Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Makalah ini akan membahas bagaimana suatu media memberitakan kasus
kekersaan yang terjadi terhadap perempuan. Hal ini perlu di bahas karena kode
etik jurnalistik yang telah ada tidak diterapkan media dalam memberitakan
kekerasaan terhadap perempuan. Tidak sedikit media yang masih saja melanggar
kode etik jurnalistik. Akhirnya banyak perempuan dirugikan. Perempuan yang
seharusnya dilindungi dari tindak kekerasaan malah dieksploitasi oleh media.
Pemberitaan media mengenai kekerasaan terhadap perempuan tak jarang hanya
untuk meningkatkan eksistensi instansi media tersebut. Biasanya media
menggunakan kata- kata yang tak pantas yang malah membuat malu perempuan
korban kekerasaan.
Dikutip dari website Aliansi Jurnalis Independen (AJI), ada sebuah media
yang menuliskan judul “Mahasiswa UIN digilir 6 pria lalu dibunuh”. Dalam
artikel tersebut menceritakan bahwa korban diperkosa dulu baru dibunuh. Kata
“digilir” memiliki makna lain seperti piala bergilir, berarti korban disamakan
dengan piala bergiril yang pantas untuk diperkosa. Hal tersebut dilakukan media
yang bersangkutan tidak lain untuk tujuan membuat pembaca tertarik. Apabila
judul sudah menarik pasti akan menambah minat pembaca untuk membaca artikel
lebih dalam. Tetapi seorang jurnalis juga harus memperhatikan kode etik
jurnalistik, dengan tidak membuat pihak lain dirugikan.
Kemampuan pers dalam memberikatan suatu berita harusnya tidak udah
diragukan lagi. Peran editor berita dalam mengedit berita juga seharusnya cukup
agar berita yang dimuat tidak merugikan pihak lain atau korban. Sesuai survei
yang telah dilakukan oleh AJI menyatakan berita mengenai kekerasaan
perempuan berada di posisi ketiga pada tahun 2013. Dengan fakta tersebut
diketahui bahwa kasus kekerasaan terhadap perempuan masih tinggi. Semakin
banyaknya berita terkait dengan kekerasaan yang menjadikan perempuan sebagai
korbannya seharusnya media memperoleh banyak pengalaman mengenai cara
pemberitaan terhadap korban. Tetapi sampai sekarang masih saja ada media yang

  1  
mengunakan kalimat tak pantas sehingga korban pun kekerasaan semakin
terpojokan.
Untuk itu masyarakat awan juga harus bisa mengatahui kata mana yang
pantas dan tidak pantas untuk digunakan media dalam pemberitaannya.
Masyarakat diajak untuk lebih kristis mengenai berita yang mereka baca,
khususnya di media online. Media online memiliki keharusan untuk membuat
suatu judul artikel semenarik mungkin agar pembaca pun tertarik untuk membaca
artikelnya secara menyeluruh. Sehingga tidak sedikit media online membuat judul
artikel semenarik mungkin, walaupun kadang tidak sesuai dengan kode etik
jurnalistik.
Apabila masyarakat sudah bisa kritis kepada berita yang ada dimedia,
maka masyarakat tidak akan mudah percaya dengan media. Masayarakat tidak
mudah masuk dalam agenda setting media. Media secara sadar atau tidak sadar
juga membuat konstruksi sosial.

1.2 Rumusan Masalah


Setelah menentukan latar belakang dari makalah ini, maka rumusan
masalahnya adalah:
1.2.1 Bagaimana seharusnya media online menulis berita tentang
kekerasaan terhadap perempuan?
1.2.2 Mengapa masih ada media yang melanggar kode etik jurnalistik
dalam beritanya tentang kekerasaan terhadap perempuan?

1.3 Tujuan Makalah


Berdasarkan rumusan masalah, tujuan makalah ini yaitu:
1.3.1 Mengungkapkan cara media online menulis berita mengenai
kekerasaan perempuan.
1.3.2 Menganalisa alasan media yang melanggar kode etik jurnalistik
dalam pemberitaannya tentang kekerasaan perempuan.
1.3.3 Mengajak masyarakat untuk lebih kritis ketika membaca berita di
media online.

  2  
BAB II
KERANGKA TEORI DAN KONSEP

2.1 Teori Konstruksi Sosial


Tokoh dari Teori Konstruksi Sosial adalah Peter Berger dan Thomas Luckman.
Berger adalah seorang sosiolog asal New York dan Luckman adalah sosiolog
adalah Jerman. Kedua sosiolog ini menyakini bahwa realitas yang ada saat ini
merupakan hasil ciptaan manusia sendiri, dengan adanya konstruksi sosial
terhadap dunia disekelilingnya atau lingkungannya.
Burhan Bungin (2014: 194) mengatakan pengetahuan selalu merupakan
konstruksi dari individu yang mengetahui dan tidak dapa ditransfer kepada
individu lain yang pasif. Karena itu, konstruksi harus dilakukan sendiri olehnya
terhadap pengetahuan itu, sedangkan lingkungan adalah sarana terjadinya
konstruksi itu.
Dalam Teori Konstruksi Sosial ini memiliki proses yang disebut dengan
konsep dialektis. Di mana dalam konsep ini memiliki tiga tahapan yaitu,
eksternalisasi, obyektivasi, dan internalisasi. Eksternalisasi adalah tahap yang
sangat mendasar, yang berarti manusia melakukan penyesuaian diri
(mengeksternalisasikan) dengan produk- produk sosial kultural masyarakat.
Setiap individu dalam tahapan ini harus dapat menyesuaikan diri dengan sosio-
kultural masyarakat sebagai bagian dari produk manusia.
Tahap selanjutnya yaitu obyektivasi yang didalamnya akan terjadi
intersubjektif masyarakat yang dilembagakan. Tahapan ini bertahan lama.
Masyarakat yang telah menyesuaikan diri dengan produk sosial-kultural lalu akan
membuat produk tersebut “diam” atau “tinggal” dalam diri mereka. Sehingga
menganggap sesuatu produk menjadi obyektif dan bukan subjektif lagi. Karena
pada awalnya produk sosial- kultural masyarakat sifatnya adalah subjektif, lalu
individu mencoba untuk mengeksternalisasi, dan kemudian menjadi intersubjektif.
Kemudian ada tahap internalisasi. Burhan Bungin (2014: 201)
mengatakan internaslisasi adalah pemahaman atau penafsiran yang langsung dari
suatu peristiwa objektif sebagai pengungkapan suatu makna, artinya sebagai suatu

  3  
manisfestasi dari proses- proses subjektif bagi orang lain, yang dengan demikian
menjadi bermakna secara subjektif bagi individu itu sendiri.
Proses internalisasi berarti bahwa individu tidak hanya mengetahui atau
memahami produk sosio-kultultural. Tetapi juga produk sosio-kultural tersebut
benar- benar masuk dalam diri individu, “menginternalisasi” dalam diri individu.
Menurut Burhan Bungin (2014: 202), individu “memahami” dunia di mana ia
hidup dan dunia ini menjadi dunia individu bagi dirinya. Setiap individu yang
telah ada pada tahap ini juga melakukan timbal balik dari sesuatu apa yang
mereka tahu.
Proses dialektis ini tidak akan berhenti. Tetapi akan berjalan terus-
menerus, selalu berputas. Hal ini karena produk sosio-kultural yang ada di
masyarakat juga akan berubah. Maka dari itu manusia akan terus melakukan
proses dialektis ini. Setiap ada produk sosio-kultural pasti individu akan mulai
menyesuaikan diri (eksternalisasi), lalu obyektivasi, kemudian akan internalisasi.
Media massa juga memiliki tahapan sendiri dalam konstruksi sosial.
Konstruksi sosial media massa memiliki empat tahapan, yaitu:
1. Tahap menyiapkan materi konstruksi: ini adalah tugas redaksi yang
menentukan materi apa yang akan disebarkan kepada publik. Dalam
menyiapkan materi, media massa akan memposisikan dirinya. Pertama
adalah keberpihakan kepada kapitalisme, keberpihakan kepada
masyarakat, dan keberpihakan kepada kepentingan umum.
2. Tahap sebaran konstruksi: setiap media massa memiliki strategi
penyebaran yang berbeda, tetapi konsep utamanya adalaha realtime.
Sebaran konstruksi media massa sebenarnya adalah satu arah. Hal ini
terlihat jelas pada media cetak. Televisi dan radio masih bisa
menggunakan komunikasi dua arah walaupun sebagian besar masih
didominasi oleh media.
3. Pembentukan konstruksi realitas: di sini terdapat dua tahap yaitu tahap
pembentukan konstruksi realitas dan pembentukan konstruksi citra.
• Pembentukan konstruksi realitas ada tiga hal utama. Pertama
adalah konstruksi pembenaran, masyarakat kencerung
membernarkan apa saja yang ada di media. Kedua, kesedian

  4  
konstruksi oleh media massa adalah sikap dari konstruksi
pembenaran. Seorang bersedia menjadi sebagai pembaca atau
pemirsa media massa. Ketiga sebagai pemilih konsumtif, dalam hal
ini seorang tergantung pada media massa. Media massa menjadi
bagian dari kehidupan dan hal tersebut tak bisa dilepaskan.
• Pembentukan konstruksi citra yang dibuat oleh media ada dua jenis
yaitu, good news dan bad news. Good news berarti pemberitaan
yang baik. Burhan Bungin (2014: 213) mengatakan pemberitaan
dikonstruksikan sebagai sesuatu yang memiliki citra baik sehingga
terkesan lebih baik dari sesungguhnya kebaikan yang ada.
Sedangkan bad news adalah media mengkonstruksikan kejelekan
atau citra buruk sehingga terkesan lebih buruk daripada aslinya.
4. Tahap konfirmasi: di mana tahap ini menjelaskan bahwa audience dan
media massa memberikan pendapat atau argumen tentang mengapa
mereka terlibat dalam konstruksi.

2.2 Teori Agenda Setting


Teori ini memiliki dua tokoh, yiatu Maxwell McCombs dan Donald L. Shaw.
Dasar teori ini muncul karena saat pemilihan Presiden Amerika tahun 1963,
ditemukan hubungan antara berita yang memiliki kuantitas tinggi dengan sikap
seorang dalam menentukan tingkatan suatu berita. Meningkatnya nilai penting
sebuah berita di media massa, akan menyebabkan meningkatnya nilai topik berita
tersebut bagi masyarakat. Media cetak seperti koran dan media online selalu
berhasil memberitahui kita sedang berpikir tentang apa. Dan mereka akan
menyajikannya dalam sebuah berita.
Tanpa disadari media massa sering mengarahkan kita untuk melakukan
apa yang harus kita lakukan. Media akan memberikannya melalui agenda- agenda
lewat pemberitaannya dan masyarakat akan mengikuti. Masyarakat akan
menerima banyak agenda melalui media massa, sehingga agenda media pun akan
menjadi agenda publik (public agenda). Adapun asumsi dari Teori Agenda
Setting adalah:

  5  
1) Media massa tidak menentukan “what to think” tetapi “what to think
about”.
2) Media memiliki kemampuan untuk menyeleksi dan mengarahkan
perhatian masyarakat pada peristiwa atau gagasan tertentu.
3) Media menyaring artikel, berita, tulisan yang akan disiarkannya.
4) Media memiliki gatekeepers yang selektif memilih mana yang pantas
untuk diberitakan, dan mana yang tidak.
5) Agenda media akan mempengaruhi agenda publik, kemudian agenda
publik sendiri akan mempengaruhi agenda kebijakan atau pemerintah.

2.3 Elemen Jurnalistik


Terdapat 10 elemen jurnalistik yang digunakan sebagai pedoman media dalam
memberitakan suatu hal. Pertama kewajiban utama jurnalisme adalah pencarian
kebenaran. Kedua, loyalitas utama jurnalisme adalah pada warga negara. Ketiga,
esensi jurnalisme adalah disipin verifikasi. Keempat, jurnalisme harus menjaga
indepedensi dari narasumber atau objek liputan. Kelima, jurnalis sebagai
watchdog. Keenam, pers meberika forum kepada publik untuk menyuaran
pendapat. Ketujuh, jurnalis harus berusaha membuat hal penting menjadi menarik
dan relevan. Kedelepan, jurnalis harus membuat berita yang komprehensif dan
proposional. Kesembilan, jurnalis harus mendengarkan hati nurani. Kesepuluh,
citizen journalism yaitu semua orang dapat dengan mudah menyajikan berita.

2.4 Framing
Framing sebenarnya digunakan oleh media massa untuk menonjolkan suatu aspek
tertentu tentang suatu realitas. Eriyanto (2008: 11) mengatakan faktor utama
dalam analisis framing adalah melihat bagaimana pesan atau peristiwa
dikonstruksikan oleh media. Analisis ini juga digunakan untuk mengetahui cara
pandang media tersebut dan juga jurnalisnya dalam menulis atau menyiarkan
berita. Dari situ dapat dilihat hal apa saja yang ditonjolkan dan bagian mana yang
dihilangkan oleh media. Hal ini juga tidak luput dari pemilihan kalimat dan
gambar yang pilih. Pemilihan tersebut juga merupakan proses analisis framing
untuk mengetahui hal- hal mana yang mendapatkan porsi lebih oleh media.

  6  
BAB III
METEDEOLOGI

3.1 Metode Penelitian


Metode penilitian yang dipakai dalam makalah ini adalah kualitatif. Penilitian
kualitatif menggunakan analisis dan deskriptif. Kerangka teori dan konsep
digunakan untuk memandu memperinci temuan dilapangan. Kualitatif tidak
menggunakan hasil data yang diperoleh, melainkan menggunakan teori sebagai
penjelasaan suatu fenomena yang dibahas. Selain itu penulis juga melakukan
wawancara dengan mantan wartawan yang juga anggota Aliansi Jurnalis
Independen (AJI) dan sekarang menjadi pengamat media.
Dalam wawancara tersebut menggunakan pertanyaan terpusat pada
masalah yang ada. Wawancara bertujuan untuk mengetahui pandangan pengamat
media mengenai bagaimana sekarang media memberitakan tentang kekerasaan
terhadap perempuan. Hasil dari wawancara diajukan menjadi data yang dapat
menambahkan sumber pada penilitian. Wawancara yang dilakukan penulis santai
dan tidak terlalu mendalam. Hal ini dikarenakan wawancara yang dilakukan
bukan pedoman baku tetapi untuk dijadikan kisi- kisi.
Wawancara memang diperlukan dalam metode kualitatif karena pada
dasarnya kualitatif memiliki ciri subjektif. Dalam kualtitatif kualitas dari seorang
yang diwawancari atau informan harus bisa dipertanggungjawabkan. Motode
kualitatif lebih menjurus kepada mencari, menemukan, dan kemudian
menyimpulkan hipotesis yang biasanya tentatif dan berkembang.

3.2 Teknik Pengumpulan Data


Penulis melakukan wawancara untuk pengumpulan data. Wawancara yang
dilakukan secara santai dengan Ignatius Haryanto. Sekarang ini Ignatius Haryanto
menjabat sebagai Direktur Eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan
(LSPP) di Jakarta. Beliau juga merupakan Dewan Penasehat di sebuah lembaga
bernama “Remotivi”. Sejak masih remaja sampai sekarang beliau juga tergabung
dalam AJI. Ignatius Haryanto juga merupakan jurnalis yang telah merasakan
zaman orde baru. Di mana kebebasan jurnalis dalam memberitakan subuah

  7  
kejadian tidak sebebas sekarang. Karena pada saat itu pemerintahan orde baru
masih ketat dan seluruh instansi media dipegang sekaligus dikontrol oleh
pemerintah saat itu.
Selain itu penulis juga mengumpulkan data dengan mengambil beberapa
berita di tiga media yang dirasa cukup kompeten dalam menyiarkan berita. Tetapi
dari tiga media tersebut, mereka (media) masih saja melanggark kode etik
jurnalistik. Artikel yang diambil di media yang bersangkutan dijadikan data
sebagai penelitian dalam makalah ini. Dari artikel tersebut juga dapat diketahui
bahwa media masih saja memberitakan kekerasaan perempuan dengan cara yang
tidak benar. Berita yang dibuatnya malah membuat korban (perempuan) semakin
dipermalukan.

3.3 Analisis Data


Dalam makalah ini penulis menganalisis data dengan menggunakan beberapa
teori yang ada di dalam buku yang dipakai. Selain itu penulis juga menggunakan
artikel- artikel terkait dengan makalah yang berada di website yang memiliki
kredibitas atau bisa dipertanggungjawabkan.
Analisis menggunakan framing juga sedikit akan dipakai penulis.
Pemilihan framing terkait dengan posisi media yang biasanya menonjolkan aspek
tertentu. Suatu media dapat menbingkai suatu hal dengan berbeda. Hal ini tidak
jarang dikarenakan kebutuhan setiap media berbeda. Sebagai contoh adalah cara
grup Viva News memberitakan tentang “Lumpur Lapindo”. Di media yang
tergabung dalam grup Viva News menyebut “Lumpur Lapindo” dengan “Lumpur
Sidoarjo”, sedang media- media lain menyebutnya dengan “Lumpur Lapindo”.
Dari contoh tersebut dapat dilihat bahwa pemilik Lapindo yang juga
penguasa Viva News tidak ingin pamornya tercoreng. Sehingga media miliknya
membingkai berita tentang “Lumpur Lapindo” berbeda dengan media lain.
Sedangkan salah satu teori yang dipakai dalam analisis data kali adalah Teori
Konstruksi Sosial. Di mana teori ini juga merupakan salah satu teori yang harus
dipelajari dalam Sosiologi Komunikasi. Teori ini juga menyebutkan bahwa secara
tidak sadar pers membuat konstruksi sosial yang dapat merubah pola pikir
masyarakat.

  8  
BAB IV
PEMBAHASAN

4. 1 Artikel “Kronologis Pembunuhan Mahasiswa UIN” di Tempo.co


Pada 25 April 2012 lalu, Tempo.co mengeluarkan artikel mengenai mahasiswi
Univeristas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat yang tewas dibunuh.
Dalam artikel yang berjudul “Kronologis Pembunuhan Mahasiswa UIN” ini sudah
jelas bahwa artikel tersebut akan menjelaskan kronologis pembunuhan korban.
Nama korban dituliskan jelas dalam artikel tersebut. Padahal pada aturan
jurnalistik, nama korban dari kekerasan tidak boleh dicampumkan. Tapi hanya
bisa diberikan dengan nama inisial saja. Lain halnya dengan nama pelaku
kejahatan. Nama pelaku utama dari kasus pembunuhan ini diberi tahu oleh
Tempo.co tetapi profil pelaku lainnya tidak dijelaskan.
Kata “kronologi” yang dipakai dalam judul artikel ini juga dapat
mempermalukan perempuan yang menjadi korban. Mengapa begitu? Karena
media menceritakan jelas pembunuhan yang dialami oleh korban. Dituliskan
dalam artikel tersebut “dua orang lainnya tidak ikut memperkosa, tapi
menyaksikan aksi brutal tersebut. Selanjutnya, mereka membunuh gadis itu
dengan menggorok lehernya”. Kata “selanjutnya” bagaikan korban memang
sudah sepantasnya setelah diperkosa lalu dibunuh. Tempo.co juga memilih kata
“menggorok” sebagai bumbu- bumbu dalam berita. Sebagai media online yang
dapat dibaca oleh seluruh kalangan masyarakat, seharusnya Tempo.co dapat
menggunakan kata lain yang lebih sopan.
Penggunaan kalimat yang Tempo.co pilih dalam artikel ini tidak juga bisa
dibantah agar dapat menarik minat pembaca. Apabila sebuah artikel bagus dari
awal (judul), maka artikel tersebut akan di buka oleh pembaca. Alasannya karena
artikel di media online setiap menitnya pasti ada, sehingga jurnalis akan
menggunakan cara- cara lain agar artikelnya di-klik oleh pembaca.
Dari kasus diatas cocok disandingkan dengan teori konstruksi sosial pada
tahap menyiapkan materi konstruksi. Dari tahap menyiapkan materi kontruksi
dijelaskan bahwa redaksi atau redaktur-nya telah menentukan berita mana yang
akan disebarkan oleh publik. Dan Tempo.co memilih untuk menyebarkan

  9  
kronologi kasus pembunuhan terhadap salah satu mahasiswi UIN. Maka dari awal
berita ini telah disusun sedemikian rupa agar pembaca mengetahui hal tersebut.
Pers secara sadar maupun tidak membuat konstruksi sosial. Dari banyaknya berita
yang ada, Tempo.co memilih berita kekerasaan perempuan. Dikutip dari aji.or.id,
berita mengenai kekerasaan terhadap perempuan berada diurutan tiga teratas pada
tahun 2012. Dapat di lihat bahwa tidak hanya Tempo.co saja yang menjadikan
kekerasan perempuan sebagai topik- topik mereka, tetapi juga kebanyakan media
melakukan hal yang sama. Tempo.co menjadi salah satu media yang membingkai
(framing) atau membuat berita kekerasaan perempuan mendapat porsi lebih.
Dari artikel tersebut juga dapat dilihat cara pandang Tempo.co dalam
membuat berita dari kalimat- kalimat yang digunakan. Dari awal judul sudah
menarik perhatian pembacanya. Di dalam isi artikel pun juga dituliskan jelas
tanggal dan tempat sekaligus adegan kasus pembunuhan tersebut.

4.2 Artikel “Kejam! Suami Gunting Lidah Istri Gara- gara Ditegur” di
Liputan6.com
“Kejam! Suami Gunting Lidah Istri Gara- gara Ditegur”. Salah satu judul artikel
yang terdapat pada situs berita online yaitu Liputan6.com pada 6 Februari 2014.
Artikel tersebut menceritakan seorang istri yang lidahnya dipotong oleh suaminya
sendiri. Sang istri menegur suami karena tidak suka suaminya membuat abu rokok
dan puntung rokok di kamar secara sembarangan. Akibat teguran tersebut si suami
merasa tidak terima dan nekat melakukan kejahatan tersebut. Kasus ini telah
sampai di meja hijau, tetapi korban hanya dijadikan sebagai saksi dan meminta
bercerai dengan suaminya karena KDRT yang dilakukan suaminya sudah terjadi
sejak menikah.
Seperti dengan Tempo.co, Liputan6.com juga menyembutkan dengan jelas
nama korban. Dari judul yang dibuat oleh Liputan6.com juga dibumbui dengan
kata- kata yang menarik bagi pembaca seperti menggunakan kata “Kejam!”.
Unsur sensasional dalam judul memang diperlukan dalam artikel online. Tetapi
kata- kata tersebut yang malah tambah memojokan korban. Dengan judul “Suami
Gunting Lidah Istri Karena Ditegur” seolah- olah ingin menyampai bahwa
awalnya memang sang isteri yang bersalah. Karena sang isteri menegur suaminya,

  10  
maka suami pun menggunting lidah istrinya. Padahal media seharusnya
melindungi korban, bukan malah menuduh untuk kedua kalinya.
Artikel kekerasaan perempuan yang diberitakan oleh media online dapat
membuat terjadinya proses dialektis. Pada tahap pertama yaitu eksternalisasi,
seorang menyesuaikan diri dengan pemberitaan- pemberitaan kekerasan
perempuan seperti artikel “Kejam! Suami Gunting Lidah Istri Gara- gara
Ditegur”. Kekerasaan yang dialami oleh perempuan seolah- olah karena perbuatan
perempuan itu sendiri. Sehingga lelaki pun dapat melakukan kekerasan karena
memiliki alasan yang jelas. Seorang pun menyesuaikan diri dengan fenomena
tersebut.
Kemudian akhirnya terjadi proses objektivikasi, di mana proses
intersubjektif terjadi yang menyebutkan kekerasan perempuan terjadi karena ulah
perempuan itu sendiri. Tidak sedikit orang yang lalu menganggap hal tersebut
benar adanya. Pemikiran tersebut tidak subjektif lagi, dan telah menjadi objektif
karena banyak orang berpendapat yang sama.
Setelah itu terjadi proses internalisasi yang membuat pemikiran tersebut
akan diam dan tinggal di dalam diri seseorang. Selain itu juga individu telah
memahami produk sosio- kultural ini. Tetapi proses dialektis ini tidak pernah
berhenti. Layaknya roda, proses ini akan terus berputar. Pemikiran mengenai
penyebab kekerasan perempuan terjadi karena perempuan itu sendiri bisa hilang.
Hal ini dapat terjadi apabila peraturan berubah seperti media massa manapun
tidak lagi menggunakan kata- kata yang tidak memojokan perempuan. Dan hak-
hak perempuan lebih diperhatikan lagi.

4.3 Artikel “Bidan Desa Boyok Dianiaya Mantan Pacar” di


Sindonews.com
Artikel yang diunggah pada 4 Desember 2012 di Sindonews.com ini menceritakan
mengenai bidan yang dipukuli oleh mantan pacarnya sendiri. Dalam alinea
pertama artikel tertuliskan “Seorang bidan Desa vika rahayu (26) yang tengah
hamil tua babak belur dianiaya seorang pemuda hingga dirawat di RSUD Timor
Tengah Utara (TTU) Nusa Tenggara Timur”. Dari alinea pertama telah diketahui
Sindonews.com juga sama dengan Tempo.co dan Liputan6.com yang menulis

  11  
secara lengkap nama korban kekerasan. Di artikel tersebut juga mewawancarai
korban kekerasaan ini. Informasi mengenai pelaku kekerasan tidak dijelaskan
banyak. Malahan nama pelaku kekerasaan tidak dituliskan lengkap melainkan
hanya di tulis inisial. Terdapat kalimat yang tertuliskan “Bahkan Vika terancam
cacat karena mata kirinya pecah” juga di artikel ini. Seharusnya kalimat “pecah”
dapat digantikann dengan kata lain yang tidak membuat korban semakin dijelek-
jelekan lagi. Sindonews.com malah melakukan kebalikan dari kebijakan yang
seharusnya dilakukan oleh jurnalis.
Elemen jurnalisme yang kesembilan menyebutkan bahwa seorang jurnalis
harus mendengarkan hati nuraninya. Di artikel “Bidan Desa Boyok Dianiaya
Mantan Pacar” ini lebih menonjolkan sisi korbannya. Padahal korban dari kasus-
kasus seperti ini seharusnya tidak boleh terlalu diekspos dan harus dilindungi.
Pelaku dari kejahatan yang seharusnya lebih diungkapkan profil dirinya. Jurnalis
seharusnya menyikapi hal ini, dan mengikuti hati nuraninya. Berita yang
didapatkannya seharusnya tentang pelaku dan bukan korban. Jurnalis harus dapat
mengambil tindakan bila belum mendapat berita tentang pelaku sebaiknya jangan
membuat berita tentang korban.
Di artikel ini dituliskan bahwa jurnalis mewawancari korban pada saat
korban masih di rumah sakit untuk mendapat perawatan. Sebagai jurnalis
seharusnya menghargai korban dengan tidak melakukan wawancara pada saat
yang tidak memungkinkan. Intinya seorang jurnalis harus mengikuti hati
nuraninya dalam hal memilih berita, dan menulis berita agar korban kekeraan
tidak menjadi korban lagi dalam artikel yang ditulis oleh seorang jurnalis.

4.4 Kaitan Antara Tiga Artikel dengan Pandangan Narasumber


Ignatius Haryanto yang merupakan salah satu pengamat media berpendapat
bahwa media massa sekarang sedang terjebak. Sehingga media massa
menampilkan hal- hal yang sensasional dari peristiwa- peristiwa yang ada. Seperti
tiga artikel di atas yang menggunakan kalimat sensasional dalam judul maupun
batang tubuh artikel. Pada kasus- kasus kekeraan, Ignatius Haryanto mengatakan
bahwa korban harus dilindungi, tidak boleh merugikan korban, dan lebih
mengekspos pelaku ketimbang korban. Tetapi dari ketiga artikel tersebut terlihat

  12  
lebih mengekspos tentang korban. Dan penggunaan kata- katanya malah
merugikan pihak perempuan. Lelaki yang biasa disebut Pak Har ini juga
mengatakan, media massa harus menampilkan informasi secara proposional tetapi
ada etik yang menyebutkan bahwa korban kejahatan susila harus dilindungi.
“Pelakunyaa inilah yang harus lebih di sorot ketimbang si perempuannya.
Ada istilah untuk kalangan feminis, media sering kali melakukan pemerkosaan
yang kedua kali. Jadi, maunya merekonstruksi kejadian. Tapi ketika melakukan
itu media tidak sensitif untuk memperhatikan perasaan si korban,” ucap Ignatius
Haryanto.
Apa yang dilakukan media massa seperti contoh media online Tempo.co,
Liputan6.com, dan Sindonews.com dengan artikel kekerasan perempuan (artikel di
atas) bisa dibilang menjadikan korban sebagai korban untuk kedua kalinya. Hal
ini dapat dibaca dari kata- kata yang dipilih yang malah lebih memojokan korban.
“Kalimat-kalimat yang dipergunakan, deskripsi juga sebagai gambar, itu juga
yang menjadi problem. Bagaimanapun menekankan privasi itu penting dan
wartawan juga harus menghargai hal itu,” kata Ignatius Haryanto.
Menurutnya juga pemerintah tidak usah sejauh untuk turun tangan dengan
apa yang dilakukan oleh media. Adanya Dewan Pers sudah cukup untuk selalu
mewanti- wanti media massa. Media yang sudah diwanti- wanti oleh Dewan Pers
bisa lebih mempersiapkan beritanya agar lebih baik. Hal ini terkai dengan agenda
media. Setiap media massa pasti telah memiliki agendanya sendiri atau sering
disebut dengan agenda setting. Media telah mengatur peristiwa- peristiwa apa
yang akan mereka (media) pilih untuk diberitakan kepada masyarakat. Dalam hal
ini Tempo.co, Liputan6.com, dan Sindonews.com yang juga telah memiliki
agenda. Salah satunya adalah dengan memberitakan kekerasaan perempuan
seperti contoh artikel yang telah dijelaskan sebelumnya.
Media yang telah mengagendakan beritanya seharusnya lebih dapat
menyusun cara pemberitaan yang baik dan sesuai dengan kode etik jurnalistik.
Sama dengan Tempo.co, Liputan6.com, dan Sindonews.com yang telah memiliki
agenda media sebaiknya mengemas artikel mengenai kekerasan perempuan
dengan lebih baik. Sehingga tidak ada pihak yang dirasa dirugikan kembali.

  13  
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan
Pemberitaan kekerasaan perempuan di media online tetap harus proposional.
Media online harus dapat menyajikan berita yang tidak boleh membuat korban
kekerasaan merasa dirugikan lagi. Penggunaan kata dalam kalimat berita harus
sesuai dengan kode etik yaitu tidak boleh mengedepankan sensasionalitas semata.
Media online juga harus menghargai korban. Dalam pemberitaan kekerasaan
media juga tidak seharusnya mengekspos korban terlalu dalam. Pelaku dari
kekerasaan perempuan yang seharusnya diberitakan. Media harus berfokus pada
pelakunya dan bukan korbannya.
Pelanggaran yang masih saja dilakukan oleh media online dalam
pemberitaannya mengenai kekerasaan perempuan karena faktor kecepatan media
online. Kecepatan merupakan ciri khas dari media online. Banyaknya artikel
masuk setiap menitnya membuat jurnalis media online membuat artikelnya
semenarik mungkin. Bila dari judul artikel telah menarik maka pembaca pun akan
membuka artikel tersebut. Dan sensionalitas merupakan salah satu cara untuk
menarik pembaca.

5.2 Saran
Pemimpin redaksi yang merupakan puncak dari keputusan sebuah berita
seharusnya lebih menyortir lagi berita sebelum diterbitkan. Adanya editor dalam
media online memang diperlukan untuk meminimalisir kata- kata yang dirasa
kurang pantas. Sebaiknya media online tetap harus memiliki editor berita.
Sehingga setiap berita yang akan naik bisa dikoreksi terlebih dahulu. Sekarang ini
beberapa dari media online tidak memiliki editor karena ingin menang dalam hal
kecepatan. Tetapi hal ini malah membuat berita menjadi tidak proposional.
Jurnalis media online juga sebaiknya tahu betul tatanan kata- kata yang
baik dalam memberitakan kekerasaan perempuan. Agar mereka tidak seenaknya
saja menggunakan kata- kata sensasional yang malah dapat melecehkan korban
kekerasan untuk kedua kalinya.

  14  

Anda mungkin juga menyukai