Anda di halaman 1dari 15

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Informed Consent


1. Pengertian
Informed Consent teridiri dari dua kata yaitu “informed” yang berarti
informasi atau keterangan dan “consent” yang berarti persetujuan atau memberi
izin. jadi pengertian Informed Consent adalah suatu persetujuan yang diberikan
setelah mendapat informasi (Marmi, 2014). Istilah Bahasa Indonesia Informed
Consent diterjemahkan sebagai persetujuan tindakan medik yang terdiri dari dua
suku kata Bahasa Inggris yaitu Inform yang bermakna Informasi dan consent
berarti persetujuan. Sehingga secara umum Informed Consent dapat diartikan
sebagai persetujuan yang diberikan oleh seorang pasien kepada dokter atas suatu
tindakan medik yang akan dilakukan, setelah mendapatkan informasi yang jelas
akan tindakan tersebut (Hatta, 2013). Dengan demikian Informed Consent dapat
di definisikan sebagai pernyataan pasien atau wali yang sah yang isinya berupa
persetujuan atau penolakan atas rencana tindakan kedokteran yang diajukan oleh
dokter setelah menerima informasi yang cukup untuk tanpa adanya unsur
pemaksaan.
2. Dasar Hukum Pengaturan Informed Consent
a. Menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
bahwa Setiap orang berhak menerima informasi tentang data kesehatan
dirinya termasuk tindakan dan pengobatan yang telah maupun yang akan
diterimanya dari tenaga kesehatan.
b. Menurut Pasal 32 huruf (j) dan (k) Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009
tentang Rumah Sakit disebutkan bahwa Perlindungan Hak Pasien yaitu:
(j) Mendapatkan informasi yang meliputi diagnosis dan tata cara tindakan
medis, tujuan tindakan medis, alternatif tindakan, risiko dan komplikasi
yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan
serta perkiraan biaya pengobatan.
(k) Memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan
dilakukan oleh tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya.

7
8

c. Persetujuan tindakan kedokteran telah diatur dalam pasal 45 Undang-Undang


No.29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran. Sebagaimana dinyatakan
setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh
dokter terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan sebagaimana
dimaksud diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengakap,
sekurang-kurangnya mencakup: diagnosis dan tata cara tindakan medis,
tujuan tindakan medis dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko
dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang
dilakukan. Persetujuan tersebut dapat diberikan baik secara tertulis maupun
lisan. Setiap tindakan kedokteran yang mengandung risiko tinggi harus
diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang berhak
memberikan pesetujuan.
d. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/MenKes/Per/III/2008 serta
Manual Persetujuan Tindakan Kedokteran KKI Tahun 2008, disebutkan
bahwa Informed Consent adalah persetujuan tindakan kedokteran/Informasi
kesehatan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekatnya setelah
mendapatkan penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran yang
akan dilakukan terhadap pasien tersebut.
3. Fungsi dan Tujuan Informed Consent
Fungsi dari Informed Consent adalah (Marmi, 2014):
a. Promosi dari hak otonomi perorangan.
b. Proteksi dari pasien dan subyek.
c. Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan.
d. Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan
introspeksi terhadap diri sendiri.
e. Promosi dari keputusan-keputusan rasional.
f. Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu
nilai social dan mengadakan pengawasan dalam penyelidikan biomedik.
Informed Consent itu sendiri menurut jenis tindakan atau tujuannya dibagi
tiga, yaitu:
a. Bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi subyek penelitian).
b. Bertujuan untuk mencari diagnosis.
9

c. Bertujuan untuk terapi.


Tujuan dari Informed Consent menurut Guwandi (2004) adalah:
a. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien.
b. Memberikan perlindungan hukum kepada dokter terhadap akibat yang tidak
terduga dan bersifat negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak
mungkin dihindarkan walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal
mungkin dan bertindak dengan sangat hati-hati dan teliti.
4. Bentuk Informed Consent
a. Ada 2 bentuk Persetujuan Tindakan Medis (PMK Nomor 290, 2008) yaitu:
1) Implied Consent (dianggap diberikan)
Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal,
artinya dokter dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari
isyarat yang diberikan/dilakukan pasien. Demikian pula pada kasus
emergency sedangkan dokter memerlukan tindakan segera sementara
pasien dalam keadaan tidak bisa memberikan persetujuan dan
keluarganya tidak ada ditempat, maka dokter dapat melakukan tindakan
medik terbaik menurut dokter.
2) Expressed Consent (dinyatakan)
Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan
medis yang bersifat invasive dan mengandung risiko, dokter sebaiknya
mendapatkan persetujuan secara tertulis, atau yang secara umum dikenal
di rumah sakit sebagai surat izin operasi.
b. Dalam PMK Nomor 290 (2008), persetujuan tertulis dalam suatu tindakan
medis dibutuhkan saat:
1) Bila tindakan terapeutik bersifat kompleks atau menyangkut risiko atau
efek samping yang bermakna.
2) Bila tindakan kedokteran tersebut bukan dalam rangka terapi.
3) Bila tindakan kedokteran tersebut memiliki dampak yang bermakna bagi
kedudukan kepegawaian atau kehidupan pribadi dan social pasien.
4) Bila tindakan yang dilakukan adalah bagian dari suatu penelitian.
10

5. Penjelasan Tindakan Kedokteran


Penjelasan tindakan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Penjelasan
tindakan kedokteran mencakup:
a. Diagnosis dan tata cara tindakan kedokteran meliputi:
1) Temuan klinis dari hasil pemeriksaan medis hingga saat tersebut.
2) Diagnosis penyakit, atau dalam hal belum dapat ditegakkan, maka
sekurang-kurangnya diagnosis kerja dan diagnosis banding.
3) Indikasi atau keadaan klinis pasien yang membutuhkan dilakukannya
tindakan kedokteran.
4) Prognosis apabila dilakukan tindakan dan apabila tidak dilakukan
tindakan.
b. Tujuan tindakan kedokteran yang dilakukan meliputi:
1) Tujuan tindakan kedokteran yang dapat berupa tujuan preventif,
diagnostik, terapeutik ataupun rehabilitatif.
2) Tata cara pelaksanaan tindakan apa yang dialami pasien selama dan
sesudah tindakan serta efek samping atau ketidaknyamanan yang
mungkin terjadi.
c. Alternatif tindakan lain dan risikonya
1) Alternatif tindakan lain berikut kelebihan dan kekurangannya
dibandingkan dengan tindakan yang direncanakan.
2) Risiko komplikasi yang mungkin terjadi pada masing-masing alternatif
tindakan.
3) Perluasan tindakan yang mungkin dilakukan untuk mengatasi keadaan
darurat akibat risiko dan komplikasi tersebut atau keadaan tak terduga
lainnya.
d. Risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi meliputi:
Penjelasan tentang risiko dan komplikasi tindakan kedokteran adalah semua
risiko dan komplikasi yang dapat terjadi mengikuti tindakan kedokteran yang
dilakukan, kecuali:
1) Risiko dan komplikasi yang sudah menjadi pengetahuan umum.
2) Risiko dan komplikasi yang sangat jarang terjadi atau yang dampaknya
sangat ringan.
11

3) Risiko dan komplikasi yang tidak dapat dibayarkan sebelumnya


(unforeseeable).
e. Prognosis terhadap tindakan yang dilakukan meliputi:
1) Prognosis tentang hidup dan matinya (ad vitam).
2) Prognosis tentang fungsinya (ad functionam).
f. Perkiraan pembiayaan
6. Pemberi Informasi dan Penerima Persetujuan
Pemberi informasi dan penerima persetujuan merupakan tanggung jawab
dokter pemberi perawatan atau pelaku pemeriksaan/ tindakan untuk memastikan
bahwa persetujuan tersebut diperoleh secara benar dan layak. Dokter memang
dapat mendelegasikan proses pemberian informasi dan penerimaan persetujuan,
namun tanggung jawab tetap berada pada dokter pemberi delegasi untuk
memastikan bahwa persetujuan diperoleh secara benar dan layak.
Seseorang dokter apabila akan memberikan informasi dan menerima
persetujuan pasien atas nama dokter lain, maka dokter tersebut harus yakin bahwa
dirinya mampu menjawab secara penuh pertanyaan apapun yang diajukan pasien
berkenaan dengan tindakan yang akan dilakukan terhadapnya–untuk memastikan
bahwa persetujuan tersebut dibuat secara benar dan layak (Nasution, 2013).
7. Pemberi Persetujuan
Persetujuan diberikan oleh individu yang kompeten. Ditinjau dari segi usia,
maka seseorang dianggap kompeten apabila telah berusia 18 tahun atau lebih atau
telah pernah menikah. Sedangkan anak-anak yang berusia 16 tahun atau lebih
tetapi belum berusia 18 tahun dapat membuat persetujuan tindakan kedokteran
tertentu yang tidak berrisiko tinggi apabila mereka dapat menunjukkan
kompetensinya dalam membuat keputusan. Alasan hukum yang mendasarinya
adalah sebagai berikut:
a. Berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata maka seseorang yang
berumur 21 tahun atau lebih atau telah menikah dianggap sebagai orang
dewasa dan oleh karenanya dapat memberikan persetujuan.
b. Berdasarkan UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak maka setiap
orang yang berusia 18 tahun atau lebih dianggap sebagai orang yang sudah
bukan anak-anak. Dengan demikian mereka dapat diperlakukan sebagaimana
12

orang dewasa yang kompeten, dan oleh karenanya dapat memberikan


persetujuan.
c. Mereka yang telah berusia 16 tahun tetapi belum 18 tahun memang masih
tergolong anak menurut hukum, namun dengan menghargai hak individu
untuk berpendapat sebagaimana juga diatur dalam UU No 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, maka mereka dapat diperlakukan seperti orang
dewasa dan dapat memberikan persetujuan tindakan kedokteran tertentu,
khususnya yang tidak berrisiko tinggi. Untuk itu mereka harus dapat
menunjukkan kompetensinya dalam menerima informasi dan membuat
keputusan dengan bebas. Selain itu, persetujuan atau penolakan mereka dapat
dibatalkan oleh orang tua atau wali atau penetapan pengadilan.
d. Sebagaimana uraian di atas, setiap orang yang berusia 18 tahun atau lebih
dianggap kompeten. Seseorang pasien dengan gangguan jiwa yang berusia 18
tahun atau lebih tidak boleh dianggap tidak kompeten sampai nanti terbukti
tidak kompeten dengan pemeriksaan. Sebaliknya, seseorang yang normalnya
kompeten, dapat menjadi tidak kompeten sementara sebagai akibat dari nyeri
hebat, syok, pengaruh obat tertentu atau keadaan kesehatan fisiknya. Anak-
anak berusia 16 tahun atau lebih tetapi di bawah 18 tahun harus menunjukkan
kompetensinya dalam memahami sifat dan tujuan suatu tindakan kedokteran
yang diajukan. Jadi, kompetensi anak bervariasi bergantung kepada usia dan
kompleksitas tindakan.
8. Penolakan Pemeriksaan/ Tindakan
Pasien yang kompeten (dia memahami informasi, menahannya dan
mempercayainya dan mampu membuat keputusan) berhak untuk menolak suatu
pemeriksaan atau tindakan kedokteran, meskipun keputusan pasien tersebut
terkesan tidak logis. Kalau hal seperti ini terjadi dan bila konsekuensi penolakan
tersebut berakibat serius maka keputusan tersebut harus didiskusikan dengan
pasien, tidak dengan maksud untuk mengubah pendapatnya tetapi untuk
mengklarifikasi situasinya. Itu perlu dicek kembali apakah pasien telah mengerti
informasi tentang keadaan pasien, tindakan atau pengobatan, serta semua
kemungkinan efek sampingnya (Marmi, 2014).
Kenyataan adanya penolakan pasien terhadap rencana pengobatan yang
terkesan tidak rasional bukan merupakan alasan untuk mempertanyakan
13

kompetensi pasien. Meskipun demikian, suatu penolakan dapat mengakibatkan


dokter meneliti kembali kapasitasnya, apabila terdapat keganjilan keputusan
tersebut dibandingkan dengan keputusan-keputusan sebelumnya. Dalam setiap
masalah seperti ini rincian setiap diskusi harus secara jelas didokumentasikan
dengan baik (Marmi, 2014).
9. Penundaan Persetujuan
Persetujuan suatu tindakan kedokteran dapat saja ditunda pelaksanaannya
oleh pasien atau yang memberikan persetujuan dengan berbagai alasan, misalnya
terdapat anggota keluarga yang masih belum setuju, masalah keuangan, atau
masalah waktu pelaksanaan. Dalam hal penundaan tersebut cukup lama, maka
perlu di cek kembali apakah persetujuan tersebut masih berlaku atau tidak
(Marmi, 2014).
10. Pembatalan Persetujuan yang Telah Diberikan
Prinsipnya, setiap saat pasien dapat membatalkan persetujuan mereka dengan
membuat surat atau pernyataan tertulis pembatalan persetujuan tindakan
kedokteran. Pembatalan tersebut sebaiknya dilakukan sebelum tindakan dimulai.
Selain itu, pasien harus diberitahu bahwa pasien bertanggungjawab atas akibat
dari pembatalan persetujuan tindakan. Oleh karena itu, pasien harus kompeten
untuk dapat membatalkan persetujuan.
Kompetensi pasien pada situasi seperti ini seringkali sulit. Nyeri, syok atau
pengaruh obat-obatan dapat mempengaruhi kompetensi pasien dan kemampuan
dokter dalam menilai kompetensi pasien. Bila pasien dipastikan kompeten dan
memutuskan untuk membatalkan persetujuannya, maka dokter harus
menghormatinya dan membatalkan tindakan atau pengobatannya. Kadang-kadang
keadaan tersebut terjadi pada saat tindakan sedang berlangsung. Bila suatu
tindakan menimbulkan teriakan atau tangis karena nyeri, tidak perlu diartikan
bahwa persetujuannya dibatalkan. Rekonfirmasi persetujuan secara lisan yang
didokumentasikan di rekam medis sudah cukup untuk melanjutkan tindakan.
Tetapi apabila pasien menolak dilanjutkannya tindakan, apabila memungkinkan,
dokter harus menghentikan tindakannya, mencari tahu masalah yang dihadapi
pasien dan menjelaskan akibatnya apabila tindakan tidak dilanjutkan. Dalam hal
tindakan sudah berlangsung sebagaimana di atas, maka penghentian tindakan
14

hanya bias dilakukan apabila tidak akan mengakibatkan hal yang membahayakan
pasien (Ratman, 2013).
11. Lama Persetujuan Berlaku
Teori menyatakan bahwa suatu persetujuan akan tetap sah sampai dicabut
kembali oleh pemberi persetujuan atau pasien. Namun demikian, bila informasi
baru muncul, misalnya tentang adanya efek samping atau alternatif tindakan yang
baru, maka pasien harus diberitahu dan persetujuannya dikonfirmasikan lagi.
Apabila terdapat jedah waktu antara saat pemberian persetujuan hingga
dilakukannya tindakan, maka alangkah lebih baik apabila ditanyakan kembali
apakah persetujuan tersebut masih berlaku. Hal-hal tersebut pasti juga akan
membantu pasien, terutama bagi mereka yang sejak awal memang masih ragu-
ragu atau masih memiliki pertanyaan (PMK Nomor 290, 2008).

B. Konsep Kecemasan
1. Pengertian
Cemas adalah suatu emosi dan pengalaman subjektif atau keadaan
seseorang yang tidak nyaman serta terbagi dalam beberapa tingkatan
(Kusumawati dan Hartono, 2012). Kecemasan adalah istilah yang sering
digunakan dalam kehidupan sehari-hari, yaitu menggambarkan keadaan
kekhawatiran, kegelisahan yang tidak jelas, atau reaksi ketakutan dan tidak
tentram yang terkadang diikuti dengan keluhan fisik. Gangguan kecemasan adalah
gangguan yang berkaitan dengan perasaan khawatir yang tidak nyata, tidak masuk
akal, tidak sesuai antara yang berlangsung terus atas prinsip yang terjadi
(manifestasi) dan kenyataan yang dirasakan (Pieter, 2010 dalam Fadhilah, 2018).
Kecemasan adalah suatu perasaan yang tidak jelas, yang tidak pasti dan menyebar
sert tidak berdaya. Keadaan emosi ini tidak memiliki objek yang spesifik (Stuart,
2007).
15

2. Tingkatan Cemas
Kusumawati dan Hartono (2012) membagi tingkat kecemasan menjadi 4
tingkatan, yaitu:
a. Kecemasan Ringan
Pada tingkatan ini seseorang akan menjadi waspada, lapang persepsi luas,
indra menjadi lebih tajam, dan efektif dalam memecahkan suatu masalah.
b. Kecemasan Sedang
Pada tingkatan ini seseorang hanya fokus pada pikiran yang diperhatikan saja,
lapang persepsi menjadi sempit, tapi masih bisa melakukan sesuatu dengan
arahan dari orang lain.
c. Kecemasan Berat
Pada tingkatan ini seseorang hanya fokus pada hal-hal yang spesifik, lapang
persepsi menjadi sangat sempit, dan harus banyak arahan dari orang lain.
Perilaku ini maksudnya adalah untuk mengurangi rasa kecemasan.
d. Panik
Pada tingkatan ini seseorang menjadi kehilangan kendali diri, kehilangan
fokus, tidak bisa melakukan apapun meski dengan arahan dari orang lain,
aktivitas motorik meningkat, dan disertai dengan disorganisasi kepribadian.
3. Mekanisme Terjadinya Kecemasan
a. Menurut Stuart & Sudden (2013) terdapat tiga faktor mekanisme terjadinya
ansietas, yaitu:
1) Faktor biologis/ fisiologis, berupa ancaman yang mengancam akan
kebutuhan sehari-hari seperti kekurangan makanan, minuman,
perlindungan dan keamanan. Otak mengandung reseptor khusus yang
dapat meningkatkan neuroregulator inhibisi asam gamaaminobutirat
(GABA), neurotransmitter GABA berperan penting dalam mekanisme
terjadinya ansietas. Selain itu riwayat keluarga mengalami ansietas
memiliki efek sebagai faktor predisposisi ansietas.
2) Faktor sosial, yaitu adanya distress antara lain berupa ancaman terhadap
konsep diri, kehilangan benda/ orang berharga, dan perubahan status
sosial/ ekonomi.
16

3) Faktor psikologis, antara lain berupa model pengasuhan dari bayi hingga
remaja, mekanisme coping, kemampuan menghadapi tekanan, dan lain–
lain.
4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kecemasan
Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan menurut Stuart & Sudden (2013),
yaitu:
a. Faktor eksternal
1) Ancaman integritas diri Meliputi ketidakmampuan fisiologis atau
gangguan terhadap kebutuhan dasar (penyakit, trauma fisik, pembedahan
yang akan dilakukan).
2) Ancaman sistem diri Antara lain: ancaman terhadap identitas diri, harga
diri, hubungan interpersonal, kehilangan, perubahan status dan peran.
b. Faktor internal
1) Potensial stressor
Stresor psikososial merupakan keadaan yang menyebabkan perubahan
dalam kehidupan sehingga individu dituntut untuk beradaptasi.
2) Maturitas kematangan kepribadian inidividu akan mempengaruhi
kecemasan yang dihadapinya. Kepribadian individu yang lebih matur
maka lebih sukar mengalami gangguan akibat kecemasan, karena
individu mempunyai daya adaptasi yang lebih besar terhadap kecemasan.
3) Pendidikan
Tingkat pendidikan individu berpengaruh terhadap kemampuan berpikir.
Semakin tinggi tingkat pendidikan maka individu semakin mudah
berpikir rasional dan menangkap informasi baru. Kemampuan analisis
akan mempermudah individu dalam menguraikan masalah baru.
4) Respon koping
Mekanisme koping digunakan seseorang saat mengalami kecemasan.
Ketidakmampuan mengatasi kecemasan secara konstruktif merupakan
penyebab terjadinya perilaku patologis.
5) Status sosial ekonomi
Status sosial ekonomi yang rendah pada seseorang akan menyebabkan
individu mudah mengalami kecemasan.
17

6) Keadaan fisik
Individu yang mengalami gangguan fisik akan mudah mengalami
kelelahan fisik. Kelelahan fisik yang dialami akan mempermudah
individu mengalami kecemasan.
7) Tipe kepribadian
Individu dengan tipe kepribadian A lebih mudah mengalami gangguan
akibat kecemasan daripada orang dengan tipe kepribadian B. Misalnya
dengan orang tipe A adalah orang yang memiliki selera humor yang
tinggi, tipe ini cenderung lebih santai, tidak tegang dan tidak gampang
merasa cemas bila menghadapi sesuatu, sedangkan tipe B ini orang yang
mudah emosi, mudah curiga, tegang maka tipe B ini akan lebih mudah
merasa cemas.
8) Lingkungan dan situasi
Seseorang yang berada di lingkungan asing lebih mudah mengalami
kecemasan dibandingkan di lingkungan yang yang sudah dikenalnya.
9) Dukungan social
Dukungan sosial dan lingkungan merupakan sumber koping individu.
Dukungan sosial dari kehadiran orang lain membantu seseorang
mengurangi kecemasan sedangkan lingkungan mempengaruhi area
berfikir individu.
10) Usia
Usia muda lebih mudah cemas dibandingkan individu dengan usia yang
lebih tua. Kriteria diagnostik untuk gangguan kecemasan pada umumnya
adalah berusia 18 tahun atau lebih. Tingkat maturase individu akan
mempengaruhi tingkat kecemasan.
11) Jenis kelamin
Gangguan kecemasan tingkat panik lebih sering dialami wanita daripada
pria.
5. Kecemasan Pre Operatif
Kecemasan pra operasi adalah perasaan sebelum melakukan tindakan
operasi yang sudah diketahui, dan muncul dari gangguan intrusi yang dirasakan.
Kecemasan pra operasi dapat mempengaruhi sebagian besar pasien meskipun
sudah ada kemajuan dalam teknik operasi maupun dalam tindakan anestesi,
18

sehingga diperlukan konseling yang tepat untuk mengurangi rasa cemas ataupun
rasa takut pada pasien yang akan melakukan tindakan operasi katarak (Ramirez et
al, 2017).
6. Pengukuran Tingkat Kecemasan
Pengukuran tingkat kecemasan seseorang dapat dilakukan dengan
menggunakan skala baku yang sering digunakan yaitu Hamilton Rating Scale for
Anxiety (HARS). Skala HARS pertama kali digunakan pada tahun 1959, yang
diperkenalkan oleh Max Hamilton dan sekarang telah menjadi standar dalam
pengukuran kecemasan terutama pada penelitian trial clinic. Kecemasan terdiri
dari 14 item (Hidayat, 2007):
a. Perasaan ansietas ditandai dengan cemas, firasat buruk, takut akan pikiran
sendiri, mudah tersinggung.
b. Ketegangan ditandai dengan merasa tegang, lesu, tak bias istirahat dengan
tenang, mudah terkejut, mudah menangis, gemetar, gelisah.
c. Ketakutan ditandai dengan takut pada gelap, pada orang asing, ditinggal
sendiri, pada binatang besar, pada keramaian lalu lintas, pada kerumunan
orang banyak.
d. Gangguan tidur ditandai dengan sukar tidur, terbangun malam hari, tidak
nyenyak, bangun tidur lesu, banyak mimpi-mimpi, mimpi buruk, mimpi
menakutkan.
e. Gangguan kecerdasan ditandai dengan sukar konsentrasi, daya ingat buruk.
f. Perasaan depresi ditandai dengan hilangnya minat, berkurangnya kesenangan
pada hobi, sedih, bangun dini hari, perasaan berubah-ubah sepanjang hari.
g. Gejala somatik (otot) ditandai dengan sakit dan nyeri di otot-otot, kaku,
kedutan otot, gigi gemerutuk, suara tidak stabil.
h. Gejala somatik (Sensorik) ditandai dengan tinnitus, penglihatan kabur, muka
merah atau pucat, merasa lemah, perasaan ditusuk-tusuk.
i. Gejala kardiovaskuler ditandai dengan takikardi, berdebar, nyeri di dada,
denyut nadi kuat, perasaan lesu/ lemas seperti mau pingsan, detak jantung
menghilang (berhenti sekejap).
j. Gejala respiratori ditandai dengan rasa tertekan atau sempit di dada, perasaan
tercekik, sering menarik napas, napas pendek/ sesak.
19

k. Gejala gastrointestinal ditandai dengan sulit menelan, perut melilit, gangguan


pencernaan, nyeri sebelum dan sesudah makan, perasaan terbakar di perut,
rasa penuh atau kembung, mual, muntah, buang air besar lembek, kehilangan
BB, sukar buang air besar (konstipasi).
l. Gejala urogenital ditandai dengan sering buang air kecil, tidak dapat
menahan buang air kecil, amenorrhoe, menorrhagia, menjadi dingin,
ejakulasi praecocks, ereksi hilang, impotensi.
m. Gejala otonom ditandai dengan mulut kering, muka merah, mudah
berkeringat, pusing, sakit kepala, bulu-bulu berdiri.
n. Tingkah laku pada wawancara ditandai dengan gelisah, tidak tenang, jari
gemetar, kerut kening, muka tegang, tonus otot meningkat, napas pendek dan
cepat, muka merah.
Hamilton Rating Scale for Anxiety (HARS) yang dikutip Hidayat (2007) bahwa:
a. Cara penilaian kecemasan adalah dengan memberikan nilai dengan katagori:
1 = Tidak ada gejala sama sekali
2 = Satu dari gejala yang ada
3 = Sedang/ separuh dari gejala yang ada
4 = Berat/ lebih dari ½ gejala yang ada
5 = Sangat berat semua gejala ada
b. Skoring tingkat kecemasan dari Hamilton Rating Scale for Anxiety (HARS)
dibagi menjadi 5 kategori yaitu:
1) Total skor < 14 : tidak ada kecemasan
2) Total skor 15-20 : kecemasan ringan
3) Total skor 21-27 : kecemasan sedang
4) Total skor 28-41 : kecemasan berat
5) Total skor 42-56 : kecemasan berat sekali/ panik
20

C. Kerangka Teori

Pemberian Informed Consent: Karakteristik Responden:


a. Diagnosis dan tata cara a. Umur
tindakan kedokteran b. Jenis Kelamin
b. Tujuan tindakan kedokteran c. Pengalaman Operasi
yang dilakukan d. Pendidikan
c. Alternatif tindakan lain dan e. Pekerjaan
risikonya f. Satutus Perkawinan
d. Risiko dan komplikasi yang
mungkin terjadi
e. Prognosis terhadap tindakan Tingkat Kecemasan pasien pre
yang dilakukan operatif:
f. Perkiraan pembiayaan a. Total skor < 14: tidak ada
kecemasan
b. Total skor 15-20: kecemasan
ringan
Bentuk Persetujuan: c. Total skor 21-27: kecemasan
a. Implied Consent (dianggap sedang
diberikan) d. Total skor 28-41: kecemasan
b. Expressed Consent berat
(dinyatakan) e. Total skor 42-56: kecemasan
berat sekali/ panik
Pengukuran Informed Consent:
a. Adekuat
b. Tidak Adekuat

Faktor-faktor yang mempengaruhi kecemasan:


a. Faktor eksternal
1) Ancaman integritas diri
2) Ancaman sistim diri
b. Faktor internal
1) Potensial stressor
2) Maturitas
3) Pendidikan
4) Respon koping
5) Status sosial ekonomi
6) Keadaan Fisik
7) Tipe kepribadian
8) Lingkungan dan situasi
9) Dukungan social
10) Usia
11) Jenis kelamin

(PMK Nomor 290 (2008) dan HARS dalam Hidayat, (2007))


Gambar 2.1 Kerangka Teori
21

D. Hipotesis
Menurut Sugiyono (2015), hipotesis penelitian adalah jawaban sementara
penelitian, patokan duga atau sementara, yang kebenarannya akan dibuktikan dalam
penelitian tersebut. Hipotesis dibagi menjadi dua macam:
1. Hipotesis Alternatif (Ha)
Ada hubungan antara variabel X dan Y atau perbedaan antara dua kelompok.
2. Hipotesis Nol (Ho)
Hipotesis ini menyatakan tidak ada perbedaan variabel atau tidak adanya
hubungan variabel X dan Y.
Hipotesis yang diajukan pada penelitian ini adalah:
1. Ha: Ada hubungan antara pemberian informed consent dengan tingkat kecemasan
pada pasien pre operatif di ruang IBS RSUD Sumbawa.
2. Ho: Tidak ada hubungan antara pemberian informed consent dengan tingkat
kecemasan pada pasien pre operatif di ruang IBS RSUD Sumbawa.

Anda mungkin juga menyukai