Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Tentang :
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kehadirat Allah SWT, yang atas rahmat-Nya sehingga kami
dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Tata Bahasa dan Pragmatik”.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah
Pragmatik. Dalam makalah ini akan diantarkan kepada suatu pemahaman mengenai
pengetahuan tentang pengertian, aspek tata bahasa dan pragmatik.
Dalam Penulisan makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu, kritik
dan saran dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah
ini. Dalam penulisan makalah ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya
kepada Dosen kami yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada kami, sehingga kami
dapat menyelesaikan tugas ini.
Penulis
1
A. Tata Bahasa
1. Pengertian Tata Bahasa
Tata bahasa dipahami dari segi maknanya, kata tata dalam kata “tata
bahasa”, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti kaidah, aturan, dan
susunan; cara menyusun; sistem. Dengan demikian, makna dari tata bahasa
adalah aturan atau kaidah yang menata perilaku bahasa di dalam pemakaiannya.
Menurut Keraf (1999: 17), tata bahasa dibagi menjadi dua macam
pengertian. Pertama, cabang ilmu bahasa yang mempelajari dan mendeskripsikan
kaidah-kaidah yang menjadi dasar bentuk sebuah bahasa; dan kedua, semacam
buku yang memuat himpunan kaidah dan patokan umum mengenai struktur suatu
bahasa.
2
Tata bahasa menurut Djiwandono (2011: 130) merupakan sebagai bagian
dari paparan tentang bahasa berkaitan dengan kemampuan tentang kata pada
tataran morfologi, dan kemampuan tentang kalimat pada tataran sintaksis.
Kemampuan tentang kata meliputi pemahaman dan penggunaan kata dan
gabungan kata masing-masing dengan bagian-bagian yang memiliki arti dan
dikenal sebagai morfem. Sedangkan kemampuan tentang kalimat meliputi
pemahaman dan penyusunan kalimat, baik kalimat tunggal dengan berbagai
susunanya, maupun kalimat majemuk dalam berbagai bentuk dan jenis
penggabunganya dikenal sebagai sintaksis.
3
Dalam tata bahasa (Kridalaksana, 2001: 66) mencakup beberapa aspek
seperti fonologi, morfologi, sintaksis, dan semantik. Berikut akan dijelaskan hal-
hal yang berkaitan dengan aspek-aspek tersebut.
a. Fonologi
Fonologi berkonsentrasi pada persoalan bunyi, karena seperti yang
sudah kita ketahui bahwa material bahasa adalah bunyi-bunyi ujar. Secara
definisi, fonologi diartikan oleh Soeparno (2002: 79) sebagai subdisiplin
linguistik yang mempelajari bunyi bahasa yang tanpa menghiraukan arti
maupun yang tidak. Kemudian, dalam fonologi dibagi menjadi dua jenis, yaitu
fonetik dan fonemik. Fonetik ialah ilmu bahasa yang mempelajari bunyi
bahasa tanpa menghiraukan arti, sedangkan fonemik ialah ilmu bahasa yang
mempelajari bunyi bahasa yang membedakan arti. Dari kedua jenis fonologi
tersebut, dapat disimpulkan bahwa fonologi memiliki dua cabang kajian, yaitu
fonetik dan fonemik.
1) Fonetik
Menurut Muslich (2009: 8), fonetik merupakan bidang kajian ilmu
pengetahuan (science) yang menelaah bagaimana manusia menghasilkan
bunyi-bunyi bahasa dalam ujaran, menelaah gelombang-gelombang bunyi
bahasa yang dikeluarkan, dan bagaimana alat pendengaran manusia
menerima bunyi-bunyi bahasa untuk dianalisis oleh otak manusia. Fonetik
sangat berguna dalam tujuantujuan pengajaran diksi, penguasaan ujaran
bunyi-bunyi bahasa asing, serta memperbaiki masalah bagi penutur yang
kurang dalam daya pendengarannya. Objek kajian dalam fonetik disebut
dengan fona. Fona terdiri dari vokoid (vokal), kontoid (konsonan), dan
semivokoid.
Secara umum, menurut pandangan Muslich (2009: 8), fonetik dapat
dibagi menjadi tiga macam, yaitu fonetik fisiologis (artikulatoris), fonetik
akustis, dan fonetik persepsi (auditoris). Penjelasan dari masing-masing
jenis fonetik sebagai berikut:
a) Fonetik fisiologis mengkaji tentang penghasilan bunyi-bunyi bahasa
berdasarkan fungsi mekanisme biologis organ tutur manusia atau
biasa disebut dengan ala ucap manusia.
b) Fonetik akustis bertumpu pada struktur fisik bunyi-bunyi bahasa dan
bagaimana alat pendengaran manusia memberikan reaksi kepada
4
bunyi-bunyi bahasa yang diterima, selain itu dalam fonetik akustis ini
terdapat tiga ciri utama bunyi-bunyi bahasa yang mendapatkan
penekanan, yaitu frekuensi, tempo, dan kenyaringan.
c) Fonetik persepsi ini mengarahkan kajiannya pada persoalan
bagaimana manusia menentukan pilihan bunyi-bunyi yang diterima
alat pendengaran. Dengan kata lain, dalam kajian ini meneliti
bagaimana seorang pendengar menanggapi bunyi-bunyi yang
diterimanya sebagai bunyibunyi yang perlu diproses sebagai bunyi-
bunyi bahasa yang bermakna, maksudnya merespons sistem
pendengaran terhadap rangsangan gelombang bunyi yang diterima.
2) Fonemik
Menurut Soeparno (2002: 86), fonemik khusus mempelajari bunyi-
bunyi bahasa yang membedakan arti saja. Bunyi bahasa yang
membedakan arti itu disebut fonem. Maka dengan kata lain bahwa
fonemik mempelajari fonem-fonem dan segala realisasi dan variasinya.
Objek kajian dari fonemik adalah fonem. Secara umum, fonem dibagi
menjadi dua macam, yaitu fonem segmental dan fonem suprasegmental.
a) Fonem Segmental
Fonem segmental terdiri dari vokal dan konsonan, selain itu
terdapat diftong dan klaster. Diftong didefinisikan Kridalaksana
(2001: 43) sebagai bunyi bahasa yang pada waktu pengucapannya
ditandai oleh perubahan gerak lidah dan perubahan tamber satu kali,
dan yang berfungsi sebagai inti dari suku kata, misal /ay/ pada kata
lambai /lambay/. Sedangkan klaster adalah gugus konsonan dalam
batas silabel (suku kata). Berdasarkan posisinya dalam suku kata ada
dua macam klaster, yaitu kalster inisial dan klaster final. Contoh dari
klaster inisial, yakni /drama/ dan /tradisi/, sedangkan contoh pada
klaster final, yaitu /film/ dan /modern/.
b) Fonem Suprasegmental
Fonem suprasegmental tidak memiliki tempat di dalam
struktur. Kehadirannya hanya “membonceng” pada fonem segmental
atau struktur lain. Fonem suprasegmental ini terdiri dari tiga macam,
yaitu tekanan, nada, dan tempo. Lebih lanjut, menurut Soeparno
(2002: 88), dalam bahasa Indonesia ketiga macam fonem
5
suprasegmental tersebut tidak membedakan arti, akan tetapi jika
bergabung bersama akan membentuk suatu intonasi.
b. Morfologi
Ketika berbicara mengenai morfologi, tidak akan lepas dari morfem
dan kata. Menurut Soeparno (2002: 91), morfologi adalah subdisiplin
linguistik yang mempelajari bentuk dan pembentukan kata. Tataran terendah
yang dipelajari morfologi adalah morfem, sedangkan tataran tertingginya yang
dipelajari adalah kata kompleks. Sedangkan menurut Kridalaksana (2001:
142), morfologi memiliki dua pengertian, yang pertama morfologi adalah
bidang linguistik yang mempelajari morfem dan kombinasi-kombinasinya;
kedua morfologi adalah bagian dari struktur bahasa yang mencakup kata dan
bagian-bagian kata, yakni morfem.
Dari kedua pengertian di atas, dapat dikatakan bahwa morfologi
merupakan bidang linguistik yang mempelajari kata, pembentukan kata serta
variasinya. Morfem adalah bentuk gramatikal terkecil dalam satuan gramatik
yang tidak dapat dipecah lagi menjadi bentuk gramatikal yang lebih kecil serta
memiliki makna. Bentuk linguistik mendengar, mengambil, dan mengajar.
Dari ketiga contoh tersebut memiliki hubungan dalam arti, yaitu menyatakan
“kata kerja” atau melakukan sesuatu. Bentuk-bentuk tersebut saat kita pecah
menjadi bagian yang lebih kecil lagi, yaitu kata mendengar terdiri dari dua
morfem: men dan dengar, begitu juga dengan kata mengambil yang memiliki
dua morfem: meng dan ambil, serta kata mengajar juga memiliki dua morfem:
meng dan ajar.
Berdasarkan distribusinya, morfem dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu morfem bebas dan morfem terikat. Morfem bebas maksudnya
morfem yang dapat berdiri sendiri, atau dengan kata lain morfem bebas ini
sudah dapat disebut dengan kata. Misalnya, buku, lemari, meja, botol, dll.
Sedangkan, morfem terikat maksudnya morfem yang tidak dapat berdiri
sendiri. Kehadirannya selalu diikuti dengan morfem yang lain. Misalnya,
meN-, peN-, di-, ter-, -an, dll. Dalam bentuk bebas (morfem bebas), biasanya
memiliki arti leksikal, sedangkan bentuk terikat biasanya tidak memiliki arti
leksikal, namun memiliki arti gramatikal. Ada juga bentuk terikat yang
memiliki arti leksikal. Bentuk bebas yang yang tidak memiliki arti leksikal
disebut dengan partikel. Bentuk terikat yang memiliki arti leksikal disebut
6
dengan klitik. Secara definisi, kata merupakan satu kesatuan yang penuh dan
komplit dalam ujaran bahasa. Sedangkan menurut Ramlan (1987: 33), yang
dimaksud dengan kata ialah satuan bebas yang paling kecil, atau dengan kata
lain, setiap satu kesatuan bebas merupakan kata. Jadi satu-satuan buku, gelas,
mengetik, menonton, merah, menang, laporan, dan sebagainya, masing-
masing merupakan kata karena masing-masing merupakan satu-kesatuan
bebas. Bisa kita simpulkan bahwa kata merupakan bagian yang berbeda dari
morfem serta memiliki konsep yang berbeda, karena di dalam morfem
terdapat morfem yang tidak bebas meskipun sama-sama bermakna.
c. Sintaksis
Menurut aliran struktural, sintaksis diartikan sebagai subdisiplin
linguistik yang mengkaji tata susun frasa sampai kalimat (Soeparno, 2002:
101). Dalam Kamus Linguistik (Kridalaksana, 2001: 199), menjelaskan bahwa
definisi sintaksis sebagai pengaturan dan hubungan antara kata dengan kata,
atau dengan satuan- satuan yang lebih besar itu dalam bahasa. Dengan
demikian, terdapat tiga tataran gramatikal yang menjadi ruang lingkup
sintaksis, yaitu frasa, klausa, dan kalimat.
1) Frasa
Frasa adalah suatu konstruksi gramatikal yang secara potensial terdiri
atas dua kata atau lebih, yang merupakan unsur dari suatu klausa dan tidak
bermakna proposisi. Ramlan (2001: 138) menambahkan bahwa frasa
merupakan satuan gramatik yang terdiri dari dua kata atau lebih yang
tidak melampaui batas fungsi klausa, maksudnya selalu terdapat dalam
satu fungsi unsur klausa seperti, S (subjek), P (predikat), O (objek), Pel
(pelengkap), dan Ket (keterangan). Frasa dibagi menjadi dua tipe
konstruksi, yaitu tipe konstruksi endosentrik dan tipe konstruksi
eksosentrik. Tipe konstruksi endosentrik adalah suatu tipe konstruksi frasa
yang kelasnya sama dengan salah satu atau semua unsur langsungnya,
atau dengan kata lain berdistribusi pararel dengan unsur pusatnya. Tipe ini
memiliki tiga subtipe, yaitu:
a) Frasa endosentrik atributif/ subordinatif, yaitu unsur-unsur
pembentuknya tidak setara serta unsur-unsur pembentuknya tidak
7
dapat dihubungkan dengan konjungsi. Contoh: Rumah pohon agak
sukar perdagangan bebas Jalan aspal belum makan sedang melamun.
b) Frasa endosentrik koordinatif: frasa jenis ini terdiri dari unsur-unsur
yang setara. Unsur-unusrnya dapat dihubungkan dengan kata
penghubung, seperti dan (aditif), atau (alternatif), baik...maupun
(empatik), tetapi, melainkan (disjungtif). Contoh: batuk pilek pro
kontra kakek nenek pulang pergi.
c) Frasa Endosentrik apositif: di antara unsur pembentuknya tidak dapat
dihubungkan dengan konjungsi. Setelah unsur pusat ditandai dengan
munculnya tanda koma (,). Contoh: Telepon genggam, alat
komunikasi Morganissa, kucing kesayangan Rahmi Din Syamsuddin,
Ketua Umum PP Muhammadiyah Selanjutnya, tipe konstruksi
eksosentrik. Tipe ini merupakan suatu tipe konstruksi frasa yang
kelasnya tidak sama dengan salah satu atau kedua unsur langsungnya,
atau dengan kata lain berdistribusi komplementer dengan unsur
pusatnya. Contohnya, bakti sosial, di Yogyakarta, dari Semarang,
untuk rekreasi, oleh orang lain, dll.
Berdasarkan kategori frasa, Ramlan (2001) membedakan frasa
menjadi lima macam, yaitu frasa nominal, frasa verba, frasa bilangan,
frasa depan, dan frasa keterangan.
a) Frasa Nominal, misalnya: rumah mewah, buku merah, hari raya, dll.
b) Frasa Verba, misalnya: akan pergi, sedang berlari, tidak tidur, dll.
c) Frasa Bilangan, misalnya: tiga ayam, sebelas pemain, dll.
d) Frasa Depan, misalnya: di dalam terminal, dengan hati-hati, dari tiga
perempuan, sejak tadi sore, dll.
e) Frasa Keterangan, misalnya: kemarin pagi, tadi pagi, nanti malam,
sekarang ini, dll.
2) Klausa
Menurut Suhardi (2008: 71), klausa merupakan kelompok kata, hanya
saja salah satu unsur inti sebuah klausa berfungsi sebagai predikat. Lebih
lanjut, Ramlan (2001: 79) mendefinisikan klausa sebagai satuan gramatik
yang terdiri dari S P, baik yang disertai O, Pel, dan Ket ataupun tidak.
Unsur inti klausa adalah S dan P, S kadang dihilangkan dalam kalimat
jawaban. S hilang dalam kalimat luas karena terjadi penggabungan klausa.
8
Misalnya, Sedang bermain-main (sebagai jawaban pertanyaan Anak-anak
itu sedang apa?). Kalimat Sedang bermain-main terdiri dari satu klausa,
yaitu Sedang bermain-main, yang hanya terdiri dari P. S-nya dihilangkan
karena merupakan jawaban dari suatu pertanyaan. Secara lengkap, klausa
tersebut berbunyi Anak-anak itu sedang bermain-main.
3) Kalimat
Kalimat merupakan konstruksi sintaksis yang paling besar. Menurut
Soeparno (2002: 105), merujuk pada definisi dari kaum struktural bahwa
kalimat adalah satuan gramatikal yang tidak berkontribusi lagi dengan
bentuk lain. Tidak berkontribusinya dengan bentuk lain itu ditandai
dengan adanya intonasi final. Kemudian, Ramlan (2001: 21)
menambahkan bahwa satuan kalimat bukan merujuk pada banyaknya kata
yang menjadi unsurnya, melainkan intonasinya. Setiap satuan kalimat
dibatasi oleh jeda panjang yang disertai dengan nada akhir turun maupun
naik.
d. Semantik
Semantik merupakan bagian struktur bahasa yang berhubungan dengan
makna ungkapan dan juga dengan struktur makna suatu wicara (Kridalaksana,
2001: 193). Lebih lanjut, Santoso (2003: 1) memberikan definisi semantik
sebagai bidang linguistik yang mengkaji makna bahasa; mengkaji hubungan
antara tanda (signifiant) dan yang ditandai (signifie). Berdasarkan pengertian
di atas, Soeparno (2002: 106-109) membagi semantik menjadi dua jenis, yaitu
semantik leksikal dan semantik gramatikal.
Semantik Leksikal Semantik leksikal berurusan dengan makna
leksikon itu sendiri, bukan makna struktur gramatik. Beberapa hal yang
berkaitan dengan semantik leksikal dapat dikemukakan sebagai berikut.
1) Sinonim: beberapa kata yang memiliki arti yang relatif hampir sama.
Misalnya, wanita-perempuan, baik-bagus, dll.
2) Antonim: dua kata yang maknanya berlawanan/ bertentangan. Misalnya,
lakilaki vs perempuan, takut vs berani, besar vs kecil, dll.
3) Homonim: hubungan dua kata atau lebih yang memiliki ciri bentuk yang
sama, namun menampakkan ciri makna yang berbeda. Misalnya, bisa
„mampu‟ vs bisa „racun, buku „kitab‟ vs buku „ruas‟, halaman „buku‟ vs
halaman „rumah‟, dll.
9
4) Homofon: hubungan dua kata atau lebih yang ucapannya sama, namun
penulisannya berbeda. Misalnya, bank - bang, sanksi - sangsi, dll.
5) Homograf: hubungan dua kata atau lebih yang penulisannya sama, tetapi
pengucapannya berbeda. Misalnya, apel „buah‟ - apel „berkunjung‟,
mental „psikologis‟ - mental „pantulan‟, dll.
6) Polisemi: satu kata yang pada distribusi yang berbeda memiliki beberapa
variasi makna (makna lebih dari satu), yaitu makna yang agak berbeda
akan tetapi masih tergolong dalam satu arti. Misalnya, kepala desa, kepala
dinas, kepala sekolah, lektor kepala, kepala surat, dll.
7) Hipernim: makna generik yang membawahi makna-makna spesifik.
Misalnya, makna binatang membawahi makna-makna ayam, bebek,
kambing, ikan, kucing, dll. Sedangkan, kedudukan makna ayam, bebek,
kambing, ikan, kucing terhadap binatang disebut dengan hiponim.
8) Kolokasi: persandingan dua kata yang dilihat dari segi maknanya cocok
dan sinkron secara sintagmatik. Misalnya, sang raja wafat, pahlawan
gugur, ayam mati, dll.
9) Denotasi: makna lugas. Misalnya, banyak bintang di langit.
10) Konotasi: makna kias. Misalnya, Frank Lampard dan John Terry adalah
bintang lapangan dalam liga Inggris.
Semantik Gramatikal Semantik gramatikal berurusan dengan makna
dalam struktur gramatikal maupun struktur leksikal. Di dalam semantik
gramatikal juga terdapat hal-hal yang terdapat di dalam semantik leksikal.
Apabila di dalam semantik leksikal terdapat sinonim, misalnya sinonim
kalimat, maka homonim, homofon, homograf, antonim, dan sanding kalimat
pun terdapat di dalam semantik gramatikal.
B. Pragmatik
1. Pengertian Pragmatik
Pragmatik sebagai salah satu bidang ilmu linguistik, mengkhususkan
pengkajian pada hubungan antara bahasa dan konteks tuturan. Berkaitan dengan
itu, Mey (dalam Rahardi, 2003:12) mendefinisikan pragmatik bahwa “pragmatics
is the study of the conditions of human language uses as there determined by the
context of society”, ‘pragmatik adalah studi mengenai kondisi-kondisi
penggunaan bahasa manusia yang ditentukan oleh konteks masyarakat’. Levinson
10
(dalam Rahardi, 2003:12) berpendapat bahwa pragmatik sebagai studi perihal
ilmu bahasa yang mempelajari relasi-relasi antara bahasa dengan konteks
tuturannya. Konteks tuturan yang dimaksud telah tergramatisasi dan
terkodifikasikan sedemikian rupa, sehingga sama sekali tidak dapat dilepaskan
begitu saja dari struktur kebahasaannya. Menurut Tarigan (1985:34) pragmatik
merupakan telaah umum mengenai bagaimana caranya konteks mempengaruhi
cara seseorang menafsirkan kalimat. Kunjana (2009: 2) mengatakan bahwa
pragmatik adalah studi tentang makna dalam hubungannya dengan situasi-situasi
ujar. Pragmatik merupakan salah satu bidang kajian linguistik. Nababan (dalam
Sarwiji dkk., 1996: 1) mengartikan pragmatik sebagai penggunaan bahasa untuk
mengomunikasikan (berkomunikasi) sesuai dan sehubungan dengan konteks dan
situasi pemakainya. Pragmatik memiliki banyak kajian, di antaranya deiksis,
praanggapan, implikatur percakapan, tindak bahasa, dan analisis wacana.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pragmatik
merupakan cabang dari linguistik yang mengkaji makna tuturan dengan cara
menghubungkan faktor nonlingual seperti konteks, pengetahuan, komunikasi,
serta situasi pemakaian bahasa dalam rangka penggunaan tuturan oleh penutur
dan lawan tutur. Makna tuturan dalam pragmatik lebih mengacu pada maksud dan
tujuan penutur terhadap tuturannya.
2. Ruang Lingkup Kajian Pragmatik
Pragmatik secara praktis dapat didefinisikan sebagai studi mengenai tujuan
dalam situasi-situasi tertentu. Pragmatik bersifat komplemen, yang berarti bahwa
studi tentang bahasa dilakukan baik secara terpisah dari sistem formal bahasa
maupun dari sebagian yang melengkapi (Leech, 1993). Parker dalam Rahardi
(2003:15) menyatakan bahwa pragmatik adalah cabang ilmu bahasa yang
menelaah satuan lingual, hanya saja semantik mempelajari makna secara internal,
sedangkan pragmatik memelajari makna eksternal, yaitu mempelajari penggunaan
bahasa dalam berkomunikasi. Dari definisi yang dikemukakan di atas, Parker
dengan tegas membedakan antara studi ilmu bahasa pragmatik dengan studi tata
bahasa atau gramatik bahasa. Hal itu disebutkan bahwa dalam studi gramatik
bahasa tidak perlu dikaitkan dengan konteks situasi tuturnya, sedangkan studi
tentang pragmatik mutlak harus berkaitan erat dengan konteks situasi tutur. Mey
menyatakan tentang pragmatik sebagai berikut “Pragmatik is the study of the
conditions of human language uses as these are determined by the context of
11
society” (Mey dalam Rahardi 2003:15). Dari pengertian yang disampaikan di atas
mempunyai arti ilmu bahasa yang mempelajari pemakaian atau penggunaan
bahasa, pada dasarnya selalu harus ditentukan oleh konteks situasi tutur di dalam
masyarakat dan wahana kebudayaan yang mewadahi dan melatarbelakanginya.
Berbicara perihal ruang lingkup dalam Pragmatik maka perlu dijabarkan
terlebih dahulu pengertian dari ruang lingkup. Ruang lingkup merupakan uang
lingkup adalah penjelasan tentang batasan sebuah subjek yang terdapat di sebuah
masalah. Bila diartikan secara luas ruang lingkup adalah batasan. Pragmatik
mempunyai ruang lingkup tersendiri yang menjadi bidang kajiannya. Pragmatik
mengkaji bidang-bidang seperti deiksis, praanggapan, implikatur percakapan dan
tindak tutur.
a. Deiksis
Deiksis adalah hubungan antara kata yang digunakan di dalam tindak
tutur dengan referen kata itu yang tidak tetap atau dapat berubah dan
berpindah (Chaer & Leonie, 2004:57). Deiksis adalah teknis untuk satu hal
mendasar yang kita lakukan dengan tuturan. Deiksis berarti ‘penunjukan’
melalui bahasa (Yule, 2006:13). Penunjukan atau deiksis adalah lokasi dan
identifikasi orang, objek, peristiwa, proses, atau kegiatan yang sedang
dibicarakan atau yang sedang diacu dalam hubungannya dengan dimensi
ruang dan waktunya, pada saat dituturkan oleh pembicara atau yang diajak
bicara (Djajasudarma, 2012:43).
Kajian linguistik sekarang, kata deiksis dipakai untuk menggambarkan
fungsi kata ganti persona, kata ganti demonstratif, fungsi waktu, dan berbagai
jenis ciri gramatikal dan leksikal lainnya yang menghubungkan ujaran dengan
jalinan ruang dan waktu dalam tindak ujaran (Purwo, 1990:20). Deiksis
sebagai objek kajian pragmatik adalah bentuk-bentuk bahasa yang tidak
memiliki acuan yang tetap. Oleh karena itu, maknanya sangat bergantung pada
konteks (Wijana, 2011:38).
b. Praanggapan
Praanggapan atau presupposisi adalah sesuatu yang diasumsikan oleh
penutur sebagai kejadian sebelum menghasilkan suatu tuturan. Yang memiliki
presupposisi adalah penutur, bukan kalimat (Yule, 2006:43). Praanggapan
dalam tindak tutur adalah makna atau informasi “tambahan” yang terdapat
dalam ujaran yang digunakan secara tersirat (Chaer & Leonie, 2004:58).
12
Nababan (dalam Sulistyo, 2013) mengatakan bahwa praanggapan adalah dasar
atau penyimpulan mengenai konteks dan situasi berbahasa yang membuat
bentuk bahasa (kalimat atau ungkapan) mempunyai makna bagi pendengar
atau penerima bahasa itu, dan sebaliknya dapat membantu pembicara
menentukan bentuk-bentuk bahasa yang dapat dipakai untuk mengungkapkan
makna yang dimaksud. Dengan kata lain, praanggapan dapat mengganggu
menurangi hambatan respons orang terhadap penafsiran suatu tuturan.
Jika suatu kalimat yang diucapkan, selain dari makna yang dinyatakan
dengan pengucapan kalimat itu, turut disertakan pula tambahan makna dalam
kalimat itu, maka itulah yang disebut praanggapan. Menurut Suryono (dalam
Rohmadi, 2010) praanggapan merupakan pengetahuan latar belakang yang
dapat memuat suatu tindakan atau ungkapan yang mempunyai makna masuk
akal dan dapat diterima oleh para partisipan yang terlibat dalam peristiwa
komunikasi. Menurut Bambang (dalam Rahardi, 2005) praanggapan dapat
pula dipakai untuk menggali perbedaan ciri semantis verba yang satu dengan
verba yang lain.
c. Implikatur
Konsep implikatur pertama kali diperkenalkan oleh H.P. Grice (1975)
untuk memecahkan persoalan makna bahasa yang tidak dapat diselesaikan
oleh teori semantik biasa. Implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa
yang disarankan atau apa yang dimaksud oleh penutur sebagai hal yang
berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah (Rani, dkk., 2006). Yang
dimaksud implikatur percakapan adalah adanya keterkaitan antara ujaran-
ujaran yang diucapkan antara dua orang yang sedang bercakap-cakap.
Keterkaitan ini tidak nampak secara literal, tetapi hanya dipahami secara
tersirat (Chaer & Leonie, 2004). Grice (dalam Wijana & Rohmadi, 2011:13)
kembali menyatakan bahwa yang dimaksud dengan implikatur percakapan
adalah tuturan (ujaran) yang menyiratkan sesuatu yang berbeda dengan yang
sebenarnya diucapkan. Dengan kata lain, sesuatu yang dimaksud oleh penutur
berbeda dengan apa yang dikatakan (tersurat).
Implikatur percakapan menurut Nurgiyantoro (2007:314) diartikan
sebagai pemahaman terhadap percakapan dalam konteks pragmatik
(imlicature, yang sebenarnya merupakan kependen dari conversitional
implicature, ‘implikatur percakapan’). Konsep implikatur merupakan hal yang
13
esensial dalam pragmatik. Orang yang mampu memahami implikatur sebuah
percakapan hanyalah orang yang menguasai bahasa, kebiasaan, konvensi
budaya, dan mengetahui konsep percakapan itu (Nurgiyantoro, 2007:315).
d. Tindak Tutur
Ahli pertama yang memperkenalkan istilah dan teori tindak tutur
adalah Austin pada 1962. Austin adalah seorang guru besar di Universitas
Harvard. Teori itu berasal dari perkuliahan yang kemudian dibukukan oleh
Umson (1965) dengan judul “How to do things with words?” (Putrayasa, 2014:
37). Namun, teori ini baru berkembang dan dikenal dalam dunia linguistik
setelah Searle (1969) menerbitkan buku dengan judul “Peect Act, and Essay in
the Philosophy of Language” (Aslinda & Leni, 2007:33). Searle
mengemukakan bahwa, dalam semua interaksi lingual terdapat tindak tutur.
Interaksi lingual tidak hanya lambang, kata, atau kalimat yang berwujud
perilaku tindak tutur (the performant of speech act). Secara ringkas dapat
dikatakan, bahwa tindak tutur adalah produk atau hasil dari suatu kalimat
dalam kondisi tertentu dan merupakan kesatuan terkecil dari interaksi lingual.
3. Objek Kajian Pragmatik
Objek kajian pragmatik berada pada tataran wacana, baik percakapan atau
bentuk-bentuk lain yang bersifat interaktif maupun bentuk-bentuk yang
noninteraktif. Jika wacana dipahami sebagai sebuah sekuen kalimat-kalimat,
analisis pragmatik sangat berdekatan, bahkan saling bersinggungan, dengan
analisis wacana, khususnya dalam hal objek kajiannya.
Jika analisis wacana menjelaskan interpretasi atas unsur-unsur wacana
tanpa keluar dari ranah bahasa, pragmatik berupaya menjelaskan lingkup lain dari
aktivitas manusia (keyakinan, perasaan, pengetahuan, maksud, dan lain-lain)
(Bassols, 2003:2). Bassols (2003:2) juga menegaskan bahwa hanya dengan cara
seperti itulah dapat dijelaskan bagaimana tuturan-tuturan diinterpretasikan dan
bagaimana interpretasi yang baik atas tuturan-tuturan itu dikelola. Hanya dengan
memperhitungkan sifat dasar pragmatiklah maka kita dapat menjawab pertanyaan
“Apa makna tuturan ini?” dan “Mengapa tuturan seperti ini terjadi?” Sepenggal
wawancara antara sekelompok wartawan dengan Joko Widodo (Jokowi) yang
dikutip di bawah ini:
“Pak setelah ini mau kemana?”
“Tiduuuur,” jawab Jokowi dengan santai.
14
Pemaknaan secara informatif atau tersurat atas jawaban Jokowi di atas
tentunya akan mengaburkan maksud komunikatif yang ingin disampaikan oleh
pak Gubernur. Maksud komunikatif atau makna penutur itu dapat diidentifikasi
melalui lanjutan wawancara tersebut berikut ini :
“Tiduuuur,” jawab Jokowi dengan santai. Melihat beberapa wartawan
menahan senyum, ia kembali menegaskan sambil terkekeh,”Saya ini kalau
ditanya mau kemana, bikin apa, ya saya jawab tidur aja.”
Meskipun penutur sudah memperjelas maksudnya dengan saya ini kalau
ditanya mau ke mana, bikin apa, ya saya jawab tidur aja, kata tidur tetap bersifat
komunikatif, bukan informatif. Dalam konteks wawancara di atas, pragmatik
mengidentifikasi makna tidur sebagai (a) melanjutkan bekerja; (b) ketidaksediaan
Pak Jokowi untuk menjawab secara eksplisit tempat yang akan dikunjunginya
atau apa yang akan dikerjakannya setelah itu, (c) sinyal kepada wartawan bahwa
pertanyaan mengenai tempat yang akan dikunjungi atau apa yang akan dilakukan
selanjutnya adalah sesuatu yang tidak perlu karena sudah pasti bahwa Gubernur
akan mengunjungi tempat lain atau melakukan kegiatan lain; atau (d) persilahan
kepada wartawan untuk mengikuti kegiatannya jika wartawan ingin mengetahui
tempat yang akan dikunjungi atau kegiatan lain yang akan dilakukannya.
Keempat makna tersebut memiliki benang merah yang sama, yakni bahwa yang
dimaksud atau yang ingin diimplikasikan oleh penutur ialah “tidak akan tidur”
atau “akan melakukan kegiatan selain tidur”.
Dalam kehidupan sehari-hari, wacana pragmatis seperti di atas sangat sering
ditemui dalam bahasa-bahasa di dunia ini; dan ratarata cukup berhasil atau tidak
menimbulkan salah pengertian, khususnya jika para peserta komunikasinya
adalah penutur bahasa yang sama. Penggalan wawancara di atas pun demikian
juga. Hal ini terlihat pada klausa “Melihat beberapa wartawan menahan senyum,
…” yang mengimplisitkan bahwa para wartawan mengerti apa yang dimaksudkan
oleh Pak Jokowi dengan kata tidur itu. Akan lain halnya seandainya kalimat
tersebut berbunyi “Melihat beberapa wartawan terheran-heran, (…)”. Bukti lain
atas dipahaminya maksud penutur oleh mitra tutur ialah bahwa tidak ada seorang
wartawan pun yang kemudian mengatakan Lho, siang-siang kok tidur Pak?
Dari sisi cara tuturan dihasilkan, maksud komunikatif Jokowi (dengan kata
tiduuuur) di atas dicapai dengan melanggar prinsip kerja sama, khususnya
maksim hubungan. Seandainya Jokowi berkontribusi secara relevan atas
15
pertanyaan pak setelah ini mau kemana?, ia akan menjawab kembali ke kantor
atau ke tempat lain atau yang sejenisnya. Dalam penggalan wawancara di atas
Jokowi sengaja melanggar maksim huhungan itu dengan memberikan
kontribusi/jawaban yang tidak relevan, yakni dengan tiduuuur.
Pada konteks yang lain, justru karena melanggar prinsip kerja sama, maka
komentar itu, terutama jika disampaikan secara sengaja, berpotensi menghadirkan
dampak lain, yakni melucu. Pelanggaran-pelanggaran terhadap prinsip kerja sama
secara sengaja ini - pada salah satu maksimnya atau lebih - menjadi ciri khas
komunikasi humor (Attardo, 2011:138). Salah satu contoh pelanggaran seperti itu
terlihat pada sepenggal naskah stand-up comedy di bawah ini:
Anak saya yang pertama lahir di luar nikah. Ya iyalah kalau lahir pas lagi nikah,
kan saya masih repot salam-salaman sama tamu undangan.
Kekayaan tuturan-turuan yang bermakna pragmatis/komunikatif dalam bahasa
seperti beberapa contoh di atas menjadi objek kajian yang menarik sekaligus
merupakan lahan yang subur bagi pragmatik. Salah satu aspek yang secara khusus
ditinjau dalam tulisan ini adalah daya pragmatik (pragmatic force). Teori tindak
tutur Wijana (1996), menyatakan bahwa jika seseorang menuturkan sebuah
kalimat ia dapat mengatakan/ menginformasikan sesuatu (disebut tindak lokusi),
atau melakukan sesuatu (tindak ilokusi), atau mempengaruhi mitra tutur (tindak
perlokusi).
Menurut Leech (1993:23) daya pragmatik dibentuk oleh daya ilokusi dan daya
retorik secara bersamasama. Daya retorik adalah makna tuturan dilihat dari
ketaatan penutur pada prinsip-prinsip retorik (misalnya sejauh mana penutur
mengatakan yang benar, berbicara dengan sopan, atau bernada ironis). Daya
pragmatik berkaitan dengan interpretasi atas tuturan. Tulisan ini meminjam istilah
daya pragmatik Leech, tetapi tidak menggunakan konsepnya atas istilah itu. Daya
pragmatik pada tulisan ini dilekatkan pada tindak perlokusi. Pilihan penutur
mempengaruhi besar/kecilnya daya perlokutif sehingga mempengaruhi pula
dampaknya bagi mitra tutur.
Tulisan ini melakukan pendekatan kritis terhadap wacana korupsi pada media,
khususnya mengkaji besar/kecilnya daya pragmatik pada pilihan-pilihan sang
jurnalis. Salah satu cara memperbesar daya pragmatik adalah disfemisme atau
penggunaan kata-kata yang lebih kasar, untuk maksud tertentu. Wijana
(2008:249), dalam kajiannya terhadap kata-kata kasar dalam Bahasa Jawa,
16
mengatakan bahwa kata kasar biasanya digunakan untuk mengungkapkan
kejengkelan atau ketidakhormatan penutur. Kata nguntal, misalnya, yang
bermakna ‘makan dengan cara menelan utuh-utuh’, merupakan pilihan
pengkasaran dari kata, misalnya, madhang ‘makan’. Pada sisi mitra tutur, kata-
kata yang disfemistis ini menghadirkan dampak yang lebih besar dibandingkan
yang tidak.
4. Aspek-aspek Kajian Pragmatik
a. Tindak Tutur
Menurut Wiranty (2015:295) Tindak tutur (speech act) adalah gejala
individu yang bersifat psikologis dan berlangsungnya ditentukan oleh
kemampuan bahasa di penutur dalam menghadapi situasi tertentu. Istilah
tindak tutur menurut Kridalaksana (dalam Putrayasa, 2014: 85) yaitu
‘pertuturan’ (speech art, speech event) pengujaran kalimat untuk menyatakan
agar suatu maksud dari penutur dapat diketahui oleh lawan tutur.
Alwasilah (dalam Putrayasa, 2014: 85) mengemukakan bahwa tindak
tutur bersifat context dependent (tergantung konteks), maksudnya adalah
ujaran tergantung dengan konteks ketika penutur bertutur. Tuturan hanya
dapat dimengerti jika berkaitan dengan kegiatan yang menjadi konteks dan
tempat tuturan itu terjadi. Ketika seseorang menuturkan kalimat, berarti ia
menindakkan sesuatu. Misalnya seorang ibu berkata kepada anak
perempuannya yang dikunjungi oleh pacarnya “sudah pukul sepuluh”. Ibu tadi
tidak semata-mata memberitahukan tentang keadaan yang berkaitan dengan
waktu, tetapi juga menindakkan sesuatu yakni memrintahkan mitra tutur atau
orang lain (misalnya anaknya) agar pacarnya pulang (Putrayasa, 2014: 86).
b. Praanggapan
Menurut Cruse (dalam Putrayasa, 2014: 77) Praanggapan
(presuposition) berasal dari kata to pre-suppose, yang dalam bahasa Inggris
berarti to suppose beforehand (menduga sebelumnya), dalam arti sebelum
pembicara atau penulis mengujarkan sesuatu yang sudah memiliki dugaan
sebelumnya tentang lawan bicara atau hal yang dibicarakan. Pada strategi
pembangunan dan pemicu presuposisi ternyata partikel seperti hanya dan juga
berperan sebagai pemicu presuposisi yang dalam hal ini telah diselidiki dalam
literatur dan eksperimental.
c. Implikatur
17
Menurut Mey (dalam Nadar, 2013) implikatur ‘implicature’ berasal
dari kata kerja to imply sedangkan kata bendanya adalah implication. Kata
kerja ini berasal dari kata latin plicare yang berarti to fold “melipat” sehingga
untuk mengerti apa yang dilipat atau disimpan tersebut haruslah dilakukan
dengan cara membukanya. Dalam rangka memahami apa yang dimaksudkan
penutur, lawan tutur haruslah melakukan interpretasi pada tuturan-tuturannya.
Sementara itu, Echols (dalam Putrayasa, 2014: 64) mengemukakan bahwa
secara terminologi, implikatur berasal dari bahasa Yunani, implication dan
secara nomina kata ini hampir sama dengan kata implication dalam bahasa
Inggris, yang artinya maksud, pengertian, dan keterlibatan. Secara struktural,
implikatur berfungsi sebagai jembatan/rantai yang menghubungkan antara
“yang diucapkan” dan “yang diimplikasikan”.
d. Deiksis
Deiksis merupakan salah satu aspek yang dibahas dalam pragmatik.
Istilah deiksis secara teknis berasal dari bahasa Yunani yang berarti
“penunjukan”. Dengan kata lain, informasi kontekstual secara leksikal maupun
gramatikal menunjuk pada hal tertentu baik berupa benda, tempat, maupun
waktu yang mengacu pada bentuk yang terkait dengan konteks penutur (Yule,
2014: 13). Menurut Sudaryat (2011) deiksis adalah bentuk bahasa yang
berfungsi sebagai penunjuk hal atau fungsi tertentu di luar bahasa.
18
DAFTAR PUSTAKA
Agustin, Yulia. 2015. ”Penguasaan Tata Bahasa dan Berpikir Logik Serta Kemampuan
Menulis Artikel Ilmiah”. Jurnal Ilmiah Kependidikan. Vol. II No. 2.
Baskoro, Suryo. 2014. Pragmatik dan Wacana Korupsi. Jurnal Humaniora, 26(1).
Bassols, Puig Margarida. 2003. “Pragmatics and Discourse Analysis” in Noves SL. Revista
Djiwandono, Soernadi. 2011. Tes Bahasa Pegangan Bagi Pengajar Bahasa. Kualitatif, dan
R&D. Bandung: Alfabeta.
Ertinawati, dkk. 2017. Analisis Tindak Tutur Pemasar Asuransi Kepada Nasabah Ditinjau
dari Perspektif Prakmatik. Jurnal Siliwangi, 3(2).
Harimurti Kridalaksana, 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Abdul,
Chaer. 1994. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta.
Keraf, Gorys. 1999. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Muslich, M. 2009. Melaksanakan PTK itu Mudah.Cetakan ketiga. Jakarta : Bumi. Aksara.
Nadar, F.X. 2013. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu.
19
Language Learning with Educational Pragmatics Aspects for Non-Indonesian
Language Students). Jurnal Sawerigading, 26(1).
Rachman. 2015. Tindak Tutur Dalam Proses Belajar-Mengajar Pada Taman Kanak-Kanak
Dharma Wanita Kelurahan Wapunto Kecamatan Duruka Kabupaten Muna (Kajian
Pragmatik). Jurnal Humanika, 3(15).
Sudaryat, Yayat. 2011. Makna dalam Wacana Prinsip-Prinsip Semantik dan Pragmatik.
Bandung: CV Yrama Widya.
Wijana, I Dewa Putu & Rohmadi, Muhammad. 2011. Analisis Wacana Pragmatik, Kajian
Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka.
Wiranty, Wiendi. 2015. Tindak Tutur dalam Wacana Novel Laskar Pelangi Karya Andrea
Hirata (Sebuah Tinjauan Pragmatik). Jurnal Pendidikan Bahasa, 4(2).
20
Yuniarti, Netti. 2014. Implikatur Percakapan dalam Percakapan Humor. Jurnal Pendidikan
Bahasa, 3(2).
21