Anda di halaman 1dari 3

Tugas 3

Oleh : Adesa Prajna Kesawa / 042460983

1. Penetapan UMR dan UMD ternyata tidak serta merta menghilangkan problem gaji atau upah
ini. Hal ini terjadi setidaknya disebabkan oleh:
a. Pihak pekerja, yang mayoritasnya berkualitas SDM rendah berada dalam kuantitas yang
banyak sehingga nyaris tidak memiliki posisi tawar yang cukup dalam menetapkan gaji
yang diinginkan. Walhasil, besaran gaji hanya ditentukan oleh pihak majikan, dan kaum
buruh berada pada posisi sulit menolak
b. Pihak majikan sendiri sering merasa keberatan dengan batasan UMR. Hal ini mengingat,
meskipun pekerja tersebut bekerja sedikit dan mudah, pengusaha tetap harus membayar
sesuai batas tersebut.
c. Posisi tawar yang rendah dari para buruh semakin memprihatinkan dengan tidak adanya
pembinaan dan peningkatan kualitas buruh oleh pemerintah, baik terhadap kualitas
keterampilan maupun pengetahuan para buruh terhadap berbagai regulasi perburuhan.
d. Kebutuhan hidup yang memang juga bervariasi dan semakin bertambah, tetap saja tidak
mampu dipenuhi dengan gaji sesuai UMR. Pangkal dari masalah ini adalah karena gaji
atau upah hanya satu-satunya sumber pemasukan dalam memenuhi berbagai kebutuhan
dasar kehidupan masyarakat.
2. Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan
hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang
perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik
negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan
mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain. Dengan
demikian, maka ketentuan ketenagakerjaan, khususnya terkait pemutusan hubungan kerja
(“PHK”) sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan yang beberapa ketentuannya telah
diubah, dihapus, atau dimuat pengaturan baru oleh Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020
tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) berlaku bagi pemberi kerja dan pekerja sebagaimana
disebutkan di atas. Bolehkah Perusahaan Mewajibkan Karyawan Resign karena Hamil?
Pada prinsipnya, perusahaan tidak dapat mewajibkan Anda untuk mengundurkan diri atau resign
karena Anda hamil. Hal ini didasarkan pada Pasal 81 angka 40 UU Cipta Kerja yang mengubah
Pasal 153 ayat (1) huruf e UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa pengusaha dilarang
melakukan PHK dengan alasan pekerja hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui
bayinya. PHK yang dilakukan atas alasan di atas batal demi hukum dan pengusaha wajib
mempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan.
Selain itu, perusahaan tidak dapat memaksa untuk mengundurkan diri, karena pada dasarnya
pengunduran diri haruslah didasarkan pada kemauan pekerja. Hal ini sesuai dengan Pasal 81
angka 42 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154A ayat (1) huruf i yang menyatakan:
(1) Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:
i. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:
1. mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga
puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri:
2. tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
3. tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
Lebih lanjut, meskipun pada prinsipnya perusahaan boleh mengatur alasan-alasan PHK lainnya
selain yang telah diatur dalam pasal yang kami sebutkan di atas di dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan (“PP”), atau perjanjian kerja bersama (“PKB”), namun substansinya tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, menurut hemat
kami, perusahaan tidak boleh memberlakukan aturan yang mewajibkan karyawan mengundurkan
diri karena hamil dikarenakan hal tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
yang berlaku, Perlindungan dan Hak Pekerja yang Hamil Menjawab pertanyaan kedua,
dikarenakan PHK dengan alasan pekerja hamil batal demi hukum, maka pekerja yang hamil
tidak boleh di-PHK sehingga tidak berlaku ketentuan mengenai pesangon dan hak-hak lainnya
terkait PHK. Adapun secara hukum, pekerja yang hamil berhak atas perlindungan dan hak-hak di
antaranya sebagai berikut:
a. Pekerja perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan
keselamatan kandungannya maupun dirinya dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai
dengan pukul 07.00. Apabila dilanggar, pengusaha dikenakan sanksi pidana kurungan minimal 1
bulan dan maksimal 12 bulan dan/atau denda minimal Rp10 juta dan maksimal Rp100 juta.
b. Berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan
sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan, dan bagi yang
mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan
surat keterangan dokter kandungan atau bidan. Pekerja perempuan yang menggunakan waktu
hak istirahat tersebut tetap berhak mendapat upah penuh.

3. Apakah karyawan outsourcing (yang nota bene PKWT) bisa menjadi karyawan tetap (PKWTT)?
Hal ini dikarenakan bahwa perubahan perjanjian kerja, dari PKWT menjadi PKWTT, bisa saja
dan ada kemungkinan terjadi sepanjang memenuhi syarat dan ketentuan, khususnya di
perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh -yang melakukan pekerjaan jasa penunjang yang bukan
bagian dari proses produksi- memang dimungkinkan melakukan hubungan kerja dengan
karywannya melalui PKWT (vide penjelasan Pasal 59 ayat (2) UU Ketenagakerjaan).

Ketentuannya, sesuai dengan Pasal 59 ayat (7) UU Ketenagakerjaan, bahwa PKWT yang tidak
memenuhi syarat/ketentuan dalam Pasal 59 ayat (1), ayat (2), ayat (4), ayat (5) dan ayat (6)
mengenai:
- jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan yang dapat diperjanjikan melalui PKWT (ayat [1])
- larangan memperjanjikan pekerjaan yang bersifat tetap melalui PKWT (ayat [2])
- jangka waktu perpanjangan PKWT (ayat [4])
- space –jangka waktu- memperpanjang PKWT (ayat [5])
- adanya masa jeda untuk pembaruan PKWT (ayat [6]) maka demi hukum berubah menjadi
PKWTT. Karyawan outsourcing adalah pekerja kontrak yang direkrut oleh perusahaan
penyedia jasa tenaga kerja untuk dipekerjakan oleh perusahaan pengguna jasa (user). Pekerja
diupah oleh perusahaan alih daya, sementara perusahaan user membayar perusahaan
outsourcing sesuai dengan kontrak kerja yang disepakati.
Keuntungan dari sistem alih daya ini adalah perusahaan user tidak perlu repot memikirkan
biaya perekrutan karyawan serta menyediakan fasilitas, tunjangan, dan asuransi BPJS
Kesehatan. Semuanya merupakan tanggung jawab perusahaan outsourcing.
Secara hukum, pekerja outsourcing tidak memiliki hubungan kerja dengan perusahaan user.
Apabila mereka melanggar aturan perusahaan tempat mereka dipekerjakan atau terjadi
perselisihan dengan karyawan internal perusahaan user, yang bertanggung jawab untuk
menyelesaikan adalah perusahaan penyedia tenaga kerja.
Jenis pekerjaan yang disediakan perusahaan klien adalah pekerjaan yang tidak berkaitan dengan
kegiatan inti perusahaan dan tidak memiliki jenjang karir, antara lain petugas keamanan
(satpam), pembersih ruangan (cleaning service), operator telepon, call center, atau teknisi
pemeliharaan jaringan komputer kantor atau mesin pabrik. Sedangkan pekerjaan utama
perusahaan, misalnya kegiatan produksi, tidak boleh dialih-dayakan.

Lalu bagaimana menghitung masa kerja karyawan outsourcing? Masa kerja mereka bergantung
pada jenis kontrak yang disepakati bersama perusahaan alih daya yang merekrut mereka, yang
menurut Pasal 65 dan 66 jo Pasal 59 UU No 13/2003 dibedakan menjadi dua, yakni:
1. Jika karyawan akan dipekerjakan untuk pekerjaan tetap dan terus-menerus, maka perusahaan
outsourcing mengikat mereka sebagai pekerja tetap dengan Perjanjian Kerja Waktu Tidak
Tertentu (PKWTT).
2. Jika karyawan dipekerjakan untuk pekerjaan yang akan selesai pada waktu tertentu, misalnya
1 tahun atau 2 tahun, perusahaan outsourcing bisa mengontrak mereka dengan Perjanjian Kerja
Waktu Tertentu (PKWT). Merujuk pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Kep.100/Men/VI/2004, masa kerja pekerja alih daya dihitung sejak mereka menjadi karyawan
tetap (PKWTT) untuk pekerjaan yang berkelanjutan. Sedangkan, perjanjian kerja sebagai
pekerja kontrak (PKWT) untuk pekerjaan yang selesai masa tertentu tidak dihitung sebagai
masa kerja. Misalnya, Husni bekerja di perusahaan outsourcing dengan kontrak PKWT sebagai
tenaga satpam di sebuah perusahaan konstruksi yang sedang membangun 2 blok apartemen
mewah di Jakarta. Husni dipekerjakan selama masa pembangunan selesai yang diperkirakan
memakan waktu 2 tahun. Setelah 2 tahun, kontrak Husni putus. Beberapa bulan kemudian,
perusahaan outsourcing kembali merekrutnya sebagai karyawan tetap (PKWTT) untuk
dipekerjakan di perusahaan jasa keuangan yang membutuhkan tenaga keamanan di kantor
pusatnya. Maka, masa kerja Husni sebagai satpam dihitung sejak ia meneken kontrak PKWTT
tersebut. Secara prinsip, karyawan outsourcing memiliki kewajiban yang sama dengan
karyawan internal di perusahaan user. Karena, mereka terikat oleh peraturan perusahaan yang
sama, antara lain hadir tepat

Sumber :
BMP ADBI4336.52
https://repository.uin-suska.ac.id/7278/1/2012_2012112MUA.pdf
https://www.scribd.com/upload-document?archive_doc=505053192

Anda mungkin juga menyukai