Anda di halaman 1dari 3

INISIASI 2 Pandangan dan Praktek HAM

Teori Hak Kodrati

Ajaran teori hak kodrati muncul pada abad pertengahan, dengan tokoh yang paling menonjol Santo
Thomas Aquinas. Ajaran hak kodrati mengandung dua ide filsafata, yakni : 1) ide bahwa posisi masing-
masing kehidupan manusia ditentukan oleh Tuhan dan semua manusia tunduk pada otoritas Tuhan; 2)
ide bahwa setiap orang adalah individu yang otonom.Teori hak kodrati juga didukung oleh Grotius.

Para pendukung teori hukum kodrati memilih pendekatan rasional sekuler, dengan memandang semua
permasalahan hukum sebagai ketentuan yang dapat diketahui dengan menggunakan nalar yang benar
dan kesahihannya tidak tergantung pada Tuhan. Pandangan hukum kodrati Grotius terus mengalami
penyempurnaan dan akhirnya berubah menjadi teori hak kodrati yang menyatakan bahwa hak-hak
individu yang subjektif diakui.Teori ini didukung oleh Locke.

Positivisme

Penganut teori ini adalah David Hume, yang mengungkapkan bahwa penelitian terhadap fenomena
sosial dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu :

kategori fakta, yang dapat dibuktikan dengan "ada" secara empiris dan yang "benar" atau "salah"-nya
dapat diperlihatkan. Inilah yang dimaksud dengan "seharusnya'. Pendapat Hume dikenal dengan dengan
"utilitarianisme" yang kemudia dikembangkan oleh Jeremy Bentham. Tujuan 'utilitas" adalah untuk
meningkatkan kesenangan manusia yang dapat dihitung secara sistematis.

Realisme hukum

Para penganut teori ini adalah Karl Liewellyn dan Roscoe Pound. Menurut pandangan ini, hak dipandang
sebagai produk akhir proses interaksi dan mencerminkan nilai moral masyarakat yang berlaku pada
segala waktu tertentu.

Roscoe Pound membuat rumusan untuk pengesahan, keinginan manusia, tuntutan manusia serta
kepentingan sosial melalui rekayasa sosial, namun ia tidak mengidentifikasikan mekanisme atau metode
yang dapat memprioritaskan hak-hak individu baik dalam kaitan dengan hak-hak itu satu sama lain
maupun dalam hubungan dengan sasaran masyarakat.
kemunculan teori tentang hak asasi manusia yang beragam, telah menjadi salah satu penyebab
kemajukan pandangan tentang mekanisme perlindungan hak asasi manusia pada suatu negara.
Sekurang-kurangnya ada 4 kelompok pandangan tentang hak asasi manusia yang masing-masing
memiliki pengikut yang cukup luas termasuk di Indonesia. keempat pandangan tersebut adalah : 1)
pandangan universal absolut, 2) pandangan universal relatif, 3) pandangan partikularistik, dan 4)
pandangan partikular relatif.

Pandangan universal absolut melihat hak asasi manusia sebagai nilai-nilai universal sebagaimana
dirumuskan dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia internasional. Profil sosial budaya suatu
bangsa diabaikan dengan kata lain pelaksanaan perlindungan HAM di semua bangsa harus sama tanpa
memperhatikan corak dan asal-usul sosial budaya.

Pandangan universal relatif melihat persoalan HAM sebagai masalah universal namun dalam
pelaksanaannya mengenal perkecualian yang didasarkan atas asas-asas hukum internasional.

Pandangan partikularistik absolut melihat persoalan HAM sebagai masalah intern masing-masing
bangsa. Menurut pandangan ini masing-masing bangsa dapat melakukan penolakan terhadap
pelaksanaan kovenan-kovenan internasional tentang hak-hak asasi manusia. Pandangan ini lebih jauh
sering kali menimbulkan kesan nasionalisme sempit yang menolak nilai-nilai universal, perlindungan
HAM.

Pandangan partikularistik relatif melihat persoalan HAM disamping sebagai masalah universal juga
merupakan masalah nasional masing-masing bangsa. Hal ini berarti pemberlakuan kovenan-kovenan
internasional memerlukan penyelarasan sesuai dengan karakteristik budaya suatu bangsa. Berbeda
dengan pandangan partikularistik absolut, para pengikut pandangan partikularistik mengakui adanya
relativitas kultural dalam pelaksanaan perlindungan HAM yang berlaku secara universal.

Dikenal dua asas yang lazim dianut bangsa-bangsa di dunia dalam menentukan status kewarganegaraan
seseorang, yaitu asas ius soli dan asas sanguinis.

Menurut asas ius soli status kewarganegraan seseorang ditentukan oleh tempat di mana ia dilahirkan
tanpa memandang asal-usul, kewarganegaraan orang tua. Sedangkan asas ius sanguinis menetapkan
status kewarganegaraan seseorang berdasarkan asal-usul keturunannya.Status kewarganegaraan orang
tualah yang menetukan kewarganegaraan seseorang, bukan tempat ia dilahirkan.

Penerapan kedua asas di atas dapat menimbulkan kewarganegaraan rangkap (bipatride) atau dapat pula
menimbulkan tidak berkewarganegaraan (apatride). Masalah-masalh kewarganegaraan biasanya
diselesaikan diselesaikan melalui perjanjian internasional. Sebagai warga negara seseorang akan terikat
oleh segala ketentuannya yang dibuat oleh suatu negara. Hal ini terjadi karena pengintegrasian
kekuatan politik, negara memiliki sifat memaksa, monopoli dan sifat semuanya. (Sumantri, 1984:8).

Untuk mencegah agar tidak terjadi kemungkinan penindasan hak-hak asasi warga negara oleh
penyelenggara kekuasaan negara, maka ditetapkanlah konstitusi atau UUD.Konstitusi sekurang-
kurangnya harus mengandung tiga hal, yaitu :

1. jaminan hak-hak asasi manusia atau warga negara

2. kerangka ketatanegaraan yang bersifat mendasar

3. aturan tentang tugas dan wewenang dalam negara yang

bersifat mendasar.

Selamat dan sukses selau

Anda mungkin juga menyukai