Anda di halaman 1dari 11

TUGAS

TEORI HUKUM DAN FILSAFAT HUKUM

Teori Riangular Concept Of Legal Pluralism (Konsep Segitiga Terhadap


Pluralisme Hukum Oleh Werner Menski)

ZULKIFLI TAMRIN
B012202096

PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM


UNIVERSITAS HASANUDDIN
2021
Teori Riangular Concept Of Legal Pluralism (Konsep Segitiga Terhadap Pluralisme Hukum Oleh
Werner Menski)

Di kalangan pakar teori hukum, sekarang dikenal sebuah teori hukum termutakhir untuk
menjawab realitas dunia globalisasi saat ini, yaitu triangular concept of legal pluralism (konsep
segitiga pluralisme hukum). Teori ini diperkenalkan sejak tahun 2000 kemudian dimodifikasi
pada tahun 2006 oleh Werner Menski, seorang profesor hukum dari University of Landon,
pakar hukum di bidang Hukum Bangsa-Bangsa Asia dan Afrika, yang menonjolkan Karakter
Plural kultur dan hukum. Dari subjek kajiannya, Menski kemudian memperkenalkan teori
hukumnya itu, yang memang sangat relevan bagi hukum bangsa-bangsa Asia dan Afrika,
maupun juga bagi bangsa Barat.
Sejak itu, banyak teori-teori hukum sebelumnya yang mulai tergeser, seperti teori the
disorder of law-nya Charles Sampford yang ekstrem untuk menolak eksistensi sistem hukum,
dan terutama menggeser keras teori-teori klasik yang dianggap tidak relevan dengan dunia
globalisasi, antara lain teori-teori positivistik dari Hans Kelsen, dan Montesqueiu. Tetapi
sebaliknya, triangular concept legal pluralism dari menski ini, memperkuat konsep Lawrence M.
Friedman tentang unsur sistem hukum ketiga, yaitu Legal Culture (kultur hukum), yang
sebelumnya belum dikenal, sebelum Friedman memperkenalkannya di tahun 1970-an. Justru
eksistensi kultur hukum yang sifatnya sangat pluralistik, melahirkan kebutuhan adanya sebuah
teori hukum yang mampu menjelaskan fenomena pluralisme hukum, yang merupakan suatu
realitas. Di era globalisasi saat ini, di mana hubungan antarwarga dunia, tidak lagi dibatasi oleh
sekat-sekat sempit otoritas kaku dari masing-masing negara, tetapi di hampir semua bidang,
komunikasi yang semakin canggih, menebab n dunia tiba-tiba terasa menjad suatu “negara
dunia”, dan setiap warga dunia dari suatu negara ke negara lain, suka atau tidak suka, akan
berhadapan dengan hukum asing, yang tentunya tidak mungkin persis sama atau bahkan sangat
kontras dengan hukum di negaranya sendiri. Setiap penduduk dunia yang melakukan perjalanan
ke negara asing, baik secara fisik maupun melalui “dunia maya” (Internet) akan merasakan
kehadiran realitas pluralisme hukum itu dalam kehidupannya.
Pluralisme hukum bukan hanya mengenai beraneka ragamnya hukum positif yang ada,
baik antarbangsa maupun di dalam sutu negara tertentu, contonhnya di Amerika Serikat, setiap
“state” (negara bagian) memiliki sistem hukum, sistem peradilan, dan hukum positif masing-
masing; demikian juga di Indonesia setiap daerah memiliki hukum lokal masing-masing;
melainkan juga, pluralisme hukum adalah mengenai perilaku hukum dari masing-masing
individu atau kelompok yang ada disetiap bangsa dan masyarakat di dunia ini. Dan tentu saja
sangat tidak realitas, ketika berbagai sistem hukum, sistem peradilan dan hukum positif yang
sangat plural atau beraneka ragam itu, hanya dikaji dengan menggunakan salah satu jenis
pendekatan hukum secara sempit saja, atau pendekatan moral belaka. Tak ada metode ang lebih
relevan untuk menghadapi berbagai isu hukum di era globalisasi dunia dewasa ini, kecuali
dengan penggunaan secara proporsional secara serentak ketiga pendekatan hukum: normatif,
empiris dan filsufis, dan itulah yang dikenal sebagai Triangular Concept Of Legal Pluralism.
1. Pendekatan ‘jurisprudential’ atau kajian normatif hukum,
Menfokuskan kajiannya dengan memandang hukum sebagai suatu sistem yang utuh yang
mencakupi seperangkat asas-asas hukum, norma-norma hukum, dan aturan-aturan hukum
(tertulis maupun tidak tertulis). Harus diketahui bahwa asas hukum ang elahirkan norms hukum,
dsn norms hukum melahirkan aturan hukum. Dari satu asas hukum dapat melahirkan lebih dari
satu norma hukum hingga tak terhingga norma hukum, dan dari satu norma hukum dapat
melahirkan lebih dari satu aturan hukum hingga tak terhingga aturan hukm.
2. Pendekatan empiris ‘legal empirical’,
Memfokuskan kajiannya dengan memandang hukum sebagai seperangkat realitas
(reality), seperangkat tindakan (action), dan seperangkat perilaku (behavior).
Pendekaan legal emirical ini masih dibedakan lagi kedalam kajian-kajian:
a.       Sosiologi hukum yang masih dibedakan kedalam:
i. Sosiology of law yang lahir di Eropa Barat.
ii. Sociologicsl jurisprudance yang lahir di Amerika; plopornya Profesor Roscoe
Pound dari Harvard University Law School.
b.      Antropology hukum
c.       Psikologi hukum yang masih dibedakan ke dalam:
i. Psychology in lawI, merujuk pada suatu aplikasi spesifik dari psikologi dalam
hukum.
ii. Psychology and law, digunakan untuk riset psikologi terhadap terdakwa, para
polisi, pengacara, jaksa dan hakim.
iii. Psychology of law, digunakan untuk merujuk pada riset psikologis terhadap isu-
isu, seperti mengapa orang menaati hukum atau tidak menaati hukum tertentu,
perkembangan moral, dan presepsi serta sikap publik terhadap berbagai sanksi
pidana.
iv. Forensic pschology adalah penggunaan psikologi dalam proses pengadilan.

Di luar itu, kalau ke empat pendekatan di atas lebih berfokus pada faktor kejiwaannya
belaka, maka telah muncul ilmu baru ang identik, yang lebih menekankan pada faktor ilmu baru
yang identik, yang lebih menekankan pada faktor biologis pengaruh otak dan saraf terhadap isu-
isu hukum. Neuroscience and law adalah suatu kajian baru tentang keunikan pentingnya
pengaruh otak dan saraf bagi perilaku manusia, dan karena itu bagi masyarakat dan hukum. Ada
empat area utama kajian neuroscience and law, yaitu: (1) wawasan baru tentang isu-isu
pertanggungjawaba; (2) meningkatkan kemampuan untuk ‘membaca pikiran’; (3) prediksi yang
lebih baik terhadap perilaku yang akan datang; dan (4) prospek terhadap peningkatan kemanpuan
otak manusia. Salah satu contoh penerapan kajian ini kedalam praktek hukum, antara lain
penggunaan alat penguji kebohongan atau lie detection.

d.      Hukum dan ekonomi (law and economic), bedakan dengan kajian hukum ekonomi yang
mrupakan bagian pendekatan jurisprudential atau kajian normatif hukum.
e.       Hukum dan pembangun (law and devolovment)
f.       Hukum dan struktur sosial (law and sosial structure0
g.      Kajian hukum kritis (the critical legal)

3.      Pendekatan filsufis, yang memfokuskan kajiannya ddengan memandang hukum sebagai
seperangkat nilai-nilai mral serta ide-ide yang abstrak, di antaranya kajian tentang moral
keadilan.
Penedekatan filsfis ini dipelajari dalam mata kuliah Filsafa Hukum, Logika Hukum, dan
Teori Hukum. Dalam kaitan tiga pendekatan ilmu hukum itu, hukum ummna dapat dibedakan
kedalam:
a) Ius constituendum: hukum ideal yang diharapkan berlaku, bidang ini didekati dengan
pendekatan filsufis
b) Ius constitutum: hkum ositif, yaitu hukum yang diberlakukan oleh suatu negara tertentu,
untu suatu waktu tertentu, tetapi belum tentu di dalam realitasnya bener-benar berlaku
c) Ius operatum: hukum ang dalam ralitasnya benar-benar berlaku

Beberapa pakar hukum membedakan ilmu hukum ke dalam:


a.       Ilmu hukum semu (quasi jurisprudance) atau ilmu hukum praktis
b.      Ilmu hukum yang sesungguhnya (true jurisprudance)
Tentu yang dimaksud sebagai ilmu hukum semu adalah ilmu hukum positif atau ilmu
hukum perundang-undangan, sedangkan yang dimaksud ilmu hukum yang sesungguhnya adalah
kajian emiris dan kajian filosofis terhadap hukum Dari komentar editor Cambridge University
Press tentang karya monumental Werner Menski berjudul Coparative Law in a Global: Context,
The Legal System of Asia and Africa (2006). Dapat disimpulkan bahwa teori Menski, menyajikan
satu pemikiran kembali secara kritis dalam kajian perbandingan hukum dan teori hukum, di
dunia globalisasi dewasa ini, dan mengusulkan suatu metode baru teori hukum, yang meyoroti
kelemahan pendekatan teoritis Barat selama ini, mencakupi kelemahan teori-teori perbandingan
hukum, hukum publik internasional, teori hukum, dan ilmu hukum normatif, terutama kajian
Barat tentang hukum Asia dan Afrika. Menski menegaskan bahwa teori-teori Barat yang terlalu
sempit dan eurosentris tak mamp menjawab tantangan globalisasi. teori hukum Menski
mengombinasikan secara interaktif teori hukum alam modern, postivisme, dan sosiologi hukum,
untuk membahas pluralisme hukum ang merupakan realitas dunia global, melalui konsep
segitiga pluralisme hukum-nya. Fokus utama kajian Menski adalah hukum Hindu, hukum
Islam, hukum-hukum Afrika, dan hukum Cina, yang kemudian dapat diterapkan untuk mengjkaji
hukum lain.
A.    Unsur triangular concept of legal pluralism
Menurut Menski, sifat alami hukum yang plural adalah sesuatu yang ada sehubungan
dengan sifat plural hukum tersebut, lebih awal ditujukan melalui konsep yang dicetuskan oleh
Chiba tentang identity postulate (postulat identitas dari setiap hukum). Model yang digunakan
Thuis, mengerucut dalam suatu konsep global yang rada mengelompokkan konsep global tentang
legal culture, ketika Chiba menuliskan bahwa:
“Sepanjang suatu kultur hukum terpelihara, maka a basic legal postulate for the people’s
cultural identity i law, (suatu dasar postulat hukum bagi identitas kultural rakyat di dalam
hukum), harus disyaratkan sebagai the identity postulate of a legal culture (Postulat identitas dari
suatu kultur hukum), harus disyaratkan sebagi berfungsi. Hal itu akan memandu orang dalam
memilih bagaimana untuk melakukan “reformasi” terhadap keseluruhan sruktur hukum,
mencakup, antara lain, kombinasi hukum asli (pribumi) dan hukum yang merupakan hasil
cangkokan hukum asing, dalam rangka untuk memelihara akomodasi mereka untuk mampu
mengubah keadaan di lingkungannya.”
‘postulat identitas’ ini muncul sebagai sebuah pusat yang secara terus-menerus
menegoisasikan elemen suatu kultur hukum secara terus-menerus, mendekat dan secara langsung
berhubungan pada nilai etis, norma-norma sosial dan aturan-aturan yang dibuat oleh pemerintah,
sebagai fakta kehidupan manusia dalam berbagai penjelmaan spesifik kultur mereka. Ini berarti
bahwa, hukum sebagai suatu fenomena global memiliki kesamaan di seluruh dunia, dalam arti
bahwa di mana-mana hukum terdiri atas dasar nilai etis, norma-norma sosial, dan aturan-
aturan yang dibuat oleh negara, meskipun tentu saja di dalam realitasnya, muncul banak sekali
variasi kultur yang lebih spesifik. Hal ini hanya mengkonfirmasikan tentang ‘premis dasar’ yang
telah diketahui, bahwa semua hukum adalah kultur-spesifik dan bahwa di dalam berbagai bidang
hukum seperti kontrak, perkawinan, dan pembunuhan adalah merupakan fenomena universal,
yang tampak secara terus-menerus berubah dari waktu ke waktu serta dari raung/spasi ke
ruang/spasi lain.
Lebih lanjut bagi menski, dengan menggunakan pendekatan tiga tipe utama hukum utama
yaitu hukum yang diciptakan oleh masyarakat, hukum yang diciptakan oleh negara dan hukum
yang timbulnya melalui nilai dan estetika, maka kajian mutakhir kini, terutama sekali yang
digunakan di dalam Bagian II buku karya Werner Menski ini, telah ditujukan bahwa ketiga unsur
tersebut bersifat plural. Sesungguhnya, di dalam realitas, tampak bahwa masing-masing dari
ketiga tipe hukum tersebut, juga berisikan dua unsur tipe hukum lainnya. Selanjutnya kita lalu
menemukan suatu level intristik yang benar-benar bersifat plural, yang kemudian saat ini,
menghasilkan sembilan unsur-unsur atau komponen nyata dari hukum, dan bukan hanya tiga
unsur saja. Maka dimungkinkanlah untuk menggambarkan hal ini ke dalam satu grafik mengenai
sifat plural internal dari ketiga tipe hukum tersebut diatas, ang berfokus pada analisis terhadap
sistem-sitem hukum yang ada di Asia dan Afrika.
Skema yang digunakan adalah benar-benar tidak lagi mudah untuk menjelaskan dan
memahaminya. Betapa pun, realisme hukum adalah menyangkut akal sehat. Untuk
menggambarkan model ini, kita memberikan simbol penomoran, yaitu nomor 1 pada segitiga
unsur ‘masyarakat’ (number 1 to the triangle of society), nomor 2 pada unsur ‘negara’ (number 2
to the triangle of state), dan nomor 3 pada dunia nilai serta etika (number 3 to the realm of values
And ethics). Urutan ini tidak menyiratkan bahwa ada unsur yang relatif lebih unggul atau
superior ketimbang unsur lain, tidak bertujuan bahwa secara relatif nomor 1 lebih unggul atau
superior ketimbang nomor 2 dan nomor 3; atau yang nomor 2 lebih unggul ketimbang nomor 3.
Hal utama adalah untuk secara sungguh-sungguh menciptakan suatu interaksi yang
sifatnya tetap, dari tiga unsur yang telah diberi nomor urut tadi, terutama tidak berdasarkan
kekuasaan maupun status relatif masing-masing dari ketiga unsur tersebut. Inilah yang menjadi
alasan, mengapa satu tipe teori hukum terhadap dirinya sendiri, tidak akan bekerja untuk
menjelaskan sifat alami hukum yang pada hakikatnya bersifat plural, dan hanya satu analisis
pendukung pluralisme sebagai yang disajikan di dalam pembahasan ini yang mampu untuk
mencapai hal ini.
Selanjutnya menurut Menski, untuk memperkenalkan representatif grafis atau (skema) dari
‘level of intristic the second’ pluralisme hukum yang disajikan di atas, kita memulai dengan
hukum yang ditemukan di dalam kehidupan sosial, karena di kehidupan sosial itulah merupakan
tempat di mana hukum selalu berlokasi. Studi terkini di bidang hukum, mengonfirmasikan
bahwa tidak ada masyarakat yang tanpa hukum, sementara itu, mungkin sedikit sekali, atau
hampir tidak ada hukum produk negara di dalam suatu konteks kultur dan lokal khusus tertentu.
Di bidanng sosial, kita menemukan aturan-aturan, norma-norma, ataupun input-input yang
berasal dari negoisasi hukum yang kurang lebih murni bersumber dari citra pluralismenya
hukum, di mana barangkali tidak ada dari citra pluralisnya hukum, di mana barangkali tidak ada
dari dalam satu masyarakat tertentu (dalam hal ini, pegertian masyarakat, tentu saja bukan dalam
makna ‘masyarakat secara nasional’, melainkan dimaksudkan adalah masyarakat dalam bentuk
suatu komunitas atau kelompok lokal yang kecil, bahkan barangkali dalam bentuk suatu klan
atau komunitas, menurut Cotterel, akan tampak, tergantung pada pernyataan identitas masing-
masing. Jika suatu kelompok manusia tertentu membedakan kelompoknya sendiri sebagai
anggota kelompok dengan anggota kelompoknya, misalnya perbedaan secara etnis, maka di situ
kita mulai untuk melihat kemunculan tata hukum yang terpisah). Ini yang kita berikan nomor 11
dalam penomoran, yang merefleksikan fakta bahwa seluruh atau sebagian besar elemen dari tipe
hukum ini, mula-mula berasal dari dalam segitiga ini. Aturan-aturan di dalam kehidupan sosial,
juga dipengaruhi oleh kehadiran dari ‘co-existing’ hukum produk negara, yang kita berikan
sebagi nomor 12 dalam penomoran, yang mencerminkan sifatnya yang lebih hibrid dan
mendapat pengaruh persial dari hukum produk negara. di sisi lain, poros pusat dalam ‘the
triangle of society’, kita berikan sebagai nomor 13 dalam penomoran, terhadap norma-norma
sosial dan proses-proses yang menghasilkan beberapa validitas dan kewenangan dari lingkungan
etika dan nilai-nilai. Secara meneluruh, citra intristik dari pluralisme hukum terdapat dalam ‘the
triangle of society’. Hal itu membuktikan bahwa ini juga merupakan kehidupan kultur, tetapi
kultur yang barangkali juga secara intristik bersifat plural dan bersifat meluas ke dalam
kehidupan kenegaraan dan ke alam nilai. Dengan demikian, hal itu berarti bahwa analisis
kultural juga akan memperoleh manfaat dari penerapan metode analisis kesadaran pluralitas
(plurality-conscious analytical methods).
Berikutnya kita pidah ke the triangle of the state. Di dalam suatu konteks hukum tertentu,
mungkin saja tidak tampak adanya hukum produk negara, di mana studi ini menemukan bahwa
selalu terdapat beberapa jenis hukum. Dengan demikian, jenis hukum yang secara langsung
bersumber dari produk negara, mungkin saja relatif kecil dan bahkan tak terliha, atau mungkin
juga dalam bentuknya sebagai legislasi formal dalam jumlah yang besar-besaran. Namun,
apapun bentuknya dan apa pun membentuknya, dan apa pun kemungkinan sifat yang tepat dari
negara, (hal ini merupakan suatu problem yang ditinggalkan untuk para ilmuwan politik, tetapi
studi termutakhir menyakinkan bahwa masalah tersebut merupakan bidang mereka, yang juga,
mereka akan memperoleh manfaat dari analisis kesedaran-pluralitas yang lebih mendalam), kita
memberikan elemen sentral dari hukum produk negara sebagai penomoran dengan nomor 22. Ini
merefleksikan fakta bahwa seperti berbagai jenis hukum produk negara, yang mana dapat
mengambil bentuk dari aturan-aturan, norma-norma ataupun input negoisasi, yang tumbah
terutama dalam jenis segitaga hukum produk negara ini. Berikutnya, kita memberikan nomor 21
untuk berbagai jenis hukum produk negara negara yang mendapat pengaruh oleh dunia
kehidupan sosialnya. Kita segera dapat memikirkan berbagai contoh-contoh jenis hukum, yang
mana dalam istilah yang digunakan Chiba dikenal sebagai ‘the second type of official law’ (tipe
kedua dari hukum resmi negara), yaitu hukum negara yang tidak benar-benar dibuat oleh negara,
melainkan dilegitimasi berlakunya oleh negara (‘state law that was not really made by state but
accepted by it’). Penalaran yang sama dapat diterapkan, pada sisi lain dari ‘the statist triangle’,
kepada tipe-tipe hukum produk negara (‘state-made law) yag mendapat pengaruh dari nilai-nilai
dan etika spesifik. Ini yang dalam penomoran kita berikan sebagai nomor 23, yang merefleksikan
input dari segitiga ketiga (‘third triangle’).
Kita kemudian dapat pindah ke pembahasan mengenai’segitiga hukum alam’ (the triangle
of natural law) dan pengembangan keadaanya yang plural. Kita memberikan nomor 33 bagi tipe
hukum yang sumbernya telah ‘berutang’ pada ‘input-input’ yang berhubungan erat dengan jenis
segitiga hukum alam ini. Kita kemudian memberikan nomor 32 untuk unsur-unsur nilai dan
unsur-unsur etis, dari apa yang diistilahkan oleh Chiba, sebagai ‘postulat hukum’, yang secara
sebagain besar telah ‘berutang’, baik mengenai eksistensi mereka maupun mengena bentuk
mereka, akibat kehadiran negara, atau karena adanya kesadaran tentang kehadiran ‘some rule-
negoitating power’ yang menggerakkan awal dari segitiga jenis ini. Selanjutnya kita melengkapi
putaran ini, denga cara memberi nomor 31 bagi nilai dan etika, yang tampak untuk sebagian
tersebar telah’berutang’ bentuk mereka pad ‘input’ sosial, dan kemudian kita kembali pada
kehidupan kultur yang lebih luas. Citranya secara keseluruha kemudian tampak dalam skema
yang telah digambarkan sebelumnya.

B.     Menerima Pluuralisme Hukum Sebagai Suaturealitas Tak Terelakkan


Menurut Prof. Achmad Ali, S.H, berdasarkan pendapat Menski, bahwa kalu kita ibaratkan
hukum itu sebagai pohon, maka kita tidak dapat memandang bagian-bagian pohon itu secara
persial, melainkan secara total. Kita tidak boleh memandang sebagian kayunya hanya dalam
fungsi sebagai ‘akar’ yang menyerap makanan dari tanah (yang dalam hukum adalah
masyarakat dan nilai-nilai hukumnya), ‘batang’ yang memperkokoh pohon itu (dalam hukum
adalah hukum positif), dan ‘dahan ranting’ yang menjulur ka atas langit dan ke berbagai arah
untuk menghirup aroma surgawi ( di dalam hukum adalah nilai-nilai moral, agama, dan etika).
Hukum jika di ibaratkan pohon, maka seluruh kayunya harus dipandang secara total, sebagai satu
kesatuan yang utuh, terdiri dari: hukum yang dilahirkan masyarakat, hukum yang merupakan
produk negara dan nilai-nilai moral, keagamaan dan etika. Ketiga pilar utama itulah hukum yang
utuh.
Kalau kita bandigkan dengan teori tiga tipe hukum dari Nonet & Selznick, maka mereka
menempatkantipe hukum responsif sebagai tipe hukum ideal mereka, yang dalam
perkembangannya telah melewati tipe hukum represif dan tipe hukum otonom. Sedangkan,
Warner Menski, menjadikan sebagai tipe hukum idealnya, yaitu “the holy grail of all law, suatu
tipe hukum yang berhasil secara optimal menjalin interaksi di antara iga komponen utama tadi,
secaranorms atau norma-norma sosial, dan posited state-made legal rules ( state-made law),
yaitu hukum buatan negra.
Dan jika konsp pluralisme hukum dari Menski ini kita hubungkan dengan konsep tiga
unsur sistem hukum yang diperkenalkan oleh Lawrence M. Friedman, maka dapat kita katakan,
bahwa pluralitas hkum tidak hanya menyangkut substansi atau strukturnya, tetapi juga bahkan
lebih tinggi tingkatan pluralitasnya unsur ‘kultur hukum’ yang mencakup pluralitas kebiasaan-
kebiasaan yang ada, serta juga pluralitas dari cara berfikir dan cara bertindak di bidang hukum.
Dan yang terpenting dari tiga komponen dikembangkan menjadi sembilan komponen
menunjukkan jenis-jenis pilar yang ada dalam konsep segitiga Menski sebagai berikut:
1. Hukum produk negara yang sesungguhnya, yang muncul langsung sebagai hukum, dan tidak
dikenal sebelumnya di dalam nilai-nilai etika, moral dan agama, mapun norma sosial.
Contohnya UU penggunaan Helm BAGI Pengendara Motor. Peraturan ini absolut produk
negara
2. Produk hukum negara yang hanya melegitimasi norma sosial yang telah ada sebelumnya,
contohnya; larangan membunuh, mencuri, dan memperkosa. Perbuatan itu sebelum
diancamkan pidana dalam KUHP, memeng telah dinyatakan sebagai kejahan oleh norma
moral dan agama, maupun oleh norma-norma sosial.
3. Hukum produk negara yang memperoleh pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan norma-
norma etika, moral dan agama, atau norma-norma sosial atau kultur tertentu.
4. Hukum ang murni produk sosial
5. Hukum produk sosial yang telah mendapat pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan
kekuasaan negara
6. Hukum produk sosial yang telah mendapat pengaruh sebagai hasil negosiasi dengan nilai
etika moral atau agama
7. Nilai-nilai etika, moral, atau agama yang masih murni
8. Nilai-nilai etika, moral, atau agama yang telah mendapat pengaruh sebagai hasil negosiasi
dengan norma-norma sosial atau kultur tertentu
9. Nilai-nilai etika, moral atau agama yang telah mendapat pengaruh sebagai hasil negosiasi
dengan kekuasaan pemerintah.
Tidak ada pohon yang benar-benar sama, demikian juga hukum. Oleh karena itu, sebagai
analisis realistis, berhadapan dengan dilema umum yang menrupakan fenomena uiversal, yaitu,
bahwa kita berupaya untuk menganalisis sedemikian anyak bentuk-bentu yang berbeda, di mana
kita akan teru-terus sibuk mengidentifikasi unsur-unsur secara keseluruhan, untuk dapat
memahami sebagai suatu totalitas yang pada hakikatnya bersifat plural. Pada saat bersamaan,
kita juga harus mencoba memahami skenario spesifik untuk bekerja ke arah sesuai, solusi-solusi
justice-consensius (kesadaran tentang keadilan). Baik di tingkat global, maupun tingkat lokal,
dan di tingkat mana pun, maka tantangan merupakan suatu negoisasi yang konstan, buka suatu
pernyataan yang kabur tentang hal ini atau tentang perspektif itu. Untuk, sifat hukum yang alami,
yang pada hakikatnya plural, selalu memungkinkan banyak perspektif. Oleh karena itu, dalam
beberapa hal, keseluruhan teori hukum menghadapi keadaan sulit, ang kemunculannya
barangkalai sebagain besar dengan tajam dari Ilmu Hukum Islam, di mana konsep kunci dari
ikhtilaf, adalah menoleransi keanekaragaman dan mengakui kemungkinan kesalahan yang
dihasilkan oleh sifat manusia. Dan, di dalam tradisi Ilmu Hukum Islam, pengakuan tentang
pluralisme sangat tampak, karena tidak ada seorangpun yang mempunyai hak istimewa untuk
menjadi penafsir tunggal, sebagi contoh, dikenalnya mazhab dalam hukum Islam (Maliki, Syafi,
Hambali, dan lainnya).

Anda mungkin juga menyukai