GASTRORETENTIVE MUCOADHESIVE
(TABLET SWELLING, TABLET FLOATING, TABLET BUCAL)
Dosen Pengampu :
Ritha Widyapratiwi, S.Si., MARS., Apt
FAKULTAS FARMASI
INSTITUT SAINS DAN TEKNOLOGI NASIONAL
JAKARTA
2021
0
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, Puj
i syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rah
mat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah Biofarmasi yang
berjudul “Gastroretentive Mucoadhesive (Tablet Swelling, Tablet Floating, Tablet Bu
cal)”.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ritha Widya
pratiwi, S.Si., MARS., Apt selaku dosen pembimbing mata kuliah Biofarmasi. Kami
ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dise
lesaikannya makalah ini. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Bi
ofarmasi. Kami sangat berharap semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan d
an pengalaman bagi pembaca.
Kami menyadari makalah ini masih jauh dari sempurna. Oleh sebab itu, saran d
an kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar …………………………………………………………… 1
Daftar Isi …………………………………………………………… 2
Bab I Pendahuluan …………………………………………………………… 3
1.1 Latar Belakang …………………………………………………………… 3
1.2 Rumusan Masalah…………………………………………………………… 4
1.3 Tujuan …………………………………………………………… 4
Bab II Tinjauan Pustaka …………………………………………………… 5
2.1 Anatomi Fisiologi Saluran Cerna Pada Manusia …………………………… 5
2.2 Pengertian Gastroretentive Drug Delivery System (GRDDS) …………… 9
2.3 Mukoadhesive …………………………………………………………… 10
2.4 Swelling System …………………………………………………………… 12
2.5 Floating System …………………………………………………………… 15
2.6 Tablet Bukal …………………………………………………………… 16
2.7 Mekanisme Mukoadhesive …………………………………………… 19
2.8 Polimer Mukoadhesive …………………………………………………… 21
2.9 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mukoadhesive …………………… 22
2.10 Kelebihan dan Kekurangan Mukoadhesive …………………………… 22
2.11 Evaluasi pada Sediaan Gastroretentive Mukoadhesive …………… 23
Bab III Pembahasan …………………………………………………… 24
3.1 Anatomi dan Fisiologi Saluran Cerna pada Manusia …………………… 24
3.2 Anatomi Fisiologi Sistem Pembuluh Darah …………………………… 25
3.3 Pelepasan Obat pada Sediaan Gastroretentive Mucoadhesive …………… 27
3.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mukoadhesive …………………… 28
3.5 Evaluasi pada Sediaan Gastroretentive Mukoadhesive …………………… 30
3.6 Mekanisme Biofarmasi Swelling System …………………………………… 31
3.7 Formulasi Sediaan Floating Drug Delivery System …………………… 31
3.8 Faktor-faktor yang mempengaruhi Floating Sistem …………………… 32
3.9 Faktor-faktor yang mempengaruhi sediaan tablet bukal …………………… 33
Bab IV Penutup …………………………………………………………… 35
Daftar Pustaka …………………………………………………………… 37
2
BAB I
PENDAHULUAN
Salah satu sediaan dengan pelepasan obat yang dimodifikasi adalah sediaan
dengan pelepasan diperlambat. Banyak metode yang dapat digunakan untuk mem
buat sediaan lepas lambat, salah satunya adalah sediaan yang dirancang untuk tet
ap tinggal di dalam lambung. Beberapa sistem yang telah dikembangkan agar wa
ktu obat lebih lama tinggal di lambung antara lain mukoaedhesif (Mucoadhesif D
rug Delivery System (Tangri,2011).
Efektivitas sediaan oral sangat tergantung dari berbagai faktor seperti waktu p
engosongan lambung, lamanya tinggal sediaan di lambung, pelepasan obat dari se
diaan dan lokasi absorpsi obat. Sebagian besar bentuk sediaan oral memiliki beber
apa keterbatasan fisiologis seperti berubah-ubahnya waktu transit di lambung men
jadikan tidak seragamnya profil absorpsi, tidak sempurnanya pelepasan obat dari s
ediaan, dan singkatnya waktu tinggal sediaan di lambung.
Drug Delivery system (DDS) didefinisikan sebagai formulasi atau alat yang d
apat menghantarkan agent terapeutik ke dalam tubuh dan meningkatkan efikasi da
n keamanannya dengan mengontrol pelepasan, waktu, dan tempat lepas obat dala
m badan. Proses penghantaran meliputi cara penggunaan produk terapi, pelepasan
zat aktif dari produk, dan transport yang terlibat dalam menghantarkan zat aktif un
tuk menembus membran biologi menuju tempat aksi. Banyak metode yang dapat
digunakan untuk membuat sediaan lepas terkendali, salah satunya adalah sediaan
yang dirancang untuk tetap tinggal di lambung. Bentuk sediaan yang dapat diperta
hankan di dalam lambung disebut Gastroretentive Drug Delivery System (GRDD
S).GRDDS dapat memperbaiki pengontrolan penghantaran obat yang memiliki je
ndela terapeutik sempit, dan absorbsinya baik di lambung.
3
arena suplai darah besar dan laju aliran darah baik, terjadi peningkatan kepatuhan
pada pasien dalam mengkonsumsi obat karena bentuk sediaannya dapat diterima
dengan baik oleh pasien, meningkatkan efikasi obat, mengurangi efek samping, ja
rak pemberian dosis lebih panjang, maka kebutuhan tidur penderita tidak tergang
gu dan tentu saja berimbas pada pencapaian kualitas hidup pasien yang lebih baik.
Maka dari itu, banyak pengembangan mengenai sediaan lepas lambat oral denga
n sistem mukoadhesif untuk meningkatkan ketersediaan hayati obat.
1.3 Tujuan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
2.1 Anatomi Fisiologi Saluran Cerna pada Manusia
Sistem pencernaan atau sistem gastroinstestinal (mulai dari mulut samp
ai anus) adalah sistem organ dalam manusia yang berfungsi untuk menerima
makanan, mencernanya menjadizat-zat gizi dan energi, menyerap zat-zat gizi
ke dalam aliran darah serta membuang bagianmakanan yang tidak dapat dicer
na atau merupakan sisa proses tersebut dari tubuh.Saluran pencernaan terdiri
dari mulut, tenggorokan (faring), kerongkongan, lambung,usus halus, usus be
sar, rektum dan anus. Sistem pencernaan juga meliputi organ-organ yangterle
tak diluar saluran pencernaan,yaitu pankreas, hati dan kandung empedu.
2.1.1 Mulut
Suatu rongga terbuka tempat masuknya makanan dan air pada hewan.
Mulut biasanya terletak di kepala dan umumnya merupakan bagian awal
dari sistem pencernaan lengkap yang berakhir di anus. Mulut terdiri dari g
igi dan lidah.
2.1.2 Tenggorokan (Faring)
Merupakan penghubung antara rongga mulut dan kerongkongan. Di
Dalam lengkung faring terdapat tonsil ( amandel ) yaitu kelenjar limfe yan
g banyak mengandung kelenjar limfosit dan merupakan pertahanan terhada
p infeksi, disini terletak bersimpangan antara jalan napas dan jalan makan
an, letaknya dibelakang rongga mulut dan rongga hidung, didepan ruas tul
ang belakang. 2.1.3 Kerongkongan (Esofagus)
Kerongkongan adalah tabung (tube) berotot pada vertebrata yang dil
alui sewaktu makanan mengalir dari bagian mulut ke dalam lambung. Ma
kanan berjalan melalui esofagus dengan menggunakan proses peristaltik.
5
2.1.4 Lambung
Lambung merupakan organ yang berbentuk kantong seperti huruf ‘J’, d
engan volume 1200-1500 ml pada saat berdilatasi. Pada bagian superior, lamb
ung berbatasan dengan bagian distal esofagus, sedangkan pada bagian inferior
berbatasan dengan duodenum. Lambung terletak pada daerah epigastrium dan
meluas ke hipokondrium kiri. Kecembungan lambung yang meluas ke gastroes
ofageal junction disebut kurvatura mayor. Kelengkungan lambung bagian kana
n disebut kurvatura minor, dengan ukuran ¼ dari panjang kurvatura mayor. Se
luruh organ lambung terdapat di dalam rongga peritoneum dan ditutupi oleh o
mentum.
7
⮚ Tahap IV: Ini berlangsung selama 0-5 menit. Ini terjadi antara fase III dan t
ahap I dari dua siklus berturut-turut.
Usus halus atau usus kecil adalah bagian dari saluran pencernaan yan
g terletak di antara lambung dan usus besar. Dinding usus kaya akan pemb
uluh darah yang mengangkut zat-zat yang diserap ke hati melalui vena por
ta. Dinding usus melepaskan lendir (yang melumasi isi usus) dan air (yang
membantu melarutkan pecahan-pecahan makanan yang dicerna). Lapisan
usus halus ; lapisan mukosa ( sebelah dalam ), lapisan otot melingkar ( M
sirkuler ), lapisan otot memanjang ( M Longitidinal ) dan lapisan serosa (
Sebelah Luar )Usus halus terdiri dari tiga bagian yaitu usus dua belas jari
(duodenum), usus kosong (jejunum), dan usus penyerapan (ileum).
2.1.6 Usus Besar
Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus
buntu dan rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses.
Usus besar terdiri dari : Kolon asendens (kanan); Kolon transversum; Kol
on desendens (kiri); Kolon sigmoid (berhubungan dengan rektum)
2.1.7 Usus Buntu
Usus buntu atau sekum (Bahasa Latin:caecus, "buta") dalam istilah a
natomi adalah suatu kantung yang terhubung pada usus penyerapan serta b
agian kolon menanjak dari usus besar.
2.1.8 Rektum dan Anus
Rektum adalah sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar
(setelah kolon sigmoid) dan berakhir di anus. Organ ini berfungsi sebagai t
empat penyimpanan sementara feses.
Anus merupakan lubang di ujung saluran pencernaan, dimana bahan
limbah keluar dari tubuh. Sebagian anus terbentuk dari permukaan tubuh
(kulit) dan sebagian lannya dari usus. Pembukaan dan penutupan anus diat
ur oleh otot sphinkter. Feses dibuang dari tubuh melalui proses defekasi,
2.1.9 Pankreas
Pankreas adalah organ pada sistem pencernaan yang memiliki dua f
ungsi utama yaitu menghasilkan enzim pencernaan serta beberapahormon
penting seperti insulin. Pankreas terletak pada bagian posterior perut dan b
8
erhubungan erat dengan duodenum (usus dua belas jari).
9
1. Bentuk: GRT lebih baik dimiliki oleh perangkat berbentuk tetrahedron d
an berbentuk cincin.
2. Bentuk sediaan tunggal atau multi-unit: bentuk sediaan multi-unit menu
njukkan efek yang lebih baik dibandingkan bentuk sediaan unit tunggal.
3. Kandungan kalori: makan yang banyak bertanggung jawab terhadap pe
ningkatan GRT.
4. Usia: orang yang lebih tua memiliki GRT lebih panjang secara sign
ifikan
5. Postur: GRT dapat bervariasi antara posisi pasien tegak dan terlenta
ng.
2.3 Mukoadhesive
Menurut Ahuja et al (1997) dan Lenearts et al (1990), mukoadhesif adal
ah suatu interaksi antara permukaan mucus dengan polimer sintetis atau alam
i. Sediaan mukoadhesif dirancang untuk melekat pada lapisan mukosa. Bentu
k sediaan mukoadhesif dapat memperpanjang waktu tinggal dan waktu konta
k obat di tempat aplikasinya atau absorpsinya sehingga dapat meningkatkan b
ioavailabilitas obat (Chowdary dan Rao, 2003). Dengan diperpanjangnya wa
ktu absorpsi obat dalam lambung diharapkan efek terapeutik dari obat tersebu
t juga meningkat dan meminimalkan resiko efek samping akibat frekuensi pe
mberian yang terlalu sering. Frekuensi pemberian yang terlalu sering dikaren
akan waktu tinggal obat yang singkat dalam saluran cerna. Konsep dasar dari
sistem mukoadhesif ini adalah mekanisme perlindungan gastrointestinal (Sul
aiman, 2007).
Sistem penghantaran obat secara mukoadesif adalah sistem penghantar
an obat dengan menggunakan bahan polimer yang memiliki sifat mukoadesif
setelah terjadinya proses hidrasi yaitu mengikat lebih lama pada cairan muko
sa, sehingga dapat digunakan untuk menghantarkan obat pada target sitenya
dalam waktu yang lebih lama. Rute pemberian obat dengan sistem penghanta
ran secara mukoadesif adalah oral, bukal, vaginal, nasal dan ocular. Sistem p
enghantaran obat dibuat dengan memasukkan bahan yang memiliki sifat adhe
si ke dalam formula sediaan, sehingga dapat tinggal di tempat yang dekat den
gan jaringan tempat terjadinya absorpsi obat, pelepasan obat dekat dengan te
mpat kerja , untuk meningkatkan bioavailabilitasnya dan meningkatkan aksi l
ocal atau efek sistemik.
10
Potensi yang digunakan pada pembawa (carrier) sediaan mukoadhesif
terletak pada kemampuan berkontak secara intensif dengan barrier epitel sehi
ngga memperpanjang waktu tinggalnya di tempat terjadinya absorpsi, efektifi
tas obat pada penggunaan mukoadhesif oral dapat dicapai dengan baik melal
ui peningkatan lama waktu tinggal obat di saluran cerna. Walaupun demikian
ada beberapa masalah yang membatasi penggunaan sistem pemberian ini. Per
masalahannya adalah absorpsi obat di saluran cerna dipengaruhi oleh factor.
Fisiologis lambung dan usus, faktor sifat fisikokimia lingkungan usus kecil s
erta luas permukaan lokasi terjadinya absorpsi.
Masalah fisiologis yang dihadapi pada sistem penghantaran mukoadhes
if di lambung adalah :
1. Mobilitas lambung yang kuat pada fase III, akan menjadi satu gaya yang d
apat melepaskan adhesive.
2. Kecepatan penggantian musin merupakan hal yang penting, baik pada kea
dan lambung kosong maupun penuh. Adhesive akan merekat pada mukus
selama mukus ada dan jika mukus lepas dari membrane , polimer tidak mu
ngkin nempel jika tempat terikatnya tertutup.
3. Ph lambung normal 1,5-3 tidak sesuai untuk bioadhesi.
Proses yang terlibat pada pembentukan ikatan mukoadesif dapat didesk
ripsikan dalam tiga tahap :
1. Wetting dan swelling dari polimer untuk membentuk pelekatan dengan ja
ringan biologi
2. Interpenetrasi dari rantai polimer mukoadesif dan belitan dari polimer da
n rantai mucus
3. Pembentukan ikatan kimia yang lemah antara belitan rantai
Swelling tablet adalah tablet lepas lambat yang tidak rusak oleh asam l
ambung dan diharapkan larut dalam usus. Sediaan ini juga disebut tablet ent
erik. Bahan penyalut enterik diperlukan apabila zat aktif dapat rusak atau tid
ak aktif karena cairan lambung atau dapat mengiritasi mukosa lambung. Tuj
uan pembuatan sediaan ini adalah untuk menunda pelepasan zat aktif sampai
tablet melewati lambung.
Swelling drug delivery system merupakan sistem yang membuat obat t
ertahan di lambung untuk waktu yang lama sehingga dapat meningkatkan bi
oavailabilitasnya. Selain itu, juga meminimalkan iritasi mukosa lambung kar
ena obat dilepaskan secara perlahan-lahan dan terkontrol. Salah satu kunci a
11
gar sediaan dapat bertahan didalam lambung adalah sediaan tersebut harus
mampu menahan gerak peristaltik serta grinding dan churning mechanisme
dalam lambung.
Swelling adalah suatu polimer kontak dengan air, maka terjadi penyer
apan air yang menyebabkan polimer dapat mengembang, sehingga obat yan
g terdispersi di dalam polimer akan berdifusi keluar. Akibatnya, pelepasan o
bat bergantung pada dua proses kecepatan yang simultan yaitu antara proses
berdifusinya air ke dalam polimer dan peregangan rantai polimer, sehingga
dapat bertahan didalam lambung dalam waktu lebih lama.
Karakteristik Sediaan Lepas Lambat Swelling
1. Cepat mengembang ketika kontak dengan cairan lambung
2. Ukuran diameter tablet yang mengembang 12-18mm (lebih besar dari u
kuran pyorus)
3. Memiliki absorbsi dan ekskresi yang lambat dan tidak memiliki waktu p
aruh terlalu cepat
4. Dapat diabsorbsi dengan baik pada jalur gastrointestinal, memiliki kelar
utan yang baik , tidak boleh terlalu larut dan terlalu tidak larut
5. Memiliki dosis terapi yang relatif kecil atau harus lebih kecil dari 0,5 gr
am
6. Memiliki indeks terapi yang luas antara dosis efektif dan dosis toksik, s
ehingga obat dapat dikategorikan aman dan tidak menimbulkan dose du
mping, yaitu lepasnya sejumlah besar obat dalam sediaan secara serenta
k
7. Digunakan lebih baik untuk pengobatan penyakit kronik daripada penya
kit akut.
12
Perusahaan-perusahaan farmasi selain memberi warna, juga sering me
mberi tanda-tanda yang unik pada tablet untuk membantu pengenalan
produknya dengan cepat.
4. Sifat organoleptis
Banyak tablet memakai warna sebagai alat vital untuk cepat dikenal se
rta diterima konsumen.
5. Kekerasan dan kerenyahan
Tablet harus mempunyai kekuatan atau kekerasan tertentu serta bahan
atas kerenyahan agar dapat bertahan terhadap berbagai guncangan me
kanik pada saat pembuatan, pengepakan, dan pengapalan.
6. Kandungan obat dan pelepasannya
Seperti telah dijelaskan sebelumnya, sebuah tablet yang kuat secara fis
ik dapat saja tidak memberikan efek yang diharapkan.
7. Variasi berat
Pada tablet yang didesain mengandung sejumlah obat di dalam sejuml
ah formula, berat tablet yang dibuat harus secara rutin diukur untuk m
embantu memastikan bahwa setiap tablet mengandung sejumlah obat
yang tepat.
8. Disintegrasi
Pendapat yang secara umum diterima mengatakan bahwa obat harus b
erada dalam bentuk larutan agar segera siap diabsorpsi (terdapat dalam
tubuh).
9. Disolusi
Pemikiran awal dilakukannya uji hancurnya tablet didasarkan pada ke
nyataan bahwa tablet itu pecah menjadi partikel-partikel kecil sehingg
a daerah permukaan media pelarut menjadi lebih luas, dan akan berhu
bungan dengan tersedianya obat di dalam cairan tubuh
13
1. Meningkatkan stabilitas obat
2. Menutupi rasa obat yang tidak enak
3. Menghindari penguapan zat atau bahan dalam tablet
4. Memperbaiki penampilan tablet
5. Merupakan identifikasi dari produk pabrik obat tertentu
Keuntungan swelling
1. Memastikan keamanan dan memperbaiki daya kerja (efikasi) zat aktif s
erta meningkatkan kepatuhan pasien
2. Memperbesar jarak waktu pendosisan yang diperlukan atau dipersyaratk
an
3. Mengurangi fluktuasi kosentrasi zat aktif dalam darah disekitar rata-rata
4. Mengurangi iritasi saluran cerna dan efek samping lain berkaitan denga
n dosis
5. Menghasilkan efek yang lebih seragam
Kekurangan swelling
1. Sediaan lepas lambat yang cenderung tetap utuh dapat tersangkut pada s
uatu tempat di sepanjang saluran cerna
2. Sediaan lepas lambat dosis tunggal biasanya mengandung jumlah total z
at aktif lebih besar dari pada kandungan zat aktif sediaan yang biasa dib
erikan dalam bentuk konvesional dosis tunggal
3. Mengandung dosis yang ekuivalen dengan dua kali atau lebih dosis yan
g terkandung didalam sediaan yang diberikan dalam bentuk sediaan kon
vensional
4. Harga per unit sediaan lepas lambat lebih mahal dari pada sedian bentuk
konvensional yang mengandung zat aktif sama
Sistem ini pertama kali diperkenalkan oleh Davis pada tahun 1968, mer
upakan suatu sistem dengan densitas yang kecil, memiliki kemampuan men
gambang kemudian mengapung dan tinggal di dalam lambung, obat dilepas
kan perlahan pada kecepatan yang dapat ditentukan. Hasil yang diperoleh ad
alah peningkatan GRT dan pengurangan fluktuasi konsentrasi obat di dalam
plasma (Chawla, et.al).
Sistem mengapung pada lambung berisi obat yang pelepasannya perlah
an-lahan dari sediaan yang memiliki densitas yang rendah/Floating Drug De
livery System (FDDS) juga biasa disebut Hydrodynamically Balanced Syste
m (HBS). FDDS/ HBS memiliki densitas bulk yang lebih rendah daripada c
airan lambung. FDDS tetap mengapung di dalam lambung tanpa mempenga
ruhi motilitas dan keadaan dari lambung. Sehingga obat dapat dilepaskan pa
da kecepatan yang diinginkan dari suatu system.
14
Bentuk floating system banyak diformulasi dengan menggunakan matri
ks matriks hidrofilik dan dikenal dengan sebutan hydrodynamically balance
d system (HBS), karena saat polimer berhidrasi intensitasnya menurun akiba
t matriknya mengembang, dan dapat menjadi gel penghalang di permukaan l
uar. Bentuk-bentuk ini diharapkan tetap dalam keadaan mengapung selama t
iga atau empat jam dalam lambung tanpa dipengaruhi oleh laju pengosongan
lambung karena densitasnya lebih rendah dari kandungan gastrik. Hidrokolo
id yang direkomendasikan untuk formulasi bentuk floating adalah cellulose
ether polymer, khususnya hydroxypropyl methylcellulose (Moes, 2003).
Isi lambung minimal diperlukan untuk mencapai prinsip retensi pengap
ungan,
tingkat minimal gaya apung (F) juga dibutuhkan untuk menjaga bentuk sedi
aan
mengapung pada permukaan makanan.
Formulasi bentuk sediaan ini harus memenuhi kriteria sebagai berikut :
1. Harus memiliki struktur yang cukup untuk membentuk sebuah penghala
ng gel kohesif.
2. Harus menjaga berat jenis keseluruhan lebih rendah dari isi lambung
(1,004-1,010).
3. Harus larut perlahan sehingga sesuai sebagai reservoir obat.
15
RDDS karena pengosongan lambung yang lambat dapat menyebabkan pen
urunan bioavailabilitas sistemik.
5. Beberapa obat dapat menyebabkan iritasi mukosa lambung
Tablet bukal dirancang secara khusus dan akan melarut perlahan dan d
iserap melalui pembuluh darah yang banyak terdapat di area tersebut. Tujuanny
a antara lain untuk menjaga obat tetap berkhasiat (untuk beberapa obat yang da
pat rusak oleh asam lambung), mempercepat efek kerja obat, atau pasien kesuli
tan menelan. Tablet bukal yang ditelan utuh seperti tablet biasa akan kehilanga
n khasiatnya sehingga tujuan pengobatan tidak tercapai.
Biasanya keras dan berisi hormon. Bekerja sistemik, tererosi atau terdi
solusi di tempat tersebut dalam waktu yang lama (secara perlahan).Tablet buka
l umumnya berbentuk kecil, pipih, dan oval yang dimaksudkan untuk pemberia
n pada daerah bukal yang melarut atau tererosi perlahan, oleh karena itu, difor
mulasi dan dikompresi dengan tekanan yang cukup untuk menghasilkan tablet
yang keras.
1. Minum atau berkumurlah dengan sedikit air untuk melembabkan jika mul
ut kering. Cucilah tangan sampai bersih sebelum memegang tablet.
16
2. Letakkan tablet di antara pipi dan gusi seperti pada gambar.
3. Tutuplah mulut dan jangan menelan sampai tablet larut seluruhnya.
4. Jangan makan, minum atau merokok selama proses pelarutan tablet.
5. Jangan berkumur atau mencuci mulut selama beberapa menit setelah tabl
et larut dengan sempurna.
6. Gunakan obat pada jarak waktu yang sama dalam sehari
Pada umumnya tablet sangat baik disimpan dalam wadah yang tertutup rapat di
tempat dengan kelembaban nisbi yang rendah, serta terlindung dari temperatur
tinggi. Tablet khusus yang cenderung hancur bila kena lembab dapat disertai
pengering dalam kemasannya. Tablet yang dirusak oleh cahaya disimpan dalam
wadah yang dapat menahan masuknya cahaya (Ansel dalam Lely Saula, 2012)
Peringatan :
18
2.7 Mekanisme Mukoadhesive
Prinsip penghantaran obat dengan sistem mukoadhesif adalah memperp
anjang waktu tinggal obat pada organ tubuh yang mempunyai lapisan mukos
a. Sistem mukoadhesif akan dapat meningkatkan kontak yang lebih baik anta
ra sediaan dengan jaringan tempat terjadinya absorpsi sehingga konsentrasi o
bat terabsorpsi lebih banyak dan diharapkan akan terjadi aliran obat yang ting
gi melalui jaringan tersebut. Adapun secara keseluruhan mekanisme kerja dar
i polimer mukoadhesif adalah sebagai berikut:
1. Terjadi kontak antara polimer dengan permukaan mukosa yang disebabkan
karena adanya pembasahan yang baik ataupun karena swelling pada polim
er.
2. Setelah berkontak, terjadi penetrasi dari rantai polimer kedalam permu
kaan jaringan atau interpenetrasi rantai polimer dan mukosa.
3. Terbentuklah ikatan kimia antara rantai polimer dengan molekul musi
n, yang mempertahankan pelekatan polimer ke mukosa.
Ada 7 teori tentang mucoadhesion :
1. Teori elektronik
Adanya perpindahan elektron diantara permukaan karena adanya perbedaan
struktur elektrik yang dihasilkan antara kedua lapisan elektrik sehingga men
imbulkan gaya tarik.
2. Teori Adsoprsi
Setelah kontak awal bahan adheren ke permukaan karena kekuatan aksi ant
ara atom di kedua permukaan lapisan, menghasilkan pembentukan ikatan ya
ng terkait dengan keberadaan kekuatan intermolekuler, seperti ikatan hidrog
en dan van der waals untuk interaksi perlekatan antara substrat permukaan.
3. Teori Pembasahan
∙ Digunakan pada sistem cairan dimana terdapat afinitas pada permukaan u
ntuk menyebar.
∙ Afinitas ini dapat diukur dengan menggunakan berbagai cara seperti sudu
t kontak.
∙ Menurunkan sudut kontak dapat meningkatkan afinitas.
19
4. Te
ori Difusi
∙ Penetrasi antara Polimer dan Mucus.
∙ Menghasilkan ikatan adhesif semipermanen.
∙ Kekuatan adhesi meningkat dengan meningkatnya penetrasi.
∙ Tergantung dari koefisien difusi 0,2-0,5 micro meter.
5. Teori Dehidrasi
Pada teori dehidrasi, bahan yang bersifat gel pada saat berada di ling
kungan cair, ketika kontak dengan mukus akan menyebabkan dehidrasi da
ri mukus karena adanya perbedaan tekanan osmotik.Perbedaan gradien ko
nsentrasi antara cairan dengan formulasi akan terjadi hingga tercapai kesei
mbangan osmotik.Proses tersebut meningkatkan waktu kontak formulasi d
engan membran mukus.
20
6. Teori Mekanik
Menjelaskan tentang difusi cairan adhesif ke dalam mikro-cracks dan
ketidakteraturan pada permukaan substrat dengan demikian pembentukan s
truktur yang saling menyambung dapat meningkatkan sifat adhesinya.
7. Teori fraktur
Teori ini menganalisa kekuatan yang diperlukan untuk memisahkan dua
permukaan setelah terbentuk adhesi, teori ini terfokus pada kekuatan yang
diperlukan untuk memisahkan suatu bagian.
21
2.9 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Mukoadhesive
Proses mukoadhesi ditentukan oleh berbagai faktor, baik dari formulasi
sistem mukoadhesif, yaitu polimer yang digunakan, maupun dari lingkungan t
empat aplikasi sistem mukoadhesif tersebut. Faktor-faktor tersebut antara lai
n:
22
B. Kekurangan
∙ Terjadi efek berbisul lokal karena kontak lama dari obat
∙ Penerimaan pasien dalam hal selera,iritasi dan mulut terasa harus diperiksa
23
BAB III
PEMBAHASAN
24
Anatomi lambung (Bardonnet, P.Let al,2006).
Fisiologi Lambung :
1. Sekresi, yaitu kelenjar dalam mukosa lambung mensekresi 1500 – 3000 mL
gastric juice (cairan lambung) per hari. Komponen utamanya yaitu mukus,
HCL (hydrochloric acid), pensinogen, dan air. Hormon gastrik yang disek
resi langsung masuk kedalam aliran darah.
2. Absorpsi, secara minimal terjadi dalam lambung yaitu absorpsi air, alkohol,
glukosa, dan beberapa obat.
3. Pencegahan, banyak mikroorganisme dapat dihancurkan dalam lambung ole
h HCL.
25
Di Antara lambung dan usus besar terdapat usus halus yang kaya akan
pembuluh darah yang mengangkut zat-zat yang akan diserap ke hati melalui v
ena porta. Pada usus besar adalah bagian dari usus yang terletak antara usus b
untu dan rektum yang terdiri dari Kolon asendens, kolon transversum, kolon
desendens, dan kolon sigmoid. Organ selanjutnya adalah rektum, yang merup
akan sebuah ruangan yang berawal dari ujung usus besar dan berakhir di anus
yang merupakan lubang di ujung saluran pencernaan dimana bahan limbah a
kan keluar dari tubuh.
26
elah obat diabsorpsi dan berada di dalam pembuluh darah. Menurut Schanker,
obat akan terikat dengan reseptor,akseptor,atau enzim setelah meninggalkan
pembuluh darah. Apabila obat terikat dengan reseptor maka akan muncul efe
k farmakologi,sedangkan jika obat berikatan dengan akseptor atau depot tida
k akan menimbulkan efek farmakologi. Ikatan obat dengan akseptor maupun
reseptor bersifat reversible, dan obat berikatan dengan enzim sifatnya tidak re
versible serta akan menghasilkan metabolit aktif atau tidak aktif.
Zat obat yang terdistribusi di pembuluh darah perlu melintasi membran
sel atau intrasel untuk mencapai reseptor/akseptor maupun enzim. Endotel ka
piler merupakan barier pertama pada proses menuju jaringan, tetapi karena u
kuran pori yang besar maka sebagian besar zat aktif baik terionisasi atau tak t
erionisasi dapat melintasinya. Zat aktif akan tinggal dalam cairan intertisial s
ekitar sel. Proses melintasnya zat aktif melalui membran seluler atau intersel
uler terjadi seperti melintasi membrane pada umumnya, yaitu melalui mekani
sme filtrasi, transport aktif dan difusi pasif.
Berbagai factor dapat mempengaruhi penyebrangan atau zat aktif,antar
a lain:
1. Permeabilitas membrane dan kesanggupan molekul untuk menembu
snya
2. Afinitas struktur biokimia
3. Vaskularisasi jaringan, karakter spesifik
4. Pemberian dapat mempengaruhi difusi zat aktif
27
terurai. Sediaan awal obat tersebut akan mengalami pengembangan polimer, se
hingga zat aktif akan berdifusi ke permukaan. Kemudian terjadi proses pelepas
an dan pelarutan dari sediaan obat tersebut lalu zat aktif akan berdifusi keluar
dari sediaan selanjutnya tablet akan menempel pada membran mukosa lambun
g.
Salah satu cara untuk memperbaiki ketersediaan hayati obat yang sukar lar
ut, mudah terurai pada pH alkali serta memiliki lokasi absorpsi di lambung dan
usus bagian atas adalah dengan menggunakan sediaan mukoadhesif yang mene
mpel di lambung. Hal ini dirancang untuk dipertahankan di lambung dengan w
aktu yang diperpanjang dan untuk melepaskan zat aktifnya, sehingga memung
kinkan obat dipertahankan dan diperpanjang pada bagian atas saluran pencerna
an (Lakshmi, 2012) . Dengan terjadinya penempelan obat pada membran muko
sa lambung, sehingga obat tersebut akan tertahan di lambung, tidak mudah ma
suk kedalam pylorus dan terus ke usus. Sediaan dapat terikat pada permukaan
sel epitel lambung atau mukosa menyebabkan waktu tinggal obat lebih lama di
tempat absorbsi (Irawan, 2011). Polimer Mucoadhesive yang terkandung dalam
tablet yang dapat menyebabkan tablet menempel pada mukosa lambung. Meka
nisme pelepasan obat dari sediaan gastroretentif mukoadhesif hanya diperluka
n sistem yang menahan obat di dalam polimer bioadhesif sampai obat dilepas s
emua, karena jika tidak obat akan kosong di lambung. Oleh karena itu bentuk s
ediaan yang sesuai untuk sistem mukoadhesif yaitu dimana mekanisme pelepa
san obatnya perlahan tergantung pada pemecahan ikatan kovalen antara polim
er dan obat yang sesuai, seperti tablet, kapsul, mikrogranul (Indrawati, 2018).
Sehingga terjadi pelepasan zat aktif obat secara perlahan di membran mukosa l
ambung.
Pada saat obat menempel pada membran mukosa lambung, disaat itu pula t
erjadi proses absorbsi. Obat setelah diabsorbsi akan tersebar melalui sirkulasi
darah keseluruh badan. Dalam peredarannya, kebanyakan obat-obat didistribus
ikan melalui membrane badan, karena zat aktif obat langsung larut ke dalam m
embran mukosa dan masuk kedalam aliran darah. Dan segera didistribusi oleh
darah ke reseptornya sehingga akan berikatan dengan reseptornya, dan terjadi
efek farmakologis.
Setelah didistribusi, obat mengalami proses metabolisme. Pada proses met
abolisme molekul obat dapat berubah menjadi lebih polar, agar mudah diekskr
esikan oleh ginjal. Fungsi hati pasien sangat berpengaruh terhadap efek obat y
ang dihasilkan. Efek obat yang terjadi bisa lebih lemah ataupun lebih kuat dari
28
yang diharapkan.
Obat diekskresikan dalam struktur tidak berubah atau sebagai metabolit. B
anyak metabolit obat yang berbentuk di hati diekskresi ke dalam usus melalui
empedu, kemudian dibuang melalui feses, tetapi lebih sering diserap kembali d
i saluran cerna dan akhirnya diekskresi melalui ginjal. Ekskresi obat juga terja
di melalui keringat, liur, air mata, air susu dan rambut, tetapi dalam jumlah ya
ng relatif kecil sekali sehingga tidak berarti dalam pengakhiran efek obat.
3. Faktor Fisiologis
a. Pergantian musin
Sifat pergantian molekul musin dari lapisan mukus penting untuk d
ua alasan. Pertama, pergantian musin dapat membatasi waktu tinggalda
ri mukoadhesif pada lapisan mukus. Tidak masalah seberapa tinggi kek
uatan mukoadhesif, mereka dilepaskan dari permukaan dalam kaitanny
a dengan pergantian musin. Kecepatan pergantian mungkin berbeda di
hadapan mukoadhesif, tetapi tidak ada informasi yang sesuai untuk asp
ek ini. Kedua, pergantian musin menghasilkan sejumlah substansi mole
kul yang larut dalam molekul musin. Molekul-molekul ini berinteraksi
dengan mukoadhesif sebelum mereka berinteraksi dengan lapisan muk
us. Permukaan yang kotor tidak baik untuk mukoadhesi pada permukaa
n jaringan. Pergantian musin bergantung pada faktor-faktor yang lain s
eperti kehadiran makanan. Lehr et al penghitung waktu pergantian mus
in dari 47-270 menit
b. Keadaan penyakit
30
Sifat fisika-kimia mukus dikenali dari perubahan kondisi penyakit
seperti pilek biasa, ulserasi lambung, ulseratif colitis, sistikfibrosis, dan
infeksi jamur pada saluran reproduksi wanita, serta pembengkakan pad
a mata. Perubahan struktur mukus dalam kondisi ini belum dipahami d
engan jelas. Jika mukoadhesif digunakan dalam keadaan penyakit, sifat
mukoadhesif perlu dievaluasi di bawah kondisi yang sama (Rajput, G.
C et al,2010;Zate, S. U et al, 2010; Garg, R et al, 2010).
31
an parameter AUC dari suatu produk obat dengan produk standar yang dis
arankan. Tablet diberikan secara oral kepada kelinci dengan massa istirahat
(wash out period ) selama 2 minggu sebelum mendapatkan perlakuan berik
utnya. Sampel darah sejumlah 1,0 mL diambil dari vena marginalis telinga
kelinci pada menit ke-0,3,6,9,12,15,30,60,120,180,240, 300,360,420,480,5
40 dan 600. Lalu dilakukan penetapan kadar analit dalam plasma yang dite
tapkan dengan menggunakan HPLC.
32
Setelah dikonsumsi, di dalam lambung, hidrokoloid dalam tablet atau
kapsul berkontak dengan cairan lambung dan menjadi mengembang. Karena
jumlahnya hidrokoloidnya banyak (sampai 75%) dan mengembang maka be
rat jenisnya akan lebih kecil dari berat jenis cairan lambung. Akibatnya siste
m tersebut menjadi mengapung di dalam lambung. Karena mengapung siste
m tersebut akan bertahan di dalam lambung, tidak mudah masuk ke dalam p
ylorus dan terus ke usus. Hidrokoloid yang mengembang akan menjadi gel p
enghalang yang akan membatasi masuknya cairan lambung ke dalam sistem
dan berkontak dengan bahan aktif obat, sekaligus akan mengatur pelepasan
bahan aktif obat dari system terapung itu ke dalam cairan lambung.
3.8 Faktor-faktor yang mempengaruhi Floating Sistem
Banyak hal yang mempengaruhi sifat mengapungnya sediaan FDDS k
arena adanya variasi bahan tambahan yang digunakan. Variasi rasio HPMC /
carbopol dan penambahan Mg Stearat menentukan sifat floating. Penambaha
n Mg Stearat dapat meningkatkan sifat floating secara signifikan. Namun ju
mlah hidroksi propil metil selulosa yang tinggi tidak mempengaruhi kemam
puan mengapung secara signifikan. Rasio HPMC : Carbopol lebih tinggi me
nunjukkan sifat floating lebih baik.
Formulasi floating menggunakan polimer yang mengembang seperti H
PMC dan HPC tidak menunjukkan reprodusibilitas pada pelepasan dan wakt
u tinggal karena pembengkakan sangat bergantung pada isi lambung dan os
molaritas medium dan formulasi tertentu diamati akan tenggelam pada medi
um disolusi setelah waktu tertentu. Lag time floating pada formulasi tersebut
= 9 – 30 menit. Kemampuan pembentukan gel dan kekuatan gel polisakarida
bervariasi dari batch ke batch karena variasi pada panjang rantai dan tingkat
substitusi dan situasi ini diperburuk pada formulasi effervescent dengan gan
gguan dari struktur gel melalui evolusi CO2. Pembentuk gel bereaksi sangat
sensitif terhadap perbedaan osmolaritas media pelepasan, dengan peningkata
n pelepasan.
Suatu studi menjelaskan pengaruh tiga bahan pengisi yaitu Mikrokrist
alin selulosa (MCC), dikalsium pospat dan laktosa pada sifat floating dari ta
blet bersalut. Tablet yang mengandung laktosa mengapung lebih cepat darip
ada tablet yang mengandung kalsium pospat (pengisi anorganik). Hal ini dap
at dijelaskan karena tablet yang mengandung laktosa memiliki densitas lebih
rendah (1 g/cm3 pada kekerasan 30 N), sedangkan tablet yang mengandung
dikalsium pospat memiliki densitas lebih tinggi (1,9 g/cm3 pada kekerasan 3
0 N) Laktosa memiliki kelarutan dalam air lebih tinggi dan menunjukkan akt
ivitas osmotik dan uptake dari medium lebih cepat pada inti tablet selama pe
nyalutan. MCC, pengisi yang tidak larut dengan uptake air yang lebih tinggi
dan kemampuan desintegrasi, mengakibatkan robeknya penyalutan dan desi
ntegrasi tablet, CO2 tidak berakumulasi pada penyalutan dan lepas melalui l
apisan film yang robek, sehingga floating tidak terjadi.
33
3.9 Faktor-faktor yang mempengaruhi sediaan tablet bukal
∙ Berat molekul
∙ Kemudahan Bioadhesion
∙ Kepadatan (Cross-linking)
34
Ukuran pori rata-rata, jumlah rata-rata berat molekul dari polimer cross-
linked, dan kepadatan yang menghubungkan tiga parameter struktural
penting dan saling terkait dari jaringan polimer. Oleh karena itu, tampaknya
masuk akal bahwa dengan meningkatnya kepadatan cross-linking, difusi air
ke dalam jaringan polimer terjadi pada tingkat yang lebih rendah, kemudian,
menyebabkan cukup pembengkakan polimer dan tingkat penurunan
interpenetration antar polimer.
∙ Konsentrasi
Pentingnya faktor ini terletak pada pengembangan ikatan perekat yang kuat
dengan lendir, dan dapat dijelaskan oleh panjang rantai polimer yang
tersedia untuk penetrasi ke dalam lapisan lendir. Ketika konsentrasi polimer
terlalu rendah, jumlah konsentrasi yang menembus rantai polimer per satuan
volume lendir itu kecil, dan interaksi antara polimer dan lendir tidak stabil.
Secara umum, polimer yang lebih terkonsentrasi akan menghasilkan
panjang rantai lagi yang akan menyebabkan penetrasi dan adhesi yang lebih
baik. Akibatnya, aksesibilitas dari pelarut polimer berkurang, dan penetrasi
rantai polimer secara drastis berkurang. Oleh karena itu, konsentrasi yang
lebih tinggi dari polimer tidak selalu meningkatkan dan, dalam beberapa
kasus, sebenarnya mengurangi sifat mukoadhesif.
BAB IV
PENUTUP
35
4.1 Kesimpulan
1. Saluran cerna pada manusia terdiri dari mulut, tenggorokan, kerongkongan,
lambung, usus halus, usus besar, rektum dan anus. Pada lambung terdapat
Membran mukosa yang mensekresikan cairan lengket dan tebal yang dise
but mukus, berfungsi dalam sistem penghantaran mukoadhesif. Waktu pe
rgantian jaringan epitel mukosa mulut antara 14 sampai 24 hari. Lambung
memiliki pH berkisar antara 1,5-3,5 dan dapat berubah sesuai dengan isi l
ambung. Volume lambung dalam keadaan tidak terisi (hampir kosong) ad
alah sekitar 75 mililiter dan lambung dapat mengembang dan menampun
g sampai sekitar 1 liter makanan.
2. Setelah obat dari saluran pencernaan, selanjutnya akan melewati dinding p
embuluh darah dalam bentuk terlarut dan menuju ke hati sebelum diangku
t melalui aliran darah ke jantung. Di jantung, obat diangkut melalui vena,
kemudian mengalir ke sirkulasi umum melalui vena jugularis, melewati h
ati dan dengan demikian lambat terjadi first-pass effect metabolisme. Oba
t menuju ke pembuluh darah dan terdistribusi dari pembuluh darah ke sel
uruh tubuh dengan melintasi membran sel atau intrasel untuk mencapai re
septor/akseptor maupun enzim.
3. Mekanisme pelepasan obat dari sediaan gastroretentif mukoadhesif dimulai
dari pelepasan dan pelarutan zat aktif dari sediaan obat. pada mekanisme
nya memerlukan sistem yang menahan obat di dalam polimer bioadhesif
sampai obat dilepas semua. Pada saat obat menempel pada membran muk
osa lambung, disaat itu pula terjadi proses absorbsi. Zat aktif obat langsu
ng larut ke dalam membran mukosa dan masuk kedalam aliran darah dan
segera didistribusi oleh darah ke reseptornya. Jika obat terikat dengan res
eptor maka akan muncul efek farmakologi. Selanjutnya, terjadi proses me
tabolisme dimana molekul obat diubah menjadi lebih polar, sehingga mu
dah diekskresikan melalui ginjal.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi gastroretentif mukoadhesif, yaitu faktor
yang berhubungan dengan polimer (berat molekul, konsentrasi polimer a
ktif, fleksibilitas rantai polimer, konformasi polimer); faktor lingkungan
(pH,
permulaan waktu kontak); faktor fisiologis (pergantian musin, keadaan pe
nyakit).
5. Evaluasi yang dilakukan pada sediaan gastroretentive mukoadhesif ini adal
36
ah uji bioadhesive in vivo yang bertujuan untuk mengetahui seberapa cep
at granul dapat melekat pada mukosa lambung dan usus dalam waktu 5 m
enit ; uji retensi in vivo menggunakan teknik X-Ray; uji wash off yang be
rtujuan untuk melihat kemampuan granul melekat pada mukosa lambung
selama 2 jam; serta Uji bioavailabilitas relatif tablet mukoadhesif yang dit
entukan dengan berdasarkan parameter AUC dari suatu produk obat deng
an produk standar yang disarankan.
37
DAFTAR PUSTAKA
Tang, Yong-Dan, S.S Venkatraman, F.Y.C Boey, Li-Wei Wang. 2017. Sustained
Release of Hydrophobic Drug from A floating Dosage Form. International J.
Pharmaceutics 336 : 159 – 165
Fukuda, M., N.A Peppas, J.W. McGinity. 2006. Floating Hot-Melt Extruded Tablet for
Gastroretentive Controlled Drug Relaese system. J. Controlled Release. J.
Controlled Release 115 : 121-129
Ansel et al, 1999. Pharmaceutikal dosage form and drugs delivery system, 7ed. Lippi
ncot williams and wilkins USA.244-268
Haruta Kawai, Jinnouchi Ogawara Higaki Tamura Arimori and Kimura 2001. Evaluati
on of absorption kinetics of orrally theophylins in rat based on gastrointestin
al transit monitoring by gamma scintigraphy. J pharm sci.90:4 hal 464-473
Indrawati, Teti. 2018. Perjalanan Obat Peroral dalam Tubuh. Jakarta:Salemba Medik
a. Irawan, E.D, dan Farhana. 2001. Optimasi chitosan dan natrium karboksimetilsellos
a sebagai sistem mucoadhesive pada tablet teofilin. Majalah farmasi indonesia: fakult
as farmasi universitas jember.
Pearce, Eevelyn,C. 2004. Anatomi dan fisiologis untuk paramedis. Jakarta: PT Gramed
ia Rajput, G.C et al, 2010. Stomach spesific mucoahesive tablrts as controlled drug de
livery system- A review work. International Journal of Pharmaceutical and Biological
Reaserch,vol 1(1), 2010,30-41.
Tangri Pranshu 2011. Mucoadhesive drug delevery: mechanism and methods of evalut
38
ion. International journal of pharma and bio sciences. Volume1:2.
39