Anda di halaman 1dari 14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Triage
1. Pengertian
Triage adalah cara pemilahan penderita berdasarkan kebutuhan
terapi dan sumber daya yang tersedia. Terapi didasarkan pada keadaan
ABC (Airway, dengan cervical spine control, Breathing dan Circulation
dengan control pendarahan). Triage berlaku untuk pemilahan penderita
baik di lapangan maupun di rumah sakit (Musliha, 2010). Kathleen et al,
(2008) dalam Ardiyani et al, (2015) menyampaikan bahwa triage
merupakan konsep yang fokus penanganan pasien dengan memperhatikan
sumber daya manusia, peralatan serta fasilitas seefisien mungkin,
menggolongkan semua pasien yang membutuhkan pertolongan segera
dan menetapkan prioritas penanganan. Selanjutnya Nurhanifah (2015)
menyebutkan bahwa sistem triage merupakan satu dari implementasi
sistem manajemen risiko di instalasi gawat darurat sehingga pasien
mendapatkan pelayanan cepat dan tepat dengan menggunakan sumber
daya yang tersedia. Disamping itu triage juga memberikan alur pasien
yang jelas di instalasi gawat darurat. Penilaian triage merupakan
pemeriksaan dini pasien instalasi gawat darurat yang dilakukan dokter
ahli, dokter umum dan atau perawat.
2. Jenis Triage
Triage merupakan keterampilan keperawatan mutlak dimiliki
perawat instalasi gawat darurat, factor inilah yang tidak bisa disamakan
perawat instalasi gawat darurat dengan perawat unit lain. Hal ini
dikarenakan membutuhkan pengalaman sehingga pelayanan dilakukan
cepat dan akurat. Perawat harus memiliki pengalaman dan pengetahuan
yang cukup, terampil dalam pengkajian, mampu mengatasi situasi dan
kondisi yang penuh tekanan sehingga kematangan profesional untuk
mentoleransi stres yang terjadi dan berani memberikan keputusan terkait
dengan kondisi pasien dan mensikapi keluarga pasien (Elliot et al, 2007

7
8

dalam Ardiyani et al, 2015). Terbukti bahwa tidak mudah bagi perawat
untuk melaksanakan triage.
Pada prinsipnya triage menolong penderita yang mengalami cedera
atau keadaan berat namun memiliki harapan hidup. Sesuai Pedoman
Standar Akreditasi Rumah Sakit tahun 2012 pasien dengan kebutuhan
darurat mendesak, diklasifikasikan melalui triage berdasar bukti. Menurut
Departemen Kesehatan dalam Pedoman Pelayanan Kegawat Daruratan
(2008), bila telah terklasifikasikan, pasien secepatnya diperiksa dan
mendapatkan asuhan. Pasien tersebut segera mendapatkan pemeriksaan
sebelum pasien lain, mendapatkan pelayanan diagnostik, dan pengobatan
sesuai kebutuhan. Proses triage termasuk kriteria berdasar kejadian
alamiyah. Rumah sakit mendidik petugas menentukan pasien yang
membutuhkan asuhan segera dan dengan tepat memberikan prioritas
asuhan.
Keberhasilan pelayanan instalasi gawat darurat digambarkan pada
keberhasilan pelayanan di triage. Semua pasien yang masuk ke instalasi
gawat darurat harus melalui triage, karena triage sangat penting untuk
penilaian kegawatan pasien dan memberikan pertolongan atau
pengobatan sesuai dengan derajat kegawat-daruratan yang dihadapi.
Penelitian di salah satu rumah sakit swasta Semarang menyebutkan
bahwa berdasarkan observasi dan penilaian dokumentasi triage pada file
pasien ketepatan penilaian triage pada bulan Januari 2015 94,24% dan
Februari 2015 95,95%. Berdasarkan observasi pada bulan Januari 2015
dari 100 pasien hanya 40% pasien yang dilakukan triage di ruang triage
sesuai dengan alur pasien. Hal ini disebabkan tingginya kunjungan kasus
false emergency di rumah sakit ini dapat beresiko terjadinya
keterlambatan penanganan atau penanganan menjadi tidak sesuai dengan
prioritas kegawatan pasien (Pitang et al, 2016).
Dalam penelitian Nurhanifah (2015) menyebutkan bahwa motivasi
yang mempengaruhi perawat khususnya pelaksanakan triage di instalasi
gawat darurat antara lain adalah pendidikan, beban kerja, masa kerja,
umur, jenis kelamin, dan pelatihan. Ketrampilan dan kompetensi kerja
9

perawat melalui pendidikan, pelatihan dan masa kerja yang lama ternyata
menurut Pitang et al, (2016) dapat meningkatkan tingginya kinerja
perawat. Hal ini didukung oleh penelitian Fathoni (2013) yang
menyatakan terdapat korelasi positif antara keterampilan dengan
pengetahuan, pelatihan dan pengalaman kerja.
Pelaksanaan triage di Instalasi Gawat Darurat dilaksanakan oleh
perawat terlatih. Pelaksana triage adalah perawat bersertifikat PPGD
(Penanggulangan Pasien Gawat Darurat) atau BTCLS (Basic Trauma
Cardiac life support). Selain itu perawat triage harus mempunyai
pengalaman dan pengetahuan memadai karena harus terampil, cepat dan
tepat. Penelitin yang dilakukan Trisniati et al, (2012) di salah satu rumah
sakit di Tangerang menjelaskan bahwa adanya peran perawat yang
bermutu akan meningkatkan pelayanan pasien di instalasi gawat daruat.
Selanjutnya ditambahkan juga, bahwa kemampuan dan ketrampilan kerja
seseorang bisa diperoleh dengan pelatihan, pendidikan dan lamanya masa
kerja. Makin lama waktu digunakan seseorang mendapatkan pelatihan
dan pendidikan makin tinggi kompetensi dan kemampuan dalam bekerja,
sehingga tingkat kinerja makin tinggi.
Profesi tenaga kesehatan menurut pendidikan yang dimiliki adalah
dokter dan perawat. Menurut Pitang (2016), pendidikan termasuk kriteria
inklusi yang dapat mempengaruhi sistem trase. Situasi komplek dan
banyak tekanan membutuhkan kematangan professional untuk
mentoleransi stress yang terjadi dalam menentukan keputusan dalam
kondisi mendadak pasien dan mensikapi keluarga pasien. Melihat kondisi
tersebut memang tidak mudah bagi perawat untuk melaksanakan triage.
Secara internasional dikenal ada empat macam sistem triage, yaitu:
a. Australasian Triage Scale
Di Australia perawat gawat darurat melakukan triage
menggunakan triage ATS (Australian Triage Scale), yaitu pasien
dikategorikan dalam 5 kategori prioritas pasien.
10

Tabel 2.1 Skala Trise Versi Australia


ATS WAKTU (menit) TARGET
1 0 100%
2 10 80%
3 30 75%
4 60 70%
5 120 70%
Pasien yang meninggal pada saat kedatangan biasanya diberi kategori
ATS 6 (enam).
b. Triage Canada Acuity Scale
Menurut Murray et al, (2016) bahwa sistem triage CTAS
(Canada Triage Acuity Scale), berkembang tahun 1999 di Kanada,
dengan menggunakan skala 5 tingkat untuk mengklasifikasikan
pasien di instalasi gawat darurat berdasarkan keluhan. Setelah
mendapatkanperawatan medis pasien beberapa saat menunggu di
ruang gawat darurat. Klasifikasi pasien pada posisi tidak berubah
selama menunggu meskipun belum ditegakan diagnosis pasti,
sehingga perawat triage selalu melakukan pengamatan untuk
menjaga pasien tidak memburuk.
Pedoman standar CTAS yang baku adalah sebagai berikut:
1) Tingkat I memiliki asuhan keperawatan yang terus-menerus
2) Tingkat II setiap 15 menit
3) Tingkat III setiap 30 menit
4) Tingkat IV setiap 60 menit
5) Tingkat V setiap 120 menit
Pada kondisi pasien bertambah keluhan dengan vitalsign normal bisa
berubah tingkat, dan kebanyakan menjadi tingkat II,III atau IV.
Waktu akhir ini ada kebutuhan untuk mengembangkan strategi
nasional CTAS di Kanada yaitu diupayakan reliabilitas dan
validitasnya.
c. Manchester Triage System (MTS)
Manchester Scale Triage (MST) merupakan sitem triage yang
berkembang menggunakan 52 langkah deteksi gejala, kemudian
diklasifikasikan dalam 5 langkah prioritas pasien selanjutnya
dievaluasi pada tahun 1994 di Inggris hingga saat ini. Sistem triage
11

ini lebih jauh untuk meningkatkan keparahan dan waktu aman pasien
di instalasi gawat darurat untuk segera dilakukan tindakan medis.
Tidak jarang pasien dilakukan tes diagnostik, seperti tes
laboratorium untuk meningkatkan sensitivitas perawatan agar lebih
tepat (Nishi et al, 2015).
Tujuan utama Manchester Scale Triage (MST) adalah
menetapkan batas waktu setiap pasien untuk dirawat dengan aman,
yaitu tanpa risiko kesehatan pasien. Salah satu prinsip utama sistem
ini adalah semakin tinggi persepsi risiko terhadap pasien, semakin
pendek waktu menunggu kehadiran tenaga medis.
Tabel 2.2 Skala MST lima tingkat prioritas dan batas waktu respon
maksimum untuk kehadiran tenaga medis
Evaluation Color Maximum response time
(Minutes)
Immediate RED 0
Very urgent ORANGE 10
Urgent YELLOW 60
Standard GREEN 120
Non-urgent BLUE 240

d. Emergency Severity Index (ESI)


MTS dan ESI adalah yang paling umum digunakan di Belanda
(Fathoni et al, 2013). Adapun rumah sakit di Indonesia menggunakan
ESI sebagai sistem pelayanan di instalasi gawat darurat sesuai dengan
Pedoman Pelayanan Kegawat Daruratan dari Departemen Kesehatan
tahun 2008. Sistem triage mengalami banyak perkembangan dalam
kurun waktu 20 tahun, mulai dari sistem triage dengan 2 level
kategori pasien sampai dengan saat ini telah diterapkan 5 level
kategori pasien. Menurut Pitang et al, (2016) menambahkan bahwa
sistem triage di Indonesia belum terstandar secara nasional, meskipun
Departemen Kesehatan RI telah menetapkan sistem triage nasional
namun pelaksanaannya belum teraplikasi secara nasional.
Menurut Tanabe et al, (2004) dalam Ardiyani et al, (2015)
bahwa triage yang bersifat mendunia, antara lain Emergency Severity
Index (ESI). Sistem ESI dikembangkan di negara Amerika dan
negara Kanada oleh perkumpulan perawat emergensi dan dokter
12

spesialis emergensi. ESI banyak diterapkan di Asia, Australia dan


Eropa, termasuk rumah sakit di Indonesia. ESI terdiri 5 skala
prioritas, yaitu:
1) Prioritas 1 (label biru) adalah pasien dengan kondisi impending
life/ limb threatening problem sehingga membutuhkan
immediate life-saving intervention (cito tindakan). Parameter
prioritas 1 adalah semua gangguan signifikan pada ABCD.
Contoh antara lain cardiac arrest, status epileptic, hypoglycemic
coma, dan lain-lain.
2) Prioritas 2 (label merah) adalah pasien dengan kondisi potensial
life, limb, or organ threatening problem sehingga pertolongan
pada pasien-pasien mendesak dan tidak dapat ditunda.
Parameter prioritas 2 adalah pasien-pasien hemodinamik atau
ABCD stabil dengan kesadaran turun tapi tidak koma (GCS 8-
13), distress berat, dan high risk. Antaralainasma attack, akut
abdomen, elektrik injury.
3) Prioritas 3 (label kuning) adalah pasien dengan evaluasi
mendalam pemeriksaan klinis menyeluruh. Pasien label kuning
memerlukan dua atau lebih sumber daya dan fasilitass IGD.
Logikanya makin banyak sumber daya dibutuhkan makin berat
kegawatdaruratan sehingga prioritas 3-5 berkaitan dengan
kebutuhan perawatan. Contoh: sepsis memerlukan pemeriksaan
laboratorium, radiologis dan ECG. Sepsis stabil mempunyai
prioritas lebih tinggi daripada typhoid fever tanpa komplikasi,
akan tetapi sepsis berat tergolong prioritas 2 (merah) dan shock
septic prioritas 1 (biru).
4) Prioritas 4 (label hijau) adalah pasien yang memerlukan satu
macam sumber daya perawatan IGD. Contoh pasien BPH
memerlukan pemasangan kateter, vulnus laceratum
membutuhkan heting sederhana, acute febrile illness
memerlukan pemeriksaan laboratorium, dan lain-lain.
13

5) Prioritas 5 (label putih) adalah pasien tidak memerlukan sumber


daya. Pasien hanya dilakukanan amnesis dan pemeriksaan fisik
saja.
Penelitian Yoon et al, (2003) dalam Ardiyani et al, (2015),
menuturkan bahwa waktu terpanjang pelayanan di instalasit gawat
darurat pasien posisi label kuning tepatnya ESI level 3 berada ESI
level 3, dengan manifestasi klinis belum jelas, artinya dalam waktu
relative dekat tenaga kesehatan belum memutuskan apakah rawat
inap atau rawat jalanoleh karena membutuhkan observasi dan
perawatan lama dan lengkap.
ESI merupakan triage berdasar bukti (evidence based triage)
dengan derajad evidens dan rekomendasi paling tepat efisiensi dan
efektivitas sistem tersebut terbukti banyak rumah sakit yang
menggunakanya (Tanabe et al, 2004 dalam Ardiyani et al, 2015).
Sesuai Pedoman Standar Akreditasi Rumah Sakit tahun 2012 terkait
implementasi system triage berbasis bukti maka pasien yang
membutuhkan pelayanan di instalasi gawat darurat akan
diklasifikasikan dalam 5 level ESI.
3. Penerapan Triage
Masyarakat atau pasien melihat pelayanan kesehatan yang bermutu
sebagai suatu pelayanan kesehatan yang dapat memenuhi kebutuhan yang
dirasakannya dan diselenggarakan dengan cara yang sopan dan santun,
tepat waktu, tanggap dan mampu menyembuhkan keluhannya serta
mencegah berkembangnya atau meluasnya penyakit. Pandangan pasien
ini sangat penting karena pasien yang merasa puas akan mematuhi
pengobatan dan mau datang berobat kembali. Faktor yang mempengaruhi
motivasi perawat dalam bekerja khususnya melaksanakan triage di
instalasi gawat darurat diantaranya adalah beban kerja, umur, jenis
kelamin, pendidikan, lama kerja dan pelatihan (Nurhanifah, 2015).
Dalam penelitian Nurhanifah (2015) menyebutkan bahwa motivasi
yang mempengaruhi perawat khususnya pelaksanakan triage di instalasi
gawat darurat antara lain adalah pendidikan, beban kerja, masa kerja,
14

umur, jenis kelamin, dan pelatihan. Ketrampilan dan kompetensi kerja


perawat melalui pendidikan, pelatihan dan masa kerja yang lama dapat
meningkatkan tingginya kinerja perawat (Pitang et al, 2015).

B. Konsep Pengetahuan
1. Pengertian
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah
orang melakukan pengindraan terhadap suatu obyek tertentu.
Pengindraan terjadi melalui pancaindra manusia, yakni indera
penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar
pengetahuan manusia diperoleh melalui mata dan telinga (Notoatmodjo,
2014).
2. Tingkatan Pengetahuan
Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting
dalam membentuk tindakan seseorang (overt behaviour). Tingkat
pengetahuan di dalam domain kognitif mempunyai enam tingkatan
(Notoatmodjo, 2014), yaitu:
a. Tahu (know)
Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah
dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini
adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dan seluruh
bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh
sebab itu, tahu merupakan tingkatan pengetahuan yang paling
rendah.
b. Memahami (comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk
menjelaskan secara benar tentang obyek yang diketahui, dan dapat
mengintrepretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah
paham terhadap obyek atas materi dapat mnejelaskan, menyebutkan
contoh, menyimpulkan, meramalkan, dan sebagainya terhadap obyek
yang dipelajari.
15

c. Aplikasi (aplication)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untu menggunakan
materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real
(sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau
pengguanaan hukum-hukum, metode, prinsip, dan sebagainya dalam
konteks atau yang lain.
d. Analisis (analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi
atau suatu obyek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di
dalam suatu struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama
lain.
e. Sintesis (synthesis)
Sintesis menunjuk kepada suatu kemampuan untuk meletakkan
atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk
keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu bentuk
kemampuan menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang
baru.
f. Evaluasi (evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan
justfikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-
penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang ditentukan sendiri,
atau menggunakan kriteria-kriteria yang telah ada.
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan
menggunakan wawancara atau angket yang menanyakan tentang
isi materi yang ingin diukur dari subyek penelitian atau responden.
Kedalaman pengetahuan yang ingin kita ketahui atau kita ukur dapat
disesuaikan dengan tingkatan- tingkatan di atas.
16

3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pengetahuan


Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pengetahuan seseorang,
yaitu:
a. Faktor Internal meliputi:
1) Umur
Semakin cukup umur tingkat kematangan dan kekuatan
seseorang akan lebih matang dalam berpikir dan bekerja dari segi
kepercayaan masyarakat yang lebih dewasa akan lebih percaya
dari pada orang yang belum cukup tinggi kedewasaannya. Hal
ini sebagai akibat dari pengalaman jiwa (Nursalam, 2011).
2) Pengalaman
Pengalaman merupakan guru yang terbaik (experience is
the best teacher), pepatah tersebut bisa diartikan bahwa
pengalaman merupakan sumber pengetahuan, atau pengalaman
itu merupakan cara untuk memperoleh suatu kebenaran
pengetahuan. Oleh sebab itu pengalaman pribadi pun dapat
dijadikan sebagai upaya untuk memperoleh pengetahuan. Hal ini
dilakukan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang
diperoleh dalam memecahkan persoalan yang dihadapai pada
masa lalu (Notoadmodjo, 2010).
3) Pendidikan
Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang semakin
banyak pula pengetahuan yang dimiliki. Sebaliknya semakin
pendidikan yang kurang akan mengahambat perkembangan sikap
seseorang terhadap nilai-nilai yang baru diperkenalkan
(Nursalam, 2011).
4) Pekerjaan
Pekerjaan adalah kebutuhan yang harus dilakukan terutama
untuk menunjang kehidupannya dan kehidupan keluarganya
(Menurut Thomas 2007, dalam Nursalam 2011). Pekerjaan
bukanlah sumber kesenangan, tetapi lebih banyak merupakan
17

cara mencari nafkah yang membosankan berulang dan banyak


tantangan (Frich 1996 dalam Nursalam, 2011).
5) Jenis Kelamin
Istilah jenis kelamin merupakan suatu sifat yang melekat
pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikontruksikan
secara sosial maupun kultural.
b. Faktor eksternal
1) Informasi
Menurut Long (1996) dalam Nursalam dan Pariani (2010)
informasi merupakan fungsi penting untuk membantu
mengurangi rasa cemas. Seseorang yang mendapat informasi
akan mempertinggi tingkat pengetahuan terhadap suatu hal.
2) Lingkungan
Menurut Notoatmodjo (2010), hasil dari beberapa
pengalaman dan hasil observasi yang terjadi di lapangan
(masyarakat) bahwa perilaku seseorang termasuk terjadinya
perilaku kesehatan, diawali dengan pengalaman-pengalaman
seseorang serta adanya faktor eksternal (lingkungan fisik dan non
fisik).
3) Sosial budaya
Semakin tinggi tingkat pendidikan dan status sosial
seseorang maka tingkat pengetahuannya akan semakin tinggi
pula.
4. Cara Memperoleh Pengetahuan
Menurut Notoatmodjo (2010) terdapat beberapa cara
memperoleh pengetahuan, yaitu:
a. Cara kuno atau non modern
Cara kuno atau tradisional dipakai untuk memperoleh
kebenaran pengetahuan, sebelum ditemukannya metode ilmiah, atau
metode penemuan statistic dan logis.
18

Cara-cara penemuan pengetahuan pada periode ini meliputi:


b. Cara coba salah (trial and error)
Cara ini dilakukan dengan menggunakan kemungkinan dalam
memecahkan masalah dan apabila kemungkinan tersebut tidak bisa
dicoba kemungkinan yang lain.
1) Pengalaman pribadi
Pengalaman merupakan sumber pengetahuan untuk
memperoleh kebenaran pengetahuan.
2) Melalui jalan fikiran
Untuk memeperoleh pengetahuan serta kebenarannya
manusia harus menggunakan jalan fikirannya serta
penalarannya. Banyak sekali kebiasaan-kebiasaan dan tradisi-
tradisi yang dilakukan oleh orang, tanpa melalui penalaran
apakah yang dilakukan baik atau tidak. Kebiasaan-kebiasaan
seperti ini biasanya diwariskan turun-temurun dari generasi ke
generasi berikutnya. Kebiasaan-kebiasaan ini diterima dari
sumbernya sebagai kebenaran yang mutlak.
c. Cara modern
Cara baru atau modern dalam memperoleh
pengetahuan lebih sistematis, logis, dan alamiah. Cara ini disebut
“metode penelitian ilmiah” atau lebih populer disebut metodologi
penelitian, yaitu:
1) Metode induktif
Mula-mula mengadakan pengamatan langsung terhadap
gejala-gejala alam atau kemasyarakatan kemudian hasilnya
dikumpulkan atau diklasifikasikan, akhirnya diambil kesimpulan
umum.
2) Metode deduktif
Metode yang menerapkan hal-hal yang umum terlebih
dahulu untuk seterusnya dihubungkan dengan bagian-bagiannya
yang khusus.
19

5. Kriteria Pengetahuan
Menurut Arikunto (2010) pengetahuan seseorang dapat diketahui
dan diinterpretasikan dengan skala yang bersifat kualitatif, yaitu:
a. Baik, bila subyek menjawab benar 76%-100% seluruh pertanyaan.
b. Cukup, bila subyek menjawab benar 56%-75% seluruh pertanyaan.
c. Kurang, bila subyek menjawab benar <56% seluruh pertanyaan.

C. Konsep Instalasi Gawat Darurat (IGD)


1. Pengertian
Gawat adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa pasien.
Darurat adalah suatu keadaan yang segera memerlukan pertolongan.
Menurut Undang-undang RI No.44 Tahun 2009, gawat darurat adalah
keadaan klinis pasien yang membutuhkan tindakan medis segera guna
penyelamatan nyawa dan pencegahan kecacatan lebih lanjut. Instalasi
Gawat Darurat (IGD) adalah unit pelayanan di rumah sakit yang memberi
penanganan awal bagi pasien yang menderita sakit dan cidera, yang
membutuhkan perawatan gawat darurat (Queensland Helth ED, 2012).
IGD memiliki tujuan utama diantaranya adalah menerima, melakukan
triage, menstabilisasi, dan memberikan pelayanan kesehatan akut untuk
pasien, termasuk pasien yang membutuhkan resusitasi dan pasien dengan
tingkat kegawatan tertentu (Australasian Collage for Emergency
Medicine, 2014).
2. Prinsip Pelayanan
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 856/ Menkes/ SK/ IX/
2009 bahwa Prinsip pelayanan IGD adalah sebagai berikut:
a. Setiap Rumah Sakit wajib mimiliki pelayanan gawat darurat yang
memiliki kemampuan:
1) Melakukan pemeriksaan awal kasus-kasus gawat darurat.
2) Melakukan resusitasi dan stabilisasi (life saving)
b. Pelayanan di instalasi gawat darurat rumah sakit harus dapat
memberikan pelayanan 24 jam alam sehari dan 7 hari dalam
seminggu.
20

c. Berbagai nama untuk instalasi atau unit pelayana gawat darurat


dirumah sakit di seragamkan menjadi Instalasi Gawat Darurat (IGD).
d. Rumah sakit tidak boleh meminta uang muka pada saat menangani
kasus gawat darurat.
e. Pasien gawat darurat harus ditangani paling lama 5 (lima) menit
setelah sampai di IGD.
f. Organisasi Instalasi Gawat Darurat (IGD) didasarkan berdasarkan
Organisasi multidisiplin, multiprofesi dan terintegrasi, dengan
struktur organisasi fungsional yang terdiri dari unsur pimpinan dan
unsur pelaksana yang bertanggung jawab dalam pelaksanaan
pelayanan terhadap pasien gawat darurat di Instalasi Gawat Darurat
(IGD), dengan wewenang penuh yang dipimpin oleh dokter.
g. Setiap rumah sakit wajip berusaha untuk meyesuaikan pelayanan
gawat daruratnya minimal sesuai engan klasifikasi.

D. Kerangka Teori
Tingkat Pengetahuan Masyarakat
Data Demografi Responden: tentang Triage:
- Umur a. Baik, bila subyek menjawab
- Pendidikan terakhir benar 76%-100% seluruh
- Pekerjaan pertanyaan.
- Pendapatan b. Cukup, bila subyek menjawab
- Pernah dirawat di IGD benar 56%-75% seluruh
- Informasi tentang triage pertanyaan.
c. Kurang, bila subyek menjawab
benar <56% seluruh
pertanyaan.

Sistem Triase (ESI):


a. Prioritas 1 (label biru): semua gangguan signifikan pada ABCD
b. Prioritas 2 (label merah) : pasien-pasien hemodinamik atau ABCD
stabil dengan kesadaran turun tapi tidak koma
c. Prioritas 3 (label kuning): memerlukan dua atau lebih sumber daya dan
fasilitass IGD
d. Prioritas 4 (label hijau): pasien yang memerlukan satu macam sumber
daya perawatan IGD
e. Prioritas 5 (label putih): pasien tidak memerlukan sumber daya

(Green,1980 dalam Notoatmojo, (2010), Arikunto, (2010), Tanabe et al,


2004 dalam Ardiyani et al, (2015))

Gambar 2.1 Kerangka Teori

Anda mungkin juga menyukai