Anda di halaman 1dari 32

Yusnita Sastrowiryo Blog's

Sabtu, 05 Mei 2012


Gerakan Non Blok (Kwn)

I.                Sejarah Gerakan Non-Blok


Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955 merupakan proses
awal lahirnya GNB. KAA
I.                Sejarah Gerakan Non-Blok
Konferensi Asia-Afrika (KAA) di Bandung tahun 1955 merupakan proses
awal lahirnya GNB. KAA diselenggarakan pada tanggal 18-24 April 1955 dan
dihadiri oleh 29 Kepala Negara dan Kepala Pemerintah dari benua Asia dan
Afrika yang baru saja mencapai kemerdekaannya. KAA ditujukan untuk
mengidentifikasi dan mendalami masalah-masalah dunia waktu itu dan
berupaya menformulasikan kebijakan bersama negara-negara baru tersebut pada
tataran hubungan internasional. KAA menyepakati ’Dasa Sila Bandung’ yang
dirumuskan sebagai prinsip-prinsip dasar bagi penyelenggaraan hubungan dan
kerjasama antara bangsa-bangsa. Sejak saat itu proses pendirian GNB semakin
mendekati kenyataan, dan dalam proses ini tokoh-tokoh yang memegang peran
kunci sejak awal adalah Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser, Presiden Ghana
Kwame Nkrumah, Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, Presiden Indonesia
Soekarno, dan Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito. Kelima tokoh dunia ini
kemudian dikenal sebagai para pendiri GNB.

GNB berdiri saat diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) I


GNB di Beograd, Yugoslavia, 1-6 September 1961. KTT I GNB dihadiri oleh
25 negara yakni Afghanistan, Algeria, Yeman, Myanmar, Cambodia, Srilanka,
Congo, Cuba, Cyprus, Mesir, Ethiopia, Ghana, Guinea, India, Indonesia, Iraq,
Lebanon, Mali, Morocco, Nepal, Arab Saudi, Somalia, Sudan, Suriah, Tunisia
dan Yugoslavia. Dalam KTT I tersebut, negara-negara pendiri GNB ini
berketetapan untuk mendirikan suatu gerakan dan bukan suatu organisasi untuk
menghindarkan diri dari implikasi birokratik dalam membangun upaya
kerjasama di antara mereka. Pada KTT I juga ditegaskan bahwa GNB tidak
diarahkan pada suatu peran pasif dalam politik internasional, tetapi untuk
memformulasikan posisi sendiri secara independen yang merefleksikan
kepentingan negara-negara anggotanya.

GNB menempati posisi khusus dalam politik luar negeri Indonesia karena
Indonesia sejak awal memiliki peran sentral dalam pendirian GNB. KAA tahun
1955 yang diselenggarakan di Bandung dan menghasilkan ‘Dasa Sila Bandung’
yang menjadi prinsip-prinsip utama GNB, merupakan bukti peran dan
kontribusi penting Indonesia dalam mengawali pendirian GNB. Secara khusus,
Presiden Soekarno juga diakui sebagai tokoh penggagas dan pendiri GNB.
Indonesia menilai penting GNB tidak sekedar dari peran yang selama ini
dikontribusikan, tetapi terlebih-lebih mengingat prinsip dan tujuan GNB
merupakan refleksi dari perjuangan dan tujuan kebangsaan Indonesia
sebagaimana tertuang dalam UUD 1945.  
II. Tujuan GNB
         

Tujuan GNB mencakup dua hal, yaitu tujuan ke dalam dan ke luar.
1.     Tujuan ke dalam, yaitu mengusahakan kemajuan dan pengembangan ekonomi,
sosial, dan politik yang jauh tertinggal dari negara maju.
2.     Tujuan ke luar, yaitu berusaha meredakan ketegangan antara blok Barat dan
blok Timur menuju perdamaian dan keamanan dunia.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut, negara-negara Non blok
menyelenggarakan konferensi tingkat tinggi (KTT). Pokokpembicaraan utama
adalah membahas persoalan-persoalan yang berhubungan dengan tujuan Non
blok dan ikut mencari solusi terbaik terhadap peristiwa-peristiwa intemasional
yang membahayakan perdamaian dan keamanan dunia.
Tujuan utama GNB semula difokuskan pada upaya dukungan bagi hak
menentukan nasib sendiri, kemerdekaan nasional, kedaulatan dan integritas
nasional negara-negara anggota. Tujuan penting lainnya adalah penentangan
terhadap apartheid; tidak memihak pada pakta militer multilateral; perjuangan
menentang segala bentuk dan manifestasi imperialisme; perjuangan menentang
kolonialisme,  neo-kolonialisme, rasisme, pendudukan dan dominasi asing;
perlucutan senjata; tidak mencampuri urusan dalam negeri negara lain dan
hidup berdampingan secara damai; penolakan terhadap penggunaan atau
ancaman kekuatan dalam hubungan internasional; pembangunan ekonomi-sosial
dan restrukturisasi sistem perekonomian internasional; serta kerjasama
internasional berdasarkan persamaan hak. Sejak pertengahan 1970-an, isu-isu
ekonomi mulai menjadi perhatian utama negara-negara anggota GNB. Untuk
itu, GNB dan Kelompok 77 (Group of 77/G-77) telah mengadakan serangkaian
pertemuan guna membahas masalah-masalah ekonomi dunia dan pembentukan
Tata Ekonomi Dunia Baru (New International Economic Order).
Menyusul runtuhnya Tembok Berlin pada tahun 1989 dan kekuatan militer-
politik komunisme di Eropa Timur, muncul perdebatan mengenai relevansi,
manfaat dan keberadaan GNB. Muncul pendapat yang menyatakan bahwa
dengan berakhirnya sistem bipolar, eksistensi GNB telah tidak bermakna.
Namun, sebagian besar negara mengusulkan agar GNB menyalurkan energinya
untuk menghadapi tantangan-tantangan baru dunia pasca Perang Dingin, di
mana ketegangan Utara-Selatan kembali mengemuka dan jurang pemisah antara
negara maju dan negara berkembang menjadi krisis dalam hubungan
internasional. Perhatian GNB pada masalah-masalah terkait dengan
pembangunan ekonomi negara berkembang, pengentasan kemiskinan dan
lingkungan hidup, telah menjadi fokus perjuangan GNB di berbagai forum
internasional pada dekade 90-an.   

III. Prinsip dasar Non-Blok


    

Non-Blok didirikan berdasarkan prinsip-prinsip dasar yang disepakati dalam


Konferensi Tingkat Tinggi Asia-Afrika yang dikenal dengan sebutan Dasasila
Bandung pada bulan April 1955 di Bandung (Inodesia). Substansi Dasasila
Bandung berisi tentang “pernyataan mengenai dukungan bagi kedamaian
dan kerja sama dunia”. Dasasila Bandung memasukkan prinsip-prinsip dalam
Piagam PBB dan prinsip-prinsip Nehru, sebagai berikut :

1)    Menghormati hak-hak dasar manusia dan tujuan-tujuan serta asa-asa yang
termuat didalam piagam PBB.
2)    Menghormati kedaulatan dan integritas teritorial semua bangsa.
3)    Mengakui persamaan semua suku bangsa dan persamaan semua bangsa, besar
maupun kecil.
4)    Tidak melakukan campur tangan atau intervensi dalam persoalan-persoalan
dalam negeri negara lain.
5)    Menghormati hak setiap bangsa untuk mempertahankan diri sendiri secara
individu maupun secara kolektif, yang sesuai dengan Piagam PBB.
6)    (aTidak menggunakan peraturan-peraturan dan pertahanan kolektif untuk
bertindak bagi kepentingan khusus dari salah satu negara-negara besar, (b)
Tidak melakukan campur tangan terhadap negara lain.
7)    Tidak melakukan tindakan ataupun ancaman agresi maupun penggunaan
kekerasan terhadap integritas territorial atau kemerdekaan politik suatu Negara.
8)    Menyelesaikan segala perselisihan internasional dengan cara damai, seperti
perundingan, persetujuan, arbitrase, atau penyelesaian masalah hokum, ataupun
lain-lain cara damai, menurut pilihan pihak-pihak yang bersangkutan, yang
sesuai dengan Piagam PBB.
9)    Memajukan kepentingan bersama dan kerja sama.
10)     Menghormati hukum dan kewajiban-kewajiban internasional.

IV. Pendiri gerakan Non-Blok


    
Gerakan Non-Blok (GNB) (bahasa Inggris: Non-Aligned
Movement/NAM) adalah suatu organisasi internasional yang terdiri dari lebih
dari 100 negara-negara yang tidak menganggap dirinya beraliansi dengan atau
terhadap blok kekuatan besar apapun. Tujuan dari organisasi ini, seperti yang
tercantum dalam Deklarasi Havana tahun 1979, adalah untuk menjamin
“kemerdekaan, kedaulatan, integritas teritorial, dan keamanan dari negara-
negara nonblok” dalam perjuangan mereka menentang imperialisme,
kolonialisme, neo-kolonialisme, apartheid, zionisme, rasisme dan segala bentuk
agresi militer, pendudukan, dominasi, interferensi atau hegemoni dan
menentang segala bentuk blok politik.[1] Mereka merepresentasikan 55 persen
penduduk dunia dan hampir 2/3 keangotaan PBB. Negara-negara yang telah
menyelenggarakan konferensi tingkat tinggi (KTT) Non-Blok termasuk
Yugoslavia, Mesir, Zambia, Aljazair, Sri Lanka, Kuba, India, Zimbabwe,
Indonesia, Kolombia, Afrika Selatan dan Malaysia.

Anggota-anggota penting di antaranya Yugoslavia, India, Mesir, Indonesia,


Pakistan, Kuba, Kolombia, Venezuela, Afrika Selatan, Iran, Malaysia, dan
untuk suatu masa, Republik Rakyat Cina. Meskipun organisasi ini dimaksudkan
untuk menjadi aliansi yang dekat seperti NATO atau Pakta Warsawa, negara-
negara anggotanya tidak pernah mempunyai kedekatan yang diinginkan dan
banyak anggotanya yang akhirnya diajak beraliansi salah satu negara-negara
adidaya tersebut. Misalnya, Kuba mempunyai hubungan yang dekat dengan Uni
Soviet pada masa Perang Dingin. Atau India yang bersekutu dengan Uni Soviet
untuk melawan Tiongkok selama beberapa tahun. Lebih buruk lagi, beberapa
anggota bahkan terlibat konflik dengan anggota lainnya, seperti misalnya
konflik antara India dengan Pakistan, Iran dengan Irak. Gerakan ini sempat
terpecah pada saat Uni Soviet menginvasi Afganistan pada tahun 1979. Ketika
itu, seluruh sekutu Soviet mendukung invasi sementara anggota GNB, terutama
negara dengan mayoritas muslim, tidak mungkin melakukan hal yang sama
untuk Afghanistan akibat adanya perjanjian nonintervensi.

V. Anggota Gerakan Non-Blok


         

Pasca Perang Dunia II muncul dua blok raksasa dunia, yaitu blok Barat
dan blok Timur. Blok Barat yang berhaluan liberalis dan kapitalis dipimpin
Amerika Serikat, dengan anggotanya Inggris, Prancis, Belanda, Italia, Jerman
Barat, Kanada, Belgia, Australia, Norwegia, Turki, Yunani, dan Portugal. Blok
Timur yang berhaluan komunis dipimpin Uni Soviet dengan anggota, seperti
Polandia, Jerman Timur, Hongaria, Bulgaria, Rumania, Cekoslowakia, dan
Albania.
Blok Barat dan blok Timur selalu terlibat dalam ketegangan yang
berlanjut pada “perang dingin”. Ketegangan tersebut disebabkan adanya
perbedaan ideologi, saling berlomba senjata nuklir, perluasan lingkungan dan
rivalitas blok melalui pembentukan pakta milker yang dapat mengancam
perdamaian dan keamanan dunia.
Untuk meredakan ketegangan di antara dua blok, negara-negara yang
cinta damai mengupayakan berbagai pertemuan untuk mencari solusi terbaik
guna mewujudkan perdamaian dan keamanan dunia. Pada tahun 1955 beberapa
negara Asia dan Afrika mengikuti Konferensi Asia-Afrika di Bandung.
Demikian juga pada tahun 1956, negara wan Yugoslavia, Indonesia dan India
melakukan pertemuan di Pulau Brioni (Yugoslavia) yang mencetuskan ide
pembentukan Gerakan Negara-negara Non blok.
Gerakan Non blok merupakan wadah negara-negara yang tidak memasuki
blok Barat ataupun blok Timur. Gerakan Non blok tidak diartikan sebagai
netralisme, tetapi aktif sebagai subjek yang ikut berperan dalam menghadapi
peristiwa-peristiwa internasional. Negara-negara Non blok tidak ingin dijadikan
obyek kepentingan dua raksasa dunia dalam pergolakan politik internasional.
Negara-negara ini pun tidak mau diombang-ambingkan dua ideologi raksasa
yang sedang berlomba berebut pengaruh.
Tokoh-tokoh yang dianggap sebagai pemrakarsa berdirinya Non blok lebih
dikenal sebagai The Initiative of Five, yaitu
1. Presiden Soekarno (Indonesia),
2. Presiden Yosep Broz Tito (Yugoslavia),
3. Presiden Gamal Abdul Nasser (Mesir),
4. Perdana Menteri Pandit Jawaharlal Nehru (India),
5. Perdana Menteri Kwame Nkrumah (Ghana).

Sekretaris Jendral Gerakan Non-Blok


Nama Asal Negara Mulai Akhir
Josip Broz Tito  Yugoslavia 1961 1964
Gamal Abdel Nasser  Mesir 1964 1970
Kenneth Kaunda  Zambia 1970 1973
HouariBoumédienne  Aljazair 1973 1976
William Gopallawa  Sri Lanka 1976 1978
Junius Richard Jayewardene  Sri Lanka 1978 1979
Fidel Castro  Kuba 1979 1983
N. Sanjiva Reddy  India 1983 1982
Zail Singh  India 1982 1986
Robert Mugabe  Zimbabwe 1986 1989
JanezDrnovšek  Yugoslavia 1989 1990
Stipe Mesić  Yugoslavia 1991 1991
BrankoKostić  Yugoslavia 1991 1992
DobricaĆosić  Yugoslavia 1992 1992
Suharto  Indonesia 1992 1995
Ernesto Samper Pizano  Kolombia 1995 1998
Andrés PastranaArango  Kolombia 1998 1998
Nelson Mandela  Afrika Selatan 1998 1999
Thabo Mbeki  Afrika Selatan 1999 2003
Datuk Seri Mahathir bin Mohammad  Malaysia 2003 2003
Datuk Seri Abdullah Ahmad Badawi  Malaysia 2003 2006
Fidel Castro  Kuba 2008
Raúl Castro  Kuba 2008 2009
Hosni Mubarak  Mesir 2009 2011
Mohamed Hussein Tantawi  Mesir 2011 sekarang

VI. Kegiatan GNB & KTT Gerakan Non Blok


    

Digelar

Logo KTT Gerakan Non Blok di Mesir 2009

KTT Gerakan Non Blok ke-15 digelar di Sharm el Sheik, Mesir, tanggal
15 dan 16 Juli ini. Lebih dari 50 pemimpin negara berkembang membicarakan
tindakan mengatasi krisis ekonomi global guna mencegah terulangnya krisis.

Dunia memerlukan sistem keuangan yang lebih adil terhadap negara


berkembang, demikian disepakati para pemimpin negara dalam Konferensi
Tingkat Tinggi Gerakan Non Blok di Sharm el Sheik, Mesir, hari Rabu (15/07).
Dalam kesempatan itu, Presiden Kuba Raul Castro mengatakan bahwa
negara berkembanglah yang paling menderita akibat krisis keuangan. “Dan
seperti biasanya, negara kaya merupakan penyebab krisis, yang dipengaruhi
oleh kebijakan ekonomi internasional yang tidak logis, yang tergantung pada
prinsip pasar buta dan konsumsi, dan kekayaan pihak tertentu,“ tambah Castro.
Castro juga menyerukan dibentuknya “sistem ekonomi berimbang“.
Krisis keuangan global juga berdampak buruk pada Kuba. Negara kecil di
kepulauan Karibia itu mengalami penurunan produksi dalam negeri dan
terpaksa menutup sejumlah pabriknya. Mesir juga mengalami hal mirip. “Kami
menghadapi bagian terbesar dampak krisis, tekanan dan penderitaannya,“
ungkap Presiden Mesir Hosni Mobarak. Mesir tahun ini mendapat giliran untuk
memimpin organisasi Gerakan Non Blok, setelah sejak tiga tahun lalu dipegang
oleh Kuba. 
“Kami menyerukan adanya sistem baru di bidang politik internasional, ekonomi
dan perdagangan. Sistem yang lebih berimbang supaya dapat mencegah
diskriminasi dan standar ganda, memenuhi kepentingan semua pihak,
mempedulikan negara berkembang, dan menciptakan perundingan demokratis
antara negara kaya dan miskin,“ demikian dikatakan Hosni Mobarak.
Sementara itu, Presiden Filipina Gloria Macapagal Arroyo, yang juga
hadir mengatakan, “Masalah yang menimpa kemanusiaan ini sangat parah.
Bukan saatnya lagi untuk menerapkan ideologi dengan kaku, sementara orang-
orang miskin semakin menderita.” Macapagal-Arroyo menambahkan, Gerakan
Non Blok dapat memberikan reaksi lebih baik dengan berbicara “satu suara”.
Pemimpin Libya Muammar Gaddafi juga memberikan pidato di depan
para pemimpin negara berkembang yang hadir di pertemuan puncak di Sharm el
Sheik. Gaddafi menyerukan Gerakan Non Blok untuk membentuk dewan
keamanan sendiri sebagai penyeimbang Dewan Keamanan PBB. Dikatakannya,
“Dewan Keamanan PBB tidak punya kekuasaan terhadap negara-negara terkuat
dunia.”
“Kita tidak punya akses menuju organisasi internasional, seperti Dewan
Keamanan PBB dan Dana Moneter Internasional,” demikian ditambahkan
Gaddafi. Menurut Gaddafi, Dewan Keamanan PBB hanya berfungsi untuk
anggota tetapnya. Sementara IMF, walau pun namanya internasional, IMF
hanya mendahulukan kepentingan kelompok tertentu.
Dalam pertemuan hari pertama KTT Non Blok di Sharm el Sheik,
kelompok Hamas Palestina mengeluarkan pernyataan tertulis mengimbau para
pemimpin negara untuk membantu mengakhiri blockade di Jalur Gaza. Presiden
Kuba Raul Castro menegaskan kembali dukungan Gerakan Non Blok terhadap
warga Palestina dan “negara Arab yang diduduki”. Castro mengatakan, masalah
ini tetap berada di agenda teratas Gerakan Non Blok. Konferensi Tingkat Tinggi
Gerakan Non Blok kali ini telah menjembatani komunikasi negara-negara yang
menghadapi ketegangan hubungan.
Perdana Menteri India Mahmohan Singh dan Perdana Menteri Pakistan
Yousouf Raza Gilani bertemu untuk membicarakan kemungkinan perundingan
damai. Menteri Luar Negeri India Shri Shivshankar Menon dan Menteri Luar
Negeri Pakistan Salman Bashir, hari Selasa (14/07), sudah bertemu untuk
membicarakan peristiwa serangan bom di Mumbai, November lalu. India
menuding kelompok militan Lashkar-e-Taiba dari Pakistan mendalangi
peristiwa tersebut.
Keanggotaan Gerakan Non Blok sejak berdirinya tahun 1961 bertambah
dengan pesat. Pertambahan gerakan ini dapat dilihat dari peserta setiap
konferensi tingkat tingkat tinggi yangdiadakanseperti:

KTT GNB I (1961)


Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Gerakan Non Blok (GNB) I
berlangsung di Beograd, Yugoslavia pada tanggal 6 September 1961. sekitar 23
negara sepakat menjadi anggota GNB dalam konferensi yang diprakarsai lima
pemimpin yang menjadi sponsor pendirian GNB itu adalah
• Presiden Soekarno (Indonesia)
• Presiden Gamal Abdul Naser (Mesir)
• Presiden Josep Broz Tito (Yugoslavia)
• PM Pandit Jawaharlal Nehru (India) dan
• Presiden Kwame Nkrumah (Ghana)
Tujuan KTT I ini guna mencetuskan prinsip politik bersama, yaitu bahwa
politik berdasarkan koeksistensi damai, bebas blok, tidak menjadi anggota
persekutuan militer dan bercita-cita melenyapkan kolonialisme dalam segala
bentuk dan manifestasi. KTT I ini merupakan kelanjutan dari KAA 1955 di
Bandung. Dalam konferensi rasa, bantuan untuk kemajuan dan perkembangan
serta perlucutan senjata. Pelaksanaan KTT I ini didorong oleh adanya krisis
Kuba. Konferensi ini dihadiri oleh 25 negara dan menghasilkan Deklarasi
Beograd yang intinya menyerukan untuk menghentikan perang dingin dan
mendamaikan antara Amerika Serikat dan UniSoviet.

KTT GNB II (1964)


KTT II ini diselenggarakan pada tanggal 5 – 10 Oktober 1964 di Kairo
Mesir, dipimpin oleh Presiden Gamal Abdul Naser. KTT ini dihadiri oleh 48
negara peserta dan 10 negara pengamatin imemberikan perhatian kepada
masalah-masalah ekonomi. Dalam KTT yang diselenggarakan dua kali ini mulai
tampak ada pertentangan antara kelompok negara modern dibawah pimpinan
Nehru dan kelompok negara radikal dipimpin oleh Soekarno dan Nkrumah.

KTT GNB III (1970)


KTT III diselenggarakan di Lusaka, Zambia pada tanggal 8 – 10
September 1970, dipimpin oleh Presiden Kenneth Kaunda. Tema pokok KTT
ini adalah permasalahan rezim resialis minoritas kulit putih di Afrika Selatan.
KTT ini dihadiri oleh 54 negara peserta dan 9 negara pengamat.

KTT GNB IV (1973)


KTT IV berlangsung pada tanggal 5 – 9 September 1973 di Algiers,
Aljazair dibawah pimpinan Presiden Houari Boumedienne. KTT terselenggara
pada saat hubungan kedua blok membaik. Tema pokok KTT IV ini adalah
masalah negara-negara melarat. KTT dihadiri oleh 75 negara peserta. Pengamat
terdiri atas organisasi gerakan kemerdekaan dan pembebasan Afrika Selatan dan
Amerika Latin.

KTT GNB V (1976)


KTT V dilaksanakan pada tanggal 16 – 19 Agustus 1976 di Colombo,
Srilanka dipimpin oleh PM Ny. Sirimavo Bandaranaike. KTT ini mempertegas
kepentingan negara-negara Non Blok yang dirugikan oleh tata ekonomi dunia
yang tidak adil, yang dapat mengancam perdamaian dunia. KTT ini juga
ditandai adanya persaingan antara sesama negara anggota Non Blok. India,
Indonesia dan Yugo berusaha mencegah timbulnya perpecahan di antara
mereka. Hasilnya dituangkan dalam “Deklrasi dan Program Aksi Colombo”
yang intinya antara lain: melanjutkan dan meningkatkan program Gerakan Non
Blok ke arah tata ekonomi dunia baru.

KTT GNB IV (1979)


KTT IV diselenggarakan di Havana, Cuba dipimpin oleh Presiden Fidel
Castro. KTT ini diselenggarakan pada tanggal 3 – 7 September 1979 ini dihadiri
oleh 94 negara peserta peninjau dari 20 negara dan 18 organisasi. KTT diliputi
oleh pertentangan antara kelompok moderat dan radikal, tetapi telah berhasil
merumuskan deklarasi politik yang berisi revolusi yang memperkuat prinsip-
prinsip Non Blok terhadap dominasi ekonomi asing yang merugikan negara
berkembang. Keanggotaan Kamboja belum dapat diselesaikan maka Kamboja
hadir sebagai peninjau

KTT GNB VII (1983)


KTT VII yang sedianya akan diselenggarakan di Bagdad pada bulan
September 1982 batal karena terjadi perang Irak – iran. Akhirnya
diselenggarakan di India pada tanggal 7 – 12 Maret 1983, dipimpin oleh PM.
Ny. Indira Gandhi. KTT ini dihadiri 101 negara dan memutuskan untuk
memberikan dukungan penuh bagi rakyat Afganistan untuk memutuskan
nasibnya sendiri, dengan sistem sosial ekonomi yang bebas dari campur tangan
asing.

KTT GNB VIII (1986)


KTT VIII diselenggarakan di Harare, Zimbabwe dipimpin oleh PM robert
Mugabe, pada 1 September 1986 – 6 September 1986 yang dihadiri oleh 101
negara. KTT tetap mendukung Afganistan dalam menentukan nasibnya sendiri
KTT GNB IX (1989)
KTT IX diselenggarakan pada tanggal 4 – 7 September 1989 di bawah
pimpinan Presiden Dr.JanesDrnovsek.KTTinidihadirioleh102negara. Dalam
KTT ini menetapkan bahwa untuk memperkuat setia kawan internasional dan
kerjasama bagi pembangunan alih teknologi adalah mutlak serta perlunya
dialog-dialog Selatan-Selatan. KTT juga membahas mengenai pelestarian
lingkungan hidup, yaitu menghindarkan pencemaran terhadap air, udara, dan
tanah serta menghindarkan perusakantanah dan pembabatan hutan.

KTT GNB X (1992)


KTT X diselenggarakan di Jakarta, Indonesia pada 1 September 1992 – 7
September 1992, dipimpin oleh Soeharto. KTT ini dihadiri oleh lebih dari 140
delegasi, 64 Kepala Negara. KTT ini menghasilkan “Pesan Jakarta” yang
mengungkapkan sikap GNB tentang berbagai masalah, seperti hak azasi
manusia, demokrasi dan kerjasama utara selatan dalam era pasca perang dingin.

Hasil KTT ini yang terpenting adalah :


• Hak azazi manusia dan kemerdekaan merupakan keabsahan universal dan
percaya bahwa kemajuan ekonomi serta sosial akan memudahkan tercapainya
semua sasaran. GNB menolak konsep mengenai hak asazi manusia dan
demokrasi yang didiktekan oleh negara tertentu atas negara lain.
• Prihatin atas beban hutang dari negara-negara berkembang.
• Mendesak dilakukannya pembaruan ekonomi dunia guna memperkuat
kemampuan PBB dalam meningkatkan kerjasama dan penggabungan
internasional
• Menyerukan pengalihan anggaran militer untuk memudahkan peningkatan
ekonomi, sosial dan negara-negara berkembang
• GNB memberikan perhatian terhadap masalah aparthid di Afrika Selatan di
samping mengutuk terhadap pembasmian etnis Bosnia.
• Menyambut baik hasil Pertemuan Puncak Bumi di Rio de Jeneiro tentang
lingkungan hidup dan pembangunan

KTT GNB XI (1995)


KTT XI diselenggarakan di Cartagena, Kolumbia yaitu Ernesto Samper
Pizano 18 Oktober 1995 – 20 Oktober 1995. Pada waktu pembukaan KTT,
dilakukan juga penyerahan ketua KTT sebelumnya yaitu dari Presiden Soeharto
ke Presiden Kolumbia. KTT ini dihadiri oleh 113 Negara yang bertujuan
memperjuangkan restrukturisasi dan demokratisasi di PBB.

KTT GNB XII (1998)


KTT XII diselenggarakan di Cairo Mesir pada tahun 2 September 1998 –
3 September 1998. KTT XI GNB ini dihadiri oleh 113 negara, bertujuan
memperjuangkan demokratisasi dalam hubungan internasional.

KTT GNB XIII (2003)


KTT XII diselenggarakan di Kuala Lumpur, Malaysia pada 20 Februari
2003 – 25 Februari 2003. Resolusi KTT GNB Kuala Lumpur antara lain berisi
penolakan tiga negara -- Iran, Irak dan Korea Utara , atas sebutan sebagai poros
kejahatan (axis of evil) oleh Washington.

KTT GNB XIV (2006)


KTT XIV diselenggarakan di Havana, Kuba 11 September 2006 – 16
September 2006. Menghasilkan deklarasi yang mengutuk serangan Israel atas
Lebanon, mendukung program nuklir Iran, mengritik kebijakan Negara
Amerika Serikat, dan menyerukan kepada PBB agar lebih berpihak kepada
negara kecil dan berkembang.

KTT GNB XV (2009)


KTT XIV diselenggarakan di Sharm El-Sheikh, Mesir tanggal 11-16 Juli
2009. Menghasilkan sebuah Final Document yang merupakan sikap, pandangan
dan posisi GNB tentang semua isu dan permasalahan internasional dewasa ini.
KTT ke-15 GNB menegaskan perhatian GNB atas krisis ekonomi dan moneter
global, perlunya komunitas internasional kembali pada komitmen menjunjung
prinsip-prinsip pada Piagam PBB, hukum internasional, peningkatan kerja sama
antara negara maju dan berkembang untuk mengatasi berbagai krisis saat ini.
Terkait dengan dampak negatif krisis moneter global terhadap negara-
negara berkembang, KTT ke-15 menegaskan pula perlunya GNB bekerja sama
lebih erat dengan Kelompok G-77 dan China. Suatu reformasi mendasar
terhadap sistem dan fondasi perekonomian dan moneter global perlu dilakukan
dengan memperkuat peran negara-negara berkembang dalam proses
pengambilan keputusan dan penguatan peran PBB.
KTT ke-15 GNB menyatakan bahwa GNB mendukung hak menentukan
sendiri bagi rakyat, termasuk rakyat di wilayah yang masih di bawah
pendudukan. Dalam konteks itu, GNB mendukung hak-hak rakyat Palestina
dalam menentukan nasibnya sendiri, untuk mendirikan negara Palestina
merdeka dan berdaulat dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kota, serta solusi
adil atas hak kembali pengungsi Palestina sesuai Resolusi PBB Nomor 194.
GNB juga menolak segala bentuk pembangunan permukiman Yahudi di Tepi
Barat dan Jerusalem Timur untuk tujuan mengubah peta demografis di dua
wilayah tersebut. GNB juga meminta Israel melaksanakan resolusi Dewan
Keamanan PBB dengan mundur dari Dataran Tinggi Golan hingga perbatasan 4
Juni 1967 dan mundur total dari sisa tanah Lebanon yang masih diduduki.
Konferensi Tingkat Menteri Gerakan Non-Blok ke 14
Dari tanggal 17 hingga 19 Agustus di Durban, Afrika
Selatan diadakan konferensi tingkat menteri Gerakan Non Blok ke 14.
Konferensi ini diadakan terutama untuk mempersiapkan KTT Gerakan Non
Blok ke 14 tahun depan serta perayaan peringatan 50 tahun gerakan itu di
Bandung. Sebab dulu di kota itulah diletakkan dasar Gerakan Non Blok yang
dapat dikatakan hingga sekarang sebagai organisasinya negara-negara miskin,
yang peranannya masih lemah di dalam menentukan arah politik dunia. Suatu
saat mungkin Gerakan Non Blok dapat lebih perkasa didalam menentukan arah
angin perpolitikan global dengan terlebih dahulu memperkuat secara ekonomi,
politik dan militer negara-negara anggotanya, karena tanpa semua itu GNB
masih berada dalam lingkaran setan keterbelakangan peran dan dibawah
bayang-bayang dari organisasi-organisasi
politik dari negara maju yang sedemikian dominasinya.

Dua produk pertama setelah berakhirnya Perang Dunia II adalah


"Perang Dingin" dan "Gerakan Non Blok". Produk ini muncul karena adanya
perang melawan kolonialisme dan rasisme serta tuntutan untuk mematuhi
Piagam PBB. Tahun 1955 atas inisiatif PM India Jawaharlal Nehru 24 tokoh
politik dari negara Asia dan Afrika melakukan pertemuan di Bandung.
Pertemuan ini dalam sejarah dikenal sebagai Konferensi Asia-Afrika, yang
dipimpin oleh tuan rumah Presiden Soekarno dan Presiden Mesir Gamal Abdel
Nasser. Sebagai pelopor sebuah kelompok alternative dalam politik dunia yang
penting ketika itu, Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito juga mendukung
gerakan ini. Pada pertemuan tahun 1956 di Yugoslavia dan 1961 di Kairo
mereka mempersiapkan konferensi negara Non Blok pertama yang kemudian
diselenggarakan bulan September 1961 di Beograd. Dalam menghadapi
persenjataan atom AS, Uni Sovyet, Inggris dan Perancis, yang satu tahun
kemudian diikuti oleh Republik Rakyat Cina, konferensi itu diakhiri dengan
sebuah seruan pembatasan senjata.
Kemerdekaan dan koeksistensi damai antara system masyarakat yang
berbeda merupakan tujuan politik dan ideologi Gerakan Non Blok. Para anggota
pendiri serta anggota baru sepakat untuk bekerja tanpa kedudukan, tanpa status
formal dan tanpa agenda. Kepala Negara atau perdana menteri negara tuan
rumah yang saat itu menjabat sekaligus menjadi ketua. Tugas sehari-hari
dilakukan menteri luar negerinya dan wakil di PBB. Alasannya, dengan rotasi
yang selalu dilakukan, orang luar juga dapat mengamati karakter dari gerakan
ini. Periode sidang PBB yang teratur menawarkan waktu dan ruang yang cukup.
Seluruh keperluan administratif dan
politik dari Gerakan Non Blok diatur di New York.

Sejak runtuhnya Uni Sovyet, Gerakan Non Blok kehilangan


pengaruhnya dalam perkembangan politik dunia. Selain Negara ambang industri
seperti India dan Cina, gerakan ini menjadi kelompok negara miskin di dunia
yang beranggotakan 114 negara. Keanggotaan Yugoslavia sejak 1992 untuk
sementara dihentikan. Meski demikian negara-negara itu tetap mempertahankan
organisasi dan tujuan mereka. Kali ini Afrika Selatan mengundang anggota
organisasi itu untuk melakukan konfrensi tingkat menteri di Durban dari tanggal
17 hingga 19 Agustus mendatang. Kemudian dilanjutkan dengan konferensi
tingkat pemerintahan untuk melakukan persiapan bagi penyelenggaraan
Konferensi Asia-Afrika kedua tahun 2005 di Bandung yang diselenggarakan
bersamaan waktunya dengan KTT Gerakan Non Blok ke 14.

Gerakan Non-Blok: Salah Satu Fokus Kebijakan Luar


Negeri Indonesia
Berbicara mengenai relevansi Gerakan Non-Blok sebagai salah satu fokus
kebijakan luar negeri Indonesia sejatinya dirasakan sebagai sebuah retorika.
Pasalnya, apapun perkembangan dunia yang terjadi sampai saat ini,

GNB bukan mustahil akan selalu eksis di antara negara anggotanya.


Ditambah lagi, GNB memiliki 118 negara anggota sekaligus menjadi kelompok
negara berkembang terbesar di di dunia. Bahkan, bisa meluaskan kerjasamanya
ke negara-negara lain yang bukan anggota seperti Rusia.
Meski terkesan retoris, eksistensi GNB bagi Indonesia kini bukannya
tidak dapat dijelaskan. Ada beberapa angle yang bisa diambil untuk
mengemukakan alasan mengenai pertanyaan seputar relevansi GNB seperti
pada uraian berikut.
Konferensi Asia-Afrika di Bandung tahun 1955 merupakan proses awal
lahirnya GNB. Dalam KAA ini, dihasilkan Dasa Sila Bandung sebagai rumusan
prinsip-prinsip dasar bagi penyelenggaraan hubungan dan kerjasama antara
negara anggota. Tujuan awal GNB untuk mengidentifikasi dan mendalami
masalah-masalah dunia di waktu itu dan berupaya menformulasikan kebijakan
bersama negara-negara Asia dan Afrika yang baru merdeka pada tataran
hubungan internasional. Presiden Soekarno merupakan salah satu pendiri GNB
selain Presiden Mesir Gamal Abdul Nasser, Presiden Ghana Kwame Nkrumah,
Perdana Menteri India Jawaharlal Nehru, dan Presiden Yugoslavia Josip Broz
Tito. Pada KTT I GNB di Beograd Yugoslavia tanggal 1-6 September 1961,
ditegaskan bahwa GNB tidak diarahkan pada peran pasif dalam politik
internasional, tetapi menempatkan negara secara independen sesuai kepentingan
masing-masing negara anggota.
Oleh karenanya, GNB masih relevan dalam kebijakan luar negeri
Indonesia karena dari latar belakang sejarah ini, terlihat peran dan kontribusi
penting negara Indonesia dalam mendirikan GNB. Prinsip dasar GNB sejalan
pula dengan kepentingan nasional Indonesia dalam menciptakan perdamaian
dunia seperti yang termuat dalam pembukaan UUD 1945. Bahkan, menurut
Jospeh Frankel, kepentingan nasional haruslah menjadi konsep kunci dalam
setiap kebijakan luar negeri sebuah negara. Jadi, sayang dan kurang tepat
rasanya jika kita menanggalkan GNB dalam kebijakan luar negeri Indonesia.
Relevan untuk Semua Negara Anggota
Prinsip dasar GNB dapat diaplikasikan pada rentang waktu yang tidak
terbatas karena menyoal kepada peran aktif negara dalam politik internasional.
Sebagai contoh, visi GNB dapat diperbarui untuk mengarah kepada kerjasama
ekonomi internasional dan peningkatan potensi ekonomi anggota GNB. Pun,
masalah-masalah yang diperhatikan GNB dapat lebih meluas saat ini karena
adanya isu-isu keamanan non tradisional seperti kemiskinan, lingkungan hidup,
dan teknologi informasi dan komunikasi, serta terorisme. Semuanya inilah yang
perlu selalu dimasukkan dalam visi baru GNB sehingga dengan demikian,
relevansi GNB di era sekarang tetap terlihat. Misalnya, yang ingin dibahas
dalam KTT XIII GNB tahun 2003 di Kuala Lumpur adalah mengenai aspek-
aspek revitalisasi GNB seperti penerapan transparansi dalam proses
pengambilan keputusan, peningkatan peran aktif Ketua GNB dalam proses
penataan dunia yang adil dan damai, perbaikan mekanisme dalam
menyelesaikan konflik internal antar anggota, dan melindungi negara anggota
dari tekanan eksternal, serta menciptakan strategi jangka panjang, pendek, dan
menengah sehingga peran GNB pada tingkat global akan terus relevan.
Nihal Rodrigo, Sekretaris Jenderal South Asian Association for Regional
Cooperation (SAARC) menyatakan bahwa GNB masih relevan sampai
sekarang karena sudah memiliki karakter politik sendiri dan kedudukannya
sudah kuat. Gerakan Non-Blok merupakan kekuatan multipolar dan senantiasa
menolak sistem bipolar yang merupakan ideologi utama semasa Perang Dingin
berlangsung. Saat ini, ada beberapa perubahan yang dirasakan perlu
menyangkut visi dan program GNB pasca perang Dingin, namun tidak sampai
membuat relevansi GNB berkurang. Bahkan, keanggotan semakin bertambah
dengan bergabungnya negara-negara yang baru merdeka di Afrika.
Peran GNB Semakin Luas
Selama masa Perang Dingin dan awal pembentukan GNB, keamanan
tradisional adalah isu utama yang menonjol. Namun setelahnya hingga saat ini,
isu ini mulai teralihkan kepada keamanan non-tradisional atau keamanan yang
tidak mencakup isu militer. Misalnya, lingkungan hidup dan perubahan iklim,
ketersediaan sumber daya alam, migrasi illegal, perdangan manusia dan obat
terlarang, kesehatan manusia, dan bahkan kesenjangan ekonomi antara negara
berkembang dengan negara maju.
Kini, setiap negara khususnya negara berkembang berusaha untuk
mengatasi kesenjangan terhadap negara-negara maju. Salah satu caranya,
dengan meraih Millenium Development Goals yang tak hanya bergerak di
bidang ekonomi seperti pengentasan kemiskinan, tapi juga kesehatan seperti
peningkatan kualitas gizi ibu dan anak-anak. Hal ini sejalan dengan hasil KTT
XIV GNB di Havana tahun 2006 yang merumuskan “Declaration on The
Purposes and Principles and The Role of The Non-Aligned Movement in The
Present International Juncture”, khususnya dalam Dokumen I bagian 8q:
To respond to the challenges and to take advantage of the opportunities arising
from globalization and interdependence with creativity and a sense of identity
in order to ensure its benefits to all countries, particularly those most affected
by underdevelopment and poverty, with a view to gradually reducing the
abysmal gap between the developed and developing countries.
Dalam KTT Havana ini juga, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
memberikan pernyataannya mengenai upaya negara berkembang dalam
meningkatkan perekonomian. Sebab, masalah-masalah kemanusiaan akan dapat
diatasi jika kesejahteraan masyarakat tercapai sementara di Indonesia dan
negara-negara berkembang lainnya, masih banyak rakyat yang hidup miskin.
Presiden dalam kesempatan ini juga menyatakan agar negara maju dan kaya
hendaknya lebih ramah dalam membantu negara berkembang, termasuk
meningkatkan investasi, bertukar pengetahuan dan teknologi. Termasuk juga
negara maju diharapkan mau membuka pasarnya untuk menerima impor barang
dan hasil pertanian dari negara berkembang. Dan untuk negara-negara
berkembang. Presiden Susilo mengingatkan bahwa masih banyak pencapaian
yang harus dilakukan. Seperti melawan korupsi, memperbaiki sistem
pemerintahan, mengolah sumber daya alam, dan meningkatkan kualitas
pendidikan.
Usaha GNB dalam mewujudkannya diakui pula oleh Sekretaris Jenderal
Kofi Annan yang menyebutkan data bahwa kawasan Selatan-Selatan mengalami
pertumbuhan tingkat perdagangan sebanyak 2 kali lipat usai KTT GNB di
Havana.
Gerakan Non-Blok dan Rusia: Sebuah Peluang Bagi Indonesia
Rusia kini tengah berupaya menjalin kerjasama dengan GNB atas dasar
pertimbangan agenda internasional yang sama. Antara lain dalam menjaga
perdamaian dan keamanan, perlucutan senjata dan non-proliferasi nuklir,
termasuk fokus pada prospek hubungan dengan negara-negara Timur Tengah,
serta persamaan keinginan untuk melakukan reformasi terhadap Dewan
Keamanan PBB dan atas kebijakan luar negerinya yang terlalu didominasi oleh
Amerika Serikat. Hal ini disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Rusia Sergey
Lavrov dalam pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Mesir Ahmad Abu-al-
Ghayt, Menteri Luar Negeri Iran Manuchehr Mottaki, dan Menteri Luar Negeri
Kuba Bruno Rodriguez dalam perayaan Majelis Umum PBB ke-64.
Dengan kerjasama ini, diharapkan dapat membawa dampak yang
menguntungkan bagi negara-negara anggota GNB termasuk Indonesia. Apalagi,
hubungan Jakarta-Moskow sebelumnya pun sudah terjalin dengan baik. Tetapi,
dengan partisipasi Rusia dalam GNB maka dapat berimbas kepada peningkatan
kerjasama antara Indonesia-Rusia, baik di bawah hubungan bilateral kedua
negara maupun di bawah payung GNB.
Sebagai contoh, memerangi terorisme merupakan tujuan bersama ketiga
pihak. Khusus untuk Indonesia dan Rusia, pertemuan pertama Kelompok Kerja
RI-Rusia mengenai Pemberantasan Terorisme telah dilakukan pada tanggal 22
November 2010 di Moskow. Adapun kerjasama ini didasari oleh kemiripan
pandangan dan kebijakan dalam menangani terorisme yang dimiliki Rusia-
Indonesia sehingga dapat memperkuat kesepakatan pengembangan kerjasama
lewat forum diskusi, latihan bersama, dan peningkatan teknologi informasi.
Sementara itu, kerjasama internasional yang tidak kalah pentingnya bagi
Indonesia dalam penanganan terorisme juga adalah melalui Gerakan Non Blok.
Dalam hal ini, GNB menjadi wadah untuk mengidentifikasi permasalahan dan
mencari solusi yang akurat dan pragmatis. Sejak insiden serangan bom terbaru
di Indonesia di Hotel Ritz-Carlton dan JW Marriot tahun 2009, negara anggota
GNB berkomitmen untuk melawan terorisme sesuai dengan peran dalam
perdamaian dunia. Sehingga, para anggota GNB juga mendorong terbentuknya
rancangan konvensi komprehensif mengenai terorisme internasional sekaligus
mendorong terlaksananya Strategi Kontra Terorisme Global PBB.
Lebih lanjut, partisipasi Indonesia selama ini di GNB atas dasar kebijakan
luar negeri yang independen dan kebijakan ekonomi yang pragmatis ternyata
berdampak menguntungkan. Sebab, bersama negara India, Singapura, Malaysia,
Pakistan, Iran, Mesir, Afrika Selatan dan Chile, Indonesia berhasil menjalin
kerjasama dengan mengekspor barang ke Rusia dan bekerja sama juga di bidang
teknologi dan ilmu pengetahuan. Ini artinya, bahwa kerjasama Rusia dengan
GNB akan menambah aktif peran GNB dalam politik internasional sekaligus
akan mengaktifkan peran Indonesia pula secara tak langsung karena peran
Indonesia yang juga penting dalam GNB.
Dalam KTT GNB ke-10 di Jakarta, pada tahun 1992, sebagian besar
ketidakpastian dan keragu-raguan mengenai peran dan masa depan GNB
berhasil ditanggulangi. Pesan Jakarta, yang disepakati dalam KTT GNB ke-10
di Jakarta, adalah dokumen penting yang dihasilkan pada periode
kepemimpinan Indonesia dan memuat visi baru GNB, antara lain:

 Mengenai relevansi GNB setelah Perang Dingin dan meningkatkan


kerjasama konstruktif sebagai komponen integral hubungan internasional;
 Menekankan pada kerjasama ekonomi internasional dalam mengisi
kemerdekaan yang berhasil dicapai melalui perjuangan GNB
sebelumnya;
 Meningkatkan potensi ekonomi anggota GNB melalui peningkatan
kerjasama Selatan-Selatan.

    Selaku ketua GNB waktu itu, Indonesia juga “menghidupkan kembali dialog
konstruktif Utara-Selatan berdasarkan saling ketergantungan yang setara
(genuine interdependence), kesamaan kepentingan dan manfaat, dan tanggung
jawab bersama”. Selain itu, Indonesia juga mengupayakan penyelesaian
masalah hutang luar negeri negara-negara berkembang miskin (HIPCs/ Heavily
Indebted Poor Countries) yang terpadu, berkesinambungan dan komprehensif.
Sementara guna memperkuat kerjasama Selatan-Selatan, KTT GNB ke-10 di
Jakarta sepakat untuk “mengintensifkan kerjasama Selatan-Selatan berdasarkan
prinsip collective self-reliance”. Sebagai tindak lanjutnya, sesuai mandat KTT
Cartagena, Indonesia bersama Brunei Darussalam mendirikan Pusat Kerjasama
Teknik Selatan-Selatan GNB.

Dalam kaitan dengan upaya pembangunan kapasitas negara-negara


anggota GNB, sesuai mandat KTT GNB Ke-11, di Cartagena tahun 1995, telah
didirikan Pusat Kerjasama Teknik Selatan-Selatan GNB (NAM CSSTC) di
Jakarta, yang didukung secara bersama oleh Pemerintah Brunei Darussalam dan
Pemerintah Indonesia. NAM CSSTC telah menyelenggarakan berbagai bidang
program dan kegiatan pelatihan, kajian dan lokakarya/seminar yang diikuti
negara-negara anggota GNB. Bentuk program kegiatan NAM CSSTC
difokuskan pada bidang pengentasan kemiskinan, memajukan usaha kecil dan
menengah, penerapan teknologi informasi dan komunikasi. Dalam masa
mendatang diharapkan negara-negara anggota GNB, non-anggota, sektor swasta
dan organisasi internasional terdorong untuk terlibat dan berperan serta dalam
meningkatkan kerjasama Selatan-Selatan melalui NAM CSSTC. Upaya
mengaktifkan kembali kerjasama Selatan-Selatan ini merupakan tantangan bagi
GNB antara lain untuk menjadikan dirinya tetap relevan saat ini dan di waktu
mendatang.

Munculnya tantangan-tantangan global baru sejak awal abad ke-21 telah


memaksa GNB terus mengembangkan kapasitas dan arah kebijakannya, agar
sepenuhnya mampu menjadikan keberadaannya tetap relevan tidak hanya bagi
negara-negara anggotanya tetapi lebih terkait dengan kontribusinya dalam
menghadapi tantangan-tantangan tersebut. Isu-isu menonjol terkait dengan
masalah terorisme, merebaknya konflik intra dan antar negara, perlucutan
senjata dan senjata pemusnah massal, serta dampak gobalisasi di bidang
ekonomi dan informasi teknologi, telah menjadikan GNB perlu menyesuaikan
kebijakan dan perjuangannya.  Dalam konteks ini, GNB memandang perannya
tidak hanya sebagai obyek tetapi sebagai mitra seimbang bagi pemeran global
lainnya.

Dalam kaitan ini, KTT ke-15 GNB di Sharm El-Sheikh, Mesir, yang
diselenggarakan tanggal 11-16 Juli 2009 telah menghasilkan sebuah Final
Document yang merupakan sikap, pandangan dan posisi GNB tentang semua
isu dan permasalahan internasional dewasa ini. KTT ke-15 GNB menegaskan
perhatian GNB atas krisis ekonomi dan moneter global, perlunya komunitas
internasional kembali pada komitmen menjunjung prinsip-prinsip pada Piagam
PBB, hukum internasional, peningkatan kerja sama antara negara maju dan
berkembang untuk mengatasi berbagai krisis saat ini.
Terkait dengan dampak negatif krisis moneter global terhadap negara-
negara berkembang, KTT ke-15 menegaskan pula perlunya GNB bekerja sama
lebih erat dengan Kelompok G-77 dan China. Suatu reformasi mendasar
terhadap sistem dan fondasi perekonomian dan moneter global perlu dilakukan
dengan memperkuat peran negara-negara berkembang dalam proses
pengambilan keputusan dan penguatan peran PBB.

KTT ke-15 GNB menyatakan bahwa GNB mendukung hak menentukan


sendiri bagi rakyat, termasuk rakyat di wilayah yang masih di bawah
pendudukan. Dalam konteks itu, GNB mendukung hak-hak rakyat Palestina
dalam menentukan nasibnya sendiri, untuk mendirikan negara Palestina
merdeka dan berdaulat dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kota, serta solusi
adil atas hak kembali pengungsi Palestina sesuai Resolusi PBB Nomor 194.
GNB juga menolak segala bentuk pembangunan permukiman Yahudi di Tepi
Barat dan Jerusalem Timur untuk tujuan mengubah peta demografis di dua
wilayah tersebut. GNB juga meminta Israel melaksanakan resolusi Dewan
Keamanan PBB dengan mundur dari Dataran Tinggi Golan hingga perbatasan 4
Juni 1967 dan mundur total dari sisa tanah Lebanon yang masih diduduki.

Dalam bidang politik, Indonesia selalu berperan dalam upaya


peningkatan peran GNB untuk menyerukan perdamaian dan keamanan
internasional, proses dialog dan kerjasama dalam upaya penyelesaian damai
konflik-konflik intra dan antar negara, dan upaya penanganan isu-isu dan
ancaman keamanan global baru. Indonesia saat ini menjadi Ketua Komite
Ekonomi dan Social, Ketua Kelompok Kerja Perlucutan Senjata pada Komite
Politik, dan anggota Komite Palestina.

Pada tanggal 17-18 Maret 2010 telah diselenggarakan Pertemuan Special


Non-Aligned Movement Ministerial Meeting (SNAMMM) on Interfaith
Dialogue and Cooperation for Peace and Development  di Manila. Pertemuan
dihadiri oleh Presiden Filipina, Gloria Macapagal Arroyo; Presiden Sidang
Majelis Umum PBB (SMU-PBB), Dr. Ali Abdussalam Treki; Menlu Filipina,
Alberto Romulo; dan Menteri Agama Mesir, Dr. Mahmoud Hamdy Zakzouk,
dalam kapasitasnya sebagai Ketua GNB, serta delegasi dari 105 negara anggota
GNB.

Secara umum, para delegasi anggota GNB yang hadir pada pertemuan
tersebut sepakat, bahwa konflik di dunia saat ini banyak diakibatkan oleh
kurangnya rasa toleransi. Disamping itu banyak negara anggota GNB
menjelaskan berbagai aspek ketidakadilan politik, ekonomi dan sosial yang
dapat memicu timbulnya ekstrimisme dan radikalisme.

Menlu RI dalam pertemuan tersebut menyampaikan capaian yang


dilakukan Pemri dalam diskursus tersebut. Menlu RI juga menjelaskan bahwa
saat ini dunia tengah menghadapi berbagai tantangan global. Untuk itu, dengan
tekad yang kuat serta didasarkan atas kesamaan nilai yang dianut, diharapkan
negara anggota GNB dapat memberikan kontribusi bagi masyarakat
internasional dalam membangun ”global resilience” untuk menghadapi berbagai
tantangan di dunia.

Menlu RI lebih lanjut menjelaskan pentingnya dialog antar peradaban dan


lintas agama untuk meningkatkan people to people contact, menjembatani
berbagai perbedaan melalui dialog dan menciptakan situasi yang kondusif pagi
perdamaian, keamanan dan harmonisasi atas dasar saling pengertian, saling
percaya dan saling menghormati.

Untuk itu, GNB seyogyanya terus melakukan berbagai upaya dan inisiatif
konkrit dalam mempromosikan dialog dan kerjasama untuk perdamaian dan
pembangunan. Dari pengalaman Indonesia memprakarsai berbagai kegiatan
dialog lintas agama di berbagai tingkatkan, diharapkan dapat memberikan
kontribusi bagi upaya global dalam mempromosikan keharmonisan dan
perdamaian di dunia.

Pertemuan SNAMMM mengesahkan beberapa dokumen sebagai hasil


akhir yaitu: Report of the Rapporteur-General of the SNAMMM on Interfaith
Dialogue and Cooperation for Peace and evelopment, dan Manila Declaration
and Programme of Action on Interfaith Dialogue and Cooperation for Peace and
Development.

 Indonesia akan menyelenggarakan 16th Ministerial Conference and


Commemorative Meeting of the Non-Aligned Movement/Konferensi Tingkat
Menteri ke-16 Gerakan Non Blok (KTM ke-16 GNB) dan sekaligus Pertemuan
Peringatan 50 Tahun GNB di Bali pada tanggal 23 – 27 Mei 2011.
Keistimewaan KTM ke-16 GNB adalah pelaksanaannya yang bertepatan
dengan 50 tahun berdirinya GNB sejak terselenggaranya pada bulan September
1961 di Beograd, Yugoslavia. Oleh karena itu, pelaksanaan KTM akan pula
diikuti dengan Pertemuan Peringatan 50 tahun berdirinya GNB
(Commemorative Meeting).

KTM ke-16 GNB yang mengangkat tema “Shared Vision on the


Contribution of NAM for the Next 50 Years” merupakan pertemuan paruh
waktu antar dua KTT dan agenda utamanya adalah mengulas perjalanan GNB
pasca KTT di Sharm El Sheik, Mesir pada bulan Juli 2009. KTM ini akan
menghasilkan dokumen akhir yang menjadi rujukan terkini bagi anggota GNB
dalam pelaksanaan hubungan internasionalnya, sedangkan Commemorative
Meeting akan menghasilkan Bali Commemorative Declaration (BCD) yang
berisi visi GNB ke depan.

KTM ke-16 GNB kali ini mengundang partisipasi para Menteri Luar
Negeri dari 118 negara anggota GNB dan 2 (dua) negara calon anggota, yaitu
Fiji dan Azerbaijan yang akan dikukuhkan keanggotaannya pada acara tersebut.
Selain Menteri Luar Negeri, turut diundang pula kehadiran delegasi dari 18
negara dan 10 organisasi pengamat, serta 26 negara dan 23 organisasi
undangan.
Penyelenggaraan KTT Non blok
1. KTT Non blok I di Beograd (Yugoslavia), 1-6 September 1961.
2. KTT Non blok II di Kairo (Mesir), 5-10 Oktober 1964.
3. KTT Non blok III di Lusaka (Zambia), 8-10 September 1970.
4. KTT Non blok IV di Aljir (Aljazair), 5-9 Agustus 1973.
5. KTT Non blok V di Kolombo (Srilanka). 16 - 19 Agustus 1976.
6. KTT Non blok VI di Havana (Kuba), 3-9 September 1979.
7. KTT Non blok VII di New Delhi (India), 7-12 Maret 1983.
8. KTT Non blok VIII di Harare (Zimbabwe), 1-6 September 1986.
9. KTT Non blok IX di Beograd (Yugoslavia), 4-7 September 1989.
10. KTT Non blok X di Jakarta (Indonesia), 1-6 September 1992.
11. KTT Non blok XI di Cartagena (Kolombia), 16 - 22 Oktober 1995.
12. KTT Non blok XII di Durban (Afrika Selatan), 28 Agustus - 3 September
1998.
Pada tahun 1989 negara-negara komunis di Eropa Timur mengalami
keruntuhan. Perkembangan situasi politik tersebut disusul bubarnya Uni Soviet
pada tahun 1991. Adanya perubahan di kebanyakan negara Eropa Timur tidak
berarti organisasi Non blok harus membubarkan diri.
Di era pasca perang dingin, negara-negara Non blok justru harus
memusatkan perhatiannya kepada seluruh persoalan dunia, seperti masalah
penjajahan, ketidakadilan, ketimpangan sosial, dampak globalisasi ekonomi,
dan penindasan hak asasi manusia.
VII. Berita Terkait Anggota GNB dukung prakarsa
           

Palestina di PBB

Menteri luar negeri dan kepala delegasi dari negara-negara Non Blok
berfoto bersama di depan gedung Parlemen Serbia, Beograd, Senin (5/9).
Negara-negara Non-Blok memperingati 50 tahun KTT Non-Blok yang pertama
yang diselenggarakan di ibukota Yugoslavia, Beograd pada September 1961.
Gerakan Non Blok diprakarsai oleh Presiden Yugoslavia Josip Broz Tito,
Perdana Menteri India yang pertama Jawaharlal Nehru, Presiden Mesir Gamal
Abdul Nasser, Presiden Ghana yang pertama Kwame Nkrumah, dan Presiden
Indonesia pertama Soekarno. (FOTO ANTARA/REUTERS/Marko
Djurica/ox/11.)
Beograd (ANTARA News) - Gerakan Non-Blok (GNB) Selasa
menegaskan dukungan bagi upaya Palestina untuk menjadi anggota Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada pertemuan tingkat menteri di Beograd, kata Menteri Luar
Negeri Mesir Mohammed Kamel Amr.

"Kami akan terus mendukung upaya Palestina dalam Sidang Majelis Umum ke-
66 untuk pengakuan bagi Negara Palestina berdasarkan perbatasan 4 Juni 1967
dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, dan untuk upaya Palestina
sebagai anggota penuh PBB," kata Kamel Amr dalam konferensi pers di akhir
pertemuan dua hari itu, lapor AFP.
Menteri Mesir, yang memimpin pertemuan Beograd itu, mengingatkan
bahwa kebanyakan anggota GNB sudah mengakui negara Palestina.Namun ia
tidak bisa mengkonfirmasi bahwa semua 118 negara anggota GNB akan
memilih mendukung tawaran Palestina untuk keanggotaannya di PBB ketika
Majelis Umum PBB bertemu pada akhir bulan ini.
Perundingan langsung antara Israel dan Palestina terhenti tak lama setelah
diluncurkan kembali di Washington pada September lalu karena masalah
pembangunan permukiman.
Karena kebuntuan dalam proses perdamaian, Otoritas Palestina meluncurkan
sebuah prakarsa untuk memiliki negara Palestina yang diakui dengan perbatasan
yang ada sebelum Perang Enam Hari 1967.
Pemimpin Palestina Mahmud Abbas akan menyampaikan tawaran untuk
menjadi anggota penuh PBB itu pada 20 September di hadapan Majelis Umum
meskipun mendapat penentangan dari Amerika Serikat dan Israel.
GNB di Beograd bertemu untuk memperingati 50 tahun pertemuan
puncak pertama negara-negara itu yang diadakan di kota yang sama pada tahun
1961.Para pendiri gerakan ini adalah pemimpin Yugoslavia Josip Broz Tito,
Perdana Menteri India pertama Jawaharlal Nehru, Presiden Mesir Gamal Abdel
Nasser, presiden pertama Ghana Kwame Nkrumah dan Presiden Indonesia
pertama Soekarno.
Pertemuan tingkat menteri dua hari yang dibuka Senin terutama untuk
menggelar upacara dan tidak akan berurusan secara mendalam dengan apa yang
disebut Musim Semi Arab, gejolak yang terjadi di negara-negara Arab yang
telah menggulingkan atau mengguncang rezim-rezim lama GNB seperti Mesir,
Tunisia, Suriah, dan Libya. (AK/M016/K004)

VIII. PERKEMBANGAN GERAKAN NON BLOK


TATANAN DUNIA, UTARA-SELATAN
& GLOBALISASI
A.    PERKEMBANGAN TATANAN DUNIA, HUBUNGAN UTARA-SELATAN DAN
MUNCULNYA KECENDERUNGAN YANG BERSIFAT GLOBAL DAN REGIONAL
1.    Gerakan Non Blok
·    Gerakan Non Blok (GNB) merupakan sebuah organisasi dari negara yang
tidak memihak Blok Barat dan Blok Timur.
·    Penggagas dari Gerakan Non Blok adalah Presiden Soekarno (Indonesia),
Presiden Josef Broz Tito (Yugoslavia), Presiden Gamal Abdel Nasser (Mesir),
Perdana Menteri Pandit Jawaharlal Nehru (India), dan Perdana Menteri Kwame
Nkrumah (Ghana).
Ketegangan-ketegangan akibat perang dingin dapat saja mengancam
kemerdekaan nasional maupun keutuhan wilayah negara-negara yang baru
merdeka. Dengan demikian munculnya Gerakan Non Blok berusaha untuk
mencarikan alternatif lain untuk ikut memelihara perdamaian dan keamanan
Internasional. Corak politik yang dijalankan oleh anggota-anggota Gerakan Non
Blok adalah politik bebas aktif.
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) dari lima negara yang dilaksaakan di Beograd
tahun 1961 berhasil meletakan prinsip-prinsip dasar dan tujuan pokok Gerakan
Non Blok. Para anggota sepakat untuk menghormati, menjunjung tinggi, dan
melaksanakan prinsip-prinsip dasar yang meliputi:
·    Mewujudkan perdamaian dunia berdasarkan prinsip-prinsip universal
tentang kesamaan kedaulatan, hak dan martabat, antara negara-negara di dunia.
·    Kemerdekaan nasional, kedaulatan, integritas wilayah, persamaan derajat,
dan kebebasan setiap negara untuk melaksanakan pembangunan di bidang
sosial, ekonomi dan politik.
·    Kemerdekaan dan hak untuk menentukan nasib sendiri bagi bangsa-bangsa
yang masih terjajah oleh bangsa lain.
·    Menghormati hak asasi manusia dan kemerdekaan yang fundamental.
·    Menentang imperialisme, kolonialisme, neokolonialisme, perbedaan warna
kulit termasuk zionis dalam segala bentuk, serta menentang segala bentuk
ekspansi, dominasi serta pemuasan kekuatan.
·    Menolak pembagian dunia atas blok atau persekutuan militer yang saling
bertentangan satu sama lainnya, menarik semua kekuatan militer asing dan
mengakhiri pangkalan asing.
·    Menghormati batas-batas wilayah internasional yang sah dan telah diakui
serta menghindari campur tangan atas urusan dalam negeri negara-negara lain.
·    Menyelesaikan persengketaan secara damai.
·    Mewujudkan suatu tata ekonomi dunia baru.
·    Memajukan kerja sama internasional berdasarkan asas persamaan derajat.
Adapun tujuan dari Gerakan Non Blok adalah:
·    Mendukung perjuangan dekolonisasi dan memegang teguh perjuangan
melawan imperialisme, kolonialisme, neokolonialisme, rasialisme, apartheid,
zionisme.
·    Merupakan wadah perjuangan sosial politik negara-negara yang sedang
berkembang.
·    Mengurangi ketegangan antara Blok Barat yang dipimpin oleh Amerika
Serikat dan Blok Timur yang dipimpin oleh Uni Soviet.
·    Tidak membenarkan usaha penyelesaian sengketa dengan kekerasan senjata.
Di sela-sela puing kehancuran akibat Perang Dunia II, muncullah dua
negara adidaya yang saling berhadapan. Mereka berebut pengaruh terhadap
negara- negara yang sedang berkembang agar menjadi sekutunya. Dua negara
adidaya itu ialah Amerika Serikat dan Uni Soviet. Persaingan kekuatan di antara
dua blok itu mengakibatkan terjadinya Perang Dingin (the Cold War).

Mereka saling berhadapan, bersaing, dan saling memperkuat sistem


persenjataan. Setiap kelompok telah mengarahkan kekuatan bomnya ke negara
lawan. Akibatnya, situasi dunia tercekam oleh ketakutan akan meletusnya
Perang Dunia III atau Perang Nuklir yang jauh lebih mengerikan dibandingkan
Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Menghadapi situasi dunia yang penuh
konflik tersebut, Indonesia menentukan sistem politik luar negeri bebas aktif.
Prinsip kebijaksanaan politik luar negeri Indonesia tersebut ternyata juga sesuai
dengan sikap negara-negara sedang berkembang lainnya.
Oleh karena itu, mereka sepakat untuk membentuk suatu kelompok baru
yang netral, tidak memihak Blok Barat ataupun Blok Timur. Kelompok
inilah yang nantinya disebut kelompok negara- negara Non Blok.
Dengan demikian faktor-faktor yang melatarbelakangi berdirinya Gerakan Non
Blok adalah sebagai berikut.
1) Munculnya dua blok. yaitu Blok Barat di bawah Amerika Serikat dan Blok
Timur di bawah Uni Soviet yang saling memperebutkan pengaruh di dunia.
2) Adanya kecemasan negara-negara yang baru merdeka dan negara-negara
berkembang, sehingga berupaya meredakan ketegangan dunia.
3) Ditandatanganinya “Dokumen Brioni” tahun 1956 oleh Presiden Joseph
Broz Tito (Yugoslavia), PM Jawaharlal Nehru (India), Presiden Gamal Abdul
Nasser (Mesir), bertujuan mempersatukan negara-negara non blok.
4) Terjadinya krisis Kuba 1961 karena US membangun pangkalan militer di
Kuba secara besar-besaran.
5) Pertemuan 5 orang negarawan pada sidang umum PBB di markas besar
PBB, yaitu:
a) Presiden Soekarno (Indonesia),
b) PM Jawaharlal Nehru (India),
c) Presiden Gamal Abdul Nasser (Mesir),
d) Presiden Joseph Broz Tito (Yugoslavia), dan
e) Presiden Kwame Nkrumah (Ghana).
Berdirinya Gerakan Non Blok (Non Aligned Movement) diprakarsai oleh
para pemimpin negara dari Indonesia (Presiden Soekarno), Republik Persatuan
Arab–Mesir (Presiden Gamal Abdul Nasser), India (Perdana Menteri Pandith
Jawaharlal Nehru), Yugoslavia (Presiden Joseph Broz Tito), dan Ghana
(Presiden Kwame Nkrumah).

Kata “Non-Blok” diperkenalkan pertama kali[rujukan?] oleh Perdana


Menteri India Nehru dalam pidatonya tahun 1954 di Colombo, Sri Lanka.
Dalam pidato itu, Nehru menjelaskan lima pilar yang dapat digunakan sebagai
pedoman untuk membentuk relasi Sino-India yang disebut dengan Panchsheel
(lima pengendali). Prinsip ini kemudian digunakan sebagai basis dari Gerakan
Non-Blok. Lima prinsip tersebut adalah:
1. Saling menghormati integritas teritorial dan kedaulatan.
2. Perjanjian non-agresi
3. Tidak mengintervensi urusan dalam negeri negara lain
4. Kesetaraan dan keuntungan bersama
5. Menjaga perdamaian
Gerakan Non-Blok sendiri bermula dari sebuah Konferensi Tingkat
Tinggi Asia-Afrika sebuah konferensi yang diadakan di Bandung, Indonesia,
pada tahun 1955. Di sana, negara-negara yang tidak berpihak pada blok tertentu
mendeklarasikan keinginan mereka untuk tidak terlibat dalam konfrontasi
ideologi Barat-Timur. Pendiri dari gerakan ini adalah lima pemimpin dunia:
Josip Broz Tito presiden Yugoslavia, Soekarno presiden Indonesia, Gamal
Abdul Nasser presiden Mesir, Pandit Jawaharlal Nehru perdana menteri India,
dan Kwame Nkrumah dari Ghana.
Gerakan ini sempat kehilangan kredibilitasnya pada akhir tahun1960-an
ketika anggota-anggotanya mulai terpecah dan bergabung bersama Blok lain,
terutama Blok Timur. Muncul pertanyaan bagaimana sebuah negara yang
bersekutu dengan Uni Soviet seperti Kuba bisa mengklaim dirinya sebagai
negara nonblok. Gerakan ini kemudian terpecah sepenuhnya pada masa invasi
Soviet terhadap Afghanistan tahun 1979.

IX. GERAKAN NON BLOK DALAM MASA


      

KEPEMIMPINAN INDONESIA 1992 -1995


Politik non blok atau non alignment setelah Perang Dunia ke II, dimana
ketika situasi politik internasional ditandai dengan adanya perundingan antar
blok barat dan blok timur ditengah tengah perang dinginnya paham itu
berkembanglah gagasan yang terwujud menjadikan Gerakan Non Blok ataupun
Non Alignment Movement.

Pengejawantahannya yang pertama adalah Konferensi Tingkat Tinggi


Non Blok di Beograd, Yugoslavia 1-6 September 1961. Gerakan Non Blok ini
juga bertujuan untuk mewujudkan perdamaian dunia berdasarkan pelaksanaan
universal dari prinsip-prinsip hidup berdampingan secara damai, menentang
imperialisme, kolonialisme, neokolomalisme, perbedaan warna kulit termasuk
zionisme dan segala bentuk ekspansi, dominasi dan pemusatan kekuasaan.
Sedangkan beberapa tujuan lainnya adalah sebagai berikut yang mana
memajukan usaha kearah perdamaian dunia dan hidup berdampingan secara
damai dengan jalan memperkokoh peranan PBB menjadi alat yang lebih efektif
bagi usaha usaha perdamaian dunia, menyelesaikan persengketaan internasional
diantara negara-negara anggotanya secara damai dan juga mengusahakan
tercapainya pelucutan senjata secara umum dan menyeluruh di bawah
pengawasan internasional yang efektif.

Dalam perjalanan sampai dengan sekarang ini Gerakan Non Blok telah
melakukan 10 KTT. Tiap KTT mempunyai warna dan ciri sendiri-sendiri. Dari
warna dan ciri tersebut dapat diketahui partisipasi Gerakan Non Blok dalam
turut memecahkan persoalan-persoalan dunia dengan tetap mengadakan
konsolidasi terhadap tubuh Gerakan agar tetap mengadakan atau agar tetap
sesuai dengan prinsip-prinsip dasar dan tujuan pokok Non Blok.
Berdasarkan sikap dan posisi yang nampak dalam berbagai pertemuan
Non Blok, secara garis besarnya terdapat 3 pengelompokan di dalam Gerakan
Non Blok,
yaitu :
1.     Kelompok MAINSTREAM, yaitu kelompok yang ingin tetap mempertahankan
prinsip-prinsip dasar dan tujuan Gerakan Non Blok, dan yang termasuk dalam
kelompok ini adalah antara lain ; INDONESIA, ARGENTINA, INDIA,
BANGLADESH, GABON, PAKISTAN, SRILANKA, SENEGAL, TUNISIA,
SAUDI ARABIA.
2.     Kelompok EKSTRIM KIRI, yaitu dalam kelompok ini termasuk juga negara
yang mempunyai kerjasama di berbagai bidang dengan UNI SOVYET melalui
perjanjian bilateral (Treaty on Friendship and Cooperation) yang terrnasuk
dalam kelompok ini antara lain CUBA, AFGANISTAN, ANGOLA, VIETNAM
dan LIBYA.
3.     Kelompok EKSTRIM KANAN, yaitu yang termasuk dalam kelompok ini
antara lain MESIR, SINGAPURA, ZAIRE.

Sebelum kita membicarakan tentang apa saja yang telah dihasilkan selama
Kepempinan Indonesia yang diketuai oleh Bapak Presiden Soeharto ada
baiknya dipaparkan sedikit tentang KTT GNB yang ke 10 yang diselenggarakan
tanggal 1-6 September 1992 yang lalu.

KTT GNB X yang dibuka secara resmi oleh Presiden Soeharto sebagai
Ketua GNB tanggal 1-6 September 1992, yang diikuti oleh 108 negara
anggotanya mengusulkan kerjasama, alih pengalaman dan pengetahuan, dalam
tiga hal yaitu : pangan, kependudukan dan pengurangan beban pembayaran
utang luar negeri. Tiga hal ini adalah merupakan hal yang penting dan yang
paling dulu harus ditangani secara serius. Pesan Jakarta adalah merupakan hasil
KTT Gerakan Non Blok di Jakarta tanggal 1-6 September 1992. Pesan Jakarta
ini terdiri dari 27 butir yang terdiri dari berbagai masalah seperti: Ekonomi,
Politik, Sosial budaya, Ilmu Pengetahuan danlain-lain dan beberapa diantaranya
adalah :
 GNB memberikan konstribusi untuk menimbulkan perbaikan bagi iklim politik
Internasional.
 GNB menghorrnati kedaulatan suatu negara, mentaati sepenuhnya prinsip tidak
mencampuri urusan dalam negeri negara lain.
 GNB ingin agar Israel mundur dari seluruh wilayah Arab yang didudukinya
termasuk Yerussalem.
 GNB menyarnbut baik kemajuan dalam pembatasan senjata konvensional dan
nuklir.
 GNB menyerukan dipercepatnya pembangunan negara-negara berkembang
berdasarkan stabilitas, perturnbuhan dan distribusi.
 GNB melihat kerjasama Selatan-Selatan penting untuk memajukan
pembangunan sendiri dan mengurangi ketergantungan kepada Utara.
 GNB menekankan kembali hak asasi manusia dan kebebasan fundamental
kebenaran yang universal.
 GNB menyatakan komitmennya konfersi dunia mengenai wanita 1995 –Aksi
persamaan pembangunan dan perdamaian.
 GNB yakin integrasi wanita yang sama dan sepenuhnya dalam proses
pembangunan pada segala tingkatan merupakan sasaran GNB.
 GNB memproyeksikan gerakan sebagai komponen konstruktif bersemangat dan
sepenuhnya saling tergantung pada hubungan Internasional yang utama.

Peranan Kepemimpinan Indonesia dan Hasil-hasilnya


Dalam hal ini yang akan dijabarkan adalah yang mana Presiden Soeharto
sebagai Ketua GNB dan apa saja yang telah dihasilkannya sampai sekarang ini
mulai dari berakhirnya KTT GNB ke-10 tanggal 1-6 September 1992 lalu.
Menurut Kepala Negara Bapak Presiden Soeharto bahwa GNB dalam era pasca
perang dingin masih terus relevan, maka beliau selaku Ketua GNB telah
memperlihatkan usaha dan niat yang sungguh-sungguh untuk menemukan
kembali arah GNB dan mengembangkan melalui usaha nyata –Kerjasama
Selatan-Selatan
-Menghidupkan kembali dialog Utara -Selatan.

Dalam kaitannya dengan hal yang disebutkan terakhir, Presiden


menegaskan, bahwa agar Selatan tidak dianggap hanya bisa "Menuntut", maka
pendekatan lama yang cenderung konfrontatif akan diganti dengan pendekatan
kemitraan. Kesungguhan Kepala Negara untuk terus menjaga momentum
diperlihatkan juga dengan penegasan, bahwa hasil-hasil KTT GNB X tidak akan
ditangani secara umum, tetapi akan ditangani secara khusus. Pengangkatan
Nana Sutresna sebagai "Kepala Staf" GNB, juga Prof. Widjojo Nitisastro
sebagai koordinator tim-tim ahli, serta empat Letjen (Purn) Sayidiman
Suryohadiprodjo, Achmad Thahir, Alamsyah Ratu Perwiranegara dan Hasnan
Habib sebagai duta besar wilayah adalah bukti yang jelas adanya kesungguhan
Indonesia dalam memimpin dan menyukseskan GNB.

Oleh karena itu kita dapat melihat hasil-hasil yang akan dicapai setelah
KTT GNB X 1992 dalam kepemimpinan Indonesia dengan Bapak Presiden
Soeharto sebagai Ketua GNB. Banyak yang telah dihasilkan sampai sekarang
ini sebagai contoh adalah :

1.     Gerakan Non Blok putuskan untuk mengirim utusan Palestina ke negara-negara
Arab adalah untuk langsung terlibat dalam negosiasi-negosiasi yang mendukung
usaha Palestina memperoleh haknya kembali yang mana keputusan yang
diambil oleh Ketua GNB -Presiden Soeharto mendapat dukungan dari Menlu
Palestina Farouk Kaddoomi seusai sidang Komite Palestina GNB di Bali yang
dalam hal ini menurutnya keputusan tersebut menunjukkan dukungan Gerakan
Non Blok kepada rakyat Palestina dalam memperoleh haknya kembali dan akan
berusaha membuat warga Israel mundur dari kawasan yang diduduki. Komite
Palestina GNB terdiri dari Aljazair, India, Bangladesh, Senegal, Gambia,
Zimbabwe, Palestina dan Indonesia, komisi GNB untuk Palestina diketuai oleh
Indonesia.

2.     Gerakan Non Blok ingin berdialog dengan Peserta KTT G7 di TOKYO.
Presiden Soeharto sebagai Ketua GNB dalam dialog tersebut sebenarnya ingin
menyampaikan berbagai masalah terutama yang tercantum dalam PesanJakarta
(the Jakarta Messages), dimana salah satu hasil KTT-GNB di Jakarta tahun
1992 adalah negara negara GNB akan mengadakan kerjasama misalnya negara
Afrika akan mengirimkan petani atau petugas Keluarga Berencana ke Indonesia
untuk melakukan magang. Namun karena Indonesia dan negara Afrika itu tidak
memiliki dana yang cukup untuk membiayai program magang ini, maka akan
dicari Negara ketiga terutama negara maju yang bersedia membiayai
pengiriman petani Afrika ke Indonesia. Dialog negara maju dan berkembang
yang disebut sebagai dialog Utara Selatan. Dialog yang diharapkan akan
tercapai itu ternyata tidak dapat dicapai sehubungan dengan tidak diundangnya
Presiden Soeharto sebagai ketua GNB dalam KTT G-7 di Tokyo. Sikap negara
maju yang mengabaikan niat baik Gerakan Non Blok untuk menyampaikan
suaranya dalam kesempatan KTT G-7 di Jepang disesalkan oleh pemerintah
Republik Indonesia. Apa yang hendak disampaikan adalah buah pikiran negara
anggota GNB terhadap keadaan dunia saat ini, situasi dunia yang tengah
dihadapi dan usulan terhadap upaya bersama yang dapat dijalin oleh negara
maju maupun negara sedang berkembang. Kelompok G-7 dalam hal ini terdiri
dari Inggris, Kanada, Perancis, Jerman, March 11, Italia, Jepang dan Amerika
Serikat.

3. Upaya Penyelesaian Hutang Negara Negara Selatan


Beban hutang negara negara Non Blok adalah masalah yang cukup
penting untuk dibahas dan dicari penyelesaiannya. Mengenai masalah beban
hutang negaranegara dunia ketiga ini cukup banyak mendapat sorotan dan
diharapkan agar dibawah kepemimpinan Indonesia, masalah hutang yang
menjadi salah satu agenda utama KTT Non Blok ke X bias diselesaikan dengan
terobosan-terobosan yang cukup berarti. Dan untuk mewujudkan hal ini
Presiden Soeharto mengundang Negara-negara untuk berbagi pengalaman
dimana Indonesia sebagai Negara penghutang pada Negara-negara lain dinilai
oleh Bank Dunia dapat membayar hutangnya sesuai waktu yang telah
ditentukan.
Presiden Soeharto juga kembali mengungkapkan pandangan-
pandangannya yang telah diungkapkan pada saat menerima sejumlah kepala
negara di New York, dimana Presiden Soeharto mengingatkan kembali negara
maju untuk memenuhi komitmennya menyisihkan 0,7 % dari GNP mereka bagi
membutuhan negara berkembang. Namun sejauh ini baru sekitar 0,37 % yang
telah diberikan. Dengan demikian masih ada kekurangan 0,3 -0,4 % atau sekitar
50 Milyard dollar Amerika dari keseluruhan komitmen yang mereka berikan .
Presiden Soeharto juga menekankan pentingnya kerjasama selatan-
selatan, bukan hanya sekedar menyelesaikan masalah sosio ekonomi tetapi juga
melalui kerjasama konkret antara selatan -selatan untuk memberi bobot dalam
dialog dengan utara. Kepala negara mengingatkan negara maju yang disebut
kelompok utara dan negara berkembang termasuk negara selatan saling
membutuhkan antara lain karena nasib dan kepentingan mereka sangat terkait
satu sama lainnya.
Negara selatan tidak akan dapat mencapai sasarannya dalam
pembangunan bila negara utara tidak berusaha menciptakan lingkungan
eksternal yang mendukung pembangunan di selatan. Namun dipihak lain negara
utara dan negara industri maju akan mengalami kesulitan dalam
mempertahankan pertumbuhan ekonominya tanpa adanya stabilitas dan
pembangunan di selatan. Jika selatan sampai kehilangan pasar yang luas dan
vital.
Menurut presiden Soeharto cara bijaksana adalah kedua pihak harus
menyadari saling ketergantungan antar mereka dan selanjutnya bersama sama
menghasilkan cara pemecahan bersama dalam menghadapi tantangan tantangan
berat dalam masa krisis sekarang ini.

4. Bantuan untuk Petani Afrika


Presiden Soeharto secara khusus mengundang Brunei untuk turut serta dalam
kerjasama selatan-selatan. Dalam kerangka kerjasama ini, Indonesia secara
konkret menawarkan untuk menukar pengalaman dalam upaya meningkatkan
produk sokongan kepada negara Negara Afrika yang mengalami kelaparan
dewasa ini. Indonesia rnengundang para petani negara Afrika itu untuk melihat
secara langsung secara praktek ditengah tengah petani Indonesia. Dalam hal ini
Brunei diminta memberikan dana untuk membiayai perjalanan para petani
Afrika itu ke Indonesia, karena baik negara-negara Afrika itu maupun Indonesia
tidak mampu membiayai program ini.
Dengan demikian diharapkan negara negara utara dapat merealisasikan
kesanggupan mereka untuk memenuhi sasaran yang telah disepakati bagi
pembangunan resmi dan Presiden Soeharto menegaskan yang harus dipahami
setiap negara adalah kedaulatan menentukan sistem sosial ekonomi dan politik
nasionalnya masing masing.

5. Pidato pada KTT Pernbangunan Sosial di Kopenhagen, Denmark


KTT yang diadakan oleh PBB di Kopenhagen telah memberikan kesempatan
dan merupakan momentum yang tepat bagi Presiden Soeharto sebagai
pemipinan Gerakan Non Blok dengan rnernberikan pidato pertama yang
menyerukan kerjasama diantara negara maju dan negara berkembang untuk
memperbaiki nasib orang miskin yang jumlahnya sekitar 1 Milyard didunia ini.
Pengalaman umumnya negara negara anggota GNB bahwa sekalipun upaya-
upaya mencapai pertumbuhan ekonomi merupakan hal yang penting tetapi hal
itu bukanlah merupakan tujuan utama dari pembangunan, melainkan kebijakan
pembangunan juga harus menempatkan manusianya sebagai pusat perhatiannya.
Masalah kemiskinan dan pengangguran haruslah mendapat prioritas utama
sebagai dapat saja menjadi salah satu penyebab instabilitas.
Masalah yang harus mendapat perhatian khusus adalah hutan luar negeri,
sistem perdagangan bebas serta pengendalian jumlah penduduk khususnya juga
masalah keamanan pangan di Afrika. GNB telah mencoba meringankan
kemiskinan melalui berbagai cara seperti peningkatan produksi pangan dan
dalarn hal ini mengharapkan kerjasarna maksimal dari PBB sebagai badan dunia
untuk memainkan peranan yang lebih penting dengan mencoba mewujudkan
tatanan Tata Dunia Baru dalam usaha memecahkan masalah keterbelakangan
dan kemiskinan.

6. Pertemuan Informal Negara Berpenduduk Banyak


Ditengah tengah KTT Pembangunan Sosial di Kopenhagen, Presiden
Soeharto sebagai pemimpin GNB telah meluangkan waktu untuk mengadakan
pertemuan informal dengan 9 negara yang memiliki penduduk terbanyak
didunia yaitu, Indonesia, Bangladesh, Brazil, Cina, Mesir, India, Meksiko,
Nigeria dan Pakistan. Pertemuan informal ke 9 negara berkembang tersebut
membahas masalah pendidikan bagi semua (Education For All) yang
diselenggarakan oleh Badan-Badan PBB yaitu UNESCO, UNICEF, UNFPA
dan UNDP. Gerakan Non Blok memandang perlu bahwa pendidikan merupakan
landasan penting bagi upaya meningkatkan kemajuan, kemakmuran dan
kesejahteraan.
Program konkrit dari pernyataan tersebut adalah dalam realisasinya
mengadakan program wajib belajar seperti yang telah dicanangkan oleh
pemerintah Indonesia. Sebagai tindak lanjut dari pertemuan informal ini akan
dilanjutkan di Bali, bulan September yang akan datang.

7. Kunjungan Pemimpin Gerakan Non Blok ke Zagreb, Kroasia dan Sarajevo,


Bosnia Sesudah KTT Pembangunan Sosial di Kopenhagen, pemimpin GNB
telah mengadakan kunjungan yang dinilai oleh PBB sekalipun sangat berani dan
beresiko tinggi yaitu ke Kroasia dan Sarajevo yang tengah dilanda peperangan
antar etnis. Setelah kujungan resminya selama 2 hari di Zagreb, kemudian
diikuti dengan kunjungan selama 6 jam ke Sarajevo, Bosnia. Dalam pernyataan
selaku pemimpin GNB, presiden Soeharto telah menyuarakan pandangan GNB
terhadap bekas salah satu negara pendiri GNB yaitu Yugoslavia terdahulu, yaitu
bahwa tidak ada pihak yang dapat menyelesaikan pertikaian etnis diantara
mereka kecuali oleh para pemimpin negara-negara kawasan bekas Yugoslavia
sendiri. Gerakan Non Blok akan mencoba membantu semampu mungkin tanpa
ikut campur secara langsung melalui jalan jalan diplomatik yang syah dan
sesuai dengan prinsip GNB itu sendiri. Secara moril kunjungan pemimpin GNB
ini dianggap sebagai dorongan dan perhatian bahwa GNB sangat prihatin akan
masalah yang berkepanjangan yang belum terselesaikan sampai sekarang.

Prospek dan Tindak Lanjutnya

Dalam prospek tindak lanjut ini dipertanyakan apakah Gerakan Non Blok
akan diteruskan, karena pada satu sisi masalah pertentangan antara blokBarat
dan blok Timur sudah berakhir. Presiden Soeharto mengatakan “Selama
Perdamaian Dunia terancam kemerdekaan bangsa berkembang, aspirasi rakyat
terhambat dan ketidak adilan ekonomi masih berlanjut maka selam aitu juga
GNB tetap berada digaris depan untuk berjuang menentangnya”.
Bouthros-Ghali mengatakan gerakan Non Blok harus tetap ada walaupun telah
usai dekolonisasi dan pendekatan timur barat yang diikuti lenyapnya blok
persekutuan politik dan keamanan global. Non Blok harus tetap pada 5 prinsip
politiknya yaitu:
- Tidak bersekutu dalam konteks konfrontasi timur barat.
- Bersekutu daa perjuangan arti kolonial
- Tidak terlibat dalam persekutuam militer multilateral
- Tidak terlibat dalam persekutuan militer bilateral dengan suatu negara adidaya
- Tidak memberi tempat pada suatu pangkalan militer suatu negara adidaya

Gerakan Non Blok juga jangan menghilangkan visi dan jangan


disibukkan dengan pertentangan anggota dan tidak direpotkan oleh
percekcokan tentang prioritas dan prinsip dasar GNB disejajarkan dengan
wujud dan cita-cita luhur dari piagam PBB.
Gerakan Non Blok dalam kepemimpinan Indonesia yang diketuai oleh
Presiden Soeharto telah memperlihatkan niat dan usaha yang sungguh-sungguh
untuk menemukan kembali kearah Gerakan Non Blok yang seutuhnya dan
berusaha
mengembangkan usaha-usaha nyata seperti kerjasama selatan-selatan dan selain
itu juga menghidupkan kembali dialog utara-selatan.
Untuk penyelesaian hutang negara-negara selatan yang dari waktu
kewaktu jumlah semakin membesar dan semakin melilit, Indonesia sebagai
negara pemimpin Gerakan Non Blok dihadapkan pada tantangan-tantangan
yang cukup berat.
Penyebabnya tidak saja diakibatkan oleh kesulitan ekonomi negara-
negara maju tetapi juga dengan semakin umumnya pola menjadikan uang
sebagai komoditi. Keduanya menjadikan dana dunia semakin terbatas dalam
situasi seperti ini, mengingat jumlah Negara selatan sendiri relatif banyak,
berarti diantara mereka sendiri amat mungkin terjadi persainganketat karena
masing-masing akan mendahulukan kepentingan nasionalnya. Terdapat tendensi
bahwa Gerakan Non Blok ini telah bergerak dari gerakan yang bersifat politis
menuju gerakan yang bersifat mitra dan lebih terfokus semula yaitu menentang
blok politis yang ada.

 
 

Anda mungkin juga menyukai