lebih tinggi
nilainya, yaitu keadilan yang menjadi dasar setiap hukum yang diperbuat oleh manusia.
Dengan demikian, golongan atau aliran yang bertentangan dengan aliran tersebut
berpendapat bahwa hukum tertulis buatan manusia itulah yang tertinggi dan tidak dapat
diatasi oleh apa pun juga. Aliran demikiran disebut aliran positivisme atau legisme, yang
sangat menghargai secara berlebih-lebihan terhadap hukum tertulis.
4. Teori Kedaulatan Negara
Menurut mazhab ini, isi kaidah-kaidah hukum ditentukan dan bersumber pada
kehendak negara. Menurut Hans Kelsen, isi kaidah kaidah hukum adalah wille des staates.
5. Teori Kedaulatan Hukum
Kedaulatan hukum tidak sependapat dengan kedaulatan negara Menurut Krabbe, negara
adalah suatu konstruksi yuridis karena tida mempunyai kehendak sendiri. Kehendak tersebut
pada hakikatnya adalah kehendak dari pemerintah, sedangkan pemerintah dari orang orang
tertentu.
Sebelum ada hukum tertulis, satu-satunya sumber hukum adalah hukum kebiasaan.
Karena hukum kebiasaan sifatnya tidak tertulis, tidak ada kepastian atau keseragaman
hukum. Kemudian, lahirlah aliran aliran penemuan hukum, yang pada dasarnya bertitik tolak
pada pandangan mengenai apa yang merupakan sumber hukum. Aliran aliran tersebut adalah
sebagai berikut.
a. Aliran Legisme
Sebagai reaksi terhadap ketidakpastian dan ketidakseragaman hukum kebiasaan,
pada abad ke-19 di Eropa timbullah penyeragaman hukum dengan jalan kodifikasi
dengan menuangkan semua sumber hukum secara lengkap dan sistematis dalam kitab
undang-undang Pandangan dalam abad ke-19 ini adalah satu-satunya sumber hukum
adalah undang-undang, yang dianggap cukup jelas dan lengkap, dan berisi semua
jawaban terhadap semua persoalan hukum. Dengan demikian, hakim hanya berkewajiban
menerapkan peraturan hukum pada peristiwa konkretnya dengan bantuan metode
penafsiran terutama penafsiran, gramatikal, dengan prasyaratnya:
a. Undang-undang harus bersifat umum;
b. ketentuan-ketentuan yang ada di dalamnya harus dirumuskan secara abstrak;
c. sistem peraturannya harus lengkap, sehingga tidak ada kekosongan.
Di Eropa, legisme berkuasa pada abad ke-19 (1830-1880). Perlu diketahui bahwa
Inggris dan Amerika Serikat tidak pernah beralih ke kodifikasi. Di sini, judge-made-law
dan hukum kebiasaan mempunyai peranan yang lebih penting daripada di Eropa.
b. Mahzab Historis
Pada abad ke-20 mulai disadari bahwa undang-undang tidaklah lengkap. Nilai-nilai
yang dituangkan dalam undang-undang pun tidak lagi sesuai dengan perkembangan
kehidupan bersama. Judge-made dan hukum kebiasaan dapat melengkapi undang-undang.
c. Begriffjurisprudenz
Pada pertengahan abad ke-19, lahirlah aliran yang dipelopori oleh Rudolf von
Jhering (1818-1890) yang menekankan pada sistemik hukum. Berdasarkan kesatuan yang
dibentuk oleh sistem hukum, setiap ketentuan undang-undang harus dijelaskan dalam
hubungannya dengan ketentuan undang-undang yang lain, sehingga ketentuan undang-
undang itu merupakan satu kesatuan yang utuh. Kekhasan dari aliran begriffjurisprudenz
adalah bahwa hukum dilihat sebagai satu sistem tertutup yang mencakup segala-galanya
yang mengatur semua perbuatan sosial. Begriffjurisprudenz ini lebih memberikan
kebebasan kepada hakim daripada legisme. Hakim tidak perlu terikat pada isi undang-
undang, tetapi dapat mengambil argumentasinya dari peraturan-peraturan hukum yang
tersirat dalam undang-undang.
d. Interessenjurisprudenz
Sebagai reaksi terhadap begriffjurisprudenz pada abad ke-19 di Jerman, lahirlah
interessenjurisprudenz, yang dipelopori oleh Rudolf von Thering (1818-1892), suatu aliran
yang menitikberatkan pada kepentingan-kepentingan yang difiksikan. Aliran ini
berpendapat bahwa peraturan hukum tidak boleh dilihat oleh hakim sebagai formal logis
belaka, tetapi harus dinilai menurut tujuannya. Penilaian oleh pembentuk undang-
undanganlah yang menentukan. Hakim dalam putusannya harus bertanya, kepentingan-
kepentingan manakah yang diatur atau dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang.
e. Freirechtbewegung
Reaksi yang tajam terhadap legisme baru muncul sekitar 1900 di Jerman. Reaksi itu
dimulai oleh Kantorowicz (1877-1940) yang disebutnya frierechtlich. Dari situlah, timbul
istilah freirechtbewegung. Pengikut-pengikut aliran ini menentang pendapat bahwa
kodifikasi itu lengkap dan hakim dalam proses penemuan hukum tidak mempunyai
sumbangan kreatif. Tidak seluruh hukum terdapat dalam undang undang. Di samping
undang-undang, masih terdapat sumber-sumber lain yang dapat digunakan oleh hakim
untuk menemukan hukumnya.
f. Aliran Hukum Positivisme
Aliran positivisme menganggap bahwa hukum dan moral dust yang harus dipisahkan.
Dalam aliran ini terdapat dua subaliran yang terkenal yaitu:
1. Aliran hukum positif analitis John Austin
Menurut John Austin, ada empat unsur penting dalam hukum
 Ajarannya tidak berkaitan dengan penelitian baik-buruk, sebab penelitian ini
berada di luar bidang hukum. Kaidah moral secara yuridis tidak penting bagi
hukum
 Walaupun diakui ada pengaruhnya pada masyarakat.
 Pandangannya bertentangan, baik dengan ajaran hukum alam maupun dengan
mazhab sejarah. Masalah kedaulatan tak perlu dipersoalkan. Akan tetapi, aliran
hukum positif pada umumnya kurang atau tidak memberikan tempat bagi hukum
yang hidup dalam masyarakat. Austin mengemukakan bahwa hukum adalah
perintah manusia (command of human being).
2. Aliran hukum positif murni, dipelopori oleh Hans Kelsen Latar belakang ajaran
hukum murni merupakan suatu pemberontakan terhadap ilmu ideologis, yaitu
mengembangkan hukum sebagai alat pemerintah dalam negara totaliter.
Dikatakan murni karena hukum harus bersih dari anasir-anasir yang tidak
yuridis, yaitu anasir etis, sosiologis, politis, dan sejarah. Menurut Hans Kelsen,
hukum itu berada dalam dunia sollen dan bukan dalam dunia sain. Sifatnya adalah
hipotetis, lahir karena kemauan dan akal manusia. Ajaran Hans Kelsen
mengemukakan Stufenbau des Recht (hukum itu tidak boleh bertentangan dengan
ketentuan yang lebih atas derajatnya).
BAB 7
Asas-asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
A. Konsep Pembentukan Peraturan Perundang undangan
Burkhardt Krems menyebut pembentukan peraturan perundang undangan negara
dengan istilah Staatsliche Rechtssetzung. Menurutnya, pembentukan peraturan menyangkut:
1. isi peraturan (Inhalt der regelung);
2. bentuk dan susunan peraturan (form der regelung);
3. metode pembentukan peraturan (methode der ausarbeitung der regelung);
4. prosedur dan proses pembentukan peraturan (verfahren der ausarbeitung der regelung).
Montesquieu dalam karyanya "L'Esprit des Lois" mengemukakan sejumlah persyaratan
yang harus dipenuhi dalam pembentukan perundang-undangan, yaitu:
1. gaya penuturannya hendaknya padat dan sederhana. Artinya pengutaraan dengan
menggunakan ungkapan kebesaran (grandiose) dan retorik hanya merupakan tambahan
yang menyesatkan dan mubazir;
2. istilah-istilah yang dipilih sebaiknya bersifat mutlak dan tidak relatif, sehingga
memperkecil kemungkinan munculnya perbedaan pendapat yang individual;
3. hukum hendaknya membatasi diri pada hal-hal yang real dan aktual, dengan menghindari
hal-hal yang bersifat metaforis dan hipotesis;
4. hukum hendaknya tidak dirumuskan dalam bahasa yang tinggi. karena ia ditujukan
kepada rakyat yang memiliki tingkat kecerdasan rata-rata. Bahasa hukum bukan untuk
latihan penggunaan logika, melainkan hanya penalaran sederhana yang bisa dipahami
oleh orang awan;
5. hukum hendaknya tidak merancukan pokok masalah dengan pengecualian, pembatasan
atau pengubahan. Semua itu digunakan apabila benar-benar diperlukan;
6. hukum hendaknya tidak bersifat debatable (argumentatif), memerinci alasan-alasan,
karena hal itu akan menimbulkan konflik.
7. pembentukan hukum hendaknya dipertimbangkan masak-masak dan mempunyai manfaat
praktis, dan hendaknya tidak menggoyahkan sendi-sendi pertimbangan dasar, keadilan,
dan hakikat permasalahan. Sebab, hukum yang lemah tidak perlu dan tidak adil akan
membawa seluruh sistem perundang-undangan mendapat citra buruk dan menggoyahkan
legitimasi negara.
Lon Fuller menekankan bahwa hukum positif yang berlaku harus memenuhi delapan
persyaratan berikut.
1. Harus ada aturan-aturan sebagai pedoman dalam pembuatan keputusan. Perlunya sifat
persyaratan dan sifat keumuman. Artinya, memberikan bentuk hukum kepada otoritas
berarti bahwa keputusan-keputusan otoritatif tidak dibuat atas dasar ad hoc, dan atas
dasar kebijakan yang bebas, tetapi dibuat atas dasar aturan aturan umum.
2. Aturan yang menjadi pedoman bagi otoritas tidak boleh dirahasiakan, tetapi harus
diumumkan.
3. Aturan-aturan harus dibuat untuk menjadi pedoman bagi kegiatan kegiatan pada
kemudian hari, artinya, hukum harus berlakupasang.
4. Hukum harus dibuat sedemikian rupa sehingga dapat dimengerti oleh rakyat.
5. Aturan-aturan tidak boleh bertentangan satu dan lainnya.
6. Aturan-aturan tidak boleh mensyaratkan perilaku yang di luar kemampuan pihak pihak
yang terkena, artinya hukum tidak memerintahkan sesuatu yang tidak mungkin
dilakukan.
7. Dalam hukum harus ada ketegasan. Hukum tidak boleh diubah sewaktu-waktu
8. Harus ada konsistensi antara aturan-aturan sebagaimana yang diumumkan dengan
kenyataan dalam pelaksanaannya.
B. Prinsip-prinsip Pembentukan Peraturan Per Undang-Undangan di Indonesia
Prinsip-prinsip yang harus dijadikan pijakan dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan di Indonesia adalah sebagai berikut.
1. Segala jenis peraturan perundang-undangan merupakan satu kesatuan sistem hukum yang
bersumber pada Pancasila dan UUD 1945. Oleh sebab itu, tata urutan, kesesuaian isi
antara berbagai peraturan perundang-undangan tidak boleh diabaikan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan.
2. Tidak semua aspek kehidupan masyarakat dan bernegara harus diatur dengan peraturan
perundang-undangan Berbagai tatanan yang hidup dalam masyarakat yang tidak
bertentangan dengan cita hukum, asas yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945
dapat dibiarkan dan diakui sebagai subsistem hukum nasional sehingga mempunyai
kekuatan hukum seperti peraturan perundang-undangan.
3. Pembentukan perundang-undangan selain mempunyai dasar yuridis, harus dengan
saksama mempertimbangkan dasar-dasar filosofi dan kemasyarakatan tempat kaidah
tersebut akan berlaku
4. Pembentukan peraturan perundang-undangan selain mengatur keadaan yang ada, harus
mempunyai jangkauan masa depan.
5. Pembentukan peraturan perundang-undangan bukan sekadar menciptakan instrumen
kepastian hukum, melainkan instumen keadilan dan kebenaran.
6. Pembentukan peraturan perundang-undangan harus didasarkan pada partisipasi langsung
atau tidak langsung masyrakat.
C. Kekuatan.Kekuatan Berlakunya Undang-Undang
Kekuatan berlakunya undang-undang terdiri atas beberapa hal berikut.
1. Keberlakuan Yuridis (Juristische Geltung)
Undang-undang mempunyai kekuatan berlaku yuridis apabila persyaratan formal
terbentuknya undang-undang itu terpenuhi. Menurut Hans Kelsen, sebagaimana dikutip
oleh Sudikno Mertokusumo, kaidah hukum mempunyai kekuatan berlaku apabila
penetapannya didasarkan atas kaidah yang lebih tinggi tingkatannya. Suatu kaidah hukum
merupakan sistem hierarkies. Dalam Grundnorm (norma dasar) terdapat dasar berlakunya
semua kaidah yang berasal dari satu tata hukum. Dari Grundnorm itu, yang dapat
dijabarkan berlakunya adalah kaidah hukum, bukan isinya. Pertanyaan mengenai
berlakunya kaidah hukum berkaitan dengan das sollen, sedangkan das sein berhubungan
dengan pengertian hukum.
2. Keberlakuan Sosiologis
Kekuatan berlakunya hukum di dalam masyarakat ini ada dua macam, yaitu:
a. menurut teori kekuatan (Machttheori), hukum mempunyai kekuatan terlaku
sosiologis apabila dipaksakan oleh penguasa, terlepas dari diterima ataupun tidak
oleh warga masyarakat,
b. menurut teori pengakuan (Anerkennugstheorie), hukum mempunyai kekuatan
berlaku sosiologis apabila diterima dan diakui oleh warga masyarakat.
3. Keberlakuan Filosofis
Hukum mempunyai kekuatan berlaku filosofis apabila kaidah hukum tersebut sesuai
dengan cita-cita hukum (rechtsdee) sebagai nilai positif yang tertinggi (uberpositiven
Werte: Pancasila, masyarakat adil dan makmur). Suatu norma hukum dikatakan berlaku
secara filosofis apabila norma hukum itu bersesuaian dengan nilai-nilai filosofis yang
dianut oleh suatu negara. Dalam pandangan Hans Kelsen mengenai gerund-norm" atau
dalam pandangan Hans Nawiasky tentang staatsfundamentalnorm", pada setiap negara
terdapat nilai-nilai dasar au nilai-nilai filosofis tertinggi yang diyakini sebagai sumber
dari segala sumber nilai luhur dalam kehidupan kenegaraan yang bersangkutan.
4. Keberlakuan Politis
Suatu norma hukum dikatakan berlaku secara politis apabila pemberlakuannya
didukung oleh faktor-faktor kekuatan politik yang avata (riele machtsfactoren). Meskipun
norma yang bersangkutan didukung oleh masyarakat lapisan akar rumput, sejalan pula
dengan cita-cita filosofis negara, dan memiliki landasan yuridis yang sangat kuat, tanpa
dukungan kekuatan politik yang mencukupi di parlemen, norma hukum tersebut tidak
mungkin mendapatkan dukungan politik untuk diberlakukan sebagai hukum.
Dengan perkataan lain, keberlakuan politik ini berkaitan dengan teori kekuasaan
(power theory) yang pada gilirannya memberikan legitimasi pada keberlakuan suatu
norma hukum semata-mata dari sudut pandang kekuasaan. Apabila suatu norma hukum
telah mendapatkan dukungan kekuasaan, apa pun wujudnya dan bagaimanapun proses
pengambilan keputusan politik tersebut, cukup untuk menjadi dasar legitimasi bagi
keberlakuan norma hukum yang bersangkutan dari segi politik.
D. Penjelasan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
Memberikan penjelasan undang-undang merupakan kebiasaan negara-negara yang
menganut "Civil Law" gaya Eropa kontinental. Tradisi membuat penjelasan ini berasal dari
Belanda yang membuat penjelasan undang-undang dalam bentuk "Memori Van Toelichting
Bahkan, setelah Undang-Undang Dasar 1945, atas inisiatif Soepomo, dibuat pula naskah
"Penjelasan tentang Oendang-Oendang Dasar Negara Tahun 1945" sebagaimana
diumumkan dalam Berita Negara Repoeblik Indonesia pada 1946. Kebiasaan ini tidak lazim
di kalangan negara-negara yang menganut tradisi "Common Law" Akan tetapi, karena
kebutuhan, akhir-akhir ini, penjelasan undang-undang juga dikenal luas seperti di India dan
berbagai negara yang menganut tradisi "Common Law" lainnya.
Penjelasan (explanation) berfungsi sebagai pemberi keterangan mengenai kata-kata
tertentu atau beberapa aspek atau konsep yang terdapat dalam suatu ketentuan ayat atau
pasal yang dinilai belum terang atau belum jelas atau dikhawatirkan oleh perumusnya akan
dapat menimbulkan salah penafsiran pada kemudian hari. Tujuan adanya penjelasan adalah
sebagai berikut:
1. Menjelaskan pengertian atau maksud dari suatu ketentuan (to explain the meaning and
intention of the main provision);
2. Apabila terdapat ketidakjelasan (obscurity) atau kekaburan (vagueness) dalam suatu
undang-undang, penjelasan dimaksudkan untuk memperjelas sehingga ketentuan
dimaksud konsisten dengan tujuan yang hendak dicapai oleh pengaturan yang
bersangkutan (to classify the same so as to make it consistent with the dominant object
which it seeks to suserve);
3. Menyediakan tambahan uraian pendukung terhadap tujuan utama dari undang-undang
agar keberadaannya semakin bermakna dan semakin berguna (to provide an additional
support to the dominant object in the main statue in order to make it meaningful and
purposeful);
4. Apabila terdapat perbedaan yang relevan, penjelasan bertujuan menekan kesalahan
dalam mengedepankan objek undang-undang, dan membantu pengadilan dalam
menafsirkan "the true purport and object of the enactment."
Dalam praktik ketatanegaraan di Indonesia, setiap undang undang selalu diberi
penjelasan. Di dalamnya terkandung penjelasan yang bersifat umum dan penjelasan atas
setiap rumusan pasal atau ayat yang memerlukan penjelasan Mengenai pasal atau ayat yang
dianggap tidak memerlukan penjelasan, dalam penjelasan ditulis dengan perkataan "cukup
jelas Sementara itu, untuk peraturan perudang undangan di bawah undang-undang, hanya
diberi penjelasan apabila dipandang perlu. Jika tidak dianggap perlu, peraturan perundang
undangan di bawah undang-undang tidak dilengkapi dengan penjelasan.
Penjelasan perudang-undangan berfungsi sebagai tafsiran resmi pembentuk peraturan
perundang-undangan itu atas norma-norma hukum tertentu. Oleh karena itu, penjelasan
hanya memuat uraian atau elaborasi lebih lanjut norma yang diatur dalam batang tubuh
peraturan yang dijelaskan. Penjelasan tidak boleh menyebabkan timbulnya ketidakjelasan
atau kebingungan. Penjelasan juga tidak boleh berisi norma hukum baru atau berisi
ketentuan lebih lanjut dari yang sudah diatur pada batang tubuh. Apalagi jika penjelasan itu
memuat ketentuan-ketentuan baru yang bersifat terselubung yang bermaksud mengubah atau
mengurangi substansi norma yang terdapat di dalam batang tubuh. Untuk menghindari agar
penjelasan itu tidak berisi norma-norma hukum baru yang berbeda dari batang tubuh
ketentuan yang dijelaskannnya, pembahasan rancangan penjelasan harus dilakukan secara
integral dengan keseluruhan naskah rancangan peraturan perundang-undangan yang
bersangkutan.
Dalam praktik peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat dua macam
penjelasan, yaitu sebagai berikut.
1. Penjelasan umum, berisi penjelasan yang bersifat umum, misalnya latar belakang
pemikiran secara sosiologis, politis, budaya, dan sebagainya, yang menjadi pertimbangan
bagi pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.
2. Penjelasan pasal demi pasal, merupakan penjelasan dari pasal-pasal peraturan perundang-
undangan yang bersangkutan. Penjelasan pasal demi pasal hendaknya dirumuskan dengan
memerhatikan hal-hal berikut:
a. isi penjelasan tidak bertentangan dengan materi pokok yang diatur dalam batang
tubuh;
b. isi perjelasan tidak memperluas atau menambah norma yang ada dalam batang tubuh,
c. isi penjelasan tidak melakukan pengulangan atas materi pokokyang diatur dalam
batang tubuh;
d. isi penjelasan tidak mengulangi uraian kata, istilah, atau pengertian yang telah dimuat
di dalam Ketentuan Umum;
e. apabila suatu pasal tidak memerlukan penjelasan, hendaknya diberikan keterangan
"Cukup Jelas";
f. jika Lembaran Negara digunakan sebagai tempat mengundangkan "isi" atau teks
peraturan perundang-undangan, Tambahan Lembaran Negara dibuat untuk memuat
Penjelasan Undang undang, Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang, dan
Peraturan Pemerintah.
Pada umumnya peraturan perundang-undangan dalam praktik ketatanegaraan di
Indonesia diberi penjelasan. Akan tetapi, UUD 1945 hasıl amandemen tidak lagi mempunyai
penjelasan (otentik) sesuai dengan ketentuan dalam Aturan Tambahan Pasal II yang
menyatakan bahwa "Dengan ditetapkannnya perubahan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri atas pembukaan dan pasal-pasal."
Banyak pihak yang berpendapat bahwa penjelasan di dalam UUD 1945 harus tetap
dicantumkan karena penjelasan masih menempel pada naskah yang asli sehingga penjelasan
itu masih berlaku. Akan tetapi, Moh. Mahfud M.D. (2010) tidak sependapat dengan hal
tersebut Alasan yang dikemukakanya sebagai berikut.
1. Jika hanya karena terlampir di dalam naskah UUD 1945 yang asli, kemudian penjelasan
itu dianggap masih berlaku, hal ini tak masuk akal. Sebab, yang lain-lain pun masih ada
dalam naskah yang asli. tetapi tidak berlaku lagi karena sudah diamandemen; misalnya
tentang Pemilihan Presiden oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan tentang
kedudukan dan unsur-unsur MPR itu masih ada di dalam UUD 1945 yang asli tetapi
nyatanya tidak berlaku lagi karena sudah diamandemen.
2. Di dalam ketentuan Aturan Peralihan Pasal II itu sudah jelas bahwa UUD sekarang hanya
terdiri atas pembukaan dan pasal-pasal.
3. Konsensus MPR pada awal persetujuan dilakukannya amandemen adalah pemindahan isi
penjelasan yang bersifat normatif ke dalam pasal-pasal UUD. Hal ini menjelaskan alasan
dicantumkannya aturan tambahan Pasal II tersebut. Jadi, sejak awal sudah ada konsensus
di MPR untuk meniadakan penjelasan dan memasukkan isinya yang bersifat normatif ke
dalam pasal-pasal UUD tersebut.
4. Jika dilihat dari latar belakang yang lain, peniadaan penjelasan itu sejalan dengan
pandangan yang dominan ketika itu bahwa seharusnya sebuah UUD tidak perlu
penjelasan sebab tak lazim adanya penjelasan pada UUD.
Hukum Indonesia
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum agama,
dan hukum adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada
hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia
yang merupakan wilayah jajahan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie).
Hukum agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, sehingga
dominasi hukum atau syariat Isla lebih banyak terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan,
dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum adat, merupakan penerusan dari
aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
BAB 8
Macam-macam Hukum di Indonesia
A. Hukum Perdata Indonesia
Hukum perdata disebut pula hukum privat atau hukum sipil sebagai lawan dari hukum
publik. Jika hukum publik mengatur hal-hal yang berkaitan dengan negara serta kepentingan
umum, misalnya politik dan pemilu ( hukum tata negara ), kegiatan pemerintahan sehari-hari (
hukum administrasi atau tata usaha negara ), kejahatan (hukum pidana), hukum perdata
mengatur hubungan antara penduduk atau warga negara sehari-hari, seperti kedewasaan
seseorang,perkawinan, perceraian,kematian,pewarisan,harta benda, kegiatan usaha, dan
tindakan-tindakan yang bersifat perdata lainnya.
B. Hukum Pidana Indonesia
Hukum pidana merupakan bagian dari hukum publik. Hukum pidana terbagi menjadi
dua bagian, yaitu hukum pidana materiil dan belum pidana formal.
Hukum pidana materiil mengatur penentuan tindak pidana, pelaku tindak pidana, dan
pidana (sanksi). Di Indonesia,
Hukum pidana materiil diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Hukum Pidana formal mengatur pelaksanaan hukum pidana materiil. Di Indonesia,
pengaturan hukum pidana formal telah disahkan dengan UU Nomor 8 tahun 1981 tentang
Hukum Acara Pidana (KUHAP).
C. Hukum Tata Negara
Hukum tata negara adalah hukum yang mengatur negara, yaitu antara lain dasar
pendirian, struktur kelembagaan, pembentukan lembaga-lembaga negara, hubungan hukum
(hak dan kewajiban) antar lembaga negara, wilayah dan warga negara.
D. Hukum Tata Usaha (Administrasi) Negara
Hukum tata usaha (administrasi) negara adalah hukum yang mengatur kegiatan
administrasi negara, yaitu hukum yang mengatur tata pelaksanaan pemerintah dalam
menjalankan tugasnya. Hukum administarasi negara memiliki kemiripan dengan hukum tata
negara, terutama dalam hal kebijakan pemerintah.
E. Hukum Acara Perdata dan Pidana Indonesia
Hukum acara perdata Indonesia adalah hukum yang mengatur tata cara beracara
(berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum perdata.
Hukum acara pidana Indonesia adalah hukum yang mengatur tata cara beracara
(berperkara di badan peradilan) dalam lingkup hukum pidana. Hukum acara pidana di
Indonesia diatur dalam UU nomor 8 tahun 1981.
Asas dalam Hukum Acara Pidana
Asas hukum acara pidana di Indonesia adalah sebagai berikut.
1. Asas perintah tertulis, yaitu segala tindakan hukum hanya dapat dilakukan berdasarkan
perintah tertulis dari pejabat yang berwenang sesuai dengan UU.
2. Asas peradilan cepat, sederhana, biaya ringan, jujur, dan tidak memihak, yaitu
serangkaian proses peradilan pidana (dari penyidikan sampai dengan putusan hakim)
dilakukan cepat, ringkas, jujur, dan adil (Pasal 50 KUHAP).
3. Asas memperoleh bantuan hukum, yaitu setiap orang punya kesempatan, bahkan wajib
memperoleh bantuan hukum guna pembelaan atas dirinya (Pasal 54 KUHAP).
4. Asas terbuka, yaitu pemeriksaan tindak pidana dilakukan secara terbuka untuk umum
(Pasal 64 KUHAP).
5. Asas pembuktian, yaitu tersangka/terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian (Pasal
66 KUHAP), kecuali diatur lain oleh UU.
F. Hukum Antartata Hukum
Hukum antartata hukum adalah hukum yang mengatur hubungan antara dua golongan
atau lebih yang tunduk pada ketentuan hukum yang berbeda.
G. Hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia
Hukum adat adalah seperangkat norma dan aturan adat yang berlaku di suatu wilayah
di Indonesia. Sumbernya adalah peraturan peraturan hukum tidak tertulis yang tumbuh dan
berkembang dan dipertahankan dengan kesadaran hukum masyarakatnya. Itulah sebabnya,
hukum adat bersifat elastis.
Adapun hukum Islam adalah hukum yang berasal dari Al-Quran. Di Indonesia, hukum
Islam belum bisa ditegakkan secara menyeluruh, karena akan bertentangan dengan hukum
yang berlaku di Indonesia. Dalam hukum Islam, hukuman pencuri adalah potong tangan,
sedangkan di Indonesia, hukumannya adalah penjara.
H. Pelaksana Utama Upaya Penegakan Hukum
Terdapat beberapa institusi formal yang diberi tanggung penegakan hukum. Lembaga-
lembaga tersebut adalah sebagai berikut.
1. Kehakiman Republik Indonesia
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 Undang-Undang RI Nomor 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman, disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman adalah "kekuasaan
negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik
Indonesia." Pada penjelasan pasal tersebut dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan
merdeka adalah di dalam menjalankan tugas dan fungsinya, kekuasaan kehakiman bebas
dari segala campur tangan kekuasaan ekstrayudisial. Sekalipun demikian, kebebasan
melaksanakan tata pelaksanaan pemerintah dalam menjalankan tugasnya.
2. Kepolisian Negara Republik Indonesia
Keamanan dalam negeri merupakan syarat utama mendukung terwujudnya masyarakat
madani yang adil, makmur, dan beradab berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh sebab itu, Kepolisian Negara Republik
Indonesia, selaku alat negara yang dibantu masyarakat, bertugas melakukan pemeliharaan
keamanan dalam negeri melalui upaya penyelenggaraan fungsi kepolisian yang meliputi
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia.
3. Kejaksaan Republik Indonesia
Peranan Kejaksaan Republik Indonesia, sebagai lembaga pemerintahan dalam tata
susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum dan keadilan, adalah melaksanakan
kekuasaan negara di bidang penuntutan. Dalam ketentuan umum Undang-Undang Nomor 5
tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, disebutkan bahwa yang dimaksud
dengan jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini, untuk
bertindak sebagai penuntut umum, serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap. Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang
oleh undang-undang ini, untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim,
sedangkan penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara ke
Pengadilan Negeri yang berwenang, dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Hukum
Acara Pidana dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang
pengadilan.
4. Advokat
Kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan danpengaruh dari luar,
memerlukan profesi advokat yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab untuk
terselenggaranya peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua
pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia.
Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri, dan bertanggung jawab dalam menegakkan
hukum, perlu dijamin dan dilindungi oleh undang undang, demi terselenggaranya upaya
penegakan supremasi hukum.
I. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
Komisi Pemberantasan Korupsi atau disingkat menjadi KPK, adalah komisi di
Indonesia yang dibentuk pada tahun 2003 untuk mengatasi, menanggulangi, dan
memberantas korupsi di Indonesia. Komisi ini didirikan berdasarkan Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 30 tahun 2002 mengenai Komisi Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi. Saat ini KPK dipimpin bersama oleh 4 orang wakil ketuanya, yakni Chandra Marta
Hamzah, Bibit Samad Rianto, Mochammad Jasin, dan Hayono Umar, setelah Perpu Plt.
1. Sejarah Lembaga Pemberantasan Korupsi di Indonesia
Pada masa Orde Lama, tercatat dua kali dibentuk badan pem berantasan korupsi.
Pertama, dengan perangkat aturan Undang Undang Keadaan Bahaya, lembaga ini disebut
Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran). Badan ini dipimpin oleh A.H. Nasution dan
dibantu oleh dua orang anggota, yakni Profesor M. Yamin dan Roeslan Abdulgani.
Kepada Paran inilah, semua pejabat harus menyampaikan data mengenai pejabat tersebut
dalam bentuk isian formulir yang disediakan. Mudah ditebak, model perlawanan para
pejabat yang korup pada saat itu adalah bereaksi keras dengan dalih yuridis bahwa
dengan doktrin pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, formulir itu tidak
diserahkan kepada Paran, tapi langsung kepada Presiden. Diimbuhi dengan kekacauan
politik, Paran berakhir tragis, deadlock, dan akhirnya menyerahkan kembali pelaksanaan
tugasnya kepada Kabinet Djuanda.
2. Penanganan Kasus Korupsi oleh KPK 2008
a. 16 Januari, Mantan Kapolri, Rusdihardjo ditahan di Rutan Brimob Kelapa Dua.
Terlibat kasus dugaan korupsi pada pungli pada pengurusan dokumen keimigrasian
saat menjabat sebagai Duta Besar RI di Malaysia. Dugan kerugian negara yang
diakibatkan Rusdihardjo sebesar 6.150.051 ringgit Malaysia atau sekitar Rp15 miliar.
Rusdiharjo telah di vonis pengadilan Tipikor selama 2 tahun.
b. 14 Februari, Direktur Hukum BI, Oey Hoey Tiong ditahan di Rutan Polda Metro Jaya
dan Rusli Simanjuntak ditahan di Rutan Brimob Kelapa Dua. Kedua petinggi BI ini
ditetapkan tersangka dalam penggunaan dana YPPI sebesar Rp100 miliar. Mantan
Direktur Hukum BI, Oey Hoey Tiong dan mantan Kepala Biro BI, Rusli Simanjuntak,
divonis masing-masing empat tahun penjara.
c. 10 April, Gubernur Bank Indonesia (BI) Burhanuddin Abdullah ditahan di Rutan
Mabes Polri. Ia diduga telah menggunakan dana YPPI sebesar Rp100 miliar.
Burhanuddin di vonis pengadilan tipikor lima tahun penjara.
d. 27 November, Aulia Pohan, besan Presiden SBY, bersama tersangka lain, Maman
Sumantri mendekam di ruang tahanan Markas Komando Brimob Kelapa Dua, Depok,
Jawa Barat.
e. 2 Maret, Jaksa Urip Tri Gunawan ditahan di Rutan Brimob Kelapa Dua dan Arthalita
Suryani ditahan di Rutan Pondok Bambu. Jaksa Urip tertangkap tangan menerima
610.000 dolar AS dari Arthalita Suryani di rumah obligor BLBI, Syamsul Nursalim di
kawasan Permata Hijau, Jakarta Selatan. Urip divonis ditingkat pengadilan tipikor dan
diperkuat ditingkat kasasi di Mahkamah Agung selama 20 tahun penjara, sedangkan
Arthalita di vonis di tipikor selama 5 tahun penjara.
f. 12 Maret, Pimpro Pengembangan Pelatihan dan Pengadaan alat pelatihan
Depnakertrans, Taswin Zein, ditahan di Rutan Polda Metro Jaya. Ia diduga terlibat
dalam kasus penggelembungan Anggaran Biaya Tambahan (ABT) Depnakertrans
tahun 2004 sebesar Rp15 miliar dan Anggaran Daftar Isian sebesar Rp35 miliar.
Taswin divonis Pengadilan Tipikor selama 4 tahun penjara.
g. 20 Maret, Mantan Gubernur Riau, Saleh Djasit (1998-2004) ditahan sejak 20 Maret
2008 di Rutan Polda Metro Jaya. Saleh yang juga anggota DPR RI (Partai Golkar)
ditetapkan sebagai tersangka sejak November 2007 dalam kasus dugaan korupsi
pengadaan 20 unit mobil pemadam kebakaran senilai Rp15 miliar. Saleh Djasit telah
divonis Pengadilan Tipikor selama 4 tahun penjara.
h. 10 November, Mantan Gubernur Jawa Barat, Danny Setiawan, dan Dirjen Otonomi
Daerah Departemen Dalam Negeri, Oentarto Sindung Mawardi ditetapkan sebagai
tersangka dalam kasus Damkar ditahan di Rutan Bareskrim Mabes Polri. KPK juga
menahan mantan Kepala Biro Pengendalian Program Pemprov Jabar ljudin Budhyana
dan mantan Kepala Perlengkapan Wahyu Kurnia. ljudin saat itu masih menjabat
sebagai Kepala Dinas Pariwisata Jabar. Selain itu, KPK telah menahan Ismed Rusdani
pada Rabu (12/12/08). Ismed yang menjabat staf biro keuangan di lingkungan
Pemprov Kalimantan Timur ditahan di Rutan Polda Metro Jaya, Damkar juga
menyeret Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Kota Depok, Yusuf juga
ditetapkan sebagai tersangka pada Senin 22 September 2008.
i. 9 April, Anggota DPR RI (PPP) Al Amin Nur Nasution dan Sekda Kabupaten Bintan
Azirwan ditahan di Rutan Polda Metro Jaya, Sekda Bintan Azirwan ditahan di Rutan
Polres Jakarta Selatan. Al Amin tertangkap tangan menerima suap dari Azirwan. Saat
tertangkap ditemukan Rp71juta dan 33.000 dolar Singapura. Mereka ditangkap
bersama tiga orang lainnya di Hotel Ritz Carlton.
j. 17 April, Anggota DPR RI (Partai Golkar), Hamka Yamdhu, dan mantan Anggota
DPR RI (Partai Golkar), Anthony Zeidra Abidin, yang juga menjabat Wakil Gubernur
Jambi, ditahan di Polres Jakarta Timur. Hamka Yamdhu ditahan di Rutan Polres
Jakarta Barat. Hamda dan Anthony Z. Abidin diduga menerima Rp31,5 miliar dari
Bank Indonesia.
Desember 2006
a. 27 Desember - Menetapkan Bupati Kutai Kartanegara Syaukani H.R. sebagai
tersangka dalam kasus korupsi Bandara Loa Kulu yang diperkirakan merugikan negara
sebanyak Rp15,9 miliar (Tribun Kaltim).
b. 22 Desember - Menahan Bupati Kendal Hendy Boedoro setelah menjalani
pemeriksaan Hari Jumat (22/12). Hendy ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus
dugaan korupsi APBD Kabupaten Kendal 2003 hingga 2005 senilai Rp47 miliar.
Selain Hendy, turut pula ditahan mantan Kepala Dinas Pengelola Keuangan Daerah
Warsa Susilo (Tempo Interaktif).
c. 21 Desember - Menetapkan mantan Gubernur Kalimantan Selatan H.M. Sjachriel
Darham sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi penggunaan uang taktis.
Sjachriel Darham sudah lima kali diperiksa penyidik dan belum ditahan (Tempo
Interaktif).
d. Desember 2008, menahan BUPATI Garut 2004-2009 Letkol. (Purn) H. Agus Supriadi
S.H., yang tersangkut penyelewangan d bantuan bencana alam sebesar 10 miliar
negara dirugikan, Bupati Agus dikenakan hukuman 15 tahun penjara dan denda 300
juta.
November
a. 30 November - Jaksa KPK Tuntut Mulyana W. Kusumah 18 Bulan dalam kasus
dugaan korupsi pengadaan kotak suara Pemilihan Umum 2004 (Tempo Interaktif).
b. 30 November - Menahan mantan Konsul Jenderal RI di Johor Baru, Malaysia, Eda
Makmur. Eda diduga terlibat kasus dugaan korupsi pungutan liar atau memungut tarif
pengurusan dokumen keimigrasian di luar ketentuan yang merugikan negara sebesar
RM 5,54 juta atau sekitar Rp3,85 miliar (Tempo Interaktif).
c. 30 November - Menahan Rokhmin Dahuri, Menteri Kelautan dan Perikanan periode
2001-2004. Rokhmin diduga terlibat korupsi dana nonbujeter di departemennya. Total
dana yang dikumpulkan adalah Rp31,7 miliar (Tempo Interaktif)
September
2 September - Memeriksa Gubernur Jawa Barat Danny Setiawan selama 11 jam di
gedung KPK. Pemeriksaan ini terkait kasus pembelian alat berat senilai Rp185,63 miliar
oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat yang dianggarkan pada 2003-2004 (Tempo
Interaktif).
Juni
19 Juni - Menahan Gubernur Kalimantan Timur, Suwarna A.F., setelah diperiksa KPK
dalam kasus izin pelepasan kawasan hutan seluas 147 ribu hektare untuk perkebunan kelapa
sawit tanpa jaminan, negara dirugikan tak kurang dari Rp440 miliar (Tempo Interaktif).
2005
a. Kasus penyuapan anggota KPU, Mulyana W. Kusumah kepada tim audit BPK (2005).
b. Kasus korupsi di KPU, dengan tersangka Nazaruddin Sjamsuddin, Safder Yusacc dan
Hamdani Amin (2005).
c. Kasus penyuapan panitera PT Jakarta oleh kuasa hukum Abdullah Puteh, dengan
tersangka Teuku Syaifuddin Popon, Syamsu Rizal Ramadhan, dan M. Soleh (2005).
d. Kasus penyuapan Hakim Agung M.A. dalam perkara Probosutedjo, dengan tersangka
Harini Wijoso, Sinuhadji, Pono Waluyo, Sudi Ahmad, Suhartoyo, dan Triyadi.
e. Dugaan korupsi perugian negara sebesar 32 miliar rupiah dengan tersangka Theo
Toemion (2005).
f. Kasus korupsi di KBRI Malaysia (2005).
2004
a. Dugaan korupsi dalam pengadaan Helikopter jenis MI-2 Merk Ple Rostov Rusia milik
Pemda NAD (2004). Sedang berjalan, dengan tersangka Ir. H. Abdullah Puteh.
b. Dugaan korupsi dalam pengadaan Buku dan Bacaan SD, SLTP, yang dibiayai oleh Bank
Dunia (2004).
c. Dugaan korupsi dalam Proyek Program Pengadaan Busway pada Pemda DKI Jakarta
(2004).
d. Dugaan penyalahgunaan jabatan oleh Kepala Bagian Keuangan Dirjen Perhubungan Laut
dalam pembelian tanah yang merugikan keuangan negara Rp10 miliar lebih (2004).
Sedang berjalan, dengan tersangka tersangka Drs. Muhammad Harun Let Let dkk.
e. Dugaan korupsi pada penyalahgunaan fasilitas preshipment dan placement deposito dari
BI kepada PT Texmaco Group melalui Bank BNI (2004).
f. Dugaan telah terjadinya TPK atas penjualan aset kredit PT PPSU oleh BPPN (2004).
Dasar Hukum KPK
1) UU RI nomor 30 tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2) Kepres RI No. 73 tahun 2003 Tentang Pembentukan Panitia Seleksi Calon Pimpinan
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3) PP RI No. 19 tahun 2000 Tentang Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-Undang
1) UU RI No. 28 tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Dari
KKN.
2) UU RI No. 31 tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
3) UU RI No. 20 tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
4) UU RI No. 25 tahun 2003 Tentang Perubahan Atas UU No. 15 Tahun 2002 Tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang.
Peraturan Pemerintah
PP RI No. 71 tahun 2000 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dan
Pemberian Penghargaan Dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
PP RI No. 109 tahun 109 tahun 2000 Tentang Kedudukan Keuangan Kepala Daerah
dan Wakil Kepala Daerah.
BAB 9
Lembaga Peradilan di Indonesia
A. Pengadilan Agama
Pengadilan Agama (disingkat PA) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan
Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota, kabupaten, atau kota.
Peradilan Agama adalah lingkungan peradilan di bawahMahkamah Agung bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam
Undang-Undang.
Sebagai Pengadilan Tingkat Pertama, Pengadilan Agama memiliki tugas dan
wewenang untuk memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-
orang yang beragama Islam di bidang:
1. perkawinan;
2. warisan, wasiat, dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hukum Islam;
3. wakaf dan sedakah;
4. ekonomi syari'ah.
Pengadilan Agama dibentuk melalui Undang-Undang dengan daerah hukum meliputi
wilayah kota atau kabupaten. Susunan Pengadilan Agama terdiri atas Pimpinan (Ketua PA
dan Wakil Ketua PA), Hakim Anggota, Panitera, Sekretaris, dan Juru Sita (lihat Undang
Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan Undang Undang Nomor 3 tahun
2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama)
Lingkungan Peradilan Agama meliputi:
a. Pengadilan Tinggi Agama;
b. Pengadilan Agama. Peralihan ke Mahkamah Agung
Perubahan UUD 1945 yang membawa perubahan mendasar mengenai penyelengaraan
kekuasaan kehakiman, menyebabkan diperlukannya perubahan secara komprehensif
mengenai Undang Undang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur badan-
badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelengaraan kekuasaan
kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum
dan dalam mencari keadilan.
Konsekuensi dari UU Kekuasaan Kehakiman adalah pengalihan organisasi,
administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Sebelumnya,
pembinaan peradilan agama berada di bawah Direktorat Pembinaan Peradilan Agama
Departemen Agama Terhitung sejak tanggal 30 Juni 2004, organisasi, administrasi, dan
finansial peradilan agama dialihkan dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung.
Peralihan tersebut termasuk peralihan status pembinaan kepegawaian, aset, keuangan,
arsip/dokumen, dan anggaran menjadi berada di bawah Mahkamah Agung.
Sesuai Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI No. 144/ KMA/SK/VIII/2007
tentang keterbukaan informasi di pengadilan, dengan dipelopori oleh Direktorat Jenderal
Badan Peradilan Agama (yang situsnya telah aktif sejak April 2005), situs-situs pengadilan
tingkat pertama (Pengadilan Agama) dan pengadilan tingkat banding (Pengadilan Tinggi
Agama) pun bermunculan.
Adapun informasi-informasi yang harus dipublikasikan pada situs situs tersebut adalah
informasi yang bersifat memberikan pelayanan bagi para pencari keadilan, di antaranya,
Profil Pengadilan, Prosedur Standar Pengajuan Perkara, Prosedur Pengaduan, Biaya Panjar
Perkara, Agenda Persidangan, Pemanggilan Pihak yang tidak diketahui alamatnya, Putusan,
dan lain-lain.
B. Mahkamah Konstitusi
Mahkamah Konstitusi (disingkat MK) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama
dengan Mahkamah Agung.
Adapun secara teoretis, keberadaan Mahkamah Konstitusi baru dintrodusir pertama kali
pada tahun 1919 oleh pakar hukum asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Hans Kelsel
menyatakan bahwa pelaksanaan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin
hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu
produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut
organ ini tidak konstitusional. Untuk itu, perlu diadakan organ khusus yang disebut
Mahkamah Konstitusi (constitutional court).
Apabila ditelusuri dalam sejarah penyusunan UUD 1945, ide Hans Kelsen mengenai
pengujian Undang-undang juga sebangun dengan usulan yang pernah diungkapkan oleh
Muhammad Yamin dalam. sidang Badan Penyelidik Usah-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Yamin mengusulkan bahwa seharusnya Balai Agung (Mahkamah
Agung) diberi wewenang untuk "membanding Undang undang" yang maksudnya adalah
kewenangan judicial review. Usulan Yamin ini disanggah oleh Soepomo dengan alasan.
Pertama, konsep: dasar yang dianut dalam UUD yang telah disusun bukan konsep pemisah
kekuasaan (separation of power), melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of
power). Kedua, tugas hakim adalah menerapkan Undang-undang bukan menguji Undang-
undang, Ketiga, kewenangan hakim untuk melakukan pengujian Undang-undang
bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sehingga
ide akan pengujian Undang-undang terhadap UUD yang diusulkan Yamin tersebut tidak
diadopsi dalam UUD 1945.
Seiring dengan momentum perubahan UUD 1945 pada masa reformasi (1999-2004),
ide pembentukan Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia makin menguat. Puncaknya
terjadi pada tahun 2001 ketika ide pembentukan MK diadopsi dalam perubahan UUD 1945
yang dilakukan oleh MPR, sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2) dan
Pasal 24C UUD 1945 dalam Perubahan Ketiga.
Kewajiban dan Wewenang
Menurut undang-undang Dasar 1945, kewajiban dan wewenang MK adalah mengadili pada
tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, memutus pembubaran partai politik, dan memutus
perselisihan tentang hasil Pemilihan Umum wajib memberi putusan atas pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/ atau Wakil Presiden
menurut UUD 1945.
Ketua
Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh Hakim Konstitusi untuk masa jabatan 3
tahun. Masa jabatan Ketua MK selama 3 tahun yang diatur dalam UU 24/2003 ini sedikit aneh
karena masa jabatan Hakim Konstitusi adalah 5 tahun. Ini berarti untuk masa jabatan kedua,
Ketua MK dalam satu masa jabatan Hakim Konstitusi berakhir sebelum waktunya (hanya 2
tahun).
Ketua MK yang pertama adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H... Guru besar hukum tata
negara Universitas Indonesia yang terpilih pada rapat internal antaranggota hakim Mahkamah
Konstitusi tanggal 19 Agustus 2003. Jimly terpilih lagi sebagai ketua untuk masa bakti 2006
2009 pada 18 Agustus 2006 dan disumpah pada 22 Agustus 2006 dengan Wakil Ketua Prof. Dr.
M. Laica Marzuki, S.H. bersama tujuh anggota hakim pendiri lainnya dari generasi pertama MK,
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. dan Prof. Dr. M. Laica Marzuki berhasil memimpin lembaga
baru ini sehingga dengan cepat berkembang menjadi model bagi pengadilan modern dan
tepercaya di Indonesia. Pada akhir masa jabatan Prof. Jimly sebagai Ketua, MK berhasil
dipandang sebagai salah satu ikon keberhasilan reformasi Indonesia. Atas keberhasilan ini, pada
bulan Agustus 2009, Presiden menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada para hakim
generasi pertama ini, dan bahkan Bintang Mahaputera Adipradana bagi mantan Ketua MK, Prof.
Jimly Asshiddiqie.
Selama 5 tahun semenjak berdirinya, sistem kelembagaan mahkamah ini terbentuk dengan
sangat baik dan bahkan gedungnya juga berhasil dibangun dengan megah dan dijadikan gedung
kebanggaan tempat mengadakan studi tur oleh banyak sekolah dan perguruan tinggi.
Hakim Konstitusi
Mahkamah Konstitusi mempunyai 9 Hakim Konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden.
Hakim Konstitusi diajukan masing-masing 3 orang oleh Mahkamah Agung, 3 orang oleh Dewan
Perwakilan Rakyat, dan 3 orang oleh Presiden. Masa jabatan Hakim Konstitusi adalah 5. tahun,
dan dapat dipilih kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya. Hakim Konstitusi periode 2008-
2013 adalah:
1. Mohammad Mahfud M.D. (Ketua);
2. Harjono (2009-), menggantikan Jimly Asshiddiqie (2008-2009);
3. Maria Farida Indrati;
4. Ahmad Fadlil Sumadi (2009-), menggantikan Maruarar Siahaan(2008-2009);
5. Hamdan Zoelva (2009-), menggantikan Abdul Mukthie Fajar (2008 2009);
6. Muhammad Alim;
7. Achmad Sodikin;
8. Muhammad Arsyad Sanusi;
9. Muhammad Akil Mochtar.
Pada akhir 2009, Maruarar Siahaan dan Abdul Mukthie Fajar memasuki masa pensiun.
Mereka kemudian digantikan oleh 2 hakim baru, yakni Hamdan Zoelva yang menggantikan
Abdul Mukthie Fajar dan Fadlil Sumadi yang menggantikan Maruarar Siahaan.
Daftar Hakim Konstitusi
Berikut adalah nama-nama yang pernah menduduki jabatan hakim konstitusi:
1. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
2. Letjen TNI (Purn.) H. Achmad Roestandi, S.H.
3. I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H.
4. Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, S.H., L.L.M.
5. Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S.
6. Dr. Harjono, S.H., M.C.L.
7. Prof. Dr. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H.
8. Soedarsono, S.H.
9. Maruarar Siahaan, S.H.
10. Prof. Dr. Mohammad Mahfud M.D., S.H.
11. Dr. H. Mohammad Alim, S.H., M.Hum.
12. Dr. H. Muhammad Arsyad Sanusi, S.H.,
13. Prof. Dr. Achmad Sodiki, S.H.
14. Prof. Dr. Maria Farida Indrati, S.H.
15. Muhammad Akil Mochtar, S.H., M.H.
16. Dr. Harjono, S.H., M.C.L.
17. Dr. Hamdan Zoelva, S.H., M.H.
18. Drs. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum.
Susunan Organisasi
Sekretariat Jenderal
Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi mempunyai tugas melaksanakan dukungan
administrasi umum kepada para hakim konstitusi. Sekretaris Jenderal dipimpin oleh seorang
Sekretaris Jenderal dan di bawahnya terdapat empat biro dan satu pusat, yaitu:
1. Biro Perencanaan dan Keuangan
a. Bagian Perencanaan
 Subbagian Program dan Anggaran
 Subbagian Evaluasi dan Laporan
b. Bagian Keuangan
 Subbagian Kas
 Subbagian Akuntansi dan Verifikasi
2. Biro Umum
a. Bagian Tata Usaha
 Subbagian Persuratan
 Subbagian Arsip dan Dokumentasi
b. Bagian Kepegawaian
 Subbagian Tata Usaha
 Subbagian Pembinaan dan Pengembangan Pegawai
c. Bagian Perlengkapan
 Subbagian Pengadaan, Penyimpanan dan Inventarisasi
 Subbagian Rumah Tangga
3. Biro Hubungan Masyarakat dan Protokol
a. Bagian Hubungan Masyarakat
 Subbagian Hubungan Antar Lembaga dan Masyarakat
 Subbagian Media Massa
b. Bagian Protokol dan Tata Usaha Pimpinan
 Subbagian Protokol
 Subbagian Tata Usaha Pimpinan
4. Biro Administrasi Perkara dan Persidangan
a. Bagian Administrasi Perkara
 Subbagian Registrasi
 Subbagian Penyusunan Kaidah Hukum dan Dokumentasi Perkara
b. Bagian Persidangan
 Subbagian Pelayanan Persidangan
 Subbagian Pemanggilan
c. Bagian Pelayanan Risalah dan Putusan Perkara
 Subbagian Pelayanan Risalah dan Pelayanan Putusan
d. Pusat Penelitian dan Pengkajian Kepaniteraan
Kepaniteraan MK memiliki tugas pokok memberikan dukungan di bidang
administrasi yustisial. Susunan organisasi kepaniteraan MK terdiri atas sejumlah jabatan
fungsional Panitera. Kepaniteraan merupakan supporting unit hakim konstitusi dalam
penanganan perkara di MK.
Persidangan
1. Sidang Panel Sidang Panel merupakan sidang yang terdiri atas tiga orang hakim konstitusi
yang diberi tugas untuk melakukan sidang pemeriksaan pendahuluan. Persidangan ini
diselenggarakan untuk memeriksa kedudukan hukum pemohon dan isi permohonan. Hakim
konstitusi dapat memberi nasihat perbaikan permohonan.
2. Rapat Permusyawaratan Hakim Rapat Permusyawaratan Hakim (disingkat RPH) bersifat
tertutup dan rahasia. Rapat ini hanya dapat diikuti oleh Hakim Konstitusi dan Panitera. Dalam
rapat ini, perkara dibahas secara mendalam dan terperinci. Putusan MK diambil harus
disetujui sekurang-kurangnya tujuh hakim konstitusi. Pada saat RPH, Panitera mencatat dan
merekam setiap pokok bahasan dan kesimpulan.
3. Sidang Pleno
Sidang Pleno adalah sidang yang dilakukan oleh majelis hakim konstitusi minimal
dihadiri oleh tujuh hakim konstitusi. Persidangan ini dilakukan terbuka untuk umum dengan
agenda pemeriksaan persidangan atau pembacaan putusan. Pemeriksaan persidangan meliputi
mendengarkan pemohon, keterangan saksi, ahli dan pihak terkait serta memeriksa alat-alat
bukti.
Anggaran
Sebagai lembaga negara pelaku kekuasaan kehakiman, pelaksanaan tugas-tugas MK berikut
aktivitas dukungan yang diberikan oleh Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK dibiayai oleh
Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). Dalam setiap tahunnya, MK mendapat anggaran
berdasarkan Dokumen Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) atau Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian/ Lembaga (RKA-KL). BPK memberikan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP)
atas laporan keuangan MK tahun anggaran 2006. Kemudian, pada laporan keuangan tahun 2007,
2008 dan 2009 MK kembali meraih predikat WTP berturut-turut dari BPK.
C. Pengadilan Militer
Pengadilan Militer merupakan badan pelaksana kekuasaan peradilan di bawah
Mahkamah Agung di lingkungan militer yang bertugas memeriksa dan memutus pada
tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah prajurit yang berpangkat Kapten
ke bawah. Nama, tempat kedudukan, dan daerah hukum Pengadilan Militer ditetapkan
melalui Keputusan Panglima. Apabila perlu, Pengadilan Militer dapat bersidang di luar
tempat kedudukannya bahkan di luar daerah hukumnya atas izin Kepala Pengadilan Militer
Utama.
Peradilan Militer adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang
melaksanakan kekuasaan kehakiman mengenai kejahatan-kejahatan yang berkaitan dengan
tindak pidana militer.
Peradilan Militer meliputi:
1. Pengadilan Militer
2. Pengadilan Militer Tinggi
3. Pengadilan Militer Utama
Peralihan ke Mahkamah Agung
Perubahan (Amandemen) UUD 1945 membawa perubahan mendasar mengenai
penyelengaraan kekuasaan kehakiman, dan diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang Nomor 4
tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. Konsekuensi dari perubahan ini adalah pengalihan
organisasi, administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
Sebelumnya, pembinaan Peradilan Militer berada di bawah Markas Besar Tentara Nasional
Indonesia. Terhitung sejak 1 September 2004, organisasi, administrasi, dan finansial Peradilan
Militer dialihkan dari TNI ke Mahkamah Agung. Akibat perlaihan ini, seluruh prajurit TNI dan
PNS yang bertugas pada pengadilan dalam lingkup peradilan militer akan beralih menjadi
personel organik Mahkamah Agung, meskipun pembinaan keprajuritan bagi personel militer
tetap dilaksanakan oleh Mabes TNI.
D. Pengadilan Militer Pertempuran
Pengadilan Militer Pertempuran merupakan badan pelaksana kekuasaan kehakiman di
lingkungan militer yang bertugas memeriksa dan memutus pada tingkat pertama dan terakhir
perkara pidana yang dilakukan oleh prajurit di medan pertempuran. Karena berkedudukan di
suatu medan pertempuran sebagai daerah hukumnya, Pengadilan Militer Pertempuran tidak
bertempat di suatu tempat tertentu, tetapi selalu mengikuti gerak pasukan pada saat
pertempuran tersebut berlangsung.
Pengadilan Tinggi Militer merupakan badan pelaksana kekuasaan peradilan di bawah
Mahkamah Agung di lingkungan militer yang bertugas memeriksa dan memutus pada
tingkat pertama perkara pidana yang terdakwanya adalah prajurit yang berpangkat Mayor ke
atas. Selain itu, Pengadilan Tinggi Militer juga memeriksa dan memutus pada tingkat
banding perkara pidana yang telah diputus oleh Pengadilan Militer dalam daerah hukumnya
yang dimintakan banding. Pengadilan Tinggi Militer juga dapat memutuskan pada tingkat
pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antara Pengadilan Militer dalam
daerah hukumnya.
Pengadilan Utama Militer merupakan badan pelaksana kekuasaan peradilan di bawah
Mahkamah Agung di lingkungan militer yang bertugas memeriksa dan memutus pada
tingkat banding perkara pidana dan sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata yang telah
diputus pada tingkat pertama oleh Pengadilan Tinggi Militer yang dimintakan banding.
Selain itu, Pengadilan Utama Militer juga dapat memutus pada tingkat pertama dan
terakhir semua sengketa tentang wewenang mengadili antar-Pengadilan Militer yang
berkedudukan di daerah hukum Pengadilan Tinggi Militer yang berlainan, antar-Pengadilan
Militer Tinggi, dan antara Pengadilan Tinggi Militer dengan Pengadilan Militer.
Kedudukan
Pengadilan Utama Militer berada di ibu kota negara yang daerah hukumnya meliputi
seluruh wilayah negara Republik Indonesia. Pengadilan Utama Militer melakukan pengawasan
terhadap penyelenggaraan peradilan di semua lingkungan Pengadilan Militer, Pengadilan Tinggi
Militer, dan Pengadilan Pertempuran Militer di daerah hukumnya masing-masing.
Susunan Persidangan
Dalam persidangannya, Pengadilan Utama Militer dipimpin 1 orang Hakim Ketua dengan
pangkat minimal Brigadir Jenderal atau Laksamana Pertama atau Marsekal Pertama, kemudian 2
orang Hakim Anggota dengan pangkat paling rendah adalah Kolonel yang dibantu satu orang
Panitera (minimal berpangkat Mayor dan maksimal Kolonel).
E. Pengadilan Negeri
Pengadilan Negeri (disingkat PN) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan
Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota kabupaten atau kota. Sebagai Pengadilan
Tingkat Pertama, Pengadilan Negeri berfungsi untuk memeriksa, memutus, dan
menyelesaikan perkara pidana dan perdata bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya.
Daerah hukum Pengadilan Negeri meliputi wilayah kota atau kabupaten. Susunan
Pengadilan Negeri terdiri atas Pimpinan (Ketua PN dan Wakil Ketua PN), Hakim Anggota,
Panitera, Sekretaris, dan Jurusita.
F. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi adalah pengadilan yang khusus menangani perkara
korupsi. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi bertugas dan berwenang memeriksa dan
memutus tindak pidana korupsi yang penuntutannya diajukan oleh Komisi Pemberantasan
Korupsi. Pengadilan yang biasa disebut dengan Pengadilan Tipikor ini berlokasi di lantai 1
dan 2 Gedung UPPINDO Jalan Rasuna Said Kav. C-19, Kuningan, Jakarta Selatan.
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi berada di lingkungan Peradilan Umum. Untuk pertama
kali, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dibentuk pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang
wilayah hukumnya meliputi seluruh wilayah negara Republik Indonesia.
Dasar Hukum
Pengadilan ini dibentuk berdasarkan Pasal 53 Undang-undang Nomor 30 tahun 2002
tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Permasalahan
Pada 19 Agustus 2006, Mahkamah Konstitusi menyatakan keberadaan Pengadilan Tindak
Pidana Korupsi bertentangan dengan UUD 1945 karena menimbulkan dualisme peradilan.
Mahkamah Konstitusi memberikan waktu tiga tahun kepada pembuat UU (DPR dan pemerintah)
untuk membentuk UU Pengadilan Tipikor yang baru. Undang-undang baru itu harus mengatur
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi sebagai satu-satunya sistem peradilan tindak pidana korupsi.
Apabila pada 19 Desember 2009 DPR belum juga mengesahkan undang-undang baru,
Pengadilan Tindak Pidana Korupsi dinilai tidak lagi memiliki kewenangan. Akibatnya, seluruh
penanganan perkara tindak pidana korupsi menjadi wewenang pengadilan dalam lingkungan
peradilan umum.
G. Pengadilan Tinggi
Pengadilan Tinggi (disingkat PT) merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan
Peradilan Umum yang berkedudukan di ibu kota provinsi sebagai Pengadilan Tingkat
Banding terhadap perkara perkara yang diputus oleh Pengadilan Negeri.
Pengadilan Tinggi juga merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir mengenai
sengketa kewenangan mengadili antar-Pengadilan Negeri di daerah hukumnya.
Susunan Pengadilan Tinggi dibentuk berdasarkan Undang-Undang dengan daerah
hukum meliputi wilayah provinsi. Pengadilan Tinggi terdiri atas Pimpinan (seorang Ketua
PT dan seorang Wakil Ketua PT), Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris.
H. Pengadilan Tinggi Agama
Pengadilan Tinggi Agama merupakan sebuah lembaga peradilan di lingkungan
Peradilan Agama yang berkedudukan di ibu kota provinsi. Sebagai Pengadilan Tingkat
Banding, Pengadilan Tinggi Agama memiliki tugas dan wewenang untuk mengadili perkara
yang menjadi kewenangan Pengadilan Agama dalam tingkat banding
Selain itu, Pengadilan Tinggi Agama juga bertugas dan berwenang untuk mengadili di
tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili antar-Pengadilan Agama di
daerah hukumnya.
Pengadilan Tinggi Agama dibentuk melalui Undang-Undang dengan daerah hukum
meliputi wilayah provinsi. Susunan Pengadilan Tinggi Agama terdiri dari Pimpinan (Ketua
dan Wakil Ketua), Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris.
I. Pengadilan Pajak
Pengadilan pajak adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di
Indonesia bagi wajib pajak atau penanggung pajak yang mencari keadilan terhadap sengketa
pajak. Sengketa pajak adalah sengketa yang timbul dibidang perpajakan antara wajib pajak
dengan pejabat yang berwenang sebagai akibat dikeluarkannya keputusan yang dapat
diajukan Banding atau Gugatan kepada Pengadilan Pajak. Itu termasuk gugatan atas
pelaksanaan penagihan berdasarkan undang-undang penagihan dengan surat paksa.
Pengadilan pajak dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 tahun 2002 tentang
Pengadilan Pajak. Kedudukan Pengadilan Pajak berada di ibu kota negara. Persidangan oleh
Pengadilan Pajak dilakukan di tempat kedudukannya, dan dapat pula dilakukan di tempat
lain berdasarkan ketetapan Ketua Pengadilan Pajak.
Susunan Pengadilan Pajak terdiri atas Pimpinan, Hakim Anggota, Sekretaris, dan
Panitera. Pimpinan Pengadilan Pajak terdiri dari seorang Ketua dan sebanyak-banyaknya 5
orang Wakil Ketua.
Menurut UU Nomor 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak, pembinaan serta
pengawasan umum terhadap hakim Pengadilan Pajak dilakukan oleh Mahkamah Agung,
sedangkan pembinaan organisasi,administrasi,dan keuangan ditanggulangi oleh kementrian
keuangan.
J. Peradilan Tata Usaha Negara
Peradilan Tata Usaha Negara adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung
yang melaksanakan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa
Tata Usaha Negara.
Peradilan Tata Usaha Negara meliputi:
1. Pengadilan Tata Usaha Negara
2. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Peralihan ke Mahkamah Agung
Perubahan UUD 1945 membawa perubahan mendasar mengenai penyelengaraan kekuasaan
kehakiman, dan diatur lebih lanjut dengan Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang
Kekuasaan Kehakiman. Konsekuensi dari perubahan ini adalah pengalihan organisasi,
administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung.
K. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (disingkat PTTUN) merupakan sebuah lembaga
peradilan di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara yang berkedudukan di ibu kota
provinsi. Sebagai Pengadilan Tingkat Banding, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
memiliki tugas dan wewenang untuk memeriksa dan memutus sengketa Tata Usaha Negara
di tingkat banding.
Selain itu, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara juga bertugas dan berwenang untuk
memeriksa dan memutus di tingkat pertama dan terakhir sengketa kewenangan mengadili
antara Pengadilan Tata Usaha Negara di dalam daerah hukumnya.
Susunan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara terdiri atas Pimpinan (Ketua PTTUN
dan Wakil Ketua PTTUN), Hakim Anggota, Panitera, dan Sekretaris.
L. Peradilan Umum
Peradilan Umum adalah lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung yang
menjalankan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya. Peradilan
umum meliputi:
1. Pengadilan Negeri, berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota, dengan daerah hukum
meliputi wilayah kabupaten/kota.
2. Pengadilan tinggi, berkedudukan di ibu kota provinsi,dengan daerah hukum meliputi
wilayah provinsi.
M. Kekuasaan Kehakiman
Kekuasaan kehakiman dalam konteks negara Indonesia adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan
berdasarkan Pancasila, dend terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Perubahan Undang-Undang Dasar 1945 telah membawa perubahan dalam kehidupan
ketatanegaraan. Berdasarkan perubahan tersebut ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman
dilaksanakan oleh:
1. Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan
peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, dan
lingkungan peradilan tata usaha negara.
2. Mahkamah Konstitusi.
Selain itu, terdapat pula Peradilan Syariah Islam di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam,
yang merupakan pengadilan khusus dalam Lingkungan Peradilan Agama (sepanjang
kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan agama) dan Lingkungan Peradilan
Umum (sepanjang kewenangannya menyangkut kewenangan peradilan umum).
Di samping perubahan mengenai penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, UUD 1945
juga memperkenalkan suatu lembaga baru yang berkaitan dengan penyelenggaraan
kekuasaan kehakiman, yaitu Komisi Yudisial. Komisi yudisial bersifat mandiri yang
berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam
rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim.
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004
Perubahan UUD 1945 yang membawa perubahan mendasar mengenai
penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, membuat perlunya dilakukan perubahan secara
komprehensif mengenai Undang-Undang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman.
Undang-Undang Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur
mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas
penyelengaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi
setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan.
Pengalihan Badan Peradilan
Konsekuensi dari UU Kekuasaan Kehakiman adalah pengalihan organisasi,
administrasi, dan finansial badan peradilan di bawah Mahkamah Agung. Sebelumnya,
pembinaan badan-badan peradilan berada di bawah eksekutif (Departemen Kehakiman dan
HAM, Departemen Agama, Departemen Keuangan) dan TNI, tetapi saat ini seluruh badan
peradilan berada di bawah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi.
Berikut adalah peralihan badan peradilan ke Mahkamah Agung:
1. Organisasi, administrasi, dan finansial pada Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum
dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia,
Pengadilan Tinggi, Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, Pengadilan Negeri, dan
Pengadilan Tata Usaha Negara, terhitung sejak tanggal 31 Maret 2004 dialihkan dari
Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia ke Mahkamah Agung
2. Organisasi, administrasi, dan finansial pada Direktorat Pembinaan Peradilan Agama
Departemen Agama, Pengadilan Tinggi Agama/ Mahkamah Syariah Provinsi, dan
Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah, terhitung sejak tanggal 30 Juni 2004 dialihkan
dari Departemen Agama ke Mahkamah Agung,
3. Organisasi, administrasi, dan finansial pada Pengadilan Militer, Pengadilan Militer
Tinggi, dan Pengadilan Militer Utama, terhitung sejak tanggal 1 September 2004
dialihkan dari TNI ke Mahkamah Agung. Akibat perlaihan ini, seluruh prajurit TNI dan
PNS yang bertugas pada pengadilan dalam lingkup peradilan militer akan beralih menjadi
personel organik Mahkamah Agung, meski pembinaan keprajuritan bagi personel militer
tetap dilaksanakan oleh Mabes TNI.
Peralihan tersebut termasuk peralihan status pembinaan kepegawaian, aset, keuangan,
arsip/dokumen, dan anggaran menjadi berada di bawah Mahkamah Agung.
N. Mahkamah Agung Indonesia
Mahkamah Agung (disingkat MA) adalah lembaga tinggi negara dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia yang merupakan pemegang kekuasaan kehakiman bersama-sama
dengan Mahkamah Konstitusi dan bebas dari pengaruh cabang-cabang kekuasaan lainnya.
Mahkamah Agung membawahi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum,
lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara.
Sejarah
Sejarah berdirinya Mahkamah Agung RI tidak dapat dilepaskan dari masa penjajahan
atau sejarah penjajahan di bumi Indonesia. Hal ini terbukti dengan adanya urun waktu,
ketika bumi Indonesia sebagian waktunya dijajah oleh Belanda dan sebagian lagi oleh
Pemerintah Inggris dan terakhir oleh Pemerintah Jepang. Oleh karena itu, perkembangan
peradilan di Indonesia pun tidak luput dari pengaruh kurun waktu tersebut.
O. Komisi Yudisial
Komisi Yudisial adalah lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UU No. 22 tahun
2004 yang berfungsi mengawasi perilaku hakim dan mengusulkan nama calon hakim agung.
Sejarah Pembentukan Komisi Yudisial
Pada tahun 1968 muncul ide pembentukan Majelis Pertimbangan Penelitian Hakim
(MPPH) yang berfungsi untuk memberikan pertimbangan dalam mengambil keputusan akhir
mengenai saran dan atau usul yang berkenaan dengan pengangkatan, promosi, kepindahan,
pemberhentian dan tindakan/hukuman jabatan para hakim. Akan tetapi, ide tersebut tidak
berhasil dimasukkan dalam undang-undang tentang Kekuasaan Kehakiman.
Pada tahun 1998-an, ide tersebut muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin
kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya memerlukan
pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan
yang jujur, bersih, transparan, dan profesional dapat tercapai.
Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001
yang membahas amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan
kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang
mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka
menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim.
Berdasarkan amandemen ketiga itulah, dibentuk Undang-Undang Nomor 22 tahun 2004
tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada tanggal 13 Agustus 2004.
Tujuan Komisi Yudisial
1. Melakukan monitoring secara intensif terhadap penyelengg kekuasaan kehakiman dengan
melibatkan unsur-unsur masyarakat
2. Meningkatkan efisiensi dan efektivitas kekuasaan kehakiman, baik yang menyangkut
rekrutmen hakim agung maupun monitoring perilaku hakim.
3. Menjaga kualitas dan konsistensi putusan lembaga peradilan karena senantiasa diawasi
secara intensif oleh lembaga yang benar benar independen.
4. Menjadi penghubung antara kekuasaan pemerintah dan kekuasaan kehakiman untuk
menjamin kemandirian kekuasaan kehakiman
Wewenang Komisi Yudisial
Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan wewenang
lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku
hakim. Tugas Komisi Yudisial
1. Mengusulkan Pengangkatan Hakim Agung, dengan tugas utama
a. melakukan pendaftaran calon Hakim Agung Agung,
b. melakukan seleksi terhadap calon Hakim
c. menetapkan calon Hakim Agung,
d. mengajukan calon Hakim Agung ke DPR.
2. Menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim, dengan
tugas utama:
a. menerima laporan pengaduan masyarakat tentang perilaku hakim;
b. melakukan pemeriksaan terhadap dugaan pelanggaran perilaku hakim;
c. membuat laporan hasil pemeriksaan berupa rekomendasi yang disampaikan kepada
Mahkamah Agung dan tindasannya disampaikan kepada Presiden dan DPR.
P. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia disingkat Kemenkumham, dahulu
bernama "Departemen Kehakiman" (1945 1999), "Departemen Hukum dan Perundang-
undangan" (1999-2001), "Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia" (2001-2004),
"Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia" (2004-2009), adalah kementerian dalam
Pemerintah Indonesia yang membidangi urusan hukum dan hak asasi manusia. Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia dipimpin oleh seorang Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia (Menkumham) yang sejak 22 Oktober 2009 dijabat oleh Patrialis Akbar.
Fungsi
Kementerian ini memiliki fungsi:
1. pelaksanaan urusan pemerintahan di bidang hukum dan hak asasi manusia;
2. pembinaan dan koordinasi pelaksanaan tugas serta pelayanan administrasi kementerian;
3. pelaksanaan penelitian dan pengembangan terapan, pendidikan dan pelatihan tertentu serta
penyusunan peraturan perundang undangan yang menjadi kewenangannya sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dalam rangka mendukung kebijakan
di bidang hukum dan hak asasi manusia
4. pelaksanaan pengawasan fungsional.
Struktur Organisasi
1. Sekretariat Jenderal
2. Inspektorat Jenderal
3. Direktorat Jenderal Imigrasi
4. Direktorat Jenderal Pemasyarakatan
5. Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan
6. Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual
7. Direktorat Jenderal Perlindungan Hak Asasi Manusia
8. Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum
9. Badan Penelitian dan Pengembangan Hak Asasi Manusia
10. Badan Pembinaan Hukum Nasional
11. Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Hukum dan HAM
Kantor Wilayah
Kantor wilayah (kanwil) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia merupakan instansi
vertikal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia yang berkedudukan di setiap provinsi,
yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Kanwil terdiri atas beberapa divisi serta sejumlah Unit Pelaksana Teknis (UPT), termasuk
Kantor Imigrasi, Lembaga Pemasyarakatan (Lapas), Lapas Terbuka, Lapas Narkotika, Rumah
Tahanan Negara (Rutan), Cabang Rutan, Rumah Penyimpanan Benda Sitaan Negara (Rupbasan),
Balai Pemasyarakatan (Bapas), Balai Harta Peninggalan (BHP), serta Rumah Detensi Imigrasi
(Rudenim)
Q. Contoh Bukti Hierarkis Peraturan Perundang undangan
Undang-undang
TAHUN 2008
 Undang-Undang No. 11 Tahun 2008
Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
 Undang-Undang No. 13 Tahun 2008
Tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji
 Undang-Undang No. 14 Tahun 2008
Tentang Keterbukaan Informasi Publik
 Undang-Undang No. 21 Tahun 2008
Tentang Perbankan Syariah
 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008
Tentang Pornografi
TAHUN 2006
 Undang-Undang No. 5 Tahun 2006 Tentang Pengesahan International Convention for
The Suppression of Terrorist Bommbing, 1997 (Konvensi Internasional Pemberantasan
Pengeboman oleh Teroris, 1997)
 Undang-Undang No. 6 Tahun 2006 Tentang Pengesahan International Convention for
The Suppression of The Financing of Terrorism, 1999 (Konvensi Internasional
Pemberantasan Pendanaan Teroris, 1999)
 Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 Tentang Pengesahan United Nation Convention
Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003)
 Undang-Undang No. 36 Tahun 2006 Tentang Tata Cara Pengendalian dan Evaluasi
Pelaksanaan Rencana Pembangunan
TAHUN 2004
 Undang-Undang No. 1 Tahun 2004
Tentang Perbendaharaan Negara
 Undang-Undang No. 3 Tahun 2004
Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah
 Undang-Undang No. 15 Tahun 2004
Tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
 Undang-Undang No. 25 Tahun 2004
Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional
 Undang-Undang No. 41 Tahun 2004
Tentang Wakaf
TAHUN 2003
 Undang-Undang No. 15 Tahun 2003
Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 1 Tahun
2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang
 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003
Tentang Keuangan Negara
 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003
Tentang Sistem Pendidikan Nasional
TAHUN 2002
 Undang-Undang No. 30 Tahun 2002
Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
TAHUN 2001
 Undang-Undang No. 18 Tahun 2001
Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi
Nanggroe Aceh Darussalam
 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001
Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Thn 1999 Tentang Tindak Pidana Korupsi
TAHUN SEBELUMNYA
 Undang-Undang No. 22 Tahun 1999
Tentang Pemerintahan Daerah
 Undang-Undang No. 28 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas
 Undang-Undang No. 38 Tahun 1999
Tentang Zakat
 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
Tentang Perkawinan
 Undang-Undang No. 22 Tahun 1946
Tentang Pencatatan Nikah, Nikah, Talak dan Rujuk
 Undang-Undang No. 1/PNPS Tahun 1965
Tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama
Peraturan Pemerintah
TAHUN 2010
 Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 2010
Tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil
TAHUN 2009
 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 13 Tahun 2008bTentang Penyelenggaraan Haji
 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan
Atas Undang-Undang No. 9 Tahun 1992 Tentang Keimigrasian
TAHUN 2008
 Peraturan Pemerintah No. 14 Tahun 2008
Tentang Penetapan Pesiun Pokok Pensiunan Pegawai Negeri Sipil dan Janda/Dudanya
 Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 2008
Tentang Wajib Belajar
 Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 2008
Tentang Pendanaan Pendidikan
 Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2008
Tentang Perubahan Kedua Atas
 Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1979
Tentang Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil
TAHUN 2007
 Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007
 Tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan

TAHUN 2006
 Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 2006
 Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah Peraturan Pemerintah No. 42
Tahun 2006 Tentang Pelaksanaan UU No. 41 Tahun 2006 tentang Wakaf
TAHUN 2005
 Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005
Tentang Standar Nasional Pendidikan
TAHUN 2004
 Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2004
Tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga
 Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2004
Tentang Larangan Pegawai Negeri Sipil Menjadi Anggota Partai Politik
TAHUN 2003
 Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2003
Tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 97 tahun 2000 tentang Formasi
Pegawai Negeri Sipil
Keputusan Presiden
TAHUN 2005
 Keputusan Presiden No. 5 Tahun 2005
Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi
 Keputusan Presiden Nomor 11 Tahun 2005
Tentang Tim Koordinasi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
TAHUN 2004
 Keputusan Presiden No. 2 Tahun 2004
Tentang Pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Malikussaleh Lhokseumawe
 Keputusan Presiden Nomor 27 Tahun 2004
Tentang Pendirian Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Palangkaraya dan Sekolah
Tinggi Agama Kristen Negeri Toraja
 Keputusan Presiden No. 49 Tahun 2004
Tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah haji 2005
 Keputusan Presiden No. 50 Tahun 2004
Tentang Perubahan Institut Agama Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Menjadi
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Sekolah Tinggi Agama Islam
Negeri Malang menjadi Universitas Islam Negeri Malang
 Keputusan Presiden No. 93 Tahun 2004
Tentang Pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Syaikh Abdurrahman Siddik
Bangka Belitung
TAHUN 2003
 Keputusan Presiden No. 4 Tahun 2003
Tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Widyaiswara
 Keputusan Presiden No. 45 2003
Biaya penyelenggaraan Ibadah haji 2004
 Keputusan Presiden No. 86 Tahun 2003
Tentang Tunjangan Fungsional Pustakawan 2004
TAHUN 2002
 Keputusan Presiden No. 31 Tahun 2002
Tentang Perubahan Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Menjadi
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
TAHUN 2001
 Keputusan Presiden No. 8 Tahun 2001
Tentang Badan Amil Zakat Nasional
Peraturan Presiden
TAHUN 2010
 Presiden No. 54 Tahun 2010 Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Peraturan
 Presiden No. 5 Tahun 2010
Tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJM) 2010-2014
TAHUN 2009
 Peraturan Presiden No. 47 Tahun 2009
Tentang Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara
TAHUN 2008
 Presiden No. 4 Tahun 2008
Tentang Pengelola Dana Abadi Umat
TAHUN 2007
 Peraturan Presiden No. 81 Tahun 2007
Tentang Pendirian Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Manado
TAHUN 2006
 Peraturan Presiden No. 78 Tahun 2006
Tentang Pendirian Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Sorong
 Peraturan Presiden No. 85 Tahun 2006
Tentang Perubahan Keenam Atas Keputusan Presiden No 80 Th 2003 Tentang Pedoman
Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintahan
 Peraturan Presiden No. 111 Tahun 2006
 Tentang Perubahan Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Ambon menjadi Institut Agama
Islam Negeri Ambon
TAHUN 2005
 Peraturan Presiden No. 2 Tahun 2005
Tentang Perubahan Institut Agama Islam Negeri Sultan Syarif Qasim Pekanbaru menjadi
Unversitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau
 Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2005
Kedudukan, Tugas, Fungsi dan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Negara
Republik Indonesia
 Peraturan Presiden No. 57 Tahun 2005
Tentang Perubahan Institut Agama Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung menjadi
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung dan Institut Agama Islam Negeri
Alauddin Makassar menjadi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar
 Peraturan Presiden No. 76 Tahun 2005
Tentang Pendirian Sekolah Tinggi Agama Buddha Negeri Sriwijaya Tangerang Banten
Instruksi Presiden
TAHUN 2004
 Inpres Nomor 5 Tahun 2004
Tentang Percepatan Pemberantasan Korupsi

TAHUN 1983
 Inpres Nomor 15 Tahun 1983
Tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan
Keputusan Menteri Agama
 KMA 94 Tahun 2010"
Tentang Penentuan 1 Ramadhan 1431H/2010
KEPUTUSAN MENTERI AGAMA
 KMA 1 Tahun 2010"
Tentang Perubahan Departemen Menjadi Kementerian
 KMA 139 Tahun 2009"
Tentang Penetapan Tanggal 1 Syawal 1430H
 KMA No. 59 Tahun 2007
Tentang Penyetoran dan Pengembalian Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus
Tahun 1428H/2007M
 KMA No. 81 Tahun 2007
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Melekat di Lingkungan Departemen Agama
 KMA No. 9 Tahun 2004
Tentang Penetapan tanggal 10 Dzulhijjah 1424H
 KMA No. 554 Tahun 2003
Tentang Petunjuk Pelaksanaan Prosedur Tetap Pelayanan di Bidang Fasilitatif di
Lingkungan Departemen Agama
 KMA No. 518 Tahun 2001
Tentang Pedoman dan Tata Cara Pemeriksanaan dan Penetapan Pangan Halal
KEPUTUSAN DIRJEN
 Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji No.D/ 277 Tahun 2005
Tentang Petunjuk Teknis Perbekalan Haji
Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji Nomor D/163 Tahun 2004
 Tentang Sistem Pendaftaran Haji
Instruksi Menteri Agama
 Instruksi Menag No. 1 Tahun 2007
Tentang Peningkatan Koordinasi Lintas Sektoral
 Instruksi Menteri Agama No. 3 Tahun 1981
Tentang Pembinaan Kerukunan Hidup Umat Beragama
Peraturan Lintas Departemen
PERATURAN BERSAMA
 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No.
2 dan M.HH-02 HM.03.02 Tahun 2009
Tentang Penerbitan Paspos Bagi Jemaah Haji + SKB tentang Hari Libur Nasional dan
Cuti Bersama Tahun 2009
 SKB tentang Ahmadiyah
 SKB Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 1 Tahun 1979
Tentang Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri
 Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9 dan 8 Tahun
2006.
Tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah Dalam
Pemeliharaan Kerukunan Umat Beragama, Pemberdayaan Forum Kerukunan Umat
Beragama, Dan Pendirian Rumah Ibadat.
DEPARTEMEN KEUANGAN
 Peratuan Menteri Keuangan Nomor 141/PMK.02/2010 Tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Keuangan No. 123/ PMK.02/2010 Tentang Standard Biaya Khusus
Tahun Anggaran 2011
 Peratuan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.02/2010
Tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran
Kementerian Negara/Lembaga Tahun Anggaran 2011
 Peratuan Menteri Keuangan Nomor 81/PMK0.2/20A7
Tentang Standar Biaya Tahun Anggaran 2008
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL
 Peratuan Menteri Pendidikan Nasional RI No. 13 Tahun 2007 Tentang Standar
Kepala Sekolah/Madrasah
KEMENTRIAN NEGARA PENDAYAGUNAAN APARATUR NEGARA
 Kepmen PAN Nomor KEP/135/M.PAN/9/2004 Tentang Pedoman Umum Evaluasi
Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah
 Kepmen PAN Nomor 25/KEP/M.PAN/4/2002
Tentang Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara.
SOAL BAB 1
1. Apa yang dimaksud dengan Pengantar Ilmu Hukum ?
Jawab : Pengantar ilmu hukum adalah pengetahuan yang menelaah hukum secara umum,
mencakup hal-hal yang berhubungan dengan hukum yang objeknya hukjm itu sendiri
2. Jelaskan tujuan Pengantar Ilmu Hukum !
Jawab : Tujuan pengantar ilmu hukum adalah menjelaskan keadaan,inti,maksud, dan tujuan
dari bagian-bagian penting dalam hukum, serta hubungan integritas antar-berbagai bagian
tersebut dengan ilmu hukum.
3. Jelaskan pengertian hukum secara etimologis !
Jawab : kata hukum secara etimologis berasal dari kata "law" (Inggris),"recht" (elanda), "loi
atau droit" ( Prancis ), "ius" (Latin), " derecto"(Spanyol), "dirrito" ( Italia ). Dalam bahasa
Indonesia, kata hukum diambil dari bahasa Arab, yaitu "hakama yahkumu hukman", yang
berarti memutuskan suatu perkara.
4. Apa saja unsur-unsur dalam Hukum?
Jawab: unsur-unsur yang terdapat dalam hukum meliputi hal-hal berikut :
1) Peraturan mengenai tingkah laku manusia dalam pergaulan masyarakat;
2) Peraturan itu diadakan oleh badan-badan resmi yang berwajib;
3) Peraturan itu bersifat memaksa;
4) Sanksi yang tegas terhadap pelanggaran.
5. Apa perbedaan antara Ilmu dan Pengetahuan ?
Jawab : ilmu merupakan sekumpulan pengetahuan yang telah diuji kebenarannya, sedangkan
pengetahuan adalah sesuatu yang diketahui oleh setiap orang yang dapat bersumber dari
pengalaman,ide ataupun intuisi, tetapi belum diuji validitasnya.

Anda mungkin juga menyukai