Makalah Tentang Sosiologi Komunikasi
Makalah Tentang Sosiologi Komunikasi
PENDAHULUAN
1
mengunakan kalimat tak pantas sehingga korban pun kekerasaan semakin
terpojokan.
Untuk itu masyarakat awan juga harus bisa mengatahui kata mana yang
pantas dan tidak pantas untuk digunakan media dalam pemberitaannya.
Masyarakat diajak untuk lebih kristis mengenai berita yang mereka baca,
khususnya di media online. Media online memiliki keharusan untuk membuat
suatu judul artikel semenarik mungkin agar pembaca pun tertarik untuk membaca
artikelnya secara menyeluruh. Sehingga tidak sedikit media online membuat judul
artikel semenarik mungkin, walaupun kadang tidak sesuai dengan kode etik
jurnalistik.
Apabila masyarakat sudah bisa kritis kepada berita yang ada dimedia,
maka masyarakat tidak akan mudah percaya dengan media. Masayarakat tidak
mudah masuk dalam agenda setting media. Media secara sadar atau tidak sadar
juga membuat konstruksi sosial.
2
BAB II
KERANGKA TEORI DAN KONSEP
3
manisfestasi dari proses- proses subjektif bagi orang lain, yang dengan demikian
menjadi bermakna secara subjektif bagi individu itu sendiri.
Proses internalisasi berarti bahwa individu tidak hanya mengetahui atau
memahami produk sosio-kultultural. Tetapi juga produk sosio-kultural tersebut
benar- benar masuk dalam diri individu, “menginternalisasi” dalam diri individu.
Menurut Burhan Bungin (2014: 202), individu “memahami” dunia di mana ia
hidup dan dunia ini menjadi dunia individu bagi dirinya. Setiap individu yang
telah ada pada tahap ini juga melakukan timbal balik dari sesuatu apa yang
mereka tahu.
Proses dialektis ini tidak akan berhenti. Tetapi akan berjalan terus-
menerus, selalu berputas. Hal ini karena produk sosio-kultural yang ada di
masyarakat juga akan berubah. Maka dari itu manusia akan terus melakukan
proses dialektis ini. Setiap ada produk sosio-kultural pasti individu akan mulai
menyesuaikan diri (eksternalisasi), lalu obyektivasi, kemudian akan internalisasi.
Media massa juga memiliki tahapan sendiri dalam konstruksi sosial.
Konstruksi sosial media massa memiliki empat tahapan, yaitu:
1. Tahap menyiapkan materi konstruksi: ini adalah tugas redaksi yang
menentukan materi apa yang akan disebarkan kepada publik. Dalam
menyiapkan materi, media massa akan memposisikan dirinya. Pertama
adalah keberpihakan kepada kapitalisme, keberpihakan kepada
masyarakat, dan keberpihakan kepada kepentingan umum.
2. Tahap sebaran konstruksi: setiap media massa memiliki strategi
penyebaran yang berbeda, tetapi konsep utamanya adalaha realtime.
Sebaran konstruksi media massa sebenarnya adalah satu arah. Hal ini
terlihat jelas pada media cetak. Televisi dan radio masih bisa
menggunakan komunikasi dua arah walaupun sebagian besar masih
didominasi oleh media.
3. Pembentukan konstruksi realitas: di sini terdapat dua tahap yaitu tahap
pembentukan konstruksi realitas dan pembentukan konstruksi citra.
• Pembentukan konstruksi realitas ada tiga hal utama. Pertama
adalah konstruksi pembenaran, masyarakat kencerung
membernarkan apa saja yang ada di media. Kedua, kesedian
4
konstruksi oleh media massa adalah sikap dari konstruksi
pembenaran. Seorang bersedia menjadi sebagai pembaca atau
pemirsa media massa. Ketiga sebagai pemilih konsumtif, dalam hal
ini seorang tergantung pada media massa. Media massa menjadi
bagian dari kehidupan dan hal tersebut tak bisa dilepaskan.
• Pembentukan konstruksi citra yang dibuat oleh media ada dua jenis
yaitu, good news dan bad news. Good news berarti pemberitaan
yang baik. Burhan Bungin (2014: 213) mengatakan pemberitaan
dikonstruksikan sebagai sesuatu yang memiliki citra baik sehingga
terkesan lebih baik dari sesungguhnya kebaikan yang ada.
Sedangkan bad news adalah media mengkonstruksikan kejelekan
atau citra buruk sehingga terkesan lebih buruk daripada aslinya.
4. Tahap konfirmasi: di mana tahap ini menjelaskan bahwa audience dan
media massa memberikan pendapat atau argumen tentang mengapa
mereka terlibat dalam konstruksi.
5
1) Media massa tidak menentukan “what to think” tetapi “what to think
about”.
2) Media memiliki kemampuan untuk menyeleksi dan mengarahkan
perhatian masyarakat pada peristiwa atau gagasan tertentu.
3) Media menyaring artikel, berita, tulisan yang akan disiarkannya.
4) Media memiliki gatekeepers yang selektif memilih mana yang pantas
untuk diberitakan, dan mana yang tidak.
5) Agenda media akan mempengaruhi agenda publik, kemudian agenda
publik sendiri akan mempengaruhi agenda kebijakan atau pemerintah.
2.4 Framing
Framing sebenarnya digunakan oleh media massa untuk menonjolkan suatu aspek
tertentu tentang suatu realitas. Eriyanto (2008: 11) mengatakan faktor utama
dalam analisis framing adalah melihat bagaimana pesan atau peristiwa
dikonstruksikan oleh media. Analisis ini juga digunakan untuk mengetahui cara
pandang media tersebut dan juga jurnalisnya dalam menulis atau menyiarkan
berita. Dari situ dapat dilihat hal apa saja yang ditonjolkan dan bagian mana yang
dihilangkan oleh media. Hal ini juga tidak luput dari pemilihan kalimat dan
gambar yang pilih. Pemilihan tersebut juga merupakan proses analisis framing
untuk mengetahui hal- hal mana yang mendapatkan porsi lebih oleh media.
6
BAB III
METEDEOLOGI
7
kejadian tidak sebebas sekarang. Karena pada saat itu pemerintahan orde baru
masih ketat dan seluruh instansi media dipegang sekaligus dikontrol oleh
pemerintah saat itu.
Selain itu penulis juga mengumpulkan data dengan mengambil beberapa
berita di tiga media yang dirasa cukup kompeten dalam menyiarkan berita. Tetapi
dari tiga media tersebut, mereka (media) masih saja melanggark kode etik
jurnalistik. Artikel yang diambil di media yang bersangkutan dijadikan data
sebagai penelitian dalam makalah ini. Dari artikel tersebut juga dapat diketahui
bahwa media masih saja memberitakan kekerasaan perempuan dengan cara yang
tidak benar. Berita yang dibuatnya malah membuat korban (perempuan) semakin
dipermalukan.
8
BAB IV
PEMBAHASAN
9
kronologi kasus pembunuhan terhadap salah satu mahasiswi UIN. Maka dari awal
berita ini telah disusun sedemikian rupa agar pembaca mengetahui hal tersebut.
Pers secara sadar maupun tidak membuat konstruksi sosial. Dari banyaknya berita
yang ada, Tempo.co memilih berita kekerasaan perempuan. Dikutip dari aji.or.id,
berita mengenai kekerasaan terhadap perempuan berada diurutan tiga teratas pada
tahun 2012. Dapat di lihat bahwa tidak hanya Tempo.co saja yang menjadikan
kekerasan perempuan sebagai topik- topik mereka, tetapi juga kebanyakan media
melakukan hal yang sama. Tempo.co menjadi salah satu media yang membingkai
(framing) atau membuat berita kekerasaan perempuan mendapat porsi lebih.
Dari artikel tersebut juga dapat dilihat cara pandang Tempo.co dalam
membuat berita dari kalimat- kalimat yang digunakan. Dari awal judul sudah
menarik perhatian pembacanya. Di dalam isi artikel pun juga dituliskan jelas
tanggal dan tempat sekaligus adegan kasus pembunuhan tersebut.
4.2 Artikel “Kejam! Suami Gunting Lidah Istri Gara- gara Ditegur” di
Liputan6.com
“Kejam! Suami Gunting Lidah Istri Gara- gara Ditegur”. Salah satu judul artikel
yang terdapat pada situs berita online yaitu Liputan6.com pada 6 Februari 2014.
Artikel tersebut menceritakan seorang istri yang lidahnya dipotong oleh suaminya
sendiri. Sang istri menegur suami karena tidak suka suaminya membuat abu rokok
dan puntung rokok di kamar secara sembarangan. Akibat teguran tersebut si suami
merasa tidak terima dan nekat melakukan kejahatan tersebut. Kasus ini telah
sampai di meja hijau, tetapi korban hanya dijadikan sebagai saksi dan meminta
bercerai dengan suaminya karena KDRT yang dilakukan suaminya sudah terjadi
sejak menikah.
Seperti dengan Tempo.co, Liputan6.com juga menyembutkan dengan jelas
nama korban. Dari judul yang dibuat oleh Liputan6.com juga dibumbui dengan
kata- kata yang menarik bagi pembaca seperti menggunakan kata “Kejam!”.
Unsur sensasional dalam judul memang diperlukan dalam artikel online. Tetapi
kata- kata tersebut yang malah tambah memojokan korban. Dengan judul “Suami
Gunting Lidah Istri Karena Ditegur” seolah- olah ingin menyampai bahwa
awalnya memang sang isteri yang bersalah. Karena sang isteri menegur suaminya,
10
maka suami pun menggunting lidah istrinya. Padahal media seharusnya
melindungi korban, bukan malah menuduh untuk kedua kalinya.
Artikel kekerasaan perempuan yang diberitakan oleh media online dapat
membuat terjadinya proses dialektis. Pada tahap pertama yaitu eksternalisasi,
seorang menyesuaikan diri dengan pemberitaan- pemberitaan kekerasan
perempuan seperti artikel “Kejam! Suami Gunting Lidah Istri Gara- gara
Ditegur”. Kekerasaan yang dialami oleh perempuan seolah- olah karena perbuatan
perempuan itu sendiri. Sehingga lelaki pun dapat melakukan kekerasan karena
memiliki alasan yang jelas. Seorang pun menyesuaikan diri dengan fenomena
tersebut.
Kemudian akhirnya terjadi proses objektivikasi, di mana proses
intersubjektif terjadi yang menyebutkan kekerasan perempuan terjadi karena ulah
perempuan itu sendiri. Tidak sedikit orang yang lalu menganggap hal tersebut
benar adanya. Pemikiran tersebut tidak subjektif lagi, dan telah menjadi objektif
karena banyak orang berpendapat yang sama.
Setelah itu terjadi proses internalisasi yang membuat pemikiran tersebut
akan diam dan tinggal di dalam diri seseorang. Selain itu juga individu telah
memahami produk sosio- kultural ini. Tetapi proses dialektis ini tidak pernah
berhenti. Layaknya roda, proses ini akan terus berputar. Pemikiran mengenai
penyebab kekerasan perempuan terjadi karena perempuan itu sendiri bisa hilang.
Hal ini dapat terjadi apabila peraturan berubah seperti media massa manapun
tidak lagi menggunakan kata- kata yang tidak memojokan perempuan. Dan hak-
hak perempuan lebih diperhatikan lagi.
11
secara lengkap nama korban kekerasan. Di artikel tersebut juga mewawancarai
korban kekerasaan ini. Informasi mengenai pelaku kekerasan tidak dijelaskan
banyak. Malahan nama pelaku kekerasaan tidak dituliskan lengkap melainkan
hanya di tulis inisial. Terdapat kalimat yang tertuliskan “Bahkan Vika terancam
cacat karena mata kirinya pecah” juga di artikel ini. Seharusnya kalimat “pecah”
dapat digantikann dengan kata lain yang tidak membuat korban semakin dijelek-
jelekan lagi. Sindonews.com malah melakukan kebalikan dari kebijakan yang
seharusnya dilakukan oleh jurnalis.
Elemen jurnalisme yang kesembilan menyebutkan bahwa seorang jurnalis
harus mendengarkan hati nuraninya. Di artikel “Bidan Desa Boyok Dianiaya
Mantan Pacar” ini lebih menonjolkan sisi korbannya. Padahal korban dari kasus-
kasus seperti ini seharusnya tidak boleh terlalu diekspos dan harus dilindungi.
Pelaku dari kejahatan yang seharusnya lebih diungkapkan profil dirinya. Jurnalis
seharusnya menyikapi hal ini, dan mengikuti hati nuraninya. Berita yang
didapatkannya seharusnya tentang pelaku dan bukan korban. Jurnalis harus dapat
mengambil tindakan bila belum mendapat berita tentang pelaku sebaiknya jangan
membuat berita tentang korban.
Di artikel ini dituliskan bahwa jurnalis mewawancari korban pada saat
korban masih di rumah sakit untuk mendapat perawatan. Sebagai jurnalis
seharusnya menghargai korban dengan tidak melakukan wawancara pada saat
yang tidak memungkinkan. Intinya seorang jurnalis harus mengikuti hati
nuraninya dalam hal memilih berita, dan menulis berita agar korban kekeraan
tidak menjadi korban lagi dalam artikel yang ditulis oleh seorang jurnalis.
12
lebih mengekspos tentang korban. Dan penggunaan kata- katanya malah
merugikan pihak perempuan. Lelaki yang biasa disebut Pak Har ini juga
mengatakan, media massa harus menampilkan informasi secara proposional tetapi
ada etik yang menyebutkan bahwa korban kejahatan susila harus dilindungi.
“Pelakunyaa inilah yang harus lebih di sorot ketimbang si perempuannya.
Ada istilah untuk kalangan feminis, media sering kali melakukan pemerkosaan
yang kedua kali. Jadi, maunya merekonstruksi kejadian. Tapi ketika melakukan
itu media tidak sensitif untuk memperhatikan perasaan si korban,” ucap Ignatius
Haryanto.
Apa yang dilakukan media massa seperti contoh media online Tempo.co,
Liputan6.com, dan Sindonews.com dengan artikel kekerasan perempuan (artikel di
atas) bisa dibilang menjadikan korban sebagai korban untuk kedua kalinya. Hal
ini dapat dibaca dari kata- kata yang dipilih yang malah lebih memojokan korban.
“Kalimat-kalimat yang dipergunakan, deskripsi juga sebagai gambar, itu juga
yang menjadi problem. Bagaimanapun menekankan privasi itu penting dan
wartawan juga harus menghargai hal itu,” kata Ignatius Haryanto.
Menurutnya juga pemerintah tidak usah sejauh untuk turun tangan dengan
apa yang dilakukan oleh media. Adanya Dewan Pers sudah cukup untuk selalu
mewanti- wanti media massa. Media yang sudah diwanti- wanti oleh Dewan Pers
bisa lebih mempersiapkan beritanya agar lebih baik. Hal ini terkai dengan agenda
media. Setiap media massa pasti telah memiliki agendanya sendiri atau sering
disebut dengan agenda setting. Media telah mengatur peristiwa- peristiwa apa
yang akan mereka (media) pilih untuk diberitakan kepada masyarakat. Dalam hal
ini Tempo.co, Liputan6.com, dan Sindonews.com yang juga telah memiliki
agenda. Salah satunya adalah dengan memberitakan kekerasaan perempuan
seperti contoh artikel yang telah dijelaskan sebelumnya.
Media yang telah mengagendakan beritanya seharusnya lebih dapat
menyusun cara pemberitaan yang baik dan sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Sama dengan Tempo.co, Liputan6.com, dan Sindonews.com yang telah memiliki
agenda media sebaiknya mengemas artikel mengenai kekerasan perempuan
dengan lebih baik. Sehingga tidak ada pihak yang dirasa dirugikan kembali.
13
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Pemberitaan kekerasaan perempuan di media online tetap harus proposional.
Media online harus dapat menyajikan berita yang tidak boleh membuat korban
kekerasaan merasa dirugikan lagi. Penggunaan kata dalam kalimat berita harus
sesuai dengan kode etik yaitu tidak boleh mengedepankan sensasionalitas semata.
Media online juga harus menghargai korban. Dalam pemberitaan kekerasaan
media juga tidak seharusnya mengekspos korban terlalu dalam. Pelaku dari
kekerasaan perempuan yang seharusnya diberitakan. Media harus berfokus pada
pelakunya dan bukan korbannya.
Pelanggaran yang masih saja dilakukan oleh media online dalam
pemberitaannya mengenai kekerasaan perempuan karena faktor kecepatan media
online. Kecepatan merupakan ciri khas dari media online. Banyaknya artikel
masuk setiap menitnya membuat jurnalis media online membuat artikelnya
semenarik mungkin. Bila dari judul artikel telah menarik maka pembaca pun akan
membuka artikel tersebut. Dan sensionalitas merupakan salah satu cara untuk
menarik pembaca.
5.2 Saran
Pemimpin redaksi yang merupakan puncak dari keputusan sebuah berita
seharusnya lebih menyortir lagi berita sebelum diterbitkan. Adanya editor dalam
media online memang diperlukan untuk meminimalisir kata- kata yang dirasa
kurang pantas. Sebaiknya media online tetap harus memiliki editor berita.
Sehingga setiap berita yang akan naik bisa dikoreksi terlebih dahulu. Sekarang ini
beberapa dari media online tidak memiliki editor karena ingin menang dalam hal
kecepatan. Tetapi hal ini malah membuat berita menjadi tidak proposional.
Jurnalis media online juga sebaiknya tahu betul tatanan kata- kata yang
baik dalam memberitakan kekerasaan perempuan. Agar mereka tidak seenaknya
saja menggunakan kata- kata sensasional yang malah dapat melecehkan korban
kekerasan untuk kedua kalinya.
14