Anda di halaman 1dari 18

TUGAS MAKALAH

SEJARAH PEGADAIAN SECARA UMUM DAN KHUSUS

Diajukan Guna Memenuhi Tugas Terstruktur Mata Kuliah

LEMBAGA KEUANGAN NON BANK: PEGADAIAN SYARIAH

Dosen Pengampu : Nurse Fatimah MZ, S.E.Sy., M.E.

Disusun Oleh : Kel.1

1. Hasnita Gustiani (1209.19.08868)


2. Karmila (1209.19.08872)
3. Muhammad Aswandi (1209.19.08876)
4. Puspita Sari (1209.19.08882)

Semester/Lokal : V (LIMA)/B

PROGRAM STUDI EKONOMI SYARIAH


SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM
AULIAURRASYIDIN
TEMBILAHAN
2021/2022
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Segala puji bagi ALLAH SWT. Atas berkat rahmat dan karunia-nya lah
penulis dapat menyusun makalah yang berjudul “SEJARAH PEGADAIAN
SECARA UMUM DAN KHUSUS” ini dengan kemampuan yang dimiliki oleh
penulis. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu tugas Mata
Kuliah Lembaga Keuangan Non Bank: Pegadaian Syariah yang diberikan oleh
dosen pengampu Nurse Fatimah MZ, S. E, Sy., M. E.

Dalam penulisan makalah ini penulis mengucapkan terimakasih kepada


pihak yang telah membantu menyumbangkan ide dan pikiran dari awal hingga
selesainya makalah ini.

Dalam penyusunan makalah ini mungkin masih bisa dikatakan jauh dari
kata sempurna, karena penulis hanyalah manusia biasa yang tidak luput dari
salah dan khilaf. Oleh sebab itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun guna kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita semua.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb.

Tembilahan, September 2021

Penulis

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sebagai agama rahmat, sejak diturunkan di tengah-tengah umat, Islam


telah mengatur hukum-hukum yang berhubungan dengan interaksi sosial
(muamalah). Peran hukum muamalah ini menjadi penting jika melihat fitrah
manusia sebagai mahkluk sosial. Karena manusia sebagai makhluk sosial
tidak dapat terlepas dari hubungan dan interaksi antara individu satu dengan
individu yang lain, mereka akan saling membutuhkan satu sama lainnya
dalam kehidupan ini, sejak mulai dilahirkan hingga sampai meninggal dunia.
Naluri interaksi pada diri manusia itu telah diberikan Allah sejak lahir, karena
dengan itulah manusia dapat bertahan, berkembang dan memenuhi kebutuhan
dirinya, baik kebutuhan jasmani misalnya: sandang, pangan, papan maupun
kebutuhan rohani. Di antara perintah muamalah dalam Islam adalah anjuran
kepada umatnya supaya hidup saling tolong menolong antara manusia satu
dengan yang lain. Yang kaya harus menolong yang miskin, yang mampu
harus menolong yang tidak mampu serta bantu-membantu dalam hidup
bermasyarakat, sebagaimana ditegaskan Allah dalam surat al-Maidah ayat 2:
Artinya: “dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.
dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-
Nya”.

Banyak cara dan bentuk bagaimana manusia dapat menolong antar


sesamanya, di antaranya adalah dengan jual beli atau pembelian dan pinjaman
atau utang-piutang. Dalam masalah pinjaman dan utang piutang, hukum Islam
juga telah mengatur sedemikian rupa, seperti menjaga kepentingan kreditur
dan debitur, agar jangan sampai diantara keduanya mendapatkan kerugian,
ataupun saling merugikan satu dengan lainnya. Oleh sebab itu, dalam utang-
piutang, hukum Islam memperbolehkan kreditur (murtahin) meminta barang

2
(marhun) dari debitur (rahin) sebagai jaminan atas utangnya (rahn), sehingga
apabila debitur itu tidak mampu melunasi hutangnya maka barang jaminan
boleh dijual oleh kreditur. Konsep tersebut dalam hukum Islam dikenal
dengan istilah rahn atau gadai.

Gadai atau rahn bukan hanya ada di masa sekarang, tapi telah ada
pada masa Rasulullah, bahkan Rasulullah pernah membeli makanan dengan
berhutang dari seorang yahudi, dan Rasulullah menggadaikan sebuah baju
besi kepadanya. Hal ini menunjukkan bahwa rahn telah mempunyai dasar
hukum yang bukan hanya berasal dari hadits nabi tetapi juga ada dalil al
Quran yang mendasarinya. Untuk lebih jelasnya tentang gadai akan kami
bahas pada bab selanjutnya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalahnya yaitu:

1. Apakah definisi dari Gadai?

2. Apakah syarat dan rukun gadai?

3. Bagaimanakah sejarah gadai pada zaman nabi ?

4. Bagaimanakah sejarah gadai pada masa modern ?

5. Apakah sebab musabab gadai lahir di Indonesia ?

3
BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFENISI GADAI/ RAHN

Menurut bahasa, gadai (rahn) berarti al tsubut dan al habs yaitu


penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa al rahn
adalah terkurung atau terjerat.

Menurut terminologi syara’, yang dimaksud dengan rahn adalah:

“Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat


dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut”.

Ulama fiqih mempunyai pendapat dalam mendefenisikan rahn;

1. Menurut ulama syafi’iyah

Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat


dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang.

2. Menurut ulama hanabilah

Harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga


(nilai) hutang ketika yang berutang berhalangan (tak mampu)
membayar utangnya kepada pemberi pinjaman

Jadi dapat disimpulkan bahwa rahn atau gadai adalah menahan salah
satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya. Barang tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian,
pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil
kembali seluruh atau sebagian piutangnya.1

1
Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 105

4
B. RUKUN DAN SYARAT GADAI

Rukun akad rahn atau gadai terdiri atas Rahin (orang yang
menyerahkan barang), Murtahin (penerima barang), Marhun/Rahn (barang
yang digadaikan), dan Marhun Bih (hutang), serta Sighat (ijab qabul).
Menurut Hanafiyah, rukun rahn hanya terdiri dari ijab dan qabul, rukun
selebihnya merupakan turunan dari adanya ijab dan qabul.

Prof. Dr. Rachmat Syafe’i dalam bukunya Fiqih Muamalah


menyatakan bahwa rahn mempunyai empat unsur, yaitu:

a) Rahin (orang yang menyerahkan barang)

b) Al murtahin (penerima barang)

c) Al marhun (barang yang digadaikan)

d) Al marhun bih (hutang)

Diantara syarat-syarat rahn yaitu sebagai berikut:

1. Persyaratan Aqid (orang yang berakad)

Kedua orang yang akan akad harus memenuhi kriteria ahliyah.


Menurut ulama selain Hanafiyah, ahliyah dalam rahn seperti pengertian
ahliyah dalam hal jual beli dan derma. Rahn tidak boleh dilakukan oleh
orang yang mabuk, gila, bodoh, atau anak kecil yang belum Baligh.
Begitu pula seorang wali tidak boleh menggadaikan barang orang yang
dikuasainya, kecuali jika dalam keadaan mudharat dan meyakini bahwa
pemegangnya yang dapat dipercaya.

2. Syarat Sighat

5
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa shighat dalam rahn tidak
boleh memakai syarat atau dikaitkan dengan sesuatu. Hal ini karena
sebab rahn jual beli, jika memakai syarat tertentu, syarat tersebut batal
dan rahn tetap sah.

Adapun menurut ulama. selain Hanafiyah, syarat dalam rahn


ada yang sahih dan yang rusak. Uraiannya adalah sebagai berikut.

a. Ulama Syafi'iyah berpendapat .bahwa syarat dalam rahn ada


tiga:

1) Syarat shahih, seperti mensyaratkan agar murtahin


membayar sehingga jaminan tidak disita.

2) Mensyaratkan sesuatu yang tidak bermanfaat, seperti


mensyaratkan agar hewan yang dijadikan jaminannya
diberi makanan tertentu. Syarat seperti itu batal, tetapi
akadnya sah.

3) Syarat yang merusak akad, seperti mensyaratkan sesuatu


yang akan merugikan murtahin

b. Ulama Malikiyah berpendapat bahwa syarat rahn terbagi dua,


yaitu rahn shahih dan rahn fasid. Rahn fasid adalah rahn yang
didalamnya mengandung persyaratan yang tidak sesuai dengan
kebutuhan atau dipalingkan pada sesuatu yang haram, seperti
mensyaratkan barang harus berada dibawah tanggung jawab
rahin.

c. Ulama Hanabilah berpendapat seperti pendapat ulama malikiyah


di atas, yakni rahn terbagi dua, shahih dan fasid. Rahn shahih
adalah rahn yang mengandung unsur kemaslahatan dan sesuai
dengan kebutuhan.

6
3. Syarat Marhun Bih

Marhun bih adalah hak yang diberikan ketika rahn. Ulama


Hanafiyah memberikan beberapa syarat, yaitu:

a. Marhun bih hendaklah barang yang wajib diserahkan

Menurut ulama selain Hanafiyah, marhun bih hendaklah


berupa utang yang wajib diberikan kepada orang yang
menggadaikan barang, baik berupa uang ataupun berbentuk
benda.

b. Marhun bih memungkinkan dapat dibayarkan

Jika marhum bih tidak dapat dibayarkan, rahn menjadi


tidak sah sebab menyalahi maksud dan tujuan dari
disyariatkannya rahn.

c. Hak atas marhun bih harus jelas

Dengan demikian, tidak boleti memberikan dua marhun


bih dijelaskan utang mana menjadi rahin.

Ulama Hanabilah dan Syafi’iyah memberikan tiga syarat bagi


marhum bih:

1) Berupa utang yang tetap dan dapat dimanfaatkan.

2) Utang harus lazim pada waktu akad.

3) Utang harus jelas dan diketahui oleh rahin dan murtahin.

4) Syarat Marhun (Borg)

Marhun adalah barang yang dijadikan jaminan oleh rahin. Para


ulama fiqih sepakat mensyaratkan marhun sebagaimana persyaratan
barang dalam jual-beli, sehingga barang tersebut dapat dijual untuk
memenuhi hak murtahin.

7
Ulama Hanafiyah mensyaratkan marhun, antara lain:

a. Dapat diperjualbelikan

b. Bermanfaat

c. Jelas

d. Milik rahim

e. Bisa diserahkan

f. Tidak bersatu dengan harta lain

g. Dipegang (dikuasai) oleh rahin

h. Harta yang tetap atau dapat dipindahkan

Ulama sepakat bahwa serah terima (qabdh) merupakan syarat


utama dalam akad rahn, dan akan dikatakan sah jika memenuhi kriteria
sebagai berikut. Serah terima dilakukan berdasarkan izin dari rahin, jika
tidak mendapatkan izin, maka serah terima tidak dikatakan sah. Ketika
serah terima dilakukan, rahin dan murtahin haruslah memiliki ahliyah.

Ketika akad rahn telah disepakati antara rahin dan murtahin, dan
telah terjadi serah terima marhun, terdapat beberapa konsekuensi hukum
yang melingkupinya.

Korelasi hutang dengan marhun (barang jaminan). Ketika suatu


barang dijadikan sebagai jaminan atas transaksi hutang yang dilakukan,
maka marhun akan senantiasa terkait dengan hutang yang ada. Artinya,
marhun akan tetap ditahan sepanjang hutang yang ada belum terbayar.
Murtahin memiliki hak untuk menahan marhun, hingga rahin melunasi
hutang yang ditanggungnya. Rahin tidak memiliki hak untuk menarik
marhun kembali, yang dijadikan sebagai jaminan atas utang yang ada,
sehingga telah terlunasi.

8
Ketika murtahin menahan marhun, maka la berkewajiban untuk
menjaganya sebagaimana ia menjaga harta kekayaan pribadinya.
Penjagaan itu bisa dilakukan oleh diri pribadinya, isteri, anak atau
pembantu yang telah lama tinggal bersamanya. Jika marhun diserahkan
kepada orang lain, dan terjadi kerusakan, maka ia berkewajiban untuk
menggantinya.

Ulama sepakat bahwa biaya yang terkait dengan marhun, menjadi


tanggung jawab rahin sebagai pemilik barang. Akan tetapi, ulama
berbeda pendapat tentang biaya yang wajib ditanggung oleh rahin.
Hanafiyah mengatakan, biaya yang terkait langsung dengan
kemaslahatan marhun, menjadi tanggung jawab rahin, karena la adalah
pemiliknya. Sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk menjaga marhun
dari kerusakan, menjadi tanggung jawab murtahin, karena ia yang
menahan dan menjaganya.

Rahn harus menanggung biaya makan, minum, upah penggembala


atas hewan ternak yang dijadikan sebagai marhun. Murtahin
berkewajiban atas biaya penjagaan marhun, seperti penyewaan kandang,
beserta penjaga yang bertugas menjaganya. Untuk itu, dalam akad rahn,
tidak boleh disyaratkan bahwa murtahin berhak mendapatkan upah atas
aktivitas penjagaan marhun yang dilakukan, karena itu sudah menjadi
kewajibannya.2

2
Rachmat syafe’I, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 159

9
C. GADAI PADA MASA RASULULLAH

Pegadaian pada masa rasulullah maupun pada masa sahabat dan


perkembangannya telah banyak dipraktekkan oleh umat islam, hal ini
didasari bahwa gadai itu adalah suatu syariat karena di dalam al Qur’an
disebutkan dalilnya. Meskipun di dalam al Qur’an disebutkan dalam
kondisi tertentu, tetapi itu tidak membatasi orang untuk melakukan gadai.
Seperti yang telah dicontohkan rasul bahwa beliau melakukan praktek
gadai tidak dalam keadaan safar seperti kondisi yang disebutkan al
Qur’an. Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan pada esensinya gadai
itu dilakukan pada saat orang ingin bermuamalah tapi tidak secara tunai,
maka diberikanlah jaminan barang berharga oleh rahin kepada murtahin
agar menjadi jaminan bahwa pinjaman yang dilakukan akan dilunasi
dikemudian hari.

Jika diteliti banyak hadits-hadits yang mengindikasikan bahwa


telah banyak praktek gadai pada masa rasulullah, sehingga rasul
menunjukkan tata cara pengambilan manfaat barang gadai melalui
haditsnya. Bahkan ada salah satu sumber menyebutkan bahwa pada
zaman jahiliyah, jika ar rahin tidak bisa membayar utang atau pinjaman
pada waktu yang telah ditetapkan, maka barang agunan langsung menjadi
milik al murtahin. Lalu praktik jahiliyah ini dibatalkan oleh islam.
Rasulullah saw bersabda :” Agunan (barang gadai) itu tidak boleh
dihalangi dari pemiliknya yang telah menggadaikannya, ia berhak atas
kelebihan (manfaatnya) dan wajib menanggung kerugian
(penyusutannya) (Hr. as Syafi’i, al Baihaki, ibn Hibban dan ad
Daruqutni).

Gadai menurut hukum Islam dikategorikan sebagai perbuatan Jaiz


atau boleh menurut ketentuan al Qur’an, as Sunah, dan Ijma’. Aktifitas
gadai pada masa sekarang sudah jauh berbeda dengan zaman rasulullah

10
saw sebab gadai pada saat ini tidak hanya bersifat social semata akan
tetapi menjadi lading bisnis bagi para pengusaha.

Landasan syariahnya adalah kisah di masa Rasulullah, ketika


seseorang menggadaikan kambingnya, saat itu rasul ditanya bolehkan
kambingnya diperah. Nabi mengizinkan sekedar untuk menutup biaya
pemeliharaan.3

D. GADAI PADA MASA MODERN

Adapun pegadaian syariah merupakan sebuah lembaga yang


relative baru di Indonesia. Konsep operasi pegadaian syariah mengacu
pada system administrasi modern, yaitu asas rasionalitas, efisiensi, dan
efektivitas yang di selaraskan dengan nilai Islam. Fungsi operasi
pegadaian syariah dijalankan oleh kantor-kantor cabang pegadaian
syariah /unit layanan gadai syariah (ULGS) sebagai satu unit organisasi di
bawah binaan Divisi Usaha Lain PT Pegadaian.

ULGS ini merupakan unit bisnis mandiri yang secara structural


terpisah pengelolaannya dari usaha gadai konvensional. Pegadaian syariah
pertama kali berdiri di Jakarta dengan nama Unit Layanan Gadai Syariah
(ULGS) Cabang Dewi Sartika di bulan Januari Tahun 2003. Menyusul
kemudian pendirian ULGS di Surabaya, Makasar, Semarang, Surakarta,
dan Yogyakarta di Tahun yang sama hingga September 2003. Masih di
Tahun yang sama pula, 4 kantor cabang pegadaian di Aceh dikonversi
menjadi pegadaian syariah. Saat ini jasa gadai syariah dikembangkan
dalam bentuk outlet-outlet gadai syariah.

3
Dimyaudin Djuwaini, Pengantar Fiqih Muamalah, (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2008),
hlm.263

11
Beberapa bank umum syariah yang ada di Indonesia pun telah
terjun di pasar pegadaian dengan menjalankan prinsip syariah. Ada bank
syariah yang bekerja sama dengan PT Pegadaian membentuk unit layanan
gadai syariah di beberapa kota di Indonesia dan beberapa bank umum
syariah lainnya menjalankan kegiatan pegadaian syariah sendiri.

Pada perbankan syariah, aplikasi gadai digunakan:

1. Sebagai tambahan, yaitu digunakan sebagai akad tambahan pada


pembiayaan yang berisiko dan memerlukan jaminan tambahan.
2. Sebagai produk, yaitu sebagai alternative dari pegadaian konvensional
di mana dalam gadai syariah nasabah tidak dibebani bunga tetap,
melainkan hanya dikenakan biaya penitipan, pemeliharaan, penjagaan,
serta penaksiran.

Secara lebih spesifik Pegadaian Syariah Digital Services


merupakan salah satu layanan Pegadaian yang berbasis aplikasi online
secara realtime. Dengan aplikasi tersebut nasabah Pegadaian dapat
melakukan transaksi melalui smartphone layaknya bertransaksi di outlet.
Dengan aplikasi ini kapanpun dan di manapun layanan Pegadaian
dibutuhkan, transaksi bisa dilakukan secara efektif dan efisien semudah
memiliki outlet pribadi dalam genggaman.
a. Fitur Utama Pegadaian Digital
Dalam rangka memanjakan penggunanya, aplikasi Pegadaian
Digital hadir dengan dilengkapi berbagai fitur unggulan. Mulai
Booking Gadai Online, Pengajuan Pembiayaan Usaha Online,
Pembukaan Baru Rekening Tabungan Emas Pegadaian, hingga
Pembelian (Top Up) Tabungan Emas Pegadaian. Disamping beberapa
fitur yang telah disebutkan sebelumnya dalam aplikasi Pegadaian
Digital juga terdapat fitur Pembayaran Transaksi Gadai, Pembayaran
Transaksi Mikro, Simulasi Transaksi Gadai, Informasi Seputar Produk
dan Layanan Pegadaian, serta berbagai fitur unggulan lainnya.

12
b. Dapat Diproses dengan Virtual Account BNI
Hal penting lainnya yang perlu diketahui adalah transaksi
pembelian dan pembayaran di Pegadaian Digital kini lebih mudah
karena menggunakan layanan transfer via Virtual Account (VA) BNI.
Nasabah pun dapat melakukan pembayaran secara lebih mudah
layaknya melakukan transfer bank. Kabar baiknya, dalam waktu dekat
ini PT Pegadaian akan menambah channel pembayaran lain untuk
semakin memudahkan nasabahnya.
c. Download Aplikasinya Secara Gratis
Supaya nasabah dapat bertransaksi menggunakan aplikasi
Pegadaian Digital, segera unduh aplikasinya secara gratis di Google
Play Store maupun App Store dari smartphone anda. Lanjutkan dengan
proses instalasi aplikasi, serta aktivasi di perangkat digital yang anda
miliki.
d. Keuntungan Bagi Nasabah Pegadaian
Apabila sudah terdaftar sebagai nasabah Pegadaian, bisa
mendapatkan keuntungan lebih. Salah satunya kelebihan yang bisa
didapatkan adalah, nasabah bisa melakukan proses Link CIF di menu
Pengaturan. Dengan melakukan proses link CIF ke Aplikasi Pegadaian
Digital, semua portofolio transaksi nasabah di Pegadaian dapat
terpantau secara realtime sesuai data di sistem yang dimiliki
pegadaian. Sehingga nasabah dapat memantau posisi kreditnya dengan
mudah hanya melalui aplikasi Pegadaian Digital pada smartphone.4

E. SEBAB MUSABAB LAHIRNYA GADAI DI INDONESIA

Pegadaian merupakan lembaga perkreditan rakyat dengan system


gadai, lembaga semacam ini pada awalnya berkembang di Italia yang
kemudian di praktekan di wilayah-wilayah Eropa lainnya misalnya Inggris
4
Kasmir, Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2004), hal 3-20.

13
dan Belanda. Sistem gadai tersebut masuk ke Indonesia di bawa dan
berkembang oleh Belanda (VOC) yaitu sekitar abad ke 19. Dalam rangka
memperlancar kegiatan perekonomian VOC mendirikan Bank Van
Leening yaitu lembaga kredit dengan system gadai. Bank Van Leening di
dirikan pertama di Batavia pada tanggal 20 Agustus 1764 berdasarkan
keputusan Gubernur Jendral Van Imhoff. Tetapi setelah inggris
mengambil alih kekuasaan Indonesia dari Belanda (1811-1816) Bank Van
Leening milik Belanda tersebut di bubarkan dan Gubenur Jendral Thomas
Stamford Raffles menyatakan setiap orang boleh mendirikan usaha
pegadaian dengan izin pemerintah daerah setempat.

Namun metode tersebut berdampak buruk di karenakan pendiri


pegadaian menjalankan praktek rentenir atau lintah darat yaitu dengan
menetapkan bunga pinjaman sewenang-wenang, namun pada saat Belanda
berkuasa kembali ke Indonesia (1816) menetapkan bahwa kegiatan
pegadaian di tangani langsung oleh pemerintah agar dapat memberikan
perlindungan dan manfaat yang lebih besar kepada masyarakat dan akhir
pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan staatsblad (stbl 1901) No.131
Tanggal 12 Maret 1901. 13 14 Selanjutnya pada Tanggal 1 April 1901 di
dirikan pegadaian pertama di Sukabumi (Jawa Barat), sekaligus ini
merupakan awal berdirinya pegadaian di Indonesia, serta menjadi hari
ulang tahun pegadaian.

Dalam perjalanan Pegadaian mengalami beberapa kali perubahaan


status yaitu sebagai perusahaan Negara (PN) sejak 1 Januari 1961
kemudian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1961
menjadi Perusahaan Jawatan, selanjutnya berdasarkan Peraturan

14
Pemerintah Nomor 10 Tahun 1990 berubah menjadi perusahaan umum
(PERUM) hingga sekarang. 5

5
Dahlan Siamat, Hukum Gadai Syariah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), hlm.
504.

15
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan.

Menurut bahasa, gadai (rahn) berarti al tsubut dan al habs yaitu


penetapan dan penahanan. Ada pula yang menjelaskan bahwa al rahn
adalah terkurung atau terjerat.

Menurut terminologi syara’, yang dimaksud dengan rahn adalah:

“Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat


dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut”.

Ulama fiqih mempunyai pendapat dalam mendefenisikan rahn;

4. Menurut ulama syafi’iyah

Menjadikan suatu benda sebagai jaminan utang yang dapat


dijadikan pembayar ketika berhalangan dalam membayar utang.

5. Menurut ulama hanabilah

Harta yang dijadikan jaminan utang sebagai pembayar harga


(nilai) hutang ketika yang berutang berhalangan (tak mampu)
membayar utangnya kepada pemberi pinjaman

Jadi dapat disimpulkan bahwa rahn atau gadai adalah menahan salah
satu harta milik sipeminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang
diterimanya. Barang tersebut memiliki nilai ekonomis. Dengan demikian,
pihak yang menahan memperoleh jaminan untuk dapat mengambil
kembali seluruh atau sebagian piutangnya.

16
DAFTAR PUSTAKA

Suhendi Hendi. 2008. Fiqih Muamalah. Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Syafe’I Rachmat. 2000. Fiqih Muamalah. Pustaka Setia: Bandung.

Djuwaini Dimyaudin. 2008. Pengantar Fiqih Muamalah. Pustaka Pelajar:


Jogjakarta

Siamat Dahlan. 2002. Hukum Gadai Syariah, PT Raja Grafindo Persada: Jakarta:

Kasmir. 2004. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. PT. Raja Grafindo
Persada: Jakarta.

17

Anda mungkin juga menyukai