Anda di halaman 1dari 2

Perbankan pada periode Krisis Moneter 1997/1998

Krisis moneter yang terjadi di Indonesia merupaka dampak krisis moneter yang melandda
Asia pada tahun 1997. Krisis perekonomian Indonesia yang mencapai puncaknya pada
tahun 1997-1998 itu, telah melahirkan perdebatan publik, khususnya mengenai pilihan
kebijakan yang diambil pemerintah pada waktu itu. Krisis moneter tersebut berdampak
luas dan lama terhadap perekonomian dan khususnya perbankan di Indonesia. Ciri-ciri
yang memperkuat indikasi tersebut antara lain

1. Rendahnya rasio modal terhadap altiva produktif


2. Rendahnya persyaratan modal minimum untuk mendirikan suatu bank di Indonesia
3. Tingginya jumlah kredit yang bermasalah.

Banyaknya jumlah bank sejak kebijakan Pakto 88 menyebabkan terjadinya persaingan


antar bank yang lebih tinggi. Dengan demikian bank cenderung melakukan ekspansi kredit
yang berisiko tinggi. Pdahal saat itu analisis kredit dan penaggungulangan resiko belum
begitu dipahami. Di bank bank swasta banyak kredit yang disedot hanya kepada beberapa
kelompok usaha saja atau individu yang terkait dengan pihak bank. Di bank milik
pemerintah terjadi campur tangan berlebihan sehingga sangat rentan terhadap
penyalahgunaan wewenang oleh oknum pejabat. Kredit macet yang terjadi pada tahun
1997 mencapai 7,7 persen atau sebesar Rp. 10,2 triliun. Mengingat kondisi perbankan saat
itu yang kurang kondusif, maka pemerintah melakukan penjaminan terselubung dari Bank
Sentral agar bank yang tidak sehat tetap dipertahankan dengan alasan mencegah kegagalan
sistematik perbankan. Hal ini membuat potensi krisis menjadi terakumulasi, yang makin
membuat perbankan nasional sangat sensitif terhadap krisis. Banyak bank mengalami
kesulitan likuiditas dan akibatnya fungsi intermedisinya terganggu. Kondisi perbankan
yang demikian menyebabkan dampak yang negatif bagi perekonomian secara keseluruhan.

Dampak terbesar krisis moneter bagi perbankan adalah menurunnya kepercayaan


masyarakat terhadap bank. Dilikuidasinya 16 bank pada tahun 1997 merupakan bukti
perbankan Indonesia sangat rapuh. Lumpuhnya sektor perbankan saat itu sangat
berpengaruh dalam kegiatan ekonomi masyarakat terutama yang menggunakan fasilitas
bank.

( Sumber : Modul ESPA4314, hlm 3.9-3.11 )

Perbankan di Masa Pandemi

Dalam menghadapi dampak dari covid-19 yang membuat perekonomian nasional


menghadapi pertumbuhan negatif cenderung lebih kuat mendorong menuju jurang resesi.
Sehingga   sejumlah perbankan terpaksa dan telah mengambil kebijakan hapus buku dan
hapus tagih piutang (write off) dilakukan untuk kredit yang sudah masuk katagori macet
dalam jangka waktu lama. Tindakan penghapusan buku ini seiring dengan kenaikan NPL
yang naik signifikan. Dilakukan oleh perbankan biasanya untuk menjaga rasio NPL. Bila
kredit bermasalah dihapus di neraca keuangan, secara otomatis NPL akan turun dan
mempengaruhi berkurangnya pendapatan yang menggerus laba dengan konsekuensi
menurunnya modal bank. Sebagaimana yang dihadapi BCA yang mencatatkan NPL sebesar
2,1% per Juni 2020, naik signifikan dibandingkan dengan Juni 2019 yang masih sebesar
1,4%. Sebagaimana informasi keputusan penghapusan buku juga dilakukan oleh PT Bank
CIMB Niaga, diperkirakan ada kecenderungan semua buku 4 mengalami kondisi yang sama
apalagi buku 3,2,1 untuk memperbaiki posisi NPL nya cenderung akan menempuh
kebijakan yang sama melakukan penghapusan buku mengingat sektor UMKM yang banyak
menjadi obyek pembiayaan buku 1,2 dan 3 dan paling terdampak covid-19.

Dalam situasi wabah covid-19 belum tertuntaskan sebagai bankir tetap harus mengambil
sikap waspada professional dengan memegang teguh prinsip kehati hatian dengan
memperkuat dan mengatisipasi risk profile dengan baik, azas good corporate governance,
profitabilitas dan permodalan bank agar selalu terjaga dengan terus membentuk cadangan
kerugian penurunan nilai (CKPN) untuk selalu memiliki daya tahan terhadap setiap
turbulence (goncangan) ekonomi yang biasanya sulit diperkirakan dan datangnya tiba tiba.
Mengingat pada bulan Agustus 2020 rasio non perfoming loan (NPL) atau kredit
bermasalah meningkat mencapai level 3,22% tumbuh meningkat lebih tinggi dari akhir
kuartal II/2020 yang berada pada level 3,11%. Kendatipun rasio CAR terjaga berada di
level cukup tinggi mencapai 23,39% dibandingkan kuartal II/2020 yang berada di level
22,5%. Namun tetap harus waspada dengan memperkuat RGEC dan CKPN demi untuk
mengantisipasi hal hal yang tidak diinginkan terjadi.

 Sekian terima kasih

Anda mungkin juga menyukai