Anda di halaman 1dari 8

Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Publik Setelah Adanya Pandemi Covid-19

(Studi Kasus: Kota Semarang)

Disusun untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Penelitian


(TPK305)

Dosen Pengampu:
Prof. Dr.rer.nat. Imam Buchori
Dr.sc.agr. Iwan Rudiarto
Dr.-Ing. Asnawi
Agung Sugiri, MPSt

Oleh :

Via Qurrotaaini
21040118130121
Kelas B

DEPARTEMEN PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS TEKNIK, UNIVERSITAS DIPONEGORO
KOTA SEMARANG
TAHUN 2021
Abstrak

Kota merupakan tempat berbagai aktivitas penduduk mulai dari bekerja, bertempat tinggal, hingga
berekreasi. Oleh karenanya, kota harus dirancang sebagai tempat yang nyaman dan aman. Kota
Semarang merupakan salah satu Top Tier City Kota Layak Huni yang dikeluarkan oleh Ikatan Ahli
Perencana (IAP) pada Most Livable City Index tahun 2017. Ikatan Ahli Perencana (IAP)
menafsirkan terminologi kota layak huni berdasarkan beberapa indikator, salah satunya adalah
ketersediaan ruang terbuka hijau publik sebagai wadah untuk berinteraksi antar komunitas. Terlebih
setelah pandemi Covid-19, ruang terbuka publik merupakan kebutuhan penting untuk menurunkan
potensi penyebaran virus. Ruang terbuka hijau publik diharapkan juga dapat menjadi tempat
berinteraksi dan berekreasi yang nyaman dan aman sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Melalui
penelitian ini, diharapkan dapat mengetahui tingkat kenyamanan masyarakat terhadap ruang terbuka
hijau publik yang ada dengan pendekatan penelitian kualitatif serta mengetahui fungsi ruang terbuka
hijau publik yang diharapkan oleh masyarakat. Metode yang digunakan dalam pengambilan
keputusan perencanaan pembangunan ruang tebuka hijau publik menggunakan metode AHP
(Analytical Hierarchy Process). Hasil penelitian diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan
pembangunan ruang terbuka hijau publik di Kota Semarang sehingga tercipta kenyamanan dan
peningkatan kualitas kesehatan masyarakat setelah pandemi Covid-19.
Research Question
1. Bagaimana kondisi dan fungsi RTH Publik di Kota Semarang saat ini?
2. Bagaimana harapan masyarakat terhadap pengembangan fungsi RTH Publik di Kota
Semarang setelah adanya pandemi Covid-19?
3. Bagaimana pengembangan RTH Publik di Kota Semarang yang dianggap ideal bagi
masyarakat dan berbagai ahli sebagai respon adanya pandemi Covid-19?

Keyword: RTH Publik, Pandemi Covid-19, persepsi masyarakat, AHP, Kota Semarang
Tinjauan Pustaka
Penulisan ini berdasarkan referensi beberapa jurnal dan buku sebelumnya. Penelitian
sebelumnya akan menjadi referensi penulis mengenai Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Publik
Setelah Adanya Pandemi Covid-19 di Kota Semarang. Metode penelitian yang digunakan adalah
studi kualitatif dan AHP (Analytical Hierarchy Process).
a. Kota Layak Huni
Kota layak huni atau Livable City merupakan salah satu isu yang hangat di kalangan
perencana. kota diharapkan tidak hanya menampung aktivitas masyarakat tetapi juga memberikan
kenyamanan pada penghuninya untuk tinggal. Menurut penelitian Indonesia Most Livable City
Index yang dilakukan oleh Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia (IAP), Livable City merupakan
sebuah istilah yang menggambarkan sebuah lingkungan dan suasana kota yang nyaman sebagai
tempat tinggal dan sebagai tempat untuk beraktivitas yang dilihat dari berbagai aspek baik aspek
fisik (fasilitas perkotaan, prasarana, tata ruang, dll) maupun aspek non-fisik (hubungan sosial,
aktivitas ekonomi, dll).
Ketika kelayakan huni menjadi kata kunci untuk perencanaan wilayah kami, kami tahu bahwa
kami harus menemukan cara yang efektif untuk menangani banyak masalah…Membuat rencana dan
peraturan tidak akan cukup. Kami harus berurusan dengan kelayakan huni jangka panjang di masa
depan, tetapi juga dengan kepuasan berkelanjutan masyarakat, pengalaman hidup mereka sehari-hari
di wilayah tersebut. Kelangsungan hidup hari esok membutuhkan perhatian yang sama besarnya
dengan pencapaian masa depan yang lebih baik. “Bukti perencanaannya akan ada di kehidupan.”
(Harry Lash dalam Planning in a Human Way, 1976).
Beberapa institusi telah mengadakan beberapa penilaian mengenai Livable City ini,
diantaranya adalah Americas Most Livable Communities, yang menilai tingkat kenyamanan hidup
kota-kota di Amerika Serikat, Urban Construction Management Company, UCMC – IBRD (World
Bank), yang menilai tingkat sustanabiliy kota-kota di dunia, dan International Center For
Sustainable Cities, Vancouver Working Group Discussion, yang menilai tingkat kenyamanan hidup
kota-kota di Kanada.
Livability mengacu pada sistem perkotaan yang berkontribusi pada kesejahteraan fisik, sosial
dan mental dan pengembangan pribadi dari semua penghuninya. Ini adalah tentang ruang kota yang
menyenangkan dan diinginkan yang menawarkan dan mencerminkan pengayaan budaya dan sakral.
Prinsip-prinsip kunci yang memberi substansi pada tema ini adalah kesetaraan, martabat,
aksesibilitas, keramahan, partisipasi dan pemberdayaan. (A Sustainable Urban System: The Long-
term Plan for Greater Vancouveri, 2003).
Salah satu indeks kelayakan yang dikeluarkan oleh Ikatan Ahli Perencanaan (IAP) adalah
ketersediaan ruang dan tempat publik untuk bersosialisasi dan berinteraksi. Ruang terbuka publik
sangat penting untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan kualitas hidup masyarakat. Terlebih
saat adanya pandemi Covid-19. Ruang terbuka publik diharapkan dapat menjadi tempat dengan
potensi penularan virus yang rendah.
b. Ruang Terbuka Hijau Publik
Ruang terbuka hijau merupakan area memanjang/jalur dan atau mengelompok, yang
penggunannya lebih bersifat terbuka, tempat tumbuh tanaman, baik yang tumbuh tanaman secara
alamiah maupun yang secara sengaja ditanam (Permen PU No. 05/PRT/M/2008). Dalam undang-
undang RI No.26 tahun 2007, tentang Penataan Ruang, pasal 29 ayat 1 dan 2 disebutkan bahwa
proporsi ruang terbuka hijau pada wilayah kota paling sedikit 30% dari luas wilayah kota, dan
proporsi ruang terbuka hijau publik pada wilayah kota paling sedikit 20% dari luas wilayah kota.
Ruang terbuka publik hijau harus dipertahankan dan dijaga kualitasnya karena akan
memberikan manfaat bagi kualitas dan keseimbangan ekologis lingkungan. Kita harus
memperlakukan kota seperti organisme hidup… fenomena perkotaan kemudian, seperti kehidupan,
didasarkan pada tindakan penyeimbangan yang halus. Jika kita ingin sebuah kota berfungsi dengan
baik sebagai masyarakat, maka keseimbangan itu tidak boleh diganggu. (B. Cools. 1997. “The
Future of the City”).
Berdasarkan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.05/PRT/M/2008, ruang terbuka hijau
memiliki fungsi ekologi yang meliputi memberi jaminan pengadaan RTH menjadi bagian dari
sistem sirkulasi udara (paru-paru kota), pengatur iklim mikro agar sistem sirkulasi udara dan air
secara alami dapat berlangsung lancar, sebagai peneduh, produsen oksigen, penyerap air hujan,
penyedia habitat satwa, penyerap polutan media udara, air dan tanah, serta penahan angin. Sebagai
fungsi sosial, RTH berperan untuk menggambarkan ekspresi budaya lokal, media komunikasi warga
kota, tempat rekreasi, serta menjadi wadah dan objek pendidikan, penelitian, dan pelatihan dalam
mempelajari alam. Sebagai fungsi ekonomi, RTH berperan untuk sumber produk yang bisa dijual,
seperti tanaman bunga, buah, daun, sayur mayur dan dapat menjadi bagian dari usaha pertanian,
perkebunan, kehutanan, dan lain-lain. Terakhir RTH juga memiliki fungsi estetika untuk
meningkatkan kenyamanan, memperindah lingkungan kota, baik dari skala mikro maupun makro
kota secara keseluruhan, menstimulasi kreativitas dan produktivitas warga kota, pembentuk faktor
keindahan arsitektural, serta menciptakan suasana serasi dan seimbang antara kawasan terbangun
dan tidak terbangun.
Ruang terbuka di masa pandemi menjadi sangat penting untuk menurunkan risiko penularan
virus. Berdasarkan penelitian, ditemukan bahwa pada keseluruhan jenis ruang terbatas, risiko
penularan sekitar 3 kali lebih tinggi daripada di ruang terbuka. Di antara jenis ruang tertutup,
sekolah atau tempat kerja menunjukkan risiko penularan tertinggi (sekitar 4 kali). Untuk SARS-
CoV-2, ruang hunian dan pesawat adalah ruang yang berisiko (masing-masing sekitar 8 dan 7 kali).
Hasil penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa terjadi peningkatan aktivitas di dalam
ruang hijau kota, area perumahan dan pinggiran kota, namun, hutan dan lanskap budaya lebih
disukai oleh para rekreasi. Ada juga peningkatan signifikan dalam intensitas aktivitas di dalam
kawasan lindung yang menunjukkan pentingnya hutan alam yang dapat diakses sebagai tempat
perlindungan hijau. Penelitian juga menggambarkan pentingnya kesempatan rekreasi untuk
kesiapsiagaan bencana dalam perencanaan kota. Penelitian menyimpulkan bahwa aktivitas rekreasi
di ruang hijau perkotaan, dan infrastruktur perkotaan yang mendukungnya (yaitu bersepeda dan jalur
pejalan kaki) telah, dan terus menjadi mekanisme penanggulangan yang penting selama pandemi
global.
Kebutuhan mendesak untuk melindungi dan memelihara masyarakat perkotaan telah
ditekankan oleh pandemi Covid-19 ketika pembatasan perjalanan, pekerjaan dan interaksi sosial
telah menunjukkan perlunya ruang hijau perkotaan yang sesuai yang dapat diakses dengan aman
untuk rekreasi udara terbuka. Salah satu dari sedikit hasil positif dari pandemi mungkin adalah
memfokuskan kembali pikiran pembuat kebijakan dan pemerintah pada kebutuhan untuk
melindungi ruang terbuka kita yang tersisa, dan untuk menciptakan ruang 'hijau' baru di kota-kota
kita.
c. Metode AHP (Analytical Hierarchy Process)
Bagi banyak pembuat kebijakan dan pendukung lingkungan, partisipasi publik adalah kebaikan
intrinsik, terlepas dari hasilnya. Membiarkan masyarakat yang terkena dampak dan pemangku
kepentingan lainnya untuk mengambil bagian dalam pengambilan keputusan adalah komponen
dasar demokrasi (Rosenbaum 1978; Thomas 1990).
Yang lain melihat partisipasi publik sebagai sarana untuk mencapai tujuan. Misalnya, partisipasi
public dapat meningkatkan kualitas pengambilan keputusan dengan memberikan informasi
tambahan yang unik kepada para pengambil keputusan tentang kondisi lokal (López Cerezo dan
García 1996; Newig 2007; Yearley et al. 2003). Pengetahuan lokal atau “awam” memainkan peran
yang sangat penting dalam mengimplementasikan komitmen internasional, seperti Agenda 2030
tentang Pembangunan Berkelanjutan. Sementara 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan bersifat
global, pengembangan dan implementasi kebijakan aktual terjadi di tingkat nasional, regional dan
lokal. Pembuat kebijakan harus menerjemahkan target global untuk mencerminkan kondisi dunia
nyata (Fenton dan Gustafsson 2017).
Livability memiliki sifat kualitatif, sehingga salah satu metode yang umum digunakan untuk
mengukurnya adalah dengan menggunakan metode pengambilan keputusan multi kriteria.
Analytical Hierarchy Process (AHP) adalah salah satu metode yang paling banyak digunakan dalam
menilai livability (Ye et al., 2020).
AHP merupakan salah satu metode MCDM yang digunakan untuk membantu pengambil
keputusan dalam mengetahui alternatif terbaik dari banyak elemen pilihan. AHP menggunakan
tingkat kepentingan relatif dari kriteria dan alternatif yang ada.
Dalam menyelesaikan persoalan dengan AHP ada prinsip-prinsip AHP yang harus dipahami,
diantaranya adalah :
a. Decomposition. Setelah persoalan didefinisikan, maka perlu didekomposisi, yaitu dengan
cara memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-unsurnya. Jika ingin mendapatkan hasil yang
akurat, pemecahan juga dilakukan terhadap unsur-unsur sampai tidak mungkin dilakukan
pemecahan lebih lanjut, sehingga didapat beberapa tingkatan persoalan. Karena alasan ini, maka
proses analisis ini dinamakan hierarki.
b. Comparative Judgement. Prinsip ini membuat penilaian tentang kepentingan relatif dua
elemen pada suatu tingkatan tertentu dalam kaitannya dengan tingkatan diatasnya. Penilaian ini
merupakan inti dari AHP, karena ia akan berpengaruh terhadap prioritas elemen-elemen. Hasil
penilaian ini akan lebih mudah disajikan dalam bentuk matriks pairwise comparison. Agar diperoleh
skala yang bermanfaat, ketika membandingkan dua elemen seseorang yang akan memberi jawaban
perlu memiliki pengertian yang menyeluruh tentang elemen-elemen yang dibandingkan dan
relevansinya terhadap kriteria atau tujuan yang dipelajari.
c. Synthesis of Priority. Dari setiap matriks pairwise comparison dicari eigen factor untuk
mendapatkan local priority. Karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap tingkat, maka
untuk mendapatkan global priority harus dilakukan sintesa diantara local priority. Prosedur
melakukan sintesa akan berbeda-beda menurut bentuk hierarki. Pengurutan elemen - elemen
menurut kepentingan relatif melalui prosedur sintesa, yang dinamakan priority setting.
d. Logical consistency. Konsistensi memiliki dua makna. Pertama adalah bahwa objek-objek
yang serupa dapat dikelompokkan sesuai dengan keseragaman dan relevansi. Kedua adalah
menyangkut tingkat hubungan antar objek-objek yang didasarkan pada kriteria tertentu. Matriks
bobot yang diperoleh dari hasil perbandingan berpasangan harus mempunyai hubungan kardinal dan
ordinal seperti berikut:
Hubungan kardinal : aij. ajk = aik
Hubungan ordinal : ai>aj dan aj>ak maka ai>ak
Pada keadaan sebenarnya akan terjadi beberapa penyimpangan dari hubungan tersebut,
sehingga matriks tidak konsisten sempurna. Hal ini dapat terjadi karena ketidakkonsistenan dalam
preferensi seseorang/responden (Prayudi, 2017). Matriks perbandingan dapat diterima jika nilai
rasio konsisten (CR) < 0,1 yang berarti tingkat konsistensi baik dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan demikian nilai CR merupakan ukuran bagi konsistensi suatu komparasi berpasangan dalam
matriks pendapat. Jika indeks konsistensi cukup tinggi maka dapat dilakukan revisi judgement, yaitu
dengan mencari deviasi RMS dari barisan (aij dan Wi/Wj) dan merevisi judgement pada baris yang
mempunyai nilai prioritas terbesar. Konsistensi sampai kadar tertentu dalam menetapkan prioritas
untuk setiap unsur adalah perlu sehingga memperoleh hasil yang sahih dalam dunia nyata. Rasio
ketidakkonsistenan maksimal yang dapat ditolerir adalah 10%.
Daftar Pustaka
Domenri, Rinai, dkk. 2017. Penentuan Prioritas Pengembangan Ruang Terbuka Hijau Di Kota
Pontianak Menggunakan Metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Pontianak: Universitas
Tanjungpura Pontianak
Ikatan Ahli Perencanaan (IAP). 2009. Most Livable City Index Tahun 2009. Jakarta : Ikatan Ahli
Perencanaa
Laura H. Berry. 2019. How Public Participation Shapes Environmental Decision-Making.
Stockholm Environment Institute
Marisa, Dwi, dkk. 2018. Rekomendasi Bentuk Pengembangan Ruang Terbuka Hijau di Kota
Pontianak Menggunakan Metode AHP-Copras. Pontianak : Universitas Tanjungpura
Pontianak
Mirzahossein, Hamid dan Seyyed Ali Alamdar Mohghaddam. 2021. Increasing Citizen’s Livability
In The Future City. Research Center in Public Administration and Public Services: Theoretical
and Empirical Researches in Urban Management, August 2021, Vol. 16, No. 3 (August 2021),
pp. 23-41
Moon, Jinyoung dan Byung-Han Ryu. 2021 Transmission Risks Of Respiratory Infectious Diseases
In Various Confined Spaces: A Meta-Analysis For Future Pandemics. Science Direct:
Environmental Research
Rodgers, Christopher. 2020. Nourishing And Protecting Our Urban ‘Green’ Space In A Post-
Pandemic World. Professor of Law Newcastle University, UK: Environmental Law Review
2020, Vol. 22(3) 165–169 ª The Author(s) 2020
Uut, Maldhimas dan Amin Pujiati. 2018. Strategi Meningkatkan Ruang Terbuka Hijau Publik di
Kabupaten Semarang. Semarang: Jurusan Ekonomi Pembangunan,Fakultas Ekonomi,
Universitas Negeri Semarang
Timmer, Vanessa and Dr. Nola-Kate Seymoar. 2006. The World Urban Forum 2006 Vancouver
Working Group Discussion Paper: The Livable City. International Centre for Sustainable
Cities
Zander S. Vander, et al. 2021. Back To Nature: Norwegians Sustain Increased Recreational Use Of
Urban Green Space Months After The COVID-19 Outbreak. Science Direst: Landscape and
Urban Planning 214 (2021) 104175

Anda mungkin juga menyukai