Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Ginjal termasuk salah satu organ terpenting dalam sisitem perkemihan, ginjal
juga memiliki berbagai fungsi yaitu, sebagai regulasi, mengatur keseimbangan
cairan dan elektrolit tubuh, mengatur keseimbangan asam basa tubuh (Cholina,
2020).

Gagal ginjal kronik (GGK) atau Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan
penyakit yang terjadi akibat berbagai macam penyakit yang merusak masa nefron
ginjal sampai pada titik keduanya tidak mampu untuk menjalankan fungsi
regulatorik dan ekstetoriknya untuk mempertahankan homeostatis. Gagal ginjal
kronik secara progresif kehilangan fungsi ginjal nefronnya satu persatu yang
secara bertahap menurunkan keseluruhan fungsi ginjal (Lukman, 2018). Penyakit
ginjal kronis (PGK) merupakan masalah kesehatan masyarakat global dengan
prevalens dan insidens gagal ginjal yang meningkat, prognosis yang buruk dan
biaya yang tinggi.

World Health Organization (2017) melaporkan bahwa pasien yang menderita


gagal ginjal kronis telah meningkat 5 0% dari tahun sebelumnya, secara global
kejadian gagal ginjal kronis lebih dari 500 juta orang dan yang harus menjalani
hidup dengan bergantung pada cuci darah (hemodialisa) adalah 1,5 juta orang.
Gagal ginjal kronis termasuk 12 penyebab kematian umum di dunia, terhitung 1,1
juta kematian akibat gagal ginjal kronis yang telah meningkat sebanyak 31,7%
sejak tahun 2010 hingga 2015 (Neuen et al., 2017).

Sedangkan di Indonesia, perawatan penyakit ginjal merupakan ranking kedua


pembiayaan terbesar dari BPJS kesehatan setelah penyakit jantung. Berdasarkan
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) dari tahun ke tahun memiliki kenaikan dimana
pada tahun 2013 dan 2018 menunjukan bahwa prevalensi penyakit gagal ginjal
kronis di Indonesia usia  ≥ 15 tahun berdasarkan diagnosis dokter pada tahun 2013
adalah 0,2% dan terjadi peningkatan pada tahun 2018 sebesar 0,38%. Sedangkan
menurut data prevalensi penyakit gagal ginjal kronis berdasarkan provinsi, Jawa
Barat memiliki nilai 0,48 % dari 52.511.

Masa pandemi covid 19 yang di alami Indonesia sejak maret 2020 telah
merubah berbagai pelayanan kesehatan. Penelitian yang dilakukan oleh Clement
D dan Asri C. A (2020) di DKI Jakarta di dapatkan bahwa pasien covid-19
dengan riwayat GGK juga ditemukan meningkatkan risiko mortalitas hingga 3.33
(1.27-8.68) kali lebih tinggi, ada berbagai cara dalam pengobatan terapi gagal
ginjal kronik salah satunya dengan hemodialisa, terapi ini merupakan terpai
penganti yang sering digunakan dan jumlahnya dari tahun ketahun terus
meningkat. Pengaturan cairan pada pasien CKD sangatlah penting dan
berpengaruh terhadap kelangsungan hidup, salah satu yang mempengaruhinya
yaitu mengenai kepatuhan baik kepatuhan.

Berdasarkan penelitian Rita M & Wiwin W (2019) pasien hemodialisis di RS


Fatmawati sebesar 84 responden, menunjukkan responden tidak patuh terhadap
pembatasan cairan sebesar 76%, responden mengalami overload sebesar 53,6%.
semakin besar klien patuh pada pembatasan cairan maka akan semakin kecil
terjadi overload.

Kesuksesan hemodialisa tergantung pada kepatuhan pasien. Pada populasi


pasien hemodialisa, prevalensi ketidakpatuhan cairan antara 10% sampai 60%,
ketidakpatuhan diet 2% sampai 57%, waktu dialisis terhambat 19%,
ketidakpatuhan obat 9%, pasien hemodialisa mengalami kesulitan lebih tinggi
dalam pengelolaan kontrol pembatasan asupan cairan (Rustiawati, 2017).

Klien gagal ginjal kronik yang dilakukan hemodialisis yang mengalami


kegagalan dalam diet, pengaturan cairan dan pengobatan akan memberikan
dampak dalam kesehatan. Kegagalan dalam mengikuti pengaturan pengobatan
akan berakibat fatal. Dilaporkan 50% pasien yang menjalani terapi hemodialisis
tidak patuh dalam pembatasan asupan cairan. Jika penderita gangguan ginjal tidak
tahu, dapat mengakibatkan kenaikan berat badan yang cepat (melebihi 5 %),
edema, ronkhi basah dalam paru-paru, kelopak mata yang bengkak dan sesak
nafas yang diakibatkan oleh volume cairan yang berlebihan dan gejala uremik
yang dapat mengancam keselamatan jiwa, terutama bagi mereka yang telah berada
pada tahap gagal ginjal kronik (Smeltzer & Bare, 2018).

Kepatuhan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam


menentukan tingkat kesehatan dan kesejahteraan pasien dengan hemodialisis
kronis. Diantara semua manajemen yang harus dipatuhi dalam terapi
hemodialisis, pembatasan cairan yang paling sulit untuk dilakukan oleh pasien
karena yang paling membuat stress, karena rata – rata pasien mengkonsumsi obat
obatan yang dapat mempengaruhi membrane mukosa menjadi kering seperti
diuretik , sehingga pasie akan merasakan haus dan berusaha untuk minum. Pasien
hemodialisi menunjukan bahwa konsumsi cairan yang berlebih merugikan
kelangsungan hidup yang berakibat meningkatnya penambahan berat badan
interdialitik atau Interdialytic Weight Gain (IDWG) lebih besar dari 5,7% dari
berat badan kering mereka, memiliki resiko 35% lebih tinggi terhadap kematian.

Kepatuhan pembatasan cairan dipengaruhi oleh berbagai faktor, meliputi


lama menjalani HD, dukungan keluarga, dukungan sosial, pengetahuan, sikap,
akses pelayanan Kesehatan, motivasi, presepsi pasien tentang keperawatan ,
pendidikan dan pengetahuan. IDWG yang berlebihan dipengaruhi oleh
pengaturan pembatasan cairan yang baik ( Eranawati et al, 2019 : Mailani, 2017).
Penelitian yang dilakukan oleh Dian (2019) Pasien semakin lama menjalani HD
maka pasien akan semakin patuh untuk HD, karena responden telah mendapatkan
pendidikan kesehatan dari perawat dan juga dokter mengenai penyakit dan
melaksanakan HD.

Berdasarkan studi pendahuluan yang di lakukan di RS Sentra Medika


Cibinong pada pasien CKD, dengan cara wawancara dan observasi dari 10
responden didapatkan 7 pasien masih bingung mengenai pembatasa cairan dan
kurangnya pengetahuan mengenai fungsi pembatasan cairan, bahkan banyak yang
melakukan minum tidak sesuai anjuran dokter .

Berdasarkan fenomena yang ditemukan di lapangan peneliti tertarik unttuk


melakukan penelitian tentang “ Faktor-faktor berhubungan dengan kepatuhan
pembatasan cairan pada pasien CKD di RS Sentra Medika Cibinong“

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah pada peneliti


adalah “ Apakah Faktor dukungan keluarga , sikap, pengetahuan, dan lama
menjalani HD berhubungan dengan kepatuhan pembatasan cairan pada pasien
CKD di RS Sentra Medika Cibinong ?“.

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor – faktor yang berhubungan dengan


kepatuhan pembatasan cairan pada pasien CKD di RS Sentra Medika
Cibinong.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui distribusi frekuensi lama pasien menjalani HD pada


pasien CKD di RS Sentra Medika Cibinong.

b. Untuk mengetahui distribusi frekuensi dukungan keluarga pada pasien


CKD yang menjalani HD di RS Sentra Medika Cibinong.

c. Untuk mengetahui distribusi frekuensi sikap terhadap pembatasan


cairan pada pasien CKD yang menjalani HD di RS Sentra Medika
Cibinong.

d. Untuk mengetahui distribusi Frekuensi pengetahuan pasien CKD


terhadap pembatasan cairan yang menjalani HD di RS Sentra Medika
Cibinong.

e. Untuk mengetahui distribusi frekuensi kepatuhan pembatasan cairan


pada pasien CKD yang menjalani HD di RS Sentra Medika Cibinong.

f. Untuk mengetahui hubungan lama pasien menjalani HD dengan


kepatuhan pembatasan cairan pada pasien CKD di RS Sentra Medika
Cibinong.

g. Untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga yang menjalani HD


dengan kepatuhan pembatasan cairan pada pasien CKD di RS Sentra
Medika Cibinong.

h. Untuk mengetahui hubungan sikap terhadap pembatasan cairan yang


menjalani HD dengan kepatuhan pembatasan cairan pada pasien CKD
di RS Sentra Medika Cibinong.

i. Untuk mengetahui hubungan pengetahuan pasien CKD dengan


kepatuhan pembatasan cairan pada pasien CKD di RS Sentra Medika
Cibinong.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis

a. Sebagai bahan referensi dan bacaan untuk tenaga kesehatan terutama


perawat mengenai pembatasan cairan pada pasien CKD.

b. Sebagai acuan dalam pemberi asuhan keperawatan pada pasien CKD


yang menjalani pembatasan cairan.

2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini berharap bisa di jadikan sumber informasi bagi


petugas kesehatan di RS Sentra Medika Cibinong dalam upaya
mengontrol pembatasan cairan pada pasien CKD yang menjalani
Hemodialisa.

b. diharapkan hasil penelitian ini dapat di jadikan pengetahuan baru dan


bahan informasi lanjutan untuk penelitian selanjutnya, mengenai
kepatuhan pembatasan cairan pada pasien CKD.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Gagal Ginjal Kronis


1. Pengertian Gagal Ginjal Kronik
Gagal ginjal terjadi ketika ginjal tidak mampu mengangkut sampah
metabolik tubuh atau melakukan fungsi regulernya. Suatu bahan yang
biasanya di eliminasi di urine menumpuk dalam cairan tubuh akibat
gangguan ekskresi renal dan menyebabkan gangguan fungsi endokrin dan
metabolik, cairan, elektrolit, serta asam basa (Suharyanto, 2019).
Gagal ginjal kronik (GGK) adalah kerusakan faal ginjal yang
selalu tak dapat pulih yang disebabakan berbagai hal, selama lebih dari
satu abad istilah uremia sering digunakan sebagai keadaan tersebut,
walapun pada saat ini disadari bahwa gagal ginjal kronik tidak selalu
disebabkan oleh penumpukan retensi di dalam darah, adapun istilah yang
sering digunakan terhadap gagal ginjal ringan yang biasa di sebut sebagai
Insufesiensi Renal bahkan sering digunakan untuk gagal ginjal ringan
(Masriadi, 2016).
Gagal ginjal kronik (GGK) atau Chronic Kidney Disease (CKD)
merupakan penyakit yang terjadi akibat berbagai macam penyakit yang
merusak masa nefron ginjal sampai pada titik keduanya tidak mampu
untuk menjalankan fungsi regulatorik dan ekstetoriknya untuk
mempertahankan homeostatis. Gagal ginjal kronik secara progresif
kehilangan fungsi ginjal nefronnya satu persatu yang secara bertahap
menurunkan keseluruhan fungsi ginjal (Lukman, 2018).

Gagal ginjal kronik (chronic renal failure, CRF) terjadi jika


kedua ginjal sudah tidak mampu mempertahankan lingkungan
dalam yang cocok untuk kelangsungan hidup. Kerusakan yang
dialami ini bersifat ireversibel. Gangguan ginjal yang terus
menerus terjadi seperti eksaserbasi nefritis, obstruksi saluran
kemih, kerusakan vaskular akibat diabetes mellitus, dan hipertensi,
mengakibatkan pembentukan jaringan parut pembuluh darah dan
hilangnya fungsi ginjal secara progresif (Baradero, 2018).
Gagal ginjal kronik merupakan gangguan fungsi yang
irrevesible dan Progresif yang mengakibatkan kemampuan tubuh
gagal untuk mempertahankan metabolisme, kseimbangan cairan
dan elektrolit yang mengakibatkan uremia (Isron, 2016).
Penyakit Ginjal Kronik adalah kelaiuan suatu ginnjal yang
mengalami perubahan struktur fungsi yang berlangsung lebih dari 3
bulan ( Suhardjono, 2018).

2. Etiologi
Menurut lewis & Dirksen (2014) disebabkan karena adanya
penurunan fungsi ginjal atau peurunan laju filtrasi glomerulus kurang dari
60mL/min/1,73m 2 selama lebih dari 3 bulan. Penyebab gagal ginjal
sangatlah kompleks, yang menyebabakan gagal ginjal yaitu, DM,
hipertensi, lupus, poliartritis, amyiolidiasis, dan eritematosus, namun
kebanyak pasien atau klien mengalami dialysis diakibatkan oleh diabetes
sebagai penyebab pertama gagal ginjal dan hipertensi sebagai peyebab
kedua terjadinya gagal ginjal kronik (Yasmara et al, 2016).
Adapun beberapa klasifikasi yang menyebab kan gagal ginjal
menurut Suharyanto (2019) meliputi :
1. Penyakit infeksi tubulointerstisial : Pielonefritis kronik atau refluks
nefropati
Pielonefritis kronik adalah infeksi pada ginjal itu sendiri yang di
akibat , infeksi berulang, yang biasa terjadi pada batu ginjal.
2. Penyakit peradangan : Glomerulonefritis
Peradangan akut glomerulus, peradangan ini terjadi akibat
peradangan komplek antigen dan antibodi di kapiler-kapiler
glomerulus. Glomerulonefritis kronik adalah peradangan yang lama
dari sel-sel glomerulus.
3. Penyakit vaskuler hipertensif : Nefrosklerosiss benigna, nefrosklerosis
maligna, sterosis arterina renalis.
4. Gangguan jaringan ikat : Lupus eritematosus sistemik, poliarteritis
nodusa, sklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan congenital dan herediter : penyakit ginjal polikistik asidosis
tubulus ginjal.
6. Penyakit metabolic : diabetes milletus, gout, hiperparatiroidisme,
amiloidosis
7. Nefropati toksik : penyalahgunaan analgesik, nefropati timah.
Trauma pada area ginjal, dan tidak membaik, yang mengaibatkan
ketidakfungsian ginjal secara menyeluruh.

3. Patofisiologi
Menurut Baradero (2018)gagal ginjal ini terjadi secara terus
menerus yang mengakibatkan kerusakan, beberapa nefron termasuk
glomerulus dan tubula masih berfungsi, sedangkan nefron yang lain sudah
rusak dan tidak berfungsi lagi.
Nefron yang masih utuh dan berfungsi mengalami hipertrofi dan
menghasilkan filtrat dalam jumlah banyak. Reabsorpsi tubula juga
meningkat walaupun laju filtrasi glomelurus berkurang. Kompensasi
nefron yang masih utuh dapat membuat ginjal mempertahankan fungsinya
sampai tiga perempat nefron rusak.
Solut dalam cairan menjadi lebih banyak dari yang dapat
direabsorpsi dan mengakibatkan diuresis osmotik dengan poluria dan
haus, sehingga nefron yang rusak bertambah dan terjadi oliguria akibat
sisa metabolisme tidak diekskresikan. Tanda dan gejala timbul akibat
cairan dan elektrolit yang tidak seimbang, perubahan fungsi regulator
tubuh, dan retensi solut. Anemia terjadi karena produksi eritrosit juga
terganggu (sekresi eritropoietin ginjal berkurang). Pasien mengeluh cepat
lelah, pusing, dan letargi. Sedangkan pasien dengan Hiperurisemia sering
di temukan pada pasien dengan ESRD. Fosfat serum juga meningkat,
tetapi kalsium mungkin normal atau dibawah normal. Hal ini disebabkan
ekskresi ginjal terhadap fosfat menurun. Ada peningkatan produksi
parathormon sehingga kalsium serum mungkin normal.
Tekanan darah meningkat karena adanya hipervolemia, ginjal
mengeluarkan vasopresor (renin). Kulit pasien juga mengalami
hiperpigmentasi serta kulit tampak kekuningan atau kecoklatan. Uremic
frosts adalah kristal deposit yang tampak pada pori-pori kulit. Sisa
metabolisme yang tidak dapat diekskresikan oleh ginjal diekskresikan
melalui kapiler kulit yang halus sehingga tampak uremic frosts. Pasien
dengan gagal ginjal yang berkembang dan menjadi berat (tanpa
pengobatan yang efektif) dapat mengalami tremor otot, kesemutan betis
dan kaki, perikarditis dan pleuritis. Tanda ini dapat hilang apabila
kegagalan ginjal ditangani dengan modifikasi diet, medikasi dan atau
dialisis.
Gejala uremia terjadi sangat perlahan sehingga pasien tidak dapat
menyebutkan awitan uremianya. Gejala azotemia juga berkembang,
termasuk letargi, sakit kepala, kelelahan fisik dan mental, berat badan
menurun, cepat marah dan depresi. Gagal ginjal yang berat menunjukkan
gejala anoreksia, mual, dan muntah yang berlangsung terus, pernapasan
pendek, edema pitting, serta pruritus.
Wanita dengan ESRD yang sudah berkembang mengalami
perubahan siklus menstruasi. Kemungkinan terjadi perdarahan di antara
menstruasi (ringan atau berat) atau menstruasi berhenti sama sekali.
Perubahan pada menstruasi dapat mengakibatkan infertilitas. Pria dapat
mengalami kesulitan ereksi. Apabila 80- 90% fungsi ginjal sudah hilang,
pasien akan menunjukkan kegagalan ginjal yang khas. Sekitar 30-70% dari
pasien dengan CRF mengalami hipertrigliseridemia. Aterosklerosis
mungkin terjadi sebagai akibat peningkatan rasio high-density lipoprotein
(HDL).
4. Stadium Gagal Ginjal Kronik

Menurut Suharyanto ( 2019), stadium gagal ginjal kronik dibagi dlam


beberapa drajat diantaranya :

1. Derajat 1
Kerusakan ginjal dengan LFG normal atau meningkat dimana
nilainya >90 ml/mnt/1,73 m2.
2. Derajat 2
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun ringan dimana nilainya 60-
89 ml/mnt/1,73 m2.
3. Derajat 3
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun sedang dimana nilainya
30-59 ml/mnt/1,73 m2.
4. Derajat 4
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun berat dimana nilainya 15-
29 ml/mnt/1,73 m2.
5. Derajat 5
Kerusakan ginjal dengan LFG menurun berat dimana nilainya <15
atau dialisis.
5. Penatalaksanaan Gagal ginjal Kronik (GGK)
Ketika seseorang mengalami gagal ginjal, maka perlu dilakukan beberapa
penatalaksanaan diantaranya:
1. Pengendalian cairan atau pembatasan cairan
Pembatasan asupan cairan pada pasien gagal ginjal kronik, sangat
perlu dilakukan. Hal ini bertujuan untuk mencegah terjadinya edema dan
komplikasi kardiovaskular. Air yang masuk ke dalam tubuh dibuat
seimbang dengan air yang keluar, baik melalui urin maupun IWL. Dalam
melakukan pembatasan asupan cairan, bergantung dengan haluaran urin
dalam 24 jam dan ditambahkan dengan IWL, ini merupakan jumlah yang
diperbolehkan untuk pasien dengan gagal ginjal kronik yang mendapat
dialisis. Contohnya, jika jumlah urin yang dikeluarkan dalam waktu 24
jam adalah 400 ml, maka asupan cairan total dalam sehari adalah 400 +
500 ml = 900 ml (Smeltzer&Bare, 2018). Penambahan berat badan antara
dua waktu dialisis merupakan salah satu indikator kualitas bagi pasien HD
yang perlu dikaji, sehingga dapat digunakan untuk meningkatkan
perawatan berkelanjutan diantara dua waktu dialisis dan meningkatkan
kepatuhan terhadap pembatasan cairan. Kelebihan cairan yang terjadi
dapat dilihat dari terjadinya penambahan berat badan secara cepat.
Penambahan berat badan 2% dari berat badan normal merupakan
kelebihan cairan ringan, penambahan berat badan 4% merupakan
kelebihan cairan sedang, penambahan 6% merupakan kelebihan cairan
berat (Price&Wilson, 2016). Rasa haus pasien merupakan panduan yang
tidak dapat diyakini mengenai keadaan hidrasi pasien. Berat badan harian
merupakan parameter penting yang dipantau, selain catatan yang akurat
mengenai asupan dan keluaran. Asupan yang terlalu bebas dapat
menyebabkan kelebihan beban sirkulasi, edema, dan intoksikasi cairan.
Asupan yang kurang dari optimal dapat menyebabkan dehidrasi, hipotensi,
dan pemburukan fungsi ginjal. (Price&Wilson, 2016).
2. Pengendalian Elektrolit
Pengendalian Elektrolit merupakan salah satu pelaksanaan dalam
perawatan gagal ginjal, dalam pengendalian elektrolit ini meliputi :
1. Pengendalian Hiperkalemia
Kadar kalium plasma pada hiperkalemia adalah lebih dari 5,5
mEq/L. Pada psien dengan CRF, retensi kalium terjadi karena nefron
kurang mampu melakukan ekskresi. Hiperkalemia dapat dikendalikan
dengan mengurangi asupan makanan yang kaya dengan kalium
(pisang, jeruk, kentang, kismis, dan sayuran berdaun hijau) atau
hemodialisis dengan dialisat tanpa mengandung kalium plasma yang
dapat segera mengambil kalium dalam tubulus pasien.
2. Asidosis metabolic
Asidosis metabolik terjadi karena nefron yang rusak tidak dapat
mengekskresikan asam yang dihasilkan dari metabolisme tubuh.
Apabila laju filtrasi glomerulus menurun sampai 30-40%, asidosis
metabolik mulai berkembang karena kemampuan tubulus distal untuk
mereabsorpsi bikarbonat menurun. Walaupun terjadi retensi ion
hidrogen dan hilangnya bikarbonat, pH plasma masih dapat
dipertahankan karena tubuh mempunyai mekanisme pendaparan
(buffering).
3. Hipokalsemia/hipofosfatemia
Pada gagal ginjal, kemampuan ginjal untuk mengekskresi fosfor
berkurang. Siklus hipokalsemia/hiperfosfatemia mengakibatkan
demineralisasi tulang. Kalsium dan fosfor dikeluarkan dalam darah.
Berkurangnya laju filtrasi glomerulus mengakibatkan peningkatan
fosfat plasma, sekaligus penurunan kalsium serum. Penurunan kadar
kalsium serum akan menstimulasi sekresi hormon paratiroid dengan
akibat kalsium di resorpsi dari tulang. Ginjal tidak mampu
mengekskresikan sintesis vitamin D ke bentuk yang aktif, yaitu 1,25-
dihidroksikolekalsiferol. Vitamin D yang aktif ini diperlukan untuk
mengabsorpsi kalsium dari traktus gastrointestinal dan menyimpan
kalsium dalam tulang. Gangguan ini mengakibatkan lambatnya
pertumbuhan (pada anak-anak), nyeri tulang, dan osteodistrofi ginjal
pada orang dewasa. Tujuan terapi adalah menurunkan fosfor serum ke
batas normal. Obat yang diberikan antara lain AlrenalGel, Amfogel
Alu-Cap (gel yang mengandung aluminum), kalsium karbonat, dan
kalsium asetat. Pasien dapat juga diberi vitamin D aktif, seperti
kalsitriol 0,5 setiap hari.
3. Penanganan anemia
Anemia menyertai CRF. Pengobatan dengan epoitin alfa (EPO),
(bentuk rekombinan dari eritropoietin) berhasil meningkatkan
hematokrit, mengurangi kebutuhan transfusi darah, dan menambah
tenaga pasien. Peningkatan hematokrit ini dapat membuat pasien
mampu melakukan aktivitas hidup sehari-hari. EPO diberikan
subkutan 50U/kg berat badan 3 kali seminggu. EPO dapat diberikan
sewaktu dialisis dilakukan zat besi merupakan komponen penting
eritropoiesis karena pasien perlu tambahan zat besi. Zat besi
mempunyai efek samping pada gastrointestinal misalnya mual dan
konstipasi. Efek samping ini dapat diatasi dengan mengonsumsi zat
besi setelah makan dan pasien diberi obat laksatif untuk membuat
feses menjadi lunak.
4. Hemodialisis
Hemodialisis adalah pengalihan darah pasien dari tubuhnya
melalui dialiser yang terjadi secara difusi dan ultrafiltrasi, kemudian darah
kembali lagi ke dalam tubuh pasien. Hemodialisis memerlukan akses ke
sirkulasi darah pasien, suatu mekanisme untuk membawa darah pasien ke
dan dari dializen (tempat terjadinya pertukaran cairan, elektrolit, dan zat
sisa tubuh), serta dialiser. Segera setelah dialisis, berat badan pasien
ditimbang, tanda vital diperiksa, spesimen darah diambil untuk
mengetahui kadar elektrolit serum dan zat sisa tubuh.

5. Dialisis Peritoneal

Pada dialisis peritoneal, cairan pendialisis dimasukkan ke dalam rongga


peritoneum dan peritoneum menjadi membran pendialisis. Hemodialisis
berlangsung selama 2-4 jam, sedangkan dialisis peritoneal berlangsung selama
36 jam. Dialisis peritoneal dipakai untuk menangani gagal ginjal akut dan
kronik. Dialisis peritoneal dapat dilakukan dirumah atau dirumah sakit.
6. Pemeriksaan Penunjang dalam gagal ginjal
Dalam memperkuat diagnosis sering dilakukan beberapa pemeriksaan
penunjang untuk menentukan perawatan selanjutnya dan intervensi yang
tepat, Adapun dibawah ini pepmeriksaan penunjang yang digunakan dalam
penegakan gagal ginjal yaitu:

Anda mungkin juga menyukai