Ebook Covid-19 Jcca-Perdatin Jaya
Ebook Covid-19 Jcca-Perdatin Jaya
Penyusun:
dr. Ahmad Irfan, Sp.An., KIC
dr. Aldy Heriwardito, Sp.An., KAKV
dr. Dedi Atila, Sp.An., KIC
Dr. dr. Dita Aditianingsih, Sp.An., KIC
dr. Eko Budi Prasetyo, Sp.An., KIC
dr. Hendri Pangestu, Sp.An., KIC., MHKes
dr. Michael B.K. Oppusunggu, Sp.An., KIC
dr. Navy G.H.M. Lolong Wulung, Sp.An., KIC
dr. Rudyanto Sedono, Sp.An., KIC
dr. Vera Irawany, Sp.An., KIC
Editor:
dr Yohanes W.H. George, Sp.An., KIC
ISBN: 9-786239-323004
Penyusun : dr. Ahmad Irfan, Sp.An., KIC, dr. Aldy
Heriwardito, Sp.An., KAKV, dr. Dedi
Atila, Sp.An., KIC, Dr. dr. Dita
Aditianingsih, Sp.An., KIC, dr. Eko Budi
Prasetyo, Sp.An., KIC, dr. Hendri
Pangestu, Sp.An., KIC., MHKes,
dr. Michael B.K. Oppusunggu, Sp.An.,
KIC, dr. Navy G.H.M. Lolong Wulung,
Sp.An., KIC, dr. Rudyanto Sedono, Sp.An.,
KIC, dr. Vera Irawany, Sp.An., KIC
i
KATA PENGANTAR
iii
KORESPONDENSI PENYUSUN BUKU
v
¨ dr. Fahrul Razi, Sp.An., KIC
Ka. ICU RSU Kabupaten Tangerang
razifahrul@yahoo.com
vi
¨ dr. Vera Irawany, Sp.An., KIC
Koordinator Pelayanan Sakit Kritis
KSM Anestesiologi dan Terapi Intensif
RSUP Fatmawati
bundavea@gmail.com
vii
DAFTAR ISI
viii
DAFTAR SINGKATAN
ix
• ETT : Endotracheal Tube
• EVLW : Extra Vascular Lung Water
• FiO2 : Fraksi inspirasi oksigen
• GCS : Glasgow Coma Scale
• GIPS : Global Increased Permeability Syndrome
• HD-CRRT : Hemodialisa-Continuous Renal Replacement
Therapy
• HEPA : High Efficiency Particulate Air
• HFO : High-Flow Oxygen
• HFNO : High-Flow Nasal Oxygen
• HR : Heart Rate
• ISPA : Infeksi Saluran Pernapasan Akut
• I:E Ratio : Rasio inspirasi dan ekspirasi
• IAH : Intra-Abdominal Hypertension
• IAP : Intra-Abdominal Pressure
• KgBB : Kilogram berat badan
• l/mnt : Liter per menit
• MAP : Mean Arterial Pressure
• MERS-CoV : Middle East Respiratory Syndrome related
coronavirus infection
• mL : Mililiter
• MODS : Multi Organ Dysfunction Syndrome
• Na : Natrium
• NIV : Non-Invasive Ventilation
x
• OI : Oxygenation Index
• OSI : Oxygen Saturation Index
• PaO2 : Tekanan parsial oksigen
• PBW : Predicted Body Weight
• PEEP : Positive End Expiratory Pressure
• PPV : Pulse Pressure Variation
• qSOFA : Quick Sequential Organ Failure Assessment
• RES : Reticuloendothelial System
• ROS : Reactive Oxygen Species
• RRT : Renal Replacement Therapy
• SARI : Severe Acute Respiratory Infection
• SD : Standar deviasi
• SIMV : Synchronized Intermittent Mandatory Ventilation
• SIRS : Systemic Inflamatory Response Syndrome
• SOFA : Sequential Organ Failure Assessment
• SOT : Standard Oxygen Therapy
xi
• 2019-nCoV : 2019-novel coronavirus
• WHO : World Health Organization
• WOB : Work of Breathing
xii
PENDAHULUAN
1
sebagai jenis baru virus corona (novel coronavirus, 2019-nCoV).
Penambahan jumlah kasus 2019-nCoV berlangsung cukup cepat dan
sudah terjadi penyebaran ke luar wilayah Wuhan dan negara lain.
Sampai dengan 18 Februari 2020, secara global menurut WHO2)
tercatat 73.332 kasus dengan 72.528 kasus terjadi di Cina, dengan
kematian sebanyak 1870 kasus. Bahkan pada 4 Maret 2020 telah
terdapat 94.240 kasus di 81 negara dengan 3.220 kasus kematian.
Sementara di Indonesia telah terdeteksi 3 kasus positif dan ratusan
kasus dalam pengawasan.
Infeksi pada manusia terbatas (pada kontak keluarga) telah
dikonfirmasi di sebagian besar Kota Wuhan, Cina dan negara lain.
Tanda-tanda dan gejala klinis yang dilaporkan sebagian besar adalah
demam, dengan beberapa kasus mengalami kesulitan bernapas, dan
hasil rontgen menunjukkan infiltrat pneumonia luas di kedua paru-
paru. Menurut hasil penyelidikan epidemiologi awal, sebagian besar
kasus di Wuhan memiliki riwayat bekerja, menangani atau sering
berkunjung ke Pasar Grosir Makanan Laut Huanan. Sampai saat ini,
penyebab penularan masih belum diketahui secara pasti.3)
Rekomendasi standar untuk mencegah penyebaran infeksi
dengan mencuci tangan secara teratur, menerapkan etika batuk dan
bersin, memasak daging, dan telur sampai matang. Hindari kontak
dekat dengan siapa pun yang menunjukkan gejala penyakit
pernapasan seperti batuk dan bersin.3)
2
DIAGNOSTIK
3
Pasien anak dengan batuk atau kesulitan
bernapas, ditambah setidaknya satu dari
berikut ini:
• sianosis sentral atau SpO2 < 90%;
• distres pernapasan berat (seperti
mendengkur, tarikan dinding dada
yang berat), napas cepat;
• tanda pneumonia berat:
ketidakmampuan menyusu atau
minum, letargi atau penurunan
kesadaran, atau kejang.
Tanda lain dari pneumonia yaitu: tarikan
dinding dada, takipnea:
< 2 bulan (≥ 60 x/menit); 2–11 bulan (≥ 50
x/menit); 1–5 tahun (≥ 40 x/menit); >5
tahun (≥ 30 x/menit).
Diagnosis ini berdasarkan gejala klinis,
pencitraan dada yang dapat menyingkirkan
komplikasi.
4
Pencitraan dada (Röntgen/CT scan
toraks/USG paru): opasitas bilateral, efusi
pluera yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya, kolaps paru, kolaps lobus,
atau adanya nodul.
Penyebab edema: gagal napas yang bukan
disebabkan gagal jantung. Perlu
pemeriksaan objektif (seperti
ekokardiografi) untuk menyingkirkan
bahwa penyebab edema bukan akibat
hidrostatik jika tidak ditemukan faktor
risiko.
Kriteria ARDS pada dewasa:
• ARDS ringan: 200 mmHg < PaO2/FiO2
≤ 300 mmHg (dengan PEEP atau
continuous positive airway pressure
(CPAP) ≥ 5 cmH2O, atau yang tidak
diventilasi)
• ARDS sedang: 100 mmHg < PaO2/FiO2
≤ 200 mmHg (dengan PEEP ≥ 5
cmH2O, atau yang tidak diventilasi)
• ARDS berat: PaO2/FiO2 ≤ 100 mmHg
dengan PEEP ≥ 5 cmH2O, atau yang
tidak diventilasi)
5
• Ketika PaO2 tidak tersedia,
SpO2/FiO2 ≤ 315 mengindikasikan
ARDS (termasuk pasien yang tidak
diventilasi)
Kriteria ARDS pada anak berdasarkan
Oxygenation Index dan
Oxygenation Index menggunakan SpO2
(OSI):
• PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg atau
SpO2/FiO2 ≤ 264: Bilevel non invasive
ventilation (NIV) atau CPAP ≥ 5 cmH2O
dengan menggunakan full face mask
• ARDS ringan (ventilasi invasif): 4 ≤ OI
≤ 8 atau 5 ≤ OSI < 7,5
• ARDS sedang (ventilasi invasif): 8 ≤ OI
< 16 atau 7,5 ≤ OSI < 12,3
• ARDS berat (ventilasi invasif): OI ≥ 16
atau OSI ≥ 12,3
6
Disfungsi organ meliputi:
1. Gangguan perfusi serebral ditandai
dengan perubahan status
mental/penurunan kesadaran (GCS <
13).
2. Gangguan oksigenasi paru: ditandai
dengan sesak napas, saturasi oksigen
menurun, rasio PaO2/FiO2 menurun.
3. Gangguan fungsi ginjal (acute kidney
injury) ditandai dengan penurunan urin
output dan peningkatan kadar kreatinin
serum.
4. Gangguan fungsi kardiovaskular
ditandai dengan penurunan tekanan
darah disertai peningkatan denyut
jantung dan nadi lemah serta gangguan
perfusi perifer seperti ekstremitas
dingin, mottled skin. Terkadang disertai
adanya kebutuhan obat vasoaktif untuk
meningkatkan tekanan darah.
5. Gangguan fungsi hepatobilier dengan
adanya peningkatan kadar bilirubin
darah.
6. Gangguan fungsi endotel dan
7
hemostase ditandai koagulopati
berupa trombositopenia.
Pada praktek klinis, skrining sepsis dapat
menggunakan qSOFA (quick SOFA) yaitu:
H-A-T
Hypotension: Tekanan darah sistolik
< 100 mmHg
Altered mental status: GCS < 13
Tachypnea: laju pernapasan > 22
x/menit
Pasien anak: adanya dugaan atau bukti
infeksi disertai kriteria systemic
inflammatory response syndrome (SIRS) ≥
2, dan adanya salah satu dari tanda berikut:
suhu tubuh abnormal atau jumlah sel darah
putih abnormal.
8
terdapat 2–3 gejala dan tanda berikut:
perubahan status mental/kesadaran;
takikardia atau bradikardia (HR < 90
x/menit atau > 160 x/menit pada bayi dan
HR < 70 x/menit atau > 150 x/menit pada
anak); waktu pengisian kembali kapiler
yang memanjang (> 2 detik) atau
vasodilatasi hangat dengan bounding pulse;
takipneu; mottled skin atau ruam petekie
atau purpura;
9
TATA LAKSANA
10
Gambar 1. Protokol penggunaan HFNO pada gagal napas hipoksia akut 8)
11
• Pada anak dengan tanda kegawatdaruratan (obstruksi
napas atau apneu, distres pernapasan berat, sianosis
sentral, syok, koma, atau kejang) harus pula segera
dilakukan intubasi.
b. Intubasi endotrakeal harus dilakukan oleh petugas
terlatih dan berpengalaman dengan memperhatikan
kewaspadaan transmisi airborne.
✓ Pasien dengan ARDS, terutama anak kecil,
obesitas, atau hamil, dapat mengalami desaturasi
sangat cepat selama proses intubasi. Untuk itu perlu
dilakukan preoksigenasi sebelum tindakan intubasi
dengan pemberian oksigen murni (FiO2) 100%
selama 5 menit, melalui sungkup muka dengan
kantong udara, bag-valve mask atau HFNO baru
kemudian dilanjutkan dengan intubasi.
✓ Penilaian jalan napas yang baik sebelum intubasi
sangat penting, karena pengenalan pasien dengan
risiko jalan napas yang sulit dapat membantu
perencanaan praintubasi. Untuk itu bila
memungkinkan, intubasi sebaiknya dilakukan oleh
dokter spesialis anestesiologi yang berpengalaman
dan selama prosedur dibantu oleh dokter lainnya
(spesialis anestesiologi atau intensivis).
✓ Siapkan perangkat tata laksana jalan napas, obat-
obat anestesia, obat vasoaktif, peralatan penghisap
12
(suction device), ventilator, akses vena, dan alat
pemantauan standar (elektrokardiogram, tekanan
darah, dan pulse oximetry).
✓ Pilih perangkat tata laksana jalan napas yang paling
dikenal. Dianjurkan alat yang sekali pakai,
termasuk alat-alat berikut:
1. Video laringoskopi dengan bilah sekali pakai
2. Stylet optikal sekali pakai atau pipa endotrakeal
video sekali pakai.
3. Sungkup laring sekali pakai.
4. Siapkan jarum atau scalpel untuk
krikotiroidotomi.
5. Jika tersedia, siapkan bronkoskopi video
fleksibel sekali pakai.
6. Jika tersedia, siapkan ETT injeksi supraglotis
& subglotis. Suntikan berkala 2% lidokain 2–3
ml atau 1% lidokain 4–6 ml melalui saluran
injeksi yang dapat mengurangi iritasi yang
disebabkan oleh ETT, sehingga kebutuhan obat
penenang dan pelumpuh otot dapat dikurangi.
13
✓ Lakukan penilaian jalan napas dengan cepat, untuk
mengantisipasi kemungkinan adanya tata laksana
jalan napas sulit (difficult airway management):
1. Riwayat jalan napas sulit.
2. Tes buka mulut (jarak antara gigi seri atas-
bawah < 3 cm).
3. Jarak tiromental (< 6 cm).
4. Mobilitas kepala-leher.
5. Lingkar leher.
6. Tes Mallampati (tidak dianjurkan)
✓ Untuk mengantispasi jalan napas sulit, disarankan:
1. Untuk kasus jalan napas sulit yang sudah
diperkirakan sebelumnya, lakukan intubasi
sadar dengan bantuan bronkoskopi nasal
dengan sedasi dan anestesi topikal yang
adekuat.
2. Jika diperkirakan risiko kegagalan intubasi
tinggi walaupun memakai video laringoskop
atau bronkoskopi, maka lakukan trakeostomi
oleh dokter spesialis THT atau bedah.
3. Melakukan intubasi atau trakeostomi dengan
dukungan oksigenasi membran ekstrakorporeal
juga dapat dipertimbangkan.
14
✓ Untuk pasien dengan jalan napas normal, hindari
intubasi sadar (awake intubation) dan
direkomondasikan menggunakan modifikasi RSI
(Modified Rapid Sequence Intubation). Obat
pelumpuh otot yang cukup harus diberikan segera
setelah hilangnya kesadaran, memfasilitasi intubasi
dini dengan kondisi yang lebih baik, mengurangi
waktu apnea sehingga menghindari hipoksemia
berat. Blok neuromuskular total harus dicapai untuk
mencegah refleks batuk saat intubasi. Langkah-
langkah intubasi sebagai berikut:
1. Optimalkan posisi pasien. Umumnya pasien
harus ditempatkan pada posisi "sniffing".
Untuk pasien obesitas, posisi 'ramped' harus
digunakan secara rutin.
2. Preoksigenasi dengan FiO2 100% selama 5
menit. Untuk pasien yang menggunakan
HFNO, bag-mask ventilator harus tetap
disiapkan jika terjadi hipoksemia berat. Tutup
mulut dan hidung pasien dengan dua lapis kain
kasa basah (seharusnya tidak menghalangi
patensi jalan napas atau jatuh ke mulut), dan
berikan ventilasi pada pasien dengan bag-mask
jika perlu.
15
3. Pilihan obat induksi disesuaikan dengan
kondisi hemodinamik. Midazolam 2–5 mg
dengan dosis kecil etomidate (jika
hemodinamik tidak stabil) atau propofol (jika
hemodinamik stabil) dapat digunakan untuk
induksi. Jumlah fentanil atau remifentanil yang
tepat dapat diberikan untuk menekan refleks
laring dan memberikan kondisi yang lebih baik
untuk intubasi. Rocuronium 1 mg/kgBB
(pilihan pertama) atau suksinilkolin 1
mg/kgBB harus diberikan segera setelah
kehilangan kesadaran dan intubasi dapat
dilakukan 1 menit kemudian. Suksinilkolin
merupakan kontraindikasi pada pasien dengan
hiperkalemia. Rocuronium memiliki onset
yang cepat dan dapat diberikan antidotum
segera dengan sugammadex jika diperlukan.
4. Setelah induksi, berikan ventilasi dengan
volume tidal rendah dan frekuensi tinggi lebih
dianjurkan, bag-mask ventilasi diperlukan
untuk mempertahankan oksigenasi yang
optimal.
5. Penekanan krikoid oleh asisten yang
berpengalaman dapat diterapkan untuk
mencegah refluks dan aspirasi gastroesofagus.
16
6. Video laringoskopi dengan bilah sekali pakai
direkomendasikan untuk intubasi trakea secara
oral. Jika sulit intubasi, lakukan manipulasi
laring eksternal atau menggunakan bougie atau
stylet optik dibasahkan, untuk meningkatkan
keberhasilan.
7. Penghisapan/pembersihan jalan napas tertutup
dianjurkan untuk mengurangi penyebaran virus
secara aerosol.
✓ Persiapkan juga untuk intubasi trakea sulit yang
tidak terduga.
1. Jika intubasi trakea gagal, sungkup laring harus
segera dipasang. Jika sungkup laring generasi
dua sudah dipasang dengan benar dan ventilasi
yang baik tercapai, maka intubasi trakea dapat
dilakukan melalui sungkup laring dengan
panduan bronkoskop serat-optik.
2. Jika intubasi trakea, ventilasi sungkup muka,
dan sungkup laring (LMA) semuanya gagal,
lanjutkan ke tindakan krikotiroidotomi invasif
segera untuk memastikan ventilasi.
17
3. Krikotiroidotomi dapat dilakukan dengan
menggunakan teknik jarum/needle technic (kit
krikotiroidotomi 4 mm) atau teknik scalpel
(scalpel dengan pisau nomor 10, bougie dan
pipa trakea cuff ukuran 5,0–6,0 mm).
✓ Selama induksi anestesia, ketidakstabilan
hemodinamik sering terjadi. Pemantauan tekanan
darah, denyut jantung, dan saturasi oksigen harus
dilakukan secara cermat. Pemberian cairan yang
tepat dan pemberian vasopresor perlu
dipertimbangkan untuk menjaga stabilitas
hemodinamik.
✓ High efficiency particulate air (HEPA) harus
dipasang antara sungkup dan sirkuit pernapasan
atau respiratory bag, dan satu filter di bagian ujung
ekspirasi sirkuit pernapasan.
✓ Setelah intubasi, posisi ETT yang tepat dapat
dikonfirmasikan dengan melihat langsung bagian
ETT melewati pita suara, deteksi cincin trakea atau
bulge dengan bronkoskopi, bentuk gelombang yang
tepat dari end tidal-CO2 dan suara napas serta
pergerakan dinding toraks. ETT harus pada posisi
level yang optimal untuk menghindari ventilasi paru
tunggal atau ekstubasi yang tidak disengaja.
Kedalaman ETT yang tepat dapat diberikan tanda
18
dengan spidol (21-23 cm dari gigi seri atas pada pria
dewasa dan 19-21 cm pada wanita dewasa).
Pencitraan dada harus dilakukan jika
memungkinkan.
✓ Fiksasi ETT dengan benar dan berikan bantuan
ventilasi mekanik.
19
disebut sebagai permissive hypercarbia.
• Protokol ventilasi mekanik harus tersedia (dapat
menggunakan protokol ARDSnet).
• Obat sedasi dapat digunakan untuk mengontrol usaha
napas dan mencapai target volume tidal. Prediktor
mortalitas pada ARDS menggunakan tekanan driving
yang tinggi (tekanan plateau − PEEP) lebih akurat
dibandingkan dengan volume tidal atau tekanan plateau
yang tinggi.
• Setting ventilasi mekanik harus menerapkan
kewaspadaan kontak saat memegang alat-alat untuk
menghantarkan oksigen (nasal kanul, sungkup muka
sederhana, sungkup dengan kantong reservoir) yang
terkontaminasi dalam pengawasan atau terbukti 2019-
nCoV.
d. Penggunaan PEEP lebih tinggi hanya untuk mencapai
target saturasi di atas 88-92%. Untuk menghindari
hilangnya PEEP akibat terputusnya hubungan ventilasi
mekanik dengan pasien maka gunakan kateter dengan
sistem closed suction dan klem ETT ketika memutus
hubungan ventilasi mekanik dengan pasien (misalnya,
ketika pemindahan ke ventilasi mekanik yang portabel)
karena hal ini dapat menyebabkan desaturasi cepat dan
atelektasis.
e. Pada pasien ARDS sedang-berat (PaO2/FiO2 < 200)
20
dapat digunakan obat pelumpuh otot namun tidak
dianjurkan penggunaan secara rutin.
f. Pada pasien ARDS berat, dapat lakukan ventilasi dalam
prone position < 12 jam per hari untuk memperbaiki
oksigenasi.
✓ Menerapkan ventilasi dengan prone position
sangat dianjurkan untuk pasien dewasa dan anak
dengan ARDS berat tetapi membutuhkan sumber
daya manusia dan keahlian yang cukup.
g. Manajemen cairan konservatif untuk pasien ARDS
tanpa hipovolemia.
• Hal ini sangat direkomendasikan karena dapat
mempersingkat penggunaan ventilator.
✓ Pasien dengan infeksi paru harus hati-hati dalam
pemberian cairan intravena, karena resusitasi
cairan yang agresif dapat memperburuk oksigenasi,
terutama dalam kondisi keterbatasan ketersediaan
ventilasi mekanik.
h. Pada fasyankes yang memiliki ahli dalam menjalankan
Extra Corporal Life Support (ECLS), dapat
dipertimbangkan penggunaannya ketika menerima
rujukan pasien dengan hipoksemia refrakter meskipun
sudah mendapat lung protective strategy ventilation.
✓ Saat ini belum ada pedoman yang
merekomendasikan penggunaan ECLS seperti
21
ECMO dan atau ECCO2R pada pasien ARDS
secara rutin, namun ada penelitian bahwa ECLS
kemungkinan dapat mengurangi risiko kematian.
i. Jangan memberikan kortikosteroid sistemik secara rutin
untuk pengobatan pneumonia karena virus atau ARDS
di luar uji klinis kecuali terdapat alasan lain.
✓ Penggunaan jangka panjang sistemik kortikosteroid
dosis tinggi dapat menyebabkan efek samping yang
serius pada pasien dengan ISPA berat/SARI,
termasuk infeksi oportunistik, nekrosis avaskular,
infeksi baru bakteri dan replikasi virus mungkin
berkepanjangan. Oleh karena itu, kortikosteroid
harus dihindari kecuali diindikasikan untuk alasan
lain.
j. Pemberian antibiotik empirik berdasarkan
kemungkinan etiologi. Pada kasus sepsis (termasuk
dalam pengawasan COVID-19) berikan antibiotik
empirik yang tepat secepatnya dalam waktu 1 jam.
✓ Pengobatan antibiotik empirik berdasarkan
diagnosis klinis (pneumonia komunitas, pneumonia
nosokomial atau sepsis), epidemiologi dan peta
kuman serta pedoman tata laksana pneumonia di
rumah sakit. Pada terapi empirik, antibiotik harus di
deeskalasi apabila sudah didapatkan hasil
pemeriksaan mikrobiologi dan penilaian
22
perkembangan klinis pasien.
k. Lakukan pemantauan ketat pasien dengan gejala klinis
yang mengalami perburukan seperti gagal napas, sepsis
dan lakukan intervensi perawatan suportif secepat
mungkin.
l. Kenali pasien risiko tinggi yang memiliki komorbid
untuk menyesuaikan pengobatan dan penilaian
prognosisnya.
✓ Perlu menentukan terapi mana yang harus
dilanjutkan dan terapi mana yang harus dihentikan
sementara. Berkomunikasi secara proaktif dengan
pasien dan keluarga dengan memberikan dukungan
dan informasi prognostik.
23
Gambar 2. Tingkat keparahan ARDS
24
Gambar 3. Tata laksana ARDS sesuai tingkat keparahan
(Severitas)
Keterangan:
Rekomendasi kuat
Rekomendasi lemah
25
Irawany, 2020
26
2. Tata Laksana Sepsis dan Syok Sepsis5,9,10)
a. Kenali tanda syok septik
• Pasien dewasa: jika dicurigai atau terkonfirmasi adanya
sumber infeksi dan kebutuhan akan obat vasoaktif untuk
mempertahankan Mean Arterial Pressure (MAP) ≥ 65
mmHg dan adanya kondisi hiperlaktatemia (kadar laktat
≥ 2 mmol/L) dengan tidak adanya tanda hipovolemia.
• Pasien anak: adanya hipotensi (Tekanan Darah Sistolik
(TDS) < persentil 5 atau > 2 standar deviasi (SD) di
bawah normal usia) atau terdapat 2–3 gejala dan tanda
berikut: perubahan status mental/kesadaran; takikardia
atau bradikardia (HR < 90 x/menit atau > 160 x/menit
pada bayi dan HR < 70 x/menit atau > 150 x/menit pada
anak); waktu pengisian kembali kapiler yang
memanjang (> 2 detik) atau vasodilatasi hangat dengan
bounding pulse; takipnea; mottled skin atau ruam
petekie atau purpura; peningkatan laktat; oliguria;
hipertermia atau hipotermia.
✓ Keterangan: pada kondisi tidak tersedianya
pemeriksaan kadar asam laktat darah, gunakan
MAP dan tanda klinis sebagai tanda terjadinya
syok. Perawatan standar meliputi deteksi dini dan
tata laksana dalam 1 jam; terapi antimikroba dan
pemberian cairan dan vasopresor untuk hipotensi.
27
Penggunaan kateter vena dan arteri berdasarkan
ketersediaan dan kebutuhan pasien.
b. Resusitasi syok septik pada dewasa dapat diberikan cairan
kristaloid isotonik sampai 30 ml/kgBB. Sementara panduan
pada resusitasi syok septik pada anak-anak: pada awal
berikan bolus kristaloid 20 ml/kgBB kemudian tingkatkan
hingga 40–60 ml/kgBB dalam 1 jam pertama (hindari
kondisi fluid overload !!!).
• Jangan gunakan kristaloid hipotonik, kanji, atau gelatin
untuk resusitasi.
• Resusitasi cairan dapat mengakibatkan kelebihan cairan
dan gagal napas. Jika tidak ada respon terhadap
pemberian cairan dan muncul tanda-tanda kelebihan
cairan (seperti distensi vena jugularis, ronki basah halus
pada auskultasi paru, gambaran edema paru pada foto
toraks, atau hepatomegali pada anak-anak) maka
kurangi atau hentikan pemberian cairan.
✓ Keterangan:
✓ Kristaloid yang diberikan berupa salin normal dan
ringer laktat. Penentuan kebutuhan cairan untuk
bolus tambahan (250–1000 ml pada orang dewasa
atau 10–20 ml/kgBB pada anak-anak) berdasarkan
respons klinis dan target perfusi. Target perfusi
meliputi MAP > 65 mmHg atau target sesuai usia
pada anak-anak, produksi urin (> 0,5 ml/kgBB/jam
28
pada orang dewasa, 1 ml/kgBB/jam pada anak-
anak), dan menghilangnya mottled skin, perbaikan
waktu pengisian kembali kapiler, pulihnya
kesadaran, dan turunnya kadar laktat. Tindakan
passive leg rise, fluid challenge test dengan
pengukuran volume sekuncup secara berkala, atau
variasi tekanan sistolik, tekanan nadi (pulse
pressure), ukuran diameter vena cava, atau isi
sekuncup sebagai respon terhadap perubahan
tekanan intratorakal selama penggunaan ventilator
mekanik dapat berguna untuk memandu dalam
pemberian cairan.
✓ Pemberian resusitasi dengan kanji lebih
meningkatkan risiko kematian dan acute kidney
injury (AKI) dibandingkan dengan pemberian
kristaloid. Cairan hipotonik kurang efektif dalam
meningkatkan volume intravaskular dibandingkan
dengan cairan isotonik. Surviving Sepsis Campaign
(SSC) menyebutkan albumin dapat digunakan
untuk resusitasi ketika pasien membutuhkan
kristaloid yang cukup banyak, tetapi rekomendasi
ini belum memiliki bukti yang cukup (low quality
evidence).
29
c. Obat vasoaktif (vasopresor) dapat diberikan segera
(dalam 1 jam) ketika ditemukan syok sepsis untuk
mencapai tekanan darah MAP ≥ 65 mmHg dan pada
anak disesuaikan dengan usia. Untuk menghindari
kondisi fluid overload.7)
• Jika kateter vena sentral tidak tersedia, vasopresor
dapat diberikan melalui vena perifer, namun gunakan
vena yang besar serta pantau dengan cermat tanda-tanda
ekstravasasi dan nekrosis jaringan lokal. Jika
ekstravasasi terjadi, hentikan infus. Vasopresor juga
dapat diberikan melalui jarum intraoseus.
• Pertimbangkan pemberian obat inotropik (seperti
dobutamine) jika perfusi masih buruk atau terjadi
disfungsi jantung meskipun tekanan darah sudah
mencapai target MAP dengan resusitasi cairan dan
vasopresor.
Keterangan:
✓ Vasopresor (yaitu norepinefrin, epinefrin,
vasopresin, dan dopamin) paling aman diberikan
melalui kateter vena sentral tetapi dapat pula
diberikan melalui vena perifer dan jarum
intraoseus. Pantau tekanan darah sesering mungkin
dan titrasi vasopressor hingga dosis minimum yang
diperlukan untuk mempertahankan perfusi dan
mencegah timbulnya efek samping.
30
✓ Norepinefrin merupakan obat vasoaktif lini pertama
pada syok sepsis; epinefrin atau vasopresin dapat
ditambahkan untuk mencapai target MAP.
Dopamine hanya diberikan untuk pasien
bradikardia atau pasien dengan risiko rendah
terjadinya takiaritmia. Pada anak-anak dengan cold
shock (lebih sering), epinefrin dianggap sebagai lini
pertama, sedangkan norepinefrin digunakan pada
pasien dengan warm shock (lebih jarang).
Obat
31
3. Tata Laksana Fluid Overload (Deresusitasi)11,12)
Tata laksana cairan konservatif tidak hanya menyoal pada
pemberian cairan atau resusitasi cairan, namun hal yang lebih
penting adalah bagaimana mengeluarkan cairan (fluid removal)
setelah pasien menjalani resusitasi cairan. Kondisi fluid overload
akan menyebabkan terjadinya peningkatan jarak difusi antara
kapiler dan sel yang mengakibatkan hipoksia sel dengan
manifestasi disfungsi organ. Oleh karena itu saat ini tata laksana
fluid removal menjadi kunci terhadap proteksi organ pada pasien
sakit kritis.
a. Definisi fluid overload:
Diagnosis klinis berupa ditemukannya gejala dan tanda
klinis berupa sesak, edema perifer, dan edema paru. Selain
itu diagnosis dapat ditegakkan dengan pemeriksaan foto
röntgen paru dengan ditemukannya efusi pleura, B-Line,
BLA.
b. Tata laksana:
Secara tradisional tata laksana fluid overload tidak
diperlukan karena anggapan adanya proses alami terjadi
aliran balik secara spontan dari interstisial ke intravaskular
(fase ebb ke fase flow). Namun Cordemans dkk. menyatakan
bahwa khusus pada pasien dengan komorbid, perpindahan
dari fase ebb ke fase flow tidak terjadi secara spontan,
sehingga dibutuhkan tata laksana fluid overload.
32
Gambar 6. Algoritma deresusitasi
33
Untuk menghindari terjadinya overtreatment dan kegagalan
terapi dibuat target keamanan perfusi yang terdiri dari
• Target laktat darah: < 2 mmol/L,
• Target perfusi ginjal: peningkatan ureum dan kreatinin
< 25%, dan
• Target perubahan: Na < 4 mmol/L.
34
Konsep Three Hit dan Sindrom Peningkatan Permeabilitas
Global13)
✓ Kenali proses perjalanan penyakit kritis pasien
berdasarkan konsep ‘Three Hit” dan tentukan
apakah kondisi pasien membutuhkan tata laksana
resusitasi atau deresusitasi.
Colin Cordeman dan Manu Malbrain sejak tahun 2012
mengusulkan konsep “Three Hit” dalam tata laksana cairan
pada sakit kritis. Dalam tulisannya diperkenalkan juga istilah
baru yaitu GIPS (Global Increased Permeability Syndrome)
yang sebenarnya manifestasi dalam praktek klinis sehari-hari
adalah edema anasarka. Kondisi ini disebabkan oleh suatu
proses perjalanan penyakit dan atau akibat intervensi medis,
khususnya resusitasi cairan yang digambarkan dalam
perjalanan waktu sebagai berikut:
FIRST HIT:
Kondisi ini terjadi dalam kurun 6 jam di mana suatu
kejadian baik itu trauma, infeksi, luka bakar, sepsis, atau
perdarahan akan memicu respon tubuh secara sistemik yang
disebut SIRS (systemic inflammatory response syndrome)
berupa gejala demam, takikardia, takipnea, atau leukositosis.
SIRS adalah kumpulan gejala yang terjadi akibat
dikeluarkannya mediator inflamasi oleh tubuh berupa sitokin
proinflamasi, aktivasi RES, dan radikal bebas oksigen akibat
suatu insult. Respon tubuh ini sebenarnya bersifat normal
35
jika ada pencetus karena respon imun tubuh berfungsi
mempertahankan homestasis dengan cara membunuh bakteri
yang masuk ke tubuh atau menutup luka bila ada kerusakan.
Namun yang berbahaya jika terjadi overshoot production
yang mana mediator ini tidak terkendali sehingga produksi
berlebihan dan menyebabkan keadaan sebaliknya yang
disebut senjata makan tuan atau “autodigest” dimana
mediator ini malah merusak sel organ tubuh. Pada mulanya
terjadi gangguan mikrosirkulasi berupa vasodilatasi
pembuluh darah, kebocoran kapiler dan hilangnya
kemampuan autoregulasi tubuh akibat vasodilatasi sistemik
ini. Keadaan ini disebut sebagai syok distributif atau “fase
Ebb” secara klinis terjadi hipotensi/hipovolemia/oligouria,
depresi miokard (septic heart), dan pembentukan edema
interstitial sehingga terjadi hipoksia jaringan yang ditandai
dengan meningkatnya kadar laktat darah.
36
37
Gambar 8. Konsep Three hit dan sindrom peningkatan permeabilitas global
SECOND HIT:
Pada fase ini (dalam kurun 6 jam) dapat terjadi pula
disfungsi organ atau MODS (Multi Organ Dysfunction
Syndrome) yang disebut sebagai second hit seperti;
1. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) yaitu
penurunan rasio PaO2/FiO2 dan peningkatan Extra
Vascular Lung Water (EVLW) atau perselubungan difus
pada rontgen toraks.
2. Acute Bowel Injury berupa terjadinya Abdominal
Compartment Syndrome (ACS) akibat Intra Abdominal
Hypertension (IAH).
3. Acute Kidney Injury (AKI) berupa peningkatan serum
kreatinin dan oliguria.
4. Liver failure ditandai dengan hiperbilirubinemia.
5. Nervous system failure seperti penurunan kesadaran
(encephalopathy).
Pada fase ini anjuran tata laksana adalah pemberian cairan
(fluid resuscitation) namun jika sudah terjadi disfungsi organ
atau second hit maka lakukan terapi cairan konservatif
dengan balans keseimbangan cairan nol (equilibrium).
38
THIRD HIT:
Setelah melewati fase second hit maka dapat terjadi dua
kondisi dimana kondisi bergantung kepada respon atau
komorbiditas pasien, yakni:
1. Syok perbaikan, terjadi homeostasis metabolisme sitokin
sistemik, penutupan kebocoran kapiler sehingga terjadi
pengisian kembali intravaskular dari interstitial dan
terjadi perbaikan hemodinamik dan fungsi ginjal. Jika ini
berlanjut terus maka pasien memasuki fase flow yaitu
terjadi mobilisasi cairan dalam tubuh berupa peningkatan
diuresis, edema clearance, penurunan EVLW dan
weaning ventilation.
2. Syok perburukan, terjadi pelepasan sitokin pro-inflamasi
lebih banyak dibanding sitokin anti-inflamasi maka,
terjadi kebocoran kapiler menetap sehingga
menyebabkan kegagalan fungsi organ yang lebih berat
disebut sebagai GIPS (Global Increased Permeability
Syndrome) dan fase ini dikenal sebagai fase Third Hit.
GIPS dapat berupa edema perifer (anasarca), edema
otak, edema paru (ARDS), edema usus (ACS) dan edema
ginjal (AKI). Pemilihan terapi pada kondisi ini adalah
secara aktif melakukan evakuasi cairan (fluid removal)
baik secara medikasi menggunakan obat-obatan seperti
furosemide dan albumin atau secara mekanik
menggunakan Renal Replacement Therapy (RRT). Pada
39
kondisi ini pemberian cairan adalah toksik dan target
monitoring keseimbangan cairan adalah balans negatif.
40
Bila dinilai ada kontaminasi terhadap kulit/mukosa maka
perlu dinilai apakah karantina perlu dilakukan. Setelah
melepas APD, orang tersebut harus melalui shower dan
melakukan disinfeksi oral, nasal, dan kanal auditori
eksternal.
d. Setting ventilasi mekanik juga harus menerapkan
kewaspadaan kontak saat memegang alat-alat untuk
menghantarkan oksigen (nasal kanul, sungkup muka
sederhana, sungkup dengan kantong reservoir) yang
terkontaminasi dalam pengawasan atau terbukti terinfeksi
COVID-19.
e. Semua perangkat jalan napas yang telah digunakan harus
dikumpulkan dalam kantong bersegel ganda dan
menggunakan desinfeksi yang tepat dalam proses
pembuangan.
f. Pembersihan dan disinfeksi yang tepat pada bagian
permukaan peralatan dan lingkungan adalah wajib untuk
mengurangi resiko penularan melalui kontak tidak langsung.
41
DAFTAR PUSTAKA
42
9. Levy M. Mitchell, Evans E. Laura, Rhodes Andrew. The
Surviving Sepsis Campaign Bundle: 2018 Update. Intensive Care
Med (2018) 44:925–928
10. Jean-Louis Vincent. Critical Care Medicine. 2009. Elsevier
11. George et al. Buku Pedoman Tata Laksana Medis ICU. Edisi 2.
JCCA dan Perdatin Jaya. 2019
12. Goldstein S et al. Pharmacological Management of Fluid
Overload. 2014. British journal Of Anaesthesia 113 (5): 756–63
13. Cordemans et al. Fluid Management in Critically Ill Patients: The
Role of Extravascular Lung Water, Abdominal Hypertensin,
Capillary Leak, Fluid Balance. Annals of Intensive Care 2012, 2
(Suppl 1):51.
43