Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

FIQIH MUAMALAH

Penjelasan tentang Wadiah


Dosen Pengampu : Ahmad Asrof Fitri S.H.I,M.E.Sy.

Di susun Oleh:

Livia Okta Suryaningsih_1190202037

Yayuk Prihatin_

PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH

FAKULTAS SYARIAH

INSTITUT AGAMA ISLAM AZ-ZAYTUN INDONESIA

(IAI Al-AZIZ)

2020-2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan ke Hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat limpahan Rahmat dan
Karunia-Nya sehingga kami dapat menyusun makalah ini dengan baik dan tepat pada waktunya ,dan
terimakasih juga kepada Ustadz Ahmad Asrof Fitri ,S.H.I.,M.E.Sy selaku dosen pengampu Fiqih
muamalah. Dalam makalah ini penulis membahas mengenai Wadi’ah dan Implementasinya dalam
Perbankan Syari’ah.

Maksud penulis dari pembahasan ini adalah supaya kita dapat mengetahui bagaimana Wadi’ah dan
Implementasinya dalam Perbankan Syari’ah.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang bersifat membangun. Kritik
dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat untuk kita semua.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan yang mendasar pada makalah ini. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan pembaca untuk memberikan saran serta kritik yang bersifat membangun. Kritik
dari pembaca sangat kami harapkan untuk penyempurnaan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini
dapat memberikan manfaat untuk kita semua.

Purwakarta,16 November 2020

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................i

KATA PENGANTAR ...................................................................................ii

DAFTAR ISI .................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ....................................................................................1


B. Rumusan Masalah................................................................................2

C. Tujuan...................................................................................................2

BAB II PEMBAHASAN

A. Pengertian Wadi’ah.............................................................................3

B. Dasar Hukum Wadi’ah.......................................................................5

C. Rukun Wadi’ah...................................................................................6

D. Pembagian Wadi..’ah..........................................................................7

E. Penerapan Wadi’ah dalam Perbankan Syari’ah............................10

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan.........................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA....................................................................................14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sistem pemerintahan suatu Negara ditentukan dengan keadaan hidup warga masyarakat disana.
Keadaan kehidupan masing-masing warga masyarakat pada masa sekarang tidak terlepas dari adanya
proses perubahan, proses adaptasi, dan proses penyerapan yang dilakukan oleh warga masyarakat
terdahulu. Dengan kata lain, segala hal yang ada pada saat ini, merupakan produk dari sejarah bangsa.
Sehingga sistem pemerintahan yang dianut oleh masing-masing Negara di dunia tidak mungkin
sepenuhnya sama.

Di antara muamalah yang cukup penting pada masa sekarang ini adalah keamanan, kenyamanan, serta
kepastian hukum dalam menitipkan uang dan/ataupun mencari pinjaman dana, yang di dalam hal ini
bank. Ini melihat, bank-bank yang ada di Indonesia masih di dominasi bank-bank konvensional yang
terdapat kecenderungan riba.
Meskipun bank-bank Syariah sekarang semakin tumbuh di negeri ini, namun dalam praktiknya pun
terkesan memplagiasi prinsip riba bank konvensional, yang hanya diubah kebahasaannya saja
menggunakan bahasa Arab. Ironisnya lagi, di lapangan juga seringkali terdengar adanya penipuan dari
bank Syariah.

Bank syariah yang semestinya telah melewati verifikasi syariah, pada praktiknya masih belum jelas atau
rancuh. Terkait dengan produk-produk dari perbankan syariah masih kabur, karena masih sarat akan
kepentingan kapitalistik dan sulit ditemukan dasar fikihnya, seperti terkait dengan produk giro dan
tabungan syariah. Padahal pada masa sekarang ini sudah banyak masyarakat yang memakai produk
perbankan tabungan dan giro itu sendiri.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Apakah definisi Wadi’ah?

2. Bagaimana dasar hukum Wadi’ah?

3. Bagaimana rukun Wadi’ah?

4. Bagaimana pembagian Wadi’ah?

5. Bagaimana penerapan Wadi’ah dalam Perbankan Syari’ah?

C. TUJUAN PENULISAN

1. Untuk mengetahui definisi Wadi’ah

2. Untuk mengetahui dasar hukum Wadi’ah

3. Untuk mengetahui rukun Wadi’ah

4. Untuk mengetahui pembagian Wadi’ah

5. Untuk mengetahui penerapan Wadiah dalam Perbankan Syari’ah

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Wadiah

1. Pengertian Wadiah Secara Etimologi


Wadiah berasal dari kata Al-Wadi’ah yang berarti titipan murni (amanah) dari satu pihak ke pihak yang
lain, baik individu maupun badan hukum, yang harus dijaga dan dikembalikan kapan saja si penitip
menghendakinya.[1]

Wadiah bermakna amanah. Wadiah dikatakan bermakna amanah karena Allah menyebut wadiah
dengan kata amanah dibeberapa ayat Al-Qur’an.

2. Pengertian Wadiah Secara Terminologi[2]

Ulama mahzab Hanafi mengartikan Wadiah adalah memberikan wewenang kepada orang lain untuk
menjaga hartanya. Contohnya seperti ada seseorang menitipkan sesuatu pada seseorang dan si
penerima titipan menjawab ia atau mengangguk atau dengan diam yang berarti setuju, maka akad
tersebut sah hukumnya.

‫تسليط الغير على حفظ ماله صارحا أو داللة‬

“ mengikut sertakan orang lain dalam memelihara harta baik dengan ungkapan yang jelas maupun
isyarat”

Sedangkan mahzab Maliki, Syafi’i, Hanabilah mengartikan wadiah adalah mewakilkan orang lain untuk
memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.

‫توكيل في حفظ مملوك على وجه مخصوص‬

“ mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu “

3. Pengertian Wadiah Secara Istilah

Wadi’ah adalah akad seseorang kepada pihak lain dengan menitipkan suatu barang untuk dijaga secara
layak (menurut kebiasaan). Atau ada juga yang mengartikan wadiah secara istilah adalah memberikan
kekuasaan kepada orang lain untuk menjaga hartanya/ barangnya dengan secara terang-terangan atau
dengan isyarat yang semakna dengan itu”.[3]

4. Dalam Ensiklopedi Hukum Islam

Wadiah secara bahasa bermakna meninggalkan atau meletakkan, yaitu meletakkan sesuatu pada orang
lain untuk dipelihara atau dijaga. Sedangkan secara istilah adalah Memberikan kekuasaan kepada orang
lain untuk menjaga hartanya atau barangnya dengan secara terang-terangan atau dengan isyarat yang
semakna dengan itu.

5. Pengertian Wadiah Menurut Bank Indonesia (1999)

Wadi’ah adalah akad penitipan barang/uang antara pihak yang mempunyai barang/uang dengan pihak
yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan serta keutuhan
barang/uang.
6. Wadiah juga bisa diartikan titipan

yaitu titipan dari satu pihak ke pihak lain, baik individu maupun badan hukum yang harus dijaga dan
dikembalikan kapan saja si penyimpan menghendakinya. Dari pengertian ini maka dapat dipahami
bahwa apabila ada kerusakan pada barang titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana
layaknya, maka si penerima titipan tidak wajib menggantinya, tapi apabila kerusakan itu disebabkan
karena kelalaiannya, maka ia wajib menggantinya. Yang dimaksud dengan “barang” disini adalah suatu
yang berharga seperti uang, dokumen, surat berharga dan barang lain yang berharga di sisi Islam.[4]
Dengan demikian akad wadi’ah ini mengandung unsur amanah, kepercayaan (trusty). Dengan demikian,
prinsip dasar wadi’ah adalah amanah, bukan dhamanah. Wadiah pada dasarnya akad tabarru’, (tolong
menolong), bukan akad tijari.

B. Dasar Hukum Wadiah

Wadiah diterapkan dalam hukum Perbankan di Indonesia karena wadiah mempunyai landasan yang
kuat. Sehingga pelaksanaan wadiah itu harus sesuai dengan dalil-dalil sebagai berikut:

1. Dalam Alquran

a. An-Nisa : 58

“Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan apabila
kamu menetapkan hukum di anatara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh,
Allah sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar dan Maha
Melihat “

b. Al-Baqarah : 283

“ Dan jika kamu dalam perjalanan sedang kamu tidak mendapatkan seorang penulis, maka hendaklah
ada barang jaminan yang dipegang. Tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain,
hendaklah yang dipercayai itu menunaikan amanatnya(utangnya) dan hendaklah dia bertakwa kepada
Allah, Tuhannya. Dan janganlah kamu menyembunyikan kesaksian, karena barang siapa
menyembunyikannya, sungguh, hatinya kotor (berdosa), Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”.

2. Hadist

a. Sabda Nabi Saw : ”Serahkanlah amanat kepada orang yang mempercayai anda dan janganlah anda
mengkhianati orang yang mengkhianati anda”

b. Dari Abu Hurairah, diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : “ Tunaikanlah amanat ( titipan )
kepada yang berhak menerimanya dan janganlah membalas khianat kepada orang yang telah
mengkhianatimu.”(H.R. ABU DAUD dan TIRMIDZI).
c. Kemudian, dari Ibnu Umar berkata bahwa Rasulullah SAW telah bersabda: “Tiada kesempurnaan
iman bagi setiap orang yang tidak beramanah, tiada shalat bagi yang tiada bersuci.” (H.R THABRANI).

d. Dan diriwayatkan dari Rasulullah SAW bahwa beliau mempunyai (tanggung jawab) titipan. Ketika
beliau akan berangkat hijrah, beliau menyerahkannya kepada Ummu `Aiman dan ia (Ummu `Aiman)
menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk menyerahkannya kepada yang berhak.”

3. IJMA`

Ulama sepakat diperbolehkannya wadi’ah. Ia termasuk ibadah Sunah. Dalam kitab Mubdi disebutkan:
“ijma’ dalam setiap masa memperbolehkan Wadi’ah. Dalam kitab Ishfah disebutkan: ulama sepakat
bahwa wadi’ah termasuk ibadah Sunah dan menjaga barang titipan itu mendapatkan pahala.

C. Rukun Wadi’ah

Menurut Pasal 413 ayat (1) rukun Wadi’ah terdiri atas:

1. Ada Muwaddi` yang bertindak sebagai pemilik barang/uang sekaligus yang


menitipkannya/menyerahkan.

2. Ada Mustawda` yang bertindak sebagai penerima simpanan atau yang memberikan pelayanan jasa
custodian.

3. Kemudian diakhiri dengan Ijab Qabul (Sighat), dalam perbankan biasanya ditandai dengan penanda
tanganan surat/buku tanda bukti penyimpanan.

Dalam perbankan Syari`ah tanpa salah satu darinya maka proses Wadi`ah itu tidak berjalan/terjadi/sah.

D. Pembagian Wadi’ah

Berdasarkan sifat akadnya, wadiah dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu:[5]

1. Wadiah Yad Al-Amanah (Trustee Defostery)


Wadiah yad al-amanah adalah akad penitipan barang di mana pihak penerima titipan tidak
diperkenankan menggunakan barang uang yang dititipkan dan tidak bertanggung jawab atas kerusakan
atau kehilangan barang titipan yang bukan diakibatkan perbuatan atau kelalaian penerima.

Hadis Rasulullah menyebutkan bahwa “ Jaminan pertanggung jawaban tidak diminta dari peminjam
yang tidak menyalah gunakan (pinjaman) dan penerima titipan yang tidak lalai terhadap titipan
tersebut.” Ada lagi dalil yang menegaskan bahwa Wadi`ah adalah Akad Amanah (tidak ada jaminan)
adalah :

a) Amr Bin Syua`ib meriwayatkan dari bapaknya, dari kakeknya, bahwa Nabi SAW bersabda:
“Penerima titipan itu tidak menjamin”.

b) Karena Allah menamakannya amanat, dan jaminan bertentangan dengan amanat. Penerima
titipan telah menjaga titipan tersebut tanpa ada imbalan (tabarru).

Dengan konsep al-wadi’ah yad al-amanah, pihak yang menerima tidak boleh menggunakan dan
memanfaatkan uang atau barang yang dititipkan, tetapi benar-benar menjaganya sesuai kewajiban.

Kharakteristik dari al-wadi’ah yad al-amanah adalah:

a) Produk Wadiah yad Amanah, tidak ada di lembaga perbankan.

b) Jika barang hilang/rusak bukan karena kelalaian atau alasan-alasan syar’iy lainnya maka
mustawda’ tidak bertanggung jawab.

Ciri-ciri dari Wadiah Yad Al-Amanah adalah:[6]

a) Penerima titipan (Custodian) adalah yang memperoleh kepercayaan (trustee).

b) Harta / modal / barang yang berada dalam titipan harus dipisahkan.

c) Harta dalam titipan tidak dapat digunakan.

d) Penerima titipan tidak mempunyai hak untuk memanfaatkan simpanan.

e) Penerima titipan tidak diharuskan mengganti segala resiko kehilangan atau kerusakan harta yang
dititipkan kecuali bila kehilangan atau kerusakan itu karena kelalaian penerima titipan atau bila status
titipan telah berubah menjadi Wadiah Yad Dhamanah.

Wadiah yad al-amanah dapat berubah menjadi yad dhamanah oleh sebab-sebab berikut :

a) Barang titipan tidak dipelihara oleh orang yang dititipi.

b) Barang titipan itu dititipkan oleh pihak kedua kepada orang lain (pihak ketiga) yang bukan
keluarganya atau tanggung jawabnya.

c) Barang titipan dimanfaatkan oleh orang yang dititipi.


d) Orang yang dititipi wadiah mengingkari wadiah itu.

e) Orang yang dititipi mencampurkan barang titipan dengan harta pribadinya sehingga sulit
dipisahkan.

f) Orang yang dititipi melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan.

g) Barang titipan dibawa bepergian.

2. Wadiah yad adh-dhamanah

Wadiah yad dhamanah adalah Akad penitipan barang di mana pihak penerima titipan dengan atau
tanpa izin pemilik barang dapat memanfaatkan barang titipan dan harus bertanggung jawab terhadap
kehilangan atau kerusakan barang. Semua manfaat dan keuntungan yang diperoleh dalam penggunaan
barang tersebut menjadi hak penerima titipan.

Sesuai dengan hadis Rasulullah SAW “Diriwayatkan dari Abu Rafie bahwa Rasulullah SAW pernah
meminta seseorang untuk meminjamkannya seekor unta. Maka diberinya unta qurban (berumur
sekitar dua tahun), setelah selang beberapa waktu, Rasulullah SAW memrintahkan Abu Rafie untuk
mengembalikan unta tersebut kepada pemiliknya, tetapi Abu Rafie kembali kepada Rasulullah SAW
seraya berkata,” Ya Rasulullah, unta yang sepadan tidak kami temukan, yang ada hanya unta yang besar
dan berumur empat tahun. Rasulullah SAW berkata “Berikanlah itu karena sesungguhnya sebaik-baik
kamu adalah yang terbaik ketika membayar.” (H.R MUSLIM) . Wadi`ah dalam presfektif pelaksanaan
perbankan islam hampir bersamaan dengan al-qardh yaitu pemberian harta atas dasar sosial untuk
dimanfaatkan dan harus dibayar dengan sejenisnya. Juga hampir sama dengan al-iddikhar yakni
menyisihkan sebahagian dari pemasukan untuk disimpan dengan tujuan investasi. Keduanya sama-
sama akad tabarru yang jadi perbedaan terdapat pada orang yang terlibat didalmnya dimana dalam
wadi`ah pemberi jasa adalah mudi`, sedangkan dalam al-qardh pemberi jasa adalah muqridh (pemberi
pinjaman).

Dengan konsep al wadiah yad adh-dahamah, pihak yang menerima titipan boleh menggunakan dan
memanfaatkan uang atau baeang yang dititipkan. Tentunya, pihak bank dalam hal ini mendapatkan bagi
hasil dari pengguna dana. Bank dpt memberikan insentif kepada penitip dalam bentuk bonus.

Ciri-ciri dari wadiah yad adh-dahamah adalah:[7]

a) Penerima Titipan adalah dipercaya dan penjamin keamanan barang yang dititipkan

b) Harta dalam titipan tidak harus dipisahkan

c) Harta/modal/barang dalam titipan dapat digunakan untuk perdagangan

d) Penerima titipan berhak atas pendapatan yang diperoleh dari pemanfaatan harta titipan dalam
perdagangan

e) Pemilik harta / modal / barang dapat menarik kembali titipannya sewaktu-waktu.


E. Penerapan Wadiah dalam Sistem Perbankan Syariah di Indonesia

Wadiah merupakan salah satu sumber modal dalam perbakan syariah. Berdasarkan sumber modal yang
terbesar selain modal dasar, maka wadi`ah dapat dibagi kedalam, Wadi`ah Jariyah/Tahta Thalab dan
Wadi`ah Iddikhariyah/Al-Taufir keduanya termasuk kedalam titipan yang sifatnya biasa. Kedua simpanan
ini mempunyai karakteristik yaitu harta atau uang yang dititipkan boleh dimanfaatkan, pihak bank boleh
memberikan imbalan berdasarkan kewenangan menajemennya tanpa ada perjanjian sebelumnya dan
simpanan ini dalam perbankan dapat disamakan dengan giro dan tabungan.

Prinsip Al-Wadiah dalam bank syariah merujuk pada perjanjian dimana pelanggan menyimpan uang di
bank dengan tujuan agar bank bertanggungjawab menjaga uang tersebut dan menjamin pengembalian
uang tersebut bila terjadi tuntutan dari nasabah. Sebagai konsekuensi dari pelaksanaan prinsip wadiah
adalah semua keuntungan yang dihasilkan dari dana titipan tersebut akan menjadi milik bank (demikian
pula sebaliknya). Sebagai imbalan bagi nasabah, si penyimpan mendapat jaminan keamanan terhadap
harta dan fasilitas-fasilitas giro lain.

Berdasarkan pada aturan perundangan yang ditetapkan oleh BI, prinsip ini teraplikasi dalam kegiatan
penggalangan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan yang meliputi :[8]

1. Giro

2. Tabungan

3. Deposito

4. Dan bentuk lainnya.

Adapun ketentuan umum dari prinsip ini adalah:

1. Keuntungan atau kerugian dari penyaluran dana menjadi milik atau tanggungan bank, sedang
pemilik dana tidak dijanjikan imbalan dan tidak menanggung kerugian. Bank dimungkinkan memberi
bonus kepada pemilik dana sebagai suatu insentif untuk menarik dana masyarakat namun tidak boleh
diperjanjikan di muka.

2. Bank harus membuat akad pembukaan rekening yang isinya mencakup ijin penyaluran dana yang
disimpan dan persyaratan lain yang disepakati selama tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Khusus bagi pemilik rekening giro bank dapat memberikan buku cek, bilyet giro dan debit card.

3. Terhadap pembukaan rekening ini bank dapat mengenakan biaya administrasi untuk sekedar
menutupi biaya yang benar – benar terjadi.

4. Ketentuan – ketentuan lain yang berkaitan dengan rekening giro dan tabungan berlaku selama
tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Uraian diatas adalah ketentuan – ketentuan yang umumnya ada dalam produk bank syariah yang
menggunakan prinsip wadhi’ah. Dan untuk tiap produk memiliki ketentuan – ketentuan khusus yang
sedikit berbeda tapi umumnya sama.

Pada dunia perbankan, insentif atau bonus dapat diberikan dan hal ini menjadi kebijakan dari bank
bersangkutan. Hal ini dilakukan sebagai upaya merangsang semangat masyarakat dalam menabung dan
sekaligus sebagai indikator kesehatan bank. Pemberian bonus tidak dilarang dengan catatan tidak
disyaratkan sebelumnya dan secara jumlah tidak ditetapkan dalam nominal atau persentasi. Sehingga
akad wadhi’ah yang dilakukan sah hukumnya. Hal ini sesuai dengan pendapat ulama hanafi dan maliki.

Insentif dalam perbankan adalah merupakan banking policy dalam upaya merangsang minat masyarakat
terhadap bank, sekaligus sebagai indicator bank terkait. Karena semakin besar keuntungan nasabah
semakin efisien pula pemanfaatan dana tersebut dalam investasi yang produktif dan menguntungkan.

Dalam aktivitas perbankan tentunya dana titipan dari nasabah tersebut digunakan untuk aktivitas
perbankan lainnya dengan ketentuan bank memberikan jaminan atas simpanan tersebut dan
mengembalikan pada nasabah bila dikehendaki.

Tetapi dewasa ini, banyak bank Islam yang telah berhasil mengombinasikan prinsip al-wadi’ah dengan
prinsip al-mudharabah. Akibatnya pihak bank dapat menetapkan besarnya bonus yang diterima oleh
penitip dengan menetapkan persentase. Aplikasinya dapat dilihat dalam skema berikut ini:[9]

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Keberadaan wadiah dalam perbankan syariah intinya adalah untuk membersihkan penyimpanan
maupun penginvestasian dana masyarakat sesuai dengan apa yang telah digariskan dalam Al-Qur`an dan
As-Sunnah, sehingga kita dapatkan apa yang telah Allah janjikan kelak diyaumil akhir dan terlepas dari
azab siksa kubur dan api neraka naujubillahi minzalik.

DAFTAR PUSTAKA

Antonio, Muhammad Syafi’I.2001. Bank Syari’ah Dari Teori ke Praktek. Jakarta: Gema Insani
Mardani. 2012. Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah. Jakarta. Kencana Predana Media Group

Herman. Wadiah. http://herman-notary.blogspot.com/2010/09/wadhiah-dalam-perbankan-


syariah.html. diakses tanggal 3 April 2012

Anda mungkin juga menyukai