Anda di halaman 1dari 8

1. Menjelaskan tentang VRSA, MRSA, ESBL?

a. Methicillin Resistant Staphylococcus aureus (MRSA)


Methicillin Resistant Staphylococcus aureus atau MRSA adalah jenis Staphylococcus
aureus yang resisten terhadap antibiotik metisilin. Sedangkan bakteri yang masih sensitif
terhadap metislin disebut Methicillin Sensitive Staphylococcus aureus (MSSA). MRSA
juga resisten terhadap antibiotik betalaktam, makrolida, tetrasiklin, kloramfenikol, dan
kuinolon. Staphylococcus aureus adalah kuman gram positif berbentuk bulat dan
tersusun bergerombol seperti anggur. Bakteri tersebut tidak memiliki spora dan tidak
motil.

Staphylococcus aureus merupakan flora normal di tubuh manusia. Nares anterior, aksila
dan saluran pencernaan adalah bagian tubuh yang sering menjadi tempat kolonisasi
kuman Staphylococcus aureus. Infeksi dapat terjadi apabila terjadi intervensi dan
mengganggu pertahanan tubuh, misalnya mencukur, pemasangan kateter, aspirasi dan
pembedahan. Bakteri ini dapat ditularkan antarmanusia melalui kontak langsung dengan
kulit yang terinfeksi maupun transmisi melalui udara. Kontak tidak langsung juga dapat
menyebarkan bakteri, misalnya, menyentuh barang seperti handuk, peralatan, pakaian,
atau benda lain yang telah berhubungan dengan orang yang terinfeksi dapat
menyebarkan bakteri ke individu lain yang tidak terinfeksi.

Infeksi Staphylococcus aureus dapat terjadi akibat kontaminasi langsung pada luka,
misalnya infeksi stafilokokus pasca operasi atau pasca trauma. Staphylococcus aureus
dapat menyebabkan bakterimia dan menyebar ke berbagai organ, sehingga
menimbulkan endokarditis, osteomielitis hematogen akut, meningitis, atau infeksi paru.

Staphylococcus aureus memiliki banyak faktor virulensi yang potensial. Faktor – faktor
tersebut dapat memiliki banyak fungsi dalam patogenesis dan beberapa faktor juga
dapat memiliki fungsi yang sama. Staphylococcus aureus mempunyai banyak protein
permukaan yang disebut dengan Microbial Surface Components Recognizing Adhesive
Matrix Molecules (MSCRAMM). MSCRAMM memulai infeksi dengan menempel pada
jaringan. MSCRAMM mengikat beberapa molekul seperti kolagen, fibronektin dan
fibrinogen. MSCRAMM memegang peranan penting dalam pertumbuhan koloni di
jaringan sehingga dapat menimbulkan infeksi endovaskular, tulang, sendi dan alat
prostetik.

Staphylococcus aureus memiliki banyak komponen yang membantu bakteri tersebut


menghindar dari sistem imun saat infeksi. Pertahanan utamanya adalah produksi
mikrokapsul antifagosit yang tersusun atas polisakarida. Protein A berikatan dengan
reseptor Fragmen Crystallizable (Fc) pada imunoglobulin yang menghambat proses
opsonisasi. Staphylococcus aureus juga memicu sekresi protein yang menghambat
penarikan neutrofil dan faktor kemotaktik ke tempat infeksi. Karotenoid dan katalase
dapat membuat bakteri bertahan pada proses fagositosis. Aktivitas koagulase
menghasilkan penggumpalan yang menghambat akses neutrofil polimorfonuklear (PMN)
dan komponen imun lain. Leukosidin juga dihasilkan oleh Staphylococcus aureus untuk
menghancurkan leukosit dan membentuk lubang di membran sel.

Staphylococcus aureus menghasilkan berbagai macam enzim, seperti protease, lipase,


dan hyaluronidase yang memudahkan bakteri tersebut untuk masuk dan
menghancurkan jaringan serta menyebar ke jaringan sekitarnya selama proses infeksi.
Enzim betalaktamase adalah enzim yang menginaktivasi penisilin sedangkan Penicillin
Binding Protein (PBP) adalah enzim yang berada di membran sitoplasma dan ikut
berperan dalam pembentukan dinding sel. PBP inilah yang menjadi salah satu faktor
utama terjadinya resistensi.

Staphylococcus aureus memproduksi berbagai macam toksin yang dikelompokkan sesuai


dengan mekanisme kerjanya. Toksin tersebut dapat merusak membran kemudian
menyebabkan hilangnya komponen – komponen sel hingga terjadi lisis. Panton
Valentine Leukocidin (PVL) adalah toksin yang dapat melisiskan PMN. Produksi toksin
PVL dapat menyebabkan kuman menjadi lebih resisten.

Mekanisme Resistensi

Staphylococcus aureus berubah menjadi resisten terhadap metisilin karena mendapat


sisipan suatu elemen DNA berukuran besar antara 20-100 kb yang disebut SCCmec.
SCCmec selalu mengandung mecA yaitu gen yang menyandi PBP2a yang mendasari
terjadinya resistensi MRSA. Resistensi MRSA terhadap metisilin dan terhadap semua
antimikroba golongan betalaktam disebabkan perubahan pada PBP yang normal yaitu
PBP2 menjadi PBP2a. PBP2a memiliki afinitas yang sangat rendah terhadap betalaktam
sehingga sekalipun bakteri ini dibiakkan pada media mengandung konsentrasi tinggi
betalaktam, MRSA tetap dapat hidup dan mensintesa dinding sel. Pengamatan pada
struktur PBP2a menunjukkan adanya perubahan pada tempat pengikatan yang
mengakibatkan rendahnya afinitas. Faktor genetik lain seperti gen betalaktamase dan
faktor eksternal seperti temperatur, tekanan oksigen, kandungan ion, osmolaritas dan
cahaya juga mempengaruhi ekspresi resistensi.

Protein binding penicillin ikut berperan dalam biosintesa peptidoglikan yaitu


mengkatalisa reaksi transpeptidasi. Peptidoglikan tersebut merupakan tempat di mana
antibiotik betalaktam bekerja. Resistensi terhadap antibiotik dapat terjadi karena
diproduksinya enzim betalaktamase seperti pada galur Staphylococcus aureus penghasil
betalaktamase dan perubahan struktur PBP seperti yang terjadi pada MRSA. Selain
berperan dalam reaksi transpeptidasi, PBP2 juga memiliki aktivitas transglikolasi. Reaksi
transglikolasi tersebut tidak berhubungan dengan aktivitas reseptor penisilin. Afinitas
PBP2a yang rendah terhadap betalaktam menyebabkan antibiotik betalaktam tidak
dapat mempengaruhi reaksi transpeptidasi sehingga sintesis dinding sel tidak terganggu.
Reaksi transglikolasi tidak terpengaruh oleh aktivitas betalaktam sehingga reaksi
transglikolasi dari PBP2a ini tetap utuh, hal tersebut juga menentukan adanya resistensi
MRSA.

file:///C:/Users/ACER/Downloads/Documents/Ajrina_Luthfita_Bayu_Putri_22010111130
095_Lap.KTI_Bab2.pdf

file:///C:/Users/ACER/Downloads/Documents/Lovenia_Valencia_22010111130110_Lap.
KTI_Bab2.pdf
b. Vankomisin Staphylococcus aureus (VRSA)
Vankomisin Staphylococcus aureus (VRSA) adalah Staphylococcus aureus strain yang
telah resisten terhadap antibiotic vankomisin. Antibiotik ini adalah obat pilihan untuk
mengobati infeksi dengan Methicillin-Resistant Staphylococcus aureus (MRSA).

Vankomisin adalah antibiotik yang termasuk dalam kelompok glikopeptida yang bekerja
dengan menghambat sintesis dinding sel bakteri Gram positif. penggunaan dan
pemberian vankomisin yang tidak tepat dapat menyebabkan peningkatan kejadian S.
Aureus resistensi terhadap vankomisin.

Klasifikasi isolat S.aureus dengan reduksi kerentanan terhadap vankomisin didasarkan


pada laboratorium breakpoint yang ditetapkan oleh Klinik dan Laboratorium Institut
Standar (CLSI). Stafilokokus aureus strain disebut sebagai Vancomycin-Resistant
Staphylococcus aureus (VRSA) minimal Konsentrasi Inhibisi (MIC) 16μg/mL, Vancomycin
Intermediate Staphylococcus aureus (VISA) pada MIC antara 4-8μg/mL dan Vancomycin
Staphylococcus aureus yang rentan (VSSA) pada 6 MIC 2 g/mL.

Resistensi Staphyloccus aureus terhadap vankomisin berkembang akibat adanya enzim


pada sel bakteri yang resisten akan membuang residu alanin dari bagian peptide
peptidoglikan (Elliot et al., 2013). Selain itu, disebabkan juga oleh penyalahgunaan
antibiotik dan tekanan selektif vankomisin, sebagai antibiotik utama yang tersedia untuk
pengobatan infeksi parah dan mengancam jiwa yang disebabkan oleh MRSA (Pournajat
et al., 2014). Vankomisin merupakan antibiotik golongan glikopeptida yang masih
memiliki kepekaan tinggi. Mekanisme resistensi VRSA dimediasi oleh operon VanA yang
dibawa pada elemen genetik bergerak Tn1546 yang diperoleh dari Enterococcus faecalis
yang resisten vankomisin.
https://clinmedjournals.org/articles/jide/journal-of-infectious-diseases-and-epidemiology-jide-5-
093.php?jid=jide#mec

indonesianjournalofclinicalpathology.org/index.php/patologi/article/view/1385/pdf

file:///C:/Users/ACER/Downloads/Documents/journal-of-infectious-diseases-and-epidemiology-jide-
5-093.pdf

file:///C:/Users/ACER/Downloads/Documents/J-Adv-Res-2020-21-169-176-eng.pdf

file:///C:/Users/ACER/Downloads/Documents/Aisyah%20Pratiwi%20Maharini%20-
%20132010101016_.pdf

file:///C:/Users/ACER/Downloads/Documents/157030007.pdf

a. Extendedspectrum broad lactamase (ESBL).


Salah satu antibiotika yang dipakai adalah antibiotika golongan beta-lactam yang
bekerja menghambat dinding sel. Pemakaian antibiotika beta-lactam yang tidak sesuai
dapat menyebabkan terjadi resistensi terhadap antibiotika tersebut. Resistensi
terhadap beta-lactam dapar terjadi di berbagai tingkatan. Salah satu resistensi
dapat terjadi adalah resistensi terhadap extendedspectrum broad lactamase (ESBL).

Extended spectrum beta-lactamase adalah enzim yang mempunyai kemampuan dalam


menghidrolisis antibiotika golongan penicillin, cephalosporin generasi satu, dua, dan
tiga serta golongan monobactam dan menyebabkan resistensi ke seluruh antibiotika
tersebut.

ESBL banyak dihasilkan oleh


Enterobactericeae (terutama
Escherichia coli)
dan Klebsiella pneumoniae.
Enterobacteriaceae
mempunyai 3 pola resistensi
yang
disebabkan broad spectrum
beta-lactamase,inhibitor
resistant beta-lactamase
(derivat
TEM) , Cephalosporinase
yang berlebihan.
ESBL banyak dihasilkan oleh Enterobactericeae (terutama Escherichia coli) dan
Klebsiella pneumoniae. Enterobacteriaceae mempunyai 3 pola resistensi yang
disebabkan :

- Broad spectrum beta-lactamase : menyebabkan resistensi tinggi terhadap amino dan


carboxy-penicillin dan ditandai dengan sinergi pada antibiotik inhibitor beta-
lactamase seperti clavulanat acid atau sulbactam.

-Inhibitor resistant beta-lactamase ( derivat TEM ) : menyebabkan resistensi di amino


dan carboxy penicillin dan tidak mempunyai sinergi dengan antibiotika . Inhibitor
resistant beta-lactamase menghasilkan resistensi terhadap kombinasi amoxycillin-
clavulanate, ampicillin-sulbactam, ticarcillin-clavulanate.

-Cephalosporinaseyang berlebihan : menyebabkan resitensi pada amino dan carboxy-


penicillin di cephalosporin generasi kedua dan ketiga dan aztreonam. Hal ini ditunjukkan
dengan berkurangnya sinergi antara antibiotik dan inhibitornya

https://www.researchgate.net/publication/332077385_Extended_Spectrum_Beta-
Lactamase_ESBL

2. Bagaimana cara penggunaan antibiotik yang rasional


Tujuan Penggunaan Obat Rasional
Untuk menjamin pasien mendapatkan pengobatan yang sesuai dengan kebutuhannya, untuk
periode waktu yang adekuat dengan harga yang terjangkau

kriteria penggunaan obat rasional:


a. Tepat Diagnosis : Jika diagnosis tidak ditegakkan dengan benar, maka pemilihan obat
akan terpaksa mengacu pada diagnosis yang keliru tersebut. Akibatnya obat yang
diberikan juga tidak akan sesuai dengan indikasi yang seharusnya.
b. Tepat Indikasi Penyakit : Setiap obat memiliki spektrum terapi yang spesifi k. Antibiotik,
misalnya diindikasikan untuk infeksi bakteri. Dengan demikian, pemberian obat ini hanya
dianjurkan untuk pasien yang memberi gejala adanya infeksi bakteri.
c. Tepat Pemilihan Obat : Keputusan untuk melakukan upaya terapi diambil setelah
diagnosis ditegakkan dengan benar. Dengan demikian, obat yang dipilih harus yang
memiliki efek terapi sesuai dengan spektrum penyakit.
d. Tepat Dosis : Agar suatu obat dapat memberikan efek terapi yang maksimal diperlukan
penentuan dosis, cara dan lama pemberian yang tepat. Besar dosis, cara dan frekuensi
pemberian umumnya didasarkan pada umur dan/atau berat badan pasien.
e. Tepat Cara Pemberian : Obat harus digunakan sesuai dengan petunjuk penggunaan,
waktu dan jangka waktu terapi sesuai anjuran.
f. Tepat cara Pemberian Obat : Obat harus digunakan sesuai dengan petunjuk
penggunaan, waktu dan jangka waktu terapi sesuai anjuran.
g. Tepat Pasien : Mengingat respon individu terhadap efek obat sangat beragam maka
diperlukan pertimbangan yang seksama, mencakup kemungkinan adanya kontraindikasi,
terjadinya efek samping, atau adanya penyakit lain yang menyertai.
h. Tepat Informasi : Kejelasan informasi tentang obat yang harus diminum atau digunakan
pasien akan sangat mempengaruhi ketaatan pasien dan keberhasilan pengobatan.
Informasi yang diberikan meliputi nama obat, aturan pakai, lama pemakaian, efek
samping yang ditimbulkan oleh obat tertentu, dan interaksi obat tertentu dengan
makanan.
i. Waspada terhadap efek samping : Pemberian obat potensial menimbulkan efek
samping, yaitu efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan dosis
terapi.
j. Cost effectiviness : Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas, atau pemberian obat
untuk keadaan yang sama sekali tidak memerlukan terapi obat, jelas merupakan
pemborosan dan sangat membebani pasien. Disini termasuk pula peresepan obat yang
mahal padahal alternative obat yang lain dengan manfaat dan keamanan sama dan
harga lebih murah tersedia

strategi penggunaan antibiotik:

1. Penegakan diagnosis infeksi. Hal ini bisa dikerjakan secara klinis berdasarkan kriteria
diagnosa ataupun pemeriksaanpemeriksaan tambahan lain yang diperlukan. Gejala panas
sama sekali bukan kriteria untuk diagnosis adanya infeksi
2. Kemungkinan kuman penyebabnya, dipertimbangkan dengan perkiraan ilmiah berdasarkan
pengalaman setempat yang layak dipercaya atau epidemiologi setempat atau dari informasi-
informasi ilmiah lain
3. Apakah antibiotika benar-benar diperlukan? Sebagian infeksi mungkin tidak memerlukan
terapi antibiotika misalnya infeksi virus saluran pernafasan atas, keracunan makanan karena
kontaminasi kumankuman enterik. Jika tidak perlu antibiotika, terapi alternatif apa yang
dapat diberikan?
4. Jika diperlukan antibiotika, pemilihan antibiotika yang sesuai berdasarkan spektrum
antikuman, sifat farmakokinetika, ada tidaknya kontra indikasi pada pasien,ada tidaknya
interaksi yang merugikan, bukti akan adanya manfaat klinik dari masingmasing antibiotika
untuk infeksi yang bersangkutan berdasarkan informasi ilmiah yang layak dipercaya.
5. . Penentuan dosis, cara pemberian, lama pemberian berdasarkan sifat-sifat kinetika masing-
masing antibiotika dan fungsi fisiologis sistem tubuh (misalnya fungsi ginjal, fungsi hepar dan
lain-lain). Perlu dipertimbangkan dengan cermat pemberian antibiotika misalnya pada ibu
hamil dan menyusui, anak-anak, dan orang tua
6. Evaluasi efek obat. Apakah obat bermanfaat, kapan dinilai, kapan harus diganti atau
dihentikan? Adakah efek samping yang terjadi

DAFTAR PUSTAKA
Biutifasari, Verna. (2018). Extended Spectrum Beta-Lactamase ( ESBL ). Oceana Biomedicina Journal.
1. 1. 10.30649/obj.v1i1.3.
Helen, K., & Ashlesha, K. (2019). Vancomycin-resistant staphylococcus aureus: Formidable threat or
silence before the storm? Journal of Infectious Diseases and
Epidemiology, 5(5). https://doi.org/10.23937/2474-3658/1510093

Humaida, R. (2014). Strategy To Handle Resistance of Antibiotics. J MAJORITY, 3(7), 113- 119. 

Kemenkes RI.(2011).Modul Penggunaan Obat Rasional.Bina Pelayanan Kefarmasian.Jakarta.

Kest H, Kaushik A (2019) Vancomycin-Resistant Staphylococcus aureus: Formidable Threat or Silence


before the Storm?. J Infect Dis Epidemiol 5:093. doi.org/10.23937/2474-3658/1510093

Nasution, G.S.(2017). Tesis : Deteksi Gen Resisten Meca pada Isolat Bakteri Staphylococcus aureus
yang Tergolong MRSA dari Hasil Pemeriksaan Vitek 2 Compact. Fakultas Matematika
dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sumatera Utara. Medan : Universitas Sumatera
Utara.

Rawat, D., & Nair, D. (2010). Extended-spectrum β-lactamases in Gram Negative Bacteria. Journal of
global infectious diseases, 2(3), 263–274. https://doi.org/10.4103/0974-
777X.68531NLMRawat D, Nair D. Extended-spectrum β-lactamases in Gram Negative
Bacteria. J Glob Infect Dis. 2010 Sep;2(3):263-74. doi: 10.4103/0974-777X.68531. PMID:
20927289; PMCID: PMC2946684.

Anda mungkin juga menyukai