ZULKIFLI TAMRIN
B012202096
Di kalangan pakar teori hukum, sekarang dikenal sebuah teori hukum termutakhir untuk
menjawab realitas dunia globalisasi saat ini, yaitu triangular concept of legal pluralism (konsep
segitiga pluralisme hukum). Teori ini diperkenalkan sejak tahun 2000 kemudian dimodifikasi
pada tahun 2006 oleh Werner Menski, seorang profesor hukum dari University of Landon,
pakar hukum di bidang Hukum Bangsa-Bangsa Asia dan Afrika, yang menonjolkan Karakter
Plural kultur dan hukum. Dari subjek kajiannya, Menski kemudian memperkenalkan teori
hukumnya itu, yang memang sangat relevan bagi hukum bangsa-bangsa Asia dan Afrika,
maupun juga bagi bangsa Barat.
Sejak itu, banyak teori-teori hukum sebelumnya yang mulai tergeser, seperti teori the
disorder of law-nya Charles Sampford yang ekstrem untuk menolak eksistensi sistem hukum,
dan terutama menggeser keras teori-teori klasik yang dianggap tidak relevan dengan dunia
globalisasi, antara lain teori-teori positivistik dari Hans Kelsen, dan Montesqueiu. Tetapi
sebaliknya, triangular concept legal pluralism dari menski ini, memperkuat konsep Lawrence M.
Friedman tentang unsur sistem hukum ketiga, yaitu Legal Culture (kultur hukum), yang
sebelumnya belum dikenal, sebelum Friedman memperkenalkannya di tahun 1970-an. Justru
eksistensi kultur hukum yang sifatnya sangat pluralistik, melahirkan kebutuhan adanya sebuah
teori hukum yang mampu menjelaskan fenomena pluralisme hukum, yang merupakan suatu
realitas. Di era globalisasi saat ini, di mana hubungan antarwarga dunia, tidak lagi dibatasi oleh
sekat-sekat sempit otoritas kaku dari masing-masing negara, tetapi di hampir semua bidang,
komunikasi yang semakin canggih, menebab n dunia tiba-tiba terasa menjad suatu “negara
dunia”, dan setiap warga dunia dari suatu negara ke negara lain, suka atau tidak suka, akan
berhadapan dengan hukum asing, yang tentunya tidak mungkin persis sama atau bahkan sangat
kontras dengan hukum di negaranya sendiri. Setiap penduduk dunia yang melakukan perjalanan
ke negara asing, baik secara fisik maupun melalui “dunia maya” (Internet) akan merasakan
kehadiran realitas pluralisme hukum itu dalam kehidupannya.
Pluralisme hukum bukan hanya mengenai beraneka ragamnya hukum positif yang ada,
baik antarbangsa maupun di dalam sutu negara tertentu, contonhnya di Amerika Serikat, setiap
“state” (negara bagian) memiliki sistem hukum, sistem peradilan, dan hukum positif masing-
masing; demikian juga di Indonesia setiap daerah memiliki hukum lokal masing-masing;
melainkan juga, pluralisme hukum adalah mengenai perilaku hukum dari masing-masing
individu atau kelompok yang ada disetiap bangsa dan masyarakat di dunia ini. Dan tentu saja
sangat tidak realitas, ketika berbagai sistem hukum, sistem peradilan dan hukum positif yang
sangat plural atau beraneka ragam itu, hanya dikaji dengan menggunakan salah satu jenis
pendekatan hukum secara sempit saja, atau pendekatan moral belaka. Tak ada metode ang lebih
relevan untuk menghadapi berbagai isu hukum di era globalisasi dunia dewasa ini, kecuali
dengan penggunaan secara proporsional secara serentak ketiga pendekatan hukum: normatif,
empiris dan filsufis, dan itulah yang dikenal sebagai Triangular Concept Of Legal Pluralism.
1. Pendekatan ‘jurisprudential’ atau kajian normatif hukum,
Menfokuskan kajiannya dengan memandang hukum sebagai suatu sistem yang utuh yang
mencakupi seperangkat asas-asas hukum, norma-norma hukum, dan aturan-aturan hukum
(tertulis maupun tidak tertulis). Harus diketahui bahwa asas hukum ang elahirkan norms hukum,
dsn norms hukum melahirkan aturan hukum. Dari satu asas hukum dapat melahirkan lebih dari
satu norma hukum hingga tak terhingga norma hukum, dan dari satu norma hukum dapat
melahirkan lebih dari satu aturan hukum hingga tak terhingga aturan hukm.
2. Pendekatan empiris ‘legal empirical’,
Memfokuskan kajiannya dengan memandang hukum sebagai seperangkat realitas
(reality), seperangkat tindakan (action), dan seperangkat perilaku (behavior).
Pendekaan legal emirical ini masih dibedakan lagi kedalam kajian-kajian:
a. Sosiologi hukum yang masih dibedakan kedalam:
i. Sosiology of law yang lahir di Eropa Barat.
ii. Sociologicsl jurisprudance yang lahir di Amerika; plopornya Profesor Roscoe
Pound dari Harvard University Law School.
b. Antropology hukum
c. Psikologi hukum yang masih dibedakan ke dalam:
i. Psychology in lawI, merujuk pada suatu aplikasi spesifik dari psikologi dalam
hukum.
ii. Psychology and law, digunakan untuk riset psikologi terhadap terdakwa, para
polisi, pengacara, jaksa dan hakim.
iii. Psychology of law, digunakan untuk merujuk pada riset psikologis terhadap isu-
isu, seperti mengapa orang menaati hukum atau tidak menaati hukum tertentu,
perkembangan moral, dan presepsi serta sikap publik terhadap berbagai sanksi
pidana.
iv. Forensic pschology adalah penggunaan psikologi dalam proses pengadilan.
Di luar itu, kalau ke empat pendekatan di atas lebih berfokus pada faktor kejiwaannya
belaka, maka telah muncul ilmu baru ang identik, yang lebih menekankan pada faktor ilmu baru
yang identik, yang lebih menekankan pada faktor biologis pengaruh otak dan saraf terhadap isu-
isu hukum. Neuroscience and law adalah suatu kajian baru tentang keunikan pentingnya
pengaruh otak dan saraf bagi perilaku manusia, dan karena itu bagi masyarakat dan hukum. Ada
empat area utama kajian neuroscience and law, yaitu: (1) wawasan baru tentang isu-isu
pertanggungjawaba; (2) meningkatkan kemampuan untuk ‘membaca pikiran’; (3) prediksi yang
lebih baik terhadap perilaku yang akan datang; dan (4) prospek terhadap peningkatan kemanpuan
otak manusia. Salah satu contoh penerapan kajian ini kedalam praktek hukum, antara lain
penggunaan alat penguji kebohongan atau lie detection.
d. Hukum dan ekonomi (law and economic), bedakan dengan kajian hukum ekonomi yang
mrupakan bagian pendekatan jurisprudential atau kajian normatif hukum.
e. Hukum dan pembangun (law and devolovment)
f. Hukum dan struktur sosial (law and sosial structure0
g. Kajian hukum kritis (the critical legal)
3. Pendekatan filsufis, yang memfokuskan kajiannya ddengan memandang hukum sebagai
seperangkat nilai-nilai mral serta ide-ide yang abstrak, di antaranya kajian tentang moral
keadilan.
Penedekatan filsfis ini dipelajari dalam mata kuliah Filsafa Hukum, Logika Hukum, dan
Teori Hukum. Dalam kaitan tiga pendekatan ilmu hukum itu, hukum ummna dapat dibedakan
kedalam:
a) Ius constituendum: hukum ideal yang diharapkan berlaku, bidang ini didekati dengan
pendekatan filsufis
b) Ius constitutum: hkum ositif, yaitu hukum yang diberlakukan oleh suatu negara tertentu,
untu suatu waktu tertentu, tetapi belum tentu di dalam realitasnya bener-benar berlaku
c) Ius operatum: hukum ang dalam ralitasnya benar-benar berlaku